1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang, sekolah dan lembaga pendidikan swasta dimaknai secara umum dalam bingkai pembedaanya dari sekolahsekolah yang disebut negeri, yaitu sekolah yang dikelola dan dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Namun pada konteks kolonial, sekolahsekolah swasta merupakan penghubung antara konsep dan misi pemerintah (negara) tentang pendidikan rakyat dengan dinamika dan kondisi kehidupan masyarakat. Misi sekolah-sekolah swasta pada masa kolonial berbeda satu sama lain maupun dengan misi pendidikan pemerintah khususnya dalam tujuan pendidikan dan orientasi kerja lulusan yang akan dihasilkan. Karena itu, sekolah swasta pada masa kolonial dapat dikatakan memainkan peran dan fungsi intermediary group, yaitu fungsi penghubung antara peran pemerintah dalam menyediakan
pendidikan
bagi
rakyat
secara
keseluruhan—yang
terpenuhi hanya secara terbatas melalui segregasi etnik dan kelas sosial—dengan kebutuhan dan harapan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak dapat atau tidak memiliki akses pada layanan pendidikan pemerintah. Penelitian ini mengkaji posisi dan peran sekolah-sekolah swasta sebagai intermediary group dalam konteks Kota Pekalongan di masa kolonial, khususnya pada periode 1900-1942. Sejauh mana keberadaan sekolah-sekolah swasta di Kota Pekalongan pada periode 1900-1942 menunjukkan
posisi
dan
fungsinya
1
sebagai
intermediary
group?
2
Bagaimana dimensi pengaruh pemerintah di satu sisi dan dinamika komunitas-komunitas
penyelenggara
sekolah-sekolah
swasta
di
Pekalongan di sisi lain saling terhubungkan melalui kebijakan dan praktik pendidikan periode tersebut? Pekalongan sebagai salah satu kota pesisir pantai utara Jawa dikenal sebagi kota industri dan dagang. Banyaknya industri tenun dan batik menjadi mata pencaharian penduduk setempat merupakan bukti bahwa Kota Pekalongan memang aktif dalam perdagangan. Hal inilah yang menjadikan banyak pendatang ke Kota Pekalongan untuk mengadu nasib dan mendapatkan keuntungan dari adanya industri batik dan tenun.1 Pekalongan merupakan kasus menarik dalam hal keberagaman penduduknya di masa kolonial. Karena pendatang yang ada di Kota Pekalongan berasal dari berbagai golongan etnis. Kedatangan berbagai golongan etnis di Kota Pekalongan tentu dengan membawa adat-istiadat, kepercayaan, bahasa, dan segi kebudayaan masing-masing, sehingga pekalongan menjadi melting pot2 berbagai jenis kebudayan, termasuk percampuran dengan kebudayaan dari penduduk asli pekalongan sehingga membentuk Pekalongan seperti sekarang ini.
1Perantau
yang berasal dari padang yang datang ke pekalongan mempunyai kepentingan untuk melakukan perdagangan Batik, termasuk juga warga keturunan Arab yang yang banyak menjual batik di kawasan yang dikenal dengan kampung Arab. Husein Haikal, Ustadh Abdullah Hinduan dan Ma’had Islam di Pekalongan, Jakarta: Depdikbud, 1985, hlm. 1. 2 Istilah melting pot atau periuk peleburan diambil dari proses pertumbuhan penduduk Amerika yang meningkat secara signifikan pada tahun 1869 sampai 1896. Hal ini dikarenakan adanya migrasi dari berbagai negara untuk menetap di Amerika. Lihat Prof. Dr. M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh dengan Latar Belakang Kebudayaannya, Jakarta, Mutiara, 1983, hlm. 108-109.
3
Pekalongan mempunyai peran sentral sejak menjadi ibukota wilayah administrasi tingkat kabupaten dan juga karesidenan sejak abad ke-19. Jadi posisi ini juga mendukung pekalongan sebagai tempat yang strategis sebagai kota pemerintahan, perekonomian, dan politik. 3 Keberadaan pabrik gula yang berada di daerah sekitar juga berpengaruh terhadap perkembangan kawasan perkotaan, meskipun dalam hal ini perekonomian demikian,
Kota
Pekalongan
pembangunan
lebih
infrastruktur
beragam
sifatnya.
yang
ditujukan
Dengan untuk
kepentingan industri gula juga ikut mendukung posisi Kota Pekalongan yang difungsikan sebagai Kota Kolonial termasuk kegiatan perdagangan sehingga didatangi oleh banyak pendatang dari berbagai golongan etnis. Seiring dengan perkembangan perdagangan di Pekalongan, kaum saudagar yang berasal dari komunitas Pribumi, Tionghoa dan Arab menjadi penghuni Kota Pekalongan, tinggal di areal perkampunganperkampungan
yang
turut
membentuk
ruang
kota
Pekalongan.4
Perdagangan dan kerajinan yang menjadi kunci perekonomian Kota Pekalongan dan menunjukkan ciri perekonomian kota yang lebih beragam berupa komoditas batik, tenun-sarung, dan beberapa kerajinan masyarakat lokal. Djoko
Suryo
menjelaskan
bahwa
pada
awal
abad
ke-20,
perkembangan Kota Pekalongan didukung dari adanya pembangunan sebagai kota administrasi pemerintahan seperti gedung pemerintahan 3 Djoko Suryo, “Pekalongan, dari Desa Pesisir ke Kota Modern: Melacak Perjalanan sebuah Kota di daerah pesisir utara Jawa”, dalam Transformasi Masyarakat indonesia dalam Historiografi Indonesia Modern, (Yogyakarta: STPN Press, 2009), hlm.123. 4 Ibid., hlm. 122.
4
yang meliputi kantor karesidenan, pengadilan dan perpajakan.5 Seiring dengan perkembangan ruang kota Pekalongan, maka masyarakat Kota Pekalongan pun mengalami pertumbuhan. Kebutuhan masyarakat kota turut
berkembang
Pekalongan.
senada
Termasuk
dengan
kebutuhan
perkembangan dasar
untuk
ekonomi
Kota
mendapatkan
pendidikan bagi keberlanjutan sumber daya manusia yang diperlukan oleh masyarakat Kota Pekalongan. Fasilitas sekolah umum pemerintah yang sebagian hanya dapat dinikmati oleh golongan Eropa dan Bangsawan membuat sekolah yang tersedia tidak mampu menjangkau ke seluruh lapisan penduduk Kota Pekalongan yang beragam. Dengan demikian keberagaman masyarakat Kota Pekalongan yang terdiri dari berbagai golongan etnis (Tionghoa, Arab, dan Pribumi) ini masing-masing dari mereka mencoba untuk mengupayakan
pendidikan
bagi
golongan
mereka sendiri
dengan
mendirikan sekolah-sekolah swasta. Sekolah swasta di Pekalongan terbentuk dari adanya perkumpulan-perkumpulan yang mengisi ruang Kota Pekalongan, termasuk fenomena yang sekarang masih ada dan tidak menutup kemungkinan tetap berkembang di Kota Pekalongan adalah banyaknya sekolah-sekolah swasta di daerah perkotaan yang pertumbuhannya
semakin
pesat.
Sebagian
besar
sekolah
swasta
memang berasal dan dikelola yayasan atau lembaga baik itu bersifat sosial maupun keagamaan. Untuk itulah Pekalongan menjadi salah satu daerah yang dianggap mewakili untuk dilakukan penelusuran dan penelitian yang berfokus pada sekolah-sekolah swasta di tengah kota 5
Djoko Suryo, Op.cit., hlm.123.
5
yang masyarakatnya plural. Selain itu penelitian ini sekaligus untuk melihat seperti apa sebenarnya posisi sosial-politik sekolah swasta di Pekalongan dalam praktik pendidikan di Kota Pekalongan dalam abad ke-20. B.
Rumusan & Ruang Lingkup Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan
diatas penelitian ini akan membahas mengenai sekolah swasta di Pekalongan sebagai intermediary group dalam praktek pendidikan di Kota Pekalongan awal abad ke-20. Tujuan utama untuk mengetahui Posisi sosial-politik penyelenggaraan sekolah swasta di Kota Pekalongan. Dengan tujuan tersebut dapat memperlihatkan proses sosial dari pembentukan sekolah-sekolah swasta di Pekalongan. Untuk dapat menggali informasi lebih mendalam, maka dirumuskan pertanyaan sebagai berikut, a. Apa karakteristik Masyarakat Kota Pekalongan Awal Abad Ke-20? b. Bagaimana respon masyarakat Kota Pekalongan akan adanya kebutuhan pendidikan? Apa usaha masyarakat untuk memenuhi kebutuhan tersebut? c. Siapakah
pihak
penyelenggara
sekolah
swasta
di
Kota
Pekalongan? Mengapa pihak tersebut menyelenggarakan sekolah swasta? d. Bagaimana upaya masyarakat Kota Pekalongan meluaskan dan memperkuat jaringan Sekolah Swasta di Pekalongan?
6
Batasan spasial dalam tulisan ini adalah
Kota Pekalongan.
Wilayah yang secara administratif sebagai pusat karesidenan. Namun penulis
juga
memungkinkan
memperluas
jangkauan
pembahasan
kehidupan kota sebagai pusat perdagangan dan industri batik, yang terletak diantara tiga kawasan, antara Pekalongan, Kedungwuni dan Wiradesa. Keberagaman masyarakat kota dan fasilitas pendidikan yang lebih lengkap menjadi alasan penulis untuk membatasi hanya dalam lingkup kota. Selain itu juga karena ketersediaan data yang ada perihal Kota Pekalongan juga menjadi pertimbangan paling realistis untuk melakukan penelitian ini. Batasan
waktu
diperlukan
untuk
melihat
adanya
suatu
perubahan. Dalam penelitian ini batasan waktu yang digunakan adalah dari awal abad ke-20, dalam tahun 1900. Tahun tersebut merupakan awal mula gencarnya digalakkan politik etis pemerintah kolonial, salah satu programnya yaitu perluasan pendidikan. Pertimbangan lain yaitu dalam abad ke-20 merupakan masa partisipasi masyarakat atau keterlibatan
masyarakat
termasuk
dalam
partisipasi
pendidikan.
Kemunculan sekolah-sekolah pemerintah menjadi suatu babak baru dalam masyarakat. Sebagaimana pendapat dari Pijper bahwa pendidikan dan usaha perluasannya mengalir dari lapisan kelas atas hingga menjangkau ke lapisan kelas bawah.6 Karena itulah usaha regenerasi dengan menempuh jalan pendidikan menjadi dambaan setiap lapisan masyarakat. Namun, perlu disadari bahwa usaha perluasan pendidikan Pijper, G.F., Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, terj. Tudjimah dan Augustin Yessy dalam “Studien Over De Geschiedenis Van De Islam in Indonesia” Jakarta: UI Press, 1984, hlm. 105. 6
7
dari pemerintah saat itu terbatas untuk kalangan tertentu saja. Bagi mereka yang termasuk dalam kategori orang Eropa dan Pribumi yang ‘diistimewakan’ dapat menempuh jalan pendidikan yang disediakan pemerintah.7
Sehingga
kesempatan
Pribumi
untuk
mendapatkan
pendidikan umunya hanya mampu menjangkau sekolah Pribumi kelas dua atau HIS. Keterjangkauan sekolah pemerintah yang masih sangat terbatas dikalangan bangsawan atau sebatas anak-pegawai pemerintah – pamong praja. Terlebih untuk akses ke Sekolah Eropa, akan lebih dipersulit
dengan
adanya
pembatasan-pembatasan.8
Batas
akhir
temporal untuk penelitian ini adalah tahun 1942, tahun dimana berakhirnya
kekuasaan
pemerintah
kolonial
Belanda.
Dengan
pertimbangan bahwa pergantian kekuasaan juga turut merubah sistem pendidikan
baik
swasta
maupun
pendidikan
pemerintah
untuk
mengikuti sistem beradasarkan regulasi dari pemerintahan yang baru. Uraian batasan waktu diatas diharapkan mampu untuk memberikan batas dan mendisiplinkan dalam penelitian. C.
Tujuan Penelitian Dari
rumusan
permasalahan
yang
telah
dijabarkan,
maka
penelitian ini bertujuan menjelaskan pendidikan sebagai proses sosial dalam kehidupan masyarakat Kota Pekalongan. Proses sosial yang Penggambaran mengenai akses pendidikan pemerintah dapat dilihat dalam penggambaran dari novel pramudya yang menggmbarkan seorang minke yang merupakan anak bupati dan termasuk dalam golongan elite pribumi menempuh pendidikan sebagai dokter jawa. Pramudya Ananta Toer, Jejak Langkah, Jakarta: Lentera dipantara, 2006. 8 Furnivall, J.S., Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk, Jakarta: Freedom Institute, 2009, hlm.386. 7
8
dimaksud yaitu menjelaskan pandangan masyarakat Kota Pekalongan mengenai pendidikan dan kebutuhan sekolah dengan berpijak pada karakteristik masyarakat Kota Pekalongan. Selain itu, menjelaskan mengenai keterlibatan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian penelitian ini dilakukan dengan menelusuri sumber surat kabar lokal di Kota Pekalongan sebagai media yang berfungsi sebagai penghubung sekaligus sarana sumbang fikir antar masyarakat Kota Pekalongan. Sekaligus mendengarkan suara-suara masyarakat Kota Pekalongan yang dituliskan melalui pers lokal dari adanya kebijakan pemerintah, khususnya mengenai pendidikan. Sehingga dapat diketahui gambaran tentang kondisi masyarakat dan perkotaan sebagai lingkungan dibentuk dari mentalitas individu yang hidup dalam lingkaran
kebutuhan-kebutuhannya
sebagai
manusia
dan
usaha
pencapaiannya. Dengan demikian diharapkan mampu mencapai beberapa tujuan diantarannya yaitu pertama untuk mengetahui karakteristik masyarakat Kota
Pekalongan
Awal
Abad
ke-XX.
Kedua,
untuk
mengetahui
Kebutuhan Pendidikan masyarakat Kota Pekalongan. Ketiga, mengetahui pembentukan sekolah yang berhasil diciptakan oleh penduduk Kota Pekalongan
yaitu
sekolah
swasta
dan
mengetahui
lebih
lanjut
bagaimana sekolah tersebut dapat bertahan sebagai sekolah yang ‘mandiri’. Terakhir dapat mengetahui lebih lanjut tentang posisi sekolah swasta
secara
‘perantara’.
sosial-dan
politik
menganalisis
posisinya
sebagai
9
D. Kerangka Konseptual Dalam tulisan ini, penulis ingin menjelaskan mengenai sejarah pendidikan tingkat lokal di Kota Pekalongan. Pembahasan di khususkan pada sekolah-sekolah swasta dengan tidak hanya melihat sekolah sebagai suatu lembaga penyedia layanan pendidikan dalam masyarakat. Akan tetapi lebih untuk memperlihatkan posisi sekolah tersebut sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah. Henk S. Nordholt menawarkan sebuah alternatif dalam melihat kelas menengah perkotaan pada masa kolonial, khususnya pada awal abad ke-20. Dalam masa tersebut
umumnya
historiografi
lebih
menekankan
pada
sebuah
partisipasi masyarakat dalam ranah pergerakan politik dan nasionalisme yang sarat dengan perlawanan. Terlepas dari hal tersebut, meningkatnya kelas menengah di perkotaan yang menjadi bagian dari dampak urbanisasi dilihat oleh Nordholt sebagai sebuah kelompok yang pada dasarnya mendukung sistem kolonial. Dengan kata lain bahwa tanpa disadari oleh banyak pihak bahwa sebenarnya kelas menengah berperan sebagai pendukung pengenalan budaya Barat di Hindia Belanda. Kelas menengah
yang
kemudian
terlibat
dalam
sistem
kepegawaian
pemerintah memungkinkan untuk membawa kebiasaan tersebut dalam keseharian di negara kolonial. Dapat dikatakan bahwa kelas menengah telah menjadi pemantik modernitas.
9
Point penting dalam keterlibatan aktivitas kewargaan dari kelas menengah 9Lihat
perkotaan
adalah
ketaatan
terhadap
rezim
kolonial,
Henk Schulte Nordholt, “Modernity and Cultural Citizenship in the Netherlands Indies : An Ilustrated Hypothesis”, Journal of Southeast Asian Studies, 42 (3), October 2011, hlm. 438-41.
10
khususnya dalam hal pendidikan yang kemudian menghasilkan ikatan dengan pemerintah. Termasuk didalamnya adalah penguasaan bahasa Belanda. Pendukung sistem kolonial menurut Nordholt adalah mereka yang bekerja pada pemerintah. Modernitas kemudian mengacu pada setiap individu untuk menjadi sama. Atau dapat dikatakan menjadi modern diharuskan untuk turut mengkonsumsi sesuatu yang dianggap modern. Hal tersebut dapat menciptakan ruang baru yang mempunyai gagasan untuk berkembang serta progres dan mobilitas yang menjadi bagian dari modernitas Barat atau alternatif modernitas yang sudah ada. Gagasan cultural citizenship dari Nordholt menggambarkan keadaan dalam akhir pemerintahan kolonial. Dalam konteks Hindia Belanda praktik kewargaan dibawa oleh kelas menengah yang juga menjadi penduduk dalam negara kolonial. Nordholt melihat melalui program pendidikan dan mengkaji iklan-iklan secara eksplisit yang menjadi praktik kewargaan baru di negara kolonial. Dari pengamatannya kemudian ditemukan pola yang kemudian dapat dikatakan terdapat pergeseran dari kehidupan tradisional kearah modernitas.
10
Nordholt menekankan pada kelas menengah perkotaan, karena dari sanalah kesan pertama atas jalan dan pengaruh modernitas mampu dirasakan masyarakat. Tentunya, melalui praktik keseharian hidup dari kelas menengah. Hal tersebut menggambarkan adanya ketertarikan Henk Schulte Nordholt, Op.cit., hlm 439-40. Bourdieu juga menjelaskan mengenai adanya hasrat atau kebbutuhan yang menjadi pembentuk peran sebagai perantara, dikaitkan dengan pembahasan ini adalah hasrat akan pendidikan yang terwujudkan oleh sekolah swasta yang kemudian berperan sebagai perantara yang menyediakan layanan pendidikan. Maguire, Jennifer Smith and Julian Matthews (ed), The Cultural Intermediary Reader, “Sage Journals”, hlm. 18-22. 10
11
sekaligus menikmati modernitas yang ditawarkan oleh rezim kolonial.11 Seperti halnya dengan sekolah swasta yang menjadi sebuah alternatif menjanjikan bagi masyarakat Kota Pekalongan. Ketika negara melalui pemerintah tidak mampu menyediakan perluasan pendidikan yang dijanjikan, maka kelas menengah menjadi sebuah penggagas sebagai warga perkotaan yang sadar akan munculnya hasrat pendidikan dari masyarakat. Menurut Sartono, kesadaran muncul dari adanya situasi keterbelakangan masyarakat yang merupakan imbas kolonialisme dan tradisionalisme. Selain itu, politik diferensiasi pemerintah kolonial yang menghasilkan diskriminasi dalam masyarakat juga turut membentuk kesadaran masyarakat telah memunculkan kesadaran akan tidak adanya kesamaan hak. Kesadaran tersebutlah yang kemudian disebut Sartono memunculkan kebutuhan akan pendidikan.12 Sekolah swasta kemudian menjanjikan sebuah pencapaian bagi masyarakat yang mengaksesnya, yang tanpa disadari pendidikan yang semula muncul sebagai hasrat kemudian tumbuh dalam sebuah lingkup gaya hidup masyarakat. Jelas bagaimana kemudian sekolah swasta memainkan
Ibid., hlm 440. Menurut Sartono, Kota Gemeente mempunyai peluang sebagai kota yang mengalami modernisasi secara cepat karena keragaman penduduk, termasuk penduduk Eropa yang membawa modernitas ala Barat. Lebih lanjut dalam Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid II, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm.73 12 Namun perlu disadari bahwa kesadaran yang kemudian disampaikan oleh Sartono merupakan kesadaran yang tumbuh karena perkembangan nasionalisme. Hal tersebut memunculkan hubungan timbal balik antara pendidikan dan pergerakan, yang kemudian pendidikan muncul sebagai ‘senjata makan tuan’ bagi pemerintah kolonial. Ibid., hlm. 59-60. 11
12
perannya sebagai perantara antara pemerintah dan masyarakat sebagai penyedia layanan pendidikpan. Ki Hajar Dewantara sebagai penggagas sekolah partikelir13 Taman Siswa menjelaskan bahwa pendidikan merupakan tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak dengan maksud pencapaian keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Menurut Ki Hajar sekolah swasta melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas utama dari pemerintah.
dengan
demikian,
pemerintah
sudah
seharusnya
memberikan bantuan pada sekolah swasta sebagai penyelenggara yang memainkan peran perantara bagi masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan dari pemerintah.14 Sartono
menyebutkan
bahwa
kebutuhan
masyarakat
akan
pendidikan kemudian hanya dapat doipenuhi oleh sekolah swasta. Kehadiran sekolah swasta dinilai sebagai sebuah ketidakseimbangan antara ketersediaan sekolah umum dan kebutuhan dari masyarakat umum, sehingga sekolah swasta berperan sebagai penyedia layanan pendidikan bagi masyarakat.15 Menurut Ki Hajar pengajaran yang diberikan dalam sekolah swasta dapat menjadi pengganti sebagaimana sekolah dari pemerintah. meskipun dalam praktik pengakuan dan perlindungan terhadap sekolah swasta tidak mendapatkan porsi yang baik dari pemerintah kolonial bahkan cenderung dianggap terluar- ‘liar’, Penyebutan sekolah partikelir-sekolah liar oleh pemerintah kolonial. Untuk selanjutnya disebut sebagai sekolah swasta. 14 Ki Hadjar Dewantara, “Subsisdi Sekoalh Partikelir” dalam Karja Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa, 1961), hlm. 209-10. 15 Sartono Kartodirdjo, Op.cit., hlm. 79. 13
13
akan tetapi keberadaan sekolah swasta mampu mengisi kekosongan kebutuhan dari masyarakat akan pendidikan.16 Leevi Seeley melihat bahwa pendidikan lebih bersifat menyeluruh jika dibandingkan dengan sekolah. Pendidikan memperlihatkan adanya proses yang dibentuk dari dalam keluarga dan lingkungan sosial. Sedangkan sekolah merupakan salah satu bagian dalam pendidikan tersebut. Lebih lanjut, Leevi menyebutkan bahwa sekolah merupakan proses edukatif yang sifatnya terbatas dalam kehidupan namun dapat memperlihatkan produk peradaban.17 Dalam konteks inilah tulisan ini akan membahas mengenai sekolah swasta sebagai intermediary group di Pekalongan 1900-1942. Berangkat dari pijakan politik etis yang dilakukan pemerintah pada awal abad ke-20 memicu pertumbuhan dan perluasan sekolah di Hindia Belanda. Dalam praktek, perluasan sekolah pemerintah tidak mampu sepenuhnya dijangkau oleh masyarakat secara umum. Sekolah Swasta yang diselenggarakan umunya merupakan inisiatif masyarakat, seperti halnya di Kota Pekalongan. Kebutuhan masyarakat
akan
pendidikan
yang
tidak
mampu
dipenuhi
oleh
pemerintah kemudian diambil alih perannya oleh sekolah swatsa. Hal ini memungkinkan adanya peran sekolah swasta sebagai perantara antara masyarakat yang membutuhkan pendidikan dan pemerintah sebagai pihak yang seharusnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan pendidikan. 16 Ki Hadjar Dewantara. “Penghargaan terhadap perguruan partikelir”, dalam Karja Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa, 1961), hlm.150-53. 17 Seeley, Leevi, History of Education, terj. Sutrisno, Yogyakarta: Indoliterasi, hlm. 11-2.
14
E.
Tinjauan Pustaka Pekalongan bukan merupakan pembahasan yang baru dalam
kajian historiografi Indonesia, namun sejauh ini saya belum menemukan tulisan yang berdasar dari suatu penelitian ilmiah dan kajiannya spesifik tentang “Sekolah-Sekolah Swasta sebagai Intermediary Group Dalam Praktek Pendidikan di Pekalongan 1900-1942”. Dalam tinjauan pustaka kali ini penulis mencoba untuk memaparkan literatur yang relevan tentang Pekalongan. Referensi dan perbandingan literatur disertai dengan melihat cakupan spasial dan temporal yang hampir sama dalam penelitian. Buku pertama berjudul Peringatan Paroki Pekalongan Oktober 1930-1980.18 Buku ini menjelaskan bahwa Paroki Pekalongan berada di bawah Keuskupan Purwokerto dan membawahi Stasi Tegal. Keuskupan Purwokerto ini melakukan upaya misi Katholik di Kota Pekalongan yaitu dengan mengadakan karya kesehatan dan pendidikan. Disebutkan dalam buku ini bahwa pihak keuskupan Purwokerto berusaha untuk membantu masyarakat Pekalongan dalam hal pendidikan. Pembukaan sekolah khususnya ELS di Pekalongan pada tahun 1931 memberikan pertanda bahwa misi Katholik di Pekalongan kemudian membuka diri untuk memberikan pengajaran dengan mendatangkan Suster-suster Ursulin yang didatangkan langsung dari Batavia.19
Panitia Pesta Emas Paroki Pekalongan, Peringatan 50 Tahun Paroki Pekalongan , Oktober 1930-Oktober 1980, Pekalongan: tanpa penerbit. 19 Panitia Pesta Emas Paroki Pekalongan, Ibid., hlm.13. 18
15
Tulisan selanjutnya yaitu dari sebuah buku karya Sutejo K Widodo, dengan judul Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan
Pekalongan
menjadi
Pelabuhan
Perikanan
1900-1990.20
Tulisan ini menjelaskan tentang kegiatan perdagangan dan perikanan di Pelabuhan menjelaskan
Pekalongan, bahwa
1900-1942.
wilayah
Selain
geografis
itu,
Sutejo
sekaligus
mempengaruhi
keadaan
perekonomian Pekalongan sebagai kota pelabuhan yang berkembang dalam sektor niaga dan perikanan. Sampai pada perubahan status Pelabuhan
Pekalongan
sebagai
pelabuhan
khusus
perikanan
berkembang menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara sampai dengan tahun 1990. Hanya saja, penulisan lebih terfokus pada fungsi dari pelabuhan beserta hasil dan pencapaian dari Pelabuhan Pekalongan secara kuantitas. Relevansi antara tulisan ini dengan penelitian yaitu ada pada cakupan spasial yang sama yaitu, Pekalongan. Selain itu, melalui pustaka ini penulis mampu melihat lebih lanjut mengenai dinamika perekonomian laut di Kota Pekalongan yang turut mendukung kegiatan penghidupan masyarakat Kota Pekalongan. Buku selanjunya adalah karya Prof. Djoko Suryo. Judul dari buku tersebut yaitu Pekalongan, dari Desa Pesisir ke Kota Modern: Melacak Perjalanan Sejarah Sebuah Kota di Daerah Pesisir Utara Jawa 21. Dalam buku tersebut dipaparkan mengenai transformasi Kota Pekalongan dari Sutejo K. Widodo, 2005, Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990, Semarang: Badan Penerbitan Universitas Diponegoro. 21 Djoko Suryo, Pekalongan: Dari Desa Pesisir Ke Kota Modern: Melacak Sejarah Perjalanan Sejarah Sebuah Kota di Daerah Pesisir Utara Jawa, dalam “Transformasi Masyarakat Indonesia: Dalam Historiografi Indonesia Modern”, (Yogyakarta: STPN Press, 2009). 20
16
waktu ke waktu. Penjelasan mengenai transformasi Kota Pekalongan mulai dari kisah pembabadan tentang Pekalongan, Pekalongan di bawah kekuasaan Mataram, masa VOC, masa Pemerintah Kolonial kemudian menjadi Gemeente, Pendudukan Jepang, serta menjadi pusat Kota Praja sampai masa kemerdekaan, hingga menjadi pemerintahan Kota. Djoko Suryo menjelaskan perubahan fungsi kota yang menunjukkan arah modernisasi. Penting bagi penulis untuk melakukan telaah pada tulisan ini karena relevansi cakupan spasial sesuai dengan penelitian. Selain itu juga dengan perubahan fungsi kota yang disuguhkan dalam pustaka ini memberikan gambaran pada penulis tentang posisi Pekalongan sebagai kota administratif. Tulisan dari Anton E.Lucas judul Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi.22 Anton memaparkan tentang peristiwa pergolakan pasca kemerdekaan yang terjadi di Tiga Daerah yang masih masuk dalam karesidenan Pekalongan, yaitu Tegal, Brebes, dan Pekalongan. Peristiwa yang bergejolak dalam kurun waktu tiga bulan, antara Oktober sampai pertengahan Desember 1945. Peristiwa tiga daerah merupakan peristiwa revolusi sosial. Revolusi ini dimaksudkan untuk mengubah tatanan
struktur
masyarakat
termasuk
birokrasi
feodal
menjadi
masyarakat yang lebih demokratis. Perlawanan rakyat yang bertujuan untuk menghapus tatanan lama dari (orang-orang lama bentukan birokrasi kolonial) tingkat kepala desa, pamong desa, camat dan wedana serta
pemerintah
kabupaten.
Pustaka
ini
didukung
dengan
Lucas, Anton E., Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, (Jakarta: Grafiti, 1989) 22
17
menggunakan penelitian yang memadukan sumber arsip dan juga wawancara. Cakupan spasial yang mencakup Karesidenan Pekalongan membuat penelitian ini membantu penulis untuk lebih memahami tentang kondisi masyarakat Karesidenan Pekalongan secara menyeluruh hingga terjadinya konflik dalam tahun 1945. Lebih lanjut bahwa penjelasan mengenai keterlibatan masyarakat Kota Pekalongan dalam pergerakan politik 1945 juga membantu dalam memahami kondisi sosial masyarakat. Beberapa karya tulisan berupa Skripsi, Tesis baik itu yang mengkaji tentang Pekalongan atau mengenai pendidikan secara umum juga akan dijadikan tinjauan oleh penulis. Tesis yang ditulis oleh Reni Widiastuti dengan judul Desentralisasi Pendidikan dan Subsidi Sekolah Rendah di Yogyakarta 1907-1939.23 Tesis ini menganalisis peran negara khususnya
politik
pendidikan
kolonial
atas
adanya
kebijakan
pemerintah kolonial yang diterapkan di Hindia Belanda. Tulisan ini berpijak dari adanya kebijakan sekolah rakyat yang diberlakukan pada 1907. Ada dua kebijakan pemerintah terkait pendidikan yang dikaji dalam tesis ini. Pertama mengenai desentralisasi pendidikan dan kedua mengenai kebijakan subsidi sekolah rendah. Yogyakarta merupakan daerah yang masih banyak dipengaruhi oleh adanya Kesultanan dan Kadipaten Pakualaman, sehingga mempengaruhi adanya penerapan kebijakan terhadap pendidikan untuk masyarakat. Adanya kewenangan yang
diberikan
pada
pihak
kasultanan
dan
kadipaten
dalam
Reni Widiastuti, Desentralisasi Pendidikan dan Subsidi Sekolah Rendah di Yogyakarta 1907-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2016). 23
18
penyelenggaraan sekolah rakyat juga memberikan peluang untuk mendapatkan bantuan/subsidi langsung oleh pemerintah. Dengan demikian
sekolah
rakyat
yang
diselenggarakan
oleh
Kesultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman harus mengikuti kebijakan sekolah rendah yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Skripsi yang ditulis oleh Sukma Novita Sari ini berjudul Karya Sosial Katolik di Pekalongan: Karya Kesehatan dan Pendidikan 19301960an.24 Skripsi ini membahas tentang peran sentral keuskupan dan stasi Katolik di Pekalongan dalam mengadakan lembaga pendidikan dan kesehatan, dan kedua hal tersebut dikaitkan dengan misi Katolik. Namun dalam tulisan ini hanya membahas peran dari misi Katolik dalam memberikan layanan sosial. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang
jaringan
masyarakat
yang
terbentuk
termasuk
tentang
kebutuhan secara rinci tentang pendidikan di Pekalongan. Akan tetapi setidaknya, skripsi ini membantu dalam mengetahui keberadaan dan usaha dari gereja dalam menjalankan misi sosial di Pekalongan. Tesis
karya
Jahdan
Ibnu
Human
Saleh
dengan
judul
Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah Pada Pemukiman Di Kota Yogyakarta 1912-1942.25 Tulisan ini lebih menekankan pada organisasi Muhammadiyah hingga perkembangannya dengan mendirikan beberapa sekolah sekolah yang tersebar di berbagai daerah. Jahdan menyebutkan
Sukma Novita Sari, Karya Sosial Katolik di Pekalongan: Karya Pendidikan dan Kesehatan 1930-1960an. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013). 25 Jahdan Ibnu Human, Perkembangan Pendidikan Muhammadiyah pada Pemukiman di Kota Yogyakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1991). 24
19
bahwa pendidikan yang diselenggarakan Muhammadiyah di Yogyakarta ini memberikan dampak pada perubahan sosial dalam masyarakat kota. Penelitian ini lebih menyoroti pada kinerja Muhammadiyah dalam posisinya sebagai organisasi. Mungkin maksud dari tulisan yang mendalami tentang peran organisasi jadi agak mengabaikan keadaan masyarakat secara umum dari keberadaan Muhammadiyah. Penelitian ini
bermanfaat
muhammadiyah
untuk dalam
melihat
motivasi
melaksanakan
lingkungan
sistem
internal
pendidikan
hingga
membawa pada perubahan sosial masyarakat. Tesis karya T.Syarwan yang berjudul Pendidikan Barat untuk Penduduk Bumiputera di Aceh 1900-1942.26 Penulis menjelaskan tentang mobilitas sosial yang terjadi di Aceh setelah muncul dan berkembangnya pendidikan Barat. Kemunculan pendidikan barat di Aceh ini mengalami peningkatan sejak masa politik Etis pada awal abad ke-20. Mobilitas sosial yang terjadi dalam masyarakat ini ditandai dengan munculnya elite baru yang kemudian membawa perubahan dan nilai baru dalam masyarakat
Aceh.
berkembanganya
Pendidikan organisasi
di
Aceh
Agama
dan
menjadi
faktor
Pergerakan
penentu kemudian
mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kemunculan elite baru di Aceh membawa pengaruh terhadap pembaruan sistem pendidikan, keagamaan, serta timbulnya nasionalis me di Aceh.
T.Syarwan, Pendidikan Barat untuk Penduduk Bumiputera di Aceh 1900-1942, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2002) 26
20
Tesis karya Yosef Tomi Roe, Sejarah Perkembangan Misi Katolik dan Kegiatan Pendidikan di Flores tahun 1859-1942.27 Misi Katholik yang dilakukan oleh para misonaris mempunyai tujuan untuk melakukan agenda konversi agama terhadap penduduk yang sebagian besar masih berpegang pada tradisi lama. Para misionaris melakukan pendekatan dengan
membangun sarana sosial seperti rumah sakit, sekolah, dan
panti asuhan untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat. Sarana komunikasi yang dirasa paling berjalan efektif dan beriringan yaitu dalam bidang pendidikan, karena para misionaris dapat langsung melakukan kegiatan proses pewartaan injil. Dengan adanya pendidikan yang berkembang di Flores maka memicu munculnya elite baru, sebagai hasil dari pendidikan. Elite baru yang terbentuk dari hasil misi dan juga pendidikan
dikatakan
menghasilkan
masyarakat
baru
yang
menimbulkan perubahan sosial dalam masyarakat. Tesis selajutnya dari karya Witrianto dengan judul Dari Surau Ke Sekolah: Sejarah Pendidikan di Padang Panjang (1904-1942). Hampir sama dengan tesis T Syarwan meskipun berbeda ruang lingkup penelitian. Menurut Witrianto bahwa pendidikan barat yang dipelopori oleh pemerintah kolonial ini menghasilkan kalangan elite modern. Elite modern membawa pembaruan dalam masyarakat Minangkabau. Begitu pula dengan pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau juga telah melahirkan kaum modernis islam yang berasal dari kemunculan sistem
pengajaran
Islam.
Selain
itu,
pendidikan
juga
memicu
Yosef Tomi Roe, Sejarah Perkembangan Misi Katolik dan Kegiatan Pendidikan di Flores tahun 1859-1942. (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2008). 27
21
perkembangan pers yang menghasilkan surat kabar dan majalah yang nantinya menjadi jalan untuk menumbuhkan kesadaran nasional. Tesis selanjutnya yaitu dari Sarkawi dengan judul Perkembangan Pendidikan Kolonial di Makassar 1876-1942. Sarkawi menyebutkan bahwa berdirinya kweekschool di Makassar pada 1876 menjadi faktor penting berkembanganya pendidikan kolonial di Makassar. Terlebih pada awal abad ke-20 yang menjadi bagian dari pesatnya perkembangan pendidikan kolonial di Makassar. Selanjutnya, Sarkawi menyebutkan bahwa pendidikan kolonial di Makasaar melahirkan kalangan elite baru yang kemudian diberikan kesempatan untuk mempunyai jabatan dalam birokrasi pemerintah. Tesis karya Anak Agung Gde Putra Agung dengan judulnya Dampak Pendidikan terhadap Perubahan Sosial di Bali.28 Dengan dikuasainya Kerajaan Bali dalam tahun 1908. Secara langsung sistem pemerintahan mengalami perubahan birokrasi pemerintahan termasuk pembaruan dalam pendidikan yang didasarkan pada sistem pendidikan kolonial. Pendidikan barat yang menimbulkan mobilitas sosial dengan kemunculan elite modern. Keberadaan elite modern ini mendesak elite tradisional dengan menyebarkan ide pembaruan dalam masyarakat. Pemaparan mengenai sejarah pendidikan tingkat lokal dalam penelitian tugas akhir di atas bermanfaat untuk penelitian ini. Literatur tersebut berguna untuk pembanding tulisan dan juga referensi kajian dengan tema besar yang sama dalam lingkup sejarah pendidikan.
Anak Agung Gde Putra Agung, Dampak Pendidikan terhadap perubahan sosial di Bali, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 28
22
Sebagaimana telah dipaparkan diatas bahwa penelitian yang telah dilakukan mempunyai pola yang sama dengan memperlihatkan elite baru sebagai produk pendidikan. Sementara itu, banyak hal yang masih diabaikan oleh beberapa penelitian sebelumnya khusunya mengenai berbagai
suara-suara
masyarakat
tentang
pendidikan
dan
menempatkannya sebagai kebutuhan. Setidaknya hal ini akan ditelusuri dan menjadi salah satu cakupan dalam penelitian ini. Sebagian besar penelitian tesis diatas banyak hanya menyoroti dampak yang terjadi setelah ada dan berkembangnya pendidikan. Mobilitas dan pergerakan nasional menjadi fokus kajian pendidikan di era Kolonial pada masanya. Tesis dan skripsi Pekalongan baik dalam lingkup
karesidenan
maupun
kota,
telah
memberikan
gambaran
bagaimana ciri Kota Pekalongan yang dibentuk oleh berbagai faktor baik itu dari masyarakat maupun dukungan perkembangan infrastruktur kota yang mendukung dinamika masyarakat. Tesis kajian pendidikan yang telah dipaparkan dalam tinjauan di atas menggambarkan ragam penulisan sejarah pendidikan di Indonesia pada masa kolonial. Tesis karya Witrianto, Sarkawi, Anak Agung Gde Putra Agung, Yosef Tomi Roe, T. Syarwan, Jahdan Ibnu Human Saleh, dan Reni Widiastuti pembahasannya masih seputar adanya pendidikan yang berpijak pada kebijakan pemerintah dan pengaruh yang diberikan dari adanya pendidikan tersebut. Lebih lanjut bahwa tulisan-tulisan tersebut juga
sebagian
besar
mengangkat
kajian
yang
menggambarkan
pemerintah kolonial yang banyak memainkan peranan penuh dalam dunia
pendidikan.
Dengan
demikian,
secara
tidak
langsung
23
memperlihatkan bahwa pendidikan adalah ‘hadiah’ dari pemerintah kolonial pada negeri jajahannya yang kemudian menghasilkan tokoh elite. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah kolonial merupakan dasar aturan yang menyetir pola pendidikan masyarakat Indonesia pada masa kolonial dan berpengaruh dalam hal mobilitas sosial. Namun, bukan berarti bahwa pendidikan yang berupa ‘hadiah’ tersebut merupakan solusi tunggal yang menjawab permasalahan dalam masyarakat perihal pendidikan. Buku dengan judul Pendidikan di Indonesia (1900-1942) jilid I dan II yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1977. Buku tersebut merupakan buku terjemahan dari tulisan Van Der Wal dengan judul aslinya Het Onderwijs-bleid in Netherlands Indie, 19001940. Dalam jilid pertama menyebutkan tentang dokumen yang berisi surat menyurat antara tahun 1900 - 1913. Dokumen tersebut berisi tentang
pendidikan
teknik,
pendidikan
pertanian,
sekolah
gadis
Bumiputera, dan sekolah bagi Tionghoa. Sedangkan dalam Jilid kedua dari buku ini berisikan dokumen mulai dari tahun 1913 - 1940. Pembahasannya meliputi pendidikan tinggi, pendidikan guru, dan sekolah peralihan (shakel-school). Di samping itu juga disinggung mengenai
perpustakaan
rakyat,
organisasi
kepemudaan
dan
pengawasan pemerintah hindia Belanda terhadap sekolah yang tak bersubsidi. Dalam kedua jilid buku ini sama sekali tidak menyinggung tentang keberadaan sekolah-sekolah swasta yang sebenarnya juga ikut menjadi bagian dari pendidikan di Indonesia pada masa Pemerintah
24
Kolonial Belanda. Secara substansi pustaka yang berasal dari kumpulan arsip surat menyurat pejabat pemerintah dalam bidang pendidikan masa kolonial tersebut sangat membantu saya dalam menafsirkan kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah, karena beberapa bagian dalam pustaka ini juga membahas mengenai beberapa pertimbangan dan perdebatan dengan segala konsekuensinya sebelum diputuskannya sebuah kebijakan pendidikan di Hindia Belanda. Sehingga, paling tidak pustaka
ini
dapat
menjawab
asal
muasal
kebijakan
pendidikan
diputuskan, hal yang sangat jarang terdapat dalam pustaka mengenai kebijakan pendidikan. Pustaka selanjutnya yaitu Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1600-1900. Pustaka tersebut adalah sebuah disertasi karya Kees Groeneboer.29 Sebuah karya terjemahan mengkaji dengan menggunakan pendekatan sosiologi bahasa dengan mengungkap sejarah politik bahasa selama tiga setengah abad di Hindia Belanda. Politik Bahasa Belanda dijelaskan dengan menggunakan jalan masuk sejarah pendidikan. Groeneboer lebih menitik beratkan pengunaan bahasa Belanda dalam bidang pendidikan. Termasuk juga kebijakan pemerintah dalam
pendidikan
yang
terkait
dengan
kebahasaan.
Groeneboer
melakukan penjelasan secara detail dengan memperlihatkan perdebatan penggunaan bahasa Belanda di Sekolah dan lingkungan sosial termasuk keluarga. Hanya saja, dalam beberapa bagian tulisannya terkesan terjadi beberapa pengulangan pembahasan dibeberapa bagian, misal mengenai
Groeneboer, Kees., Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia Belanda 1900-1950, terj. Jessy Augusdin, (Jakarta: Erasmus, 1995). 29
25
perubahan ANV, Sebuah Himpunan Umum Belanda yang bertugas untuk
melakukan
perluasan
penggunaan
bahasa
Belanda
yang
disebutkan berulangkali mengenai hal yang sama secara substansi. Lain daripada itu, Groeneboer memperlihatkan bahwa Bahasa Belanda dan Bahasa Melayu yang saling berebut fungsi dan posisi dalam masyarakat khususnya
pendidikan.
kebijakan-kebijakan
Groeneboer
bahasa
dan
dengan
otomatis
rinci
juga
mengungkap
mengungkapkan
kebijakan-kebijakan pendidikan secara detail, hal ini membantu penulis untuk lebih memahami motif dan kebijakan pendidikan masa kolonial. Buku selanjutnya yaitu dari tulisan dari S. Nasution30 yang berjudul Sejarah Pendidikan Indonesia. Dalam buku ini menjelaskan tentang pendidikan di Indonesia dari tahun 1892-1920. Pembahasan dalam tahun tersebut dipilih oleh penulis dengan pertimbangan bahwa dalam tahun itulah pendidikan di Indonesia sudah lengkap dan dapat diakses oleh semua kalangan. Meskipun pada dasarnya dari kalangan penduduk pribumi membutuhkan usaha yang lebih apabila mereka ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Kebutuhan pegawai yang dari
pemerintah
kolonial
maupun
oleh para perusahaan swasta
menuntut pemerintah untuk menyediakan pendidikan sebagai akses untuk memperoleh pegawai yang terdidik. Meskipun pendidikan yang disediakan dapat dikatakan sangat sederhana dan aksesnya sangat terbatas
karena
memang
hanya
disesuaikan
dengan
kebutuhan
Pemerintah Kolonial. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1983). 30
26
Nasution
menyebutkan
bahwa
hal
ini
yang
memicu
perkembangan pendidikan di Indonesia, dari pendidikan rendah sampai pada pendidikan tinggi. Sebenarnya dalam buku ini mempunyai persamaan dengan buku dari terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang telah disebutkan sebelumnya. Hanya saja, substansi dari buku yang keseluruhan menyentuh tentang pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial ini menjadi kajian yang sangat dominan. Buku dari Djumhur dan Danasuparta31 dengan judul Sejarah Pendidikan, agak berbeda dengan tulisan Nasution dan buku terbitan Kemendikbud.
Djumhur
dan
Danasuparta
tidak
hanya
melihat
perkembangan pendidikan pada masa Pemerintah Kolonial Belanda tetapi juga pendidikan yang diselenggarakan secara menyeluruh dari berbagai negara secara global. Djumhur memaparkan pula mengenai usaha rakyat dalam pendidikan, termasuk pendidikan swasta. Pustaka karya
Djumhur
ini
membantu
dalam
membaca
pola
kebijakan
pemerintah pada pendidikan di Hindia Belanda. Hanya saja, dalam pemaparan mengenai sekolah swasta Djumhur lebih memaparkan romantisme kepahlawanan dalam pendidikan dan kebaikan-kebaikan sebagaimana sistem pendidikan bentukan masyarakat sebagai sarana penggugah nasionalisme. Kroeskamp
menyebutkan
bahwa
historiografi
pendidikan
dibedakan dalam dua pendekatan, yang pertama sejarah pendidikan
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV Ilmu, 1976). 31
27
digambarkan dari luar. Pendekatan ini berkaitan dengan campur tangan pemerintah termasuk aturan-aturan, serta aktivitas politik dalam pendidikan. Keaktifan dalam politik yang mencakup aspek organisasi dan perundangan dalam praktek pendidikan menjadi bagian yang ditekankan dalam pendekatan pertama. Kedua adalah sebaliknya, melihat sejarah pendidikan dari dalam, yaitu dari kejadian-kejadian sekolah itu sendiri. Dengan melihat bahwa pendidikan adalah praktek awal, keterlibatan guru, murid, dan pengajaran dengan tetap dalam lingkaran keputusan politik dan masyarakat sebagaimana fungsi pendidikan di suatu tempat. Lebih singkatnya dijelaskan bahwa segala sesuatu yang berasal dari luar menentukan dan mempengaruhi bentuk sekolah yang dibangun.32 Dari penjelasan kedua pendekatan dalam historiografi pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini akan melihat pada dua aspek internal dan eksternal dari adanya sekolah-sekolah swasta. Upaya pemenuhan kebutuhan sekolah dari bawah-dari akar masyarakat untuk mewujudkan adanya sekolah yang disesuaikan dengan
kebutuhan
masyarakat.
Dengan
mengupayakan
sekolah
sekaligus mempertahankan keberadaannya dengan cara mereka sendiri. Kajian inilah yang akan diangkat oleh penulis dalam mengkaji tentang Sekolah Swasta di Pekalongan. Dengan menunjukkan penjelasan sekolah swasta mulai dari pendirianya termasuk pertimbangan dalam pendirian yang berdasar pada kebutuhan, serta respon masyarakat, maka, secara fungsi sekolah swasta dijelaskan sebagai penjelasan yang 32
Groeneboer, Kees, Op.cit.., hlm. 8-9.
28
tidak hanya ‘bentuk’ politik pemerintah yang sepihak. Namun, bagian dari proses sejarah pendidikan dengan melibatkan perkembangan masyarakat yang dinamis. Untuk mendukung pencapaian tujuan penelitian, selanjutnya, perlu diketahui mengenai metode penelitian yang digunakan untuk membedah permasalahan yang dikaji. Sehingga mampu
menjadi
setitik
warna
dalam
menambah
wawasan
dan
pengetahuan tentang sejarah lokal dan historiografi Indonesia pada umumnya. F. Metode Penelitian Metode penelitian sejarah dengan melalui tahapan Pemilihan topik, Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi33 menjadi langkah yang digunakan dalam penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan sumber yang sesuai dengan topik penelitian. Penulis juga melakukan pengumpulan sumber dibeberapa tempat
untuk
pencarian
mendapatkan
sumber
yang
data
digunakan
semaksimal dalam
mungkin.
penulisan
ini
Dalam yaitu
memaksimalkan untuk mencari di arsip nasional dan perpustakaan nasional. Pencarian sumber di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang terletak di Jl. Ampera Raya Jakarta Selatan. Dari Anri dapat diperoleh beberapa data tentang Pekalongan melalui data di MVO (memorie van overgave) dalam bentuk Micro Film dari beberapa Residen yang pernah ditugaskan di Pekalongan, diantaranya W.L. Homans
Kuntowijoyo, Pengantar ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang, 1995), hal.89. 33
29
(1919-1922), J.E.Jasper (1926), J.J.M.A. Popelier (1929-1932), dan C.O.Matray (1936). Kemudian data mengenai Tionghoa dalam Chineze Zaken yang terdapat dalam bandel arsip Binnenland Bestuur. Laporan pemerintah dalam bentuk Staatsblad dan juga Encyclopaedie van Netherlandsch-Indie menjadi rujukan penulis dalam membangun narasi tentang Pekalongan. Keputusan pemerintah yang termaktub dalam lembaran negara juga dijadikan sumber oleh penulis untuk melihat ketetapan-ketetapan pemerintah. Disamping itu, dokumen tercetak seperti Koloniaal Verslag dan Regering Almanak juga digunakan untuk melihat bagaimana pemerintah memberikan gambaran Pekalongan dan pendidikan yang dituliskan dalam versi laporannya. Penulis mendapatkan sumber tercetak tersebut di Arsip Puro Pakualam dan juga di Koleksi Langka Badan Perpustakaan DIY. Penulis mencoba untuk memasuki Arsip Daerah Pekalongan, namun tidak ditemukan sumber yang diinginkan, dari Arda Pekalongan justru mengusulkan untuk melakukan pencarian di Arsip Daerah Jawa Tengah di Pedurungan, Semarang. Di Arsip daerah provinsi ini penulis memperoleh data pemerintah kolonial yang ada dalam bundel BOW (Burgerlike Openbare Werken) yang didalamnya terdapat data-data pembangunan
beberapa
sekolah
pemerintah
di
Pekalongan.
Penyeleksian sumber ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran mengingat sumber yang digunakan sudah agak rapuh dan juga banyak diantaranya yang menggunakan Bahasa Belanda. Beberapa sumber lain yang diperoleh berasal dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia JL. Salemba Raya Jakarta Pusat pada
30
bulan November 2014. Sumber pada masa kolonial terdapat di Koleksi Langka perpusnas dipaparkan dalam bandel inventaris jurnal dan majalah periode kolonial. Di perpusnas ini penulis memperoleh sumber yang cukup bervariasi mengenai Kota Pekalongan, mulai dari surat kabar dan majalah sampai beberapa buku lama mengenai Pekalongan. Beberapa majalah dan surat kabar tersebut diantaranya surat kabar Perdamian, Jih Pao, Sindoro Bode, Soeara Hindia 1925, Peroesaha’an, Pelita Dagang 1924, Surat Kabar Bintang Pekalongan tahun 1926, Chung Hwa Hui 1934-35, Peroebahan 1937, Seng Bing 1937-40. Surat kabar dan majalah lokal Pekalongan sangat membantu penulis untuk memberikan narasi yang jelas tentang kebutuhan masyarakat. Selain itu juga sumber majalah dan surat kabar milik lokal ini mampu menjadi pijakan
dari
banyaknya
hal
yang
tidak
tercatat
dalam
laporan
dari
laporan
pemerintah. Dengan
tidak
hanya
menggunakan
sumber
pemerintah, akan tetapi juga bertumpu pada surat kabar lokal diharapkan
mampu
memperlihatkan
proses
yang
dinamis
dari
masyarakat. Pengumpulan sumber telah dilakukan penulis, baik itu sumber primer yang bersumber pada data pemerintah kolonial dan data koran atau surat kabar lokal yang terbit pada zamannya. Tahapan setelah melakukan pengumpulan sumber adalah kritik sumber. Kritik sumber atau verifikasi ini dilakukan untuk memperoleh otentitas/keaslian dengan kritik intern dan kredibilitas dengan kritik ekstern. Selanjutnya Interpretasi atau penafsiran, data tidak bisa
31
berbicara tanpa adanya penafsiran. Untuk itu dalam tahap inilah dapat dirasakan keberadaan subjektifitas yang ada tetapi setidaknya untuk dihindari. Tahap terakhir adalah penulisan sejarah atau historiografi dengan
mementingkan
aspek
kronologi.34
Tata
urutan
penulisan
disesuaikan dengan batasan waktu yang telah ditentukan, dengan harapan bahwa pembagian bab yang tematis namun kurun waktu yang disusun secara kronologi dapat dilihat perubahan yang terjadi. G. Sistematika Penulisan Penulisan dalam penelitian ini dibagi dalam lima bab. Penjelasan akan
disampaikan
yang
disesuaikan
dengan
tematis
dengan
mengedepankan kronologi. Bab I merupakan bagian dari Pendahuluan yang berisi Latar Belakang, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup, Kerangka
Konseptual,
Tinjauan
Pustaka,
Metode
Penelitian,
dan
Sistematika penulisan. Bab II penulis memaparkan tentang Kota Pekalongan dan dinamika masyarakatnya awal abad ke-20. Penjelasan keadaan Kota Pekalongan dilihat dari keragaman etnis dan pola perkampungan Kota Pekalongan, kemudian Interaksi dan Relasi Sosial Masyarakat, bentuk persaingan dagang, serta perkumpulan dan jaringan masyarakat Kota Pekalongan. Bab III akan membahas tentang Kebutuhan Pendidikan di Kota Pekalongan. Gambaran awal dari Bab III menjelaskan mengenai ketersediaan pendidikan umum dari pemerintah. Bagian pertama
34
Kuntowijoyo, Op.cit., hlm.102.
32
kemudian akan menghubungkan dalam bagian kedua yang membahas mengenai Kebutuhan masyarakat Kota Pekalongan terhadap pendidikan. Perluasan pendidikan pemerintah dan juga pengaruh interaksi dalam masyarakat Kota kemudian mempengaruhi adanya perkembangan kebutuhan akan adanya pendidikan yang menjadi pembahasan dalam bagian ketiga. Bab
IV
akan
dibahas
mengenai
Sekolah
Swasta
di
Kota
Pekalongan sebagai bentuk jawaban akan kebutuhan pendidikan di Pekalongan. Respon adanya sekolah swasta di Pekalongan yang muncul dari kalangan perkumpulan yang berusaha untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Kota Pekalongan. Selanjutnya, dalam Bab V dipaparkan
mengenai
cara
sekolah
swasta
mempertahankan
eksistensinya dengan melakukan permintaan perdermaan. Bantuan dari kalangan internal dan eksternal sekolah swasta menjadi bagian menarik yang akan dibahas dalam Bab V. Selanjutnya yaitu Bab VI merupakan bagian kesimpulan yang mencoba dirangkai sesuai
dengan
tujuan
penelitian
menjelaskan
sekaligus menegaskan tentang posisi sekolah swasta sebagai perantara antara masyarakat Kota Pekalongan dan juga Pemerintah.