BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan organisasi keagamaan dalam kemanusiaan mulai berkembang pada abad ke 19 (Appley, 2000). Para ilmuan menyebutkan kontribusi aktor keagamaan dalam diskursus kemanusiaan sangat signifikan namun banyak aktivitas tersebut tidak tercatat dengan baik dan berlalu begitu saja (Ferris, 2011). Kegiatan amal yang tidak tercatat dengan baik dan dilaporkan dengan terstruktur menyebabkan rekam jejak aktivitas kemanusiaan aktor keagamaan tidak dapat dihitung secara pasti. Faktor dan alasan yang melatar belakangi aktor keagamaan untuk terlibat dalam aktivitas kemanusiaan bisa saja berbeda. Namun dapat disimpulkan dua faktor yang relatif sama sebagai alasan mengapa aktor keagamaan terlibat dalam aktivitas tersebut, salah satunya dilandasi oleh ajaran agama (nilai dan prinsip) dan perkembangan isu dunia (Feriss, 2005, 2011; Krafes, 2005). Di Indonesia terdapat dua organisasi Islam yang banyak terlibat dalam aktivitas kemanusiaan salah satunya adalah Muhammadiyah (Farah & Shaw, 2012; Bush, 2013). Muhammadiyah memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Muhammadiyah turut berperan aktif dalam setiap aspek kehidupan masyarakat baik politik, ekonomi, sosial dan budaya (pendidikan dan kesehatan). Konstribusi Muhammadiyah dalam
1
hal tersebut turut berperan dalam mewujudkan tidak hanya perdamaian negatif namun juga perdamaian positif di Indonesia. Keterlibatan Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilihat dari kontribusinya baik dalam aspek sosial-ekonomi, pendidikan dan politik melalui berbagai macam aktivitas dan amal usaha yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Amal usaha tersebut meliputi sektor pendidikan dari tingkat pendidikan usia dini hingga Perguruan Tinggi, ekonomi dan kesehatan. Hal ini juga tentunya ditunjang dengan persebaran Muhammadiyah hampir diseluruh wilayah nusantara baik perkotaan maupun pedesaan, menjadi bukti peran aktif Muhammadiyah dalam membangun bangsa Indonesia. Muhammdiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahhun 18 November 1912 sampai saat ini telah berkembang sangat luas meliputi seluruh wilayah nusantara dengan jumlah jaringan (cabang/ranting) di 33 provinsi dan anggota lebih dari 28 juta orang (Husein, 2013). Mulkhan (2010) dan Fauzia (2012) menyebutkan keterlibatan Muhammadiyah dalam aktivitas kemanusiaan sudah dilakukan sejak awal pendiriannya. Fauzia (2010) menyebutkan aktivitas kemanusiaan
Muhammadiyah
tersebut
merupakan
bentuk
dari
konsep
philanthropy atau kedermawanan. Hal ini terlahir dari pemikiran Ahmad Dahlan terhadap tafsir ayat Al-Quran yaitu surat Al-Maun1 dan kondisi masyarakat saat itu. Etika kemanusiaan K.H. Ahmad Dahlan tersebut kemudian terlembagakan dengan sebutan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) pada tahun 1920 atas
1
Surat tersebut terdiri dari 7 ayat
2
inisiasi
Kyai
Soejak
(Syoejak,
2003;
Fauzia,
2012;
Mulkhan
2010;
Muhammadiyah). Pada saat itu Muhammadiyah disebut sebagai salah satu organisasi keagamaan yang cukup toleran dan inklusif (Mulkhan, 2010; Fauzia, 2013). Namun kemudian, prinsip kemanusiaan yang diusung pendiri Muhammadiyah dalam prakteknya melalui PKO tidak bertahan lama. Terjadi penurunan yang cukup
signifikan
dalam
inklusitifitas
terhadap
praktek
kemanusiaan
Muhammadiyah setelah tahun 1939 (Mulkhan, 2010; Fauzia 2012). Pada akhirnya Muhammadiyah lebih diidentikan sebagai organisasi yang konsen pada masalah ibadah dan pemurnian agama. Pada tahun 2005 diinisiasi kembali lembaga yang secara khusus menjadi representatif kemanusiaan Muhammadiyah pasca Tsunami 2004. Pada 2007 diputuskan pembentukan Pusat Penanggulangan Bencana (PPB) berdasarkan pada Surat Keputusan Nomor: 58/KEP/I.0/2007 berdasarkan pada rekomendasi internal yang terdapat dalam Pasal 1 keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 45 tahun 2005. Pada Mukatamar ke 46 pada tahun 2010, PPB ditetapkan menjadi Muhammadiyah Disaster Managament Center (MDMC). Lembaga ini secara khusus bergerak dalam aktivitas kemanusiaan universal yang secara tidak langsung mengembalikan fungsi lembaga sebelumnya yang dibangun berdasarkan pada etika kemanusiaan Ahmad Dahlan. Etika kemanusiaan Muhammadiyah ini didukung dengan pernyataan pemikiran Muhammadiyah pada Muktamar ke 46 pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa Muhammadiyah mengembangkan
3
wawasan keislaman yang bersifat kosmopolitan sebagai salah satu agenda Muhammadiyah abad ke dua (PP Muhammadiyah, 2010). Pembentukkan dua lembaga kemanusiaan Muhammadiyah pada abad pertama melalui PKO (1917 - 1939) dan abad kedua dengan terbentuknya MDMC (2010 – saat ini), menempatkan Muhammadiyah sebagai salah satu aktor keagamaan yang memiliki peran aktif dalam diskursus kemanusiaan. Keduanya mengusung gagasan dan landasan yang sama dalam aktivitas kemanusiaan Muhammadiyah. Namun tentu memiliki perbedaan yang mendasar tentang bagaimana keduanya menerjemahkan kedua hal tersebut dalam setiap praktek kemanusiaannya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah dengan terbentuknya MDMC dapat menjawab tuduhan akan praktek ekslusifitas dan menurunnya etika kemanusiaan Muhammadiyah yang diusung oleh para Pendiri Muhammadiyah terdahulu? Mungkinkah MDMC dapat mewakili Muhammadiyah untuk mewujudkan wawasan keislaman yang bersifat kosmopolitan sesuai dengan mandat Muktamar Muhammadiyah ke 46 tahun 2010. Hal ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dengan membandingkan etika kemanusiaan Muhammadiyah yang diwakili oleh PKO dan MDMC. Keberadaan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan dalam aktivitas kemanusiaan sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dengan pertanyaan tersebut berdasarkan uraian di atas. Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menganalisis mengapa Muhammadiyah terlibat dalam aktivitas kemanusiaan pada abad kedua dengan mengusung kosmopolitanisme, apakah terdapat perbedaan mendasar antara aktivitas sebelumnya (PKO) dan yang saat ini 4
dilakukan (MDMC). Analisis yang diajukan dalam tulisan ini membahas tentang pemikiran Muhammadiyah tentang kemanusiaan pada abad pertama dan kedua, serta bagaimana Kosmopolitanisme melihat keterlibatan FBOs dalam aksi-aksi kemanusiaan dengan menganalisis peran MDMC dalam aktivitas PRB melalui pendekatan berbasis komunitas. Dalam analisis tersebut termasuk didalamnya analisis aktiftas Muhammadiyah dalam aksi-aksi kemanusiaan terkait dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Dengan demikian, dapat dilihat sejauh mana peran organisasi keagamaan dalam menciptakan perdamaian tidak hanya perdamaian negatif namun juga perdamaian positif khususnya dalam diskursus kemanusiaan sehingga terwujudnya kesatuan manusia. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang diatas, berikut rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran Muhammadiyah terhadap kemanusiaan? 2. Bagaimana peran Muhammadiyah sebagai salah satu FBOs melalui MDMC dengan menerapkan CBDRM dalam aksi-aksi kemanusiaan dilihat dari prinsip kemanusiaan universal dan perspektif Kosmopolitan? C. Manfaat Penelitian Penelitian ini tidak hanya bermanfaat secara akademis namun juga bagi para praktisi. Hal ini dapat menunjukkan bahwa agama bukan menjadi penghalang maupun batasan bagi pekerja kemanusiaan untuk melakukan dan
5
memberikan pertolongan kemanusiaan. Penelitian ini menguatkan keberadaan agama sebagai landasan para pekerja kemanusiaan untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Dan tentunya menunjukkan dan memperkuat keberadaan FB-CSOs dapat berkontribusi dalam mewujudkan baik perdamaian negatif maupun perdamaian positif dengan mengembangkan wawasan agama yang bersifat kosmopolitan. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemikiran dan peran Muhammadiyah dalam aksi-aksi kemanusiaan. Dengan menganalisis mengapa dan bagaimana Muhammadiyah dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan dari abad pertama dan abad kedua dengan mengambil momentum keberadaan dua lembaga representatif kemanusiaan Muhammadiyah yaitu PKO (19920-1936) dan MDMC (2010-2014). Dan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal dan perspektif kosmopolitan baik dalam bencana maupun konflik. E. Tinjauan Pustaka Perkembangan isu-isu kemanusiaan dan penerapan prinsip-prinsip/nilainilai kemanusiaan dalam dinamika kehidupan masyarakat dunia memberi pengaruh yang luar biasa dalam tingkah laku individu maupun kolektif/komunitas. Keberadaan organisasi sosial kemasyarakatan/keagamaan (FBOs) dalam hal ini memiliki tempat tersendiri untuk dikaji lebih jauh bagaimana peran/kontribusinya terkait dengan kemanusiaan sebagai prinsip/nilai maupun pendekatan. Diskusi dan perbincangan isu-isu kemanusiaan bukanlah hal baru. Khususnya dalam dunia
6
akademis terdapat berbagai karya yang memuat tentang perdebatan maupun kritik terhadap aksi-aksi kemanusiaan. Diantara tulisan-tulisan tersebut terdapat beberapa karya yang menyebutkan tentang keterkaitan agama dengan isu-isu kemanusiaan. Tidak sedikit dari tulisan-tulisan mereka membahas tentang keberadaan civil society organization berbasis keagaman memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam isu-isu kemanusiaan. Pembahasan mengenai kemanusiaan baik aktor maupun aksi tidak terlepas dari pemikiran kosmopolitanisme. Sebagai salah satu pendekatan dan teori besar dalam
diskurusus
kemanusiaan,
pemikiran
dan
paham
kosmopolitan
mempengaruhi perkembangan isu-isu kemanusiaan. Dalam hal ini, perlu kiranya untuk melihat bagaiamana Kosmopolitanisme memandang keberadaan FBOs dalam aksi-aksi kemanusiaan. Untuk menguatkan pentingnya penelitian ini di lakukan, penulis menghadirkan beberapa tulisan yang dianggap penting untuk membedakan dan memberikan penekanan pentingnya penelitian ini dilakukan. Jamal Krafess (2005) dan menulis secara luas bagaimana Islam memandang kemanusiaan dan bantuan kemanusiaan. Beliau memaparkan sumbersumber Islam (Al-Quran dan hadist) sebagai landasan kemanusiaan serta tindakan atau kegiatan kemanusiaan yang dilakukan. Namun demikian beliau tidak secara rinci menyebutkan FBOs tertentu. Tulisan beliau dapat dijadikan landasan konseptual bagaimana keyakinan dapat memobiliasi atau menginisiasi aksi-aksi kemanusian khususnya FB dalam penelitian ini.
7
Zamroni (2011) secara terpisah mengkaji tentang bagaimana Islam dan kearifan lokal dalam PRB. Beliau mengemukakan landasan Islam dalam tindakan penanggulangan bencana dengan menunjukkan ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan sebagai landasan aktivitas tersebut. Namun dalam hal ini, santri yang dikemukakan oleh Zamroni berafiliasi dengan Nahdatul Ulama sebagai salah satu gerakan Islam yang juga memiliki kepedulian terhadap PRB. Beliau membahas kearifan lokal dalam kaitannya dengan PRB dan melihat bagaimana peran serta keduanya dalam hal itu. Tentunya ini sangat berbeda dengan pembahasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan ini terlihat dari sudut aktor yang berperan dalam PRB itu sendiri. Sehingga terdapat perbedaan perspektif yang dikemukakan oleh aktor yang penulis teliti. Elizabeth
Ferris
(2005)
dalam
artikelnya
membahas
mengenai
perbandingan antara organisasi kemanusiaan berbasis agama dan sekuler. Beliau menjelaskan tentang perbedaan peran diantara keduanya dan tantangan yang dihadapi. Dan berakhir pada kesimpulan bahwa perlu banyak perbaikan dalam hal pembangunan kapasitas dari organisasi kemanusiaan lokal dan dalam koordinasi dari program kerja LSM. Ferris dalam artikel ini mengambil contoh organisasi kemanusiaan berbasis agama yang berasal dari organisasi Kristen. Hal ini tentu berbeda dengan pembahasan dalam penelitian yang akan di lakukan penulis. Dalam penelitian ini penulis mengambil kasus mengenai peran Muslim, Faith based Organizations (FBOs) dengan berfokus hanya pada satu aktor yaitu Muhammadiyah, sehingga dapat menganalisis secara lebih komprehensif.
8
Pada artikel lainnya, Ferris (2011) membahas hubungan antara agama dan kemanusiaan yang ada dalam tradisi keagamaan berbeda yang menekankan pada organisasi Islam dan Kristen. Terdapat tiga bahasan utama dalam artikel tersebut yaitu: (1) perbedaan antar organisasi keagamaan; (2) profesionalisme dan kerjasama; dan (3) kerjasama dengan organisasi sekuler. Beliau menyimpulkan perlu adanya penelitian lebih lanjut dan spesifik terkait peran organisasi kemanusiaan berbasis agama. Mulyasari & Shaw (2012, hal 131-150) dalam artikelnya yang membahas tentang peran FB-CSOs dalam PRB di Indonesia, menyebutkan keberadaan Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai salah satu aktor komunitas yang terlibat dalam PRB. Beliau menjabarkan tentang peran kedua organisasi tersebut dalam PRB melalui pembangunan kapasitas masyarakat melalui komunitas baik di kota maupun pedesaan. Dalam tulisan tersebut beliau menyebutkan bahwa keberadaan kedua organisasi tersebut merupakan perwujudan dari community based disaster risk management (CBDRM). Namun demikian pembahasan beliau tidak menempatkan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagai salah satu subtansi dalam tulisan beliau. Beliau hanya membahas bagaimana peran komunitas yang ada di Indonesia dalam Disaster Risk Reduction (DRR). Keterangan dalam tulisan beliau dapat menjadi landasan kuat keberadaan FBOs dalam PRB. Artikel
yang
serupa
membahas
peran
Muhammadiyah
terhadap
kemanusiaan adalah Fauzia (2012) dalam artikel beliau yang berjudul Creating Muslim Civil Society without Discrimination with Regard to Nationality and Religion: Muhammadiyah Philanthropic Activities in the Colonial Period. 9
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan, beliau hanya membahas peran Muhammadiyah dalam kemanusiaan dengan terbentuknya Lembaga PKO tahun 1920 -1936 pada periode penjajahan. Spirit kemanusiaan Muhammadiyah yang tercemin dari Lembaga tersebut adalah mengusung nilai-nilai inklusivitas dalam kepedulian terhadap sesama sebagai wujud kesatuan manusia. Tulisan beliau menjadi salah satu sumber kuat tentang peran Muhammadiyah dalam aktivitas kemanusiaan. Di lain pihak, Mulkhan (2010) dalam bukunya yang berjudul Jejak Pembaharuan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan, beliau membahas tentang
dinamika
perkembangan
pemikiran
dan
pergulatan
internal
Muhammadiyah dalam permasalahan sosial dan kemanusiaan. Beliau berpendapat terdapat pergeseran makna prinsip kemanusiaan yang cukup signifikan setelah kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan. Generasi penerusnya dianggap lebih mementingkan penempatan atau posisi politik dan melupakan nilai kemanusiaan yang diajarkan Kiai Ahmad Dahlan. Namun dalam buku tersebut, beliau hanya membahas dinamika internal Muhammadiyah tanpa menggunakan teori atau konsep
kemanusiaan
universal.
Beliau
tidak
membahas
keberadaan
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan dalam isu kemanusiaan seperti halnya penelitian yang akan dilakukan. Rahmawaati Husein (2012) dalam artikelnya memaparkan tentang bagaimana Muhammadiyah berkolaborasi dengan berbagai aktor dalam merespon bencana yang terjadi di Indonesia (networking). Dalam hal ini kiranya beliau tidak menyinggung secara spesifik mengenai bagaimana Muhammadiyah dan 10
kemanusiaan secara mendasar. Muhammad Rokib (2012) dalam makalahnya membahas peran Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi keagamaan dalam kaitannya dengan manajemen bencana. Sedikit banyak malakah ini memiliki kemiripan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, namun demikian penelitian yang telah beliau lakukan memiliki pendekatan yang berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan (pendekatan kemanusiaan). Dalam analisisnya Rokib menggunakan pendekatan etnografis dalam melakukan penelitiannya. Keberadaan Muhammadiyah dalam isu kebencanaan juga dikemukakan oleh Barnaby Willits-King (2009). Dalam artikelnya beliau menyebutkan
faith-based
social
organizations
Indonesia
diantarnya
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) menjadi salah satu aktor nonpemerintah yang berperan penting dalam manajemen bencana. Berbagai tulisan dan ulasan diatas dapat digunakan penuli untuk menjadi landasan pentingnya penelitian ini dilakukan. Menegaskan keberadaan FBOs dalam aktivitas kemanusiaan baik dalam aspek tantangan, hambatan dan lesson learn/best practices, dengan menganalisis alasan mengapa dan bagaimana aktor keagamaan menerjemahkan prinsip dan nilai-nilai keagamaan dalam mengahdapi permasalahan kemanusiaan universal mengikuti perubahan dan tuntutan zaman. F. Landasan Teori/Dasar Pemikiran Teoritis Untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dalam tulisan ini, penulis akan mengkerangkai penelitian dengan beberapa landasan teori atau kerangka dasar pemikiran teoritis sehingga argumen dan temuan di lapangan dapat terbentuk menjadi tulisan ilmiah. Tentunya landasan teoritis ini dapat 11
dijadikan dasar pemikiran dalam menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan. Berikut konsep dan landasan teoritis yang penulis ajukan dalam tulisan ini: 1. Humanitarianism Donini (2010, hal 220) mengatakan bahwa pengertian dari konsep humanitarianisme atau kemanusiaan penuh dengan ketidakpastian (ambigu) yang mengandung tiga hal terpisah yang saling tumpang tindih yaitu; sebuah ideologi, sebuah gerakan dan pekerjaan. Namun ketiganya disatukan dengan pengertian sebagai berikut:
“…humanitarianism is a board commitment to alleviating the suffering and protecting the lives of civilians caught up in conflict or crisis.”(Donini, 2010 hal 220) Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep humanitarinisme mengusung adanya komitmen untuk menghilangkan penderitaan dan melindungi kehidupan yang diakibatkan oleh konflik maupun krisis baik sebagai ideologi, gerakan dan pekerjaan. Kelly2 menyebutkan bahwa humanitarinisme digerakan oleh kewajiban untuk menolong seseorang yang menderita akibat adanya gangguan atau kekacauan, di mana kewajiban ini menjadi landasan moral seseroang untuk melakukan aksi kemanusiaan. Melengkapi hal tersebut, Glover3 menyebutkan dua alasan moral sebagai landasan aktivitas kemanusiaan, yaitu:
2
& 3 Disampaikan oleh Annisa G.S. salah seorang dosen S2 HI UGM dalam mata kuliah Humaniter dan Teori Hubungan Internasional pada program studi Diplomasi Humaniter Global semester 1
12
“…(1) the tendency to respond to people with certain kinds of respect as a bound to the idea of dignity; (2) sympathy as a part of caring behavior to address the miseries and the happiness” (Glover hal 22) Humanitarianisme tidak hanya dikerangkai oleh kewajiban moral sebagai legitimasi
pentingnya
melakukan
aktivitas
kemanusiaan.
namun
untuk
memastikan adanya penghormatan baik bagi pekerja maupun objek kemanusiaan. Terdapat prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang harus dipatuhi oleh setiap aktor kemanusiaan tidak terkecuali aktor keagamaan. 2. Prinsip-prinsip Kemanusiaan Universal Dunia internasional memberi perhatian terhadap perkembangan, keamanan dan keselamatan baik pekerja kemanusiaan dan masyarakat terdampak. Hal ini dibuktikan dengan membuat aturan dan kerangka kerja bagi setiap aktor kemanusiaan dalam
melakukan aksinya. Salah satunya adalah dengan
dibentuknya prinsip-prinsip Kemanusiaan sebagai salah satu prasyarat yang harus dipatuhi oleh setiap aktor kemanusiaan. Secara garis besar terdapat empat prinsip kemanusiaan universal yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut (UNOCHA, 2010): 1. Humanity Prinsip ini menempatkan pentingnya aksi kemanusiaan dilakukan untuk menghilangkan atau meniadakaan penderitaan manusia dimana pun berada dengan tujuan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan dan menjamin penghormatan terhadap manusia. Disini dimaksudkan jelas apa tujuan dari aksi
13
kemanusiaan dan yang mendasari perlunya (landasan utama) melakukan aksi kemanusiaan. Setiap aktor kemanusiaan tentunya harus menempatkan prinsip ini sebagai prioritas dari aktivitas kemanusiaannya, tidak terkecuali bagi aktor keagamaan. 2. Neutrality Prinsip netralitas dalam aksi kemanusiaan menegaskan bahwa aktor-aktor kamanusiaan tidak boleh berpihak dalam permusuhan atau terlibat dalam kontroversi yang bersifat politik, ras, agama atau ideologi dalam melakukan aksiaksi kemanusiaan. Hal ini dimungkinkan untuk tidak condong pada satu sisi dan tetap fokus pada tujuan yang tersebut dalam prinsip pertama. Menarik kemudian perdebatan yang muncul di lapangan terkait prinsip netralitas ini, apakah kemudian netralitas dalam aksi kemanusiaan memiliki pengertian tidak terhentinya penderitaan ataupun sebab terciptanya penderitaan tersebut. Tentunya sedikit berbeda antara aktivitas kemanusiaan saat terjadi bencana alam dan konflik, namun setiap aktor kemanusiaan dalam kedua kondisi tersebut tetap harus menegakkan prinsip kedua ini. Diharapakn tercapainya tujuan dari aktivitas kemanusiaan itu sendiri. 3. Impartiality Prinsip imparsialitas menegaskan bahwa aksi kemanusiaan harus berdasarkan pada asas pemenuhan kebutuhan, memprioritaskan kasus atau bencana yang lebih genting (harus segera ditangani), dan tidak membuat perbedaan yang berdasarkan pada nasionalitas, ras, gender, agama/kepercayaan,
14
kelas dan pilihan politik. Prinsip ini mengharuskan aktor kemanusiaan untuk tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap bencana maupun kasus yang terjadi serta penerima manfaat. Prinsip ketiga ini melengkapi kedua prinsip sebelumnya. Tuduhan akan praktek parsialitas tentu tidak mengherankan bagi aktor keagamaan (Husein, 2012). Baik tuduhan akan netralitas dan impasrialitas aktor keagamaan merupakan fenomena yang sering menjadi hambatan dan tantangan dalam melakukan aktivitas kemanusiaannya. 4. Operational independence Aktor kemanusiaan dalam melakukan aksinya harus terbebas dari kepentingan politik, ekonomi, militer dan kepentingan-kepentingan lainnya dari aktor yang memiliki kekuasaan di areal aktivitas kemanusiaan. Dalam usaha penerapan progam atau aksi kemanusiaan. aktor kemanusiaan ditekankan untuk tidak menjadi alat kepentingan aktor tertentu. Tentunya prinsip keempat ini juga melengkapi ketiga prinsip di atas yaitu humanity, imparsiality dan neutrality. Setiap aktor kemanusiaan tentu tidak dapat bekerja sendiri dalam aktivitas kemanusiaannya, tentu akan bersinggungan dengan banyak stakeholder. Aktor kemanusiaan baik sekuler maupun berbasis keagamaan harus membebaskan diri dari pengaruh pihak berkepentingan. Prinsip ini menegaskan perlunya aktor kemanusiaan
untuk
menjaga
netralitas
dalam
melakukan
aktivitas
kemanusiaannya Keempat prinsip diatas secara garis besar menjadi landasan bagi para pekerja kemanusiaan dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan. Hal ini menjadi
15
platform internasional, regional maupun nasional serta lokal dalam melakukan aktivitas kemanusiaan baik dalam situasi bencana alam maupun konflik sosial. Prinsip-prinsip kemanusiaan ini pula harus diaati oleh FBOs yang bergerak dalam isu-isu kemanusiaan tidak terkecuali Muhammadiyah baik melalui MDMC srcata khusus terkait isu kebencaan dan konflik. 3. Kosmopolitanisme Kosmopolitanisme memiliki pengaruh besar dalam diskursus kemanusiaan dengan argumen utama yang menyebutkan bahwa manusia berdasarkan pada identitas yang satu (single identity) dan dengan delapan prinsip yang disebut sebagai cosmopolitan rights (Held, 2002, 2004), kosmopolitanisme menempatkan manusia sebagai individu yang bebas dan menjadi subyek atas kepentingannya sendiri. Secara garis besar kedelapan prinsip Kosmopolitan ini mengandung prinsip-prinsip kemanusiaan universal, yang menjadi landasan utama bagi setiap aktor kemanusiaan dalam melakukan aktivitas kemanusiaan. Held (2004, hal 1315) menyebutkan delapan prinsip tersebut sebagai landasan untuk melindungi dan memelihara kesetaraan setiap individu dalam ‘the moral realm of all humanity’. Eight principles are paramount…(1) equal worth and dignity; (2) active agency; (3) personal responsibility and accountability; (4) consent; (5) collective decisionmaking about public matters through voting procedures; (6) inclusiveness and subsidiarity; (7) avoidance of serious harm; and (8) sustainability (Held, 2004). Held membagi ke delapan prinsip tersebut membaginya menjadi 3 bagian yang saling terkait satu sama lain dan tidak dapat terpisahkan. tiga bagian tersebut diuraikan Held (2004, hal 15) sebagai berikut: 16
1.
Prinsip 1, 2 dan 3; Held (2004) menyebutnya sebagai The fundamental organizational features of the cosmopolitam moral universe yang bermakna bahwa manusia merupakan subject of moral concern. Manusia merupakan individu yang dapat bertindak sendiri sesuai dengan aturan yang ada tanpa paksaan dan diskriminasi. Hal ini juga bagi individu terdampak, mereka harus diperlakukan sama (adil) untuk memutuskan bagaimana mereka bertindak atau membentuk institusi. Tanggung jawab pribadi diartikan bahwa masing-masing aktor dan agen harus menyadari dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka. Mereka sadari atau tidak tindakan mereka dapat membatasi pihak lain.
2.
Dalam Prinsip 4, 5 dan 6, Held (2004) menekankan bahwa aktivitas yang dimulai secara individu atau khusus (ekslusif) harus dikembangkan menjadi lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kepentingan bersama dengan terbentuknya kesepakatan atau kerangka sanksi tindakan secara kolektif. Kekuatan publik merupakan refleksi dari prinsip 4, 5 dan 6.
3.
Pada
prinsip
7
dan
8
merupakan
kerangka
pemikiran
untuk
memprioritaskan kebutuhan yang mendesak dan konservasi sumber daya. Held menjelaskan bahwa kedua prinsip tersebut menekankan (1) terbentuknya kerangka moral untuk memfokuskan kebijakan publik kepada mereka yang paling rentan; dan (2) kebijakan tersebut harus sejalan dengan keseimbangan ekologi global dan tidak merusak sumber daya yang tidak dapat diganti dan diperbaharui.
17
Aktivitas kemanusiaan aktor kosmopolitan tentunya harus sesuai dengan kedelapan prinsip tersebut. Hal ini tidak hanya berlaku bagi aktor sekuler namun juga aktor keagamaan yang menyatakan diri sebagai aktor kamanusiaan kosmopolitan. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan aktor keagamaan yang dimaksud adalah Muhammadiyah. Hal ini didasarkan pada pernyataan pemikiran Muhammadiyah yang menyebutkan dalam Muaktamar ke 46 tahun 2010 sebagai organisasi keagamaan yang mengembangkan wawasan keislaman yang bersifat kosmopolitan (PP Muhammadiyah, 2010). 4. Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) CBDRM merupakan salah satu pendekatan yang terus dikembangkan oleh aktor kemanusiaan dalam melakukan aksinya terutama dalam aktivitas PRB. Abarquez dan Murshed (2004; ADPC, 2003) menyebutkan bahwa CBDRM adalah sebuah proses dimana komunitas/masyarakat terdampak secara aktif terlibat dalam identifikasi, analisis, aktivitas, monitoring dan evaluasi resiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas mereka. Beliau menegaskan bahwa masyarakat berperan penting dalam pengambilan kebijakan dan pelaksanaan setiap aktivitas manajemen/pengurangan resiko bencana, namun demikian untuk kesuksesan kegiatan tersebut, mereka juga perlu dukungan dari aktor lain. Pembnagunan dan peningkatan kapasitas melalui pendekatan ini meletakkan masyarakat sebagai aktor utama dalam setiap proses aktivitas pengeololaan resiko bencana.
18
Pendekatan ini mulai banyak digunakan oleh aktor-aktor kamanusiaan dalam setiap aktivitas kemanusiaan di seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan PRB, pedekatan ini sejalan dengan Kerangka Kerja Hyogo 2005-2015. Disebutkan dalam pilar 1 adanya kegiatan dan upaya untuk membangun kapasitas dan kapabilitas komunitas dalam proses PRB. Di Indonesia, peran komunitas dalam PRB tertulis dalam UU 24 tahun 2007 yang mengatur tentang manajemen bencana. Salah satu organisasi keagamaan yang menerapkan pendekatan ini dalam aktivitas kemanusiaannya yaitu Muhammadiyah (Hadi, 2008; Mulyasari & Shaw, 2012). G. Hipotesis Berdasarkan pada pertanyaan penelitian dan landasan teoritis di atas, penelitian ini memiliki hipotesis sebagai berikut: 1. Keterlibatan Muhammadiyah dalam aktivitas kemanusiaan membuktikan bahwa aktor keagamaan tidak hanya bergelut dalam bidang keagamaan dan kesejahteraan sosial, namun secara pasti bergerak mengikuti perkembangan dunia dengan melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan secara luas salah satunya dengan terbentuknya Majelis PKO (1920 - 1936) dan MDMC (2010 – sekarang). Keduanya dibentuk berdasarkan pada satu landasan yang sama yaitu nilai-nilai agama dan tanggung jawab sosial. 2. Muhammadiyah dalam melakukan aksi-aksi kemanusiaan melalui MDMC tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan universal dan sejalan dengan platform kemanusiaan internasional dalam hal ini HFA 2005-2015 dan
19
prinsip kemanusiaan universal. Salah satunya adalah Muhammadiyah menggunakan pendekatan community based (CBDRM) dalam setiap aksi kemanusiaan khususnya dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB) yang di lakukan oleh MDMC. Sekaligus membuktikan bahwa Muhammadiyah melalui MDMC cukup mampu untuk merealisasikan pengembangan wawasan Islam yang bersifat kosmopolitan sebagai langkah untuk menghadapi permasalahan kemanusiaan universal. H. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode qualitatif dan obervasi dengan keterlibatan peneliti secara langsung di lembaga Muhammadiyah dalam hal ini MDMC. Penelitian ini juga menggunakan literatur-literatur terkait seperti halnya buku, artikel maupun jurnal-jurnal akademis, dan memungkinkan adanya wawancara terhadap narasumber bersangkutan. Sumber-sumber data tersebut dapat
digunakan
untuk
mempertajam
analisis
data
lapangan
sehingga
menghasilkan jawaban dari rumusan masalah yang diajukan secara komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan. I. Sistematika Penulisan Tesis ini akan terdiri dari IV Bab, di mana Bab I merupakan penjelasan singkat mengenai bahasan penelitian, diikuti dengan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka mengenai materi penelitian dan konsep maupun teori yang akan di gunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya Bab II akan menjelaskan keberadaan FBOs dalam diskursus kemanusiaan secara umum dan pemikiran Muhammadiyah
20
tentang kemanusiaan. Dan bagaimana proses revolusi pemikiran yang ada di internal Muhammadiyah terkait dengan isu-isu kemanusiaan khususnya pada periode terbentuknya MPKO (1920 - 1936) dan MDMC (2010 - sekarang). Pembahasan pada Bab ini akan menitikberatkan pada penenlitian secara teoritik berdasarkan pada temuan di lapangan dan sejarah. Dalam Bab III akan dibahas mengenai implikasi dari proses revolusi pemikiran Muhammadiyah terhadap kemanusiaan. Bahasan dalam bab ini terbagi menjadi tiga pembahasan besar yaitu: (1) proses terbentuknya dan profil MDMC sebagai salah satu lembaga Muhammadiyah yang merefleksikan aksi-aksi kemanusiaan; (2) analisis pendekatan CBDRM yang diterapkan MDMC dalam PRB maupun aksi kemanusiaan umumnya dengan empat prinsip kemanusiaan universal dan perspektif kosmopolitan; (3) Hambatan dan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam melakukan aktivitas kemanusiaannya. Tesis ini ditutup pada Bab IV, pada Bab ini penulis akan menyampaikan kesimpulan dari pembahasan dan saran sebagai implikasi adanya penelitian ini.
21