BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Televisi merupakan alat komunikasi massa, yang banyak dipergunakan pada masa sekarang. Pada tahun 1981 separuh dari penduduk Indonesia sudah biasa menonton televisi. Di kota bahkan di pelosok desa, televisi telah menjadi media yang begitu akrab dalam kehidupan keseharian manusia. Televisi membawa berbagai kandungan informasi atau pesan yang menyebar dalam kecepatan tinggi keseluruh ke pelosok. Ia menjadi alat bagi aneka kelompok yang menyampaikan anak pesan bagi berbagai khalayak. Mengelabui berbagai macam program tayangannya, baik berdasarkan macam program tayangannya, baik yang berdasarkan realitas maupun rekaan, televisi bisa menjadi wahana belajar bagi siapa saja; karena televisi telah menjadi (second mother), di mana anak belajar dari televisi (Yuliati, 2005: 160). Media televisi di Indonesia bukan lagi dilihat sebagai barang mewah, seperti pertama kali ada. Kini media layar kaca tersebut sudah menjadi salah satu barang kebutuhan pokok bagi kehidupan masyarakat nusantara untuk mendapatkan informasi. Dengan kata lain informasi sudah merupakan bagian dari hak manusia aktualitas diri. Dengan semakin meluasnya “budaya tontonan” di Indonesia dan banyaknya media televisi maka tak dapat di hindari, terminologi globalisasi sudah merusak sampai ke tingkat masyarakat terkecil (RT/RW). Tidak ada negara di dunia ini yang sanggup menahan arus globalisasi, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya serta teknologi 1
informasi. Sebagai media infomasi, televisi mempunyai dampak negatif dan dampak positif bagi masyarakat. Dampak negatif dan dampak positif tersebut berkaitan dengan program acara yang ditayangkan dalam televisi. Ironisnya dampak negatif yang disebabkan oleh program acara televisi lebih menonjol dari pada dampak positifnya, dengan begitu pesat perkembangannya, televisi terlihat cenderung menyuguhkan program-program yang hanya mendapakan unsur hiburan dan penyediaan materi sederhana yang tidak terlatih pola pikir. Berbagai macam program hiburan yang disajikan tanpa disadari mengandung banyak unsur yang tidak layak untuk dipertontonkan, seperti unsur kekerasan, pelecehan, seksual, kemewahan, tidak hormat terhadap orang tua, gaya hidup yang hura-hura, perbuatan yang tidak hormat dalam pandangan keagamaan dan lain-lain dalam acara-acara televisi (Sukmono dan Junaedi,2013:40). Perilaku adalah sinonim dari aktivitas, aksi kinerja, respon, atau reaksi. Dalam pengertian lain, bahwa sebuah prilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mahluk hidup. Termasuk dalam sebuah perilaku adalah tindakan sederhana (simple action) seperti mengedipkan mata, menggerakan jari tangan, melirik, dan sebagainya. Sebuah perilaku bisa meliputi perilaku yang tampak (observable/overt) dan perilaku yang tidak tampak (non observable/covert). Perilaku yang tampak meliputi prilaku yang tidak bisa dl lihat oleh orang lain, seperti berjalan, berlari, berbicara, memukul dan menangis, melempar dan sebagainya. Adapun perilaku yang tidak tampak adalah perilaku yang bisa diamati oleh orang lain, misalnya berpikir, dan
2
merasakan. Prilaku juga merupakan salah satu tujuan dari sebuah proses komunikasi. Dengan demikian sebuah perilaku tidak dapat dilepaskan dari dampak komunikasi. Perilaku merupakan konsekuensi dan kognitif dan afektif. Kognitif dan afektif yang positif akan menghasilkan prilaku yang positif, demikian pula sebaliknya. Delapan puluh sampai sembilan puluh persen anakanak itu meniru prilaku agresi dari yang telah mereka liat. (Suciati, 2015:2155). Teori belajar sosial dari Bandura juga dapat menjelaskan bagaimana agresivitas sebagai tingkah laku sosial yang dipelajari. Salah satu dasar pemahamannya adalah tingkah laku agresi merupakan salah satu bentuk tingkah laku yang rumit. Oleh karna itu dibutuhkan pembelajaran, artinya bahwa agresivitas tidaklah alami. Setidaknya hal ini pernah diajukan pula oleh Margaret Mead yang melihatkan bahwa peperangan sebagai salah satu agresivitas adalah dipelajari. Penelitian klasik tentang tingkah laku agresi yang dipelajari adalah penelitian boneka Bobo Doll. Boneka Bobo Doll adalah sebuah eksperimen yang menguji apakah seorang anak akan meniru apa yang mereka liat. Sekelompok balita ditaruh dalam sebuah ruangan. Di dalam ruangan tersebut terdapat boneka seukuran manusia. Lalu tiba-tiba datang seorang dewasa masuk ke dalam ruangan lalu memukul dan menyiksa boneka tersebut dengan beringas. Balita yang ada di dalam ruangan melihat peristiwa tersebut. Ternyata sang balita yang menonton penyiksaan boneka Bobo Doll cenderung lebih agresif dan ikut menyiksa saat diberi boneka di hadapannya.
3
Dalam perkembangannya, belajar agresi melalui model tidak hanya yang langsung di mata penontonnya. Melalui media massa hal ini bisa dilakukan, misalnya melalui media televisi. Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah satu hal yang memicu agresivitas. Salah satu penelitian di Indonesia terhadap 150 pelajar SLTA yang dilakukan oleh Widyastuti (1996) terungkap bahwa jenis film tertentu memperlihatkan efek yang signifikan terhadap agresivitas penonton dalam terbentuknya tingkah laku agrasi pada anak (Sarwono dan Meinarno, 2012: 150). Ruslan (2007: 195) mengatakan bahwa televisi mempunyai peran positif dalam perkembangan anak: 1. Televisi akan memperkaya pengetahuan anak dan dapat memahami pelajaran, keuntungannya guru dapat lebih cepat mempresentasikan pelajaran, karena memberikan informasi terkini (up to date). 2. Televisi dapat membangkitkan perhatian anak dan guru dapat lebih memperdalam beberapa bagian kurikulum. 3.
Televisi
membantu
guru
untuk
membuat
siswa
belajar
yang
menyenangkan. 4. Siaran film atau sandiwara dalam televisi dapat menyentuh emosi seperti sedih dan marah, dan siswa dapat berlatih untuk mencobanya dengan teman sekelas, orang tua dan guru.
4
5. Televisi merupakan agen sosialisasi paling baik (Ruslan,2007:195). Selain efek positif televisi juga mempunyai efek negatif bagi anak. Dampak negatif dari menyaksikan televisi secara berlebihan yaitu: 1. Berpengaruh terhadap perkembangan otak Terhadap perkembangan otak anak usia 0-3 tahun dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca - verbal maupun pemahaman. Menghambat kemampuan anak dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 5-10 tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan. 2. Mendorong anak menjadi konsumtif Anak-anak merupakan target pengiklan yang utama sehingga mendorong mereka menjadi konsumtif. 3. Berpengaruh terhadap Sikap Anak yang banyak menonton TV namun belum memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.
5
4. Mengurangi semangat belajar Bahasa televisi simpel, memikat, dan membuat ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas belajar. 5. Membentuk pola pikir sederhana Terlalu sering menonton TV dan tidak pernah membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas, kreativitas dan perkembangan kognitifnya. 6. Mengurangi konsentrasi Rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7 menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan, akan dapat membatasi daya konsentrasi anak. 7. Mengurangi kreativitas Dengan adanya TV, anak-anak jadi kurang bermain, mereka menjadi manusia-manusia yang individualistis dan sendiri. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka tinggal memencet remote control dan langsung menemukan hiburan. Sehingga waktu liburan, seperti akhir pekan atau libur sekolah, biasanya kebanyakan diisi dengan menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari aktivitas lain yang menyenangkan. Ini membuat anak tidak kreatif.
6
8. Meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan) Kita biasanya tidak berolahraga dengan cukup karena kita biasa menggunakan waktu senggang untuk menonton TV, padahal TV membentuk pola hidup yang tidak sehat. Penelitian membuktikan bahwa lebih banyak anak menonton TV, lebih banyak mereka mengemil di antara waktu makan, mengonsumsi makanan yang diiklankan di TV dan cenderung mempengaruhi orangtua mereka untuk membeli makananmakanan tersebut. Anak-anak yang tidak mematikan TV sehingga jadi kurang bergerak beresiko untuk tidak pernah bisa memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu, duduk berjam-jam di depan layar membuat tubuh tidak banyak bergerak dan menurunkan metabolisme, sehingga lemak bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya menimbulkan kegemukan. 9. Merenggangkan hubungan antar anggota keluarga Kebanyakan anak kita menonton TV lebih dari 4 jam sehari sehingga waktu untuk bercengkrama bersama keluarga biasanya „terpotong‟ atau terkalahkan dengan TV. 40% keluarga menonton TV sambil menyantap makan malam, yang seharusnya menjadi ajang ‟berbagi cerita‟ antar anggota keluarga. Sehingga bila ada waktu dengan keluarga pun, kita menghabiskannya dengan mendiskusikan apa yang kita tonton di TV. Rata-rata, TV dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih memprihatinkan adalah terkadang masing-masing anggota keluarga menonton acara yang berbeda di ruangan rumah yang berbeda.
7
10. Matang secara seksual lebih cepat Banyak sekali sekarang tontonan dengan adegan seksual ditayangkan padawaktu anak menonton TV sehingga anak mau tidak mau menyaksikan hal-hal yang tidak pantas baginya. Dengan gizi yang bagus dan rangsangan TV yang tidak pantas untuk usia anak, anak menjadi balig atau matang secara seksual lebih cepat dari seharusnya. Dan sayangnya, dengan rasa ingin tahu anak yang tinggi, mereka memiliki kecenderungan meniru dan mencobamelakukan apa yang mereka lihat. Akibatnya seperti yang sering kita lihat sekarang ini, anak menjadi pelaku dan sekaligus korban perilaku-perilaku seksual. Persaingan bisnis semakin ketat antar Media, sehingga mereka sering mengabaikan tanggung jawab sosial, moral &
etika
(http://www.smallcrab.com/anak-anak/661-pengaruh-buruk-
nonton-tv-pada-anak-anak diakses pada tanggal 9 Mei 2016 pukul 02.00 WIB). Paparan kekerasan televisi yang tinggi pada usia 9 tahun akan berpengaruh pada tingkat agresivitas di usia 9 tahun (10 tahun kemudian). Kekerasan dapat di artikan sebagai tindakan perilaku, baik yang terbuka atau tertutup, dan baik yang bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002:14). Menurut Galtung, ada beberapa bentuk dari kekerasan, dua diantaranya adalah: Kekerasan fisik dan kekerasan psikologis. Dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Bentuk kekerasan ini paling mudah dikenali. Katagori kekerasan ini adalah : menampar, menendang, memukul,
8
mendorong, menggigit, membenturkan, dan sebagainya. Bahkan dalam setiap episidenya sinetron anak ini selalu menampilkan kekerasan fisik seperti berkelahi yang sebenarnya bukan merupakan contoh yang baik untik anak-anak yang menontonnya dan dapat memberikan pengaruh yang buruk pada anak. Kekerasan berikutnya adalah tentang kekerasan psikologis, tekennan yang di maksudkan meredusir kemampuan otak atau mental. Bentuk kekerasan ini tidak mudah dikenali. Akibat yang dirasakan korban tidak memberikan bekasa yang nampak jelas bagi orang lain. Dampak kekerasan ini akan berpengaruh pada situasi perasaan tidak aman dan nyaman, menurunnya harga diri serta martabat korban. Wujud konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah penggunaan kata-kata kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan di depan orang lain, melontarkan kata-kata, dan sebagainya (Galtung dalam Santoso,2002:168). Studi kasus di kota pelajar Malang, terdapat kasus seorang siswa di SDN Malang meninggal dunia akibat dikroyok temannya sendiri. Siswa kelas 1 di sebuah SD yang berada di Makasar menjadi korban pengeroyokan hingga meninggal dunia. Mirisnya, ia dikeroyok oleh teman-temannya sendiri. Bocah kecil ini di kroyok oleh 3 orang temannya yang semuanya masih berumur 6 tahun. (http;//kompas.com di akses pada 15 maret 2016 pukul 03.15 WIB). Kekerasan secara tidak disadari telah merasuki cerita dalam film serial. Berdasarkan laporan yang diterima Komnas PA (Pelindungan Anak), menegaskan kasus kekerasan oleh anak pada tahun 2014 sejumlah 2.737 dan tahun 2015 mencapai 78.3 persen kasus kekerasan dengan pelaku anak dengan
9
rentang usia 6 sampai 14 tahun. Hingga saat ini banyak film serial anak yang ditayangkan di beberapa stasiun televisi dan memiliki peminat yang jumlahnya sangat banyak, terutama di kalangan anak-anak. Anak-anak mudah terpengaruh dengan adanya kekerasan yang di tayangkan di stasiun televisi, salah satunya film serial seperti Power Ranger dan Ultraman banyak digemari oleh anak-anak, hingga beberapa stasiun televisi menayangkannya pada pagi dan sore hari. Dari keenam TV di Indonesia (TVRI, RCTI, SCTV, TPI, ANTV dan INDOSIAR), RCTI paling banyak menayangkan antisosial, yaitu 54, 96 persen. Adegan adegan antisosial itu mencangkup perkelahian, berbagai jenis kekerasan, ganguan terhadap orang lain dan sadisme. Anak-anak khalayak terbesar menonton televisi, Usia mereka 2-12 tahun. Amerika Serikat, Inggris dan Australia, anak-anak menghabiskan waktunya menonton televisi, rata-rata 20 sampai 25 jam perminggu. Terdapat acara televisi yang masih hanya mementingkan rating acara kepentingan komersil semata dari acara hiburannya. Salah satunya adalah tayangan OVJ (Opera Van Java) di TRANS 7, Tom & Jerry, Naruto dan Sponge Bob program hiburan tersebut mengandung Undang-undang No.32 Tahun 2002, pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: Penyiaran di selenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri,
10
demokratis, adil dan sejahtra, serta menembuhkan industri penyiaran Indonesia. Sejatinya di indonesia telah ada badan yang bertugas untuk mengurus dan mengawasi jalannya penyiaran. Badan tersebut adalah KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Pendirian KPI didasarkan pada pasal 16 point (4) Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Adapun tugas KPI antara lain, pertama membuat standar program siaran. Kedua menyusun aturan dan membuat pedoman prilaku penyiaran. Ketiga, mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman prilaku penyiaran serta standar program penyiaran. Keempat memberi hukuman bila ada kesalahan terhadap aturan program siaran. Kelima melakukan koordinasi dan kerjasama dengan perintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Namun dalam perjalanan KPI belum dapat maksimal dala menjalankan tugasnya. Hal ini terutama bisa dilihat dari penegasan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (PPPSPS) khususnya pada stasiun televisi swasta (Sukmono dan Junaedi,2013:4143). Salah satu film yang mengundang tingkat kekerasan adalah di RCTI yaitu Film Serial Bima X yang diperankan oleh Chistian Loho sebagai Bima X berpengaruh terhadap anak-anak di Indonesia. Menurut survey lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kembali melayangkan surat peringatan pada salah satu sinetron Indonesia. Kali ini, giliran "Satria Garuda Bima X" yang mendapat teguran lantaran salah satu adegan yang ditampilkannya.
11
Dalam surat bernomor 449/K/KPI/04/15, KPI mengungkap bahwa mereka menemukan pelanggaran pada "Satria Garuda Bima X". Tayangan yang dimaksud adalah "Satria Garuda Bima X" pada 12 April 2015 pukul 08:23 WIB. Episode tersebut sempat menayangkan kekerasan eksplisit lewat adegan seorang pria yang membengkokkan besi dengan kepala, memukul dan menendang. Tak hanya itu, ada pula adegan seseorang yang memecahkan batu dengan tangan dan kepala. Menurut penelitian terdahulu bahwa terdapat data mengenai kasus perilaku kekerasan anak akibat tontonan film Bima X yaitu memukul lawannya dan menendang di episode 17 pada menit 1.03, di menit itu Bima
X
bertarung
dengan
monster
Topeng
Besi
(http:/www.
Kpi.go.id/teguran-tertulis-program-bima-satria-garuda-bima-x-rcti di akses 20 maret 2016, jam 21.10 WIB). Bima X adalah film produksi 2014 sebuah serial tokosatsu dan serial komik Indonesia yang merupakan hasil kerja sama MNC media yang mengangkat kisah Kesatria berawal Paralel yang dikuasai Kerajaan VUDO dan berada di ambang kehancuran. Ray Bramasakti mendapatkan poworstone Merah dari seorang pemuda misterius bernama Mikhail untuk menghentikan segala upaya Rasputin dan Kerajaan VUDO untuk mengambil alih bumi. Dengan mendapakan Powerstone Merah, Ray mendapatkan kekuatan untuk berubah wujud menjadi “Bima:, sang Satria Garuda. Randy Iskandar dan adiknya, Rena yang adalah keluarga angkat Ray pun ikut tersesat dalam setiap aksi Bima melawan kegiatan jahat Rasputin dan Kerajaan VUDO.
12
Kisah kepahlawanan seperti Bima X pun tidak luput dari muatan kekerasan, terdapat pada adegan adegan film seperti pada saat Bima X memukul dan menendang lawannya. Anak yang melihat tayangan itu menjadi lebih mudah terinveksi virus kekerasan sehingga anak-anak bukan hanya menjadi korban kekerasan, namun juga bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lain. Meski demikian banyak anak yang menyukai film tersebut. Kasus kekerasan terhadap anak (child abuse) juga terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah Kota Palangkaraya dimana tingkat kekerasannya dari tahun ke tahun semakin meningkat secara kuatitas. Berdasarkan laporan yang masuk ke Polda Kalteng (Kalimantan Tengah) kota Palangka Raya melalui komisi perlindungan anak (KPA) bahwa data kekerasan pelaku anak sebanyak 48
anak
yang
melakukan
kekerasan
terhadap
anak
lainnya
(http://kalteng.com/berita-pelindungan-anak di akses 17 maret 2016, jam 20.30 WIB). Kepala sekolah SDN 4 MENTENG PALANGKARAYA mengungkapkan “Ada 46 macam karakter siswa-siswinya di sekolah SDN 4 Menteng ini yang berbeda-beda, seperti marah, sedih, pemalu, penyayang dan salah satunya anak yang berprilaku agresif yang sering memukul temannya tanpa sebab”. Sebagian besar karakter anak di SDN tersebut, mengatakan bahwa mereka menyukai dan kagum sosok Superhero Indonesia yaitu Bima X. Mereka juga hafal cara Bima X berubah untuk melawan para musuhnya.
13
Anak-anak di SDN 4 Menteng Palangkaraya mencontoh bagaimana seorang Bima X memukul dan menendang para musuh-musuhnya Mereka mengungkapkan bahwa tayangan Bima X di RCTI, adalah positif. Mereka suka dengan tayangan tersebut karena mengandung unsur kepahlawanan, anak-anak suka dengan kostum yang dikenakan Bima X yang begitu keren saat digunakan dan cara Bima X berubah untuk membasmi para monsternya. Tapi tetap saja anak-anak sangat memuja dan membanggakan sosok Bima X. (Wawancara dengan siswa SDN 4 menteng Palangkaraya 16 Maret, 2016). Sekolah Dasar Negri 4 Menteng Palangkaraya merupakan sekolah dengan nilai kelulusan terbaik se-Kota Palangkaraya dan menyandang SDN paling favorit di kota Cantik Palangkaraya. Sementara banyak anak yang bertingkah laku
agresif
karena
meniru
tokoh
di
film
Bima
X
di
RCTI
(http://www.borneonews.co.id di akses 3 mei 2016, jam 23.40 WIB). Terkait hal tersebut, maka peneliti ingin mengkaji persepsi siswa SDN 4 Menteng Palangkaraya terhadap tontotan film serial yaitu Bima X yang berdampak pada perilaku kekerasan anak-anak di SDN 4 Menteng Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
14
B. Rumusan Masalah Bardasarkan latar berlakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimana persepsi siswa SDN 4 Menteng Palangka Raya terhadap film Bima X? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan munculnya persepsi siswa SDN 4 Menteng Palangka Raya?
C. Tujuan Penelitian Terkait dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan:
Untuk
mendeskripsikan
persepsi
siswa
SDN
4
Menteng
Palangkaraya terhadap Film Bima X di RCTI. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Diharapkan dapat dijadikan sarana untuk menambah interensi data kajian persepsi terhadap tayangan TV dan pengetahuan oleh siswa SDN sekolah dasar. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan informasi kepada orang tua tentang pengaruh dari tayangan Film Bima X di RCTI, sebagai langkah untuk memantau perkembangan perilaku siswa SDN 4 Menteng Palangkaraya.
15
b. Memberikan masukan kepada siswa-siswi SDN 4 Menteng Palangkaraya untuk dapat menfilter nilai-nilai negatif dari Film Bima X di RCTI. c. Manfaat penelitian bagi sekolah yaitu sebagai salah satu landasan dalam bertindak secara preventif terhadap pola perilaku siswa-siswi dari pengaruh Film Bima X di RCTI sehingga dapat meningkatkan kerja sama antara sekolah dan orang tua terkait penelitian yang diselenggarakan. E. Kerangka Teori 1. Persepsi Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan intregated dari individu terhadap stimulus yang diterimannya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi. Mrian Follows (dalam Mulyana 2007:186) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang memungkinkan suatu organisme menerima dan menganalisis informasi. Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa,
atau
hubungan-hubungan
yang
diperoleh
dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari 16
persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi indrawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori (Rahmat,2009: 51). Persepsi
merupakan suatu
proses
yang didahului
oleh
pengindraan, yaitu stimulus yang diterima oleh individu melalui alat reseptor yaitu indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Persepsi
merupakan
suatu
proses
pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain (Bimo Walagito, 2002:70). 2. Hubungan persepsi dengan komunikasi Manusia memahami kata-kata, suara, maupun gambar yang mereka tangkap sebagai pesan komunikasi melalui persepsi. Dengan demikian sebuah persepsi adalah inti dari persepsi. Hal ini identik dengan penyandian balik (decording) dalam proses komunikasi
17
(Mulyana, dalam Suciati, 2002). Dalam dinamika kehidupan manusia yang sedang berlangsung, mengambil keputusan dilakukan dalam lingkungan penggunaan informasi. Ruben dan Stewart (2006) membedakan empat jenis lingkungan penggunaan informasi : a. Geografis: merupakan batas-batas fisik/geografis, misalnya sebuah ruang, bangunan, lingkungan, kota Negara bagian, wilayah atau Negara. b. Interpersonal: merupakan kehadiran individu lain dalam situasi tatap muka. Misalnya ucapan ritual, satu lift dengan orang lain, wawancara,dan percakepan. c. Kelompok atau organisasi: merupakan keberadaan individu dalam satu kelompok atau unit organisasi yang dibentuk untuk tujuan tertentu misalnya kelompok persaudaraan atau perkumpulan mahasiswa, organisasi keagammaan, lembaga publik, organisasi massa. d. Budaya atau sosial: merupakan kehadiran individu yang mungkin tidak diketahui secara pribadi satu sama lain, tetapi dihubungkan oleh afiliasi umum budaya, etnis, atau kebangsaan, misalnya Afrika, Amerika, Kanada. Dalam setiap lingkungan tersebut, penggunaan pesan yang ditafsirkan untuk beragam tujuan. Tujuan-tujuan tersebut akan menentukan jenis pencapaian akhir yang diinginkan dari sebuah proses yang dilakukan. Adapun tujuan yang dimaksud antara lain:
18
a.
Deskripsi, yaitu penentuan hakikat, karakteristik, atau tampilan sebuah objek, situasi atau orang. Hasil deskripsi akan digunakan untuk fungsi komunikasi yang paling dasar seperti berpasangan.
b. Klasifikasi, yaitu membandingkan pengamatan baru dengan simpanan
informasi
dengan
pengalaman
yang
terbentuk
sebelumnya. Hasil perbandingan digunakan untuk melihat posisi yang pantas bagi seseorang, objek atau peristiwa. c. Evaluasi, yaitu mengidenfikasi tentang kemungkinan hubungan antara diri kita dengan benda-benda, situasi dan orang lain di lingkungan kita untuk mengambil keputusan apa aksi atau reaksi yang diperlukan. d. Melakukan tindakan verbal dan non verbal tertentu berdasarkan hasil deskripsi, klasifikasi, dan evaluasi. Inilah yang disebut dengan umpan balik dari sebuah proses komunikasi (Suciati, 2015: 83-84).
3. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi manusia antara lain : (Mulyana, 2004: 108-184). a. Faktor internal yang mempengaruhi persepsi, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam individu, yang mencangkup beberapa hal: Fisiologis. 1) Informasi informasi melengkapi
masuk
melalui
alat
indera,
selanjutnya
yang diperoleh ini akan mempengaruhi dan usaha
untuk
19
memberikan
arti
terhadap
lingkungan sekitarnya. Kapasitas indera untuk mempersepsi
2)
pada tiap
orang yang berbeda-beda sehingga interprestasi
terhadap
lingkungan
Perhatian.
Individu
juga dapat berbeda. memerlukan
sebuah
energi
yang
dikeluarkan untuk memperhatikan atau memfokuskan pada bentuk fisik dan fasilitas mental yang ada pada satu objek. Energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek. 3) Minat Persepsi terhadap suatu obyek bervariasi tergantung pada seberapa banyak energi atau perceptual vigilance merupakan kecenderungan seorang untuk memperhatikan tipe tertentu dari stimulus atau dapat dikatakan sebagai minat. 4) Kebutuhan yang searah. Faktor ini dapat dilihat dari bagaimana kuatnya seseorang individu mencari obyek-obyek atau pesan yang dapat memberikan jawaban sesuai dengan dirinya. 5) Pengalaman dari ingatan. Pengalaman dapat dikatakan tergantung pada ingatan dalam arti sejauh mana seseorang dapat
mengingat
kejadian-kejadian
lampau
untuk
mengetahui suatu rangsangan dalam pengertian luas. 6) Suasana hati. Keadaan emosi mempengaruhi prilaku seseorang, mood ini menunjukan bagaimana perasaan
20
seseorang pada waktu yang dapat mempengaruhi bagaimana seseorang dapat menerima, bereaksi dan mengingat.
2. Faktor Eksternal yang mempengaruhi persepsi, merupakan karakteristik dari lingkungan dan obyek-obyek yang terlibat didalamnya. Elemen-elemen tersebut dapat mengubah sudut pandang seseorang terhadap dunia sekitarnyadan mempengaruhi bagaimana
seseorang
merasakannya
atau
menerimanya.
Sementara itu faktor-faktor ekternal yang mempengaruhi persepsi adalah: a) Ukuran dan penempatan dari obyek atau stimulus. Faktor ini menyatakan bahwa semakin besar hubungan suatu obyek, maka
semakin
mudah
dipahami.
Bentuk
ini
akan
mempengaruhi persepsi individu dan dengan melihat bentuk ukuran suatu obyek invidu akan mudah untuk perhatian pada gilirannya membentuk persepsi. b) Warna dari objek-objek. Objek yang mempunyai cahaya lebih banyak, akan lebih mudah dipahami (to be perceived) dibandingkan dengan yang sedikit. c) Keunikan dan kekontrasan stimulus. Stimulus luar yang penampilannya dengan latar belakang dan sekelilingnya yang sama sekali di luar sangkaan yang lain akan banyak menarik perhatian.
21
d) Intensitas dan kekuatan dari stimulus. Stimulus dari luar akan memberi makna lebih bila sering diperhatikan diperbandingkan dengan hanya sekali dilihat. Kekuatan dari stimulus merupakan daya dari suatu obyek yang bisa mempengaruhi persepsi. e) Motion atau gerakan. Individu akan banyak memberikan perhatian terhadap obyek yang memberikan gerakan dalam jangkauan pandangan dibandingkan obyek yang diam. 3. Proses Persepsian Ada dua bentuk pemrosesan dalam sebuah persepsi yaitu pemrosesan top-down dan bottom-up. Kita dapat menyimak potongan huruf-huruf ini: da-at-ah-nd-ba-ak-li-at-ni-an-se-hu-ufet-ga-ya-ih-ia-gk-n? Mungkin sekali anda tidak memerlukan waktu yang lama untuk menebak rangkaian kalimat di atas. Dapatkah
anda
membaca
lima
setiap
huruf
ketigaanya
dihilangkan? Begitu kira-kira bunyi kalimatnya bukan. Jika persepsi terutama didasarkan pada pemecahan stimulus ke dalam elemen-elemen dasarnya, maka memahami kalimat di atas, atau memahami stimulus lain yang ambigu tidak akan mungkin. Pemrosesan
top-down
diatur
oleh
pengetahuan,
pengalaman, dan motivasi pada tingkat nyang lebih tinggi. Anda dapat menemukan arti dari kalimat yang tidak lengkap di atas
22
karena pengalaman membaca yang sebelumnya sudah anda miliki dan memang bahasa Indonesia tertulis mengandung ke tidak lengkapan. Tidak setiap huruf dalam masing-masing kata perlu ditulis agar kita dapat mengodekan arti dari pada kata tersebut. Terlebih lagi, mungkin anda juga berharap bisa membaca kalimat tersebut. Pemrosesan top-down digambarkan oleh konteks yang penting dalam menentukan bagaimana kita mempersepsi objek. Konteks dalam hal ini berhubungan dengan harapan. Misalnya saja ketika orang melihat barisan huruf A sampai F, di bawahnya dipasangkan barisan angka 10-14. Apa yang kira-kira anda persepsikan? Kebanyakan dari kita akan memaknai bahwa keduanya adalah barisan anka dan huruf yang jumlahnya 4. Namun bila kita lebih hati-hati lagi ternyata anda akan melihat bahwa huruf B mirip dengan angka 13. Persepsi ini dipengaruhi oleh harapan bahwa kedua barisan huruf dan bilangan adalah sekuen. Meskipun demikian sebuah proses top-down tidak muncul begitu saja tetapi tanpa bantuan dari pemrosesan bottom-up. Pemrosesan bottom-up terdiri dari kemajuan dalam mengenali dan memproses informasi dari komponen-komponen individual dari suatu stimulus dan beralih menjadi persepsi terhadap keseluruhan. Kita tidak akan dapat mencapai kemajuan dalam
23
mengenali dan memperoses informasi dari komponen-komponen dari indiviual dari suatu stimulus dan beralih menjadi persepsi terhadap keseluruhan. Kita tidak akan dapat mencapai kemajuan dalam pengenalan kita terhadap huruf dan angka sebagaimana dicontohkan di atas tanpa mampu memersepsi bentuk-bentuk individual dari huruf-huruf tersebut. Beberapa persepsi dengan demikian terjadi pada tingkat pola dan ciri dari masing-masing huruf yang terpisah. Pemrosesan top-down dan bottom-up terjadi secara simultan dan saling berintraksi dalam persepsi terhadap dunia atau sekeliling kita. Pemrosesan bottom-up membuat kita mampu untuk memperoses karakteristik fundamental dari stimulus, sementara proses top down menjadikan kita dapat membawa pengalaman kita untuk melakukan persepsi. Ketika kita belajar lebih tentang proses kompleks yang terlibat dalam persepsi. Ketika kita belajar lebih tentang proses kompleks yang terlibat dalam persepsi ini, kita mengembangkan sebuah pengembangan yang lebih baik tentang bagaimana otak secara berkelajutan menginterpretasikan informasi dari indera dan membuat kita dapat memberikan respon yang tepat kepada lingkungan (Suciati, 2015: 97-98).
24
Persepsi
adalah
proses
menerima,
menyelaksi,
mengorganisasir, mengartikan dan memberikan reaksi kepada rangsangan panca indra dan data”, tercangkup beberapa segi atau proses yang selanjutnya dijelaskan sebagai berikut: a. Proses menerima rangsangan Proses pertama dalam persepsi adalah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber. Kebanyakan data diterima melalui panca indera. Kita melihat sesuatu, mendengar, mencium, merasakan, atau
menyentuhnya sehingga kita
mempelajari segi-segi lain dari sesuatu itu. b. Proses menyeleksi rangsangan Setelah rangsangan semua diterima atau data diseleksi. Tindakan mungkin untuk memperhatikan semua rangsangan yang telah diterima. Demi menghemat perhatian yang digunakan,
rangsangan-rangsangan itu disaring dan
diseleksi untuk proses yang lebih lanjut. c. Proses pengorganisasian Rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk. Ada tiga dimensi utama dalam pengorganisaian
rangsangan,
yakni
pengelompokkan
(berbagi rangsangan yang diterima dikelompokkan dalam suatu bentuk), bentuk timbul dan daftar (dalam melihat rangsangan
atau
gejala,
25
ada
kecenderungan
untuk
memusatkan perhatian pada gejala-gejala tertentu yang timbul menonjol, sedangkan gejala atau rangsangan yang lain berada di latar belakang), kemantapan persepsi (ada suatu kecendrungan untuk menstabilkan persepsi, dan perubahan-perubahan konteks tidak mempengaruhinya). d. Proses penafsiran Setelah rangsangan atau data diterima dan diatur, si penerima lalu menafsirkan data itu dengan berbagai cara. Dikatakan bahwa telah terjadi persepsi setelah data itu ditafsirkan. Persepsi pada dasarnya memberikan arti pada berbagai data dan informasi yang diterima. 5. Proses pengecekan Setelah data diterima dan ditafsirkan, si penerima mengambil tindakan untuk mengecek apakah penafsirannya benar atau salah. Proses ini terlalu cepat dan orang mungkin tidak menyadarinya. 6. Proses reaksi Tahap terakhir dari proses perseptual adalah tindakan sehubungan dengan apa yang telah diserap. Hal ini biasanya dilakukan jika seseorang bertindak sehubungan dengan persepsinya. Persepsi yang sebenarnya terjadi didalam benak masing-masing individu yang mempersepsi, bukan didalam objek yang akan dipersepsi. Maka apa yang mudah
26
bagi kita boleh jadi mudah bagi orang lain, begitu pula sebaliknya, apa yang terlihat jelas bagi orang mungkin akan terasa membingungkan bagi kita (Djuasa, 1994: 54-55).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif yaitu artinya, data dan fakta yang dihimpun berbentuk kata atau gambar dari pada angka-angka. Metode deskriptif berarti suatu metode untuk menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu kejadian terjadi (Satori dan Komariah,2009:28). 2. Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah persepsi siswa SDN 4 Menteng Palangkaraya terhadap film Bima X di RCTI.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam upaya penulis dalam pengambilan data yang relevan dengan obyek penelitian, maka penulis menggunakan beberapa metode agar memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sekaligus mempermudah penelitian tersebut. Adapun metodemetode tersebut adalah :
27
a) Wawancara Salah satu teknik pengumpulan data yang digunakan ialah dengan wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden atau narasumber guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian sedangkan metode wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah berupa wawancara secara langsung dan tak berstruktur (bebas) guna mendapatkan jawaban dari responden secara spontan, dengan demikian peneliti/pewawancara dapat memperoleh gambaran yang lebih luas tentang masalah yang ingin diteliti karena setiap responden bebas meninjau berbagai aspek menurut pendiri atau pikiran masing-masing, dengan demikian dapat memperkaya pendangan peneliti (Nasution, 2001: 119).
b. Studi Dokumentasi Selain sumber manusia (human resources) melalui observasi
dan
wawancara
sumber
lainnya
sebagai
pendukung yaitu dokumen-dokumen tertulis yang resmi ataupun tidak resmi. Dokumentasi dalam penelitian menggunakan beberapa video yang ditayangkan oleh Film Bima X, dalam durasi
kurang
lebih
28
satu
jam.
Dengan
teknik
dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari orang sebagai
narasumber, tetapi mereka
yang
memperoleh informasi dari macam-macam sumber tertulis atau dari dokumen yang ada pada informasi dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni dan pikir. Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan pelengkap dari penggunaan metode wawancara, yang diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelah secara intens sehingga dapat
mendukung
dan
menambah
kepercayaan
dan
pembuktian suatu kejadian. Hasil wawancara akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung dokumen yang terkait dengan fokus penelitian (Komariah dan Satori, 2009: 148-149).
Dalam
data
penelitian
ini
penulis
akan
menjabarkan antara lain video, foto-foto, dokumen tertulis yang terkait.
4. Informan Penelitian Pengambilan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposif sampling (sampel bertujuan). Purposif sampling adalah cara pengambilan informan dengan pertimbangan tertentu (Moloeng, 2007). Informan peneliti ini adalah orang-orang yang memenuhi kriteria sebagai informan untuk dijadikan sumber informasi. Adapun
29
kriteria
yang
mempengaruhi
merupakan cerita
syarat
Film
sebagai
Bima
X.
informan adalah
yang
sebagai
berikut: 1) Siswa SDN 4 Menteng Palangka Raya 2) Siswa SD Usia 8-10 Tahun 3) Pernah menyaksikan film Bima X setiap minggu 4) Memiliki DVD minimal 10 episode 5) Mengoleksi mainan Bima X
5. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca. Data kualitatif yang berupa kata-kata, kalimat-kalimat atau narasi-narasi, baik yang di peroleh dari wawancara mendalam maupun observasi. Di dalam melakukan analisis data kualitatif, ada langkahlangkah yang dilakukan (Miles dan Huberman, 1992: 19-20) diantaranya: a) Pengumpulan data Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan cara wawancara, pengamatan, observasi langsung dan pengumpulan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian.
30
b) Reduksi Reduksi data merupakan proses seleksi, memfokuskan, menyederhanaan data. Data yang menurut penelitian tidak penting maka akan dibuang. Proses ini berlangsung sepanjang pelaksanaan penelitian berlangsung. Bahkan dalam
proses
ini
diawali
sebelum
pelaksanaan
pengumpulan data. Dengan kata lain reduksi data sudah berlangsung sejak penelitian mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual. c) Penyajian Data Penyajian
data
merupakan
upaya
penyusunan,
pengumpilan informasi kedalam suatu konfgurasi yang mudah dipahami. Penyajian data yang sederhana dan mudah dipahami adalah cara utama untuk menganalisis data deskriptif kualitatif yang valid. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab setiap permasalahan yang ada. Sajian data ini merupakan narasi yang disusun dengan pertimbangan permasalahan dengan menggunakan logika penelitian. Semuanya dirangkai agar mendapatkan informasi secara teratur.
31
d) Penarikan Kesimpulan Berawal dari pengumpulan data, penelitian mulai mencari makan dari data yang telah terkumpul. Kemudian menyusun pola-pola hubungan tertentu kedalam satu kesatuan informasi yang mudah dipahami dan ditafsirkan. Data yang terkumpul kemudian disusun dan dikatagorikan sesuai
dengan
masalah-masalahnya.
Data
tersebut
dihubungkan dan dibandingkan antara satu sama lain sehingga mudah ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.
Untuk lebih jelasnya model tersebut dapat dilihat pada gambar sebagai berikut: Gambar 1. Model Analisis Interaktif
(Miles dan Huberman, 1992).
32
6. Uji Validitas Data Validitas diartikan sebagai kesesuaian antara alat ukur dengan sesuatu yang hendak diukur, sehingga hasil ukur yang didapat akan mewakili dimensi ukuran yang sebenarnya dan dapat dipertannggung jawabankan (Hediansyah, 2010: 190).
Pada penelitian ini penulis menggunakan uji validilias data dengan teknik triangulasi. Triangulasi dalam pengujian validitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono,2012: 329-330) :
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya pribadi 3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang
situasi
penelitian
dengan
apa
yang
dikatakannya sepanjang waktu 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang
33
5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan
Berdasarkan lima sumber data yang di diatas penulis akan menggambil dua cara antara lain : 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara 2) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan 7. Sistematika Penulisan a) Bab I. Pendahuluan : Berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Tujian Masalah, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori dan Metode Penelitian. b) Bab II. Obyek Penelitian : Berisikan tentang gambaran umum penelitian serta rujuakan tinjauan pustaka/penelitian terdahulu. c) Bab III. Pembahasan : Berisikan pemaparan hasil penelitian dan
analisis
mengenai
persepsi
siswa
SDN
4
Menteng
Palangkaraya terhadap film Bima X di RCTI. d) Bab IV, Penutup: Berisikan tentang akhir dari penelitian yang membahas tentang kesimpulan dan saran.
34