BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, diperlukan Pegawai Negeri yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk membentuk sosok Pegawai Negeri tersebut diperlukan upaya untuk meningkatkan menejemen Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian dari Pegawai Negeri.1 Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, dianggap oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.2
1Undang-Undang RI No 43 Tahun 1999, Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. 2 Pasal 1 Undang-Undang Ri No 43 Tahun 1999, Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
1
2
Setiap pegawai negeri wajib dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, negara, dan pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.3 Manusia
merupakan
subyek
sekaligus
obyek
pembangunan.
Keberhasilan pembangunan nasional Bangsa Indonesia tidak akan terlepas dari manusianya. Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tujuan pembangunan nasional. Di
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
pola
masyarakat
sudah
dipengaruhi oleh beberapa faktor situasi dan kondisi masyarakat yang semakin berkembang. Beberapa faktor situasi dan kondisi masyarakat yang mempengaruhi pola masyarakat diantaranta: 1. Rendahnya kontrol sosial, baik yang diakibatkan oleh kurang memadainya Peraturan Perundang-Undangan yang ada ataupun masyarakat dalam mengontrol perilaku penyimpangan. 2. Kebudayaan modern yang cenderung mengeksploitasi untuk tujuan-tujuan komersil. 3. Himpitan atau tekanan ekonomi, terbatasnya lapangan kerja. 4. Efek samping globalisasi dan bebasnya arus informasi.
3
Pasal 4 Undang-Undang RI No 43 Tahun 1999, Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
3
Faktor tersebut juga membawa dampak yang negatif bagi manusia. Bahkan bisa mengantarkan manusia kepada permasalahan-permasalahan yang berurusan dengan aparat penegak hukum. Peradilan diharapkan merupakan sarana terakhir apabila penyelesaian secara kekeluargaan gagal atau berlaku untuk tindak pidana yang jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat sebagai suatu kesatuan. Apabila seseorang dinyatakan bersalah di dalam perkara di peradilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka orang tersebut akan menjadi narapidana. Narapidana secara moral atau ekonomis mengalami kerugian, untuk itu ia harus dikembalikan moralnya di masyarakat. Penjatuhan pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), mempunyai tujuan “disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilang kemerdekaannya, juga membimbing terpidana agar bertobat, dan mendidik supaya ia menjadi anggota masyarakat sosialis Indonesia”.4 Rumah Tahanan Negara sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, merupakan tempat tahanan dan narapidana menjalani masa pidananya. Selama menjalani masa pidana, narapidana mendapatkan pembinaan-pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan kepribadian yang baik dan meningkatkan kemandirian.
4
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1986 , hlm. 20.
4
Dengan berbekal kepribadian dan kemandirian, diharapkan juga akan meningkatkan kesadaran hukum bagi narapidana. Menurut Dr. Sahardjo, tujuan pemidanaan mengandung arti bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi, tetapi juga orang-orang yang tersesat dan telah melakukan pelanggaran terhadap norma hukum. Mereka diberi bekal hidup agar setelah kembali kemasyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan tidak melakukan pelanggaran hukum lagi. Faham ini mengandung arti bahwa penjatuhan pidana bukanlah balas dendam dari negara.5 Berawal dari gagasan inilah, kemudian terjadi perubahan sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia dari sistem Kepenjaraan yang berlandaskan pola Kolonial Belanda menjadi Sistem Pemasyarakatan yang berasaskan Pancasila. Sistem pembalasan diganti dengan sistem pembinaan yang bertujuan agar narapidana nantinya setelah kembali ke masyarakat dapat aktif di dalam pembangunan dan tidak mengulangi kejahatannya lagi. Di dalam sistem pemasyarakatan, program pembinaan narapidana diawali dari tahap orientasi, yaitu bagi narapidana yang baru masuk ke dalam Rumah Tahanan, didata dan dikenalkan dengan lingkungan, diberi penjelasan tentang tata tertib, serta dijelaskan mengenai hak dan kewajibannya.
5
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994 .
5
Tahap kedua, pembinaan narapidana berisikan kegiatan pembekalan kepribadian dan kemandirian. Tahap ketiga, pembinaan narapidana berupa pemberian program asimilasi, yaitu narapidana melakukan kegiatan diluar tembok Rumah Tahanan Negara. Tujuan dari pemberian asimilasi ini agar narapidana secara perlahan-lahan berbaur kembali kemasyarakat, sehingga nantinya setelah benar-benar bebas dari Rumah Tahanan Negara dapat berbaur kembali kemasyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan telah banyak membawa perbaikan dan perhatian yang besar terhadap perlindunagan dan penegakan hak asasi manusia khususnya bagi narapidana. Pelanggaran terhadap hak dasar dari narapidana tidak saja dialami oleh sedikit negara dan tidak hanya negaranegara miskin dan berkembang, tetapi masalah ini juga dialami oleh negaranegara maju.6 Faktor utama yang menjadi penyebab dari pelanggaran ini adalah akibat kurang memadainya peraturan yang mengatur tentang penegakan hak-hak narapidana, kekurangtahuan para aparat lembaga pemasyarakatan, dan narapidana itu sendiri yang kurang mengetahui tentang peraturan yang melindungi mereka. Hal ini disebabkan karena kurangnya sosialisasi terhadap peraturan yang ada. Dengan adanya konsep baru dalam pemidanaan, yaitu Sistem Pemasyarakatan, maka berubah pula perlakuan terhadap narapidana dari balas dendam menjadi rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
6
Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 27.
6
Konsep pemasyarakatan berawal dari pendapat Dr. Sahardjo tentang tugas hukum sebagai pengayom, yang membuka jalan bagi perlakuan terhadap narapidana secara manusiawi. Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif bereperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.7 Pandangan dan pemahaman ini sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang terkandung dalam Pancasila, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Keberhasilan pembinaan terhadap narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul sulit untuk diukur, karena setelah narapidana bebas, mereka berbaur kemasyarakat dengan berbagai bekal. Pembinaan bisa dianggap berhasil apabila narapidana sudah mampu untuk mandiri dan mampu menghidupi dirinya sendiri dengan berbekal mental dan ketraampilan. Selain itu pembinaan bisa dikatakan berhasil jika narapidana yang sudah keluar dari Rumah Tahanan Negara ini bisa diterima kembali oleh masyarakat dan tidak kembali lagi menjadi narapidana.
7
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayoman, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Jakarta: Departemen Kehakiman, 1994.
7
Banyaknya narapidana yang melakukan kejahatan lagi, sehingga dipidana kembali, menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan tidak berhasil. Berdasarkan data yang ada di Rumah Tahanan Negara Bantul, dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah sebagai berikut: Desember 2010 narapidana residivis sejumlah 14 orang (8,64%), Desember 2011 sejumlah 24 orang (11,65%), Desember 2012 sejumlah 30 orang (18,04%).8 Data ini menunjukkan bahwa dari tahun 2010 sampai tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah narapidana residivis. Ini menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana masih belum berhasil. Selain itu masih juga terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh narapidana, seperti perkelahian antar narapidana, peredaran uang, penggunaan hand phone oleh narapidana, pemerasan antar narapidana. Hal ini perlu dilakukan penelitian terhadap pembinaan narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul. Penelitian ini saya lakukan terhadap narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul dan terhadap narapidana yang sudah bebas dari Rutan Bantul. Pada hakekatnya narapidana merupakan warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pemasyarakatan secara terpadu.9
8 9
Laporan Tahunan Rumah Tahanan Negara Bantul Tahun 2010, 2011, 2012. Undang-Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
8
Sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan rangkaian penegakan hukum. Pembinaan pada prinsipnya merupakan pemberian pelayanan dan bimbingan bagi narapidana dalam rangka membentuk sikap dan perilaku narapidana agar menjadi manusia yang mandiri dan seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi lagi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Menurut Pasal 12 Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995, dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara, dilakukan penggolongan atas dasar: 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Lama pidana yang dijatuhkan 4. Jenis kejahatan, dan 5. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan. Di Indonesia, hukum dikatakan merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan yang menentukan hubungan antara para anggota masyarakat.10
10
Sunaryati, Pembinaan Hukum Nasional Dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia, Bandung: Universitas Padjajaran, 1991 , hlm.3.
9
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Hukum yang sudah dilanggar harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Di dalam menegakkan hukum, ada tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum, karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Pelaksanaan atau penegakan hukum juga harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus proporsional seimbang.11 Untuk membangun negara hukum yang mantap, agenda pokok di Indonesia adalah membangun dunia peradilan yang bebas dan tidak memihak seperti yang digariskan di dalam Undang-Undang RI Tahun 1945.
11
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Liberty, 2003, hlm. 160 – 161.
10
Kebebasan badan peradilan itu tidak harus berarti pemisahan strutur atau cara pengangkatan hakim oleh eksekutif atau lembaga diluar yudikatif, melainkan yang dipentingkan adalah pemisahan fungsinya.12 Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berusaha untuk membina orang-orang yang dianggap bersalah oleh peradilan, supaya dapat kembali ke masyarakat dan aktif kembali untuk turut dalam pembangunan. Usaha ini ditempuh melalui suatu sistem pemasyarakatan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas pegawai pembina narapidana? 2. Kendala-kendala apa
yang terjadi terhadap pembinaan narapidana di
Rumah Tahanan Negara Bantul ? 3. Langkah dan tindakan apa yang dilakukan oleh Rumah Tahanan Negara Bantul dalam rangka meningkatkan pembinaan bagi narapidana ?
12
Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 1999 , hlm. 147.
11
C.Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Peningkatan Kapasitas Pegawai Pembina Narapidana Di Rumah Tahanan Negara Bantul sepengetahuan saya belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun penulisan hukum yang penah dijumpai oleh penulis yang didalamnya memuat salah satu unsur dari obyek yang diteliti oleh penulis antara lain : 1. Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II.A Pontianak Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 1995, ditulis oleh Henni Oktora, pada tahun 1995 yang didalamnya membahas tentang faktor yang mendukung dan penghambat pelaksanaan pembinaan serta jalan keluar dari faktor yang menghambat . 2. Pelaksanan Pembinaan Narapidana Gerakan Aceh Merdeka di Lembaga Pemasyarakatan Klas II.A Sidoarjo, ditulis oleh Priambodo Adi Wibowo pada tahun 2005 yang didalamnya membahas langkah konkrit yang dilaksanakan dalam membina narapidana Gerakan Aceh Merdeka, serta kendala yang dihadapi. 3. Pembinaan Narapidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan, ditulis oleh M. Rifki Wicaksono pada tahun 2007, yang didalamnya membahas mengenai sistem pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan terhadap
narapidana
khusus narkotika dan psikotropika beserta kendala yang dihadapi. 4. Efek Pembinaan Ketrampilan Terhadap Kemandirian Narapidana Setelah Keluar Dari Lembaga Pemasyarakatan Klas II.A Yogyakarta, ditulis oleh
12
Armunanta Dwi Handaka pada tahun 2009, yang didalamnya membahas mengenai efek pembinaan ketrampilan terhadap kemandirian narapidana setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang sudah ada adalah bahwa yang menjadi obyek dari penelitian ini adalah pegawai yang dalam kapasitasnya sebagai pegawai pembina narapidana. Penelitian ini membahas tentang peningkatan kapasitas pegawai pembina narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum khususnya untuk bidang hukum ketatanegaraan dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Dapat menjadi bahan masukan bagi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal mengambil kebijakan khususnya dalam hal pembinaan narapidana. b. Dapat memberikan pengetahuan empiris guna menjawab masalahmasalah yang berkaitan dengan pembinaan.
13
c.
Memberikan masukan kepada aparat di Rumah Tahanan Negara dan masyarakat guna meningkatkan pengetahuan terhadap pelaksanaan pembinaan setelah narapidana keluar dari rumah tahanan negara.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Secara Deskriptif Untuk mengetahui
secara jelas pembinaan yang dilakukan terhadap
narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul. 2. Secara Kreatif Untuk mencari kendala-kendala yang terjadi terhadap pembinaan narapidana di Rumah Tahanan Negara Bantul . 3. Secara Inovatif Untuk mencari langkah dan tindakan yang dilakukan oleh Rumah Tahanan Negara Bantul dalam rangka meningkatkan pembinaan bagi narapidana.