BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara di dunia berlomba-lomba dalam melakukan pembangunan ekonomi agar tingkat kesejahteraan negara tersebut meningkat. Tujuan dari pembangunan ekonomi itu sendiri yaitu, menciptakan pendapatan riil perkapita yang tinggi, dapat mengurangi tingkat kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan serta dapat mengurangi pengangguran yang ada. Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi
daerah.
Pembangunan
daerah
dilakukan
secara
terpadu
dan
berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan akar dan sasaran pembangunan nasional yang telah ditetapkan melalui pembangunan jangka
panjang dan jangka pendek
(Suliswanto, 2010).
Pembangunan ekonomi daerah adalah kerja sama yang dibangun antara pemerintah dan sektor swasta guna memanfatkan sumber daya yang ada sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang baru. Tujuannya adalah dapat memberdayakan masyarakat sehingga mendapat pekerjaan. Pembangunan ekonomi daerah tidak lepas dari Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan UndangUndang No. 25 tahun 1999, pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnya atau yang sering disebut otonomi daerah (Suparmoko, 2002:4). Salah satu alasan dibentuknya otonomi daerah adalah
1
daerah dapat memaksimalkan potensi daerahnya sehingga pembangunan di pusat dapat berjalan seimbang dengan pembangunan di daerah. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan pemerintah daerah dan masyarakat bersama-sama membangun daerahnya sendiri. Desentralisasi fiskal memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah dalam mengatur daerahnya serta membuat kebijakan yang dapat menunjang potensipotensi
di
meningkatkan
daerahnya. dan
Pembentukan
meratakan
desentralisasi
kesejahteraan
fiskal
masyarakat,
ini
bertujuan
meningkatkan
kemandirian daerah mengelola daerahnya dan mengurangi subsidi pemerintah, serta melakukan pembangunan yang merata untuk setiap daerah. Sejak diberlakukannya desentralisasi fiskal semua daerah yang ada di Indonesia terus menerus melakukan pembangunan dan membuat kebijakan agar dapat meningkatkan pembangunan daerahnya. Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, kebijakan fiskal dan moneter, agama (Suparmoko, 2002:17). Terdapat beberapa faktor dalam keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal, yaitu pertama sumber daya manusia yang berkualitas sebagai pelaksana kebijakan atau sebagai penyelenggara pemerintahan daerah. Kedua keuangan daerah yang dikelola dengan baik, dimana dapat menggali sumber pendapatan daerah dan mengelola keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketiga teknologi yang memadai, dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal sangat diperlukannya teknologi yang memadai guna menunjang pelaksanaan kebijakan atau peraturan yang
2
dibuat. Keempat manajemen yang baik dalam mengelola daerah serta menjalankan kebijakan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Kaho, 2001:60). Masalah yang masih banyak dihadapi oleh seluruh daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu kemiskinan. Kemiskinan menjadi masalah baik pada daerah perkotaan maupun pedesaan. Timbulnya kemiskinan dikarenakan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses lapangan pekerjaan dan sedikit peluang masyarakat untuk mendapat kesempatan kerja serta banyaknya pekerja yang di-PHK karena para pengusaha kekurangan modal dan gulung tikar (Setiyawati dan Hamzah, 2007). Banyak upaya yang sudah dilakukan untuk menanggulagi kemiskinan yang terjadi namun upaya tersebut masih belum cukup dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Bali yang terkenal sebagai destinasi pariwisata juga tidak luput dari permasalahan kemiskinan penduduk (BPS Provinsi Bali, 2013:491). Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Bali Menurut Klasifikasi Daerah Tahun 2004 – 2014 (ribu jiwa) 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Kota
2004 87
2005
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
105.9 127.4 119.8 115.1
92.1
83.6
92.7
90.4
94.79
99.9
89.7
91.3
73.1
76.5
65.1
85.3
Desa 144.9 122.5
2006 116
2007
109.3 100.6
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014
3
Berdasarkan Gambar 1.1 jumlah penduduk miskin di desa selalu lebih tinggi dibandingkan jumlah penduduk miskin di kota, namun sejak 2006 hingga 2009 jumlah penduduk miskin di kota selalu lebih tinggi sebesar satu persen hingga tujuh persen di bandingkan di desa. Pada 2010 jumlah penduduk miskin di kota lebih rendah sebesar 4.40 persen di bandingkan di desa, namun keadaan tersebut tidak bertahan lama karena tahun berikutnya hingga sekarang jumlah penduduk di kota lebih tinggi dibandingkan di desa. Hal ini disebabkan banyaknya penduduk desa yang melakukan urbanisasi ke kota namun tidak memiliki keterampilan sehingga tidak mendapat pekerjaan dan menjadi penduduk miskin di kota. Kemiskinan
yang
semakin
tinggi
disebabkan
oleh
ketimpangan
pendapatan yang tinggi. Menurut Santoso (2013) penurunan kemiskinan disebabkan oleh peningkatan pendapatan yang tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan dengan demikian makin tingginya pertumbuhan ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah (Sukirno, 2012:422). Pertumbuhan ekonomi selalu berhubungan dengan para pelaku ekonomi yaitu pemerintah yang berperan dalam instrumen kebijakan fiskal sedangkan sektor swasta dalam pengembangan kesempatan kerja dan masyarakat sebagai sumber daya manusia yang merupakan input produksi. Pertumbuhan ekonomi
4
daerah dapat bersumber dari peningkatan modal melalui penerimaan daerah dan tabungan masyarakat, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja melalui pertumbuhan angkatan kerja, peningkatan pengetahuan, keterampilan serta adanya penyempurnaan teknologi dalam proses produksi. Salah satu indikator dalam melihat gejala pertumbuhan ekonomi adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal ini dikarenakan PDRB mencerminkan kegiatan ekonomi yang dilaksanakan atau yang dapat dicapai dalam satu periode. PDRB juga dapat digunakan sebagai tolak ukur kesejahtraan masyarakat. PDRB itu sendiri merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dari seluruh kegiatan perekonomian di seluruh daerah dalam tahun tertentu. Bali merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang bergantung pada sektor pariwisata yang kemudian menghidupkan sektor lainnya. Sektor pariwisata dan sektor lainnya yang ada di Bali memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Provinsi Bali memiliki laju pertumbuhan yang berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.2 yang menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali. Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Tahun 1995-2013 (dalam persen) 10 8 6 4 2
-6
Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014
5
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
-4
1996
-2
1995
0
Berdasarkan Gambar 1.2 laju pertumbuhan ekonomi di Bali mengalami fluktuasi. Pada tahun 1996 laju pertumbuhan ekonomi di Bali menempati tempat tertinggi yaitu delapan persen, sementara tahun 1998 Bali mengalami penurunan yang sangat drastis hingga sebesar negatif empat persen. Pada saat itu Bali mengalami krisis yang juga terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Namun pada tahun-tahun berikutnya laju pertumbuhan ekonomi di Bali perlahan merangkak naik, walaupun beberapa kali mengalami penurunan yang tidak terlalu curam hingga tahun 2013 mencapai enam persen. Laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bali dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali, sehingga besar kecilnya peningkatan maupun penurunan yang terjadi pada laju pertumbuhan kabupaten/kota akan sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali. Laju pertumbuhan ekonomi pada kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bali dapat dilihat pada table 1.1. Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Atas Harga Konstan 2000 Tahun 2009-2013 (dalam persen) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kabupaten/Kota
2009
Jembrana 4,82 Tabanan 5,44 Badung 6,39 Gianyar 5,93 Klungkung 4,92 Bangli 5,71 Karangasem 5,01 Buleleng 6,10 Denpasar 6,53 Bali 5,33 Sumber: BPS Provinsi Bali, 2014
2010
2011
2012
2013
Rata-rata
4,57 5,68 6,48 6,04 5,43 4,97 5,09 5,85 6,57 5,83
5,61 5,82 6,69 6,76 5,81 5,84 5,19 6,11 6,77 6,49
5,90 5,91 7,30 6,79 6,03 5,99 5,73 6,52 7,18 6,65
5,38 6,03 6,41 6,43 5,71 5,61 5,81 6,71 6,54 6,05
5,26 5,78 6,66 6,39 5,58 5,63 5,37 6,26 6,72 6,07
6
Berdasarkan Tabel 1.1 hanya Kabupaten Tabanan dan Karangasem yang selalu mengalami peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dari tahun 2009 sampai dengan 2013. Kabupaten yang memiliki rata-rata laju pertumbuhan ekonomi terendah yaitu Kabupaten Jembrana yang hanya 5,26 persen, berbanding jauh dengan Kota Denpasar yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu 6,72 persen. Kota Denpasar dan Kabupaten Badung memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang hampir sama dengan selisih 0,06 persen, dimana Kabupaten Badung lebih rendah dibandingkan Kota Denpasar. Kabupaten Badung, Gianyar, dan Buleleng serta Kota Denpasar memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi Provinsi Bali. Daerah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya dituntut untuk lebih mandiri dalam menjalankan keuangan, baik dari segi pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi merupakan tujuan dari masing-masing pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan PAD yang tinggi menandakan otonomi daerah yang dilaksanakan berjalan dengan baik. PAD merupakan pendapatan daerah yang diperoleh dari hasil mengelola potensipotensi daerah oleh pemerintah daerah. PAD berasal dari pajak dan retribusi daerah, keuntungan perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah. Berdasarkan Undang-Undang 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, pendapatan asli daerah didefinisikan sebagai pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
7
(Mahmudi, 2010:3). Setiap daerah memiliki PAD yang berbeda-beda karena potensi yang dimiliki setiap daerah berbeda. Semakin tingginya PAD suatu daerah maka semakin kecil tingkat ketergantungan daerah terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diberikan oleh pemerintah pusat. PAD sangat tergantung pada jumlah dan macam-macam objek pajak maupun retribusi daerah. Setiap pemerintah daerah bebas dalam menentukan tarif pajak maupun retribusi daerahnya dengan tetap berpedoman kepada uandangundang sebagai batas maksimum dari tarif pajak dan retribusi daerah. Pemerintah daerah harus bisa mengindentifikasi potensi-potensi dalam yang ada di daerahnya. Perekonomian suatu daerah sangat tergantung kepada pajak daerah dan retribusi daerah. Apabila pajak daerah dan retribusi daerah meningkat maka perekonomian daerah tersebut semakin tinggi. Bali yang memiliki 8 kabupaten dan 1 kota memiliki tingkat PAD yang berbeda-beda. Provinsi Bali memiliki potensi daerah yang cukup banyak, terutama pada sektor jasa. Perkembangan PAD kabupaten atau kota di Provinsi Bali semakin meningkat setiap tahunnya dan memberikan kontribusi yang cukup tinggi terhadap pendapatan daerah Provinsi Bali. Pada tahun anggaran 2013, PAD masih merupakan sumber penerimaan rutin terbesar pemerintah Provinsi Bali yaitu sebesar 2,53 trilyun, atau memberi kontribusi sekitar 61,55 persen dari total penerimaan (BPS provinsi Bali, 2014). Upaya peningkatan PAD bertujuan menunjang anggaran belanja daerah. Belanja daerah merupakan semua pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode anggaran yang dikeluarkan guna melaksanakan kewajiban, wewenang,
8
dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah pusat. Belanja daerah cenderung memiliki kekurangan dalam pembiayaannya karena anggaran APBN dan APBD yang akan diterima daerah. Belanja daerah terdiri dari berbagai macam karena keperluan daerah dan pengeluaran daerah sangat banyak guna meningkatkan potensi daerah, terutama sumber daya manusia yang dimiliki. Seluruh pembelanjaan yang dilakukan pemerintah akan dipertanggungjawabkan melalui laporan pertanggungjawaban keuangan daerah. Adanya pembelanjaan pemerintah ini dapat mendorong kesejahteraan yang telah ditetapkan didalam APBD. Menurut PP 58/2005 dan PERMENDAGRI 59/2007 alokasi pembelanjaan yang terdapat dalam APBD terdapat dua pengeluaran yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung kemudian diklasifikasikan lagi menjadi belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan keuangan, belanja bantuan sosial, belanja tidak terduga. Sementara belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal (Mahmudi, 2010:97). Belanja langsung diarahkan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan pemerintahan secara optimal dan memperbesar tabungan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan nasional. Belanja tidak langsung diarahkan kepada pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan ketersediaan pelayanan umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tercatat belanja daerah merupakan porsi pengeluaran tertinggi digunakan untuk belanja tidak langsung yang mencapai 67,40 persen dari total belanja daerah dan sisanya
9
sebanyak Rp 1,26 trilyun (32,60%) digunakan untuk belanja langsung (BPS Provinsi Bali, 2014). Belanja daerah dan PAD memiliki hubungan yang erat. Besar kecilnya PAD akan membantu dalam menunjang belanja daerah. Belanja daerah kemudian dialokasikan untuk belanja tidak langsung dengan porsi yang semakin besar guna manambah sarana prasarana dan meningkatkan kesejahtraan masyarakat serta mengurangi angka kemiskinan yang ada (BPS Provinsi Bali, 2014). Permasalahan yang terjadi dalam pemerintah daerah saat ini adalah peningkatan pendapatan tidak selalu diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya tidak diikuti oleh penurunan pengangguran dan kemiskinan (Santosa, 2013). PAD menarik untuk diteliti karena PAD tiap daerah berbeda-beda, selain itu belanja tidak langsung yang dilakukan pemerintah dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan diharapkan dapat mengurangi kemiskinan yang ada di daerah. Meningkatnya PAD dan belanja tidak langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi sesuai dengan Hukum Wegner yang mengatakan bahwa pendapatan per kapita, secara relatif akan meningkatkan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1993:171). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Lin dan Liu pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian yang dilakukan Wong (2004) pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang sebenarnya menghasilkan peningkatan kapasitas pendapatan pemerintah daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga mencerminkan semakin besarnya
10
kebutuhan layanan jasa pemerintah, sehingga dibutuhkan anggaran pemerintah yang semakin besar pula (Mahyuddin, 2009). Pendapatan per kapita berkontribusi terhadap PAD sehingga akan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Widodo dkk (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan tidak bisa berdiri sendiri sebagai faktor dalam memengaruhi kemiskinan, namun harus berinteraksi dengan faktor lain. Menurut Teori Peacock dan Wiseman (dalam Mangkoesoebroto, 1993;173), pertumbuhan ekonomi menyebabkan pungutan pajak semakin meningkat. Apabila pertumbuhan ekonomi semakin tinggi maka tingkat kesejahtraan masyarakat pada daerah semakin tinggi pula dan dapat mengurangi kemiskinan. Keberhasilan sebuah daerah dalam mensejahterakan masyarakat bisa dilihat dari angka kemiskinan yang dimiliki (Novianto, 2012). Menurut Suliswanto (2010) pertumbuhan ekonomi dapat menjadi instrumen yang sangat berpengaruh dalam penurunan kemiskinan pendapatan (income poverty). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewanto dkk (2014) pertumbuhan ekonomi mampu menurunkan kemiskinan. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh pendapatn asli daerah dan belanja tidak langsung terhadap kemiskinan melalui partumbuhan ekonomi di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan adalah :
11
1. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Tidak Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 20072013? 2. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Belanja Tidak Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan di Provinsi Bali tahun 2007-2013? 3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Tidak Langsung terhadap Kemiskinan melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 2007-2013?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai sebagai bukti empiris, antara lain : 1.
Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Tidak Langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 20072013.
2.
Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Belanja Tidak Langsung dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
3.
Untuk menganalisis pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Tidak Langsung terhadap Kemiskinan melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali tahun 2007-2013.
12
1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut: 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk menerapkan konsep – konsep teori yang selama ini diperoleh dalam perkuliahan tentang pendapatan asli daerah, belanja tidak langsung, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan serta meningkatkan wawasan ilmu pengetahuan melalui berbagai temuan pada penelitian. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran kepada pemerintah terkait pendapatan asli daerah, belanja tidak langsung, peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penanggulangan kemiskinan.
1.5 Sistematika Penelitian Skripsi ini terdiri dari lima bab yang saling berhubungan antara bab yang satu dengan bab yang lainnya dan disusun secara sistematis serta terperinci untuk memberikan gambaran dan mempermudah pembahasan. Sistematika dari masingmasing bab dapat diperinci sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah dari penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penelitiannya.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai landasan teori yang mendukung dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas yang digunakan sebagai pedoman dalam pemecahan masalah dalam laporan ini penelitian, hasil penelitian sebelumnya yang terkait yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini serta disajikan hipotesis atau dugaan sementara atas pokok permasalahan yang diangkat sesuai dengan landasan teori yang ada.
BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini membahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi desain penelitian, lokasi penelitian, objek penelitian, identifikasi variabel, definisi operasional variabel, jenis dan sumber data, sampel, metode pengumpulan data, dan teknik analisis data. BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Bab ini akan menyajikan gambaran umum wilayah, perkembangan, dan data serta menguraikan pembahasan yang berkaitan dengan pengujian pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung variabel pendapatan asli daerah, belanja tidak langsung, pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan di Provinsi Bali. BAB V
SIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan mengemukakan simpulan berdasarkan hasil uraian pembahasan pada bab sebelumnya, keterbatasan dalam penelitian yang
14
telah dilakukan dan saran atas penelitian yang dilakukan agar nantinya diharapkan dapat berguna bagi penelitian selanjutnya.
15