BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Integrasi ekonomi menjadi konsep penting dalam menghadapi ekonomi yang berdaya saing global. Bagi Indonesia, skala regional ASEAN menjadi wadah kerjasama dalam pencapaian daya saing ekonomi global. Konsep integrasi ekonomi merupakan bentuk penghapusan sekat-sekat dan hambatan ekonomi masing-masing negara yang terlibat dalam suatu kesepakatan, dalam hal ini komunitas ASEAN. Selain itu, integrasi ekonomi bertujuan untuk menyetarakan model daya saing ekonomi regional yang akan meminimalisir gap atau batasan ekonomi antara negara satu dengan yang lainnya. Menuju ASEAN Community 2015, prioritas kesepakatan negara anggota adalah pada sektor ekonomi yang kemudian sepakat membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 atau ASEAN Economic Community 2015. Berbeda dengan konsep integrasi ekonomi yang disepakati di Uni Eropa yang mana bertujuan untuk mengatasi masalah krisis ekonomi pasca Perang Dunia II, integrasi ekonomi yang dimaksudkan dalam pembentukan Komunitas ASEAN hanya untuk memperkuat ekonomi dikawasan ASEAN.
Pentingnya ASEAN Economic Community 2015 (AEC) tercantum dalam AEC Blueprint yang menyatakan salah satu pilar utamanya yaitu ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas. Elemen aliran bebas barang merupakan perwujudan liberalisasi perdagangan yang mengedepankan komponen penurunan dan penghapusan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif barang yang nantinya terwujud arus perdagangan bebas antar anggota ASEAN. Elemen kedua, aliran bebas jasa memiliki tujuan utama untuk menghapuskan hambatan penyediaan jasa yang mengutamakan keterbukaan akses pasar, termasuk didalamnya jasa transportasi dan pariwisata. Sektor jasa menjadi salah satu sektor unggulan yang membuka lapangan pekerjaan di mana penyerapan tenaga kerja menjadi peluang besar dalam pembangunan ekonomi. Dalam elemen aliran bebas jasa mencantumkan pariwisata sebagai bentuk penyediaan jasa. Penyediaan jasa ini kemudian terkait dengan elemen arus bebas tenaga kerja terampil terkait dengan transfer sumber daya manusia antar negara anggota. Adanya ASEAN of Movements Natural Persons (MNP) menjadi pertimbangan kebijakan bagi pemerintah untuk meningkatkan skill tenaga kerjanya. Isu penting yang dikembangkan dalam konsep integrasi ekonomi adalah akan diberlakukannya ASEAN Single Visa. ASEAN Single Visa bertujuan untuk mempermudah akses konektivitas antar regional ASEAN. Single Visa diharapkan mampu meningkatkan ekonomi regional dengan kemudahan akses pariwisata yang dapat dijangkau oleh turis regional. Selanjutnya, promosi pariwisata bukan lagi
Indonesia sendiri maupun Thailand sendiri, tetapi menjadi kesatuan Visit ASEAN. Hal ini merupakan bentuk integrasi ekonomi yang terkait dengan sektor sosial budaya dalam pengembangan pariwisata ASEAN. Single Visa akan diwujudkan setelah kesepakatan seluruh anggota ASEAN untuk tidak memberlakukan visa bagi warga negara anggota ASEAN. Myanmar menjadi negara terakhir yang sepakat untuk menghapuskan visa bagi negara anggota ASEAN, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan regional maupun internasional. Kutipan berita www.merdeka.com menyatakan Myanmar mengubah kebijakan biaya visanya karena data ASEAN Tourism Statistics menunjukkan negara itu jumlah turisnya terendah di kawasan. Pada 2011, turis yang berkunjung ke Myanmar hanya berjumlah 816.400 orang. Jumlah itu mulai melonjak pada 2012 mencapai lebih dari 1 juta turis, sejak pemerintahan baru membuka diri. Sepanjang periode 2005-2012 pariwisata ASEAN tumbuh 8,3 persen per tahun. Jauh di atas pertumbuhan global yang hanya 3,6 persen. Khusus tahun lalu, jumlah turis ke ASEAN mencapai 92,7 juta orang, meningkat 12 persen. Data ASEAN Stattistical Yearbook yang menunjukkan penerimaan negara dari wisatawan pada tahun 2011 menyatakan Thailand menempati posisi pertama yaitu USD 26.256, disusul oleh Malaysia USD 18.259 kemudian Singapura USD 17.990 dan Indonesia diposisi keempat yakni USD 7.952, sedangkan Filipina hanya USD 2.783. Penerimaan Indonesia dari kunjungan wisatawan jika dibandingkan dengan Singapura sangat rendah, terlebih lagi jika dibandingkan dengan Thailand yang
menempati posisi pertama di ASEAN. Apabila membandingkan Indonesia dengan Thailand dari sisi pengeluaran rata-rata per hari wisatawan yang berkunjung, wisatawan yang berkunjung ke Thailand tahun 2013 rata-rata menghabiskan 9.85 hari, walaupun angka ini turun 0.17% dari tahun 2012 yakni 10.02 hari. Penerimaan negara dari wisatawan yang berkunjung ke Thailand yang hanya berasal dari intra ASEAN saja, rata-rata menghabiskan USD 140.066 pada tahun 2013 yang meningkat 6,11% dari USD 132.00 di tahun 2012. Sedangkan jika dibandingkan dengan penerimaan Indonesia terhadap wisatawan dari seluruh dunia, Indonesia hanya menerima sebanyak USD 149.31 yang meningkat dari USD 147.22. Lama tinggal rata-rata wisatawan yang berkunjung ke Indonesia hanya 7.70 di tahun 2012. Angka ini tentunya sangat sedikit jika dibandingkn dengan rata-rata pengeluaran dan lama tinggal wisatawan yang berkunjung antara Indonesia dan Thailand. Hal ini menunjukkan ada gap yang sangat jauh dalam hal penerimaan kunjungan antar negara di ASEAN. Lebih detail, Indonesia sebagai negara anggota yang memiliki potensi pariwisata yang luar biasa dan tidak kalah saing dengan negara anggota lain. Indonesia memiliki potensi pariwisata dari segi sejarah, keindahan alam, budaya hingga tradisi yang kian memukau dunia. Keunggulan Indonesia dengan karakter negara kepulauan dengan beragam etnik dan budaya yang bermacam-macam. Akan tetapi, pariwisata Indonesia belum mampu menjadi tujuan destinasi unggulan dikawasan Asia Tenggara. Kekayaan alam dan budaya di Indonesia belum cukup mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Kebijakan nasional dan
pengelolaan destinasi wisata yang tidak terpadu dan berjalan secara terpisah masih menjadi hambatan utama pengelolaan pariwisata nasional. Tercatat dalam data World Tourism Organization, Indonesia masih menempati urutan keempat setelah Malaysia, Thailand dan Singapura dari segi kunjungan wisatawan. Jumlah kunjungan wisatawan ini menunjukkan daya saing pariwisata masih rendah jika dibandingkan dengan Thailand, Malaysia dan Singapura. Pariwisata diarahkan untuk menjadi leading sector di mana posisi pariwisata dapat mendukung sektor lain khususnya sektor ekonomi. Seperti yang diungkapkan Duta Besar Indonesia untuk ASEAN, I Gusti Ngurah Swajaya "Di ASEAN sudah tidak ada lagi perang terbuka dan ancaman sehingga negara anggota bisa berkonsentrasi lebih optimal ke hal-hal sifatnya kerjasama. Sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat seperti pertumbuhan ekonomi, kebudayaan, interaksi dalam bidang pariwisata".1 Sektor pariwisata ASEAN memiliki track record cukup baik pada skala internasional. Hal ini ditunjukkan dalam data kunjungan wisatawan ke kawasan ASEAN. Selain itu, pariwisata diprediksi menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi dunia yakni sebagai penyumbang devisa atau pemasukan negara yang bersangkutan, artinya pariwisata mampu bersaing dengan sektor lain dalam meningkatkan ekonomi global. Konsep peningkatan daya saing destinasi wisata bukan hanya untuk meningkatkan keuntungan ekonomi tetapi untuk meningkatkan standar hidup 1
Kawilarang, Renne R.A. dan Santi Dewi. 2014. Tahun Ini Indonesia Fokus Persiapkan "Komunitas ASEAN 2015. Dipublikasikan pada Selasa, 7 Januari 2014 pukul 15.02 WIB. http://dunia.news.viva.co.id/news/read/471455-tahun-ini-indonesia-fokus-persiapkan--komunitasasean-2015-
masyarakat disekitar tempat wisata. Terdapat hubungan antara daya saing pariwisata dengan kemakmuran nasional secara sosial-ekonomi. Daya saing dalam konteks pariwisata merupakan hal yang penting dalam meningkatkan pendapatan masyarakat jangka panjang. Posisi daya saing pariwisata regional juga menunjukkan eksistensi negara dalam suatu komunitas. Lebih lanjut, dengan adanya posisi unggulan pariwisata memudahkan negara dalam menarik investor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya. Pariwisata yang diarahkan sebagai sektor unggulan dunia menjadi sektor yang mampu menyumbang devisa terbesar suatu negara. Sehingga penting bagi negara dalam mengembangkan pariwisata sebagai sektor yang menjanjikan. Arah dan kebijakan pariwisata nasional juga didesain melalui peraturan dan rencana strategis yang disusun pemerintah. Rancangan Repelita VII Pariwisata mengarahkan pariwisata sebagai penghasil devisa utama. Selain itu pemerintah juga menyusun Rencana Strategis Pembangunan Kebudayaan dan Kepariwisataan Nasional yang telah diperbaharui yaitu untuk jangka tahun 2010-2014. Akan tetapi kebijakan pariwisata yang disusun didalamnya belum mampu menjawab tantangan persaingan pariwisata regional. Indonesia belum mampu menjadi wisata unggulan ASEAN. Walaupun terjadi peningkatan pengunjung tiap tahunnya, pariwisata Indonesia belum cukup berbenah dibandingkan negara lain. Artinya, perbaikan sektor wisata bukan hanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan tetapi faktor pendukung lain seperti pelayanan sebagai bentuk jasa pariwisata nasional.
1.2. Rumusan Masalah
Daya saing pariwisata menentukan bagaimana negara anggota mampu beradaptasi dan menjawab tantangan persaingan regional. Melalui latar belakang yang telah disampaikan diatas, perumusan masalah dalam penelitian adalah “Bagaimana posisi daya saing pariwisata Indonesia dalam Komunitas ASEAN 2015.” Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, maka turunan pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: -
Bagaimana hubungan antara kebijakan dan regulasi, keselamatan dan keamanan serta kesehatan dan higenitas terhadap jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia.
-
Mengapa tingkat kunjungan wisatawan ke Indonesia masih rendah.
-
Apa yang menyebabkan pariwisata Malaysia, Thailand dan Singapura lebih unggul dibandingkan dengan pariwisata Indonesia.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan antara lain : 1. Memaparkan posisi daya saing pariwisata Indonesia dalam deskripsi indikator pengukur daya saing pariwisata.
2. Menguji hubungan antara faktor kebijakan pariwisata regional ASEAN dengan faktor kebijakan Indonesia dalam kaitannya dengan daya saing pariwisata. 3. Mengetahui keunggulan wisata negara anggota ASEAN, khususnya Malaysia, Thailand dan Singapura untuk dijadikan basis pengukuran daya saing pariwisata nasional. 4. Mengetahui upaya-upaya pemerintah dalam mengembangkan kepariwisataan lokal maupun kawasan ASEAN, khususnya Indonesia.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi penulis, yakni menambah wawasan daa pengetahuan untuk bahan pertimbangan pola pikir khususnya mengenai daya saing pariwisata di masa yang akan datang. 2. Bagi pemerintah, yakni sebagai bahan acuan perencanaan kebijakan khususnya dalam hal pariwisata dalam menyambut dan menerapkan program Komunitas ASEAN 2015. 3. Bagi pihak lain, yakni sebagai referensi dan rujukan penelitian yang akan dilakukan dari segi sumber dan pembahasan penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori
2.1.1
Pariwisata sebagai Industri
Pariwisata sering diartikan sebagai kegiatan perjalanan diluar kebiasaan sehari-hari yang bersifat sementara untuk suatu tujuan tertentu. Tujuan ini tergantung pada pelaku perjalanan dapat berupa mencari kesenangan, profesi maupun bisnis. Secara etimologis pariwisata mengandung dua arti yaitu pari yaitu berkali-kali atau berulang kali dan wisata berarti perjalanan. Sehingga secara sempit pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan secara berulang kali. Menurut beberapa ahli pariwisata memiliki pengertian yang bersifat heterogen, beberapa diantaranya dirangkum oleh Hunzieker dan Kraft pada tahun 1942 (Yoeti, 2010:54) pariwisata adalah keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal untuk sementara waktu, asalkan pendiaman itu tidak menetap dan tidak mencari nafkah dari aktifitas yang bersifat sementara itu. Pariwisata merupakan dampak dari aktifitas perjalanan seseorang yang bersifat tidak permanen atau sementara. Selain itu beberapa ahli juga memberi batasan pada pariwisata yaitu MacIntosch (1955) “Tourism as the sum of phenomena and relationship arising from
the interaction of TOURIST, BUSINESS SUPPLIERS, HOST GOVERNMENT, and HOST COMMUNITIES in process attracting and hosting these tourists and others visitors.”2 Sedangkan Leiper (1981) menyatakan “Tourism as an open system of five elements interacting with broader environments, the human element, tourists, three geographical elements: generating region, transit route and destinations region, and a economic element, the tourist industry.”3 Keduanya memberi batasan pariwisata yang menjelaskan beberapa unsur yang terkait langsung dengan aktifitas pariwisata. MacIntosch menekankan unsur penting pariwisata pada wisatawan, pemegang bisnis pariwisata atau perusahaan industri pariwisata, pemerintah dan masyarakat. Selanjutnya Leiper menjelaskan unsur wisatawan, unsur geografis seperti negara asal wisatawan, negara transit dan destinasi tujuan serta unsur industri pariwisata. Secara konstitusional, pariwisata didefinisikan dalam peraturan legal di Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan bahwa pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang ini.4 Kemudian diperbaharui dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2009 pada Bab I, Pasal 1, Ayat 3 bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.5 Melalui pengaturan dalam Undang-Undang tersebut pariwisata menjadi aspek pembangunan secara 2
Yoeti, Oka. A. 2010. Dasar-Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata. Bandung: PT ALUMNI. Hal. 55 3 Idem, hal. 58 4 Muljadi, A.J. 2010. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Hal. 9 5 Idem
nasional. Pariwisata yang merupakan kegiatan tersendiri maupun dapat dipandang dari segi ekonomi sebagai penunjang pembangunan bangsa. Pariwisata sebagai industri ditinjau dari klasifikasi perdagangan jasa internasional. Unsur-unsur pariwisata termasuk dalam perdagangan jasa di mana pariwisata menyediakan usaha jasa. WTO (Simatupang, 2009:79) dalam “Provisional Central Product Classification” (CPC) dari Tourism and Travel Related Services (TTRS) membagi empat sektor usaha jasa pariwisata yaitu hotels and restaurants (including catering), travel agencies and tour operators services, tourist guides services dan other. Klasifikasi industri pariwisata lebih lanjut dijelaskan oleh Direktorat Neraca Pembayaran dan Kerja Sama Ekonomi Internasional, Bappenas, membagi jasa internasional ke dalam tiga cara pengklasifikasian6 yaitu: Pertama, klasifikasi sektor jasa dalam neraca pembayaran yang terdiri dari jasa transportasi, travel, komunikasi, konstruksi, asuransi, keuangan, komputer, royalti, dan jasa-jasa lain. Kedua, klasifikasi dari GATs, jasa dibagi dalam dua belas sektor yaitu jasa bisnis, komunikasi, kostruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, pariwisata (tourism), rekreasi kebudayaan dan olahraga, transportasi, dan jasa-jasa lainnya. Ketiga, klasifikasi Central Product Classification yang meliputi jasa konstruksi, jasa distribusi perdagangan, penginapan, pelayanan makanan, transportasi, keuangan, 6
Simatupang, Violetta. 2009. Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia. Bandung: PT ALUMNI. Hal. 78.
penyewaan, real estat, jasa bisnis dan produksi, serta jasa pelayanan individu, komunitas dan sosial. Dalam ketiga jenis klasifikasi tersebut pariwisata tergolong dalam perdagangan jasa. Perdagangan jasa mulai berkembang menjadi industri hampir disetiap negara, khususnya negara berkembang. Industri pariwisata kini menjadi perhatian global dalam hal peningkatan perdagangan bebas maupun peningkatan perekonomian domestik. Menurut Hunzieker dalam Yoeti (2010), yang dimaksudkan dengan industri pariwisata adalah perusahaan yang kegiatannya merupakan kombinasi menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa pelayanan khusus untuk wisatawan. Pendapat ini kemudian didukung oleh pendapat Lickorish dan Kershaw mengenai industri pariwisata,
yaitu
perusahaan-perusahaan
yang
menyediakan
transportasi
(transportations), akomodasi (hotel, motel, resorts), makan dan minuman (foods and Beverages) dan mempersiapkan rencana perjalanan wisata (Travel Agent, dan Tour Operator).7 Pada dasarnya kedua ahli ini menyatakan pariwisata yang dimaksudkan sebagai industri ialah perusahan yang menyediakan jasa wisata yang didalamnya mencakup seluruh pelayanan maupun kebutuhan para wisatawan di destinasi tujuan wisata. Sedangkan menurut Krippendorf, tidak langsung menyebut istilah industri pariwisata, tetapi ia menyebutnya sebagai tourist enterprises, yaitu perusahaan-
7
Yoeti, Oka. A. 2010. Dasar-Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata. Bandung: PT ALUMNI. Hal. 114
perusahaan yang melakukan bisnis menyediakan barang-barang dan pelayanan (good ang services) khusus untuk wisatawan berkunjung di tempat tersebut. 8 Menurutnya, perusahaan penyedia jasa pariwisata lebih dipandang dari segi pemasaran dan promosi yaitu dengan memperhatikan lokasi maupun distribusi untuk menentukan harga yang bersaing. Pemasaran dan promosi ini dikatergorikan dalam perancanaan penjualan. Artinya, industri pariwisata selain memperhatikan berbagai perusahaan penyedia jasa tetapi juga mempertimbangkan pengelolaan atau manajemen perusahaan dari perencanaan hingga pelayanan. Data United Nations World Tourism Organization (UN WTO) menyatakan pariwisata sebagai penyumbang peningkatan perekonomian global, khususnya bagi perekonomian domestik. UN WTO memprediksikan peningkatan jumlah wisatawan sebesar 3,3% setiap tahun dalam rentang waktu 2010 hingga 2013 dengan capaian 1,8 triliun wisatawan pada 2030. Sedangkan ekspektasi jumlah wisatawan internasional oleh UN WTO dalam rentang waktu tersebut mencapai 4,4% dari 2,2% pada negara maju. Artinya, di negara berkembang, industri pariwisata menjadi industri yang menjanjikan dengan ekspektasi 57% pada 2030 dari tahun 2012 yang telah mencapai 47% dalam hal pangsa pasar. Kenyataannya, pariwisata tidak dapat dijauhkan dari unsur industri di mana industri selalu berjalan dinamis dengan persaingan yang semakin mengalami peningkatan. Secara regional ASEAN, industri pariwisata semakin mengalami geliat
8
Yoeti, Oka. A. 2010. Dasar-Dasar Pengertian Hospitaliti dan Pariwisata. Bandung: PT ALUMNI. Hal. 116.
persaingan. Kerjasama antar negara anggota semakin berkembang sehingga memotivasi masing-masing anggota untuk kian meningkatkan industri pariwisata melalui berbagai kebijakan. Oleh karena itu, pariwisata kian menjadi industri yang menjanjikan diantara sektor industri lainnya bagi negara anggota ASEAN dalam menyambut ASEAN Community 2015.
2.1.2.
Daya Saing
Konsep daya saing dapat dilihat dari berbagai perspektif. Pada umumnya konsep daya saing erat hubungannya dengan sektor industri yang berbasis pada knowledge-based economy. Dalam perspektif makro, daya saing merupakan konsentrasi dan tujuan nasional dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Daya saing melibatkan berbagai aspek seperti sosial, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi kinerja nasional dalam pasar internasional. Daya saing dalam skala makro juga diartikan sebagai kemampuan negara dalam memproduksi barang dan jasa dalam pasar internasional dan menghasilkan pendapatan negara dalam jangka panjang. The degree to which a country can, under free and fair market conditions, produce goods and services which meet the tests of international markets while simultaneously maintaining and expanding the real incomes of its people over the
longer term. (Global Competition: The New Reality. Report on the President’s Commission on Industrial Competitiveness, 1985).9 Sedangkan dalam perspektif mikro, Dwyer mendefinisikan daya saing dalam level perusahaan. Perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan ketika perusahaan tersebut mampu mengimplementasikan strategi yang juga dimiliki perusahaan lain dan ketika kompetitor perusahaan tersebut menduplikasi strategi yang sama. Dalam suatu perusahaan contohnya, perusahaan harus dapat menyediakan produk dan layanan kepada konsumen atau klien yang membayar setara dengan apa yang mereka dapatkan. Dalam jangka panjang, daya saing diukur dari kemampuan organisasi dalam mempertahankan bisnis dan melindungi investasi perusahaan demi pemasukan perusahaan, dan juga untuk memastikan ketersediaan pekerjaan di masa yang akan datang. In the long run, in a free enterprise system, competitiveness is measured by the ability of the organisation to stay in business and to protect the organisation’s investments, to earn a return on those investments, and to ensure jobs for the future.10 Berbagai macam perspektif mendefinisikan daya saing dari berbagai aspek. Dalam taraf perusahaan misalnya, daya saing dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan menciptakan keuntungan bagi pemegang saham. Sedangkan dari segi masyarakat, World Economic Forum mendefinisikan daya saing untuk membuka peluang pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Pemasukan 9
Dwyer, L., & Kim, C. (2003). Destination competitiveness: Determinants and indicators. Current Issues in Tourism, 6(5), 369-414. Halaman 371. 10 Ibid. Halaman 372.
negara merupakan hal penting dan sumber inovasi. Pada dasarnya, tujuan utama daya saing adalah untuk meningkatkan pendapatan bagi warga negara yang tercermin dari tingkat standar hidup suatu negara. Sehingga, semakin tinggi standar hidup suatu negara dapat dikatakan negara tersebut memiliki ekonomi yang baik. Akan tetapi yang perku diperhatikan adalah pemerataan ekonomi bagi seluruh warga negaranya. Porter (1990) dalam teori The Competitive Advantage of Nations memaparkan konsep daya saing nasional dan regional dengan memperluas pemahaman dalam hal industri. Industri lokal harus kompetitif secara global sehingga akan berkontribusi pada peningkatan ekonomi nasional. Porter’s diamond model menyatakan ada empat sumber daya nasional dan lokal dan dua faktor eksternal yang mendukung daya saing suatu negara yaitu factor (input) conditions, firm strategy, structure and rivalry, demand conditions, and related and supporting industries. -
Factor conditions adalah posisi negara dalam faktor produksi seperti tenaga kerja terampil dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk industri tertentu.
-
Demand conditions adalah permintaan yang bersifat pasar/lokal dalam produk industri atau jasa.
-
Related and supporting industries adalah ada tidaknya supplier industri nasional dalam pasar internasional.
-
Firm strategy, structure, and rivalry adalah kondisi dimana suatu negara menciptakan, mengorganisir dan mengelola persaingan perusahaan secara domestik (Porter, 1998c, p.166).
Faktor-faktor penentu daya saing nasional dan regional tersebut berkoreasi dengan faktor ekonomi suatu bangsa. Daya saing ditandai dengan dinamika yang melibatkan proses interaksi kompleks antara sosial, politik dan perubahan institusi (Porter, 1998). 2.1.3.
Daya Saing Pariwisata
Konsep daya saing pariwisata bukan hanya terkait dengan sektor ekonomi, tetapi juga terkait langsung dengan aspek sosial dan budaya. Daya saing pariwisata yang didalamnya termasuk industri pariwisata merupakan faktor pendorong pembangunan ekonomi bagi suatu negara. Destinasi pariwisata telah dikembangkan dalam level industri, di mana pengelolaan destinasi melibatkan berbagai aspek sektor dalam level domestik maupun internasional. Hughes (1993) menyatakan two distinct meanings of competitiveness: one is relative efficiency; the other is relative international trade performance (market shares). Bahwa daya saing terkait dengan efisiensi dan market shares melalui perdagangan internasional. Daya saing, khususnya dalam pariwisata dirancang untuk meningkatkan pendapatan negara dalam jangka panjang melalui efek-efek multiplier. Daya saing pariwisata juga merupakan kemampuan menyampaikan potensi dan pelayanan wisata kepada wisatawan lebih baik daripada destinasi yang ditawarkan ditempat lain. Seperti Dwyer (2000a: 9) yang menyatakan ‘tourism
competitiveness is a general concept that encompasses price differentials coupledwith exchange rate movements, productivity levels of various components of the tourist industry and qualitative factors affecting the attractiveness or otherwise of a destination’. Pengukuran variabel daya saing pariwisata seperti jumlah pengunjung, market share, pengeluaran oleh wisatawan, ketersediaan pekerjaan, nilai tambah bagi industri pariwisata hingga variabel pendukung seperti ketersediaan unsur budaya dan kualitas pengalaman berwisata. Daya saing pariwisata adalah sebuah konsep umum yang mencakup perbedaan harga ditambah dengan pergerakan nilai tukar, tingkat produktivitas berbagai komponen industri pariwisata dan faktor-faktor kualitatif yang mempengaruhi daya tarik atau destinasi. Produk wisata juga memiliki definisi berbeda dengan produk ekonomi, wisata menawarkan produk bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga pengalaman yang diberikan maupun dinikmati oleh wisatawan. ‘… a tourism destination may be regarded as ‘an amalgam of individual products and experience opportunities that combine to form a total experience of the area visited’(Murphy et al., 2000:44). Wisatawan membayar produk wisata dalam bentuk pengalaman individu dari masyarakat atau tempat tujuan wisata. Daya saing pariwisata juga berhubungan langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat suatu negara. Pertumbuhan pariwisata yang pesat akan meningkatkan penghasilan masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang terlibat dalam wilayah wisata. Lebih jauh Poon (1993) memyatakan prinsip di mana destinasi pariwisata dapat kompetitif apabila memenuhi prinsip berikut: memprioritaskan unsur lingkungan, menciptakan
pariwisata sebagai sektor unggulan, menguatkan jaringan distribusi dalam pasar dan membangun sektor privat yang dinamis. Tentu saja keempat prinsip ini ditujukan bagi pembuat kebijakan dan berbagai stakeholders. Dwyer membedakan keunggulan kompetitif dengan keunggulan komparatif dalam hal daya saing. Keunggulan kompetitif umum digunakan oleh perusahaan atau organisasi dalam lingkup sempit. Sedangkan keunggulan komparatif merupakan sumber daya saing dalam level internasional. Daya saing pariwisata misalnya, keunggulan kompetitif terletak pada sumber daya alam yang mencakup bentang alam, flora, fauna dan lainnya. Sedangkan keunggulan kompetitif dilihat dari infrastruktur wisata, kualitas manajemen, kebijakan pemerintah dan lainnya. Dalam konteks pariwisata, keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif merupakan hal penting, sehingga daya saing destinasi pariwisata harus menerapkan keduanya. Ritchie and Crouch (2003) menyatakan bahwa kualitas pariwisata berhubungan dengan sumber daya/atraksi inti destinasi sesuai dengan daya tarik pasar dan
motivasi
utama
untuk
berkunjung
ke
destinasi
wisata.
Destination
competitiveness tergantung pada destination’s policy, planning and development; destination’s management; qualifying factors dan supporting factor and/or resources. Destination’s policy, planning and development merupakan keputusan pembuat kebijakan pada destinasi wisata. Rencana strategis merupakan kunci penting dalam pengembangan destinasi wisata selain perumusan visi, regulasi, aturan dan promosi. Destination’s management dilakukan dalam level mikro oleh individu maupun kolektif. Keberhasilan manajemen destinasi adalah pada kontribusi secara
berkala pada destinasi wisata dan kontribusi pada lingkungan. Qualifying factors merupakan peningkatan, modifikasi ataupun mengarahkan kapasitas destinasi. Sedangkan suppporting factor adalah faktor pendukung dalam industri pariwisata yang juga sebagai daya tarik pasar. Daya saing dipengaruhi oleh lingkungan global (makroekonomi) yakni aspek ekonomi, politik, sosial-budaya serta iklim, demografi, teknologi dan lainnya; dan lingkungan kompetitif (mikroekonomi) yakni aktifitas bisnis dan sistem pariwisata. Model daya saing pariwisata yang dikembangkan oleh Dwyer and Kim (2003) mencakup national competitiveness, company competitiveness dan tourism destination competitiveness. Berbeda dengan model Ritchie and Crouch di mana aspek manajemen destinasi hanya dilakukan oleh level mikro, model Dwyer and Kim menyatakan aspek manajemen destinasi merupakan kewenangan sektor publik di mana sektor publik bertanggung jawab mengembangkan pariwisata nasional (regional), strategi pemasaran dan promosi, program pelatihan staf nasional maupun regional dan lainnya. Sedangkan sektor privat berperan dalam pengembangan bisnis untuk mendukung aktifitas promosi maupun pengembangan destinasi. Prahalad and Hamel dalam Barney (1991) menyatakan “private- and public-sector organisations ‘supporting’ tourism activity that possess a collection of specific skills not easily imitable by rivals can be an important source of sustained competitive advantage” bahwa sektor privat dan sektor publik berkolaborasi untuk mengembangkan keunggulan kompetitif dalam peningkatan skill dan segala aspek pendukung aktifitas pariwisata. Dwyer and Kim memperkenalkan model baru yaitu ‘demand conditions’
bahwa daya saing destinasi bukan hanya tujuan akhir dari kebijakan ekonomi, tetapi lebih pada prasyarat dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi jangka panjang.11 Demand conditions yang dimaksud antara lain mencakup kesadaran akan potensi permintaan wisatawan, persepsi permintaan destinasi hingga preferensi permintaan. Ketiga hal ini terkait dengan kelayakan kegiatan promosi yang dilakukan suatu destinasi wisata. Ernie Heath (2003) juga mengembangkan model daya saing destinasi pariwisata yang diibaratkan sebagai rumah yang mencakup fondasi, semen, blok bangunan dan atap : -
Fondasi merupakan basis penting dalam daya saing. Termasuk didalamnya Providing and Managing the Key Attractors (sejarah, budaya, iklim, events, hiburan), Optimising the Comparative and Competitive Advantages, Addressing the Fundamental Non-negotiables (personal, keamanan dan isu kesehatan), Providing the Enablers (infrastruktur, bandara, jalan raya, papan penanda), Capitalising on the ‘Value Adders’ (lokasi, nilai dan jaringan destinasi), Ensuring Appropriate Facilitators (kelayakan kapasitas maskapai, akomodasi, distribusi jaringan), Focusing on the Experience Enhancers (keramahan, pelayanan prima, pengalaman otentik)
-
Semen merupakan pengikat dan penghubung dalam daya saing termasuk didalamnya komunikasi jaringan yang transparan dan terus-menerus, keterlibatan dan keuntungan stakeholder yang seimbang secara langsung dan
11
Limitation and approach. Hal. 142.
tidak langsung, manajemen informasi, penelitian dan prediksi dan mengelola indikator dan tolok ukur daya saing. -
Blok bangunan merupakan esensi pariwisata yang terbentuk dalam suatu destinasi. Termasuk didalamnya Sustainable Development Policy and Framework (kerangka kerja kebijakan dan legislatif, kerangka kerja organisasi dan keuangan, sumber daya dan kemampuan, iklim investasi, prinsip lingkungan berkelanjutan) dan Strategic and Holistic Destination Marketing Framework and Strategy (tampilan dan branding destinasi, posisi daya saing, target pemasaran/manajemen permintaan, strategi inovasi pemasaran, manajemen kepuasan pengunjung).
-
Atap merupakan kunci successdrivers yaitu pihak yang terlibat dalam daya saing destinasi seperti visi pariwisata bersama, penempatan strategi prioritas (political will, entrepreneurship, community focus and human resources development). Konsep peningkatan pariwisata dalam hal daya saing menggunakan beberapa
pendekatan salah satunya dengan meningkatkan keunggulan daya saing (competitive advantage). Michael E. Porter (2004) menyebutkan bahwa competitive advantage membutuhkan faktor-faktor pembangun, seperti:12 a. Cost advantages b. Differentitation c. Business linkages 12
Muljadi, A.J. 2010. Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 80-82
d. Services e. Infrastructures f. Technology g. Human resources Faktor pembangun keunggulan daya saing wisata ini diadopsi dalam pengembangan pariwisata dalam hal pengelolaan dan pemasaran. Porter menyatakan bahwa industri pariwisata tidak harus kompetitif seketika secara global, tetapi melalui strategi perluasan industri lokal dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, yang kemudian berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. Tourism Destination Competitiveness atau TDC adalah produktifitas relatif suatu destinasi pariwisata dalam proses memproduksi dan mengirimkan produk serta pelayanan pariwisata yang bertujuan untuk mempertahankan efisiensi dan/atau meningkatkan pangsa pasar nasional juga internasional.13 TDC juga menjelaskan mengenai
bagaimana
destinasi
pariwisata
mampu
berdaya
saing
dengan
memperhatikan faktor peningkatan standar hidup bagi orang-orang yang tinggal disekitarnya. TDC has focused on building a general model to explain how a nation or region can improve tourism competitiveness as a tourism destination by examining the factors in domestic environments.14 Pengembangan pariwisata berhasil apabila
13
Kim, Namhyun. Development From Champaign. hal. 15. 14 Kim, Namhyun. Development From Champaign. hal. 6.
2012. Tourism Destination Competitiveness,Globalization, and Strategic a Development Economics Perspective. University of Illinois at Urbana2012. Tourism Destination Competitiveness,Globalization, and Strategic a Development Economics Perspective. University of Illinois at Urbana-
mampu menciptakan efek berkelanjutan bagi lingkungan disekitarnya melalui pengelolaan skala domestik. Faktor penentu TDC yaitu : a.
Core resources and attractions
Sumber daya dan atraksi inti merupakan faktor penentu utama dalam penyediaan produk pariwisata. This is the most important determinant of tourism destination competitiveness (Bahar & Kozak, 2007; Crouch & Ritchie, 1999; Dwyer & Kim, 2003; Enright & Newton, 2004, 2005; Hong, 2009; World Economic Forum, 2011; Namhyun, 2012). Selain itu core resources and attractions merupakan faktor yang menentukan produk pariwisata yang akan ditawarkan dan dikembangkan. Atraksi inti merupakan poin penting dalam pariwisata di mana produk wisata adalah destinasi tujuan wisata itu sendiri. Visitor attractions are at the heart of the tourism industry, they are motivators that make people want to take a trip in the first place (Swarbrooke, 2000: 267). Ketertarikan wisatawan terhadap suatu wilayah adalah faktor pendorong utama dalam melakukan perjalanan wisata. Selain itu, Richards (2001: 4) menyatakan bahwa daya tarik wisata adalah hal yang mampu menyajikan aktifitas bagi pengunjung. Points out that while it can be argued that attractions do not always literally ‘attract’ visitors, they ‘certainly do provide a focus for much tourist activity, and are an essential weapon in the arsenal of tourism destinations engaged in a competitive struggle for tourist business’. Daya tarik wisata merupakan senjata yang ampuh bagi destinasi pariwisata yang terikat dengan daya saing industri pariwisata. Sehingga pentingnya sumber daya dan daya tarik wisata dalam menentukan daya saing pariwisata bukan sekedar menentukan destinasi tetapi juga
produk wisata apa yang layak ditawarkan kepada wisatawan. Determinan ini meliputi sumber daya alam, sumber daya budaya dan sumber daya buatan. i.
Natural resources/sumber daya alam
Merupakan keunggulan komparatif suatu daerah wisata yang mengutamakan karakteristik bentang alam maupun sumber daya alam. Kekayaan alam suatu daerah tidak dimiliki oleh wilayah lain karena sifatnya natural/alami. Natural or inherited tourist attractions are those which were not created by man for the purpose of tourist exploitation, but by the actions of natural forces (e.g. climate, ecological and relief characteristics of the area)15. Berbeda dengan sumber daya buatan, sumber daya alam sebagai daya tarik adalah kekayaan alam dan tidak diperuntukkan untuk eksploitasi. Natural resources identik dengan gunung, pegunungan, ngarai, danau, pantai dan sungai. Selain itu keberadaan iklim, ekologi hingga karakter relief suatu wilayah yang unik menjadi daya tarik destinasi wisata. The natural resources of a destination define the environmental framework within which the visitor enjoys the destination (Dwyer and Kim, 2003: 380). Aset fisik suatu wilayah juga berpotensi sebagai daya tarik. Hal yang paling penting bahwa wisatawan dapat menikmati destinasi dari segi keanekaragaman yang disajikan oleh lingkungan, termasuk didalamnya kekayaan flora dan fauna. Pentingnya sumber daya alam sebagai daya tarik wisata mempengaruhi kepuasan wisatawan dalam berwisata ‘.. a destination's endowment of natural resources is crucial for many forms of 15
Krešić, Damir. 2007. Tourism Destination Atrractiveness Factors in The Function of Competitiveness. Acta Turistica, Vol. 19, No. 1 (June 2007), pp. 45-82. University of Zagreb. Halaman 51.
tourism and visitor satisfaction’ (Buckley, 1994; Dunn & Iso-Ahola, 1991). Daya tarik alam menjadi hal yang krusial dalam memotivasi wisatawan dalam berkunjung ke suatu wilayah. ii.
Cultural resources/sumber daya budaya
Lingkungan masyarakat dalam lingkungan alam di suatu objek wisata merupakan lingkungan budaya yang menjadi pilar penyangga kelangsungan hidup suatu masyarakat. Oleh karena itu lingkungan budaya inipun kelestariannya tak boleh tercemar oleh budaya asing, tetapi harus ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan kenangan yang mengesankan bagi setiap wisatawan yang berkunjung.16 Sumber daya dan daya tarik budaya dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu pariwisata budaya dan pariwisata etnik. Keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama. Untuk memahami pariwisata budaya dapat dilihat dari dua perspektif yaitu dari perspektif etnografi dan perspektif antropologi. Perspektif etnografi salah satunya menyatakan bahwa cultural tourism can be defined as ‘a genre of special interest tourism based on the search for and participation in new and deep cultural experiences, whether aesthetic, intellectual, emotional, or psychological’ (Reisinger, 1994:24). Dari segi antropologi, culture is much more than the rituals, ceremonies and dances residents might perform for tourists at cultural centres or visitor attractions. The richer meaning of culture refers to those activities associated with many private and unknown traditions that are part of the local person’s daily life.
16
Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: ANDI. Halaman 24.
Fridgen (1996) menekankan budaya pada esensi aktifitas kehidupan sehari-hari yang dapat dilakukan bersama masyarakat lokal. Sedangkan pariwisata etnik didefinisikan sebagai sudut pandang wisatawan terhadap fenomena gaya hidup masyarakat dari segi fisik seperti bentuk rumah, kerajinan, alat pertanian dan gaya berpakaian masyarakat didaerah tujuan wisata. Ethnic tourism is defined as the absorption by tourist of features resembling the lifestyles of societies observed through such phenomena as house styles, crafts, farming equipments and dress (Smith, 1989). Bentuk daya tarik wisata lainnya adalah heritage tourism. Heritage tourism may be promoted as part of special interest tourism, it ia a form of tourism that has been visible for as long as the concept of tourism has received academic attention.17 Merupakan konsep pariwisata yang dikembangkan dan diakui secara global. ‘World Heritage status represents the pinnacle of international efforts to identify and conserve some of the most significant cultural and natural heritage sites in the world, …’.18 Heritage tourism merupakan kombinasi situs alam dan situs budaya yang diupayakan untuk konservasi. iii.
Created resources/sumber daya buatan
17
Boyd, Stephen W. 2003. Marketing challenges and opportunities for heritage tourism dalam Managing Visitor Attractions. United Kingdom: Elsevier Butterworth-Heinemann. Halaman 190 18
Hall, Michael C. and Rachel Piggin. 2003. World Heritage sites: managing the brand dalam Managing Visitor Attractions. United Kingdom: Elsevier Butterworth-Heinemann. Halaman 204
Sumber daya buatan bertujuan untuk meningkatkan daya tarik wisata alam maupun budaya. Wisata buatan dapat diciptakan secara tunggal tanpa bertujuan sebagai penunjang wisata lain. Dengan menyediakan keanekaragaman dan keunikan wisata yang sengaja dibuat dapat dijadikan ikon suatu wilayah. Wisata ini dapat berupa festival yang dikombinasikan dengan hiburan, pertunjukkan dan belanja. Selain itu bangunan fisik wisata seperti wahana bermain dan museum juga menjadi daya tarik wisata. Porter (1990) dalam teori competitive advantage menyatakan lima tipe sumber daya yang mempengaruhi daya saing destinasi suatu negara. Sumber daya tersebut termasuk dalam sumber daya buatan ataupun bangunan yang sengaja dibentuk untuk meningkatkan daya saing destinasi. Yang termasuk dalam 'created ' or 'built' resources tersebut adalah tourism infrastructure, special events, range of available activities, entertainment and shopping. Hal serupa juga didukung oleh Damir (2007) bahwa daya tarik buatan merupakan buatan manusia yang dikembangkan secara sistematis. Selain itu daya tarik buatan juga bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dari sektor pariwisata itu sendiri “created or produced tourist attractions form a group of tourist resources which are partly or completely created by man and
are developed systematically and methodically for the purpose of
economic and tourism exploitation (events, manifestations and entertainment in destinations, and similar)”19.
19
Krešić, Damir. 2007. Tourism Destination Atrractiveness Factors in The Function of Competitiveness. Acta Turistica, Vol. 19, No. 1 (June 2007), pp. 45-82. University of Zagreb. Halaman 51.
b.
Complementary conditions
Merupakan nilai tambah destinasi serta faktor-faktor pendukung lainnya. Beberapa nilai tambah dalam destinasi yang dimaksud adalah infrastruktur umum, aksesibilitas, keramahtamahan, teknologi dan inovasi. Infrastruktur terdiri dari: i.
Tourism infrastructures
Merupakan infrastruktur umum yang disediakan pengelola wisata dan terkait semua hal yang dibutuhkan langsung oleh wisatawan. Infrastruktur ini seperti hotel, food services, transportasi, travel, sarana perbelanjaan dan lainnya. Infrastruktur pariwisata juga terkait dengan kemudahan wisatawan dalam mengakses wisata. Tourism infrastructure includes features such as accommodation facilities, food services, transportation facilities, themed attractions, fast food outlets, taverns/bars and receptive tourism plant, tour wholesalers, tour operators, travel agents, car rental firms, local convention and visitor bureaux. Tourism also relies on the provision of numerous ancillary services. Related services infrastructure includes retail shopping facilities, food stores, garages (car maintenance, petrol stations), pharmacies, bookstores/newsagents/kiosks, laundries, hairdressers, administration offices (police, courts etc.)20. Esensi infrastruktur yang disediakan ditempat tujuan wisata adalah pelayanan dan manajemen pariwisata. Selain pelayanan, akomodasi menjadi sangat penting sebagai faktor pendukung ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan. Bisa jadi 20
Dwyer, L., & Kim, C. (2003). Destination competitiveness: Determinants and indicators. Current Issues in Tourism, 6(5), 369-414. Halaman 381.
fasilitas yang telah disebutkan diatas menjadi hal yang primer dibutuhkan wisatawan selain tujuan destinasi wisata. Pelayanan dari pihak pemerintah juga perlu diperhatikan seperti pusat informasi dan kantor administrasi ang dikelola secara profesional. ii.
General infrastructures
Kesiapan sarana dan prasarana pariwisata menjadi salah satu pertimbangan penting bagi wisatawan dalam memilih destinasi wisata. Kelengkapan infrastruktur seperti jalan, fasilitas umum dan informasi menjadi faktor pendukung kemudahan akses pariwisata. Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata, baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah dan di bawah tanah.21 Infrastruktur yang memadai dan terlaksana dengan baik di daerah tujuan wisata akan membantu meningkatkan fungsi sarana wisata, sekaligus membantu masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Faktor penentu infrastruktur adalah sebagai berikut :
Air infrastructure/infrastruktur bandara. Pentingnya kelengkapan dan kelayakan sarana bandara dalam menunjang pariwisata adalah aksesibilitas bagi wisatawan lintas wilayah. Ada atau tidaknya penerbangan ke destinasi wisata hingga fasilitas bandara yang memenuhi standar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemenuhan
ketersediaan
infrastruktur
bandara
selain
kualitas
infrastruktur dan transportasi udara yakni kapasitas pengangkutan 21
Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: ANDI. Halaman 23.
penumpang domestik maupun internasional, jumlah penerbangan dalam jangka waktu dan populasi tertentu, kondisi bandara, ketersediaan maskapai yang dikelola domestik hingga jaringan penerbangan lintas negara. Pentingnya memperhatikan jaringan penerbangan lintas negara adalah karena pariwisata melibatkan multiactor regional maupun global. Artinya, jaringan penerbangan berguna untuk berbagai sektor salah satunya sebagai pendukung sektor pariwisata.
Ground infrastructure/infrastruktur darat. Infrastruktur darat terkait dengan kelayakan sarana jalan raya, jembatan dan sarana fisik lainnya. Tidak hanya jalan raya tetapi juga transportasi penunjang seperti bus, kereta maupun kendaraan darat lainnya. Robbins (2003: 90) menyatakan ‘..it is important for visitor attractions to collect market research information, including the mode of transport used by their visitors. Although many elements of access are beyond the control of the visitor attraction (such as the capacity of the local road network), the attraction needs to establish its infrastructure requirements, most notably car parking facilities.’ Wisatawan menghendaki kemudahan akses menuju destinasi wisata, salah satunya dengan ketersediaan transportasi.
Information, Communication and Telecomunication/ ICT. Akses menuju destinasi wisata semakin berkembang melalui inovasi
teknologi. Alat komunikasi yang memanfaatkan teknologi berguna untuk promosi hingga akses personal pada destinasi pariwisata. Selain memperhatikan penggunaan teknologi, inovasi pada teknologi menjadi hal yang krusial dalam pengembangan pariwisata oleh pelaku bisnis wisata pada private sector maupun pemerintah. Dalam Laporan The Travel and Tourism Competitiveness, komponen daya saing ICT mengkombinasikan lima indikator yaitu business internet use, internet users, telephone lines,broadband internet subscribers, and mobile telephone subscribers. c.
Destination management
Manajemen destinasi adalah berbagai aktifitas bertujuan untuk menunjang faktor sumber daya dan atraksi inti yang dapat meningkatkan kualitas dan keefektifan complementary conditions serta mencegah berbagai faktor eksternal. Pemasaran destinasi, perencanaan dan pengembangan destinasi, pelayanan, manajemen sumber daya manusia dan manajemen lingkungan adalah indikator penentu dalam manajemen destinasi. d.
Demand conditions
Faktor kondisi permintaan ini dipengaruhi oleh permintaan pasar terkait produk dan pelayanan wisata. Permintaan wisata tidak hanya mempengaruhi pasar domestik tetapi juga internasional. Permintaan pasar wisata ini seperti daya saing harga, kondisi domestik hingga pilihan destinasi pariwisata.
Masing-masing faktor penentu daya saing destinasi tersebut diatas mengkombinasikan variabel-variabel yang tercantum dalam Travel and Tourism Competitiveness Index. Travel and Tourism Competitiveness Index atau TTCI yang dirilis World Economic Forum juga menyusun indeks pengukuran daya saing pariwisata. TTCI bertujuan untuk mengukur berbagai faktor dan kebijakan terkait pengembangan sektor travel dan pariwisata diberbagai negara. Indeks pengukuran terbagi dalam tiga kategori besar yaitu the Travel and Tourism regulatory framework, the T&T business environment and infrastructure dan the T&T human, cultural, and natural resources. Selanjutnya kategori tersebut terbagi dalam empat belas pilar yang terdiri dari aturan dan kebijakan, environmental sustainability, keselamatan dan keamanan, kesehatan dan kebersihan, skala prioritas sektor travel dan pariwisata, infrastruktur bandara, infrastruktur darat, infrastruktur pariwisata, infrastruktur TI, daya saing tarif, sumber daya manusia, kedekatan travel dan pariwisata, sumber daya alam dan sumber daya budaya. Indek daya saing ini dirangkum dalam penilaian dengan skala 1-7. Keempat belas pilar tersebut kemudian diperinci dalam 72 indikator untuk menentukan
ukuran
daya
saing
masing-masing
negara.
Laporan
tahunan
menggunakan indeks daya saing ini dilakukan dalam World Economic Forum seperti dalam laporan berjudul “The ASEAN Travel & Tourism Competitiveness Report” tahun 2012 lalu.
2.2. Kerangka Pikir
Gambar 2.1.
Kerangka Pikir Penelitian
Penelitian ini memaparkan hubungan antar variabel yang mempengaruhi daya saing pariwisata. Faktor penentu daya saing pariwisata Indonesia dalam penelitian ini adalah lama tinggal wisatawan dan jumlah kunjungan wisatawan. Sedangkan daya saing pariwisata secara umum dipengaruhi oleh aturan kebijakan dan regulasi, keselamatan dan keamanan serta kesehatan dan higenitas yang memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Faktor dan indikator daya saing pariwisata yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indeks daya saing pariwisata yang dipublikasikan Travel and Tourism Competitiveness Index.
Kajian regulasi kebijakan pairiwisata bersifat nasional dan regional. Regulasi kebijakan nasional dalam penelitian ini adalah regulasi kebijakan pariwisata Indonesia yang terkait daya saing pariwisata ASEAN. Selain itu, kajian regulasi pariwisata negara lain yang dikombinasikan dengan regulasi kebijakan pariwisata regional untuk mengetahui ada atau tidaknya dukungan terhadap daya saing pariwisata ASEAN.
2.3. Definisi Konsep dan Operasional 2.3.1.
Definisi Konsep
Penelitian ini menggunakan konsep daya saing pariwisata Indonesia yang diukur menggunakan indikator daya saing pariwisata internasional. Daya saing pariwisata adalah konsep perbedaan kualitas produk pariwisata yang mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke suatu negara mencakup faktor lingkungan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan pangsa pasar nasional juga internasional guna berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. Berikut konsep daya saing pariwisata Indonesia dalam penelitian ini: 1.
Lama tinggal wisatawan
Lama tinggal atau lama kunjungan wisatawan ke suatu negara merupakan faktor yang mempengaruhi daya saing pariwisata yang berdampak pada penerimaan jumlah devisa negara dari pengeluaran wisatawan.
2.
Jumlah kunjungan wisatawan
Jumlah kunjungan wisatawan ke suatu negara menunjukkan eksistensi dan pengelolaan sektor pariwisata oleh pemerintah yang mampu mendorong wisatawan berkunjung ke negara tersebut. Ditunjukkan melalui indikator : a. Aturan kebijakan dan regulasi b. Keselamatan dan keamanan c. Kesehatan dan higenitas
3. Lingkungan kebijakan pariwisata Lingkungan kebijakan pariwisata merupakan faktor eksternal maupun internal yang memungkinkan kebijakan pariwisata suatu kawasan yang mempengaruhi perubahan kebijakan domestik. Lingkungan kebijakan dalam penelitian ini adalah kebijakan regional ASEAN dan kebijakan pariwisata nasional.
2.3.2.
Definisi Operasional
Berdasarkan definisi konsep tersebut, faktor yang digunakan untuk mengukur tingkat daya saing pariwisata Indonesia melalui banyaknya jumlah kunjungan wisatawan. Berikut merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. 1.
Aturan kebijakan dan regulasi
Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan yang mendorong peningkatan jumlah wisatawan maupun dalam membuka jaringan terhadap kebijakan regional hingga internasional. Sedangkan regulasi adalah peraturan yang bersifat ke dalam atau peraturan yang berlaku pada suatu negara. a. Persyaratan bebas visa bagi wisatawan mancanegara b. Keterbukaan negara terhadap Perjanjian Pelayanan Udara c. Prioritas pemerintah terhadap industri pariwisata d. Efektifitas pemasaran dan pengiklanan pariwisata
2.
Keselamatan dan keamanan
Keselamatan dan keamanan merupakan pelayanan pemerintah terhadap penjaminan keselamatan dan keamanan bagi wisatawan. Faktor ini dilihat dari kontribusi peran polisi dan minimnya jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas. a. Pelayanan polisi b. Angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas
3.
Kesehatan dan higenitas
Kesehatan dan higenitas merupakan elemen yang dipertimbangkan wisatawan untuk berkunjung ke suatu negara. Merupakan tingkat kebersihan suatu negara dalam menyediakan sanitasi yang layak dan kemudahan akses air minum bagi wisatawan.
a. Tingkat akses pada sanitasi b. Tingkat akses pada kebutuhan air minum
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian mixed-methods. Metode penelitian ini menggunakan kombinasi penelitian kualitatif dan kuantitatif. Mixed methods merupakan perpaduan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Creswell & Plano Clark dalam Putra & Hendarman (2013:48) menguraikan penelitian campuran atau mixed methods merupakan pendekatan penelitian yang mengombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kualitatif dan bentuk kuantitatif. Pendekatan ini melibatkan asumsi-asumsi filosofis, pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dan percampuran (mixing) kedua pendekatan tersebut dalam satu penelitian. Penggunaan mixed methods dalam penelitian ini mengutamakan pendekatan kualitatif di mana teknik pengumpulan data dan teknik analisis data menerapkan proses-proses penelitian kualitatif. Sedangkan pendekatan kuantitatif diterapkan dalam penggunaan data statistik dari hasil literature review yang diolah menggunakan alat uji statistik. Penelitian ini menggunakan metode analisis data sekunder (ADS). Analisis data sekunder (ADS) atau sering disebut secondary data analysis atau existing statistic
merupakan metode analisis yang perolehan data berasal dari instansi atau lembaga tertentu. Peneliti memanfaatkan data yang telah ada dan mengolahnya sedemikian rupa. Alasan pemilihan ADS dalam penelitian ini adalah kesesuaian ADS yang dapat dilakukan secara sederhana untuk menghubungkan beberapa variabel penelitian. ADS juga memanfaatkan data dari berbagai sumber sehingga dapat digunakan untuk meneliti fenomena sosial dalam lingkup yang luas seperti lingkup regional, khususnya ASEAN. Sedangkan pendekatan kualtitatif menggunakan studi pustaka. Studi pustaka (atau sering disebut juga studi literature –literature review) merupakan sebuah proses mencari berbagai literatur, hasil kajian atau studi yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.22 Literature review dilakukan dengan mengkaji datadata sekunder yang akan dijadikan sebagai sumber data primer dalam penelitian. Jenis penelitian ini digolongkan berdasar tujuannya menggunakan pendekatan deskriptif di mana penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran mengenai suatu gejala sosial yang akan menjadi bahan penyelidikan. Pengumpulan data melalui informasi dan pengetahuan dalam pendekatan deskriptif berhubungan dengan frekuensi maupun karakteristik dari suatu gejala sosial. Studi deskriptif memiliki berbagai tujuan antara lain: deskripsi mengenai gejala atau ciri-ciri yang berkaitan
22
Martono, Nanang. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Halaman 46.
dengan suatu populasi tertentu, estimasi atau perkiraan mengenai proporsi populasi yang mempunyai ciri-ciri tersebut.23 3.2. Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah negara. Negara yang dimaksud adalah Indonesia yaitu sebagai dasar unit analisis yang akan dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya yakni Malaysia, Singapura dan Thailand. 3.3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder sesuai dengan jenis dan pendekatan penelitian. Data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber instansi atau lembaga pemerintah ataupun swasta. Data sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh orang di luar peneliti sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data asli (Habibi, 2010:60). Dapat dikatakan bahwa data primer penelitian ini merupakan data pustaka atau hasil dari literature review. Walaupun data pustaka tergolong dalam data sekunder, dalam penelitian ini akan data pustaka akan diposisikan sebagai data primer.
Data
kepustakaan ini meliputi jurnal, buku, artikel, surat kabar dari media cetak maupun online serta data statistik dari masing-masing negara terkait. Data sekunder yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari dua kategori yakni situs resmi dan situs independen. Situs resmi diakses pada negara ASEAN untuk
23
Silalahi, Uber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. Halaman 29.
mendapatkan data berupa data statistik terkait variabel penelitian. Adapun situs resmi beberapa negara yang digunakan antara lain :
Biro statistik Indonesia : http://www.bps.go.id/
Biro statistik Malaysia: http://statistics.gov.my/
Biro statistik Singapura: http://www.singstat.gov.sg/
Biro pariwisata Thailand: www.tourismthailand.org/
Selain itu, situs independen yang akan digunakan adalah data resmi organisasi internasional seperti United Nations-World Tourism Organization atau UN WTO, The Travel and Tourism Competitiveness Report dari World Economic Forum, ASEAN Statistical Yearbook maupun ASEAN Tourism Statistic Database. Lebih lanjut masing-masing variabel memiliki indikator yang digunakan sebagai basis pencarian data. Masing-masing negara memiliki kondisi statistik database sesuai variabel dan indikator penelitian di mana kondisi tiap negara berbeda. Data ini yang akan menjadi pembanding data yang dimiliki Indonesia untuk mengetahui tingkat daya saing pariwisata.
3.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui teknik dokumentasi pada data statistik atau data sekunder yang diperoleh. Walaupun data yang diperoleh dalam bentuk kuantitatif atau statistik, teknik pengumpulan tetap menggunakan metode kualitatif yakni mengelompokkan sesuai kategori untuk dilakukan penjabaran atau deskripsi data. Selanjutnya pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka atau
literature review. Literature review yang dilakukan dengan mengakses situs resmi pemerintah negara terkait yang mencakup seluruh negara anggota ASEAN. Apabila ketersediaan situs resmi ini terbatas, peneliti akan menggunakan data resmi dari organisasi resmi internasional yang menyediakan data yang relevan. Data utama penelitian ini adalah Laporan Travel and Tourism Competitiveness Index tahun 2013. Selanjutnya data pendukung merupakan data indikator pariwisata Indonesia yang diakses secara online maupun manual. Selain pengumpulan data melalui akses situs resmi, pengumpulan data dilakukan dengan mengkaji buku, jurnal, artikel, surat kabar dan rujukan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan menggunakan software SPSS yakni menggunakan alat uji Pearson Correlation atau Korelasi Pearson. Korelasi Pearson berfungsi untuk menjelaskan kecenderungan hubungan antara dua variabel. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui korelasi antara variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang digunakan adalah Laporan Travel and Tourism Competitiveness Index, yakni pada subindex aturan kebijakan dan regulasi, keselamatan dan keamanan serta kesehatan dan higenitas, di mana ketiganya diturunkan dalam indeks sebagai indikator daya saing pariwisata. Indeks ini berupa skor atau nilai beberapa negara dengan peringkat seluruh dunia. Data penelitian ini merupakan data skor masing-masing indeks daya saing pariwisata Indonesia dari tahun 2007 hingga 2013. Akan tetapi, data tahun 2010 tidak ditemukan. Selanjutnya data yang telah terkumpul diuji menggunakan software SPSS dengan alat uji statistik Korelasi Pearson.
Pengolahan data menggunakan Korelasi Pearson dilakukan menggunakan software SPSS 17.0. Data yang digunakan adalah indikator berupa skor dari tahun 2007 hingga 2013. Indikator daya saing pariwisata terdiri dari persyaratan bebas visa bagi wisatawan mancanegara, keterbukaan negara terhadap Perjanjian Pelayanan Udara, prioritas pemerintah terhadap industri pariwisata, pemasaran dan pengiklanan pariwisata, pelayanan polisi, angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas, akses sanitasi dan akses terhadap air minum. Sedangkan daya saing pariwisata Indonesia menggunakan indikator jumlah kunjungan wisatawan pada tahun yang sama. Gambar 3.1.
Tampilan Data View
Data penelitian dimasukkan dalam jendela “Data View” seperti tampak pada gambar diatas. Data dikelompokkan sesuai indikator yang akan digunakan secara berurutan sesuai tahun dan skor. Gambar 3.2.
Tampilan Variable View
Selanjutnya pada jendela “Variable View” akan nampak klasifikasi data dengan pengaturan tipe, lebar, angka desimal, nilai, banyaknya kolom dan pengukuran hasil output data. Tampilan tersebut akan secara otomatis muncul ketika pengisian data pada “Data View” telah lengkap. Untuk mengetahui hasil pengolahan dilakukan langkah seperti yang tertera pada gambar dibawah ini. Gambar 3.3.
Tampilan Jendela Analyze
Pilih menu “Analyze” → “Correlate” → “Bivariate”. “Bivariate” menunjukkan hubungan antar dua variabel atau lebih dalam pengolahan data. Langkah selanjutnya menentukan variabel mana yang akan diolah terlebih dahulu.
Gambar 3.4.
Tampilan Jendela Bivariate Correlations
Pada jendela “Bivariate Correlations” muncul kolom “Variables” yang digunakan untuk menganalisis variabel yang dijadikan basis penelitian. Pilih dua variabel yang akan diuji hubungan yakni jumlah kunjungan wisatawan sebagai indikator daya saing pariwisata Indonesia dengan variabel lain yang merupakan indikator daya saing pariwisata. Pada kotak “Correlation Coefficients” beri tanda centang pada “Pearson”. Sedangkan pada kotak “Test of Significance” beri tanda centang pada “Two-tailed” lalu klik “OK”. Maka output pengolahan Korelasi Pearson yang didapatkan adalah sebagai berikut. Gambar 3.5.
Tampilan Contoh Output 1
Output data Korelasi Pearson dengan ditentukan tingkat signifikansi atau α sebesar 15% atau 0.15. Tingkat signifikansi merupakan tingkat kepercayaan penelitian atau batas hasil nilai uji yang ditentukan oleh peneliti. Tingkat signifikansi ini disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian sosial tingkat signifikansi hingga 30% masih dapat diterima, berbeda dengan penelitian sains yang tidak dapat menerima tingkat signifikansi terlalu tinggi. 3.5. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif dari hasil uji statistik Korelasi Pearson. Setelah dilakukan uji statistik dengan Korelasi Pearson, analisis dilakukan secara mendalam pada tiap indikator daya saing pariwisata Indonesia. Analisis statistik Pearson Correlation di mana mengutamakan literature review sebagai basis pengumpulan data sehingga analisis yang digunakan adalah analisis data sekunder atau ADS. Menurut Chadwick (1991: 301) ada tiga langkah utama dalam analisis sekunder, yaitu (1) merancang pengumpulan data, (2) mengidentifikasi
dan mengatasi masalah bias dan kekeliruan dalam perangkat data yang dipilih, dan (3) memilih indikator-indikator dan komponen indeks dalam penelitian yang tidak dirancang untuk digabungkan atau bahkan barangkali untuk mengukur konsep yang menarik perhatian peneliti sekunder. Analisis data sekunder ini digolongkan dalam data kuantitatif yakni mengutamakan data statistik yang akan diolah dalam bentuk deskriptif. Selanjutnya data hasil literature review ini akan diinterpretasikan secara kuantitatif. Pengolahan data statistik akan dikolaborasikan dalam tahapan analisis kuantitatif-deskriptif. Analisis yang dilakukan dengan melihat hasil analisis Pearson Correlation
bertujuan
untuk
mengetahui
hubungan
antar
variabel
yang
mempengaruhi daya saing pariwisata. Analisis data kuantitatif dengan menentukan uji hipotesis sebagai berikut:
H0 : Tidak ada hubungan secara signifikan antara variabel X dengan jumlah kunjungan wisata di Indonesia.
H1 : ada hubungan secara signifikan antara variabel X dengan jumlah kunjungan wisata di Indonesia. Gambar 3.5.
Tampilan Contoh Output 1
Pada contoh tabel tersebut diketahui bahwa asumsi penolakan H0 apabila ρ_value < α. Maka dengan hasil uji statistik tersebut diperoleh nilai ρ_value = 0.050, sehingga p_value = 0.050 < α = 0.15. Dari hasil tersebut diketahui bahwa Ho ditolak, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan secara signifikan antara variabel X dengan jumlah kunjungan wisata di Indonesia. Jadi dalam kasus ini dapat disimpulkan bahwa variabel X berhubungan positif pada jumlah kunjungan wisatawan di Indonesia. Adapula kasus kesimpulan output data yang berbeda, seperti pada variabel berikut ini. Gambar 3.6.
Tampilan Contoh Output 2
Dengan uji hipotesis dan tingkat signifikansi yang sama, output data diatas menunjukkan adanya hubungan antar dua variabel, akan tetapi menunjukkan hasil 0.919 yang berarti menunjukkan hubungan yang negatif antar dua variabel. Penjelasan hubungan negatif ini yaitu semakin tinggi skor data indikator daya saing pariwisata, semakin rendah kunjungan wisatawan ke Indonesia. Contohnya pada indikator prakiraan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas, di mana semakin kecil nilainya akan semakin banyak wisatawan yang berkunjung. Selain itu, adapula hasil output data yang menunjukkan tidak adanya hubungan antar dua variabel, ditunjukkan pada output data berikut ini. Gambar 3.7.
Tampilan Contoh Output 3
Output tersebut menunjukkan ρ_value > α yakni ρ_value = 0.359. Dengan tingkat signifikansi dan uji hipotesis yang sama, output tersebut memiliki makna H0 diterima, maka kesimpulannya adalah tidak ada hubungan secara signifikan antara variabel X dengan jumlah kunjungan wisata di Indonesia. Alasan pemilihan alat uji statistik menggunakan Korelasi Pearson adalah ketersediaan jenis data yang bersifat tunggal atau dalam bentuk skor. Penggunaan alat uji statistik untuk menunjukkan hubungan antar variabel sangat beragam. Cross Tabulation atau Tabulasi Silang tidak dapat digunakan dalam penelitian ini karena data yang diolah menggunakan crosstab harus bersifat kategorik, bukan data tunggal seperti dalam penelitian ini. Sehingga penggunaan alat uji statistik Korelasi Pearson dalam penelitian ini adalah alat uji yang dirasa paling tepat. Selanjutnya analisis dilakukan pada regulasi yang terkait dengan kebijakan pariwisata regional. Analisis deskriptif pada regulasi kebijakan regional ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kebijakan yang bertentangan terhadap konsep peningkatan daya saing pariwisata Indonesia dalam Komunitas ASEAN 2015. Secara keseluruhan, analisis statistik variabel daya saing dan analisis regulasi kebijakan pariwisata nasional untuk menjelaskan kondisi daya saing pariwisata Indonesia yang dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya.