1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Novel Yin Galema karya Ian Sancin merupakan salah satu novel kontemporer Indonesia yang penceritaannya berlatar sejarah. Novel yang terbit pertama kali pada tahun 2009 juga memanfaatkan unsur lain, seperti sosialbudaya dan tenaga sastra lama dalam ceritanya. Pengarang memanfaatkan faktafakta yang ada untuk memberikan efek kepada pembaca. Sastra lama (sastra lisan) Belitung yang dimanfaatkan pengarang dalam novel adalah Hikayat Padang Penyengat (HPP). HPP merupakan salah satu cerita rakyat yang menceritakan tentang perselisihan antara Raja Balok dan Raja Badau. Pengarang memanfaatkan cerita rakyat tersebut dan mengelaborasikannya dengan unsur sejarah, sosial, dan budaya masyarakat Pulau Belitung. Kehadiran fakta sosial, budaya, dan sejarah dalam karya sastra novel pada akhirnya menjadikan sastra sebagai fiksi berkemungkinan diselipi atau dimasukkan peristiwa kenyataan di dalamnya. Fakta-fakta ini menjadi salah satu unsur yang dimanfaatkan pengarang dalam proses kreatif mengarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Selain fakta-fakta ini, keberadaan sastra lama juga ikut membangun makna novel. Jika ditelisik lebih dalam, keberadaan sastra lama merupakan salah satu inspirasi para pengarang Indonesia mutakhir. Tidak sedikit pengarang novel yang menggunakan sastra lama sebagai sumber inspirasi karya mereka. Penggunaan ini bisa dilihat dari pemakaian judul, nama tokoh, penokohan, beberapa unsur atau bagian penting dalam cerita, sampai kerangka karangan sastra lama tercermin dalam karya sastra yang mereka ciptakan.
2
Pemanfaatan sastra lama ke dalam karya sastra novel di Indonesia bukanlah hal baru. Jika mengikuti perkembangannya, banyak novel-novel karya pengarang Indonesia mutakhir memanfaatkan fakta-fakta dan sastra lama tersebut ke dalam karya mereka. Kehadiran fakta-fakta dan sastra lama digunakan sebagai salah satu unsur untuk membangun makna dalam cerita karangannya. Baik disadari atau tidak disadari, secara langsung maupun tidak langsung, hal ini pada akhirnya ikut membentuk pemaknaan terhadap karya yang mereka hasilkan. Menyebut sebagian, kehadiran wiracerita Mahabharata terjemahan sekitar abad ke IX pada zaman Raja Darmawangsan misalnya, menjadi teks dasar atau tenaga atas lahirnya teks-teks berikutnya. Dikatakan demikian karena wiracerita tersebut terus direspon dan mendapat apresisasi luar biasa oleh pengarangpengarang sesudahnya. Mengambil beberapa contoh, kehadiran fisikal teks wiracerita Mahabharata dalam novel Perang karya Putu Wijaya dan novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudistira Adhi Nugroho, (Sudibyo, 1993: 1-5). Kedua novel karya pengarang yang hidup berabad-abad setelah karya itu diciptakan, telah berhasil memanfaatkan wiracerita Mahabharata sebagai tenaga teks untuk membentuk makna karya yang mereka ciptakan. Selain hubungan yang terjadi antara wiracerita Mahabharata dan dua novel di atas, kita juga bisa menemukan hal serupa dalam karya-karya pengarang lain. Kita bisa menemukan bagaimana sastra lama menjadi tenaga bagi lahirnya karya sastra Indonesia kontemporer lainnya. Menyebut beberapa, dalam Roro Mendut karya Ajip Rosidi; Roro Mendut dan Durga Umayi karya Y.B Mangunwijaya; Calon Arang karya Pramudya Ananta Toer; Mengejar Aura Ken Dedes karya Mustofa W. Hasyim; Anak Bajang Menggiring Angin karya
3
Sindhunata; Centhini Kekasih yang Tersembunyi karya Elisabeth D. Inandiak; Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto; Gadjah Mada karya Langit Kresna Hariadi, dan masih banyak karya-karya lainnya. Karya-karya pengarang yang sudah disebutkan di atas hanya beberapa contoh kecil saja dari kenyataan yang dipaparkan. Keadaan ini akhirnya menegaskan apa yang pernah diungkap oleh Teeuw (1983:11-12), bahwa penciptaan karya sastra Indonesia berada dalam ketegangan antara tradisi (konvensi) dan pembaharuan (inovasi). Artinya, ada peristiwa tarik menarik dan saling menguntungkan antara keduanya. Sastra lama sebagai sumber inspirasi, sastra modern sebagai wujud transformasi. Keberadaan unsur sejarah, sosial, dan budaya pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam beberapa karya yang sudah dipaparkan. Jika ditelisik lebih mendalam, “kekuatan” karya sebelumnya di dalam karya-karya tersebut ikut andil menginspirasi karya pengarang modern. Seperti yang sudah diungkapkan, bahwa keberadaan sastra lama ini bisa ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit, mulai dari penggunaan judul, nama tokoh, penokohan, beberapa unsur atau bagian penting dalam cerita, sampai kerangka karangan sastra lama. Kesan implisit ini tentu saja hanya bisa ditemukan oleh pembaca yang juga membaca teks lain. Teks-teks ini, sengaja atau tidak sengaja, akhirnya ikut membentuk makna teks yang dibacanya. Hal ini dikarenakan proses pemaknaan sebuah teks sastra memang terjadi dalam diri seorang pembaca, (Junus, 1997: 18-19). Pada akhirnya, pemaknaan yang dilakukan oleh seorang pembaca inilah yang akan mengungkap hal apa yang terkandung di dalam teks yang mereka baca.
4
Peristiwa ini pada akhrinya menempatkan pengarang dalam dua keadaan yang berbeda dalam waktu bersamaan. Di satu sisi mereka tidak dapat melepaskan diri dari sejumlah hal yang menginspirasi kelahiran karya mereka, dan di sisi lain mereka juga berusaha untuk menemukan keotentikan karyanya. Hal ini dilakukan guna membedakan karya mereka dengan karya-karya yang sudah ada, yang mendahuluinya. Peristiwa inilah yang kemudian memotivasi munculnya inovasi kreatif dan menghadirkan karya sastra kontemporer yang penting serta memiliki kemandirian, (Sudibyo, 1993:1). Keinovasian ini bisa berupa mengurangi, menambahkan, bahkan mengubah cerita yang sudah ada, guna terciptanya sebuah cerita yang benar-benar baru, bukan imitasi. Penelitian ini akan difokuskan pada novel Yin Galema karya Ian Sancin yang memiliki kecenderungan seperti yang sudah dipaparkan. Jika ditelisik aktivitas kepengarangannya, sebenarnya Ian Sancin, yang merupakan nama pena dari Hazirianjaya, bukanlah penulis baru. Meskipun kelahiran karyanya belum memberikan dampak luas seperti beberapa pengarang yang disebutkan di muka, keberadaan Sancin ikut meramaikan konstelasi Sastra Indonesia. Karya yang membuat Sancin terlibat dalam konstelasi Sastra Indonesia, diawali dengan lebih dulu menulis cerpen (majalah Famili, 1986). Kemudian pada tahun 2000, cerpennya memenangkan Lomba Cerpen Bangka Pos. Selain menulis cerpen, Sancin juga menulis puisi. Puisinya pertama kali terbit di Tabloid Mutiara. Kemudian karya puisnya juga termaktub di dalam kumpulan puisi bersama; kumpulan puisi Penyair se-Sumatra Memburu Makna ke Padang Kata (2002), dan kumpulan puisi penyair se-Indonesia 142 Penyair Menuju Bulan (2007).
5
Sepanjang karir kepengarangannya, barulah pada tahun 2009 karyanya novel Yin Galema terbit. Seperti yang diungkapkan di atas, Sancin memanfaatkan sastra lama yang berkembang di Pulau Belitung, yaitu Hikayat Padang Penyengat. Namun demikian, ada perbedaan yang dapat ditemukan dalam kedua karya ini. Perbedaan antara novel Yin Galema dan Hikayat Padang Penyengat tentu saja akan lebih tampak ketika pembaca melakukan pembacaan yang serius dan jeli. Pembacaan ini, tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan atas keberadaan fakta sosial, budaya, serta sejarah Pulau Belitung dan fakta yang terdapat dalam novel Yin Galema. Kesemua fakta inilah yang kemudian terakumulasi dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin. Norma-norma ini menjadi penting keberadaannya untuk melacak apa yang ingin diurai dalam penelitian ini. Kemunculan fakta sosial, fakta budaya, fakta sejarah, serta cerita rakyat dalam karya Sancin, merupakan kekuatan untuk membentuk makna teks novel Yin Galema. Perbedaan ini, tentunya mengandung makna tersendiri yang ingin dicapai oleh Sancin, sebagai seorang pengarang dan sekaligus sebagai pembaca terhadap fakta sosialbudaya-sejarah, dan sastra lama yang telah menginspirasi karya novelnya. Hikayat Padang Penyengat merupakan salah satu sastra lisan yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Pulau Belitung. Perkembangan hikayat ini di kalangan masyarakat Pulau Belitung disebabkan oleh mitosnya. Bahkan, mayoritas masyarakat meyakini kebenaran mitos yang terkandung di dalamnya. Cerita lisan ini menceritakan tentang perselisihan yang terjadi antara dua kerajaan di Belitung, Kerajaan Balok dan Kerajaan Badau. Kemudian perselisihan
6
menimbulkan perang. Alhasil, setelah perang dimenangkan oleh Raja Balok, Raja Badau tidak menerima kenyataan. Akibatnya, Raja Badau mengucap “Sumpah Perenggu”; Mulai saat itu, tujuh keturunannya tidak boleh bersatu (kawin) dengan keturunan Raja Balok. Jika itu dilanggar, maka celakalah semuanya. Lewat Yin Galema, atas bacaan-bacaannya, pengarang merealisasikan responnya ke dalam bentuk novel. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Yin Galema tergolong ke dalam sebuah reaksi pengarang sebagai salah seorang anggota masyarakat. Novel ini adalah wujud partisipasi Sancin sebagai seorang pembaca dalam memberikan satu makna dari teks-teks yang dibacanya, salah satunya teks sastra lama. Dalam Yin Galema, pengarang menceritakan kembali Hikayat Padang Penyengat ini dengan versi baru, yang khas dan relevan dengan perkembangan pembaca di zaman modern. Pengarang melakukan pengurangan, penambahan,
serta penggubahan fakta
yang kemudian diramu
dengan
kepiawaiannya berimajinasi. Kepiawaian pengarang dalam mengolah Hikayat Padang Penyengat tersebut ke dalam bentuk yang baru, yang memiliki keinovasian, merupakan salah satu alasan yang menyebabkan penelitian ini dilakukan. Pengarang melakukan beberapa pengurangan, penambahan, bahkan perubahan cerita. Artinya, pengarang secara kreatif menciptakan kembali dan metransformasikan cerita Hikayat Padang Penyengat menjadi cerita manusia masa kini. Kehadiran cerita rakyat telah mengilhami, bahkan menjadi salah satu unsur penting dalam keseluruhan cerita yang dihadirkan oleh pengarang dalam karyanya Yin Galema. Aktivitas pengurangan, penambahan, dan penggubahan yang dilakukan pengarang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu kepada khalayak
7
pembaca. Meskipun pembaca yang dimaksud di sini pengarangnya sendiri yang merupakan pembaca pertama atas unsur pembentuk makna dalam karyanya tersebut. Dalam hal ini, sebagai pengarang Sancin secara kontranstif menciptakan karya baru yang jika dibaca memiliki konteks estetik yang bertentangan dengan cerita sebelumnya. Hal ini bisa dilihat dari adanya pergeseran antara cerita rakyat yang berkembang sebelumnya dengan cerita novel Yin Galema karyanya. Kenyataan di atas menyimpulkan bahwa sejarah sastra sebagian besar memang berkembang atas dasar interaksi yang terus menerus antara kreasi dan resepsi, yang pada gilirannya menjelma kembali dalam bentuk kreasi baru, yang kemudian ditanggap terus menerus. Kemudian tanggapan-tanggapan yang lahir berusaha untuk menghadirkan karya-karya dengan kreasi yang selalu baru. Aktivitas ini berlangsung terus menerus dengan tujuan menyetujui, menegaskan, bahkan menolak karya sebelumnya. Hal lain yang juga patut ditelisik dalam novel Yin Galema adalah adanya kehadiran fakta sosial, fakta budaya, dan fakta sejarah. Kesemua fakta ini menjadi bagian yang juga tidak kalah penting dalam pembentukan makna novel tersebut. Seperti yang sudah disinggung di atas, pengarang tidak menerima begitu saja apa yang sudah ada di tengah masyarakat. Lewat Yin Galema pengarang melakukan proses penulisan ulang fakta sosial, budaya, dan sejarah. Kesemua fakta ini disikapi sesuai daya imajinasinya dan dengan harapan-harapannya sebagai seorang pengarang. Hal ini dilakukan dengan maksud menyetujui atau mempertegas kenyataan dalam masyarakat, dan atau untuk menolaknya. Aktivitas ini merupakan salah satu usahanya sebagai seorang manusia-pengarang untuk merepresentasikan kehidupan yang ada di dalam maupun di luar dirinya.
8
Merepresentasikan fakta sosial, fakta budaya, bahkan fakta sejarah yang melingkupi kehidupannya sebagai seorang anggota masyarakat. Pengarang menggunakan realitas (sosial, budaya, dan sejarah) menjadi latar penciptaan dan membaurkannya menjadi satu dengan daya imajinasinya. Dengan dilakukannya hal ini, maka terjadilah peleburan antara realitas (fakta) dengan imajinasi (fiksi) yang kemudian menghasilkan sebuah karya fiksi yang difaktakan, fakta yang difiksikan. Meskipun demikian, aktivitas ini tidak menyebabkan fiksi atau karya sastranya kehilangan kehakikian sebagai sebuah karya sastra dan berubah menjadi sebuah naskah yang bersifat dokumenter sejarah semata. Fakta-fakta yang digunakan pengarang sebagai salah satu unsur novelnya tidak terkesan sebatas reduplikasi saja ketika diangkat menjadi hasil karya sastra novel. Keberadaan fakta sejarah dalam novel adalah keberadaan Kerajaan Balok di antara kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya sekitar abad XVII. Pengarang melakukan pembauran unsur realita (fakta) sejarah, sosial, dan budaya dengan imajinasi (fiksi). Pengarang menggunakan sejarah yang pernah terjadi dan tercatat dalam teks-teks buku sejarah, sekitar abad XVI – XVII sebagai salah satu unsur pembangun yang saling menjalin dengan unsur lain dalam novel. Sancin cukup piawai dalam menggabungkan antara realitas (fakta) dengan imajinasinya (fiksi) ke dalam pendeskripsian cerita novel. Pendeskripsian yang ekstafet inilah yang pada akhirnya membedakan novel Yin Galema dengan dokumentasi sosial, budaya, dan sejarah yang ilmiah. Lewat Yin Galema pengarang mengajak pembaca untuk menemukan dan melihat kembali hubungan yang pernah terjadi antara Nusantara dengan bangsa
9
lain di masa lalu, terutama yang bersinggungan dengan Pulau Belitung. Misalnya seperti yang dipaparkan oleh Berg, bahwa hubungan antara Indonesia, India, Tiongkok, dan beberapa bangsa dari Eropa, memang sudah terjalin sejak berabadabad silam. Kedudukan Indonesia penting dalam pelayaran-pelayaran yang dilakukan oleh orang Tionghoa. Kalau orang Tiongkok hendak berlayar ke Lautan India, haruslah kapal itu melalui laut sekeliling Indonesia, (1951: 256-257). Bukti lain bisa kita temui dalam jalur peta-peta perjalanan yang pernah dilakukan di masa silam. Misalnya, dalam peta pelayaran para peziarah sarjanasarjana Tionghoa, tampak jejak pelayaran yang pernah dilakukan oleh Fa-Hien pada tahun 399–414 dari China menuju India, bahwa arah pelayaran mereka melintasi perairan antara Pulau Belitung dan Bangka, (Soeroto, 1963: 81). Beberapa sumber menyebutkan, sebelum pelayaran mereka melewati jalur laut antara pulau Jawa dan Sumatra, mereka sempat mendarat ke Belitung untuk menghindari cuaca buruk di laut. Hal ini merupakan sedikit dari sekian banyak fakta sejarah yang dihadirkan Sancin dan memiliki hubungan langsung dengan China. Pentingnya keberadaan Pulau Belitung di antara jalur pelayaran masa silam juga bisa dilihat dari beberapa bukti catatan atau berita-berita lain. Misalnya, dalam data penemuan harta karun yang dihimpun oleh Tim Ahli Cagar Budaya Nasional dari beberapa pengangkatan kapal karam di perairan Indonesia. Seperti pengangkatan kapal karam pada tahun 1998 di perairan Batu Itam, Belitung, berhasil mengangkat perahu bermuatan wadah-wadah emas, perak, dan 60.000 keramik dari zaman Dinasti Tang; Pengangkatan pada tahun 2000 di Selat Gelasa, Bangka-Belitung, berhasil mengangkat perahu bermuatan 400.000
10
keramik dan barang-barang lainnya dari zaman Dinasti Qing, (Surya Helmi, 2013: 384). Pengangkatan barang-barang kuno dari zaman Kekaisaran China ini menempatkan Pulau Belitung menjadi salah satu daerah penting secara geografis dalam jalur lintasan pelayaran pada masa itu. Tidak hanya penting bagi pelayaran antar pulau atau kerajaan Nusantara, tetapi juga antar bangsa atau kerajaan lain yang bersinggungan dengan Nusantara. Berbagai sumber sejarah menjelaskan kalau mulai abad IV M sampai awal abad XIX perairan Nusantara memang sudah dipenuhi oleh aktivitas pelayaran. Aktivitas pelayaran ini tidak hanya dipenuhi pelayaran antar pulau-pulau Nusantara saja, tetapi juga dipenuhi pelayaran dari berbagai bangsa-bangsa di dunia. Terlebih pada abad ke VII – XI, ketika tiga emporium di Kawasan Asia, yaitu kekuasaan Khalifah Bani Umayyah di ujung barat, Kekaisaran China di bawah kawasan Dinasti Tang di ujung timur, dan Kerajaan Sriwijaya di Nusantara, mendorong majunya perdagangan melalui pelayaran di antara ketiga emporium tersebut, (Bambang Budi Utomo, 2007). Kemajuan perdagangan ketiga kawasan Asia tersebut memunculkan Bangsa-bangsa dari Eropa, seperti Portugis, Inggris, dan Belanda. Lombard mencatat (1996: 9) Nusantara merupakan daerah perlintasan yang sangat tua, boleh dikatakan sudah ada sejak awal tradisi orientalisme Barat. Rangkaian peristiwa ini merupakan fakta yang bisa ditemukan dalam beberapa bagian novel Yin Galema karya Ian Sancin. Sancin memanfaatkan fakta sejarah tersebut sebagai salah satu hal pembangun makna novel yang dapat dilacak keberadaannya. Seperti yang pernah ditulis Faruk (2012: 160), karya sastra tidak diciptakan begitu saja, melainkan
untuk
memenuhi
kebutuhan
tertentu
dari
manusia
yang
11
menciptakannya. Dalam novel Yin Galema tampak gejala yang dipaparkan oleh Faruk tersebut. Sebagai seorang pengarang yang lahir di Belitung, kesemua unsur yang digunakan Sancin dalam Yin Galema erat hubungannya dengan masyarakat Pulau Belitung. Novel Yin Galema mencerminkan “gudang pengatahuan” pengarang yang menurut istilah Iser disebut repertoire. Hal inilah yang kemudian diolah pengarang dengan kepiawaiannya berimajinasi dan berkreasi. Pengolahan faktafakta ini bertujuan untuk melahirkan estetika dan efek pada pembaca. Dalam hal ini, apa yang dilakukan pengarang melalui karya fiksinya adalah sebuah usaha untuk menjalin komunikasi dengan mengatakan sesuatu tentang realitas. Keberadaan fakta sosial-budaya-sejarah yang dihadirkan pengarang dalam novel Yin Galema akhirnya menjadi kesatuan yang saling mengait dan menjadi kekuatan pembentukan makna. Secara garis besar, fakta sosial-budaya masyarakat Pulau Belitung, fakta sejarah berabad-abad silam, serta keberadaan sastra lama telah membaur dengan daya imajinasi pengarang dalam novel Yin Galema. Segala persoalan fakta dan fiksi yang berkaitan dengan repertoire dalam karya novel Yin Galema akan dikaji dalam tesis. Novel Yin Galema akan dijadikan bahan analisis untuk menentukan objek material sekaligus objek formal. Selanjutnya, untuk menganalisis novel dengan tujuan mengetahui teks-teks yang berbicara tentang sosial, budaya, sejarah, serta keseluruhan kultur yang melingkupi teks novel atau di luar teks novel diperlukan teori dan metode yang tepat. Teori dan metode yang tepat digunakan sebagai pisau analisis, yaitu teori respon estetik Wolfgang Iser yang terpapar dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987). Terori Iser dipilih dengan tujuan untuk
12
mengungkapkan repertoire berupa norma sosial, norma budaya, norma sejarahnya. Hal ini juga dilakukan untuk mengungkap keberfungsian karya sebelumnya serta mengungkap apa yang hendak disampaikan Ian Sancin lewat novelnya Yin Galema tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Apa yang terekspresikan dalam novel Yin Galema dapat digunakan sebagai pencapaian efek pada pembaca yang melakukan proses pembacaan atau komunikasi. Aktivitas ini pada akhirnya dapat merealisasikan keterkaitan antara realitas (fakta) dan fiksi atau melihat gambaran sejauh mana fiksi mampu merepresentasikan realitas (fakta) yang ada. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas ditemukan permasalahan yang menyebabkan penelitian ini dilakukan. Permasalahan tersebut dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana perwujudan norma sosial-budaya dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin sebagai repertoire? 2. Bagaimana perwujudan norma sejarah dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin sebagai repertoire? 3. Apa fungsi sastra lama dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin? 4. Bagaimana wujud latar depan (foreground) dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan teoritis yang berorientasi pada konstribusi penelitian terhadap ilmu sastra, dan tujuan praktis yang berorientasi pada proses kreatif dalam seni sastra dan seni lainnya.
13
1.3.1 Tujuan Teoritis Sesuai dengan pokok masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana perwujudan norma sosial-budaya dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin sebagai repertoire. b. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana perwujudan norma sejarah dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin sebagai repertoire. c. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fungsi sastra lama dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin. d. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana wujud latar depan (foreground) dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin.
1.3.2 Tujuan Praktis Tujuan praktis dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih luas mengenai bagaimana membaca dan mengaktualkan karya-karya sastra lama. Kemudian, penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa fakta sosial-budaya-sejarah tertentu dapat dimanfaatkan sebagai bahan repertoire (sesuai dengan yang dipaparkan Iser) dalam sebuah karya sastra. Kemudian, menunjukkan kepada pembaca bahwa teks sastra dapat berperan sebagai sumber yang bermanfaat untuk merekonstruksi fakta sosial, budaya, maupun sejarah yang berkembang dalam suatu masyarakat.
14
1.4 Tinjauan Pustaka Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai repertoire dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin yang terbit pada tahun 2009 ini dengan Teori Respon Estetik Wolfgang Iser (1987) belum ada yang meneliti. Namun penelitian terhadap novel Yin Galema sudah ada yang pernah melakukannya, terutama yang bersinggungan dengan keberadaan Kerajaan Balok sebagai Kerajaan Islam di Pulau Belitung. Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Basyarun dkk, pada tahun 2010. Penelitian yang hasilnya dijadikan buku dengan judul “Kerajaan Balok (1616-1873) Sejarah dari Pulau Belitung” ini merupakan penelitian kerja sama. Penelitian kerja sama ini melibaktkan TIM peneliti STAIN Bangka Belitung dengan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Lektur Keagamaan. Fokus penelitian ini adalah keberadaan Kerajaan Balok sebagai kerajaan yang menyebarkan agama Islam di Pulau Belitung. Selain itu, penelitian ini juga menyinggung beberapa hal lain, seperti merekonstruksi sejarah Kerajaan Balok. Hal ini dilakukan dengan menguraikan perkembangan pranata sosial, adat, politik, serta
perkembangan
dan
kemunduran
Kerajaan
Balok.
Peneliti
mengkonsentrasikan pembahasannya mulai dari mulai berdirinya Kerajaan Balok hingga runtuhnya, terhitung pada tahun 1616 hingga 1873. Kemudian untuk penelitian yang menggunakan teori Iser sudah ada beberapa yang meneliti seperti penelitian berikut. Peneitian yang dilakukan oleh Heru Marwata di Universitas Gadjah Mada dengan judul ”Repertoire dalam Sri Sumarah (2001)”. Penelitian ini berupa tesis. Tesis ini mengungkapkan repertoire cerpen Sri Sumarah dan bagaimana cara
15
pengarang (Umar Kayam) mengolah serta memanfaatkan repertoire itu untuk mencapai efek kepada pembaca. Selain itu, hasil penelitian dalam tesis ini juga mebahas bagaimana keterkaitan antara fakta dan fiksi, kususnya yang membangun komunikasi antar teks cerpen Sri Sumarah karya Umar Kayam dengan seorang pembaca atau peniliti, yakni Mahabrata sebagai karya yang mendahului, norma sosial priyayi Jawa, dan historis (G 30 S PKI). Penelitian selanjutnya adalah pada tahun 2004, Wiekandini Dyah Pandanwangi dalam bentuk tesis, yang berjudul Roro Mendut karya Y.B Mangunwijaya: Sebuah Tinjauan Repertoire Wolfgang Iser. Hasil penelitian yang dilakukan olehnya menunjukkan bahwa pengarang menggunakan karya terdahulu yaitu Serat Paranacarita – Roro Mendut sebagai referensi. Wayang dalam kebudayaan Jawa digunakan untuk mendukung penokohan tokoh cerita dan menyampaikan ajaran-ajaran tentang kearifan hidup. Norma sosial masyarakat pesisir dan priyayi Mataram digunakan untuk menunjukkan perbedaan karakteristik yang cukup mencolok antara kedua golongan masyarakat tersebut. Kemudian, penelitian lain yang menggunakan teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser juga pernah dilakukan oleh Inung Setyani di Universitas Gadjah Mada dengan judul ”Repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Kajian Estetika Wolfgang Iser, (2012)”. Sama halnya dengan penelitian Heru Marwata di atas, penelitian yang dilakukan Inung Setyani ini juga merupakan tesis. Tesis ini juga mengungkapkan repertoire, tetapi repertoire dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dan bagaimana cara pengarang (Ahmad Tohari) mengolah serta memanfaatkan repertoire itu untuk mencapai efek kepada pembaca. Selain itu, hasil penelitian dalam tesis ini juga mebahas bagaimana
16
keterkaitan antara fakta dan fiksi, kususnya yang membangun komunikasi antar teks novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan seorang pembaca atau peniliti, yakni norma sosial priyayi Jawa, norma budaya Ronggeng/Tayub dalam kehidupan masyarakat Jawa Abangan atau wong cilik, dan norma historis (G 30 S PKI). Pada tahun 2012 penelitian menggunakan teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser pernah dilakukan oleh Endah Budiarti di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Ravana dalam Rahuvana Tattwa karya Agus Sunyoto: Analisis Respon Estetik Wolfgang Iser”. Penelitian yang berupa tesis ini mengungkapkan pemaknaan Agus Sunyoto sebagai seorang pengarang terhadap tokoh Rawana atas beberapa epik Ramayana. Hasil yang didapat oleh Endah Budiarti dalam penelitian tersebut adalah adanya pemaknaan baru terhadap tokoh Rawana dalam epik Ramayana. Foreground yang disuarakan novel tersebut merupakan refleksi sekaligus kontemplasi pengarang atas peristiwa demokrasi Indonesia tahun 1998. Menurut peneliti, ditemukannya langkah-langkah menuju demokratisasi tersebut dipandang tidak benar. Dengan bekal pengetahuan dan pengalamannya sebagai orang Jawa, Agus Sunyoto memberikan umpan balik atas informasi yang diterimanya dari teks epik yang dibacanya. Keberadaan norma sosial historis dan budaya sebagai materi repertoire dimaksudkan sebagai sarana untuk mengungkap fungsi pragmatis teks Rahuvana Tattwa. Selanjutnya Rany Syafrina juga menggunakan penelitian menggunakan teori Iser dalam tesisnya. Penelitian tahun 2014 ini berjudul “Repertoire dalam karya P.D James Death Comes to Pemberley: Kajian Respon Estetika Wolfgang Iser” merupakan syarat mendapatkan gelar Magister di Universitas Gadjah Mada.
17
Hasil penelitian tersebut mengungkapkan kalau kebangsawanan adalah salah satu isu yang hadir dalam novel. Aspek-aspek kebangsawanan yang dihadirkan karya memiliki keterkaitan dengan norma sosial, norma budaya, dan norma sejarah yang ada. Kebangsawanan dalam norm sosial Inggris dapat diungkap melalui sistem pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dan gaya hidup. Norma budayanya berkaitan dengan aktivitas dansa yang diasosiasikan dengan kebangsawanan Inggris. Kemudian norma sejarahnya adalah peperangan melawan Irlandia dan Prancis. Selain itu hasil penelitian tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan antara Death Come to Pemberley dengan karya sebelumnya, Pride and Prejudice karya Jane Austen. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti. Perbedaan tersebut meliputi, objek material dan objek formal yang dipilih serta permasalahan yang diangkat. Novel Yin Galema karya Ian Sancin, sepengatahuan penulis belum pernah diteliti dengan teori Respon Estetik Wolfgang Iser. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini belum pernah secara menyeluruh dilakukan penelitian, yaitu sejauh mana perwujudan repertoire dalam novel Yin Galema karya Ian Sancin dapat terungkap. Dengan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dan diberi judul “Repertoire Novel Yin Galema karya Ian Sancin Kajian Estetik Wolfgang Iser”.
1.5 Landasan Teori Penelitian ini merupakan kajian respon estetik terhadap novel Yin Galema karya Ian Sancin, khususnya yang berkaitan dengan repertoire. Teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini disesuaikan dengan masalah dan tujuan
18
yang akan dicapai. Teori yang relevan sebagai alat analisis ialah teori respon estetik Wolfgang Iser yang terpapar dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987). Wolfgang Iser, pada dasarnya membicarakan tentang repertoire dalam teorinya. Munawwar berpendapat (2007: 35), bahwa repertoire yang dibicarakan oleh Iser dapat disebut juga sebagai “gudang pengetahuan”. Hal ini disebabkan repertoire tidak bisa dipisahkan dari eksistensi estetika resepsi. Pembicaraan yang ada dalam repertoire berkaitan dengan bagaimana kemampuan pembaca dalam memberikan tanggapan berupa pemberian makna melalui perolehan efek terhadap teks sastra yang dibacanya. Apabila pembaca juga seorang penulis atau pengarang, sudah barang tentu hal ini secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak disadari, berkaitan dengan fiksi yang diciptakannya. Teori resepsi Iser memfokuskan pada tanggapan pembaca secara umum terhadap teks serta hubungan teks dengan pembaca dalam konteks individual. Teori ini lebih menekankan pada efek atau kesan, bagaimana pembaca dalam memahami atau mengkongkretkan teks kesastraan. Konkretisasian teks ini didukung oleh ketersediaan memori pembaca serta harapan pembaca terhadap teks yang dibacanya. Kajian respon estetik Iser pada dasarnya berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacaannya (Iser, 1987: x), yakni bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks menjadi bermakna bagi pembacanya. Kemudian pertanyaan ini akan menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan; dan (2) interaksi antara teks dan pembaca. Kedua cara ini merupakan tindakan
19
pembacaan merujuk pada bagaimana teks mengarahkan cara pembacaan dan bagaimana pengalaman pembaca mengatur pembacaannya. Keterkaitannya dengan pemaknaan, Iser memberi ketegasan bahwa pembaca seharusnya melakukan reaksi terhadap teks, bukan sekedar menerima apa yang disampaikan pengarang dalam teks. Iser (1987: 53) memandang bahwa yang terpenting bagi pembaca, kritikus, dan penulis adalah memahami apa fungsi kesastraan. Meskipun Iser lebih menekankan efek atas teks bagi pembaca yang terpola melalui titik temu hubungan antara teks realitas dan hubungan antara teks dengan pembaca, namun pada dasarnya teori respon estetik yang dikemukakan olehnya berimplikasi pada perspektif sosial. Hal ini dapat dilihat pada salah satu konsepnya mengenai repertoire dan strategi pembacaan. Menurut Iser (1987: 69), realitas yang dievokasikan tak terbatas pada halaman cetak semata. Kondisi demikian dapat dipahami bahwa meskipun teks menjadi pokok atau pusat perhatiannya, teks tidak mengingkari bahwa kemunculannya tidak terlepas dari realitas ekstratektstual. Hal demikian dapat dilihat pada terdapatnya referensi-referensi mengenai karya-karya yang telah atau mendahuluinya, norma-norma sosial dan historis, serta keseluruhan kultur yang dimunculkan dalam teks. Akhirnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa; karya sastra tidak berdiri sendiri sebagai sebuah teks fiksi yang dihasilkan subjek pengarang saja, tetapi merupakan ragam realisasi diri seorang subjek pengarang dari dunia luarnya, atau sama halnya dengan apa yang disebut oleh strukturalisme Praha (Prague) sebagai realitas ekstratekstual. Wujud realisasi diri seorang pengarang pada dunia luar yang dituangkan dalam karya sastra masih menjadi artefak tanpa peran pembaca sebagai pemberi
20
makna. Pembaca memiliki peranan menjadikan karya sastra sebagai objek estetik. Dengan demikian, keberadaan pembaca merupakan sesuatu yang tidak dapat ditiadakan dalam kepentingan sastra. Iser (1987: 20) menegaskan kalau tidak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Iser menyatakan bahwa teks hanya punya arti bila teks itu dibaca. Oleh karena itu, membaca merupakan persyaratan penting bagi segenap proses interpretasi sastra. Titik sentral dalam pembacaan sastra adalah interaksi antara struktur karya dan pembacanya. Efek estetik dalam pembacaan menyatakan bahwa makna suatu teks bukanlah entitas yang bisa didefinisikan tetapi suatu peristiwa yang dinamis. Karenanya tugas pembaca harus melibatkan efek potensial yang muncul bukan sekedar terhimpit pada satu teks saja. Pola interpretasi tradisional hanya berdasarkan pencarian makna tunggal yang berdampak bukan saja mengabaikan karakter sebuah teks sebagai suatu peristiwa tetapi juga pengalaman pembaca yang diaktifkan oleh peristiwa tersebut. Hal ini berarti bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan teks sastra, melainkan juga aksi pembaca dalam menggapai teks tersebut. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang yang dapat digantikan dengan kegiatan konkretisasi, (Iser, 1987: 20). Iser (1987: 21) mengungkapkan bahwa karya satra mempunyai dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik berkenaan dengan teks pengarang, kutub estetik berkenaan dengan konkretisasi (realisasi makna teks yang dicapai oleh pembaca). Makna yang dihasilkan menurut Iser, sebaiknya
21
merupakan hasil dari tanda-tanda yang terdapat dalam teks dan digabungkan dengan kemampuan pemahaman pembaca. Makna antara subjek (pembaca) dan objek (teks) merupakan hasil dari “gudang pengetahuan” (repertoire). Menurut Iser (1987: 107) keberhasilan komunikasi terletak pada sejauh mana teks menetapkan dirinya sebagai suatu korelat dalam kesadaran pembaca. Hal ini berarti bahwa teks memberi tuntunan mengenai apa yang mesti diproduksi. Keberhasilan transfer teks kepada pembaca tergantung pada keberhasilan teks mengaktivasi kapasitas resepsi dan pengelolaan pembaca individual. Membaca menurut Iser (1987: 163) adalah aktivitas yang dituntun oleh teks. Aktivitas ini diproses oleh pembaca. Sulit untuk mendiskripsikan interaksi ini. Partner teks dan pembaca lebih mudah untuk dianalisis daripada peristiwa yang terjadi di antara keduanya. Repertoir terdiri atas semua wilayah yang dapat dikenali dalam teks. Wilayah ini dapat berupa referensi-referensi terhadap karya-karya terdahulu, atau terhadap norma-norma sosial dan historis, atau dapat juga mengambil keseluruhan kebudayaan yang dimunculkan dalam teks. Repertoir memiliki dua implikasi: 1) realitas yang muncul dalam teks tidak terbatas pada halaman cetak; 2) elemen atau unsur-unsur yang diseleksi sebagai refrensi tidak dimaksudkan sebagai replika semata karena telah direduksi, dimodifikasi, dan ditransformasi. Repertoire terdiri atas satu seleksi norma-norma dan alusi-alusi atau kiasan-kiasan. Alusi sastra ini bersifat fungsional bukan sekedar imitatif, (Iser, 1987: 69-79). Repertoire menghadirkan norma-norma dan merepresentasikannya dalam keadaan tidak valid/validitas yang mengambang sehingga meletakkan teks yang sama antara masa lampau dan masa datang, (Iser, 1978: 70). Repertoire teks
22
dibangun oleh materi yang diseleksi dari sistem sosial dan tradisi-tradisi kesusastraan. Seleksi norma-norma sosial dan alusi-alusi (kiasan-kiasan) kesusastraan ini menempatkan karya dalam sebuah konteks refrensial yang di dalamnya sistem ekuivalensi harus teraktualisasi. Repertoir teks sebagai pengirim dan pembaca sebagai penerima akan bertumpang tindih dan elemen-elemen umum merupakan kondisi awal untuk sirkulasi. Bagaimanapun, komunikasi sastra berbeda dengan bentuk komunikasi lainnya. Hal ini dikarenakan elemen-elemen repertoire pembaca yang familiar kepada pembaca melalui penerapan mereka dalam situasi kehidupan nyata kehilangan validitasnya ketika ditransplantasikan ke dalam teks sastra. Dapat dikatakan bahwa elemen-elemen repertoire kehilangan validitas yang mengarah ke pengkomunikasian sesuatu yang baru, (Iser, 1987: 70-86). Iser mengatakan bahwa repertoire dikarakteristikkan dengan bentuk rekodifikasi dan makna menjadi pengalaman pembaca. Makna harus menjadi pragmatik. Hal ini disebabkan karena makna tidak pernah mencakup semua potensi semantik teks namun hanya membuka wujud khusus akses ke potensipotensi itu. Makna pragmatik ini hanya dapat diwujudkan melalui sebuah seleksi realisasi jangkauan makna, dalam realisasi ini keputusan pembaca memainkan peranannya, bersama dengan sikap yang dibangkitkan dalam dirinya oleh teks untuk mendekati masalah-masalah yang ditimbulkan oleh repertoire. Makna pragmatik adalah sebuah makna terapan atau makna tersirat. Makna ini memungkinkan teks sastra untuk memenuhi fungsinya sebagai sebuah jawaban dengan membuka dan menyeimbangkan kekurangan-kekurangan sistem-sistem
23
yang menciptakan masalah. Makna tersebut memungkinkan pembaca bereaksi atas “realitas”-nya sendiri. Repertoir mencakup unsur-unsur utama yang secara tradisional disebut isi. Repertoir
memerlukan
suatu
bentuk
atau
struktur
mengorganisasikan
kehadirannya dengan berbagai cara, (Holub, 1989: 88). Kemudian, Iser menggunakan istilah strategi untuk menyebut fungsi di atas. Strategi meliputi struktur imanen teks dan tindak-tindak pemahaman yang digerakkan pembaca. Strategi mengorganisasikan materi teks dan kondisi-kondisi tempat-tempat materi itu dikomunikasikan. Strategi berfungsi untuk mengarahkan perhatiannya kepada teknik konkretisasi. Iser juga menjelaskan bahwa hubungan teks dengan dunia luar hanya dapat dilihat melalui skema-skema yang terdapat di dalam teks itu sendiri, yakni berupa repertoir norma-norma sosial dan konvensi-konvensi kesusastraan yang mengkondisikan gambaran tertentu yang dijadikan oleh karya bersangkutan. Strategi ini berperan sebagai pembatas pergerakan imajinasi yang dihimpun pembacanya. Terpenting, di antara fungsi-fungsi strategi adalah mendefamiliarisasikan hal-hal yang familiar, (1987: 86-92). Adapun struktur yang mengatur strategi adalah latar depan (foreground) dan latar belakang (background). Latar depan dan latar belakang ini akan mengendalikan persepsi pembaca dan bertanggung jawab atas makna karya sastra. Kemudian Iser menyatakan bahwa latar depan dan latar belakang juga merupakan struktur dasar yang dengan melaluinya strategi-strategi teks menciptakan tegangan yang membawa kepada serangkaian tindakan dan interaksi yang berbeda yang pada akhirnya diputuskan dengan kemunculan objek-objek estetis, (Iser, 1987: 95).
24
Repertoire
membentuk
struktur
organisasional
arti
yang
harus
dioptimalkan melalui pembacaan teks. Repertoire mengorganisasikan reaksireaksinya terhadap teks dan masalah-masalah yang dibawanya. Optimalisasi ini tergantung pada tingkat kesadaran pembaca sendiri dan keinginannya untuk membuka diri terhadap satu pengalaman yang tidak familiar. Optimalisasi ini juga tergantung pada strategi-strategi teks yang akan diaktualisasikan. Garis strategi ini tidak berarti secara bebas karena elemen-elemen repertoire telah sangat terdeterminasi, (Iser, 1987: 85). Iser (1987: 96) menyatakan bahwa terdapat empat (4) perspektif untuk memunculkan pola repertoire, yakni perspektif narator, karakter, alur, dan pembaca fiktif. Walaupun demikian, teks-teks naratif tidak harus melibatkan keempat perspektif naratif tersebut. Keempat perspektif ini hanya terdapat dalam novel. Sehingga, bagi Iser (1987:35) novel merupakan contoh terbaik dalam menunjukkan sistem yang dirancang untuk mentransmisikan individualitas pandangan penulis karena novel memiliki berbagai perspektif yang menguraikan pandangan pengarang dan memberikan akses kepada apa yang mesti divisualisasikan oleh pembaca. Hal ini dapat pula dikenali melalui implied reader atau pembaca implisit yang disarankan Iser. Pembaca implisit merupakan pembaca yang dicipta sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban” atau dapat diartikan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang berada pada keseluruhan teks atau diciptakan oleh teks-teks itu sendiri yang memungkinkan
25
pembaca membaca teks dengan cara tertentu. Pembaca implisit berada pada wilayah perspektif itu, yakni; narator, karakter, alur, dan pembaca fiktif. Posisi pembaca dalam sebuah teks terletak pada pertemuan antara memori yang dimiliki dan harapannya terhadap karya. Melalui proses membaca terjadi hubungan saling mempengaruhi secara kontinu antara modifikasi harapan dan memori yang mengalami transformasi, (1987: 111). Iser memberikan perhatian pada peranan pembaca dalam memahami atau mengkongkretisasikan suatu karya. Dengan demikian, pembaca dapat merekonstruksikan sesuatu yang tidak disebutkan. Maka pembaca akan lebih berkesan bila pembaca menemukan “pandangan” yang diskematikkan untuk membangun imajinasi yang memberikan pembaca ruang gerak. Menurut Iser (1987: 78-79), perkiraan norma-norma merupakan karakter inovatif repertoire. Namun, perkiraan kembali ini menyebabkan konsekuensi yang berbeda: peserta (pembaca) akan melihat apa yang belum atau tidak pernah dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti akan menangkap sesuatu yang hingga kini tidak pernah nyata baginya. Singkatnya dapat dikatakan bahwa teks sastra memungkinkan pembaca untuk mentransedensi atau menembus batas-batas situasi kehidupan nyata mereka sendiri. Teks sastra bukanlah pencerminan dari realitas apapun, tetapi merupakan sebuah perpanjangan atau peluasan realitas mereka sendiri. Karya sastra bukan sebuah ilustrasi konsep realitas. Karya sastra hanya merepresentasikan realitas dan secara tidak terpisahkan membentuk realitas. Hal ini bukan berarti sekedar replika antara unsur dan realitas ekstratekstual dalam fiksi akan mengalami transformasi ketika diolah oleh
26
pengarang melalui repertoire menjadi unsur-unsur tekstual yang telah mengalami reduksi, modifikasi bukan sekedar usaha menjiplak semata. Proses pentransformasian unsur ekstratekstual menjadi unsur tekstual mengalami peran penulis atau pengarang sebagai pemberi bumbu olahan estetik. Dapat dikatakan bahwa pengarang telah memberikan tanggapan estetik atas bahan referensi yang akan diolahnya, realitas ekstratekstualnya atau repertoire yang dijadikan latar belakang (background) untuk memunculkan latar depan (foreground), sesuatu yang hendak dikemukakannya dalam karya. Bagi pembaca, bakal ini sangat menentukan pemahaman terhadap teks sastra yang dibacanya. Berikut bagan konsep indeterminasi Iser. Penelitian resepsi harus menyelidiki bagaimana posisi sebuah karya berubah karena tampilnya karya-karya baru. Penelitian tersebut harus bisa menerangkan pengandaian kultural dan historis ekstrasastra untuk membuka jalan bagi pemahaman tertentu atas karya satra dan menentukan tingkatnya: “Dia harus mendeskripsikan
efek
struktur
karya
yang
mengarah
pada
penemuan
pengandaian-pengandaian pemahaman. Sebagai metainterpretasi, dia memiliki sifat diagnostik bagi keadaan kesadaran kontemporer”, (Iser, dalam Jauss, 1968:720 via Fokkema, 1998:191).
27
Bagan 1 Konsep Area Indeterminasi Iser Pembac
Efek
Strateg
Teks
Implied
Indeterminasi/lerstelee n
Konkretisasi (Realisasi Makna)
Membaca adalah aktivitas yang dipandu oleh teks dan diproses oleh pembaca. Teks sastra selalu terdapat area indeterminasi (wilayah ketidakpastian dalam teks) atau tempat kosong yang mengharuskan pembaca untuk mengisinya, atau yang disebut Iser dengan lesteleen. Tempat kosong tersebut meberikan peluang bagi pembaca untuk memakaknainya secara kreatif dan menyeluruh, namun tidak sepenuhnya membebaskan atau melakukan kesemena-menaan dalam pemaknaan. Di dalam teks juga terdapat pembaca implisit (implied reader) yang menawarkan efek, yaitu bagaimana sebuah teks mengarahkan reaksi-reaksi pembaca untuk mendekatinya. Sementara itu, pembaca memiliki strategi (tindakan-tindakan pemahaman) yang berfungsi mengarahkan perhatian pada teknik konkretisasi. Oleh karena itu, pembacalah yang kemudian mengisi
28
kekosongan atau wilayah ketidakpastian dalam teks berdasarkan ketersediaan memori dan cakrawala harapan yang dimiliki.
1.6 Metode Penelitian Kajian respon estetik Iser pada dasarnya berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacaannya, yakni bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah teks menjadi bermakna bagi pembacanya. Kemudian pertanyaan ini akan menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan; dan (2) interaksi antara teks dan pembaca. Kedua cara ini merupakan tindakan pembacaan merujuk pada bagaimana teks mengarahkan cara pembacaan dan bagaimana pengalaman
pembaca
mengatur
pembacaannya.
Keterkaitannya
dengan
pemaknaan, Iser memberi ketegasan bahwa pembaca seharusnya melakukan reaksi terhadap teks, bukan sekedar menerima apa yang disampaikan pengarang dalam teks. Hal terpenting bagi pembaca, kritikus, dan penulis adalah memahami apa fungsi kesastraan. Karya sastra tidak berdiri sendiri sebagai sebuah teks fiksi yang dihasilkan subjek pengarang saja, tetapi merupakan ragam realisasi diri seorang subjek pengarang dari dunia luarnya, atau realitas ekstratekstual. Dari hal ini dapat disimpulkan metode penelitian yang tepat dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Menurut Boglan dan Taylor, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
29
dari orang-orang dan perilaku yang diamati, (dalam Moeloeng, 1989: 2-3). Uraian mengenai metode yang digunakan sebagai alat analisis sebagai berikut.
1.6.1
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa teks novel Yin Galema karya Ian Sancin diterbitkan oleh hikmah pada tahun 2009 (cetakan I) dengan tebal 589 halaman yang juga sebagai objek material. Adapun data sekunder dalam penelitian ini berupa sumber-sumber referensi tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian) yang sesuai dengan teks kajian, yakni repertoire. Hal ini dapat berupa kemungkinan keterkaitan antara realitas ekstratekstual yang menjadi latar belakang (background) untuk mewujudkan latar depan (foreground) karya berupa petunjuk kemungkinan hubungan dengan norma sosial, norma budaya, norma historis, dan teks-teks cerita rakyat yang dimunculkan dalam teks.
1.6.2
Metode Analisis Data Penelitian ini akan mendasarkan metode analisis data pada Respon Estetik
Wolfgang Iser. Teori Iser mengenai repertoire yang digunakan dalam kajian ini memusatkan perhatian pada proses interaksi antara teks dengan pembacaannya hingga menghasilkan respon. Mengingat suatu teks hanya akan memberikan makna bila dibaca (Iser, 1987), maka perlu dilakukan pembacaan terhadap teks novel Yin Galema karya Ian Sancin untuk menguak repertoire di dalamnya. Oleh karena itu, metode yang digunakan, yaitu metode komunikasi sastra. Metode komunikasi sastra merupakan metode yang difungsikan dengan cara melakukan
30
aktivitas pembacaan. Metode ini digunakan untuk mengungkap realitas yang dibangun Ian Sancin dalam novel Yin Galema. Menurut Iser (1987: 24), teks sastra dapat didefinisikan sebagai area indeterminasi (wilayah ketidakpastian atau samar-samar). Wilayah ketidakpastian ini berupa “ruang-ruang kosong” (leerstellen) atau tempat terbuka (open plek) yang mengharuskan pembaca untuk mengisinya. Pengisian “ruang-ruang kosong” dalam teks dapat dilakukan pembaca dengan melakukan komunikasi atau berdialog dengan teks yang dibacanya. Artinya, komunikasi dapat dilakukan pembaca dengan melakukan pembacaan terhadap teks novel Yin Galema karya Ian Sancin, yang oleh Iser disebut bahwa sastra sebagai sarana komunikasi, (1987). Teks kemudian menimbulkan efek yang mempengaruhi pengalaman pembaca lewat keberadaan ruang-ruang kosong pada teks. Pada saat itulah ide-ide pembaca hadir dan mengacu pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Aktivitas komunikasi ini dilakukan untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam teks agar dapat dikontrol oleh strategi untuk mengatur background dan foreground seorang pembaca atau peneliti. Strategi
ini
yang
kemudian
akan
mengaktualisasikan
“gudang
pengetahuan” pembaca. Dari hal tersebut akan terjadi tarik-menarik atau kesepakatan
dengan
harapan-harapan
pembacaan
yang
tersimpan
serta
kemampuan pembaca mengimajinasikan sehingga terwujud konkretisasi (realisasi makna) teks. Proses ini dilakukan dengan harapan agar repertoire teks Yin Galema dapat terungkap. Repertoire digunakan pembaca atau seorang peneliti sebagai penggiring pencarian kaitan antara realitas (fakta) dan fiksi Yin Galema, yaitu fakta yang terepresentasi dalam fiksi Yin Galema. Fakta-fakta ini berupa
31
seperangkat norma sosial, norma budaya, norma historis dan atau keseluruhan kultur yang dimunculkan dalam teks. Selanjutnya, teknik pengumpulan data dengan teknik baca catat, yaitu pembacaan disertai pencatatan dengan cermat dan teliti keseluruhan teks. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu menentukan objek material penelitian berupa novel Yin Galema karya Ian Sancin. Setelah objek material sudah ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan objek formal yang terdapat dalam objek material, yaitu norma sosial, norma budaya, norma sejarah, sastra lama yang melingkupi teks. Hal ini dilakukan untuk mengungkap foreground novel Yin Galema karya Ian Sancin. Kemudian ditentukan teori yang tepat untuk dijadikan pisau analisis, yaitu teori respon estetik Wolfgang Iser yang terpapar dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987). Langkah berikutnya adalah mencari sumber data dan berbagai refrensi pendukung guna menjawab rumusan masalah yang sudah ditentukan. Setelah data dan berbagai refrensi ditemukan, akan dilakukan pengalisisan data yang didapat berdasarkan teori yang digunakan, yaitu teori yang dikemukanan Iser dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987). Setelah dilakukan pembacaan, perlu dilakukan kategorisasi untuk mengelompokkan data berkaitan repertoire yang menyangkut norma sosial, budaya, dan historis/sejarah. Dengan demikian, dapat diketahui seberapa jauh repertoire, latar belakang (background), dan latar depan (foreground) dalam Yin Galema dapat diungkapkan. Terakhir adalah teknik inferensi. Teknik ini digunakan untuk menginferensi atau menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan kategori yang diperoleh.
32
Bagan 2 Langkah Kerja Penelitian Pembaca Yin Galema
Teori Resepsi Estetika Iser
Repertoire
Wirkung/Efek
Perwujudan Repetoire dalam Yin Galema
Norma SosialBudaya
Norma Sejarah
Karya Terdahulu
Latar depan (foreground)
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari enam (VI) Bab. Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian; Bab II berisi perwujudan repertoire dalam novel Yin Galema yang meliputi norma sosial-budaya novel Yin Galema sebagai repertoire; Bab III berisi perwujudan repertoire dalam novel Yin Galema yang meliputi norma sejarah novel Yin Galema sebagai repertoire; Bab IV mengungkap fungsi sastra lama
33
dalam novel Yin Galema sebagai karya yang mendahuluinya; Bab V akan menghadirkan wujud latar depan (foreground) yang ingin dicapai oleh Sancin; sedangkan Bab terakhir, Bab VI, berupa penutup yang merupakan simpulan dan saran.