1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tenaga kerja merupakan input penting dalam kegiatan industri, terutama pada industri konvensional yang belum menerapkan otomasi mesin. Tenaga kerja menjadi faktor penting karena berpengaruh pada kualitas dan kuantitas output yang dihasilkan. Faktor yang mempengaruhi tenaga kerja antara lain, lingkungan kerja, metode, postur, sarana dan bahan baku yang ditangani. Beberapa faktor tersebut harus diperhatikan supaya pekerja mampu meningkatkan produktivitas. Metode kerja yang efektif dan efisien sangat dibutuhkan selama bekerja. Gerakan yang tidak efektif dan efisien dihilangkan supaya menghemat waktu pengerjaan dan tenaga yang dikeluarkan. Hal tersebut bisa didukung dengan pengadaan sarana kerja yang mendukung dan evaluasi pada metode kerja sebelumnya. Postur kerja adalah bentuk tubuh pekerja ketika bekerja. Salah satu manfaat terciptanya postur kerja yang baik adalah meningkatnya produktivitas. Postur kerja yang baik, yaitu nyaman dan terhindar dari resiko kesakitan. Keluhan kesakitan yang dirasakan terus-menerus akan menurunkan produktivitas dan berdampak buruk pada tubuh pekerja dalam jangka waktu lama. Penerapan sikap ergonomis, metode kerja efisien dan pengadaan sarana pendukung kerja selama ini belum banyak ditemukan di industri kecil. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan pemilik usaha atau industri akan
2
pentingnya penerapan sikap ergonomis. Penerapan sikap ergonomis mampu menciptakan kondisi kerja yang nyaman dan meningkatkan produktivitas. PT Setya Putra Perkasa adalah perusahaan yang memproduksi makanan ringan keripik pisang rasa dengan nama dagang Banana Queen. Tidak semua proses pada industri ini dikerjakan dengan mesin, masih ada yang dilakukan secara konvensional, sebagai contoh adalah pekerjaan pemotongan pisang (Gambar 1.1).
Gambar 1.1. Kondisi Kerja Pemotongan Pisang Proses produksi dengan mesin terbatas pada penggorengan dengan bantuan mesin vacuum frying dan penirisan mengunakan mesin spinner. Sedangkan proses pengupasan, pemotongan, penyortiran, pembumbuan dan pengemasan pisang masih manual. Penggunaan sarana kerja dimaksudkan untuk membantu keterbatasan manusia ketika bekerja, sehingga optimal dalam bekerja, dihasilkan mutu yang baik, sedikit kesalahan, beban kerja lebih ringan dan meminimalisasi munculnya resiko. Pada PT Setya Putra Perkasa pekerja yang bekerja secara konvensional duduk di lantai tanpa meja dan kursi dalam jangka waktu yang lama, yaitu 8 jam/hari. Kondisi kerja dan waktu kerja yang demikian berpotensi menimbulkan
3
resiko kesakitan kerja dalam jangka waktu lama. Pekerja pengupasan dan pemotongan pisang berpotensi lebih besar mengalami kesakitan kerja dibanding dengan pekerja lainnya. Hal tersebut dikarenakan fokus kerja yang lebih teliti, gerakan kerja yang cepat dibanding pekerja lainnya. Punggung membungkuk dalam kurun waktu lama, terdapat tekukan tajam di kaki dan kondisi kaki yang statis membuat pekerja pengupasan dan pemotongan pisang mudah mengalami cedera otot atau sering disebut musculoskeletal disorders. Menurut Corlett (1991), musculoskeletal disorders adalah gangguan pada otot dan persendian yang disebabkan oleh aktivitas kerja yang kurang baik. Munculnya resiko kesakitan kerja berpengaruh pada kenyamanan kerja yang mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas. Pekerja yang mengalami kesakitan pada bagian tubuhnya cenderung kurang optimal saat bekerja menggunakan bagian tubuh tersebut. Misalnya, jika terjadi nyeri pada siku tangan maka aktivitas kerja akan menurun produktivitasnya dibanding dengan siku tangan yang tidak sakit. Maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui bagian tubuh yang sakit, tingkat kesakitan, penyebab rasa sakit, hingga ditemukan solusi supaya terhindar dari resiko kesakitan kerja.
B. Perumusan Masalah Observasi awal menunjukan terdapat sikap kerja yang kurang ergonomis pada pekerja bagian pengupasan dan pemotongan pisang. Pekerja duduk di lantai tanpa menggunakan sarana pendukung meja dan kursi, punggung pekerja membungkuk dalam kurun waktu yang lama, terdapat tekukan tajam di kaki dan
4
tidak memungkinkannya gerakan kaki yang dinamis selama bekerja. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan rendahnya tingkat produktivitas kerja karena postur kerja yang tidak ergonomis. Maka, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana mengkondisikan pekerja supaya lebih nyaman saat bekerja, punggung tidak membungkuk, kaki dapat bergerak leluasa dan produktivitas meningkat.
C. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) dilakukan dengan pengisian kuisioner Nordic Body Map Questionnaire terhadap pekerja. 2. Analisis postur kerja dilakukan dengan menggunakan metode Ovako Working Posture Analysis System (OWAS).
D. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah merancang dan mengaplikasikan fasilitas kerja baru yang lebih ergonomis untuk pekerja pengupasan dan pemotongan pisang.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini ditinjau dari segi ilmu pengetahuan adalah mengurangi terjadinya resiko keluhan musculoskeletal disorders (MSDs) pada pekerja.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keripik Pisang Rasa Pisang adalah tanaman buah herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (Gambar 2.1). Buah pisang tersusun dalam tandan dengan kelompok menjari, yang disebut sisir (Suyanti, 1990).
Gambar 2.1. Buah Pisang Uter Dalam sistematika taksonomi tumbuhan, kedudukan tanaman pisang diklasifikasikan sebagai berikut (Suyanti, 1990): Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Musales
Keluarga
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa paradisiaca.
6
Pisang mengandung 68% air, 25% gula, 2% protein, 1% lemak dan 1% selulosa. Pisang mengandung pati, asam tanin, vitamin A (300 IU/100 gram), vitamin B (100 mg/100 gram) dan sedikit vitamin D. Pisang mengandung kalsium (100 mg/100 gram), fosfor, besi, sodium, kalium (potassium), magnesium dan seng (Stover dan Simmonads, 1993). Selain bisa dikonsumsi langsung, pisang bisa diolah menjadi makanan ringan, seperti sale pisang, pisang goring, keripik pisang, bahkan dijadikan bahan olahan susu. Keripik pisang dibuat dengan menggoreng pisang yang sudah diiris tipis menggunakan mesin vaccum frying dengan tekanan udara dan panas api yang diperhitungkan (Edy, 1998).
B. Pengertian Ergonomi Ergonomi berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan nomos (hukum alam) sehingga dapat didefinisikan sebagai studi aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerja yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, industri, manajemen dan desain. Ergonomi adalah ilmu yang diterapkan untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya dengan tujuan tercapainya produktivitas dan efisiensi yang setinggi-tingginya melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimalnya (Orbone, 1982). Prinsip ergonomi antara lain (Nurmianto, 2003): 1. Sikap tubuh dalam pekerjaan dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan penempatan mesin, alat serta petunjuk cara-cara menggunakan mesin.
7
2. Bekerja dengan berdiri dirubah menjadi duduk. Bila tidak mungkin, kepada operator diberi kesempatan dan tempat untuk duduk. 3. Ruang gerak lengan ditentukan oleh punggung lengan dan lengan bawah. Pegangan harus diletakan pada daerah tertentu, lebih-lebih bila sikap tubuh tidak berubah 4. Gerakan yang kontinyu lebih diutamakan sedangkan yang sekonyong-konyong lalu berhenti dengan paksa dan melelahkan serta gerakan ke atas harus dihindarkan. 5. Pembebanan sebaiknya dipilih yang optimum, yaitu beban yang dikerjakan dengan pengerahan tenaga yang efisien. Beban hendaknya
menekan
langsung
kepada
pinggul
yang
mendukungnya. 6. Waktu istirahat didasarkan pada keperluan atas dasar pertimbangan ergonomi, yaitu apabila pekerjaan dilakukan selama 8 jam kerja maka 1 jam digunakan untuk istirahat. Harus dihindari istirahat yang sekehendaknya operator, istirahat oleh turunnya kapasitas tubuh dan istirahat curian.
C. Postur dan Pergerakan Kerja Postur seseorang dalam bekerja adalah hubungan antara dimensi tubuh seseorang dengan dimensi berbagai benda yang dihadapinya dalam pekerjaan. Postur tubuh kerja diartikan sebagai posisi tubuh pekerja pada saat melakukan
8
aktivitas kerja yang biasanya terkait dengan desain area kerja dan task requirements (Pulat, 1991). Menurut Suwarno (2005), postur terdiri dari dua jenis, yaitu: 1. Postur statis Postur statis merupakan postur tetap atau sama hampir di sepanjang waktu. Pada postur statis hampir tidak terjadi pergerakan otot dan sendi, sehingga beban yang ada adalah beban statis. Permasalahan dalam pekerjaan statis adalah postur yang sama dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan stress/tekanan pada bagian tubuh tertentu. 2. Postur dinamis Postur dinamis adalah postur yang terjadi dengan adanya perubahan panjang dan peregangan otot serta adanya perpindahan beban. Postur yang paling nyaman bagi tubuh adalah posisi netral dengan pergerakan. Postur seseorang dalam bekerja merupakan hubungan antara dimensi tubuh seseorang dengan dimensi berbagai benda yang dihadapinya dalam pekerjaan. Menurut Tirtayasa (2003), postur kerja dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: 1. Karakteristik antropometri,
pekerja
atau
berat
badan,
personal
factor,
pergerakan
seperti
sendi,
umur,
gangguan
musculoskeletal disorder sebelumnya, operasi yang pernah dialami sebelumnya, pengelihatan, jangkauan tangan dan obesitas.
9
2. Task requirements, seperti kebutuhan visual, kebutuhan untuk pekerjaan manual (posisi, force/gaya), pergantian shift, waktu istirahat, pekerjaan statis atau dinamis. 3. Workspace design, dimensi tempat duduk, dimensi permukaan kerja, desain tempat duduk, dimensi ruang kerja, privasim tingkat dan kualitas pencahayaan.
D. Ekonomi Gerakan Ekonomi gerakan adalah suatu studi analisis gerakan yang dilakukan oleh pekerja dalam menyelesaikan pekerjaannya. Diharapkan agar gerakan-gerakan yang tidak efektif dapat dikurangi atau dihilangkan saja sehingga akan diperoleh penghematan dalam waktu kerja yang dapat pula menghemat pemakaian fasilitasfasilitas yang tersedia untuk pekerjaan tersebut (Madyana, 1996). Menurut Barnes (1980), prinsip ekonomi gerakan antara lain: 1. Berhubungan dengan tubuh manusia dan gerakan a. Kedua tangan sebaiknya tidak menganggur saat yang sama kecuali waktu istirahat b. Kedua tangan sebaiknya bergerak simetris dan berlawanan arah antara satu terhadap lainnya c. Gerakan
badan
harus
dihemat,
yaitu
dengan
hanya
menggerakan anggota badan yang perlu saja d. Memanfaatkan momentum pada saat bekerja untuk mengurangi kerja otot
10
e. Gerakan balistik akan lebih menyenangkan, cepat, dan lebih teliti daripada gerakan yang dikendalikan f. Gerakan yang patah-patah dan perubahan arah yang banyak akan memperlambat gerakan g. Pekerjaan yang dirancang semuda-mudahnya sesuai dengan irama kerja yang alamiah pada pekerja h. Gerakan mata diusahakan sesedikit mungkin. 2. Berhubungan dengan pengaturan tata letak tempat kerja a. Sebaiknya diusahakan agar bahan dan peralatan mempunyai tenpat yang tepat b. Tempatkan bahan-bahan dan peralatan di tempat yang mudah, cepat dan enak untuk dicapai c. Tempat penyimpanan bahan yang akan dikerjakan sebaiknya memanfaatkan prinsip gaya berat sehingga bahan yang akan dipakai selalu tersedia di tempat yang dekat untuk diambil d. Sebaiknya untuk menyalurkan objek yang sudah selesai, dirancang mekanisme penempelan yang baik e. Bahan-bahan dan peralatan sebaiknya ditempatkan sedemikian rupa sehingga gerakan-gerakan dapat dilakukan dengan urutanurutan terbaik f. Tinggi tempat kerja dan kursi harus sedemikian rupa sehingga gerakan gerakan dapat dilakukan dengan urutan-urutan terbaik
11
g. Tipe dan tinggi kursi harus sedemikian rupa sehingga pekerja yang mendudukinya bersikap pada anatomi yang terbaik h. Tata letak peralatan dan pencahayaan sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga dapat membentuk kondisi yang baik untuk pengelihatan. 3. Dihubungkan dengan perencanaan peralatan a. Tangan dibebaskan dari semua pekerjaan jika pekerjaan dapat menggunakan alat pembantu yang dapat digerakan dengan kaki b. Peralatan dirancang sedemikian rupa sehingga mempunyai lebih dari satu kegunaan, mudah dalam pemegangan dan penyimpanan c. Beban yang didistribusikan pada jari yang bekerja sendirisendiri harus sesuai dengan kekuatan masing-masing jari d. Roda tangan, palang dan peralatan yang sejenis diatur sedemikian rupa sehingga badan dapat melayani dengan posisi yang baik menggunakan sedikit tenaga.
E. Musculoskeletal Disorders Musculoskeletal disorders (MSDs) didefinisikan sebagai gangguan yang terjadi pada otot, persendian, tendon, tulang rawan, syaraf, atau sistem sirkulasi darah yang diakibatkan oleh aktivitas kerja dan dampak dari lingkungan kerja. Kebanyakan MSDs merupakan kumpulan gangguan berasal dari kegiatan berulang-ulang dengan beban berat maupun ringan untuk jangka waktu yang
12
lama, akan tetapi MSDs bisa juga merupakan trauma akut, seperti tulang retak yang terjadi karena kecelakaan. Akibat dari MSDs bervariasi mulai dari ketidaknyamanan bekerja, rasa sakit pada bagian tubuh tertentu, menurunnya fungsi tubuh, hingga berdampak pada turunnya tingkat produktivitas (Purnawati, 2002). Jenis-jenis kelainan pada otot adalah sebagai beikut (Irianto, 2004): 1. Kram Kram adalah kontraksi otot yang terus-menerus (tetanik) dan terasa sakit, misalnya kram sewaktu olahraga yang disebabkan lelah, banyak berkeringat dan panas. Kram biasanya terjadi diluar kehendak (involunter). 2. Sakit pinggang Sakit pinggang adalah rasa sakit di daerah punggung bawah, daerah lumbosakral atau daerah iliaka. Penyebab sakit pinggang, antara lain: perubahan kedudukan vertebrate lumbar, asteoartritis daerah lumbar, fraktura, dan infeksi tumor pada vertebral lumbosakral. Sakit pinggang sering terjadi karena otot-otot ligament disekitar pinggang terenggang. 3. Kecapaian (fatigue) Bila otot-otot terus menerus berkontraksi secara cepat dan kuat, maka lama kelamaan otot akan berkurang kekuatan kontraksinya. Kurangnya kekuatan kontraksi pada otot disebut kecapaian.
13
4. Kaku leher (stif) Kaku leher terjadi karena peradangan otot trapesius leher akibat gerak atau hentakan kesalahan gerak. Leher menjadi sakit dan terasa kaku jika digerakan.
F. Analisis Postur Kerja Metode OWAS (Ovako Working Posture Analysis System) adalah metode yang digunakan untuk mengetahui kompilasi rangka otot sehingga menyebabkan rasa sakit dan nyeri. OWAS adalah metode ergonomi yang digunakan untuk mengevaluasi postural stress yang terjadi pada seseorang ketika sedang bekerja. Hasil yang diperoleh dari metode OWAS digunakan untuk merancang metode perbaikan kerja guna meningkatkan produktivitas. Metode OWAS dibuat oleh O. Kahru asal Finlandia pada tahun 1977 untuk menganalisis postural stress pada pekerjaan manual. Dalam metode OWAS klasifikasi postur tubuh sudah ditentukan. Postur-postur tersebut dianalisis dan digunakan dalam perencanaan perbaikan. Elemen-elemen penting dari tubuh yang digunakan sebagai dasar dari pengkodean adalah tubuh belakang (back), lengan (arms) dan kaki (legs). Sebagai tambahan untuk posisi dari keempat bagian tubuh, yaitu beban yang dibawa dapat diklasifikasikan menjadi kurang dari 10 kilogram, 10 hingga 20 kilogram dan lebih dari 20 kilogram (Ojanjen et al., 2000). Metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment) merupakan metode ergonomi yang digunakan untuk mengurangi terjadinya resiko yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang pada tubuh bagian atas. RULA ditemukan oleh Dr.
14
Lynn Mc. Atamney dan Profesor E. Nigel Corlett pada tahun 1993 di Nothingham, Inggris. RULA dapat dilakukan sebelum dan sesudah demonstrasi untuk mengetahui apakah resiko cedera sudah berkurang. RULA digunakan dengan cara mengevaluasi postur tubuh, kekuatan yang dibutuhkan dan gerakan otot pekerja pada saat sedang bekerja. Tujuan dari metode ini adalah sebagai metode yang dapat dengan cepat mengurangi resiko cedera pada pekerja, khususnya yang berkaitan dengan tubuh bagian atas, mengidentifikasikan bagian tubuh yang mengalami kelelahan dan kemungkinan terbesar mengalami cedera dan emberikan hasil analisis dan perbaikan (Setyaningrum dan Soewardi, 2004). Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) adalah sebuah metode dalam bidang ergonomi yang digunakan secara cepat untuk menilai postur leher, batang tubuh, lengan, pergelangan tangan dan kaki seorang pekerja. Metode REBA juga dilengkapi dengan faktor coupling, beban eksternal aktivitas kerja. Dalam metode ini, segmen-segmen tubuh dibagi menjadi dua grup, yaitu grup A dan grup B. Grup A terdiri dari batang tubuh, leher dan kaki. Sedangkan grup B terdiri dari lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Pemakaian tipe analisis postur yang luas berakibat rendahnya sensitivitas sebuah tool, namun kesederhanaannya mengakibatkan sensitivitas rendah (Sanjaya, 2002).
G. Antropometri Kata antropometri memiliki arti ukuran dimensi tubuh manusia. Antropometri berasal dari kata Yunani yaitu anthropos yang berarti manusia dan metron yang berarti mengukur. Data antropometri digunakan pada perancangan
15
ergonomis untuk menentukan dimensi fisik dari stasiun kerja, peralatan, furniture, dan pakaian sehingga dapat sesuai dengan pekerjaan dari seseorang dan menjamin tidak adanya ketidaksesuaian dimensi peralatan dan produk dengan pemakai (Chuan et al., 2010). Menurut Sanders dan McCormick (1992), berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran tubuh manusia, yaitu: a. Umur Ukuran tubuh manusia akan berkembang dari saat lahir sampai sekitar 20 tahun untuk pria dan 17 tahun untuk wanita. Setelah itu, tidak lagi akan terjadi pertumbuhan bahkan justru akan cenderung berubah menjadi
pertumbuhan menurun ataupun penyusutan.
Penyusutan ukuran tubuh manusia biasanya dimulai sekitar umur 40 tahun. b. Jenis kelamin Dimensi ukuran tubuh laki-laki umumnya akan lebih besar dibanding kan dengan wanita, terkecuali untuk beberapa bagian tubuh tertentu seperti pinggul dan sebagainya. c. Suku/bangsa Setiap suku bangsa ataupun kelompok etnis akan memiliki karakteristik fisik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Suku bangsa atau kelompok etnis dari bangsa negara daerah barat biasanya memiliki karakteristik tubuh lebih besar daripada karakteristik tubuh suku bangsa negara timur.
16
d. Sosioekonomi Tingkat sosio ekonomi sangat mempengaruhi dimensi tubuh. Pada negara-negara
maju
dengan
tingkat
sosio
ekonomi
tinggi,
penduduknya mempunyai dimensi tubuh yang besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang. e. Posisi tubuh/postur Sikap ataupun posisi tubuh akan berpengaruh terhadap ukuran tubuh, oleh karena itu posisi tubuh standar harus diterapkan untuk survey pengukuran. Persentil adalah suatu nilai yang menyatakan persentase tertentu yang dimensinya sama atau lebih rendah dari nilai yang ditentukan. Sebagai contoh persentil 95 akan menunjukan 95% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran tersebut, sedangkan persentil 5 akan menunjukan 5% populasi akan berada pada atau di bawah ukuran itu. Bilamana diharapkan ukuran yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka disini diambil rentang persentil 2,5 dan persentil 97,5 sebagai batas-batasnya. Dalam antropometri, persentil 95 akan menunjukan ukuran manusia yang terbesar dan persentil 5 sebaliknya akan menunjukan persentil ukuran terkecil (Wignjosoebroto, 2000).
H. Nordic Body Map Questionaire Nordic Body Map Questionaire adalah alat survey berupa kuisioner yang menggunakan banyak pilihan jawaban, terdiri dari dua bagian yaitu bagian umum dan bagian terperinci. Bagian umum menggunakan gambar dari tubuh, yang
17
dilihat dari bagian depan dan bagian belakang, kemudian dibagi menjadi sembilan area utama. Responden yang mengisi kuisioner ini diminta untuk memberikan tanda ada tidaknya gangguan musculoskeletal disorders (MSDs) pada bagianbagian area tubuh tersebut (Kroemer dan Elbert, 2001). Nordic Body Map Questionaire merupakan bagian dari kuisioner yang dikembangkan oleh Nordic Council of Minister untuk mengetahui bagian-bagian tubuh yang mengalami musculoskeletal disorder. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner tersebut mempertanyakan keluhan subyektif pekerja, sementara Nordic Body Map Questionnaire digunakan sebagai pelengkap untuk memudahkan responden dalam mengisi keluhan yang dirasakan pada bagian tubuh yang dipetakan. Kuisioner ini bersifat tertutup, tingkat keluhan rasa sakit yang diderita responden diukur menggunakan empat skala likert, yaitu tidak sakit, agak sakit, sakit, dan sangat sakit (Santoso, 2004).
I. Pengukuran Waktu Kerja Pengukuran waktu (time study) pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menentukan lamanya waktu kerja yang dibutuhkan oleh seorang operator yang terlatih untuk menyelesaikan suatu pekerjaan spesifik, pada tingkat kecepatan kerja yang normal dan dalam lingkungan kerja yang terbaik pada saat itu (Barnes, 1980). Westinghouse membuat tabel performance rating yang berisikan nilai angka berdasarkan tingkatan yang ada pada kecakapan (skill), usaha (effort),
18
kondisi kerja (working condition) dan keajegan (consistency). Berikut adalah Tabel Westinghouse (Tabel 2.1) beserta nilai pada tingkatan performance ratingnya (Sutalaksana, 2006). Tabel 2.1. Tabel Westinghouse Faktor Ketrampilan
Kelas Super Excellent Good Average Fair Poor
Usaha
Excessive Excellent Good Average Fair Poor
Kondisi
Konsistensi
Ideal Excellent Good Average Fair Poor Perfect Excellent Good Average Fair Poor
Notasi A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2 A1 A2 B1 B2 C1 C2 D E1 E2 F1 F2 A B C D E F A B C D E F
Penyesuaian + 0.15 + 0.13 + 0.11 + 0.08 + 0.06 + 0.03 0.00 - 0.05 - 0.10 - 0.16 - 0.22 + 0.13 + 0.12 + 0.10 + 0.08 + 0.05 + 0.02 0.00 - 0.04 - 0.08 - 0.12 - 0.17 + 0.06 + 0.04 + 0.03 0.00 - 0.03 - 0.07 + 0.04 + 0.03 + 0.01 0.00 -0.02 -0.04
(Sumber: Sutalaksana, 2006)
J. Perancangan Alat atau Desain Desain adalah kegiatan pemecahan masalah dan inovasi teknologis yang bertujuan untuk mencari solusi terbaik (sistem, proses, konfigurasi fisikal) dengan jalan memformulasikan gagasan inovatif tersebut dalam suatu model kemudian merelasisasikan kenyataan secara kreatif. Desain berurusan dengan permasalahan
19
objektif, mengoptimalkan produk sedemikian rupa sehingga fungsi produk “compatible” dengan konfigurasi fisik dan faktor psikologis pengguna dan keamanan bagi pengguna produk. Desain juga mempersyaratkan efektifitas alat. Semua faktor tersebut hanya dapat digunakan apabila diketahui karakteristik dari penggunanya (Madyana, 1996). Berkaitan dengan perancangan fasilitas kerja dalam industri, terdapat beberapa aspek ergonomis yang harus dipertimbangkan, antara lain (Huchingson, 1981): 1. Sikap dan posisi kerja Beberapa jenis pekerjaan memerlukan sikap dan posisi kerja yang kadang cenderung tidak nyaman, untuk mengindari sikap dan posisi tersebut, disarankan: a. Mengurangi keharusan pekerja untuk bekerja dengan sikap dan posisi membungkuk dalam jangka waktu yang lama b. Pekerja tidak seharusnya dipaksa bekerja dalam periode waktu yang lama dengan posisi kerja yang tidak ergonomis c. Pekerja
tidak
seharusnya
menggunakan
jarak
jangkauan
maksimum yang dilakukan. Pengaturan posisi kerja dalam hal ini dilakukan dalam jangkauan normal. 2. Antropometri dan dimensi ruang kerja Data antropometri sangat bermanfaat didalam perancangan fasilitas kerja. Persyarataaan ergonomis mensyaratkan agar fasilitas kerja
20
menyesuaikan operator, menyangkut dimensi ukuran tubuh. Fasilitas kerja yang baik sesuai dengan antropometri tubuh pekerja. 3. Kondisi lingkungan kerja Pekerja diharapkan mampu beradaptasi dengan situasi dan lingkungan kerja yang bervariasi dalam hal temperatur, kelembaban, getaran, kebisingan dan lain sebagainya. 4. Efisiensi ekonomi pergerakan dan pengaturan fasilitas kerja Perancangan sistem kerja harus memperhatikan prosedur-prosedur untuk
mengakomodasi
gerakan-gerakan
kerja,
sehingga
dapat
memperbaiki efisiensi dan mengurangi kelelahan kerja. 5. Energi yang dikonsumsi Aplikasi prinsip-prinsip ergonomi dan ekonomi gerakan dalam tahap perancangan dan pengembangan sistem kerja secara umum akan dapat meminimalkan energi yang dikonsumsi dan meningkatkan efektivitas output kerja.
21
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek Penelitian Penelitian dilakukan di PT Setya Putra Perkasa, Jalan Parangtritis Kilometer 8, Sewon, Bantul. PT Setya Putra Perkasa adalah perusahaan yang memproduksi keripik pisang rasa dengan nama dagang Banana Queen. Fokus penelitian adalah kondisi pada stasiun kerja pengupasan dan pemotongan pisang terkait postur, sarana, sistem, waktu, gerakan dan elemen kerja yang tidak efektif dan efisien sehingga perlu diperbaiki.
B. Data-Data yang Diperlukan Data yang diperlukan dalam penelitian ini: 1. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara, observasi dan kuisioner pada pekerja di PT Setya Putra Perkasa. Melalui wawancara dan observasi diperoleh informasi keluhan rasa sakit sebelum dan sesudah bekerja dengan analisis NBMQ (Nordic Body Map Questionaire). Penilaian postur tubuh pekerja dianalisis menggunakan metode OWAS (Ovako Working Posture Analysis System). Ukuran dimensi tubuh pekerja digunakan sebagai dasar perancangan fasilitas kerja ergonomis diperoleh melalui studi antropometri. Informasi mengenai waktu kerja diperoleh melalui perhitungan studi waktu.
22
Informasi mengenai metode kerja, gerakan dan perlakuan yang dilakukan saat bekerja diperoleh melalui studi gerakan dan analisis PTKTK (Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri). Informasi mengenai proses, sarana pendukung, kondisi, sistem, elemen kerja, jarak dan perpindahan serta luas area kerja diperoleh melalui observasi dan pengamatan langsung. 2. Data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan melakukan studi pustaka dan literatur dari buku-buku, jurnal dan informasi pendukung lain yang berhubungan dengan ergonomi, postur kerja, MSDs (musculoskeletal disorder) dan antropometri.
C. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data pada penilitian ini adalah: 1. Observasi lapangan Observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan pada aktivitas kerja di masing-masing stasiun kerja serta aspek lain yang mendukung penelitian. Dilakukan pula identifikasi penanganan bahan, alat yang digunakan, spesifikasi alat, postur tubuh saat bekerja dan proses kerja. Pengamatan postur tubuh pada masing-masing stasiun kerja dapat dilihat pada Lampiran 1. Diperoleh bahwa postur pekerja pada stasiun kerja pengupasan, pemotongan dan penyortiran pisang kurang baik, maka diperlukan perubahan. Pada penelitian ini, perubahan postur
23
kerja difokuskan pada stasiun kerja pengupasan dan pemotongan pisang dengan pertimbangan, sebagai berikut: a. Memerlukan ketelitian dalam bekerja b. Pekerjaan dilakukan dalam waktu kerja yang lama c. Postur tubuh statis dan tidak ada ruang gerak d. Pekerjaan dilakukan dengan gerakan yang cepat. Rancangan fasilitas kerja baru sebagai solusi permasalahan dibuat dengan pertimbangan bahwa operasi pengupasan dan pemotongan pisang memiliki kesinambungan dan bisa dilakukan secara sinergis. 2. Wawancara Wawancara dilakukan pada pekerja untuk memperoleh informasi karakteristik pekerja dan informasi lain yang berhubungan dengan penelitian, seperti alasan pemilihan bahan baku, penggunaan sarana kerja dan proses penanganan bahan. 3. Penyebaran kuisioner Penyebaran NBMQ digunakan untuk mengetahui bagian tubuh pekerja yang mengalami rasa sakit sebelum dan sesudah bekerja. Informasi yang diperoleh dijadikan sebagai pedoman analisis untuk menghilangkan rasa sakit yang dirasakan melalui perbaikan metode kerja dan penggunaan fasilitas kerja baru, sehingga tercipta postur kerja yang nyaman saat bekerja. Kuisioner NBMQ membantu mengetahui perubahan rasa sakit pada pekerja sebelum dan sesudah bekerja menggunakan fasilitas kerja baru.
24
4. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan informasi dari buku-buku, literatur, hasil penelitian, jurnal dan website yang terkait dengan tema penelitian.
D. Tahapan Pengolahan dan Analisis Tahapan pengolahan dan analisis dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Observasi pendahuluan Melalui observasi diketahui pekerja stasiun kerja pengupasan dan pemotongan pisang memiliki resiko kerja yang lebih besar. Pekerja duduk di lantai dalam kurun waktu 8 jam/hari tanpa didukung sarana kerja yang nyaman, sehingga dihasilkan tekukan tajam pada beberapa bagian tubuh yang memicu timbulnya rasa sakit. 2. Identifikasi masalah dan penetapan tujuan Mengidentifikasi masalah pada metode kerja proses pengupasan dan pemotongan pisang yang tidak efektif dan efisien, postur kerja yang tidak ergonomis dan sarana pendukung kerja yang kurang mendukung. Tujuan dari penelitian ini adalah memperbaiki postur kerja, memberikan alternatif metode kerja yang tepat dan merancang fasilitas kerja baru.
25 Mulai
Observasi pendahuluan
Identifikasi masalah dan penetapan tujuan
Studi pustaka
Pengumpulan data: 1. Profil perusahaan 2. Proses produksi 3. Produk 4. Kondisi kerja 5. Antropometri
Penilaian awal (SK. Pengupasan & Pemotongan Pisang): (Studi Waktu, Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri, Pola Gerakan, Nordic Body Map Questionnaire, Ovako Working Posture Analysis System)
Analisis Awal
Postur kerja beresiko tinggi (score OWAS ≥ 2)?
Tidak
Ya Penyusunan konsep fasilitas kerja ergonomis
Pembuatan fasilitas kerja ergonomis Uji coba fasilitas kerja ergonomis
Penilaian akhir (SK. Pengupasan & Pemotongan Pisang): (Studi Waktu, Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri, Pola Gerakan, Nordic Body Map Questionnaire, Ovako Working Posture Analysis System)
Ya
Postur kerja beresiko tinggi (score OWAS ≥ 2)?
Tidak Pembahasan
Penarikan kesimpulan
Selesai
Gambar 3.1. Diagram Alir Penelitian
26
3.
Studi pustaka Studi pustaka dilakukan dengan mencari dan mempelajari referensi teori yang berhubungan dengan ergonomi, ekonomi gerakan, studi waktu, postur tubuh dan perancangan sistem kerja.
4.
Pengumpulan data Data yang dikumpulkan terdiri dari profil perusahaan, proses produksi, produk, antropometri pekerja dan kondisi kerja pada seluruh stasiun kerja. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengamatan secara langsung.
5.
Studi waktu Berdasarkan perolehan data dilakukan perhitungan: a. Pengujian keseragaman dan kecukupan data (tingkat kepercayaan 95% dan derajat ketelitian 5%) Dilakukan uji keseragaman terhadap 30 data dengan menggunakan diagram control chart untuk mengetahui data yang ekstrim. Dilakukan uji kecukupan data untuk mengetahui kecukupan 30 data yang diambil. Control chart diperoleh dengan menentukan Upper Control Limit (UCL) dan Lower Control Limit (LCL), data yang nilainya diluar UCL dan LCL sebaiknya tidak digunakan dalam perhitungan waktu baku.
27
Pengujian keseragaman data diperoleh dengan rumus: n
x x i 1
2
i
SD
=
UCL
= x 3SD
CL
= x
LCL
= x 3SD
N 1
Keterangan: ▪ SD : standar deviasi
▪i
= 1, 2, 3, …, n
▪N
: jumlah data
▪ n : jumlah data
▪ xi
: data ke-i
▪x
: rata-rata data
Pengujian kecukupan data diperoleh dengan rumus:
2 n n 40 N x 2 x i i i 1 i 1 N ' n xi i 1
2
Keterangan: ▪ N’ : nilai uji kecukupan data
▪ i = 1, 2, 3, …, n
▪ N
: jumlah data in control
▪ n : jumlah data
▪ xi
: data ke-i
b. Menentukan waktu siklus Setelah data seragam dan mencukupi, maka dilakukan perhitungan waktu siklus dengan rumus:
28
n
Ws
x i 1
i
N
Keterangan: ▪ Ws : waktu siklus
▪ i = 1, 2, 3, …, n
▪ xi
: data ke-I
▪ n : jumlah data
▪ N
: jumlah data
c. Menentukan waktu normal Waktu normal dihitung setelah mengetahui rating factor setiap pekerja pada masing-masing elemen kerja. Rating factor
ditentukan
menggunakan
sistem
Westinghouse
dengan melakukan penyesuaian melalui empat faktor dan dibagi menjadi enam kelas sesuai tabel Westinghouse. Waktu normal dihitung dengan rumus: Wn = Ws x (1 + % rating factor) Keterangan: ▪ Wn
: waktu normal
▪ Ws
: waktu siklus
▪ % rating factor : nilai rating factor (lihat Lampiran 2) d. Menentukan waktu baku Perhitungan waktu normal tersebut akan digunakan untuk
melakukan
perhitungan
waktu
baku
setelah
mengetahui allowance factor di setiap pekerja pada masing-
29
masing elemen kerja. Allowance factor diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu personal allowance, fatigue allowance dan delay allowance. Waktu baku dihitung dengan rumus: Wb = Wn x (1 + % allowance factor) Keterangan: ▪ Wb
: waktu baku
▪ Wn
: waktu normal
▪ % allowance factor : nilai allowance factor (lihat Lampiran 3) 6.
Analisis Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Analisis PTKTK dilakukan untuk mengetahui gerakan yang dilakukan oleh pekerja sebelum dilakukan perancangan fasilitas kerja baru. Hasil dari analisis tersebut digunakan sebagai pedoman studi gerak supaya mampu menghasilkan gerakan kerja yang efisien selama bekerja. PTKTK ditunjukan pada Gambar 3.2, pengisian kolom pada PTKTK sebagai berikut: : Menunjukan waktu menganggur (pekerja atau mesin sedang menganggur atau menunggu yang lain) : Menunjukan kerja tidak bergantungan (pekerja sedang bekerja, mesin juga bekerja tapi tidak memerlukan pelayanan operator) : Menunjukan kerja kombinasi (pekerja dan mesin bekerja bersama, mesin memerlukan pelayanan operator)
30
Gambar 3.2. Form Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri (Sumber: Wignjosoebroto, 2000) 7. Analisis pola gerakan Analisis pola gerakan digunakan untuk menggambarkan kegiatan kerja pada satu stasiun kerja menggunakan gambar pola gerakan. Pola ini merupakan penyederhanaan penggunaan infra merah untuk
31
merekam gerakan kerja. Seperti diagram aliran, pola gerakan ini digambarkan di atas tata letak peralatan yang digunakan. Perpindahan bahan digambarkan dengan tarikan garis dari satu tempat ke tempat lain. Gambar pola gerakan untuk mendapatkan metode kerja yang lebih baik ditunjukan pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Analisis Pola Gerakan (Motion Pattern) (Sumber: Meyers dan Stewart, 2002) 8. Analisis postur kerja dan keluhan MSDs Analisis postur kerja pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode OWAS. Penggunaan metode OWAS dinilai tepat
32
dibanding dengan metode RULA (Rapid Upper Limb Assessment) dan REBA (Rapid Entire Body Assessment) karena pada kasus ini postur kaki pekerja tidak bisa dinilai secara detail menggunakan metode RULA atau REBA. Saat bekerja pekerja duduk di lantai, kaki menekuk tajam sehingga penilaian pada kaki masuk golongan duduk, tidak bisa dinilai seberapa detail derajat yang diperoleh, seperti pada penilaian RULA dan REBA. Penilaian postur kerja dengan metode OWAS dibantu menggunakan software Ergofellow. Tahap analisis postur kerja metode OWAS dimulai dengan penilaian postur tubuh saat bekerja (Gambar 3.4 sampai Gambar 3.6), yaitu: a. Penilaian punggung (back) diberikan kriteria nilai 1 hingga 4:
Gambar 3.4. Penilaian Pada Punggung (back) (Sumber: Ojanjen et al., 2000) b. Penilaian lengan (arms) diberikan kriteria nilai 1 hingga 3:
Gambar 3.5. Penilaian Pada Lengan (arms) (Sumber: Ojanjen et al., 2000)
33
c. Penilaian kaki (legs) diberikan kriteria nilai 1 hingga 7:
Gambar 3.6. Penilaian Pada Kaki (legs) (Sumber: Ojanjen et al., 2000) d. Penilaian beban (load/use factor) diberikan kriteria nilai 1 hingga 3, yaitu: Jika berat beban < 10 kg diberikan nilai 1 Jika berat beban berkisar 10-20 kg diberikan nilai 2 Jika berat beban > 20 kg diberikan nilai 3. Penilaian skor OWAS dipengaruhi oleh waktu. Terjadi perubahan nilai dalam penilaian postur kerja sesuai dengan waktu kerja/hari. Tabel 3.1 menunjukan perubahan nilai skor OWAS karena waktu kerja. Pada tabel, presentase 100% berlaku untuk waktu kerja 8 jam/hari. Pekerja yang mempunyai waktu kerja kurang dari 8 jam/hari maka dihitung seberapa besar presentasenya, lalu disesuaikan dengan skor OWAS yang diperoleh. Nilai akhir dimasukkan dalam Tabel Grand
34
Total Score (Tabel 3.2) untuk mengetahui action level yang menunjukan golongan kategori penanggulangan.
Tabel 3.1 Pengaruh Waktu Pada OWAS
(Sumber: Ojanjen et al., 2000)
Tabel 3.2. Grand Total Score OWAS
(Sumber: Ojanjen et al., 2000)
35
Setelah ditemukan nilai akhir diketahui penanggulangan yang harus dilakukan sesuai kategorinya. Terdapat empat kelompok kategori pada OWAS, yaitu: Action level 1 menunjukkan bahwa postur bisa diterima jika tidak berulang dalam periode yang lama. Action level 2 menunjukan bahwa diperlukan pemeriksaan lanjutan dan perubahan. Action level 3 menunjukkan bahwa pemeriksaaan dan perubahan perlu segera dilakukan. Action level 4 menunjukkan bahwa kondisi berbahaya maka pemeriksaan dan perubahan diperlukan segera. Analisis MSDs dilakukan dengan membandingkan keluhan rasa sakit sebelum dan setelah bekerja dengan menggunakan NBMQ. Kuisioner diberikan dan diisi sebelum dan setelah bekerja. Kuisioner bersifat tertutup, tingkat keluhan rasa sakit yang diderita responden diukur menggunakan empat skala likert, yaitu tidak sakit, agak sakit, sakit dan sangat sakit. NBMQ ditunjukan pada Gambar 3.7. di halaman 36. 9.
Pengukuran antropometri Antropometri didapatkan dengan mengukur dimensi tubuh pekerja. Pada penelitian ini persentil yang digunakan untuk mengolah data antropometri adalah persentil 5. Digunakan persentil 5 supaya bisa tepat mengakomodasi ukuran tubuh pekerja pengupasan dan
36
pemotongan pisang tersebut dan memungkinkan pekerja dengan ukuran tubuh yang kecil menggunakan fasilitas kerja ini. NORDIC BODY MAP QUESTIONARE Nama: Jenis Kelamin, Tinggi Badan: Umur, Lama Bekerja: Anda diminta untuk menilai apa yang Anda rasakan pada bagian tubuh yang ditunjukkan pada gambar. Apakah bagian tubuh yang sudah diberikan nomor tersebut tidak terasa sakit (pilih A), sedikit sakit(pilih B), sakit (pilih C) dan sangat sakit (pilih D). Pilih dengan memberikan tanda √ pada kolom huruf pilihan. No. Lokasi Tingkat Kesakitan Peta Bagian Tubuh A B C D 0 Sakit / kaku pada leher atas 1 Sakit pada leher bawah 2 Sakit pada bahu kiri 3 Sakit pada bahu kanan 4 Sakit pada lengan atas kiri 5 Sakit pada punggung 6 Sakit pada lengan atas kanan 7 Sakit pada pinggang 8 Sakit pada pantat (buttock) 9 Sakit pada pantat (bottom) 10 Sakit pada siku kiri 11 Sakit pada siku kanan 12 Sakit pada lengan bawah kiri 13 Sakit pada lengan bawah kanan 14 Sakit pada pergelangan tangan kiri 15 Sakit pada pergelangan tangan kanan 16 Sakit pada tangan kiri 17 Sakit pada tangan kanan 18 Sakit pada paha kiri 19 Sakit pada paha kanan 20 Sakit pada lutut kiri 21 Sakit pada lutut kanan 22 Sakit pada betis kiri 23 Sakit pada betis kanan 24 Sakit pada peergelangan kaki kiri 25 Sakit pada pergelangan kaki kanan 26 Sakit pada kaki kiri 27 Sakit pada kaki kanan Ket : () untuk bagian tubuh yang merasakan rasa sakit
Gambar 3.7. Form Nordic Body Map Questionaire (Sumber: Kroemer dan Elbert, 2001) Tahapan perancangan fasilitas kerja baru didasarkan pada antropometri pekerja, dimulai dengan menetapkan dan mengukur
37
anggota tubuh sebagai data antropometri yang diperlukan untuk perancangan fasilitas kerja. Informasi mengenai berbagai macam anggota tubuh yang perlu diukur sebagai pedoman dalam menentukan ukuran rancangan kerja dapat dilihat pada Gambar 3.8.
Gambar 3.8. Pengukuran Data Antropometri Tubuh (Sumber: Chuan et al., 2010) Data antropometri yang diambil dari pekerja pengupasan dan pemotongan pisang adalah: 1.
Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)
2.
Tebal atau lebar paha
3.
Tinggi lutut (sikap berdiri/duduk)
4.
Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai hingga paha
5.
Lebar pinggul/pantat
6.
Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari (siku tegak lurus)
38
7.
Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan
Setelah data antropometri diperoleh kemudian ditentukan nilai persentilnya. Persentil adalah nilai yang menyatakan bahwa presentase tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama atau lebih rendah dari dimensi tersebut. Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan antropometri dijelaskan pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Macam-Macam Persentil dan Perhitungannya Persentil
Perhitungan
1
x - 2,325 σ x - 1,960 σ x - 1,645 σ x - 1,280 σ x x + 1,280 σ x + 1,645 σ x + 1,960 σ x + 2,325 σ
2,5 5 10 50 90 95 97,5 99
(Sumber: Chuan et al., 2010) Selanjutnya dilakukan perhitungan rerata, standar deviasi dan persentilnya dengan rumus: a. Perhitungan rerata n
x
x i 1
N
i
39
b. Perhitungan standar deviasi n
x i 1
x
2
i
N 1
c. Perhitungan persentil Ci 5 = x - 1,645 σ Keterangan: ▪ x
: rata-rata
▪ i
: 1, 2, 3, …, n
▪N
: jumlah data
▪ n : jumlah data
▪ xi
: data ke-i
▪σ
: standar deviasi
10. Penyusunan konsep fasilitas kerja ergonomis Penyusunan konsep dilakukan berdasarkan data antropometri. Perancangan fasilitas kerja menggunakan bantuan software 3D Max dan Autocad. Rancangan fasilitas kerja kemudian dibuat dalam bentuk prototype kemudian diujicobakan. 11. Pembuatan fasilitas kerja ergonomis Pembuatan fasilitas kerja berdasarkan antropometri pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dimaksudkan supaya pekerja merasakan rasa nyaman ketika menggunakan meja kerja tersebut. 12. Uji coba fasilitas kerja ergonomis Fasilitas kerja yang telah dibuat diuji coba oleh pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Pengujicobaan meja kerja disertakan dengan
40
pengetahuan mengenai langkah kerja yang dilakukan, posisi tubuh ketika saat bekerja dan gerakan yang dilakukan selama bekerja. 13. Analisis lanjut Tahap ini dilakukan untuk menganalisis aspek yang diperhatikan setelah menggunakan fasilitas kerja ergonomis. Aspek yang dianalisis adalah mekanisme sistem kerja menggunakan analisis PTKTK (Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri), analisis efesiensi waktu kerja menggunakan
studi
waktu,
analisis
keluhan
kesakitan
kerja
menggunakan NBMQ (Nordic Body Map Qusetionnaire) dan analisis postur kerja menggunakan OWAS (Ovako Working Analysis System). Diharapkan setelah menggunakan fasilitas kerja baru action level dan keluhan MSDs (musculoskeletal disorders) berkurang, tercipta efesiensi waktu kerja serta mekanisme kerja yang efektif. 14. Penarikan kesimpulan Kesimpulan didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan. Kesimpulan mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.
41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum Perusahaan 1. Profil Perusahaan PT Putra Setya Perkasa didirikan oleh Dra. Ani Setyopratiwi, M.Si pada tahun 2004 dengan produk awal VCO (Virgin Coconut Oil), massage oil, lip gloss, hand body dan baby oil. Produk tersebut dipasarkan dengan nama dagang Healthy Co. Perusahaan ini beroperasi di Jalan Nitikan Nomor 8, Yogyakarta. Tanggal 1 November 2012, PT Putra Setya Perkasa mengembangkan produk baru dengan memproduksi makanan sehat, dengan nama dagang Banana Queen. Kelebihan dari Banana Queen adalah tidak menggunakan gula tambahan saat pembuatannya, rasa manis diperoleh dari madu pisang. Fokus produksi Banana Queen dikelola oleh Ardhi Setyo Putranto, S.Tp. Dahulu industrinya beroperasi di daerah Srandakan, Palbapang, Bantul, namun pada tahun 2012 berpindah lokasi di Jalan Parangtritis Kilometer 8, Sewon, Bantul. Terdapat empat macam rasa dari Banana Queen, yaitu original, susu cokelat, susu dan rumput laut. Jangkauan pemasaran Banana Queen di dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri produk ini dititipkan di toko oleh-oleh dengan harga Rp 7.500,00/pack, sedangkan di luar negeri hanya dipasarkan rasa original saja tanpa nama dagang. Di luar negeri Banana Queen dipasarkan hingga ke Malaysia dan Belanda. Produk akhir yang tidak sesuai dengan standar dijual ke angkringan dan kantin sekolah dalam kemasan plastik bening seharga Rp 500,00/plastik.
42
Bahan baku utama yaitu menggunakan pisang uter. Pisang uter dipilih karena karakteristiknya yang mengandung madu lebih banyak, sehingga tidak memerlukan gula tambahan. Dalam proses pembuatan, rasa manis diperoleh dari madu pisang. Pisang uter juga dipilih karena karakteristik warna pisang yang berwarna kuning keemasaan setelah dimasak, sehingga membuat hasil akhir lebih menarik. Selain itu, pisang uter masih tergolong ekonomis.
2. Proses Produksi Proses pembuatan keripik pisang rasa dilakukan secara manual dan semimanual. Pada proses manual, peran pekerja menjadi faktor penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas produk akhir. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengupas pisang dari kulitnya secara manual. Pisang kupas kemudian dipotong tipis sesuai garis panjangnya menggunakan pisau di atas talenan. Sebelum digoreng pisang ditimbang terlebih dahulu. Penggorengan pisang menggunakan mesin vaccum frying dengan ketentuan suhu 85o C dan tekanan 70 cmHg untuk setiap 10 kg pisang potong. Penggorengan pisang dilakukan dengan cara pisang digoreng dan dibolak-balik selama 30 menit, lalu 5 menit berhenti, kemudian 5 menit digoreng dan dibolakbalik kembali, selanjutnya 5 menit berhenti dan terakhir 5 menit digoreng dan dibolak-balik kembali. Perlakuan tersebut dilakukan supaya hasil keripik pisang tidak lengket dan saling menempel. Keripik pisang kemudian ditiriskan menggunakan mesin spinner yang berputar selama 4 menit supaya kandungan minyak hilang. Keripik pisang
43
kemudian disortasi secara manual dengan pertimbangan wujud visual. Keripik pisang yang sesuai standar memiliki ukuran besar, utuh dan tebal yang cukup, sedangkan keripik pisang yang tidak sesuai dengan standar memiliki ukuran yang kecil dan tidak utuh. Setelah dipisahkan keduanya lalu ditimbang. Keripik pisang yang sesuai standar ditambahkan bumbu atau langsung dikemas untuk rasa original, sedangkan keripik pisang yang tidak sesuai standar langsung dikemas dan dipasarkan tanpa bumbu. Berikut adalah proses dan gambar pembuatan keripik pisang rasa nonoriginal, yaitu:
a. pengupasan pisang
c. penimbangan pisang potong
e. penirisan keripik pisang
b. pemotongan pisang
d. penggorengan pisang potong
f. sortasi keripik pisang
44
g. penimbangan keripik pisang
h. pembumbuan keripik pisang
Gambar 4.1. Proses Pembuatan Keripik Pisang Rasa Non-Original
Berikut adalah proses dan gambar pengemasan keripik pisang rasa nonoriginal, yaitu:
a. pengemasan keripik pisang
b. penimbangan keripik pisang
c. pengepresan kemasan keripik pisang Gambar 4.2. Proses Pengemasan Keripik Pisang
Berikut adalah Peta Proses Operasi Keripik Pisang Rasa Non-Original pada Gambar 4.3. pada halaman 45.
45
Gambar 4.3. Peta Proses Operasi Keripik Pisang Rasa Non-Original (Sumber: Data Lapangan, 2014)
46
Gambar 4.3. Peta Proses Operasi Keripik Pisang Rasa Non-Original (lanjutan) (Sumber: Data Lapangan, 2014)
47
3. Produk PT Setya Putra Perkasa memasarkan dua macam produk Banana Queen, yaitu produk dengan hasil akhir sesuai standar dan produk dengan hasil akhir tidak sesuai standar. Keduanya dipasarkan dengan ketentuan yang berbeda, baik wilayah pemasaran, kemasan, harga dan proses setelah sortasi. Produk yang sesuai standar setelah sortasi ditambahkan bumbu dengan empat varian rasa, susu cokelat, susu, original dan rumput laut. Setelah ditambahkan bumbu kemudian dikemas dalam alumunium foil lalu dimasukan dalam outer box. Berikut gambar produk Banana Queen:
a. Banana Queen Rasa Cokelat
b. Banana Queen Rasa Susu
c. Banana Queen Rasa Original
d. Banana Queen Rasa Rumput Laut
48
e. Banana Queen Kemasan Plastik Gambar 4.4. Produk Banana Queen
B. Kondisi Kerja dan Elemen Kerja Proses pembuatan keripik pisang rasa “Banana Queen” dilakukan secara manual dan semi-manual. Operasi pengupasan, pemotongan, penyortiran, pembumbuan dan pengemasan dilakukan secara manual. Operasi penggorengan menggunakan bantuan mesin vacuum frying, namun untuk memutar tabung penggorengan
dilakukan
secara
manual.
Operasi
penirisan
dilakukan
menggunakan bantuan mesin spinner. Seluruh operasi tersebut dilakukan dengan tata letak industri yang bisa dilihat pada Lampiran 4. Berikut adalah kondisi kerja dan elemen kerja pada masing-masing stasiun kerja, yaitu: 1. Pengupasan pisang Pekerja mengupas pisang secara manual duduk di lantai. Tidak disediakan sarana kerja untuk mendukung proses ini. Sejumlah pisang dalam satu sisir dikupas dan dipisahkan dari kulitnya menggunakan tangan. Pada proses pengupasan pisang, sisir pisang berada di sebelah kiri, sedangkan tampah untuk menampung pisang kupas berada disebelah kanan dari posisi duduk pekerja. Pekerja mengupas pisang
49
menggunakan tangan kanan dan kiri, selanjutnya pisang yang telah terkupas
dipindahkan
dengan
sedikit
melempar
ke
tampah
menggunakan tangan kanan. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. pengambilan sisir pisang
b. pengupasan sisir pisang
c. peletakan buah pisang ke tampah Gambar 4.5. Elemen Kerja Pengupasan Pisang
2. Pemotongan pisang Pada proses pemotongan pisang, pekerja memotong pisang menurut garis panjangnya menggunakan pisau berlandaskan talenan. Posisi pekerja saat memotong berhadapan dengan dua tampah di kanan dan kiri depan pekerja. Tampah di kiri depan pekerja berisi pisang kupas, sedangkan tampah di kanan depan pekerja digunakan untuk menampung irisan pisang yang didalamnya terdapat talenan sebagai
50
alas potong. Pekerja mengambil pisang dari tampah di kiri depan pekerja menggunakan tangan kiri, lalu memotong di tampah kanan depan. Saat memotong, tangan kiri pekerja memegang pisang, sedangkan tangan kanan memotong pisang menggunakan pisau. Pisang yang terpotong dijatuhkan ke tampah dengan bantuan pisau. Sisa irisan hasil potongan pisang dibuang dalam baskom yang terletak di samping kanan tampah berisi irisan pisang kupas. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. pengambilan pisang kupas
b. pemotongan pisang
c. peletakan pisang potong ke toples Gambar 4.6. Elemen Kerja Pemotongan Pisang 3. Penggorengan pisang Penggorengan pisang potong menggunakan mesin vacuum frying. Mesin vacuum frying adalah mesin yang dirancang untuk menggoreng
buah
atau
sayuran
menjadi
keripik.
Perbedaan
51
penggorengan dengan vacuum frying yaitu pada penggorengan menggunakan mesin vacuum frying suhu penggorengan dirancang sesuai kebutuhan, biasanya digunakan untuk penggorengan pada suhu rendah. Penggorengan pisang dilakukan dengan cara mencelup pisang kedalam minyak panas disebut deep frying. Untuk mencelupkan pisang pada minyak panas, tabung penggorengan diputar secara manual menggunakan tangan pekerja. Pekerja berdiri selama menggoreng sambil memutar tabung penggorengan. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. memasukan pisang potong ke tabung penggorengan
c. mengangkat keripik pisang
b. memutar engsel penggorengan
d. meletakan keripik pisang ke tampah
Gambar 4.7. Elemen Kerja Penggorengan Pisang
52
4. Penirisan keripik Penirisan adalah proses pemisahan kandungan minyak pada keripik pisang setelah melalui proses penggorengan pisang. Penirisan menggunakan mesin spinner. Prinsip kerja mesin spinner adalah bergetar dan berputar supaya kandungan minyak pada keripik pisang keluar. Pekerja memasukan pisang matang menggunakan tangan dengan badan membungkuk, karena mesin spinner berada di lantai. Setelah ditiriskan, keripik pisang kemudian diambil kembali. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. memasukan keripik pisang ke dalam mesin spinner
b. mengangkat hasil tirisan
c. memasukan hasil tirisan ke dalam toples Gambar 4.8. Elemen Kerja Penirisan Keripik
53
5. Penyortiran keripik Penyortiran adalah memisahkan keripik pisang yang sesuai standar dari keripik pisang yang tidak sesuai standar. Pekerja menyortir keripik pisang secara manual dalam keadaan duduk di lantai. Tidak disediakan sarana kerja untuk mendukung proses ini. Keripik pisang dalam tampah dipisahkan menggunakan tangan kanan dan kiri. Pada proses penyortiran keripik, tampah berisi keripik pisang yang belum dipisahkan berada di sebelah kiri, sedangkan tampah untuk menampung keripik pisang pilihan berada disebelah kanan dari posisi duduk pekerja. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. menyortir pisang matang
b. memasukan hasil sortir ke dalam toples
Gambar 4.9. Elemen Kerja Penyortiran Keripik
6. Pembumbuan keripik Pembumbuan adalah proses pemberian rasa pada keripik pisang pilihan yang sudah disortir. Pekerja yang membumbui keripik pisang duduk di lantai. Keripik pisang yang dibumbui dimasukan ke dalam
54
toples, disertai bumbu yang diinginkan. Supaya bumbu tercampur dengan baik, toples yang berisi keripik pisang dikocok-kocok secara manual. Tangan pekerja memegang toples setinggi dada lalu dengan gerakan naik turun toples dikocok hingga bumbu tercampur rata. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. memasukan keripik pisang ke dalam toples
b. pemberian bumbu pada keripik pisang
c. pencampuran bumbu pada keripik pisang Gambar 4.10. Elemen Kerja Pembumbuan Keripik
7. Pengemasan keripik Pekerja mengemas keripik pisang duduk di lantai. Tidak disediakan sarana pendukung untuk mengemas pisang. Proses pengemasan keripik pisang dilakukan secara manual. Toples berisi keripik pisang yang sudah dibumbui berada di depan posisi duduk pekerja, lalu keripik pisang dimasukan kedalam plastik inner pack.
55
Tangan kiri pekerja memegang plastik, tangan kanan pekerja mengambil keripik lalu dimasukan ke dalam plastik. Proses selanjutnya adalah penimbangan, yaitu 80 gram/kemasan. Kemasan berisi keripik pisang dipindahkan ke timbangan yang berada disekitar posisi duduk pekerja. Setelah beratnya sesuai, maka keripik pisang dikemas menggunakan sealer, lalu dimasukan dalam kemasan outer box. Pekerjaan ini dibagi menjadi beberapa elemen kerja, yaitu:
a. memasukan keripik pisang ke dalam inner pack
c. pengemasan menggunakan sealer pack
b. penimbangan keripik pisang ke dalam inner pack
d. pemasukan kemasan inner pada outer box
Gambar 4.11. Elemen Kerja Pengemasan Keripik Berdasarkan observasi, pekerja yang berpotensi mengalami resiko kesakitan paling besar dan harus segera ditangani karena harus bekerja dengan
56
teliti dan penuh kosentrasi dalam jangka waktu yang lama, sehingga membutuhkan kondisi yang nyaman dalam bekerja adalah pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Pada gambar ditunjukan sikap kerja pekerja pengupasan dan pemotongan pisang yang kurang ergonomis selama bekerja. Pekerja duduk di lantai tanpa sarana pendukung meja dan kursi, sehingga mengakibatkan punggung membungkuk, tekukan tajam di kaki yaitu pada lutut, kurang memungkinkannya gerakan kaki yang dinamis, tekanan yang besar pada pantat karena duduk dengan alas lantai yang keras dan telapak kaki yang saling tumpang tindih. Hal tersebut akan memicu keluhan rasa sakit pada tubuh pekerja yang berdampak pada turunnya produktivitas, ketidaknyamanan saat bekerja dan resiko munculnya sakit otot serta sendi jika dibiarkan terus-menerus. Sarana kerja yang digunakan terdiri dari pisau, talenan, tampah dan baskom. Dimensi pisau (Gambar 4.12.) yang digunakan untuk memotong mempunyai panjang 29 cm dan lebar 3,5 cm. Talenan (Gambar 4.13.) sebagai alas memotong mempunyai dimensi panjang 24,5 cm, lebar 17,5 cm, dengan ketinggian 5,5 cm dari dasar. Tampah (Gambar 4.14.) digunakan sebagai tempat penampungan pisang berdiameter 50 cm dengan kedalaman 5 cm. Sisir pisang (Gambar 4.15.) berukuran panjang 30 cm dan lebar 18 cm.
3,5 cm
29 cm
Gambar 4.12. Pisau Potong
17,5 cm
24,5 cm
Gambar 4.13. Talenan
57
50 cm
18 cm
30 cm
Gambar 4.14. Tampah
Gambar 4.15. Sisir Pisang
C. Analisis Studi Waktu Awal Pengukuran waktu siklus kerja dilakukan sebanyak 30 kali pengulangan pada stasiun kerja pengupasan dan pemotongan pisang. Perolehan data waktu siklus dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan uji keseragaman data (Lampiran 6) dan kecukupan data (Lampiran 7). Pengujian keseragaman dan kecukupan data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh sudah seragam dan cukup untuk analisis lanjut. Pengujian data dilakukan untuk mendapatkan data yang valid, sehingga mendukung rancangan perbaikan. Berdasarkan pengujian keseragaman data yang dilakukan, diketahui bahwa data yang diperoleh adalah seragam. Hal tersebut ditunjukan dari hasil plotting data pada X-chart berada dalam rentang UCL dan LCL (Lampiran 6). Hasil pengujian kecukupan data menggunakan tingkat kepercayaan 95% dan tingkat ketelitian 5% diperoleh nilai N’ pada stasiun kerja pengupasan dan pemotongan pisang lebih kecil daripada N (N’ < N). Maka, data yang diperoleh tergolong in control dan telah mencukupi untuk analisis lanjut.
58
Berdasarkan pada Tabel 4.1., dapat disimpulkan bahwa data hasil perhitungan telah seragam dan cukup sehingga selanjutnya dapat dilakukan perhitungan waktu. Tabel 4.1. Hasil Pengujian Keseragaman dan Kecukupan Data No.
Stasiun Kerja
Hasil Uji
Hasil Uji Kecukupan Data
Keseragaman Data
N
N’
Kesimpulan In Control dan Cukup In Control dan Cukup
1.
Pengupasan Pisang
Seragam
30
1,09
2.
Pemotongan Pisang
Seragam
30
0,18
(Sumber: Data Lapangan, 2014) Perhitungan waktu normal dilakukan dengan pertimbangan rating factor yang
didapat
melalui
pengamatan
dengan
penilaian
berdasarkan
pada
Westinghouse terlampir pada Lampiran 2. Perhitungan waktu untuk masingmasing stasiun kerja, sebagai berikut: 1. Stasiun Kerja Pengupasan Pisang a. Rating factor Rating factor tenaga kerja pada stasiun kerja pengupasan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Rating Factor Proses Pengupasan Pisang (Awal) Faktor Skill Effort Conditions Consistency
Kelas/Lambang Good/C2 Good/C1 Fair/E1 Excellent/B Rating Factor
(Sumber: Data Lapangan, 2014)
Penyesuaian + 0,03 + 0,05 - 0,04 + 0,03 + 0,07
59
b. Allowance factor Allowance factor tenaga kerja pada stasiun kerja pengupasan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3. Allowance Factor Proses Pengupasan Pisang (Awal) Faktor Tenaga yang dikeluarkan Sikap kerja Gerakan kerja Kelelahan mata
Kriteria Dapat diabaikan
3
Duduk Normal Pandangan terus-menerus dengan fokus berubah Normal
1 0 2
Keadaan temperatur tempat kerja Baik Keadaan atmosfer Bersih, sehat, dengan kebisingan Keadaan lingkungan rendah yang baik Allowance Factor (Sumber: Data Lapangan, 2014) c. Waktu siklus n
Ws
=
x i 1
Allowance (%)
i
N 627,6 = 20,92 menit 30
d. Waktu normal Wn = Ws x (1 + % rating factor) Wn = 20,92 menit x (1 + 0,07) = 22,38 menit
3 0 0 9
60
Berdasarkan perhitungan diketahui waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pengupasan pisang dengan operator berkemampuan normal adalah selama 22,38 menit. e. Waktu baku Wb = Wn x (1 + % allowance factor) Wb = 22,38 menit x (1 + 0,09) = 24,4 menit Maka, waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan mempertimbangkan allowance factor untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pengupasan pisang adalah selama 24,4 menit. 2. Stasiun Kerja Pemotongan Pisang a. Rating factor Rating factor tenaga kerja pada stasiun kerja pemotongan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4. Rating Factor Proses Pemotongan Pisang (Awal) Faktor
Kelas/Lambang Skill Average/D Effort Good/C1 Conditions Fair/E Consistency Excellent/B Rating Factor (Sumber: Data Lapangan, 2014)
Penyesuaian 0,00 + 0,05 - 0,03 + 0,03 + 0,05
b. Allowance factor Allowance factor tenaga kerja pada stasiun kerja pemotongan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.5.
61
Tabel 4.5. Allowance Factor Proses Pemotongan Pisang (Awal) Faktor Tenaga yang dikeluarkan Sikap kerja Gerakan kerja Kelelahan mata
Kriteria
Allowance (%)
Dapat diabaikan
3
Duduk Agak terbatas Pandangan yang terus menerus dengan fokus berubah Normal
1 2 2
Keadaan temperatur tempat kerja Baik Keadaan atmosfer Bersih, sehat, dengan kebisingan Keadaan lingkungan rendah yang baik Allowance Factor (Sumber: Data Lapangan, 2014)
3 0 0 11
c. Waktu siklus n
Ws
=
x i 1
i
N 1295,1 = 43,17 menit 30
d. Waktu normal Wn = Ws x (1 + % rating factor) Wn = 43,17 menit x (1 + 0.05) = 45,33 menit Berdasarkan perhitungan diketahui waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pemotongan pisang dengan operator berkemampuan normal adalah selama 45,33 menit.
62
e. Waktu baku Wb = Wn x (1 + % allowance factor) Wb = 45,33 menit x (1 + 0,11) = 50,31 menit Maka, waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan mempertimbangkan allowance factor untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pemotongan pisang adalah selama 50,31 menit.
D. Analisis Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Awal Analisis PTKTK (Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri) digunakan untuk mengetahui sistematika gerakan yang dilakukan pekerja selama bekerja. Analisis PTKTK dilakukan pada pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Berikut PTKTK pekerja pengupasan pisang (Gambar 4.16) dan pemotongan pisang (Gambar 4.17) sebelum menggunakan fasilitas kerja baru. Analisis PTKTK menggambarkan semua gerakan saat bekerja dan waktu menganggur yang dilakukan oleh tangan kanan dan tangan kiri, juga menunjukan perbandingan antara tugas yang dibebankan pada tangan kanan dan tangan kiri ketika melakukan suatu pekerjaan. Sebelum proses pengupasan pisang dimulai, dipersiapkan sisir pisang, tampah untuk menampung pisang kupas dan tempat sampah dengan letak sesuai pada PTKTK (Gambar 4.16). Pertama, sisir pisang yang akan dikupas diambil menggunakan tangan kiri, lalu diletakan di depan pekerja pengupasan. Kemudian tangan kanan dan tangan kiri bekerja bersama untuk mengupas pisang. Ketika buah pisang akan dilepas dari kulitnya, tangan kiri menahan kulit pisang,
63
kemudian tangan kanan mematahkan buahnya dari kulit, lalu melempar ke tampah. Setelah seluruh pisang dikupas, sisir pisang lalu dibuang ke sampah.
Gambar 4.16. Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Pekerja Pengupasan Pisang (Awal) (Sumber: Data Lapangan, 2014)
64
Gambar. 4.17. Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Pekerja Pemotongan Pisang (Awal) (Sumber: Data Lapangan, 2014) Proses pemotongan pisang diawali dengan mempersiapkan tampah untuk menampung pisang kupas, tampah untuk menampung pisang potong dan baskom dengan letak sesuai pada PTKTK (Gambar 4.17). Pertama, di dalam tampah
65
tampungan pisang potong diletakan talenan dan pisau menggunakan tangan kanan. Kemudian pisang kupas diambil dengan menggunakan tangan kiri, lalu diletakan di atas talenan, dipegang oleh tangan kiri dan dipotong oleh tangan kanan. Setelah pisang dipotong, tangan kanan lalu memasukan pisang ke dalam tampah tampungan pisang potong menggunakan pisau. Pola gerakan pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dijelaskan pada Lampiran 8. Pada proses pengupasan pisang terdapat 4 pola gerakan, yaitu mengambil tampah, mengambil sisir pisang, memasukan pisang kupas ke tampah dan membuang kulit. Pada proses pemotongan pisang terdapat 6 langkah kerja,
mengambil pisang kupas, mengambil tampah, mengambil talenan, mengambil pisau, mengambil dan meletakan baskom serta mengambil pisang kupas. Proses pengupasan dan pemotongan pisang harus dilakukan secara efektif dan efisien. Penghematan waktu dan gerakan kerja dapat meningkatkan kuantitas output produksi,
caranya
dengan
menghilangkan,
menyederhanakan
dan
mengkombinasikan gerakan kerja yang dinilai kurang mendukung.
E. Analisis Nordic Body Map Questionnaire Awal Melalui penyebaran NBMQ (Nordic Body Map Questionnaire) diketahui letak kesakitan pada tubuh pekerja. Format NBMQ dapat dilihat pada Lampiran 9. Kumpulan data NBMQ dari pekerja pengupasan dan pemotongan pisang sebelum menggunakan fasilitas kerja baru dapat dilihat pada Lampiran 10 dan Lampiran 11. Hasil dari penyebaran NBMQ sebelum dan setelah bekerja pada pekerja
66
pengupasan dan pemotongan pisang sebelum menggunakan fasilitas kerja baru dapat dilihat pada Tabel 4.6. Tabel 4.6. Keluhan Rasa Sakit Pekerja Pengupasan Pisang Sebelum dan Setelah Bekerja (Awal) Postur
Waktu
Sebelum
Setelah
Kerja
Pekerja
Kerja
Bekerja
Bekerja
397 menit/hari
Pengupasan Pisang
Stasiun
Tidak sakit: Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pengupasan
100%
Tidak
sakit:
28,57% Sedikit
sakit:
42,86% Sakit: 17,86% Sangat 10,71%
(Sumber: Data Olahan, 2014) Keterangan: a. Hijau
: Tidak sakit
b. Kuning : Sedikit sakit c. Oranye : Sakit d. Merah
: Sangat sakit
sakit:
67
Tabel 4.7. Keluhan Rasa Sakit Pekerja Pemotongan Pisang Sebelum dan Setelah Bekerja (Awal) Postur
Waktu
Sebelum
Setelah
Kerja
Pekerja
Kerja
Bekerja
Bekerja
403 menit/hari
Pemotongan Pisang
Stasiun
Tidak sakit: Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pemotongan
100%
Tidak
sakit:
25% Sedikit
sakit:
32,14% Sakit: 32,14% Sangat
sakit:
10,71%
(Sumber: data Olahan, 2014) Keterangan: a. Hijau
: Tidak sakit
b. Kuning : Sedikit sakit c. Oranye : Sakit d. Merah
: Sangat sakit
Beberapa bagian tubuh tersebut mengalami rasa sakit dampak dari postur kerja yang kurang ergonomis. Posisi duduk di lantai membuat kaki tertekuk tajam sehingga dirasakan rasa sakit pada bagian kaki terutama lutut karena kaki tidak
68
bisa bergerkan secara dinamis, posisi badan yang membungkuk selama bekerja membuat punggung dan leher merasakan rasa sakit karena badan melengkung, duduk dalam kurun waktu yang lama di lantai dengan tekstur yang keras membuat pantat merasakan rasa sakit karena tekanan yang besar pada pantat untuk menopang tubuh dan keluhan sakit pada siku tangan dampak dari gerakan selama bekerja yang statis dalam jangka waktu lama. Hasil dari NBMQ dijadikan pedoman untuk melakukan analisis postur kerja menggunakan metode OWAS (Ovako Working Posture Analysis System). Metode ini menunjukan seberapa besar tingkat resiko yang dialami oleh pekerja saat melakukan pekerjaan sebagai dasar dalam menentukan alternatif perbaikan.
F. Analisis Postur Kerja Awal Analisis postur kerja awal pada pekerja pengupasan dan pemotongan pisang menggunakan metode Ovako Working Posture Analysis System (OWAS). Tahap dalam menganalisis postur kerja dengan metode OWAS diawali dengan penilaian postur tubuh saat bekerja, yaitu: 1. Penilaian pada punggung (back)
Gambar 4.18. Postur Punggung Pekerja (Awal)
69
Postur punggung membungkuk ke depan saat bekerja, sesekali bergerak memutar untuk mengambil alat atau memindahkan pisang, dengan nilai 4. 2. Penilaian pada lengan (arms)
Gambar 4.19. Postur Lengan Pekerja (Awal) Postur kedua lengan tergolong di bawah level ketinggian bahu saat bekerja, dengan nilai 1. 3. Penilaian pada kaki (legs)
Gambar 4.20. Postur Kaki Pekerja (Awal) Postur kaki duduk melipat di lantai tergolong jongkong dengan dua kaki, dengan nilai 6.
70
4. Penilaian pada beban (load/use factor) Berat beban yang ditangani oleh pekerja adalah berat sesisir pisang terhitung ± 1 kilogram atau < 10 kilogram, dengan nilai 1. Nilai yang diperoleh dari penilaian masing-masing postur disesuaikan dengan nilai pada tabel OWAS yang dipengaruhi oleh presentase waktu kerja/hari. Pada kasus ini, pekerja pengupasan pisang bekerja selama 397 menit/hari sedangkan pekerja pemotongan pisang bekerja selama 403 menit/hari, lama kerja tersebut jika dibanding dengan perhitungan bahwa kerja 8 jam/hari setara dengan presentase 100%, maka presentase pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dalam bekerja bernilai 80%. Jadi, nilainya diubah ke kolom nilai dengan presentase waktu kerja 80%. Sehingga, nilai postur kaki pekerja berubah menjadi bernilai 3, yang lain tetap. Masing-masing nilai tersebut dimasukkan ke dalam Tabel Score OWAS untuk memperoleh nilai akhir yang menunjukan golongan kategori penanggulangan/action level. Nilai akhir yang diperoleh pada Grand Total Score adalah 2, yaitu menunjukkan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut dan diperlukan perubahan pada postur tubuh awal pekerja ketika bekerja. Penilaian postur kerja menggunakan software Ergofellow bisa dilihat pada Lampiran 12.
G. Data Antropometri Data antropometri digunakan untuk merancang fasilitas kerja supaya dimensinya sesuai dengan ukuran tubuh pekerja. Fasilitas kerja yang dirancang terdiri dari kursi dan meja kerja yang mendukung proses pengupasan dan pemotongan pisang.
71
Data antropometri diambil dari pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Informasi lengkap mengenai data antropometri pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dapat dilihat pada Lampiran 14. Perhitungan data antropometri bisa dilihat pada Lampiran 15. Dari hasil pengukuran diperoleh data antropometri seperti pada Tabel 4.8. Tabel 4.8. Data Antropometri Pekerja Pengupasan dan Pemotongan Pisang Antropometri
Dimensi (cm)
Persentil 5
Fungsi
Dimensi Fasilitas Kerja
Pekerja
Pekerja
% ( mean -
Pengupasan
Pemotongan
1,645 σ)
Pisang
Pisang
Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)
26
24
22,67
Tinggi siku posisi duduk + tinggi tubuh posisi duduk dari lantai paha sebagai tinggi meja
Ketinggian meja = 22,67 cm + 44,02 cm = 66,69 cm = 67 cm
Tebal atau lebar paha
14
12
10,67
Tebal paha + tinggi tubuh dalam posisi duduk dari lantai hingga paha sebagai ketinggian meja bagian bawah
Tinggi meja bagian bawah = 10,67 cm + 44,02 cm = 54,69 cm + 2 cm (kelonggaran) = 56,69 cm = 57 cm
Tinggi lutut (sikap berdiri/duduk)
48
42
38,02
Penyesuaian ketinggian meja bagian bawah
Ketinggian lutut diperhatikan agar tidak lebih tinggi dari tinggi meja = 38,02 cm = 38 cm
Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai hingga paha
54
48
44,02
Ketinggian kursi yang digunakan oleh pekerja
Tinggi kursi pekerja = 44,02 cm = 44 cm
72
Lebar pinggul/pantat
32
32
32
Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari (siku tegak lurus)
42
43
41,677
Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung jari tangan
70
70
70
Ukuran sisi permukaan penyangga pantat
Sisi permukaan penyangga pantat = 32 cm
Penyesuaian jangkauan normal tangan pekerja
Area jangkauan normal = 41,677 cm = 42 cm
Penyesuaian jangkauan maksimal tangan pekerja/panjang dan lebar meja kerja
Panjang dan lebar meja kerja = 70 cm
(Sumber: Data Olahan, 2014)
H. Perancangan Fasilitas Kerja Perancangan design fasilitas kerja menggunakan software 3D Max dan Autocad, yaitu software yang membantu merealisasikan rancangan design fasilitas kerja dalam kenampakan 3D (tiga dimensi). Melalui brainstorming dihasilkan beberapa konsep rancangan fasilitas kerja baru, pada Tabel 4.9. Melalui brainstorming, disimpulkan bahwa rancangan fasilitas kerja ketiga dapat diterima sebagai solusi. Bahan baku terbuat dari kayu, karena harganya ekonomis dan tidak berat. Kayu yang digunakan adalah jenis sengon dengan sifat tahan air dan tahan rayap. Bahan pembuatan loyang adalah logam stainless stell, karena tahan karat dan materialnya tidak bisa mengkontaminasi bahan baku pisang. Pada rancangan fasilitas kerja ini, pekerja mengupas dan memotong pisang dengan posisi duduk pada kursi tanpa sandaran.
73
Tabel 4.9. Konsep Rancangan Fasilitas Kerja Baru No. 1
Rancangan Fasilitas Kerja Baru Konsep I Pekerja potong
Landasan pengupasan pisang
Area pemotongan pisang Area pengupasan pisang
Tempat peletakan loyang pisang potong
Pekerja kupas
Tempat peletakan loyang pisang kupas
Tempat peletakan sisir pisang
Mekanisme Kerja Pada rancangan fasilitas kerja ini, sisir pisang yang akan dikupas disiapkan sejumlah yang diperlukan di dalam kolom meja peletakan sisir pisang. Sisir pisang disimpan dengan cara ditumpuk. Di atas kolom peletakan sisir pisang digunakan sebagai tempat meletakan Ioyang yang akan digunakan sebagai tempat menampung pisang kupas. Loyang dimasukan ke area pengupasan pisang melalui kolom di depan pekerja pengupasan pisang, sisir pisang diambil lalu proses pengupasan pisang dilakukan di atas alas kupas. Loyang berisi pisang kupas kemudian digeser ke area pemotongan pisang oleh pekerja pemotongan, lalu dilakukan proses pemotongan. Jika seluruh pisang sudah terpotong maka loyang berisi pisang potong diletakan di area peletakan sementara loyang pisang potong dengan cara ditumpuk. Kelebihan Kekurangan pengupasan dan pemotongan dilakukan kondisi sisir pisang yang ditumpuk dengan cara duduk rawan terjadi browning terdapat tempat peletakan loyang belum disediakan tempat penampungan penampungan pisang kupas sampah kulit pisang tempat peletakan sisir pisang terdapat penggunaan rangka alas kupas dinilai lubang sebagai sirkulasi udara kurang fleksibel karena ruang gerak menjadi sempit akses memasukan dan mengeluarkan loyang dari dalam dalam rangka kupas susah penumpukan loyang berisi pisang potong rawan terjadi browning terutama loyang paling bawah karena tekanan yang besar
74
No. 2
Rancangan Fasilitas Kerja Konsep II Laci peletakan loyang pisang potong
Talenan Pekerja Potong Loyang pisang kupas Landasan pengupasan
Loyang pisang potong
Area pemotongan pisang Area pengupasan pisang
Pekerja Kupas
Meja peletakan container sisir pisang
Mekanisme Kerja Pada rancangan fasilitas kerja ini, sisir pisang sejumlah yang diperlukan ditampung dalam container lalu diletakan di atas alas landasan penampungan container. Sisir pisang diambil dari container lalu diletakan di atas alas landasan kupas, kemudian loyang penampungan pisang kupas dimasukan ke dalam rangka area pengupasan pisang. Proses pengupasan pisang dilakukan di atas landasan kupas, kemudian pisang yang dikupas dijatuhkan ke loyang penampungan pisang kupas. Setelah selesai, pekerja pemotongan pisang menarik loyang yang berisi pisang kupas ke area pemotongan pisang, lalu dilakukan proses pemotongan. Loyang yang berisi pisang potong tersebut kemudian diletakan ke dalam laci-laci peletakan loyang sementara. Kelebihan Kekurangan pengupasan dan pemotongan dilakukan belum disediakan tempat penampungan dengan cara duduk sampah kulit pisang tempat peletakan sisir pisang belum disediakan tempat penampungan menggunakan container sehingga loyang untuk pisang kupas membantu pengangkutan sisir pisang penggunaan rangka alas kupas kurang yang dibutuhkan per-batch fleksibel karena mempersempit ruang sudah disediakan tempat peletakan laci gerak pekerja loyang pisang potong akses memasukan atau mengeluarkan terdapat lubang di tempat peletakan loyang dari dan ke dalam rangka alas laci loyang pisang potong sebagai pengupasan susah sirkulasi udara laci peletakan loyang pisang potong statis penggunaan container untuk menyimpan sisir bisa menyebabkan browning
75
No. 3
Rancangan Fasilitas Kerja Konsep III Area pengupasan pisang Laci peletakan pisang potong
Talenan Pekerja Potong Loyang pisang kupas Landasan pengupasan
Loyang pisang potong Sampah kulit pisang
Pekerja Kupas Meja peletakan container sisir pisang Area pengupasan pisang
Mekanisme Kerja Pada rancangan fasilitas kerja ini, sisir pisang disiapkan sejumlah yang diperlukan pada container, kemudian diletakan pada meja peletakan container. Sisir pisang yang akan dikupas diambil satu per satu lalu diletakan pada alas pengupasan pisang. Loyang penampungan pisang kupas sudah disediakan sebelumnya dan tidak berpindah tempat. Pisang dikupas di landasan alas pengupasan pisang, lalu dijatuhkan ke loyang pisang kupas, kulit pisang dibuang pada tempat sampah penampungan kulit pisang. Pekerja pemotongan pisang kemudian mengambil pisang per buah dari loyang penampungan pisang kupas untuk dipotong di area pemotongan. Setelah selesai, loyang pisang potong diletakan pada laci peletakan. Kelebihan Kekurangan sudah disediakannya tempat dibutuhkan lebih banyak penampungan sampah kulit pisang loyang/batch, karena loyang untuk pengupasan statis tidak banyak terjadi perpindahan alat (loyang pisang kupas) ruang gerak pekerja di area pengupasan dan pemotongan pisang luas, fleksibel dan dinamis laci peletakan loyang pisang potong apabila sudah tidak difungsikan bisa dimasukan ke dalam meja laci peletakan loyang pisang potong terdapat lubang untuk sirkulasi udara proses pengupasan dan pemotongan dilakukan dengan cara duduk
76
Penggunaan kursi tanpa sandaran disesuaikan dengan kebutuhan pekerja yang harus bekerja dengan kondisi dinamis, sehingga memungkinkan untuk dilakukan gerakan yang bebas dan leluasa. Tidak adanya sandaran pada kursi dikarenakan supaya pekerja mengurangi intensitas bersandar saat bekerja, karena dinilai kurang mendukung dan mampu menurunkan tingkat produktivitas. Container isi sisir pisang berada di sebelah kiri pekerja supaya pekerja pengupasan pisang mudah menjangkaunya. Kapasitas simpan container tersebut mampu menyimpan sebanyak 13 sisir pisang atau senilai dengan jumlah sisir pisang yang dibutuhkan per-batch-nya. Area pengupasan pisang dilengkapi landasan pengupasan pisang untuk mengupas pisang, sehingga ketika pisang dikupas buahnya mudah dijatuhkan ke loyang. Letak pekerja pemotongan pisang di depan pekerja pengupasan pisang menghadap ke sisi kiri dari pekerja pengupasan pisang. Pekerja pemotongan pisang kemudian menyiapkan loyang tempat penampungan pisang potong yang di dalamnya sudah tersedia talenan dan pisau menggunakan tangan kanan, lalu diletakan di meja pemotongan, kemudian mengambil pisang yang telah dikupas menggunakan tangan kiri. Letak loyang penampungan pisang potong berada pada laci paling atas. Setelah selesai dipotong, talenan dan pisau diangkat menggunakan tangan kiri lalu loyang berisi pisang potong diletakan pada meja peletakan loyang isi pisang potong, dilanjutkan mengambil loyang isi penampungan pisang potong yang masih kosong. Pembuatan fasilitas kerja dibantu oleh perajin kayu. Sesuai perhitungan dari perolehan data antropometri pekerja pengupasan dan pemotongan pisang
77
pada Tabel 4.8. maka diperoleh dimensi rancangan fasilitas kerja baru sebagai berikut (lihat Tabel 4.10.): Tabel 4.10. Dimensi Rancangan Fasilitas Kerja Baru No. 1
Alat Kerja
Dimensi Dimensi meja pengupasan pisang: Panjang = 50 cm Lebar = 70 cm Tinggi meja terendah = 60,5 cm Tinggi meja tertinggi = 67 cm
Panjang meja pengupasan adalah jumlah dari lebar landasan pengupasan ditambah lebar loyang pisang kupas, yaitu 10 cm + 40 cm = 50 cm. . Lebar meja disesuaikan panjang loyang ditambah kelonggaran 2 cm dan ketebalan kayu 3 cm, yaitu 60 cm + (2 x 2 cm) + (2 x 3 cm) = 70 cm. Tinggi meja tertinggi menyesuaikan antropometri pekerja (lihat tabel 4.8). Tinggi meja terendah adalah sisa tinggi dari tinggi meja tertinggi dikurangi tinggi talenan, yaitu 67 cm 6,5 cm = 60,5 cm. Hal tersebut dikarenakan menyesuaikan
supaya
tinggi
pada
landasan
pengupasan dan tinggi pada talenan sama.
Dimensi rangka landasan pengupasan: Panjang = 70 cm Lebar = 10 cm Tinggi = 6,5 cm
Panjang rangka disesuaikan panjang loyang ditambah kelonggaran 2 cm dan ketebalan kayu 3 cm, yaitu 60 cm + (2 x 2 cm) + (2 x 3 cm) = 70 cm. Lebar dipertimbangkan
kecukupan
papan
untuk
menampung sisir pisang, yaitu 10 cm. Tinggi
78
disesuaikan dengan tinggi loyang ditambah ketebalan kayu, yaitu 5 cm + 1,5 cm = 6,5 cm.
2
Dimensi meja pemotongan pisang: Panjang = 50 cm Lebar = 70 cm Tinggi = 60,5
Panjang meja pemotongan adalah sisa panjang dari panjang meja keseluruhan dikurangi lebar landasan pengupasan dan tempat loyang pisang kupas, yaitu 100 cm - (10 cm + 40 cm) = 50 cm. Lebar meja disesuaikan panjang loyang ditambah kelonggaran 2 cm dan ketebalan kayu 3 cm, yaitu 60 cm + (2 x 2 cm) + (2 x 3 cm) = 70 cm. Tinggi meja adalah tinggi meja terendah, diperoleh dari tinggi meja tertinggi dikurangi tinggi talenan, yaitu 67 cm - 6,5 cm = 60,5 cm.
3
Dimensi penampungan loyang pisang potong: Panjang = 70 cm Lebar = 48 cm Tinggi = 55 cm
Panjang meja disesuaikan panjang loyang ditambah kelonggaran 4 cm dan ketebalan kayu 3 cm, yaitu 60 cm + 4 cm + (2 x 3 cm) = 70 cm. Lebar meja disesuaikan lebar loyang ditambah kelonggaran 2 cm dan ketebalan kayu 2 cm, yaitu 40 cm + (2 x 2 cm) + (2 x 2 cm) = 48 cm. Tinggi meja disesuaikan supaya bisa masuk ke meja pengupasan dan pemotongan, yaitu lebih rendah dari 57, 5 cm. Meja dilengkapi dengan laci dengan tinggi disesuaikan tinggi loyang dengan kelonggaran 2 cm, yaitu 5 cm + 2 cm = 7 cm. Ketebalan kayu antar laci, yaitu 2 cm.
79
4
Dimensi kursi kerja: Lebar sisi permukaan penyangga pantat = 32 cm Tinggi = 44 cm
Lebar sisi permukaan penyangga pantat dan tinggi kursi kerja disesuaikan dengan athropometri pekerja (lihat Tabel 4.8).
5
Dimensi meja peletakan container: Panjang = 60 cm Lebar = 41 cm Tinggi = 35 cm
Panjang disesuaikan dengan panjang container ditambah kelonggaran 2 cm, yaitu 58 cm + 2 cm = 60 cm. Lebar disesuaikan dengan lebar container ditambah kelonggaran 2 cm, yaitu 39 + 2 cm = 41 cm. Tinggi disesuaikan dengan tinggi fasilitas meja kerja baru dikurangi tinggi container, yaitu 67 cm 32 cm = 35 cm.
6.
Dimensi talenan: Panjang = 24 cm Lebar = 14 cm Tinggi = 6,5 cm
Panjang dan lebar talenan menyesuaikan ukuran talenan awal. Tinggi talenan adalah sisa tinggi dari tinggi meja tertinggi dikurangi tinggi meja terendah, yaitu 67 cm - 60,5 cm = 6,5 cm.
80
Dimensi loyang:
7.
Panjang = 60 cm Lebar = 40 cm Tinggi = 5 cm
Panjang dan lebar loyang disesuaikan dengan antropometri jangkauan tangan normal pekerja (lihat Tabel 4.8). Tinggi loyang adalah sisa tinggi dari tinggi meja tertinggi dikurangi tinggi meja terendah dan tebal kayu landasan pengupasan, yaitu 67 cm (60,5 cm + 1,5 cm) = 5 cm. Perhitungan kebutuhan loyang per-batch dapat dilihat pada Lampiran 16.
(Sumber: Data Olahan, 2014) Dari hasil perancangan dihasilkan rancangan meja pengupasan dan pemotongan pisang, kursi kerja, meja peletakan container isi sisir pisang dan talenan. Kenampakan gambar rancangan fasilitas kerja baru dalam bentuk 3 dimensi hasil dari pengolahan software 3D Max, rancangan fasilitas kerja dalam bentuk 2 dimensi hasil dari pengolahan software Autocad dan hasil pembuatan rancangan fasilitas kerja baru dapat dilihat pada Lampiran 17. Fasilitas kerja baru yang sudah dibuat kemudian diaplikasikan kepada pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Praktek penggunaan meja dan kursi beserta sistematika kerja pengupasan dan pemotongan pisang yang baru diajarkan kepada pekerja pengupasan dan pemotongan pisang. Saat uji coba rancangan fasilitas kerja baru dilakukan analisis terkait studi waktu, keluhan rasa sakit, postur kerja dan pola gerakan kerja. Kemudian hasil dari analisis sebelum dan setelah menggunakan fasilitas kerja baru dibandingkan.
81
I. Analisis Studi Waktu Akhir Pengukuran waktu setelah menggunakan fasilitas kerja baru dilakukan sebanyak 30 kali pengulangan. Perolehan data waktu dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan data yang diperoleh dilakukan uji keseragaman data (Lampiran 6) dan kecukupan data (Lampiran 7). Berdasarkan pengujian keseragaman data yang dilakukan, diketahui bahwa data yang diperoleh adalah seragam. Hal tersebut ditunjukan dari hasil plotting data pada X-chart berada dalam rentang UCL dan LCL (Lampiran 6). Hasil pengujian kecukupan data diperoleh nilai N’ lebih kecil daripada N (N’ < N). Maka, data yang diperoleh tergolong in control. Berdasarkan pada Tabel 4.11., dapat disimpulkan bahwa data hasil perhitungan telah seragam dan cukup sehingga selanjutnya dapat dilakukan perhitungan waktu. Tabel 4.11. Hasil Pengujian Keseragaman dan Kecukupan Data No.
Stasiun Kerja
Hasil Uji
Hasil Uji Kecukupan Data
Keseragaman Data
N
N’
Kesimpulan In Control dan Cukup In Control dan Cukup
1.
Pengupasan Pisang
Seragam
30
4,11
2.
Pemotongan Pisang
Seragam
30
1,00
(Sumber: Data Olahan, 2014) Perhitungan
waktu
untuk
masing-masing
menggunakan fasilitas kerja baru, sebagai berikut:
stasiun
kerja
setelah
82
1. Stasiun Kerja Pengupasan Pisang a. Rating factor Rating factor tenaga kerja pada stasiun kerja pengupasan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.12. Tabel 4.12. Rating Factor Proses Pengupasan Pisang (Akhir) Faktor
Kelas/Lambang Skill Good/C2 Effort Good/C1 Conditions Good Consistency Excellent/B Rating Factor (Sumber: Data Olahan, 2014)
Penyesuaian + 0,03 + 0,05 + 0,03 + 0,03 + 0,14
b. Allowance factor Allowance factor tenaga kerja pada stasiun kerja pengupasan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.13. Tabel 4.13. Allowance Factor Proses Pengupasan Pisang (Akhir) Faktor Tenaga yang dikeluarkan Sikap kerja Gerakan kerja Kelelahan mata
Kriteria
Allowance (%)
Dapat diabaikan
2
Duduk Normal Pandangan yang hampir terus menerus Normal
1 0 2
Keadaan temperatur tempat kerja Baik Keadaan atmosfer Bersih, sehat, dengan kebisingan Keadaan lingkungan rendah yang baik Allowance Factor (Sumber: Data Olahan, 2014)
3 0 0 8
83
c. Waktu siklus n
Ws
=
x i 1
i
N 487,5 = 16,25 menit 30
d. Waktu normal Wn = Ws x (1 + % rating factor) Wn = 16,25 menit x (1 + 0,14) = 18,53 menit Berdasarkan perhitungan diketahui waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pengupasan pisang dengan operator berkemampuan normal pada fasilitas kerja baru adalah selama 18,53 menit. e. Waktu baku Wb = Wn x (1 + % allowance factor) Wb = 18,53 menit x (1 + 0,08) = 20,01 menit Maka, waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan mempertimbangkan allowance factor untuk menyelesaikan pekerjaan di stasiun kerja pengupasan pisang pada fasilitas kerja baru adalah selama 20,01 menit.
84
2. Stasiun Kerja Pemotongan Pisang a. Rating factor Rating factor tenaga kerja pada stasiun kerja pemotongan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.14. Tabel 4.14. Rating Factor Proses Pemotongan Pisang (Akhir) Faktor
Kelas/Lambang Skill Good/C1 Effort Good/C1 Conditions Good/C Consistency Excellent/B Rating Factor (Sumber: Data Olahan, 2014)
Penyesuaian + 0,06 + 0,05 + 0,03 + 0,03 + 0,17
b. Allowance factor Allowance factor tenaga kerja pada stasiun kerja pemotongan pisang dapat dilihat pada Tabel 4.15. Tabel 4.15. Allowance Factor Proses Pemotongan Pisang (Akhir) Faktor Tenaga yang dikeluarkan Sikap kerja Gerakan kerja Kelelahan mata
Kriteria
Allowance (%)
Dapat diabaikan
1
Duduk Normal Pandangan yang terus menerus dengan fokus berubah Normal
1 0 2
Keadaan temperatur tempat kerja Baik Keadaan atmosfer Bersih, sehat, dengan kebisingan Keadaan lingkungan rendah yang baik Allowance Factor (Sumber: Data Olahan, 2014)
3 0 0 7
85
c. Waktu siklus n
Ws
=
x i 1
i
N 1.064,28 = 35,48 menit 30
d. Waktu normal Wn = Ws x (1 + % rating factor) Wn = 35,48 menit x (1 + 0.17) = 41,51 menit Berdasarkan perhitungan diketahui waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pada stasiun kerja pemotongan pisang dengan operator berkemampuan normal pada fasilitas kerja baru adalah selama 41,51 menit. e. Waktu baku Wb = Wn x (1 + % allowance factor) Wb = 41,51 menit x (1 + 0,07) = 44,42 menit Maka, waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja dengan mempertimbangkan allowance factor untuk menyelesaikan pekerjaan di stasiun kerja pemotongan pisang pada fasilitas kerja baru adalah selama 44,42 menit.
86
Dari hasil pengukuran waktu normal dan waktu baku pada fasilitas kerja baru dapat dibandingkan dengan waktu normal, waktu baku dan alloance factor pada fasilitas kerja lama, seperti pada Tabel 4.16. Tabel 4.16. Perbandingan Waktu Normal, Waktu Baku dan Allowance Factor Pekerjaan
Waktu Normal
∆t
Waktu Baku
∆t
Allowance
(menit)
(menit)
(menit)
(menit)
Factor (%)
Lama
Baru
Pengupasan
24,4
18,53
Pemotongan
45,33
41,51
Lama
Baru
5,87
22,38
20,01
3,82
50,31
44,42
∆t (%)
Lama
Baru
2,37
9
8
1
5,89
11
7
4
(Sumber: Data Olahan, 2014) Dari Tabel 4.16. diperoleh bahwa dengan fasilitas kerja baru terjadi penurunan waktu normal, waktu baku dan allowance factor. Waktu normal mengalami penurunan sebesar 5,87 menit (24,06%) pada proses pengupasan pisang dan 2,37 menit (10,59%) pada proses pemotongan pisang. Waktu baku mengalami penurunan sebesar 3,82 menit (8,43%) pada proses pengupasan pisang dan 5,89 menit (11,71%) pada proses pemotongan pisang. Allowance factor mengalami penurunan sebesar 1% pada proses pengupasan pisang dan 4% pada proses pemotongan pisang.
J. Analisis Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Akhir PTKTK (Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri) menggambarkan gerakan yang dilakukan oleh tangan kanan dan kiri selama bekerja. Analisis PTKTK dilakukan untuk menemukan gerakan kerja yang efisien, menyeimbangkan
87
gerakan dan beban antara tangan kanan dan kiri, serta menjelaskan sistem kerja yang berulang dan cepat selama bekerja. Berikut adalah analisis PTKTK pekerja pengupasan pisang (Gambar 4.21) dan pemotongan pisang (Gambar 4.22) dengan menggunakan fasilitas kerja baru:
Gambar 4.21. Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Pengupasan Pisang (Akhir) (Sumber: Data Olahan, 2014)
88
Gambar 4.22. Peta Tangan Kanan dan Tangan Kiri Pekerja Pemotongan Pisang (Akhir) (Sumber: Data Olahan, 2014) Pada Gambar 4.21., dijelaskan bahwa proses pengupasan menggunakan fasilitas kerja baru diawali dengan pengambilan sisir pisang yang berada di dalam
89
container menggunakan tangan kiri lalu diletakan di atas meja landasan pengupasan pisang untuk dikupas. Sisir pisang dikupas menggunakan tangan kanan dan tangan kiri secara bersama. Kulit pisang ditahan menggunakan tangan kiri sedangkan tangan kanan melempar pisang ke dalam loyang penampungan pisang kupas. Setelah buah pisang habis dikupas, sisir pisang di masukan kedalam bak sampah di kanan pekerja, sedangkan tangan kiri secara bersamaan mengambil sisir pisang baru untuk dikupas. Pada Gambar 4.22., proses pemotongan pisang diawali dengan pengambilan loyang tempat penampungan pisang potong yang telah disiapkan di meja kanan pekerja. Di dalam loyang, sebelumnya sudah diletakan talenan dan pisau. Pengambilan loyang tersebut dilakukan menggunakan tangan kanan, sedangkan secara bersamaan tangan kiri mengambil buah pisang yang sudah dikupas di sebelah kiri pekerja. Pisang diletakan di atas talenan untuk dipotong. Tangan kiri memegang pisang, sedangkan tangan kanan memotong pisang kemudian dimasukan kedalam loyang menggunakan bantuan pisau. Proses pemotongan pisang dilakukan hingga memenuhi volume loyang. Setelah cukup, talenan dan pisau diangkat menggunakan tangan kiri, secara bersamaan loyang diletakan pada laci peletakan loyang pisang potong menggunakan tangan kanan. Kemudian tangan kanan mengambil loyang baru lalu diletakan di meja pemotongan, talenan dan pisau yang masih terangkat kemudian diletakan kembali, dilanjutkan proses pemotongan pisang kembali. Dari hasil analisis PTKTK terdapat penurunan total idle time, seperti pada Tabel 4.17.
90
Tabel 4.17. Perbandingan Total Idle Time Pekerjaan
Pengupasan Pemotongan
∆t
Idle Time Tangan Kiri Sistem Sistem Kerja Lama Kerja Baru 1 detik 0 detik 2 detik
1” 2”
0 detik
Idle Time Tangan Kanan Sistem Sistem Kerja Lama Kerja Baru 2 detik 2 detik 0 detik
0 detik
∆t
0” 0”
(Sumber: Data Olahan, 2014) Selain menggunakan analisis PTKTK, digunakan pula analisis pola gerakan kerja supaya dihasilkan gerakan yang efektif. Pola gerakan pengupasan pada fasilitas kerja baru terdapat 3 pola, yaitu mengambil sisir pisang, menjatuhkan pisang kupas ke container dan membuang kulit pisang. Pola gerakan pemotongan pada fasilitas kerja baru terdapat 3 pola, yaitu Mengambil container beserta talenan dan pisau di dalamnya, menjatuhkan pisang potong ke container dan mengangkat talenan dan pisau (tangan kiri) serta memasukan container pisang kupas ke laci (tangan kanan). Analisis pola gerakan kerja dapat dilihat pada Lampiran 8. Terdapat penyederhanaan pola gerakan dengan menggunakan fasilitas kerja baru, seperti pada Tabel 4.18. Tabel 4.18 Perbandingan Pola Gerakan Kerja Pekerjaan
Fasilitas Kerja Lama Pengupasan
∆
Pola Gerakan Kerja Mengambil tampah
Fasilitas Kerja Baru Mengambil sisir pisang
Mengambil sisir pisang Menjatuhkan Memasukan pisang kupas ke tampah Membuang sampah
pisang
kupas ke container Membuang
(kulit pisang)
sampah
1
91
Pemotongan Mengambil pisang
Mengambil container
kupas
beserta talenan dan
Mengambil tampah
pisau di dalamnya
Mengambil talenan
Menjatuhkan pisang
Mengambil pisau Mengambil dan
3
potong ke container Mengangkat talenan
meletakan baskom Mengambil pisang
kupas
dan pisau (tangan kiri) dan memasukan container pisang kupas ke laci (tangan kanan)
(Sumber: Data Olahan, 2014)
K. Analisis Nordic Body Map Questionnaire Akhir Analisis keluhan NBMQ (Nordic Body Map Questionnaire) setelah dilakukan uji coba menggunakan fasilitas kerja baru bertujuan untuk mengetahui apakah fasilitas kerja baru mampu menurunkan resiko keluhan MSDs (musculoskeletal disorder) yang dirasakan sebelum menggunakan fasilitas kerja baru. Berikut adalah perbandingan keluhan rasa sakit yang dialami oleh pekerja pengupasan dan pemotongan pisang sebelum dan setelah bekerja saat menggunakan fasilitas kerja lama dan setelah menggunakan fasilitas kerja baru, yaitu: Keluhan Rasa Sakit Pekerja Sebelum dan Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Lama (Tabel 4.19), Keluhan Rasa Sakit Pekerja Sebelum dan Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Baru (Tabel 4.20) dan Keluhan Rasa Sakit Pekerja Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Lama dan Baru (Tabel 4.21).
92
Tabel 4.19 Keluhan Rasa Sakit Pekerja Sebelum dan Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Lama Postur
Sebelum
Setelah
Kerja
Pekerja
Bekerja
Bekerja
Pengupasan Pisang
Stasiun
397 menit/hari
Tidak sakit: Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pengupasan
100%
Tidak sakit: 28,57% Sedikit sakit: 42,86% Sakit: 17,86% Sangat sakit:
Pemotongan Pisang
10,71%
403 menit/hari
93
Tidak sakit: Presentase tingkat kesakitan yang
100%
dirasakan pekerja pengupasan
Tidak sakit: 25% Sedikit sakit: 32,14% Sakit: 32,14% Sangat sakit: 10,71%
(Sumber: Data Olahan, 2014)
Tabel 4.20. Keluhan Rasa Sakit Pekerja Sebelum dan Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Baru Postur
Sebelum
Setelah
Kerja
Pekerja
Bekerja
Bekerja
Tidak sakit:
Tidak sakit:
Pengupasan Pisang
Stasiun
350 menit/hari Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pengupasan
100%
60,71% Sedikit sakit: 35,71% Sakit: 3,57% Sangat sakit: 0%
Pemotongan Pisang
94
355 menit/hari Tidak sakit: Presentase tingkat kesakitan yang
100%
dirasakan pekerja pengupasan
Tidak sakit: 64,28% Sedikit sakit: 32,14% Sakit: 3,57% Sangat sakit: 0%
(Sumber: Data Olahan, 2014)
Tabel 4.21. Keluhan Rasa Sakit Pekerja Setelah Bekerja Saat Menggunakan Fasilitas Kerja Lama dan Baru
Stasiun Kerja
Pengupasan Pisang
Sebelum
Setelah
Bekerja
Bekerja
95
Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pengupasan
Tidak sakit:
Tidak sakit:
28,57%
60,71%
Sedikit sakit: 42,86% Sakit: 17,86% Sangat sakit:
Sedikit sakit: 35,71% Sakit: 3,57% Sangat sakit: 0%
10,71% Pemotongan Pisang
Tidak sakit: 25% Presentase tingkat kesakitan yang dirasakan pekerja pengupasan
Sedikit sakit: 32,14% Sakit: 32,14% Sangat sakit: 10,71%
(Sumber: Data Olahan, 2014) Keterangan: a. Hijau
: Tidak sakit
b. Kuning
: Sedikit sakit
c. Oranye
: Sakit
d. Merah
: Sangat sakit
Tidak sakit: 64,28% Sedikit sakit: 32,14% Sakit: 3,57% Sangat sakit: 0%
96
Pada gambar dilihat bahwa penurunan resiko keluhan rasa sakit dirasakan pada bagian punggung, pinggang, pantat dan kaki. Penurunan rasa sakit terjadi karena pekerja merasa lebih nyaman saat bekerja. Perubahan postur tubuh saat bekerja membuat beberapa bagian tubuh pekerja mengalami penurunan tingkat resiko kesakitan kerja. Perhitungan keluhan rasa sakit pada pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dapat dilihat pada Lampiran 12. Diketahui bahwa terdapat penurunan keluhan rasa sakit sebesar 32,20% pada pekerja pengupasan dan 39,06% pada pekerja pemotongan saat menggunakan fasilitas kerja baru.
L. Analisis Postur Kerja Akhir Analisis postur kerja akhir dilakukan untuk mengetahui seberapa penurunan level resiko yang dialami oleh pekerja dengan menggunakan fasilitas kerja baru. Melalui perancangan fasilitas kerja baru diharapkan dapat memperbaiki postur kerja dan meningkatkan kenyamanan pekerja selama bekerja. Analisis lanjut dilakukan dengan menggunakan metode OWAS dengan tahapan analisis, yaitu: 1. Penilaian pada punggung (back)
Gambar 4.23. Postur Punggung Pekerja (Akhir) Postur punggung tegak saat bekerja, dengan nilai 1.
97
2. Penilaian pada lengan (arms)
Gambar 4.24. Postur Lengan Pekerja (Akhir) Postur kedua lengan tergolong di bawah level ketinggian bahu saat bekerja, dengan nilai 1. 3. Penilaian pada kaki (legs)
Gambar 4.25. Postur Kaki Pekerja (Akhir) Postur kaki duduk, dengan nilai 1. 4. Penilaian pada beban (load/use factor) Berat beban yang ditangani oleh pekerja adalah berat sesisir pisang terhitung ± 1 kilogram atau < 10 kilogram, dengan nilai 1. Nilai yang diperoleh dari penilaian masing-masing postur disesuaikan dengan nilai pada tabel OWAS yang dipengaruhi oleh presentase waktu kerja/hari. Pada kasus ini, pekerja pengupasan pisang bekerja selama 398 menit/hari
98
sedangkan pekerja pemotongan pisang bekerja selama 404 menit/hari, lama kerja tersebut jika dibanding dengan perhitungan bahwa kerja 8 jam/hari setara dengan presentase 100%, maka presentase pekerja pengupasan dan pemotongan pisang dalam bekerja bernilai 80%. Jadi, nilainya diubah ke kolom nilai dengan presentase waktu kerja 80%. Hasilnya, tidak terjadi perubahan nilai. Nilai akhir yang diperoleh pada Grand Total Score adalah 1, maka tergolong pada action level 1, yaitu menunjukan bahwa postur bisa diterima jika tidak berulang dalam periode yang lama. Jendela kerja menggunakan software Ergofellow bisa dilihat pada Lampiran 13.
M. Analisis Jarak dan Perpindahan Data jarak antar aktivitas didapatkan melalui pengamatan pada proses
produksi. Data jarak antar aktivitas bertujuan untuk mengetahui jarak dari masingmasing stasiun kerja sehingga dapat dipergunakan sebagai pertimbangan perbaikan pada proses produksi. Frekuensi perpindahan bahan (transport) dari setiap stasiun kerja ke stasiun kerja lainnya yang digunakan merupakan frekuensi transportasi untuk setiap 1 batch produksi atau 13,69 kg pisang. Penjabaran jarak dan waktu transport masing-masing aktivitas dapat dilihat pada Lampiran 18. Fasilitas kerja baru menggabungkan stasiun kerja pengupasan dan stasiun kerja pemotongan dalam satu lokasi. Jadi, dengan menggunakan fasilitas kerja baru sistem kerja menjadi lebih efisien dan efektif, gerakan kerja lebih sederhana dan sedikit, pekerja lebih bisa menghemat tenaga dan tidak ditemukan perpindahan bahan baku.