BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Moda transportasi roda dua masuk dan berkembang begitu pesat di Indonesia. Hingga saat ini sepeda motor masih menjadi alat transportasi paling diminati masyarakat Indonesia baik di pedesaan maupun perkotaan. Asia menjadi tempat beradanya sekitar 79% dari populasi keseluruhan sepeda motor yang ada di dunia. Dalam kawasan Asia pada tahun 2010, Tiongkok memiliki paling banyak sepeda motor (110 juta), diikuti oleh India (82 juta), Indonesia (60 juta), dan Vietnam (31 juta).1 Untuk menggambarkan kondisi di Indonesia, melalui data yang dihimpun dari AISI (Asosiasi Sepeda Motor Indonesia) menunjukkan pada tahun 2014 tercatat produksi sejumlah 7,926,104, penjualan (wholesale) sebanyak 7,867,195, dan ekspor sebanyak 41,746.2 Sepeda Motor merk Jepang menjadi favorit konsumen di Indonesia dengan branding image produk yang kuat, awet, dan memiliki nilai jual kembali yang lebih baik. Pasca berakhirnya era pemerintahan orde lama di Indonesia dan berganti era orde baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto yang kapitalistik, pintu investasi bagi industri-industri asing begitu lebar terbuka. Pengesahan UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hukum, sistem kerja, dan jaminan 1
World Health Organization, 2013 AISI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia), www.aisi.or.id/statistic diakses pada 24 Februari pukul 21.24 WIB 2
politik yang ditawarkan pemerintah bagi investor asing pada masa itu membuat perusahaan asing berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Termasuk bagi industri kendaraan bermotor sebagai solusi transportasi masyarakat kota, khususnya roda dua asal Jepang di awal tahun 1970. Kala itu sepeda motor yang beredar di Indonesia adalah barang-barang sisa peperangan dari Vietnam, atau hasil beli impor dengan merk-merk buatan Eropa dan Amerika dimana kendaraan tersebut berbobot tinggi dan bentuk fisik besar, dan sebagai solusi transportasi dirasa kurang cocok bagi postur tubuh orang Indonesia. Kemudian setelah masa riset bertahun-tahun dan perkembangan teknologi dalam negerinya, negeri Sakura berhasil mengekspansi negara-negara lain dengan produksi sepeda motornya dengan bobot ringan, mudah dikendarai, dan harga lebih terjangkau. Fenomena pesatnya perkembangan pasar sepeda motor di Indonesia, turut berimplikasi pada tumbuh dan menjamurnya berbagai komunitas sepeda motor di Indonesia. Berbagai jenis dan tipe sepeda motor di beberapa daerah hampir pasti ada komunitasnya sendiri. Komunitas tersebut berdiri juga atas berbagai basis sendiri, misalnya merk atau tipe sepeda motornya, basis wilayah, maupun basis persamaan profesi tertentu. Namun yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah mengenai CB Biker alias penunggang sepeda motor Honda CB, sepeda motor keluaran lama yang memiliki karakteristik unik dibandingkan komunitas sepeda motor konvensional yang ada. Sepeda motor ini sendiri diproduksi oleh PT Federal Motor (Honda Indonesia) mulai tahun 1971 hingga 1981. Beberapa tipe diproduksi untuk seri CB oleh Honda Jepang, namun yang diperkenalkan di
Indonesia adalah tipe mesin 100, 125, 175, dan 200. Seri pertama adalah yang paling banyak menorehkan catatan penjualan. Setelah puluhan tahun tidak diproduksi lagi dan tergerus perkembangan teknologi roda dua, tipe CB 100 ini akhirnya kehilangan taringnya. Tipe ini hanya menjadi penghuni sudut-sudut tumpukan rongsokan, ataupun jika ada yang masih bisa digunakan mungkin hanya digunakan di kalangan pedesaan untuk angkutan pertanian, karena harganya yang sudah jadi murah, bahkan murahan. Namun, tidak disangka bahwa pada akhir 1990-an memasuki tahun awal 2000-an banyak orang-orang termasuk di kota Yogyakarta membuat tipe ini kembali menjadi tren dan kembali memiliki nilai jual. Mari berasumsi pada masa tersebut adalah pasca terjadinya krisis ekonomi di negeri ini yang berakibat pada menurunnya daya ekonomi masyarakat kelas menengah bawah yang membuat mereka kembali melirik barang lama tersebut
akibat
ketidakmampuan
menjangkau harga sepeda motor yang baru. Popularitasnya yang bangkit kembali tersebut kemudian juga menciptakan kultur baru dalam attitude setiap penggunanya, penggemarnya, pencintanya, yang menjadikannya keunikan tersendiri. Sebagai fenomena masyarakat kelas menengah di perkotaan, fenomena berjejaring antar CB Biker ini menunjukkan keunikan-keunikannya. Sesama pengguna Honda CB yang bertemu di ruas-ruas jalan raya biasanya memiliki kebiasaan unik untuk menandai sebuah ikatan kesamaan hobi mereka, yakni menyapa sesama penggunanya dengan istilah „Salam Blar-blar‟ yakni dengan memutar tuas gas motor sebanyak dua kali sambil menarik tuas kopling pertanda
untuk menyapa, lalu dibalas dengan hal yang sama oleh yang lainnya sebagai respon. Kekompakan ini tidak sampai disana, ketika seorang CB Biker mengalami masalah teknis pada tunggangannya dan tidak bisa melanjutkan perjalanan, biasanya sesama CB Biker yang menjumpainya akan menghampiri untuk membantu, entah dengan membantu memperbaiki di tempat atau mencarikan bantuan lain.
Mereka yang berpapasan di jalan ini sama sekali tidak mengenal
personal antar satu dengan lainnya, solidaritas dan rasa simpati muncul atas dasar sesama penunggang motor tersebut. Kekuatan jejaring, kepercayaan, dan rasa kesamaan kesukaan ini akan membuat nilai-nilai solidaritas muncul di antara mereka, yang tidak kita temukan pada komunitas lain atau pengguna motor pada umumnya. Gejala inilah yang menarik penelitian tertuju pada hal tersebut, sebuah ikatan dapat dijadikan asumsi sebagai dasar atas tindakan-tindakan sosial tersebut dan perlu diketahui lebih mendalam. Para penggemar dan pengguna CB di kawasan DIY berdiri dalam beberapa komunitas dengan basis wilayah maupun nilai-nilai tertentu yang mendasarinya. Untuk wilayah DIY juga ada beberapa komunitas penggemar sepeda motor Honda CB yang terdaftar dalam asosiasi CB DIY yang berbasis wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, diantaranya adalah Mobta, Jocker, CB GK,GCC, JRC, CB Police, Gas Mangkat, CB KP, CB Holic, CB Sleman, AB CB, CBRY. CB DIY merupakan sebuah wadah yang memayungi berbagai komunitas CB yang ada di lingkup wilayah Provinsi DIY. CB DIY berdiri di bawah naungan CBI (CB Indonesia) yang merupakan wadah tingkat nasional yang mencakup seluruh wilayah dengan komunitas CB di berbagai pulau seluruh wilayah
Indonesia. Pada awalnya CB DIY secara administratif digabungkan dengan korwil Jawa Tengah bernama CB DIY-Jateng. Agar penanganan soal administrasi dan masalah kepengurusan lebih mudah dalam koordinasi, terpisahlah menjadi sejak tahun 2013 lalu menjadi CB DIY dan CB Jateng. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Yogyakarta memiliki iklim berjejaring antar para penggemar Honda CB yang kondusif. Dapat dikatakan demikian ketika mengingat wilayah DIY juga kerap menjadi rujukan para penggemar Honda CB dari daerah lain untuk mencari kebutuhan seputar hobinya, karena beberapa titik seperti di Bantul, Pasar Jejeran Pleret, Pasar Klithikan di Yogyakarta menyediakan banyak kebutuhan para penggemar tersebut seperti suku cadang, aksesoris, jasa bengkel dan lain sebagainya, didukung pula jejaring komunitas yang kuat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak tumbuh komunitas tersebut di wilayah ini. Kekuatan dalam jejaring-jejaring tersebut turut mendukung seorang penunggang CB dalam kegiatannya, semisal „touring‟ atau melakukan perjalanan jauh ratusan kilometer merasa aman karena bergerak dalam jejaring yang kuat. Tempat beristirahat sejenak, antisipasi kendala teknis di lapangan, hingga urusan dana secara tidak langsung seolah akan terasa seperti terjamin, karena nilai rasa solidaritas yang ada dalam setiap CB Biker di berbagai daerah. CB DIY dalam kalender kegiatannya tahun ini mengadakan perayaan hari jadi salah satu komunitas anggotanya dengan mengundang berbagai komunitas CB dari berbagai daerah. Acara yang digelar di Pantai Parangtritis 4-5 April 2015 tersebut dihadiri sekitar 10.000 personil dengan motor CB dari berbagai daerah
baik dalam dan luar Jawa, seperti Sumatera, Bali, Lombok, dan Sulawesi. Solidaritas itu pun nampak lagi, mereka semua menunggangi CB-nya dari tempat asal hingga ke Yogyakarta. Kekuatan berjejaring nampak dari kemunculnya komunitas-komunitas hobi tersebut. Gejala-gejala solidaritas yang nampak diantara mereka seperti empati di jalan raya, support for anniversary komunitas CB Biker lain, saling bertegur sapa di jalan walaupun tidak kenal, menempatkan kita pada indikasi adanya ikatan yang mendasari hubungan diantara mereka. Maka asumsi mengenai kebutuhan pasar, kebutuhan politik, maupun faktor lain bisa saja menjadi sentral kekuatan dalam hubungan jejaring sosial CB Biker. Penelitian tertuju melalui komunitas Mobta (Motor CB Yogyakarta) yang merupakan komunitas CB pertama yang ada di Yogyakarta. Resmi terbentuk sejak 27 April 2000 dengan anggota berkisar 60-an orang dan kini berkembang menjadi 200-an personil. Anggota MOBTA terdiri dari berbagai suku, jenis kelamin, usia dan tidak mengenal tua ataupun muda, tidak mengenal profesi apapun, namun mereka mengakui diri hanya sesama pecinta motor tua Honda CB dan cinta Indonesia. Pembahasan akan menggunakan pendekatan studi jejaring sosial, dengan memahami lebih dalam mengenai hubungan-hubungan sosial yang tercipta dalam lingkup jejaring tersebut. Bila tujuan-tujuan dari hubungan-hubungan sosial yang terwujud spesifik dan konkret seperti memperoleh barang, pelayanan, pekerjaan, dan sejenisnya setelah tujuan-tujuan tersebut tercapai biasanya hubunganhubungan tersebut tidak berkelanjutan. Bila tujuan dari hubungan-hubungan sosial
yang terwujud spesifik dan konkret seperti ini, struktur sosial yang lahir dari jejaring sosial tipe ini juga sebentar dan berubah-ubah. Namun, bila tujuan-tujuan tersebut tidak sekonkret dan spesifik seperti itu atau ada kebutuhan-kebutuhan untuk memperpanjang tujuan (tujuan-tujuan selalu tampak berulang), struktur yang terbentuk pun menjadi relatif stabil. Karenanya, tindakan dan interaksi yang terjadi dalam jejaring kepentingan ini selalu dievaluasi berdasarkan tujuan-tujuan relasional. Pertukaran (negosiasi) yang terjadi dalam jejaring kepentingan ini diatur oleh kepentingan-kepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya dan serangkaian norma-norma yang sangat umum atau general. Juga dalam mencapai tujuan-tujuannya, para pelaku bisa memanipulasi hubungan-hubungan power atau hubungan-hubungan emosi.
2. Rumusan Masalah
Dari fenomena yang dikemukakan di atas, maka timbul perumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana terbentuknya jejaring sosial dan dinamikanya dalam komunitas tersebut?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk 1. Mengetahui karakteristik komunitas Mobta, 2. Mengetahui ikatan yang mendasari gejala-gejala solidaritas yang ditunjukkan CB Biker, mengetahui dasar dari kekuatan jejaring sosial yang terbentuk 3. Mengetahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dan juga cara-cara yang digunakan dalam menjaga keberlangsungan komunitas
4. Kerangka Teoritik
Sebagai makhluk sosial, maka manusia selalu mempunyai motif untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain, mencari orang-orang lain, menjalin hubungan dan terciptanya interaksi. Rasa ingin menjalin interaksi inilah yang kemudian membuat orang ingin bergabung dengan komunitas, dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Entah untuk sekedar berbagi hobi atau mengisi waktu luang, berbisnis, atau mempelajari sesuatu. Sama ketika seseorang yang memiliki sepeda motor CB ini, mereka merasa menyukainya dan sangat berkecenderungan
mencari orang-orang yang memiliki kesamaan tersebut dengannya. „birds of feather flock together’
4.1. Komunitas Mendefinisikan sebuah kata „komunitas‟, begitu banyak perdebatan dalam berbagai diskursus yang ada, dan hanya sedikit yang memiliki kesamaan (Bell & Newby, 1971). Penulis mendefinisikan secara umum bahwa komunitas adalah sekelompok individu dalam suatu basis tertentu dengan sebuah landasan dan tujuan yang sama. Kesamaan entitas juga penting sebagai elemen yang perlu ditinjau sebagai titik terbentuknya komunitas. Dalam hal penelitian ini, kelas sosial ekonomi boleh dijadikan sebagai asumsi bahwa hal tersebut adalah sebagai salah satu entitasnya. Dengan keterjangkauannya terhadap harga jual sepeda motor yang sama ini maka peneliti secara umum menggolongkan mereka pada ekonomi kelas menengah bawah (data dan penjelasan tercakup pada bab II). Komunitas berdiri atas adanya dasar kepentingan tertentu, bukan sekedar crowd dimana sekumpulan individu berkumpul tanpa motivasi yang kuat. Ife & Tesoriero mengartikan komunitas sebagai suatu bentuk organisasi sosial dengan lima ciri terkait berikut: a. Skala Manusia Skalanya terbatas pada orang yang akan saling berkenalan apabila diperlukan, dan dimana interaksi-interaksi sedemikian rupa sehingga mudah diakses oleh semua. Struktur-struktur berukuran cukup kecil sehingga orang
mampu memiliki dan mengendalikannya, yang dengan itu membuka pintu bagi pemberdayaan yang jujur. Tidak ada batasan mengenai jumlah pasti untuk mengidentifikasi dari ukuran sebuah komunitas, walaupun yang jelas dapat diterapkan kepada pengelompokan-pengelompokan sampai beberapa ribu.
b. Identitas dan Kepemilikan Komunitas dibentuk tidak hanya bertujuan semata untuk memudahkan urusan administrasi belaka, tetapi memiliki beberapa ciri dari sebuah perkumpulan atau perhimpunan, ke dalam mana orang termasuk sebagai anggota dan di mana perasaan memiliki ini penting dan dengan jelas diakui. Jadi, termasuk dalam suatu komunitas memberikan rasa identitas terhadap seseorang. Komunitas tersebut dapat menjadi bagian dari konsep-diri seseorang, dan merupakan sebuah aspek penting dari bagaimana seseorang memandang tempatnya di dunia.
c. Kewajiban-kewajiban Seperti layaknya keanggotaan dari sebuah organisasi yang menuntut hak dan tanggung jawab, maka begitu pula dengan sebuah komunitas. Keaktifan dan partisipasi dari anggota merupakan wujud nyata dari kontribusi yang dilakukan anggota dalam pemeliharaan struktur komunitas.Pemeliharaan dibutuhkan untuk keberlangsungan berkomunitas.
d. Gemeinschaft
Sebuah komunitas akan memungkinkan orang berinteraksi dengan sesamanya dalam keragaman peran yang lebih besar, yang peran-peran tersebut kurang dibeda-bedakan dan bukan berdasarkan kontrak, yang akan mendorong interaksi-interaksi dengan yang lain sebagai „seluruh warga‟ ketimbang sebagai peran atau kategori yang terbatas dan tetap. Hal ini tidak hanya penting dalam pengertian self-development, kontak antarmanusia dan pertumbuhan pribadi – ia juga memungkinkan individu-individu untuk menyumbangkan berbagai bakat dan kemampuan untuk keuntungan yang lain dan komunitas tersebut sebagai suatu keseluruhan. e. Kebudayaan Suatu komunitas menyediakan sebuah kesempatan bagi suatu penangkal terhadap fenomena „kultur masal‟. Kebudayaan masyarakat modern diproduksi dan dikonsumsi pada tingkat masal, yang terlalu sering mengakibatkan keseragaman yang steril dan pemindahan kultur dari pengalaman lokal dari orangorang biasa (Nozick, 1992). Suatu komunitas memungkinkan pemberian nilai, produksi dan ekspresi dari suatu kebudayaan lokal atau society-based, yang akan mempunyai ciri-ciri unik yang berkaitan dengan komunitas yang bersangkutan, yang akan memngkinkan orang untuk menjadi produser aktif dari kultur tersebut ketimbang konsumen yang pasif, dan yang akan, kemudian, mendorong baik keanekaragaman di antara komunitas maupun partisipasi yang large-based.
4.2. Komunitas Motor
Dalam iklim masyarakat Indonesia yang mengandalkan kendaraan bermotor roda dua sebagai moda transportasi andalan, munculah fenomenafenomena lahirnya komunitas-komunitas pengguna sepeda motor tertentu. Ikatan yang menjadi dasarnya biasanya berupa kesamaan merk atau tipe tertentu, jejaring tempat aktivitas (misal karyawan perusahaan tertentu atau sekumpulan mahasiswa di kampus tertentu), atau gaya modifikasi tertentu yang ditetapkan. Ini adalah fenomena kontemporer seiring dengan pesatnya pertumbuhan penjualan sepeda motor dalam dasawarsa pertama tahun 2000-an di Indonesia dan motivasi internal individu /aktor untuk membaur dalam sebuah komunitas. Faktor eksternal juga dapat berpengaruh, misalnya komunitas yang dibentuk badan tertentu, atau bahkan oleh produsen sepeda motor tersebut, dimana motif ekonomi berperan utama di dalamnya. Para pelaku komunitas sepeda motor sendiri kerap membedakan masingmasing definisi komunitas berdasarkan pemahamannya sendiri. Mereka lebih senang menyebut dirinya sebagai „club‟, sehingga muncul istilah „club motor‟ dan membedakan mereka dari geng motor, juga dalam hal ini untuk memisahkan definisinya dari geng motor yang banyak mendapat stigma negatif di masyarakat terkait dengan aksi-aksi kriminal yang kerap dilakukan. Dalam bahasa Indonesia yang berarti klub, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perkumpulan yang kegiatannya mengadakan persekutuan untuk maksud tertentu. Dalam kasus klub motor, maksud mereka adalah mewadahi keinginan merka berkelompok dan berbagi kebutuhan dengan orang-orang yang memiliki kesamaan kesenangan
tersebut. Memang sekilas memiliki makna yang sebelas dua belas terhadap definisi komunitas, namun bahasan ini tidak akan memperdebatkan masalah tersebut tetapi hanya menjabarkan mengenai pandangan tersebut dan pandangan dari segi penelitian ini. Komunitas motor biasanya resmi berdiri apabila telah memiliki sebuah susunan pengurus dan tidak jarang juga memiliki AD/ART layaknya sebuah organisasi, dan mendeklarasikan diri di depan komunitas lain yang telah lebih dahulu ada. Sistem perekrutan anggotanya pun bermacam-macam. Untuk menilai keseriusan, misalnya mereka tidak akan memberikan nomor anggota sebelum calon anggota melalui tahap-tahap orientasi tertentu, atau aktif dalam kegiatankegiatan tertentu yang dijalankan komunitas. Masing-masing komunitas melakukan agenda kegiatannya masing-masing sesuai karakter yang dibangunnya, ada yang untuk melakukan perjalanan (touring) bersama, ajang memodifikasi kendaraan, atau untuk kepentingan lain yang sejalan dengan hobi mereka. Karena dalam awal pembentukannya biasanya bermula dalam jejaring dunia maya (seperti mailing list, forum daring, social media), maka komunitas motor mengadakan apa yang mereka sebut kopi darat atau disingkat kopdar. Kegiatan ini adalah berkumpul di sebuah titik kumpul yang diputuskan bersama sebelumnya seperti di sudut jalan tertentu, restoran ataupun kedai tertentu untuk tatap muka antar anggota secara langsung dan mereka bertukar obrolan disana.
4.3. Solidaritas
Fakta Sosial menurut Durkheim tidak bisa dilepaskan hubungannya mengenai dua tipe solidaritas sosial yang diperkenalkannya. Istilah-istilah yang berhubungan erat dengan persoalan solidaritas ialah integrasi sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar jika dibandingkan hubungan kontraktual yang dibuat atas kesepakatan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengaindaikan sekurang-kurangnya satu tangga konsensus terhadap prinsipprinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu.
4.3.a. Solidaritas Mekanik Solidaritas mekanik lebih menekankan kepada suatu kesadaran kolektif bersama
(collective
consciousness),
yang
menyandarkan
pada
totalitas
kepercayaan dan sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Solidaritas mekanis merupakan sesuatau yang bergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola norma yang sama pula. Oleh karena itu sifat individualistis tidak berkembang, individual ini terus menerus akan dilumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konformitas. Individu tersebut tidak harus mengalami atau menjalani satu tekanan yangmelumpuhkan, karena kesadaran akan persoalan hal
yang lain mungkin juga tidak berkembang. Inilah yang menjadi akar memudarnya atau deintegrasi nilai pada solidaritas mekanis.
4.3.b. Solidaritas Organik Solidaritas organik terbentuk karena adanya sistem pembagian kerja yang bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggalakkan bertambahnya perbedaan pada kalangan individu. Munculnya perbedaan-perbedaan pada kalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Nilai solidaritas menjadi acuan utama ketika seseorang memutuskan menjadi seorang CB-Biker atau menjadi pengguna setia CB mereka di jalan raya.„Satu CB berjuta saudara‟.„Saduluran Saklawase‟ (bersaudara selamanya), „Balungan Tuo Napase Dowo‟ (kerangka tua namun napasnya panjang) kiranya beberapa slogan tersebut dapat mewakili nilai persaudaraan yang mereka tanamkan dalam dirinya yang direpresentasikan melalui atribut yang mereka gunakan. Jangan heran ketika anda melihat dua penunggang CB di jalan yang nampaknya tidak saling kenal secara personal, namun saling menyapa melambai
tangan atau menarik tuas gas motornya secara spontan sebagai tanda salam. Begitupun ketika menjumpai CB-Biker yang tengah mengalami kerusakan pada kuda besinya, seorang CB-Biker lain yang menemuinya akan menghampiri dan memberikan
bantuan.
Mereka
memiliki
rasa
bangga
tersendiri
ketika
menggunakan motornya sekaligus menjadikannya sebagai media untuk menjaring persaudaraan terhadap sesamanya di berbagai penjuru tempat. Salah seorang anggota Mobta, Jojon, menceritakan bahwa solidaritas awal CB-biker adalah karena pada awalnya mesin sepeda motor ini sangat terbatas kemampuannya karena sistem pengapiannya yang masih menganut sistem platina, jadi ketika perjalanan jauh tak jarang akan mengalami hangus atau macet. Lalu hal inilah yang membuat CB-biker tidak melakukan perjalanan jauh keluar kota sendirian dan mencari teman untuk mengantisipasi kendala teknis yang dapat ditemui. Namun, seiring perkembangan teknologi dan temuan-temuan eksperimen bengkel, kendala sistem pengapian tersebut dapat disolusikan dengan penerapan sistem CDI yang lebih awet dan kuat. Menurut Jojon, berbagai perkembangan teknologi telah mengurangi bobot nilai solidaritas yang awalnya lebih kental di antara CB-biker yang pernah ada sebelumnya. Masih menurutnya, pada masa belum mudahnya keterjangkauan teknologi komunikasi seperti sekarang ini, bahkan diibaratkan bahwa jalan raya dapat berbicara. Jalan raya seolah sebagai media komunikasi. Contoh cerita si Merah melihat si Biru di jalanan mengalami kendala pada motornya kemudian menghampirinya. Kemudian si Merah bercerita kepada si Hitam perihal tersebut,
ternyata si Biru merupakan kawan baik si Hitam, dan terjalinlah cerita-cerita jalanan tersebut. 4.4. Habitus
Habitus adalah konsep yang sangat populer yang diperkenalkan oleh sosiolog asal Perancis Jean Pierre Bourdieu. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan sturktur objektif yang berada dalam ruang sosial. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Dalam konteks kebudayaan, habitus merupakan dasar mengenai jaringan makna yang membentuk sebuah kebudayaan. Orang dikaruniai dengan serangkaian skema yang diinternalisasi melalui itu mereka merasakan, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Habitus dapat disimpulkan sebagai3: a.) Kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam caracara tertentu (gaya hidup);
3
Vera, Nawiroh. Memahami Sosiologi Kritis dan Sosiologi Reflektif dari Pierre Bourdieu (19302002). Jurnal Communication Vol.1 No.3 Agustus 2010. FIKOM Universitas Budiluhur Jakarta
b.) Motivasi, selera, prefensi, dan emosi; c.) Perilaku; d.) Semacam cara pandang terhadap dunia (worldview) atau kosmologi; e.) Keterampilan sosial yang praktis; f.) Aspirasi dan ekspentasi tentang kesempatan hidup dan jalan hidup.
Habitus bukan merupakan kodrat, bukan pula bawaan alamiah yang melengkapi manusia baik secara psikologis maupun biologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran. Konsep-konsep dalam habitus boleh dipinjam untuk memahami mengapa sebuah komunitas CB Biker terbentuk dan dibutuhkan sebagai wadah bagi pergaulan mereka.
4.5. Jejaring Sosial
Dalam sebuah komunitas, jejaring sosial merupakan aset yang sangat bernilai. Jejaring memberikan dasar bagi kohesi sosial karena mendorong orang bekerja sama satu sama lain – dan tidak sekadar dengan orang yang mereka kenal secara langsung – untuk memperoleh manfaat timbal balik (Field, 2003:18). Jejaring sosial merupakan suatu sekumpulan titik-titik temu hubungan sosial antar manusia (person). Dengan kata lain, sebuah jejaring sosial adalah sekelompok aktor dan hubungan-hubungan yang terjalin di dalamnya. Jejaring Sosial adalah sekumpulan dari aktor-aktor (nodes) dan hubungan (ties or edges) diantara para aktor tersebut (Wasserman & Faust, 1994). Nodes ini dapat berupa individu,
kelompok, organisasi, atau masyarakat. Ikatan tersebut dapat ditinjau dari level ana ikatan individu dengan individu atau melintasi tingkatan analisis semisal ikatan individu terhadap kelompok. Prinsip-prinsip teori jejaring dijelaskan Wellman (1983) dalam Ritzer (2012:747) sebagai demikian,
ikatan-ikatan di kalangan para aktor biasanya simetris baik di dalam isi maupun intensitas
ikatan-ikatan antara individu harus dianalisis di dalam konteks struktur jejaring-jejaring yang lebih besar
penyusunan ikatan-ikatan sosial menyebabkan beberapa jenis jejaring tidak acak (nonrandom networks)
eksistensi kelompok-kelompok itu menghasilkan fakta bahwa mungkin ada pertautan-lintas di antara kelompok dan juga di antara para individu
ada ikatan-ikatan asimetrik di kalangan unsur-unsur di dalam suatu sistem dengan hasil bahwa sumber-sumber daya yang langka didistribusikan secara berbeda.
Konsep jejaring sosial bisa digunakan untuk memahami perilaku orangorang (persons) di dalam situasi-situasi yang spesifik (Mitchell: 1969). Jejaring sosial terbentuk dari bangunan komunitas purposively constructed institutions. Variabel jejaring sosial akan mengimplikasikan pada kondisi harmonis secara sosial, bebas konflik, tingkat kerjasama tinggi, makmur secara ekonomi,
demokratis, santun, egaliter, partisipasi, solidaritas kerjasama dan keadilan namun juga disesuaikan dengan perkembangan komunitasnya. Menurut Agusyanto (2007:34) apabila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jejaring sosial tersebut, maka dapat dibedakan menjadi tiga jenis jejaring sosial, yakni: a.) jejaring interest (jejaring kepentingan), dimana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan; b.) jejaring sentiment (jejaring emosi), yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial yang bermuatan emosi; dan c.)
jejaring
power,
dimana
hubungan-hubungan
sosial
yang
membentuknya adalah hubungan-hubungan sosial yang bermuatan power.
Masing-masing jenis/tipe jejaring sosial tersebut memiliki “logika situasional” yang berbeda satu sama lain. Apabila tujuan dari hubungan sosial berbentuk spesifik atau konkret, biasanya hubungan itu tidak akan berkelanjutan setelah terpenuhi. Seperti contoh seorang penumpang yang memakai jasa taksi dan supirnya dibayar setelah sampai tujuan maka urusan selesai.Struktur sosial dari jejaring yang tumbuh dari hubungan-hubungan sosial yang spesifik dan konkret seperti ini biasanya juga sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, maka akan ada kebutuhan-kebutuhan untuk memperpanjang tujuan (tujuan-tujuan selalu tampak berulang), struktur yang terbentuk pun menjadi relatif stabil. Karenanya, tindakan dan interaksi yang terjadi dalam jejaring kepentingan ini selalu
dievaluasi berdasarkan tujuan-tujuan relasional. Pertukaran atau dalam kata lain negosiasi yang terjadi dalam jejaring kepentingan ini diatur oleh kepentingankepentingan para pelaku yang terlibat di dalamnya dan serangkaian norma-norma yang sangat umum atau general. Dalam pencapaian tujuannya para pelaku bisa memanipulasi hubungan-hubungan power atau hubungan-hubungan emosi. Pada jejaring kepentingan ini terdapat ruang bagi tindakan – yang relatif besar (lebih besar dibanding jejaring emosi) sehingga sering kita lihat banyak kemungkinan si pelaku yang bersangkutan memanipulasi hubungan-hubungan sosial yang dimilikinya guna mencapai tujuan-tujuannya. Dua pendekatan untuk memahami jejaring sosial menurut Powell dan Smith Doerr, yakni pendekatan analisis abstrak dan perspektif atau studi kasus.Pendekatan analisis abstrak penakanannya pada pola informal dalam organisasi, segi normatif dan budaya dari lingkungan, serta struktur sosial dengan pola hubungan unit-unit sosial yang terkait atau individu-individu sebagai aktor bersama dan bekerjasama. Sedangkan pendekatan preskriptif atau studi kasus memandang jejaring sosial sebagai pengaturan logika atau sebagai suatu cara menggerakkan hubungan-hubungan antara masyarakat, dengan demikian hal ini bisa dijadikan perekat untuk menyatukan individu secara bersama kedalam suatu sistem yang padu4. 5. Kerangka Pemikiran
4
Damsar, 2002.Sosiologi Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 35-37
Skema 1.1. Kerangka Pemikiran
A
B
MOBTA BIKERS
C
D
SKALA LUAS /KOMPLEKS
SKALA SEMPIT /SEDERHANA
ORIENTASI PASAR
ORIENTASI MASYARAKAT (TIPE IDEAL)
Melalui kerangka pemikiran diatas kiranya dapat tersampaikan maksud dalam penelitian ini. Peneliti membangun poin-poin yang mengasumsikan tentang sumber arah yang menjadi orientasi komunitas tersebut dibangun dan berkembang. Tergambar pada skema tersebut bagaimana ketika sebuah komunitas dapat terbentuk dan berkembang sebagai responnya terhadap pasar, artinya ketika dalam skala yang sempit (irisan A), dimensi eksklusifitasnya (keterbatasan jangkauan) tersebut muncul. Segala pemahaman nilai dan norma di dalamnya mungkin pula hanya dibatasi dalam arena „pasar‟ tersebut. Dalam hal ini boleh jadi pihak produsen (Honda) dengan kesamaan merk yang dimiliki para anggota komunitas menjadi sebuah ikatan yang membelenggu sikap mereka dalam sebuah kesadaran ideologi dalam pengaruh tersebut. Model orientasi seperti ini sarat dengan kecenderungan motif-motif ekonomi dan politis. Misalnya dalam kasus ini
adalah produsen sepeda motor itu sendiri, yang mungkin saja menggunakan komunitas sebagai sarana promosi mereka dalam kegiatan produksinya bagi masyarakat. Tak jarang biasanya kita lihat di lapangan bahwa komunitas motor membutuhkan pendanaan bagi kegiatan-kegiatan tertentu, dan disinilah mereka membutuhkan dana sponsorship dan dengan perjanjian hubungan resiprokal bermotif ekonomi yang dihasilkan. Kemudian berikutnya adalah pendekatan dari level masyarakat (irisan C maupun D). Berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok adalah sifat sosiologis seorang individu. Namun melalui atribut apakah sebauh pencapaian terhadap tujuan tersebut dapat dilakukan? Dalam hal ini adalah sebuah sepeda motor yang mereka miliki, dan kebetulan adalah dengan merk dan tipe yang sama. Lagi-lagi sarana pencapaian itu sifatnya terbatas, dan memang begitulah sejatinya entitas sebuah kelompok terwujud: adanya kohesi kebersamaan (tujuan, rasa, motivasi, ideologi). Melalui data lapangan yang dikumpulkan pada masa observasi berbentuk hasil wawancara maupun literatur arsip, diketahui bahwa Komunitas Mobta adalah komunitas yang pembentukannya adalah dari masyarakat, dari beberapa orang-orang sesama pengguna CB yang berkumpul dan membangun jejaring sosial dan dalam berjalannya menjadi wadah bagi sesama pengguna CB dan bertukar kepentingan mereka seputar hobi bermotor di dalamnya. Inilah yang rasanya didengar lebih sebagai tipe „ideal‟ sebagai komunitas berbasis hobi di masyarakat. Namun dengan rasa skeptikal dan couriousness sensitivity sebagai akademisi ilmu sosial, berbagai unsur baik itu yang membentuk maupun mempengaruhi dinamika di dalamnya telah dipelajari
lebih lanjut. Fungsi dari jejaring yang terbentuk, berjalan dan terpelihara selama berdirinya komunitas tersebut dijelaskan pada bab pembahasan penelitian ini. Poin utama dari penelitian ini adalah untuk menunjuk pada posisi mana komunitas tersebut berdiri dan bagaimana jejaring itu bekerja dalam berbagai keragaman. Mungkin tidak dapat seratus persen dapat ditunjuk ataupun melakukan judgement mengenai posisi sebuah komunitas tersebut, namun dalam bagian pembahasan telah dijelaskan bagaimana pada posisi-posisi tertentu mereka dapat di alokasikan menurut skema pemikiran di atas. Posisi tersebut bersifat menyesuaikan dengan berbagai dimensi ruang dan waktu.
6. Metode Penelitian
Merunut dari serangkaian penjelasan sebelumnya, terkait dengan tipikal pertanyaan penelitian dan penjelasan fenomena tersebut, maka penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan peneliti kuantitatif dengan positivismenya. Menurut pandangan Creswell, paradigma kualitatif didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan
kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah.” Maka dari fenomena ini peneliti merujuk pada metode studi kasus. The Case Study research method as en empirical inquiry that investigates a contemporary phenomenon within its real-life context; when the boundaries between phenomenon and context are not clearly evident; and in which multiple sources of evidence are used (Yin, 2003:13).
Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penilitian berkenaan dengan how atau why. Menurut kutipan di atas, penelitian studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai macam sumber data. Dalam konteks waktu dan tempat, secara khusus Yin menjelaskan bahwa obyek yang dapat diangkat sebagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang berlangsung atau telah berlangsung tetapi masih menyisakan dampak dan pengaruh yang luas, kuat atau khusus pada saat penelitian dilakukan. Studi kasus dibedakan menjadi tipe eksplanatoris, eksploratoris, dan deskiptif. Masing-masing ditentukan pilihannya oleh peneliti bergantung dari tipe pertanyaan yang diajukan dan kerangka kerja yang dijalankan dengan kerangka kerja yang berbeda-beda. Studi kasus dengan pendekatan eksplanatif dipilih untuk penelitian ini karena penelitian dirancang untuk mengungkap dan memahami lebih mendalam mengenai proses-proses pembentukan komunitas, motivasi aktor-
aktor di dalam yang membentuk sebuah ikatan dan motif-motif yang timbul dalam berjalannya kehidupan berkomunitas tersebut. Penelitian ini lebih cocok sebagai studi kasus karena mewakili aspekaspek yang ditunjukkan dalam pemilihan metode studi kasus. Fenomena lahirnya komunitas-komunitas roda dua adalah fenomena kontemporer yang melahirkan berbagai dinamika sosial di dalamnya. Komunitas sepeda motor lawas, kekuatan jejaring dan nilai solidaritas yang dibangunnya merupakan buah-buah yang perlu diketahui jenis pohonnya bahkan hingga akar dan benihnya. Komunitas Mobta yang terbentuk pada 1998 dan resmi berdiri pada 2000 dimana iklim komunitas dan populasi sepeda motor tidak sebanyak saat sekarang. Oleh karenanya fenomena ini menjadikan antusiasme penulis untuk bisa mengkaji secara mendalam melalui penelitian skripsi. 6.1. Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dengan cara perolehan melalui observasi dan wawancara, dan data sekunder didapatkan dari perbincangan forum-forum daring maupun jejaring media sosial (facebook group, mailing list, dan sebagainya), juga melalui dokumentasi-dokumentasi kegiatan dan literatur terkait yang penulis temui. Adapun teknik-teknik pengumpulan data adalah: 6.1.a. Observasi
Istilah observasi merupakan kegiatan pengamatan, pencatatan fenomena, dan pertimbangan hubungan antar aspek dari berbagai gejala sosial, sehingga bisa mendeskripsikan setting yang dipelajari terkait dari aktivitas-aktivitas yang berlangsung,
interaksi
orang
dan
pemaknaan
personal
individu
yang
bersangkutan. Observasi awal penulis adalah melalui pengalaman-pengalaman pribadi selama menggunakan sepeda motor Honda CB di ruas-ruas jalan raya di Yogyakarta, selalu bertegur sapa dengan mereka CB-biker lain, membantu dan dibantu, mengikuti kegiatan-kegiatan komunitas yang dilaksanakan, walaupun bukan anggota dari klub /komunitas tersebut. Berbekal sebuah sepeda motor tua Honda CB, penulis dapat sedikit demi sedikit berbaur dan menjalin obrolan santai ala anak motor dan menjadikannya ide untuk penulisan skripsi. Solidaritas yang nampak tersebut penulis jadikan sebagai gejala adanya ikatan tertentu yang melatarbelakangi segala tindakan mereka. Observasi awal dilakukan dengan hal-hal demikian seiring dengan penulisan latar belakang. Namun keberlanjutan observasi lebih mendalam juga dilakukan dengan berjalannya penelitian bersamaan dengan wawancara mendalam.
6.1.b. Indepth Interview (wawancara mendalam)
Wawancara merupakan proses komunikasi dan interaksi, yang dilakukan dengan pengajuan pertanyaan secara lisan kepada responden secara face to face relationship5. Melalui wawancara yang lebih mendalam, maka pemahaman mengenai berbagai masalah dipahami secara lebih mendalam setelah tahapan observasi.
Wawancara
pra-penelitian
penulis
lakukan
dengan
Marwan
Muhammad (Ketua Umum CB DIY), Jojon (Anggota terlama Mobta dan masih aktif), Gandhung (Ketua Mobta), Andy (Anggota Mobta). Masing-masing personal
informan
memiliki
kapasitasnya
mengenai
informasi
tentang
komunitasnya dan berdirinya komunitas sejenis di wilayah Yogyakarta. Pemilihan tidak digantungkan sekedar pada posisi senioritasnya dalam komunitas, namun lebih ditekankan pada informasi yang dimiliki berkaitan dengan kontribusi apa saja yang pernah dilakukannya bagi komunitas. Selanjutnya dalam penelitian, wawancara mendalam dilakukan dengan anggota-anggota lain dari Mobta dan juga orang-orang yang terlibat aktif dengan mereka.
6.1.c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan sumber informasi penelitian dari data sekunder, seperti yang penulis dapatkan dari kumpulan dokumentasi kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan, forum online seperti grup facebook anggota dan lain sebagainya. Sementara literatur terkait, jurnal-jurnal ilmiah mengenai masyarakat jejaring yang ditujukan sebagai pembanding ataupun pelengkap sangat diperlukan 5
Nawawi, Hadari, 1983. Metode Peneilitan Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Halaman 111.
apabila memiliki relevansi dengan bahasan komunitas dan jejaring sosial yang menjadi topik penelitian ini.
6.2. Pemilihan Informan
Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini didasarkan pada teknik purposif, yakni penarikan informan dengan sengaja (purposive) karena alasanalasan diketahuinya sifat-sifat sampel tersebut. Informan merupakan seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan cukup menguasai topik permasalahan penelitian. Dalam hal ini, sebuah komunitas memiliki masing-masing tipikal anggotanya yang menyusunnya. Keaktifan dalam komunitasnya juga dapat menjadi tolak ukur atas nilai loyalitas yang dimilikinya terhadap komunitasnya. Namun atas beberapa alasan, anggota yang sudah tidak aktif secara administratif tetap dapat dijadikan infoman. Mereka yang sudah tidak aktif justru biasanya adalah anggota pada generasi angkatan lama yang justru lebih mengetahui bagaimana komunitas mereka bisa terbentuk dan seperti apa dinamikanya. Lincoln dan Guba serta Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2010b: 132) menerangkan bahwa kegunaan informan bagi penelitian adalah sebagai berikut: 1. Membantu agar secepatnya dan tetap seteliti mungkin dapat membenamkan diri dalam konteks setempat, terutama bagi peneliti yang belum mengalami latihan etnografi. 2. Agar dalam waktu yang relatif singkat banyak informasi yang terkumpul sebagai sampling internal karena informan dimanfaatkan untuk berbicara,
bertukar pikiran atau membandingkan suatu kejadian yang ditentukan dari subyek lainnya dapat dilakukan. Jadi, untuk keperluan untuk informan dalam penelitian ini telah tercukupkan dari pengurus aktif Mobta, anggota aktif, maupun anggota lama (biasanya sudah kurang aktif dalam kegiatan terbarunya), dan para pendiri-pendiri awal komunitas tersebut.
6.3. Analisa Data
Analisis data adalah proses pengaturan urutan data, pengorganisasian, ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Adapun Bogdan dan Taylor mendefinisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema hipotesis itu 6. Komponen-komponen analisis data mencakup reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data. Karakter yang demikian menjadikan analisis data kualitatif disebut pula model interaktif7. Secara detail gambaran analisa data:
Skema 1.2. Analisa Data 6
Moleong, DR. Lexy J., MA. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hal. 103. 7 Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Tiara Wacana: Yogyakarta. Halaman 22
Penyajian Data
Pengumpulan Data Reduksi Data
Kesimpulan dan Verifikasi . Sumber: Moleong Lexy, 1990:103
Penelitian ini telah melalui serangkaian proses analisa data sebagaimana dijelaskan dalam poin-poin berikut: 1. Reduksi data (date reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh di lapangan studi. 2. Penyajian data (data display) yaitu deskripsi dari kumpulan informasi yang tersusun untuk memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim digunakan adalah dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing and verification). Dari pengumpulan data kemudian dicari pemaknaannya pada setiap gejala yang diperolehnya di lapangan. Selama penelitian masih berlangsung, kesimpulan yang ditetapkan diverifikasi secara terus menerus agar memperoleh kesimpulan yang valid.