BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting bagi sebagian besar negara dengan kategori sedang berkembang. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara berkembang di dunia masih mengandalkan sektor pertanian dalam pembangunan ekonominya, termasuk Indonesia. Pada Indonesia sektor pertanian memegang peranan penting di sebagian besar masyarakat sejak zaman prasejarah, masa kolonial, hingga zaman pasca kemerdekaan. Sebagai komoditas yang memegang hajat hidup orang banyak, sektor pertanian merupakan hal yang cukup sensitif karena gejolak ketersediaan dan harga akan berimplikasi terhadap sektor lain yang terkait. Hukum ekonomi menyatakan bahwa semakin tinggi persediaan maka semakin rendah harga dan semakin rendah persediaan maka semakin tinggi harga.1 Contoh mudah akan penerapan hal ini adalah gejolak beras yang terjadi karena gagal panen di beberapa daerah. Studi mengenai kaitan antara ketersediaan makanan dan jumlah pertumbuhan penduduk di bumi oleh Thomas Robert Malthus dalam “An Essay on 1
Harga Beras di Empat Lawang Terus Merangkak Naik palembang.tribunnews.com diakses pada 27 September 2013 pukul 02.41 WIB
the Priciple of Population” pada tahun 1798 menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami oleh manusia adalah karena tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan peningkatan produksi pertanian. Pertumbuhan jumlah penduduk bertambah dan dihitung dalam deret geometrik (deret ukur) sedangkan peningkatan produksi pertanian bertambah dan dihitung dalam deret aritmetika (deret hitung).2 Indonesia sebagai sebuah negara dengan bentuk kepulauan dan apalagi terletak di daerah khatulistiwa merupakan wilayah yang rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan merupakan beberapa dampak serius perubahan iklim yang dihadapi Indonesia.3 Sektor pertanian menjadi sektor yang paling terkena dampak terhadap perubahan iklim dengan tingginya frekuensi banjir, kekeringan, angin topan, hingga longsor. Akibat perubahan iklim juga membuat siklus tanam menjadi tidak pasti dan berantakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor pertanian saat ini merupakan sektor yang identik dengan uncertainty atau ketidakpastian. Ketidakpastian lain seperti gunung meletus juga
2
“An Essay on the Priciple of Population” by Thomas Marthus Page 8. 1998, Electronic Scholarly Publishing Project www.esp.org 3 Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Pertanian, Serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi, Tim Sintesis Kebijakan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, 2008. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip012086.pdf diakses pada 6 November 2013 pukul 12.31 WIB
salah satu penyebab gagal panen, sehingga mengganggu persediaan makanan. Seperti yang baru-baru saja terjadi dengan erupsi gunung Sinabung di Sumatera Utara.4 Ketidakpastian yang terjadi terhadap sektor pertanian lama kelamaan membuat makin banyaknya gagal panen yang terjadi dan membuat banyak petani menjadi rugi sehingga sulit untuk hidup di garis kesejahteraan, sehingga penerapan asuransi terhadap sektor pertanian merupakan hal penting dan mendesak dilakukan. Selain itu, infrastruktur pertanian di Indonesia yang masih kurang baik, seperti saluran irigasi yang rusak maupun rawan rusak, sehingga dalam hal ini akan memperbesar risiko gagal panen yang lebih besar. Asuransi pertanian penting dilakukan karena ketidakpastian yang menyerang hampir seluruh petani di Indonesia sehingga potensi untuk terjadinya gagal panen menjadi sangat tinggi. Asuransi pada asasnya adalah suatu perjanjian kerugian(schadevesekering atau indemnities contract). Dalam hal ini penanggung yang mengikatkan dirinya untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian dan yang diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (indemnity principle).5 Sedangkan terkait dengan risiko,terbagi menjadi dua yakni yaitu risiko murni (pure risk) dan risiko spekulatif (speculative risk).
4
Mt. Sinabung Eruptions Disrupt Food Supplieshttp://www.thejakartapost.com/news/2013/11/07/mtsinabung-eruptions-disrupt-food-supplies.html diakses pada 6 November 2013 pukul 13.27 WIB 5 Man Suparman, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 14
Perbedaan yang mendasar dari kedua jenis risiko ini adalah munculnya kemungkinan. Pada risiko murni hanya terdapat satu kemungkinan yang muncul atas suatu
peristiwa
yang
tidak
pasti,
yaitu
kemungkinan
atas
terjadinya
kerugian/kehilangan (loss), sedangkan pada risiko spekulatif terdapat dua kemungkinan atas kemungkinan yang akan muncul atas suatu peristiwa yang tidak pasti, yaitu kerugian/kehilangan dan menang/untung (gain). Hanya risiko murni yang dapat menjadi kausa dari pertanggungan karena risiko murni hanya memiliki satu kemungkinan saja. Risiko spekulatif tidak dapat dijadikan kausa terjadinya pertanggungan atau asuransi karena risiko spekulatif tersebut dapat dihindari.6 Bidang pertanian erat kaitannya dengan risiko murni, hal ini karena pertanian hanya memiliki dua kemungkinan saja dalam pengusahaannya, yakni panen atau gagal panen. Revolusi Industri pada abad 19 membuat perubahan signifikan dalam kehidupan manusia. Pengalihan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin menjadi efek pendorong industrialisasi besar-besaran yang mengakibatkan tingginya permintaan bahan bakar, apalagi setelah penciptaan alat transportasi berbasis mesin yang menggunakan bahan bakar fosil menjadi booming di pasaran. Efeknya adalah terjadi pemanasan global akibat tingginya penggunaan bahan bakar berbahan fosil di berbagai belahan bumi walaupun bukan satu-satunya penyebab. Pemanasan global yang terjadi erat kaitannya dengan kacaunya anomali cuaca dan perubahan iklim
6
Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi: Guideline untuk Membeli Polis Asuransi yang Tepat dari perusahaan Asuransi yang Benar, BPFE, Yogyakarta, 1995, hlm. 13
(climate change).7Akibat perubahan iklim ini pula menyebabkan siklus tanam berubah dan munculnya berbagai macam hama atau gulma yang telah bermutasi dan tidak terprediksi sehingga membuat usaha pertanian menjadi sangat berisiko. Beberapa negara Asia baru saja terkena bencana angin topan Haiyan (Yolanda). Bencana angin topan pasifik ini berada dalam kategori 5 dengan kecepatan maksimum hingga 230 kilometer perjam. Beberapa negara terkena topan ini, antara lain Mikronesia, Palau, Filipina, Vietnam, dan Tiongkok bagian selatan. Kerusakan terparah terjadi di Filipina, selain mengakibatkan ribuan korban tewas, topan ini juga menghancurkan berbagai sektor termasuk sektor pertanian. Selain menghancurkan lahan padi, topan ini juga merusak perkebunan kelapa yang menjadi komoditas utama di Filipina.8 Terkait dengan asuransi di sektor pertanian sendiri secara umum telah diatur di dalam bab X bagian kedua Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat KUHD) tepatnya di dalam Pasal 299, Pasal 300, dan Pasal 301. Akan tetapi ketiga pasal tersebut dianggap sudah kurang relevan lagi oleh karena sudah usang. Tidak relevannya lagi menggunakan ketiga pasal KUHD tersebut (Pasal 299-Pasal 301) oleh karena KUHD berlaku pada 1 Oktober 1983 dimana sistem dan teknologi
7
Causes of Climate Change, http://www.epa.gov/climatechange/science/causes.html diakses pada 4 Juni 2014 pukul 22.25 WIB 8 Severe Damage to Agriculture and Fisheries Rafter Typoon Haiyan, http://www.fao.org/news/story/en/item/204327/icode/ diakses pada 29 Mei 2014 pukul 22.50 WIB
pertanian pada saat itu masih tradisional dan belum maju layaknya teknologi pertanian seperti saat ini.9 Lebih lanjut mengenai asuransi pertanian memang sudah ada beberapa kali persiapan dari pemerintah untuk melakukan asuransi pertanian, yaitu pada tahun 1982, 1984, dan 1985, dengan pembentukan Kelompok Kerja Persiapan Pengembangan Asuransi Panen. Pada tahun 1999, wacana asuransi panen kembali muncul dan tidak ada lagi gaungnya. Pada awal tahun 2012, wacana mengenai asuransi pertanian muncul kembali dan dibentuk Kelompok Kerja Asuransi Pertanian Kementerian Pertanian.10 Dasar hukum untuk melaksanakan asuransi pertanian muncul dengan terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (selanjutnya disingkat UU P3). Dalam Pasal 1 angka 16 UU P3 memberi pengertian Asuransi Pertanian sebagai: “Asuransi pertanian adalah perjanjian antara petani dan pihak asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko usaha tani.”
Selain itu juga di dalam UU P3 tersebut di Pasal 37 ayat 2 dinyatakan mengenai perlindungan yang dilindungi dengan mekanisme sistem asuransi sebagai berikut: 9
Sastrawidjaja, Man Suparman, Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Bandung : P.T. Alumni, 2003, hlm. 214 10 Perlindungan Petani Melalui Asuransi Pertanian http://setkab.go.id/en/artikel-9004-.html diakses pada 6 November 2013 Pukul 14.37 WIB
“Asuransi Pertanian dilakukan untuk melindungi petani dari kerugian gagal panen akibat: a. b. c. d. e.
Bencana alam; Serangan organisme pengganggu tumbuhan; Wabah penyakit hewan menular; Dampak perubahan iklim, dan atau; Jenis risiko-risiko lain diatur dengan peraturan menteri.”
Dalam pelaksanaannya, telah ada beberapa kali dilakukan pengembangan proyek percontohan di berbagai daerah oleh Kelompok Kerja Asuransi Pertanian Kementerian Pertanian dengan menggandeng perusahaan asuransi sebagai rekanan. Nilai premi yang ditanggung oleh petani hanya sebesar Rp 36.000,00 per hektar atau sekitar 20% dari nilai asli premi. Pemerintah menyubsidi sisa 80% premi atau sekitar Rp 144.000,00 per hektar per petani. Pilot Project yang telah berlangsung pada musim tanam 2012/2013 adalah di Jawa Timur dan Sumatera Selatan, sedangkan pada musim tanam 2013/2014 berlokasi di wilayah tengah provinsi Jawa Timur. Untuk tahap awal, asuransi pertanian difokuskan pada tanaman beras (rice), hal ini karena beras merupakan konsumsi utama masyarakat Indonesia dan Asia secara umum sebagai makanan pokok. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengambil judul mengenai “Tinjauan Yuridis Urgensi Pelaksanaan Asuransi Pertanian di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian rumusan masalah diatas, penulis merumuskan dua pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimanakah urgensiasuransi pertanian di Indonesia setelah terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani? 2. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam upaya pelaksanaan Asuransi Pertanian di Indonesia setelah terbitnya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan bagaimanakah mengatasi hambatantersebut?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang ada, Penulis mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut: Tujuan Objektif 1. Penelitian yang dilakukan oleh Penulis bertujuan untuk mengetahui bagaimana urgensi pelaksanaan asuransi pertanian setelah terbitnya
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. 2. Untuk mengetahui bagaimana hambatanyang dihadapi dalam upaya melaksanakan asuransi pertanian dan solusi atas hambatan tersebut.
Tujuan Subjektif Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data dan bahan – bahan yang akan digunakan dalam penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian Dalam penelitian ini, Penulis membahas tentang Tinjauan Yuridis Urgensi Pelaksanaan Asuransi Pertanian di Indonesia Setelah Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Untuk melihat keaslian penelitian dalam penulisan hukum ini, maka penulis melakukan penelusuran dan penelitian di berbagai referensi dan hasil penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta di beberapa mesin pencari di internet. Dari hasil penelusuran, tidak ditemukan penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Urgensi Pelaksanaan Asuransi Pertanian di Indonesia
Setelah Pemberlakuan Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi kepentingan teoritis maupun kepentingan praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih yang berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya, serta hukum dagang pada khususnya sebagai induk dari hukum asuransi terkait dengan pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berharga kepada pihak-pihak dalam rangka implementasi kebijakan mengenai pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia.