1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Fenomena The untouchability di India merupakan sebuah hasil dari jalinan sejarah yang telah berlangsung sangat lama. Fenomena subalternitas India tidak hanya hadir dalam sejarah perjalanan India sebagai sebuah bangsa, tapi juga turut mewarnai perkembangan dunia kesusastraannya.
Saat ini sangat
banyak
ditemukan karya sastra India yang membawa tema-tema subalternitas, memotret fenomena tersebut sebagai jejak-jejak poskolonialisme yang keberadaanya masih sangat kental di India. Bermunculan sederetan nama-nama penulis besar yang membawa ide poskolonialisme dengan potret kehidupan dan juga perjuangan kelompok subaltern didalamnya. Didalam buku yang berjudul Indian Women Writers Critical Perspective, Jaydipsinh K. Dodiya dan K.V. Surendran menyebutkan nama-nama seperti Kamala Markandaya, Anita Desai, Nayantara Sahgal, Arundhati Roy, Kundanika Kapadia dan Mahasweta Devi. Nama-nama tersebut adalah beberapa perempuan India yang konsisten menulis karya-karyanya dengan tema kehidupan masyarakat lokal di India. Ketika banyak penulis berdarah India lainnya mencoba peruntungan menjadi seorang penulis imigran yang kerap membawa isu-isu hibriditas serta resistensi dalam karyanya, mereka tetap konsisten berkarya mengisahkan kehidupan kelompok marginal, the untouchables, the underdogs melalui tulisan-tulisannya.
2
Mahasweta Devi, penulis India kelahiran Dacca, East Bengal pada 14 Januari 1926 adalah salah satu penulis India yang senantiasa melahirkan karyakarya bertemakan subalternitas. Hal ini tidak mengherankan mengingat ia datang dari sebuah keluarga besar yang aktif di dunia kesusastraan dan juga aktifis sosial. Kakeknya merupakan seorang aktifis pergerakan sosial dan pendidikan sementara itu ayahnya adalah seorang penulis Bengali yang sangat terkenal. Begitu juga sang ibu yang berprofesi sebagai penulis dan juga pekerja sosial. Sejak kecil Devi mendapatkan pendidikan yang baik, orang tuanya menyekolahkan Devi di sekolah dasar Shantiniketan. Selain itu masa mudanya Mahasweta Devi juga dipengaruhi oleh sebuah asosiasi sastra Gananatya, sebuah kelompok yang berusaha membawa teater sosial dan politik untuk desa-desa di Bengal pada 1930-an dan 1940-an. Setelah menyelesaikan gelar master di bidang sastra Inggris dari Universitas Calcutta, Devi mulai bekerja sebagai guru dan wartawan . Buku pertamanya, Jhansir Rani (The Queen of Jhansi), diterbitkan pada tahun 1956 . Karya ini juga menandai awal karirnya di dunia sastra India. Dalam setengah abad terakhir, Devi telah menerbitkan dua puluh koleksi cerita pendek dan dengan hampir seratus novel, yang ia tulis terutama dalam bahasa aslinya Bengali. Dia juga telah menjadi kontributor tetap untuk beberapa majalah sastra seperti Bortika, sebuah jurnal yang didedikasikan untuk mengungkap ketertindasan masyarakat marginal di India. Pada tahun 1984, ia pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen bahasa Inggris di universitas Calcutta, untuk kemudian ia fokus untuk menjadi penulis. Melalui tulisan-tulisannya, Devi telah penerima beberapa penghargaan sastra. Dia
3
dianugerahi Jnanpath, penghargaan sastra tertinggi di India pada tahun 1995. Pada tahun berikutnya, dia adalah salah satu penerima penghargaan Magsasay. Saat ini tinggal dan bekerja di Calcutta, India. (Roopika Risam 2006: 3) Mahasweta Devi yang telah memenangkan banyak award dalam dunia sastra sangat mengkhawatirkan keadaan masyarakat lokal yang hidup dalam tepi lingkaran kehidupan yang kian dikucilkan, tak dianggap dan taken for granted;
“I find my people still groaning under hunger, landlessness, indebtedness and bonded labour. An anger, luminous, burning and passionate, directed against the system that has failed to liberate my people from there horrible constraints, is the only source of inspiration for all my writing” (Mahasweta Devi) “Aku menyaksikan orang-orangku masih mengerang karena kelaparan, tidak memiliki tanah, terlilit hutang dan sistem perbudakan. Kemarahan, harapan yang penuh gairah, diarahkan melawan sistem yang telah gagal untuk membebaskan kelompok ku dari segala sistem kehidupan sosial yang mengerikan. Hal tersebut merupakan satu-satunya sumber inspirasi tulisanku”.
Mahasweta Devi senantiasa berkarya menyuarakan kehidupan masyarakat marginal yang menjadi korban para elit politik India. Karya-karyanya belakangan kian kental menceritakan kehidupan dan usaha untuk bertahan hidup dari mereka manusia-manusia yang dikucilkan serta semua kekejaman yang membelenggu hak mereka sebagai manusia (Savita Goel 2009 : 203). Salah satu karya terbaru Mahasweta Devi adalah novel yang berjudul The Glory of Sri Sri Ganesh. Kehadiran novel ini cukup memperoleh apresiasi positif,
4
dianggap salah satu karya penting dari seorang Mahasweta Devi. Novel yang menghadirkan kisah hidup masyarakat kelompok kelas rendah di pedesaan India yang berada dibawah kontrol para pemilik kekuasaan absolut atas segala hal baik itu harta benda maupun hukum sosial yang berlaku di desa tersebut. Isu utama yang dibawa adalah representasi dari masyarakat terkait permasalahan yang bersifat sosial, politik maupun ekonomi. Dan kasus yang menonjol adalah novel ini mengeksplorasi kejahatan sosial, kemiskinan, pengkastaan, the untouchability, pembagian kelas dan
kesenjangan ekonomi, buta huruf, buruh anak,
penyalahgunaan martabat manusia, eksploitasi perempuan dan represi hak-hak dasar dan manusia yang dilakukan oleh kelompok kelas tinggi, partai politik dan bahkan
termasuk oknum pemerintahan. Dari berbagai isu utama yang telah
disebutkan, Mahasweta Devi memberi porsi eksplorasi lebih terhadap kasus-kasus eksploitasi perempuan di dalam novel ini. Perempuan menjadi pihak yang mengalami penderitaan terburuk, dibungkam dan dipinggirkan bukan hanya dari faktor ekonomi dan sosial tetapi juga mengalami kekerasan seksual. Begitu juga dengan perlakuan oknum pemerintah yang dinilai tidak kooperatif untuk menghentikan ketimpangan sosial yang dialami oleh masyarakat India kelas bawah. The Glory of Sri Sri Ganesh menggambarkan semua permasalahan kehidupan yang dialami oleh kelompok subaltern India. Permasalahan itu dirangkai dalam satu jalinan yang hadir sebagai salah satu wujud representasi sekaligus penyuaraan suara kebebasan kaum tertindas yang dilakukan oleh Mahasweta Devi. Adanya representasi sekaligus reaksi dari opresi yang hadir
5
dalam novel menjadi menarik untuk dianalisis lebih jauh dan juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika hal tersebut dibedah dengan pisau teori subalternitas yang digagas oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Potret kehidupan subalternitas dalam novel The Glory of Sri Sri Ganesh yang menjadi isu utama akan dianalisa lebih rinci. Dengan pembacaan yang teliti, diharapkan adanya teks-teks tersembunyi dibalik semua oposisi hierarki antara setiap peristiwa yang telah dihadirkan oleh pengarang dapat mengukur sejauh mana Mahasweta Devi mampu merefleksikan situasi subalternitas India yang sebenarnya.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah utama yang akan dijawab penelitian ini adalah bagaimana representasi suara kelompok subaltern Mahasweta Devi dalam novel The Glory of Sri Sri Ganesh. Untuk dapat menjawab pertanyaan persebut, ada beberapa anak permasalahan yang mengawali dan perlu ditemukan jawabannya terlebih dahulu; a. Bagaimana struktur novel The Glory of Sri Sri Ganesh. b. Bagaimana posisi kelompok subaltern dalam struktur tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian Melalui penelitian ini, penulis ingin mencapai beberapa tujuan akademis yang diharapkan mampu mengakomodasi ilmu pengetahuan di dunia sastra. Pertama, menambah referensi kajian tentang subaltern Gayatri Spivak yang
6
terefleksi dalam karya sastra India dengan memaparkan bentuk-bentuk struktur dominan serta hierarki yang dibangun oleh Mahasweta Devi dalam novelnya yang berjudul The Glory of Sri Sri Ganesh. Selain menemukan struktur dominan, penelitian ini juga diharapkan mampu menemukan bentuk lain dari hierarki yang ada dalam novel The Glory of Sri Sri Ganesh. Disamping itu, tujuan lain yang bersifat praktis yang ingin dicapai oleh penelitian ini adalah memberikan sumbangan fikiran kepada masyarakat pembaca; memperkenalkan cara baca subaltern sebagai kajian sastra yang tidak terhenti pada deskripsi perjuangan kelompok masyarakat marginal saja. Bahwa untuk menambah pola asah kritis terhadap karya sastra dengan isu-isu subalternitas didalamnya, diperlukan konsep pembalikan hierarki (dekonstruksi) untuk dapat menemukan sudut pandang lain maupun the other truth dari apa yang pengarang hadirkan dalam novelnya. Terakhir, diharapkan kemudian penelitian ini dapat memberikan sumbangan berarti terhadap perkembangan kritik sastra di Indonesia, terutama dalam ranah penelitian kajian subaltern.
1.4. Tinjauan Pustaka Penelitian karya-karya penulis India, terutama mengenai karya-karya dari para Indian Writer masih sangat jarang dilakukan di Indonesia. Hal ini selain disebabkan karena kurangnya akses terhadap literatur terkait, masyarakat pada umumnya lebih akrab dengan karya-karya Indian Immigrant Writer yang mengangkat tema-tema resistensi, hibriditas dan mimikri yang terjadi karena besarnya arus imigrasi yang terjadi di India.
7
Sementara itu penelitian terhadap novel The Glory of Sri Sri Ganesh karya Mahasweta Devi sejauh penulis ketahui masih sangat jarang ada pihak yang meneliti. Hasil pencarian di internet hanya ditemukan satu jurnal yang membahas novel karya Mahasweta Devi satu ini. Koyel Chakrabarty, dosen senior jurusan sastra Inggris di Ansal Institute of Technology Gurgaon (Haryana) dalam jurnalnya yang berjudul Women as Narrative Props and the Problematics of Women Rights in Mahashweta Devi’s The Glory of Sri Sri Ganesha, yang dimuat dalam Kafla Intercontinental, International journal of Art, Literature and Culture, New Delhi India edisi April 2010. Ia mengulas novel karya Mahasweta Devi tersebut melalui sudut pandang hak-hak kemanusian. Koyel menggunakan novel The Glory of Sri Sri Ganesh dalam sebuah studi analisa bagaimana isu-isu marginalisasi yang terjadi dikalangan perempuan subaltern. Selain itu juga dalam tulisannya ditemukan uraian bagaimana sebetulnya mekanisme eksploitasi yang terjadi pada perempuan. Dalam paper tersebut Koyel Chakrabarty menyatakan bahwa The Glory of Sri Sri Ganesh karya Mahasweta Devi melalui sudut pandang hak kemanusian telah memperkaya kontribusi karya-karya canon yang menyajikan pembaca sebuah kisah yang sangat inspirasional. Adapun evaluasi yang dapat disimpulkan, bahwa apa yang dilakukan oleh Koyel Chakrabarty memiliki satu kelemahan utama yaitu tulisannya tersebut masih sebatas penulisan deskriptif dari novel. Tidak ditemukan analisa kritis didalamnya. Koyel baru sampai pada tahapan bahwa Mahasweta Devi telah berhasil menghadirkan potret kehidupan kelompok subaltern secara sangat representatif.
8
Terkait dengan teori yang digunakan oleh peneliti dalam tesis ini, ditemukan beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan teori kajian subaltern seperti penelitian yang dilakukan oleh Mantra Roy dalam disertasi University of South Florida yang berjudul “Speaking” Subaltern: A Comparative Study of African American and Dalit/Indian Literatures. Diawal disertasinya Mantra menyoroti perbedaan lintasan sejarah yang dialami oleh masyarakan African-American dan masyarakat kelas rendah India. Berdasarkan elaborasi materi yang disajikan, Mantra menyatakan bahwa perbedaan diantara kedua karya sastra tersebut terletak pada: sumber diskriminasi ras yang terjadi di Amerika dan diskriminasi kasta yang terjadi di India. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa meskipun lintasan diskriminasi yang dialami oleh kedua negara tesebut berbeda secara sejarah, namun menghasilkan dampak yang sama yaitu pembungkaman suara kelompok subalten. Mantra memfokuskan analisanya menjadi beberapa bagian, pertama ia menyoroti permasalahan suara subaltern yang diusung oleh penulis African-American Harriet Jacobs dan penulis perempuan India Phoolan Devi. Setelahnya ia menguraikan kesamaan-kesamaan di dalam beberapa karya dari kedua penulis tersebut, seperti; adanya kasus-kasus subaltern dari kaum ibu dan subaltern anak yang ditandai dengan trauma dari pembungkaman suara anak. Mantra menghadirkan sebuah penelitian yang sangat komprehensif, ia berhasil menguraikan korelasi “speaking” subaltern dalam studi sastra komparatif. Uraian komprehensif tersebut dilengkapi dengan penjelasan kontekstual yang sangat elaboratif sehingga memudahkan pembaca dalam melihat kesamaan kondisi subaltern African American dan subaltern India Dalit. Namun sekali lagi, yang
9
dilakukan oleh Mantra sebagai peneliti hanyalah mengelaborasi fenomena subaltern yang dilengkapi dengan literatur-literatur pendukung. Hasil yang ia temukan sangat representatif, tetapi belum ada pemikiran kritis yang berarti dalam analisanya. O.P. Dwivedi dari Professional University Punjab (India) dalam Journal of Asia Pacific Studies (2010) Vol 1, No 2, 387-386, yang berjudul The Subaltern and the text: Reading Arundhati Roy’s The God of Small Things mengulas bagaimana novel tersebut dengan sangat mendetail menghadirkan berbagai isu-isu ketidakadilan
sosial
yang
dialami
oleh
kelompok
Subaltern.
Dwivedi
menyimpulkan bahwa kehadiran subalternitas dalam novel The God of Small Things memicu hadirnya ingatan akan kolonialisme di India. Dengan demikian Roy membawa isu yang dapat diperdebatkan mengenai posisi “mereka” dalam kehidupan sosial di India yang di mana ia sebagai pengarang gagal memberikan apa yang seharusnya menjadi suara mereka. Namun meskipun demikian Roy mendesak untuk menghancurkan semua konvensi yang ada dimasyarakat tradisional dalam rangka pembebasan bagi mereka untuk menentukan identitas diri mereka sendiri. Menurut penulis, Dwivedi masih melakukan “pujian” atas karya besar Arundhati Roy The God of Small Things. Bahwa novel tersebut sangat representatif dalam menghadirkan potret sejarah serta kehidupan subaltern India saat ini. Hal ini tidak lebih dari pengulangan ulasan umum terkait tanggapan para pembaca lainnya mengenai The God of Small Things. Dwivedi masih belum menghadirkan “kesegaran analisa” terkait karya besar dari Arundhati Roy.
10
Ying-chieh Fran Lee dalam tesis National Tsing Hua University tahun 2006, yang berjudul Representing Partition: Subaltern Studies, Bapsi Sidhwa’s Cracking
India,
Deepa
Mehta’s
Earth.
Tesis
Ying-chieh
Fran
Lee
menginvestigasi permasalahan atas representasi subalternitas India dengan latar belakang historis India tahun 1947 dalam novel Cracking India (1991) karya Bapsi Sidhwa dan film Deepa Mehta yang berjudul Earth yang merupakan versi film dari novel Cracking India . Berdasar pada teori subaltern, Ying-chieh menyatakan bahwa novel Cracking India mampu merepresentasikan hal-hal yang dibiarkan tenggelam kebenarannya oleh para elit nasional India. Melalui narasi tokoh-tokoh, Cracking India menghadirkan pengalaman individual yang sangat representatif menggambarkan bagaimana kekejaman para oknum pada masa itu. Mendeskripsikan dengan jelas bagaimana masyarakat India hanya bisa menerima perlakuan para elit, mengakui bahwasanya kekerasan merupakan bagian konstitutif sebagai sebuah proses yang mengarahkan negara pada sebuah kemerdekaan. Dalam hal ini, Cracking India mengalihkan
perhatian para
pemimpin elit dari kemerdekaan ke kaum jelata yang seharusnya juga menjadi bagian dari perhatian pemerintah. Sementara itu Earth yang merupakan sebuah film adaptasi dari novel yang sama melalui potongan-potongan adegan sinematografis mampu memperdalam serta memperkaya pengetahuan atas kehidupan kelompok subaltern.
Tidak hanya mewakili perjuangan kaum
subaltern, Earth juga menghadirkan beberapa peristiwa, seperti adegan mengenaskan serta migrasi besar orang-yang tidak secara langsung terwakili dalam Cracking India. Ia menilai perwujudan Earth dari peristiwa-peristiwa
11
seperti inilah yang tidak langsung dihadirkan dalam Cracking India. Melalui analisa Studi Subaltern, Ying-chieh menyimpulkan bahwa sejarah yang diwakilkan oleh historiografi nasionalis seperti yang telah dibahas oleh anggota Subaltern Studies kolektif, elit pemerintah diwakili dalam Cracking India dan Earth membantu pembaca investigasi pembungkaman yang sebenarnya terjadi. Meskipun demikian ia menegaskan bahwa tujuan dari tesis tersebut hanyalah menginvestigasi berbagai wujud representasi yang hadir disaat yang bersamaan guna membangun budaya skeptikal terhadap generalisir terhadap konstruksi sejarah umum yang ada. Ying-chieh berhasil memposisikan Cracking India dan Earth sebagai salah satu referensi lain sebagai bahan bacaan sejarah alternatif. Aletta Cornelia Rhode dalam tesis University of South Africa tahun 2003, yang berjudul The Subaltern ‘Speaks’: Agency in Neshani andreas’ The Purple Violent of Oshaantu. Dalam tesisnya, Aletta berusaha untuk membuktikan bahwa, bertentangan dengan kesimpulan Spivak dalam Can The Subaltern Speak, di mana kelompok subaltern tidak bisa berbicara dan tidak dapat didengar, namun melalui novel The Purple Violent of Oshaantu, Andreas membuktikan bahwa perempuan mampu melakukan sebuah perlawanan. Aletta menyoroti beragam bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan subaltern Namibia melalui keterbatasan serta sistem patriarkal yang kental dikehidupan sosial masyarakat Afrika. Meskipun perjuangan yang dimaksudkan mungkin tidak tampak sangat signifikan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa novel ini sukses mendeskripsikan perubahan dalam relasi gender di Namibia. Lebih lanjut, Aletta menyatakan, sebagai seorang penulis Andreas menyediakan platform bagi subjek subaltern
12
“berbicara”, penderitaan derita serta perlawanan perlahan senantiasa dilakukan, sehingga melahirkan sebuah perubahan. Novel ini cukup kontroversial karena dinilai sebagai sebuah teks yang menciptakan pengetahuan feminis tentang kondisi perempuan di Namibia dan oposisi hierarki kedudukan mereka. Terakhir Aletta menekankan besarnya kontribusi The Purple Violent of Oshaantu karya Andreas dalam mempengaruhi perempuan subaltern di Namibia dalam melakukan pemberontakan kreatif yang tidak dimungkinkan akan membawa sebuah perubahan.
1.5. Landasan Teori Perkembangan kajian poskolonialisme dan sejarah paska kolonialisme di India merupakan satu diantara banyak jalinan kolonialisme yang terikat sangat erat. Sejarah mencatat bahwa bangsa India telah dijajah oleh Inggris sejak didirikannya The East India Company pada tahun 1600. Dibawah kekuasaan Queen Elizabeth I organisasi tersebut memulai monopoli perdagangan dari India, Asia Tenggara hingga Asia Timur (Judith E. Walsh 2010: 102). Dimulai dengan monopoli perdagangan pada tahun 1600, bangsa India mengalami penjajahan selama beratus tahun hingga akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1947, Bangsa India memperoleh kemerdekaannya, dinyatakan bebas dari penjajahan kolonial Inggris. Kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa-bangsa bekas jajahan barat, seperti India sudah berlangsung cukup lama. Namun kemerdekaan itu belumlah secara utuh dimiliki oleh seluruh anak bangsa. Periode paska penjajahan masih
13
meninggalkan jejak-jejak yang mengakar disetiap lini kehidupan masyarakat, terutama
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
ideologi.
Said
dengan
teori
orientalismenya mencermati bagaimana proses dominasi ideologi itu terjadi. Orientalisme menurut Said merupakan
salah satu ideologi penjajah yang
digunakan untuk mendominasi kaum terjajah. Walaupun penjajahan secara fisik telah berakhir, praktek dari orientalisme sebagai wacana kolonialisme masih ada sampai saat ini. Edward Said sebagai pencetus paham ini menyatakan bahwa praktek orientalisme adalah strategi orang-orang Eropa untuk menaklukan wilayah jajahannya. Sedangkan prakteknya diprakarsai oleh orang-orang Eropa, terutama bangsa Inggris yang bertindak sebagai Old Conqueror yang memberikan penilaian negatif yang didasarkan pada sudut pandang orang eropa. Said juga membagi orientalisme menjadi dua bagian yaitu Orient dan Occident. Di mana Orient adalah istilah ungkapan untuk negara-negara jajahan Eropa dan Islam yang dianggap sebagai Others. Sementara itu Occident didefinisikan sebagai negara Eropa yang mampu mendominasi others (Said 1977: 3). Kajian poskolonialisme kian berkembang, setelah Edward Said, Homi K. Bhabha
mucul
dengan
membawa
sudut
pandang
baru
dalam
kajian
poskolonialisme, seperti resistensi, mimikri dan hibriditas. Bhabha hadir dengan cara pandang yang berbeda yaitu dengan membuktikan bahwa sebagai tanda, wacana kolonial selalu bersifat ambigu, polisemik. Karena itu konstruksi kolonial mengenai dirinya maupun mengenai Timur dapat memperoleh pemaknaan yang bermacam-macam dan bahkan bertentangan. Peniruan yang dilakukan oleh masyarakat terjajah terhadap model-model kehidupan yang ditawarkan oleh
14
wacana kolonial, identifikasi masyarakat terjajah terhadap Barat, tidak harus berarti kepatuhan masyarakat terjajah terhadap penjajahnya. Pada level pemaknaan, tindakan masyarakat terjajah yang meniru (to mimic) itu dapat pula menjadi satu ejekan (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan sepenuhnya pada hal yang ditawarkan penjajah (Faruk 2007: 6). Setelah Said dan Bhabha, Gayatri Spivak hadir dengan fenomena baru yang menyoroti kehidupan kelompok the untouchable di daerah bekas jajahan. Selama lebih dari lima puluh tahun setelah deklarasi kemerdekaan India dari penjajahan kolonial Inggris, kemerdekaan politik tersebut gagal mengarahkan “kemerdekaan” kepada kelompok-kelompok subaltern yang tertindas, seperti kaum perempuan, kaum petani, kaum miskin di pelosok desa atau orang-orang buta huruf yang turut menjadi bagian dari kemerdekaan nasional. Sebaliknya, nasionalisme poskolonial seringkali menguntungkan segelintir kelompok elite politik yang menurut Spivak posisi mereka sangat penting dalam merubah keadaan imperialisme tersebut menuju satu kemerdekaan yang utuh (Morton 2008 : 10). Kehadiran kajian kritis subalternitas oleh Gayatri Spivak yang dipengaruhi oleh berbagai teori kritis lainnya seperti
marsisme, feminisme, teori
poskolonialisme dan juga dekonstruksi, membawa kompleksitas tersendiri. Terutama berkaitan dengan teori dekonstruksi Derrida, Spivak menyebutkan bahwa timur tidak pernah dipelajari serius dalam teks Derrida. Namun pentingnya Dekonstruksi bagi teori poskolonialisme adalah bahwa terdapat garis paralel antara dekonstruksi Derrida terhadap tradisi filsafat barat dan interogasi Spivak
15
terhadap warisan sistem kolonialisme, yang mengajarkan subjek humanis barat sebagai standar pencerahan universal kepada seluruh subjek nonbarat. Oleh karena itu kegunaan dekonstruksi terletak pada potensinya untuk beraksi sebagai penjaga melawan politik rasional yang menuntut untuk berbicara atas nama kelompok minoritas seperti para buruh, perempuan atau warga jajahan (Morton 2008 : 86-87). Subalternitas sebagai sebuah fenomena sosial menjadi penghubung antara kolonialisme di masa lalu dengan ketidak-adilan yang menjadi warisan dari kolonialisme itu sendiri di bangsa-bangsa terjajah pada saat sekarang. Ketika bagian terbesar dari masyarakat terjajah telah menikmati kebebasan menentukan nasib mereka sendiri, sebagian lagi dari masyarakat yang sama, (misalnya, sebagai akibat/hasil (resultant) dari pengkastaan di India) tidak menikmati hal yang sama. Bagi mereka, terjajah dan tidak terjajah sama saja. Ketidakmampuan bergerak dan berpindah kelas inilah yang membentuk subaltern menjadi penanda bahwa bangsa tersebut pernah terjajah dan berada di bawah kekuasaan yang lebih besar dari yang sekarang berkuasa. Sementara itu kaitannya dengan kesusastraan, mempelajari subalternitas di karya sastra berarti membaca dan menginterpretasikan pandangan seorang pengarang mengenai kondisi yang menjadi indentitas mereka (kaum subaltern). Karena sebagai hasil dari apa yang disebut Gayatri spivak sebagai epistemic violence, terdapat dua golongan masyarakat yang memandang subaltern dengan cara yang berbeda. Golongan pertama, menyadari posisi mereka sebagai yang lebih tinggi dari masyarakat tertindas (karena posisi di pemerintahan dan keadaan
16
ekonomi dan sosial) meyakini bahwa tugas mereka mewakili subaltern dalam kehidupan berbangsa akan terpenuhi ketika mereka memberi fasilitas kepada golongan ini untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar mereka. Golongan lain (setelah menyadari bahwa yang hilang dari golongan subaltern adalah akses menuju kelas yang lebih tinggi) berusaha menghilangkan pembatas bagi pergerakan mereka ke kelas sosial yang lebih tinggi. Dalam video rekaman kuliah umum di University of California Television UCTV), Spivak menyatakan;
“I see the subalternity as position without identity. Subalternity turns extend is that kind of a thing that “No one can say i am a subaltern in whatever language”. To my mind then, Subalternity remains something that you don’t establish again and again by recounting in a certain sort of positivistic historical way”, (Gayatri Spivak UCTV 2008) “Saya melihat subalternitas sebagai sebuah posisi tanpa identitas. Subalternitas, ternyata memiliki definisi panjang, yaitu “Tidak ada satu pihak manapun yang bisa menyebut diri mereka subaltern dalam bahasa apapun”. Bagi saya, subalternitas tetap menjadi sesuatu yang tidak dibangun, tidak didefinisikan secara terus-menerus dengan menceritakannya dalam semacam sejarak positivistik tertentu”.
Pernyataan Spivak diatas cukup menggelitik. Setelah ia mengemukakan definisi subalternitas, yaitu sebagai sebuah posisi yang tidak memiliki idenitas apapun, serta tidak ada satu pihak manapun yang bisa menyebut diri mereka sebagai subaltern, lalu bagaimana dengan beberapa pihak yang “mewakilkan” suara kelompok yang tidak memiliki identitas tersebut. Dengan adanya oknum-oknum tertentu yang hadir sebagai sosok yang mampu merepresentasikan subalternitas, lantas bagaimana posisi suara tersebut.
17
Sementara terkait dengan dunia kesusastraan, penegasan Spivak menimbulkan rasa keingintahuan yang lebih kritis sekaligus komprehensif mengenai representasi subalternitas yang hadir dalam karya sastra yang bertema senada. Gayatri Chakravorty Spivak hadir dengan teori kajian kritis yang mengobrak-abrik konvensi kritik sastra serta dunia filosofi barat dengan fokus pada kajian teks budaya dari mereka yang dimarjinalkan oleh budaya dominan barat. Bagi Spivak jejak-jejak kolonialisme masa lampau tidak lenyap begitu saja, meskipun secara resmi kemerdekaan telah diberikan namun lini utama kehidupan yang diciptakan oleh kolonial tetap berlangsung. Spivak mempertanyakan banyak hal mengenai bagaimana dunia direpresentasikan melalui sudut pandang dominan dan disaat bersamaan mengklaim tindakan tersebut sebagai sebuah praktek menyuarakan suara politik kaum tertindas di dunia ketiga. Spivak hadir dengan intervensinya yang sangat berpengaruh melalui essainya yang berjudul Can The Subaltern Speak. Pemikiran anti-mainstream sekaligus mengobrak-abrik beberapa batasan disiplin ilmu merupakan pusat dari pola pemikiran seorang Gayatri Chakravorty Spivak. Elemen-elemen pemikiran Spivak yang sangat beragam tersebut seolah tidak bisa dijelaskan sebagai sebuah sistem yang koheren, yang tidak bisa dibagi-bagi menjadi fase yang terpisah secara jelas. Sebagaimana berulang kali ditekankan oleh Spivak dalam banyak wawancara mengenai tulisannya yang dibuat dalam batasan metodologi teoretis yang berbeda seperti marxisme, feminisme, dan dekonstruksi, yang seringkali tidak selaras, bahkan bersifat antagonistik. Ketimbang berusaha menjembatani pendekatan-pendekatan yang berbeda tersebut, Spivak malah menekankan
18
pentingnya mempertahankan diskontinuitas antara Marxisme, feminisme dan dekonstruksi. Dalam hal ini, karya Spivak seolah mengacaukan batasan disipliner serta teori kritik dalam menterjemahkan suara sejarah serta pengalaman orangorang tertindas. Walaupun demikian, upaya kritis serta politis ini sangatlah tidak sesederhana kelihatannya.
Komitmen Spivak
yang terus-menerus
untuk
menemukan bahasa dan metode teoretis yang mampu memberikan keadilan pada kelompok subaltern yang menjadi fokus utamanya benar-benar membutuhkan gaya yang kompleks serta rumit yang terus berproses serta terbuka bagi kebaikan (Stephen Morton 2003: 1-5). Selain itu Can The Subaltern Speak yang dipublikasikan dalam sebuah kumpulan essai yang berjudul Marxism and The Interpretation of Culture memposisikan Spivak sebagai kritikus poskolonial yang hadir dengan sudut pandang baru dalam ranah studi paska kolonialisme;
“’Can The Subaltern Speak ?’ has been read as illustrating Spivak’s own position as a postcolonial intellectual, who is concerned to excavate the disempowered and silenced voices of the past from the material and political context of the present” (Stephen Morton 2003 : 58). “Can The Subaltern Speak” merupakan sebuah ilustrasi yang memposisikan Spivak sebagai seorang intelektual poskolonialisme yang terkonsentrasi dalam menggali lebih jauh ketidak berdayaan serta keterbungkaman suara kelompok subaltern dari konteks material dan politik masa lampau hingga saat ini”.
Stephen Morton melalui bukunya menegaskan bagaimana posisi Spivak sebagai kritikus poskolonialisme hadir dengan kalangan tanpa kuasa atau silenced voices sebagai fokus utama. Kalangan tanpa kuasa atau silenced voices yang dimaksud
19
adalah mereka kaum imigran, kelas pekerja, perempuan dan segenap subjek paska-kolonial serta bagaimana jejak-jejak sejarah kolonialisme masa lampau menaruh pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan mereka hingga saat ini. Spivak hadir dengan sudut pandang baru pada kajian subaltern. Seperti diketahui sebelumnya beberapa kelompok kajian subaltern telah hadir dengan berbagai definisi dari subaltern itu sendiri. Ranajit Guha, seorang sejarawan kajian subaltern berupaya menekankan bahwa konsep mengenai subaltern menandai perbedaan sosial antara kaum elite dan yang lainnya di Asia Selatan. Ranajit Guha mendifinisikan subaltern sebagai suatu kesatuan yang mendasari apa yang disebutnya dengan; “The demographic difference between the total Indian population and all those whom we have described as the elite” (Guha, 1982). Siapa yang dimaksud dengan The Total Indian dan The Elite, Guha menjelaskan lebih lanjut bahwa secara krusial para sejarawan Kajian Subaltern berupaya menekankan bahwa konsep mengenai subaltern menandai perbedaan sosial demografis antara kaum elite dan yang lainnya di Asia Selatan. Siapa The Total Indian, yang dimaksudkan disini adalah rakyat, yang jika dikaitkan dengan sejarah India adalah adalah para petani yang berada dibawah kontrol para The Elite yang memegang kekuasaan baik itu dipemerintahan, perekonomian dan sejarah. Berdasarkan hal tersebut kelompok Kajian Subaltern menyimpulkan sebuah asumsi bahwa penulisan sejarah nasional India selama ini selalu dibawah kontrol para elit kolonial dan juga kaum nasionalis elit yang di mana keduanya merupakan bentukan dari penjajahan kolonial Inggris yang terjadi pada periode sejarah yang berbeda. Diakhiri dengan fakta bahwa kaum nasionalis elit India
20
gagal berbicara untuk kepentingan seluruh bangsa, hal tersebut dianggap sebagai sebuah kegagalan dari bangsa India untuk hadir secara objektif tanpa adanya representasi yang dibentuk oleh rezim kolonial. Dengan kata lain, Guha mengatakan bahwa kata ‘rakyat’ dan ‘subaltern’ bisa saling menggantikan. Dalam hubungan colony dan colonized, subaltern dapat diterjemahkan sebagai colonized (yang terjajah) namun hal ini hanya terjadi dalam konteks hubungannya dengan colonizer atau penjajah. Ketika dalam konteks lokal, colonized terbentuk kembali menjadi beberapa lapisan. Laki-laki dan perempuan terjajah berada pada lapisan yang berbeda, di mana laki-laki menjadi lebih superior. Perempuan terjajah yang berada pada lapisan terbawah, masih terbagi lagi kedalam kelompok dominan-marginal; perempuan kelas atas, perempuan kelas menengah dan perempuan kelas bawah. Bagi Spivak fenomena inilah yang belum tersentuh oleh para intelektual budaya sebelumnya, klaim menyuarakan kesadaran politis kaum subaltern selama ini bagi Spivak belum menyentuh tujuan utama. Bagi Spivak terminologi subaltern sangat berguna karena fleksibilitas definisinya yang mampu mengakomodasi berbagai identitas sosial serta berbagai bentuk perjuangan mereka yang tertindas pada satu rezim tertentu. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan terminologi subaltern mulai dari definisi Antonio Gramsci hingga kelompok Kajian Subaltern oleh Ranajit Guha;
“I like the word ‘subaltern’ for one reason. It is truly situational. ‘subaltern began as a description of a certain rank in the military. The word was used under cencorship by Gramsci; he called Marxism ‘monism’ and was obliged to call the proletarian ‘subaltern’. The word,
21
used under duress, has been transformed into the description of everything that doesn’t fall under strict class analysis. I like that, because it has no theoretical rigor” (Spivak 1990:14) “Saya menyukai kata subaltern karena sebuah alasan, yaitu sifatnya yang sangat situasional. Subaltern muncul pertama kali sebagai sebuah deskripsi kelompok militer tertentu. Kata yang digunakan oleh Gramsci dalam menggambarkan penganut paham marsis sebagai monism dan kewajiban untuk menyebut kaum proletar sebagai subaltern. Sebuah kata yang terbentuk dalam sebuah kondisi paksaan yang telah berubah menjadi sebuah deskripsi atas segala sesuatu yang tidak termasuk dalam sebuah analisa sistem yang statis. Saya menyukai istilah subaltern, karena ia tidak memiliki kekakuan teoritis”.
Subaltern dengan konteks definisi makna yang situasional atau fleksibel memberi ruang yang sangat luas akan terjadinya pemikiran ulang terhadap definisi ‘subaltern’, yang tentu saja tidak dapat terlepas dari kondisi sejarah maupun peradaban budaya. Spivak hadir dengan konsiderasi ulang konsep dari subaltern itu sendiri, seperti yang dinyatakannya dalam sebuah wawancara bersama Lenon De Kock (1992); “Subaltern is everything that has limited or no access to cultural imperialism – a space of difference”. Potongan singkat dari wawancara tersebut memiliki arti yang jauh berbeda dengan definisi subaltern dari para kelompok kajian subaltern sebelumnya. Bagi Spivak, subaltern tidak hanya semata mereka para rakyat yang ditindas oleh kaum ellite, melainkan segala sesuatu yang tidak memiliki akses apapun dalam imperialisme budaya. ‘Everything’ atau ‘segala sesuatu’ dalam definisi Spivak tersebut memiliki arti yang sangat luas dan dapat ditemukan jawabannya dalam essai Can The Subaltern Speak, di mana Spivak menumpahkan definisi dan kritiknya dengan menyertakan beberapa contoh
22
konkret yang tentu saja sangat erat kaitannya dengan budaya kolonialisme Inggris di India. Terkait dengan hubungannya dengan perempuan subaltern yang berada pada lapisan terbawah dalam kehidupan negara dunia ketiga, dalam essainya Spivak menegaskan bagaimana sebenarnya posisi mereka dalam tatanan kehidupan;
“Within the effaced itinerary of the subaltern subject, the track of sexual difference is doubly effaced. The question is not for female participation in insurgency, or the ground rules of the sexual division of labour, for both of which there is evidence. It is rather, that, both as subject of colonialist historiography and as subject of insurgency, the ideological construction of gender keeps the male dominant. If, in the context of colonial production, the subaltern has no history and can not speak, the subaltern as female is even more deeply in shadow” (Spivak 1988: 287). Dalam penghapusan rencana perjalanan subjek subaltern, jejak diskriminasi seksual mengalami lapisan diskriminasi ganda. Pertanyaannya bukanlah ada tidaknya partisipasi kaum perempuan selaku pihak yang mengalami diskriminasi ganda dalam melakukan pemberontakan, maupun aturan-aturan pembagian kerja berdasarkan gender. Melainkan posisi perempuan baik sebagai subjek historiografi kolonial dan juga sebagai subjek pemberontakan, konstruksi ideologis gender terus memposisikan laki-laki sebagai pihak dominan. Oleh karena itu perempuan subaltern senantiasa berada pada level diskriminasi terendah.
Posisi perempuan baik sebagai subyek historiografi kolonial dan sebagai subyek pemberontakan, tidak mempengaruhi pembangunan ideologi gender yang senyatanya terus didominasi laki-laki. Terkait dengan sejarah kolonialisme, Spivak menyatakan bahwa kaum subaltern tidak memiliki sejarah, terlebih bagi mereka kaum subaltern perempuan. Kehidupan perempuan didunia ketiga berada
23
pada tatanan hidup terendah di mana mereka tidak memiliki akses apapun untuk bersuara terlebih lagi menciptakan sejarah diri mereka sendiri. Dalam Can The Subaltern Speak dengan latar belakangnya yang lahir dan besar di sebuah negara dengan latar belakang kolonialisme Inggris yang sangat kental, Spivak menghadirkan beberapa fenomena sosial bagaimana kehidupan kaum perempuan subaltern di India dalam mempertegas sudut pandangnya terhadap pembungkaman suara perempuan. Spivak membahas Sati, sebuah fenomena kepercayaan penganut agama Hindu di India. Tradisi pembakaran janda atau Sati sudah berlangsung sejak lama di India. Tradisi ini mulanya ditujukan untuk menghormati Dewi Sati, akan wujud cinta dan pengabdian seorang istri kepada suaminya. Ketika seorang suami meninggal dunia, maka sang istri dianjurkan untuk ikut mati dengan cara membakar diri bersama mayat suaminya. Mengenai fenomena Sati, Spivak melihat dua hal yang bisa dibandingkan untuk mencapai makna posisi perempuan subaltern India yang terlibat dalam sejarah Sati :
“This history also had a double origin, one hidden in the manoeuverings behind the British abolition of widow sacrifice in 1829, the other lodged in the classical and Vedic past of Hindu India, the Rg-Veda and the Dharmasatra” (Can The Subaltern Speak, Gayatri Spivak; 93). “Sejarah Sati juga memiliki originalitas ganda, yang pertama tersembunyi dibalik manuver penghapusan oleh kolonial Inggris terhadap pengorbanan janda pada tahun 1892. Sementara originalitas lainnya bersarang pada kitab weda klasik umat Hindu India, Dharmasatra”.
Spivak menelusuri kembali pemaknaan sati yang sebenarnya melalui kitab Hindu kuno Dharmasatra;
24
“The two moments in the Dharmasatra that i am interested in are the discourse on sanctioned suicides and the nature of the rites for the dead. Framed in these two discourses, the self-immolation of widow seems an exception to the rule. The general scriptural doctrine is that suicide is reprehensible. Room is made, however, for certain forms of suicide which, as formulaic performance, lose the phenomenal identity of being suicide” (Can The Subaltern Speak, Gayatri Spivak; 95). “Dua peristiwa dalam kitab Dharmasatra yang menarik perhatian saya adalah hadirnya wacana sanksi bunuh diri dan kewajiban untuk mati. Dihadirkan dalam dua wacana, pengorbanan diri para Sati dianggap sebagai sebuah pengecualian. Sementara doktrin yang hadir dalam Dharmasatra, bunuh diri adalah satu perbuatan yang tercela. Bagaimanapun “nilai bunuh diri” itu telah terbentuk. Makna bunuh diri sebenarnya telah kehilangan makna utamanya.
Doktrin tegas bahwa bunuh diri merupakan sebuah perbuatan tercela dalam kitab Dharmasatra senyatanya berlaku bagi seluruh umat Hindu India, namun tidak bagi perempuan. Praktek dari pengobanan diri seorang janda sekonyong-konyong menjadi sebuah pengecualian, seorang istri sah-sah saja ikut mati dengan membakar diri menyertai kematian sang suami. Pengecualian terhadap Sati melahirkan bentuk dominasi terhadap perempuan dalam lini utama kehidupan masyarakat Hindu India sejak zaman dahulu, di mana dalam kehidupan beragama laki-laki dan perempuan berada pada posisi yang berbeda. Fenomena Sati adalah bentuk subjektifitas terhadap posisi perempuan yang terikat dengan sebuah tradisi keagamaan yang memberikan ‘pilihan’ bunuh diri sebagai keinginannya sendiri. Pilihan tersebut tidak lain menyimbolkan posisi perempuan sebagai ‘harta’ bagi suami. Lebih dari itu Sati dilegitimasi menjadi sebuah petanda istimewa, Sati adalah sebuah standar nilai keagamaan bagi perempuan untuk menjadi seorang istri yang baik.
25
Dipertengahan dan akhir abad ke delapan belas ketika Inggris disibukkan dengan pembentukan sistem hukum, upacara Sati tidak luput dari pandangan mereka. Tahun 1892 pemerintah kolonial Inggris melarang praktek Sati karena dianggap melanggar hukum dan melanggar nilai kemanusiaan. Kolonial Inggris beranggapan bahwa dengan menegakkan hukum yang demikian, mereka telah menyelamatkan hidup perempuan dari siksaan laki-laki pribumi, white men saving brown women. Edward Thompson dalam bukunya Suttee menjelaskan panjang lebar subjektifitas pandangannya terhadap sejarah kehadiran Inggris di India yang membawa misi kemanusian. Dibalik semua ‘misi kemanusiaan’ seperti yang dinyatakan Edward Thompson, Spivak melihat permasalahan lain;
“The problem with this book is, indeed, a problem of representation, the construction of a continous and homogenous ‘India’ in terms of heads of state and British administrators, from the perspective of ‘a man of good sense’ who would be the transparent voice of reasonable humanity. ‘India’ can be represented, in the other sense, by its imperial masters” (Gayatri Spivak; 101). “Permasalahan yang terjadi dalam buku White Men Saving Brown Women, adalah murni permasalahan sebuah representasi. Konstruksi bahwa pemerintahan Inggris pada saat itu adalah sosok “manusia dengan logika yang benar” yang akan selalu menjadi sumber suara kemanusian. “India” dapat direpresentasikan oleh para penguasa kolonial.
India masih menjadi objek yang identitasnya mampu direpresentasikan oleh pihak lain, dengan demikian konstruksi pencitraan akan India tetap berlanjut. Hal ini dinilai sebagai pembungkaman suara masyarakat pribumi yang tidak mampu menyuarakan suaranya serta tidak mampu menjelaskan sejarah peradaban mereka sendiri. Ketika India berada dibawah peraturan perundang-undangan kolonial Inggris, pemaknaan Sati sebagai sebuah standar nilai keagamaan bagi perempuan
26
agar menjadi istri yang baik mengalami perubahan makna. Menurut kolonial Inggris praktek Sati melambangkan sumber kebencian sekaligus sisi tidak manusiawi kepercayaan Hindu. Spivak berpendapat bahwa kehadiran Edward Thompson dengan bukunya hanya memperburuk keadaan perempuan India, dengan kembali lagi untuk yang kedua kalinya menjadi objek yang dapat direpresentasikan. Representasi yang terus-menerus dihadirkan oleh budaya patriarkal Hindu dan
kolonial
Inggris
menyebabkan
ketidakmampuan
perempuan
untuk
menyuarakan suaranya dalam catatan sejarah perkembangan peradaban India. Selanjutnya dalam Can The Subaltern Speak Spivak menghadirkan fenomena pembungkaman suara perempuan subaltern India lainnya; Bhuvaneswari Bhaduri, seorang gadis remaja yang berusia sekitar enam belas-tujuh belas tahun ditemukan tewas menggantung diri dirumah ayahnya di Calcutta Utara pada tahun 1926. Peristiwa bunuh diri itu menimbulkan berbagai spekulasi berbagai pihak. Dikabarkan bahwa Bhuvaneswari memutuskan untuk menggantung diri karena ia hamil diluar nikah, namun hal tersebut tidak terbukti karena dia yang baru saja selesai menstruasi ketika gantung diri. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya mengetahui siapa Bhuvaneswari serta penyebab dia bunuh diri. Hampir sepuluh tahun kemudian baru diketahui Bhuvaneswari adalah anggota kelompok yang terlibat dalam perjuangan bersenjata bagi kemerdekaan India. Keputusannya untuk gantung diri disebabkan karena Bhuvaneswari tidak mampu melakukan pembunuhan politik yang dipercayakan kelompok itu kepadanya dan sekaligus is menyadari kebutuhan praktis bagi sebuah
27
kepercayaan. Bagi Spivak apa yang dilakukan oleh Bhuvaneswari Bhaduri menimbulkan spekulasi lain, Stephen Morton dalam bukunya yang berjudul Gayatri
Chakravorty
Spivak
menuliskan,
“Nevertheless,
Spivak
reads
Bhubaneswari Bhaduri’s story as an attempt to rewrite ‘The sosial text of satisuicide in an interventionist way’ (Spivak 1988: 307). Spivak menilai kisah Bhubaneswari Bhaduri adalah sebentuk usaha baru untuk menuliskan kembali pandangan sosial terhadap Sati. Bahwa dalam sejarah India, sekalipun perempuan yang aktif turut memperjuangkan kemerdekaan, suara mereka masih tidak didengar. Pembungkaman aktualisasi diri perempuan subaltern tidak bisa dipungkiri, di mana penindasan terhadap hak-hak perempuan subaltern tersebut hanya menyebabkan ‘ketidakhadiran’ yang berujung pada terhapusnya keberadaan mereka dalam sejarah perjalanan sebuah peradaban. Setelah membongkar posisi subaltern dari sudut pandang kolonialisme fisik oleh bangsa penjajah serta doktrin-doktrin Hindu yang kian menyudutkan posisi subaltern, Spivak melihat media lain yang tidak kalah penting perannya dalam merepresentasikan kelompok subaltern. Dalam esainya yang berjudul Three women’s text, Spivak mengelaborasikan bagaimana literatur-literatur klasik Inggris abad kesembilan belas menghadirkan sebuah representasi Inggris sebagai bangsa yang terpelajar yang senantiasa bergerak progresif; sebuah ide yang dihadirkan sebagai salah satu cara halus untuk menyebarkan imperialisme barat;
It should not be possible to read nineteenth-century British literature without remembering that imperialism, understood as England's social mission, was a crucial part of the cultural representation of England to the English.
28
The role of literature in the production of cultural repre-sentation should not be ignored. These two obvious "facts" continue to be disregarded in the reading of nineteenth-century British literature. (Gayatri Spivak 1985) Dalam menbaca karya sastra Inggris abad sembilan belas, keterkaitannya dengan imperialisme sangatlah kuat. Hal tersebut dipahami sebagai misi sosial bangsa Inggris, merupakan hal penting dari representasi budaya Inggris kepada “orang-orang Inggris”. Peran dunia sastra dalam memproduksi representasi budaya tidak dapat diabaikan begitu saja. Fakta-fakta tersebut terus diabaikan dalam pembacaan kesusastraan Inggris abad kesembilan belas.
Pernyataan
diatas
mengawali
analisa
Spivak
terhadap
misi
peradaban
kolonialisme Inggris melalui karya sastra. Lebih lanjut ia membuktikannya dalam esainya Three Women’s Text melalui analisa karya-karya abad kesembilan belas Inggris seperti Jane Eyre karya Charlotte Bronte, Wide Sargaso karya Jean Rys dan Frankenstein karya Mary Shelley. Spivak juga mengingatkan kembali pidato Thomas Babington Macaulay 1835 berjudul A Minute on Indian Education, yang menekankan pentingnya kesusastraan Inggris sebagai instrumen menyebarkan nilai-nilai moral dari budaya Inggris kepada warga kelas menengah India yang pada saat itu menjadi subjek dari kebijakan British East India Company. “Misi sosial” kajian Inggris di India selama masa kolonial Inggris membentuk konteks historis yang menjadi tempat kritik Spivak mengenai hubungan kajian sastra dengan teori subalternitas. Dan dengan mengaplikasikan teori Derrida,
dekonstruksi
kekuasaan wacana
dijadikan
atat pembacaan untuk meruntuhkan
pusat dan membuka ruang
bagi
tuntutan masyarakat
marginal (Moore-Gilbert, 1997). Menurutnya dekonstruksi bukan hanya praktik pembongkaran saja atau pembongkaran kesalahan, tetapi sebagai upaya untuk
29
memeriksa bagaimana kebenaran-kebenaran itu diproduksi dalam dan melalui informasi-informasi sosial dan politik.
1.6. Hipotesis Penelitian Pernyataan Gayatri Spivak mengenai fenomena subaltern bahwa “No one can say i am subaltern in whatever language”, maka representasi subaltern dalam novel The Glory of Sri Sri Ganesh dipengaruhi oleh kepentingan pengarang sebagai kaum elit.
Sementara itu adanya struktur-struktur yang saling
membangun oposisi biner dengan sifat hierarkisnya yang dihadirkan oleh pengarang, akan menentukan posisi subaltern dalam novel. Di mana hal tersebut menjadikan posisi subaltern tidak jelas.
1.7. Metode Penelitian Bagian ini akan menguraikan bagaimana proses menentukan dan mendapatkan data untuk penelitian. Selanjutnya, bagian ini juga mengemukakan bagaimana data tersebut akan dianalisis dan disajikan.
a. Pengumpulan Data Berdasarkan masalah dan konsep yang digunakan sebagai landasan teoretik untuk menjawab masalah-masalah itu, maka data-data yang dicari akan dipilih berdasarkan perspektif teoretiknya, yakni subalternitas Gayatri Spivak. Dalam hal ini, semua data yang digunakan berbentuk tulisan. Data utama adalah novel The Glory of Sri Sri Ganesh karya Mahasweta Devi yang menyediakan
30
paparan mengenai representasi subaltern masyarakat kelas rendah India. Datadatanya adalah berupa kalimat-kalimat, karakter, maupun rangkaian peristiwa yang menunjukan adanya hierarki yang dibangun oleh pengarang.
b. Analisis Data Data-data yang sudah diperoleh, akan dihubungkan satu sama lain dalam sebuah proses yang disebut analisis data. Hal ini disebabkan karena data tersebut tidak dapat dibaca secara tunggal atau sendiri-sendiri. Satu data perlu dikaitkan dengan data lain untuk menemukan kesimpulan-kesimpulan tertentu yang tidak akan terlihat ketika menghadapi data secara terpisah. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis dekonstruksi terhadap teks-teks subalternitas yang terdapat dalam novel. Pembacaan yang dimaksud adalah sebuah proses pembacaan yang di mana perhatian terpusat pada teks itu sendiri, pada ketegangan dan ambiguitas yang dikandung oleh teks. Pembacaan dekonstruksi sebaliknya
tidak
berminat
berupaya
untuk
mengungkapkan
mengungkapkan
apa
yang
maksud tidak
pengarang,
dimaksudkan,
disembunyikan, disingkirkan, atau direpresi oleh sang pengarang. Prosedur pembacaan teks tersebut adalah berupa meneliti dengan cermat momen-momen yang tidak terputuskan, yang hampir tidak tertangkap, yang jika tidak, akan membuat terlewatkan oleh pembaca. Pembacaan cermat tersebut bertujuan untuk menginterogasi teks. Sesudah menginterogasi teksnya, lalu dimulai tahap pembalikan atau penghancuran terhadap pertahanannya, dan menunjukkan bahwa seperangkat oposisi berpasangan ditemukan di dalamnya (Faruk 2012 : 217). Dengan demikian strategi pembacaan dekonstruksi akan
31
menelisik
bagaimana
teks
bertentangan satu sama lain.
melahirkan
beragam
makna
yang
mungkin
Sebaliknya, dekonstruksi menghindari upaya
melengkapi, mengklarifikasi, atau mendamaikan kontradiksi di dalam teks dalam rangka menemukan titik tolak dan ruang bagi munculnya interpretasi baru. Sementara itu terkait dengan teori subaltern Spivak, dekonstruksi dioperasikan untuk menggugat pandangan hierarkis atas minoritas etnis, politik, agama dan seksual. Cara kerja pertama yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah mengklasifikasi bagaimana struktur dominan yang hadir didalam novel. Struktur dominan disini adalah pandangan pengarang melalui oposisi-oposisi biner yang membentuk hierarki dominan. Dari hierarki yang telah ditemukan, akan selanjutnya dilihat posisi pengarang sebagai agen subaltern. Bagaimana pandangan pengarang terhadap struktur dominan yang telah ia bangun dalam karyanya. Strategi pembacaan dekonstruksi dalam penelitian ini tidak terhenti pada pembalikan hierarki pengarang saja. Mengingat tujuan penelitian ini tidak terhenti pada deskripsi fenomena subalternitas serta pandangan pengarang atas “suara” dalam karyanya, maka penulis akan kembali menginterogasi pembalikan hierarki pengarang atas struktur dominan novel. Dengan demikian diharapkan penelitian ini melahirkan data “lain” yang tidak tertutup kemungkinan akan bertentangan dengan deskripsi pembalikan hierarki pengarang.
32
Hasil dari analisis itu juga akan disajikan dalam bentuk tulisan, yang terbagi ke dalam bagian-bagian (bab) sesuai dengan rincian masalah yang akan diuraikan pada sub-bab sistematika penyajian di bawah ini.
1.8. Sistematika Penyajian Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab 1 adalah pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis penelitian, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berjudul “Struktur Dominan
dan Dekonstruksi (Pembalikan
Hierarki) Novel Atas Struktur Dominan”. Bab ini terbagi menjadi dua bagian utama, yakni “Struktur Dominan” dan “Dekonstruksi (Pembalikan Hierarki) Novel atas Struktur Dominan”. Bab II pada bagian pertama merupakan uraian tentang hierarki-hierarki apa saja yang hadir dikehidupan kelompok marginal pedesaan India, sementara bagian kedua memaparkan pembalikan dari hierarki yang telah Devi bangun yang diakhiri dengan menyimpulkan bentuk-bentuk dekonstruksi yang dihadirkan oleh pengarang sendiri dalam novelnya. Bab III bertajuk “Dekonstruksi Atas Struktur Novel”, merupakan analisis pembalikan hierarki pengarang dengan memperhatikan hal-hal yang menunjukan indikasi bias yang secara tidak sadar dilakukan oleh Mahasweta Devi. Penelitian ini ditutup dengan bab IV yang berisikan kesimpulan dari analisis yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. penelitian.