BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Media dan demokrasi merupakan dua entitas yang saling melengkapi. Media merupakan salah satu produk dari demokrasi. Dalam sejarah berkembangnya demokrasi, salah satu aspek penting yang hingga saat ini terus diperjuangkan yaitu masalah partisipasi.1 Sejarah partisipisai politik pertama dalam rangka melaksanakan praktek demokrasi yaitu terjadi di Athena, Yunani ketika rakyat Athena melakukan partisipasi secara langsung berupa meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan masyarakat. Namun masalah partisipasi ini bukan tanpa masalah. Partisipasi politik ini terus mengalami pasang surut. Faktor – faktor yang menjadi penyebab terjadinya pasang surut misalnya adanya kendali terhadap media massa oleh pihak – pihak tertentu misalnya pemerintah. Kemudian situasi politik internasional juga turut berpengaruh terhadap arah pemberitaan media. Misalnya untuk Jepang sendiri telah diketahui bahwa merupakan negara yang selalu dipengaruhi oleh Amerika Serikat (AS), sehingga dalam membuat kebijakan politik dalam negeri maupun luar negeri sedikit banyak terpengaruh oleh AS, yang kemudian berimbas pada pemberitaan di media massa. Masyarakat yang demokratis kemudian dapat didefinisikan sebagai masyarakat yang memiliki sarana dalam melakukan partisipasi politik dalam 1
David Held. Models of Democracy. Polity Press. Cambridge, 1987, Hal 17.
1
rangka memenuhi kebutuhan hidup, kemampuan dalam mengakses sarana informasi secara bebas dan terbuka, serta kebebasan untuk menyatakan pendapat yang berwujud berita, artikel, opini, dan sebagainya. 2 Dengan kata lain demokrasi menjadi syarat terwujudnya kebebasan publik untuk melontarkan opini, gagasan, ide, dan wacana tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan lain – lain. Namun di zaman modern ini, untuk melaksanakan partisipasi secara langsung, seperti yang dulu dilakukan di Athena ribuan tahun yang lalu, akan sulit terlaksana karena berbagai alasan. Namun, demokrasi sebagai entitas yang dinamis tetap memiliki ruang publik sebagai tempat pengajuan gagasan, ide, opini, perdebatan, dan lain – lain melalui media massa. Oleh karena itu media massa bisa dijadikan indikator apakah sebuah negara yang modern memberikan kebebasan atau menerapkan kontrol yang ketat terhadap aktivitas di ranah publik. Kemudian opini publik adalah suatu aspek krusial dalam kehidupan politik negara, khususnya Jepang. Jepang menyatakan diri sebagai salah satu negara yang menerapkan prinsip - prinsip demokrasi di Asia dengan menerapkan demokrasi parlementer di bawah kekuasaan National Diet. Salah satu pilar demokrasi yang dewasa ini dianggap penting bagi banyak kalangan yaitu sektor media. Salah satu indikator tingkat kebebasan berdemokrasi suatu negara bisa dilihat dari kebebasan dan netralitas dari media tersebut. Dalam soal kebebasan media dan hak menyatakan pendapat Jepang telah memiliki Undang – Undang yang mengaturnya. Kebebasan pers dan kebebasan
2
Noam Chomsky. Media Control: the Spectacular Achievement of Propaganda, Seven Stories Press. 2002. Hal, 9.
2
berpendapat secara formal dijamin dalam konstitusi Jepang3. Tepatnya Pasal 21 Konstitusi 1947 terkait kebebasan pers dan juga larangan sensor. Campur tangan pemerintah dalam media akan menuai reaksi keras dari masyarakat. Namun di dalam prakteknya, Jepang menerapkan sistem Kisha clubs (press clubs) yang terdiri dari perkumpulan (klub) pers dan juga asosiasi industri. Kisha clubs adalah wadah perkumpulan pers Jepang yang sekaligus berperan menjaga hubungan baik antara pemerintah Jepang dan media. Tidak hanya dengan pemerintah, namun klub ini juga memegang hubungan yang erat dengan perusahaan – perusahaan besar Jepang. Kartel-kartel informasi di bawah Kisha clubs menjamin tidak adanya persaingan di antara media dan perolehan informasi di Jepang4. Dengan kata lain, media Jepang hampir selalu mengekspos suatu berita secara serupa, yang hanya disetujui oleh pihak – pihak yang berkepentingan misalnya pemerintah Jepang atau National Diet. Bisa jadi hal ini merupakan sesuatu yang kontradiktif dengan prinsip kebebasan pers, dimana informasi seharusnya disajikan tanpa filter dan tanpa campur tangan dari penguasa dan pihak – pihak yang berkepentingan. Namun lepas dari hal ini, media Jepang terbukti memegang peranan yang sangat krusial dalam mempengaruhi opini masyarakat, khususnya terkait isu-isu politik mengingat media massa Jepang adalah media terbesar di dunia. Kisha clubs menjadi salah satu penyebab mengapa media Jepang cenderung mendukung pemerintah. Meskipun media massa Jepang dianggap homogen
3
Ilya Revianti S. Sunarwinandi, ”Budaya Sensor Diri dalam Kebebasan Pers di Jepang”, (daring) dalam Makara, Sosial Humaniora, Vol. 10 No. 1, Juni 2006, hal.15 http://journal.ui.ac.id/index.php/humanities/article/view/12/8, diakses pada 17 Agustus 2014. 4 Ibid, Hal.16
3
dalam memberitakan hal – hal yang menyangkut pemerintah, tetapi penulis percaya bahwa masih ada media massa yang berperan sebagai watchdog, dan hal inilah yang akan diteliti dalam tulisan ini. Kemudian penulis menemukan bahwa Asahi Shimbun adalah media massa yang relatif cukup berani dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Untuk melakukan penelitian ini, penulis akan mengambil studi kasus mengenai kebijakan pemerintah Jepang mengenai pengerahan self defense force (SDF) dalam rangka membantu AS dalam memberantas teroris pasca serangan terhadap gedung kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2001. Sehari setelah runtuhnya gedung WTC Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi membuat kebijakan untuk membantu AS melalui implementasi pengerahan SDF tersebut. Melalui studi kasus ini, penulis akan meneliti respon media massa koran Jepang yaitu Asahi Shimbun terhadap isu ini, apakah dia memang berani menentang kebijakan pemerintah tersebut. Jika memang benar demikian, mengapa media Jepang tersebut melakukan hal semacam ini? Indikator pertentangan media koran Jepang terhadap kebijakan pemerintah Jepang akan dilihat dari bentuk artikel – artikel pemberitaan media – media koran Jepang. Dengan kata lain tulisan ini akan meneliti bagaimana media koran Asahi Shimbun melakukan pertentangan terhadap pemerintah beserta penyebab – penyebab mengapa media tersebut melakukan hal semacam itu. Hal ini dilakukan untuk mematahkan anggapan masyarakat selama ini bahwa media massa koran Jepang cenderung membela pemerintah dan memberitakan berita yang netral dan terkesan "mencari aman".
4
Alasan pemilihan studi kasus ini yaitu (1) kasus runtuhnya gedung WTC ini adalah kasus yang luar biasa karena negara AS yang terkenal merupakan negara adidaya mampu ditaklukkan oleh sekelompok teroris. Karena kasus ini dianggap luar biasa, tentu saja akan diliput oleh mayoritas media internasional termasuk media di Jepang. Selain itu sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Jepang merupakan negara yang sangat dekat dengan AS, sehingga melalui kasus 11 September ini, Jepang pasti akan mengeluarkan kebijakan terkait isu ini. Kemudian mayoritas media Jepang tentu akan meliput kebijakan Jepang tersebut. (2) pada masa itu Jepang dipimpin oleh Perdana Menteri Junichiro Koizumi yang dianggap sebagai orang yang tidak terlalu dekat dengan media Jepang, sehingga peluang media Jepang untuk menentang kebijakan pemerintahan Jepang semakin besar. (3) isu ini merupakan isu yang penting bagi negara Jepang, tapi tidak terkait langsung dengan kepentingan dalam negeri Jepang, sehingga peluang media Jepang untuk menentang pemerintah juga semakin besar.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan studi kasus yang telah dijelaskan di atas, terdapat dua rumusan masalah yang akan dijawab, yaitu:
Bagaimana Asahi Shimbun menentukan posisinya sebagai watchdog dalam pemerintahan Jepang?
5
1.3. Landasan Teori Dalam menjawab rumusan masalah di atas, penulis akan menggunakan landasan konseptual Kekuatan Politik dan Internal & External Pluralism.
1.3.1. Kekuatan Politik Teori ini dikemukakan oleh Prof. Miriam Budiardjo di dalam bukunya yang berjudul Dasar – Dasar Ilmu Politik yang diterbitkan pada tahun 1988. Kekuatan politik dibagi menjadi kekuatan politik individual dan kekuatan politik kelembagaan. Kekuatan politik individual adalah kekuatan politik yang berasal dari individu- individu tertentu, seperti politisi, menteri, atau jurnalis – jurnalis yang memainkan peran penting di dalam kegiatan politik. Sementara kekekuatan politik kelembagaan yaitu berupa organisasi – organisasi atau bentuk entitas lain yang melembaga yang mempengaruhi proses politik. Kemudian kekuatan politik juga dibedakan menjadi formal dan nonformal. Kekuatan politik formal yaitu kekuatan politik yang dipegang oleh partai politik. Sementara kekuatan politik non-formal adalah kekuatan yang berasal dari kekuatan sipil. Contonhnya yaitu kalangan cendekiawan, pengusaha, organisasi masyarakat dan media massa. Terkait dengan tulisan ini, bahwa di Jepang kekuatan non-formal yaitu media massa, khususnya Asahi Shimbun cukup berpengaruh dalam pembuatan kebijakan politik suatu negara.
1.3.2. Internal & External Pluralism
6
Internal & External Pluralism juga dikemukakan di dalam buku Hallin dan Mancini yakni Comparing Media Systems: Three Models of Media and Politics yang diterbitkan pada tahun 2004. Selain External pluralism, terdapat juga Internal Pluralism yang juga merupakan teori media dan politik. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai teori ini, ada baiknya dijelaskan telebih dahulu apa itu pluralisme. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pluralisme memiliki arti sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya); atau berbagai kebudayaan yang berbedabeda dalam suatu masyarakat.5 Dari pengertian itu bisa ditarik kesimpulan bahwa pluralisme berbicara mengenai keberagaman. Dalam kaitan dengan media dan politik yaitu pluralisme menjelaskan mengenai keberagaman pandangan, status dan posisi politik media di Jepang. Seberapa besar keberagaman politik di Jepang. Jika Internal Pluralism mendefinisikan keberagaman politik di dalam tubuh satu media tertentu, maka external pluralism mendefinisikan keberagaman politik di ranah organisasional, atau antar media – media di Jepang. Definisi dari external pluralism yaitu seberapa besar media – media itu memiliki keberagaman dalam hal pandangan dan posisi politiknya. Semakin tinggi external pluralism-nya maka semakin tinggi keberagaman pandangan politiknya, begitu pula sebaliknya. Negara yang memiliki external pluralism yang tinggi umumnya akan memiliki political parallelism yang tinggi pula. Sementara negara yang memiliki tingkat internal pluralism yang tinggi umumnya akan memiliki political parallelism yang
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online. (daring), http://kbbi.web.id/pluralisme diakses 1 Juni 2014
7
rendah.6 Yang perlu digarisbawahi yaitu pengertian mengenai external & internal pluralism itu sendiri, untuk external pluralism sendiri berarti media dalam level organisasional memiliki kebebasan untuk terus mendukung pemerintah tertentu, bukan kebebasan untuk menentang maupun mendukung pemerintah. Sementara untuk internal pluralism sendiri berarti media dalam level jurnalis memiliki pandangan politik sendiri, sehingga media dalam level organisasi tidak bisa mendukung pemerintah tertentu karena di dalam badan media itu sendiri memiliki pandangan politik yang berbeda – beda.
1.4. Metode Pengumpulan Data Dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis menggunakan literatur – literatur berupa buku – buku, jurnal – jurnal, hingga skema – skema bergambar sebagai upaya mempermudah penjelasan. Adapun buku – buku dan jurnal – jurnal yang digunakan bertemakan tentang perbandingan media koran Jepang dengan AS, peran – peran media di Jepang, hubungan politik antara media massa Jepang, apa saja perjanjian yang dilakukan media massa Jepang dan pemerintah yang membuat media mendukung atau tak mendukung dan aktor – aktor politik di Jepang, pembuktian bahwa masih ada media di Jepang yang berani menentang kebijakan pemerintah, dan alasan mengapa media tersebut melakukan hal semacam itu. Riset online juga akan digunakan sebagai data – data yang dibutuhkan untuk mendukung rumusan masalah yang akan dijawab.
6
Hallin, Mancini, hal, 29.
8
Riset online berupa artikel digital, koran digital, hingga situs – situs resmi yang terkait dengan skripsi ini
1.5. Argumentasi Utama Argumentasi Utama dari permasalahan ini yaitu yang pertama, Asahi Shimbun
melakukan
perannya
sebagai
watchdog
terhadap
kebijakan
pemerintahan Junichiro Koizumi terkait pengerahan SDF dalam menanggapi serangan teroris terhadap gedung WTC, 11 September 2001. Hal ini bisa dilihat dari artikel koran Asahi Shimbun yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Koizumi. Argumentasi kedua yaitu, Asahi Shimbun menentukan posisinya apakah mendukung atau menentang kebijakan pemerintah karena adanya tiga penyebab. Penyebab – penyebab ini yaitu adanya pengaruh dari Ban-Kisha, pengaruh PM Junichiro Koizumi, dan latar belakang sejarah Asahi Shimbun yang memang terkenal kritis.
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I Dalam bab ini, akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan pertanyaan yang akan dijawab dalam skripsi ini, landasan konseptual yang akan digunakan dalam menganalisis dan menjawab rumusan masalah yang diangkat dalam skripsi ini, serta hipotesa yang diyakini oleh penulis.
9
BAB II Bab ini akan dijelaskan mengenai media massa secara umum, peran media massa dalam politik, dan penjelasan bagaimana fungsi media massa yang ideal. Bab II ini akan dijelaskan pula mengenai sejarah media massa di Jepang, Perkembangan media massa di Jepang, realitas media massa Jepang, hingga bagaimana media tersebut bekerja. Di bab ini, dijelaskan pula mengenai kisha clubs mulai dari sejarah, hingga cara beroperasinya
BAB III Bab ini akan dijelaskan mengenai Asahi Shimbun yang berperan sebagai watchdog .Bab ini merupakan bab analisis mengenai media koran yaitu Asahi Shimbun yang melaksanakan tugas sebagai media pengkritisi kebijakan pemerintah, beserta indikatornya. Indikator ini bisa dilihat dari artikel – artikel dari media koran yang menentang. Kemudian artikel ini akan diteliti lebih lanjut dimana letak pertentangannya dengan kebijakan pemerintah BAB IV . Lalu analisis akan dilanjutkan untu k menjelaskan mengenai faktor yang menentukan posisi Asahi Shimbun untuk menjadi penentang atau pendukung pemerintah. Faktor – faktor ini cukup krusial dalam menjelaskan bagaimana Asahi Shimbun memnentukan posisinya sebagai watchdog atau tidak. Kemudian di bab ini akan dijelaskan pula mengenai analisis teori terkait studi kasus. 10
BAB V Dalam bab terakhir ini, akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari penjelasan yang sudah dijabarkan di bab-bab sebelumnya dan analisis yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.
11