BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK
Diskriminasi mencakup perilaku apa saja berdasarkan perbedaan yang dibuat dan berdasarkan alamiah atau pengategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya (definisi Diskriminasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa). Sebagai bangsa yang terdiri atas beragam budaya, suku, etnik dan agama, peluang adanya diskriminasi tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan sampai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat sangatlah potensial menimbulkan permasalahan di berbagai sektor, baik dilakukan oleh aparatur negara maupun individu-individu di masyarakat. Kemajemukan bangsa Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan modal dasar yang perlu diperhitungkan dalam setiap kebijakan pada sektor pembangunan. Kemajemukan tidak berarti ditindaklanjuti dengan suatu perlakuan diskriminatif sehingga perlu arah kebijakan dan arah politik yang jelas melarang perlakuan diskriminatif terhadap seluruh warga negara Indonesia dalam berbagai bentuk di tiap sektor pembangunan. Negara, dalam hal ini, harus memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak-hak dasar yang tidak dibatasi bentuknya, kecuali pada kondisi tertentu.
I.
Permasalahan yang Dihadapi
Berbagai upaya sudah dilakukan oleh Pemerintah, antara lain, melalui proses legislasi yang arah kebijakannya berupaya memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap perlakuan yang diskriminatif. Namun, dalam implementasinya langkah strategis Pemerintah ini masih mencerminkan pada tahapan politik hak asasi manusia di level legislasi saja. Tahapan politik yang dimaksud adalah politik hak asasi manusia yang berupa proses penyusunan legislasi, ratifikasi konvensi internasional dan penyusunan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia. Pada tahapan implementasi peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia, masih banyak kasus hak asasi manusia yang proses hukumnya belum terselesaikan, seperti pada kasus pelanggaran HAM berat TimorTimur dan kasus Tanjung Priok. Pada kasus itu, tersangka pelaku banyak yang lolos dari jerat hukum. Dalam tahapan ini, keberpihakan dan masih adanya perbedaan persepsi terhadap hak asasi manusia oleh penyelenggara negara masih menjadi titik persoalan mendasar. Komitmen pimpinan negara yang menjamin perlakuan yang tidak diskriminatif kepada seluruh lapisan masyarakat belum dapat ditindaklanjuti oleh pelaksana di lapangan. Dalam perkembangannya proses legislasi di daerah, seperti peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tanggerang dan NAD masih bersifat diskriminatif yang berdampak kepada perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan seperti pengaturan tubuh, perilaku, dan mobilitas perempuan. Upaya peninjauan hukum (judicial review) terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Agung telah dilakukan dengan alasan bahwa definisi kriminal yang digunakan dalam Perda tersebut bertentangan dengan KUHP dan prosedurnya bertentangan dengan prinsip peradilan yang adil dan asas praduga tak bersalah serta juga bertentangan dengan Konvensi CEDAW dan HAM. Demikian juga Perda dari Nangroe Aceh Darussalam/Qanun, yang melarang kedekatan fisik antara laki-laki dan perempuan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum dengan ancaman hukuman cambuk. Qanun ini berdampak diskriminatif kepada kedudukan perempuan, yang setelah pelaksanaan hukuman 10 - 2
cambuk tersebut, perempuan-perempuan beserta anak-anaknya tidak diterima selanjutnya di tengah-tengah masyarakat. Dalam upaya penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga masih banyak kasus yang belum dapat diselesaikan karena masih minimnya pengetahuan dan pemahaman aparat penegak hukum mengenai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Tingkat perceraian meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Dari 43 pengadilan agama mencapai angka 8.555 kasus yang juga merupakan 33,5% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat ditangani. Kasus-kasus kekerasan rumah tangga yang seharusnya berada di wilayah peradilan umum (kasus pidana) ternyata lebih banyak terungkap dalam perkara gugat cerai yang diajukan ke Pengadilan Agama. Dengan demikian, diperlukan lagi peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat dan aparat penegak hukum untuk lebih melindungi kedudukan perempuan dalam masyarakat. Di bidang pelayanan umum, misalnya pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin, seperti pelaksanaan program Askeskin atau Jamkesmas, masih belum memberikan pelayanan yang maksimal dan masih harus terbentur pada masalah administrasi pendataan warga miskin dan penetapan indikator kemiskinan yang menyertainya. Pencatatan warga miskin belum mencakup jumlah warga miskin yang kian hari makin bertambah dan pelayanan yang diberikan masih dalam bentuk kuota saja. Mekanisme standar pelayanan kesehatan dan mekanisme pembayaran kompensasi, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk pelayanan kesehatan juga belum dapat terkoordinasi dengan baik sehingga pelayanan kepada masyarakat masih juga belum maksimal. Dalam bidang perlindungan anak adanya eskalasi kriminalitas terhadap anak belum banyak menunjukkan perlindungan yang maksimal. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan selama tahun 2007 terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Di samping itu, data dari Kejaksaan Agung selama tahun 2006 terdapat 600 kasus kekerasan terhadap anak yang telah diputus oleh peradilan. Anak masih dijadikan objek sasaran perlakuan yang tidak seharusnya atau menjurus ke bentuk 10 - 3
kriminalitas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dan oleh oknum pelaku anak. Hal itu banyak dipengaruhi oleh lingkungan yang sarat dengan informasi dan teknologi, pornografi, dan lain-lain memicu kegiatan yang bersifat kriminal, seperti pencabulan, pelecehan seksual, perkosaan, perdagangan anak, penganiayaan sampai dengan pembunuhan. Bentuk kekerasan lain seperti perdagangan anak (trafficking), berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak, jumlah yang terperangkap dalam perdagangan anak pada tahun 2006 adalah 42.771 orang meningkat menjadi 745.817 orang pada tahun 2007 dan pada akhir Juni 2008 jumlahnya mencapai 400.000 orang. Di lingkungan pendidikan yang diharapkan sebagai wadah mendidik anak sebagai tunas bangsa pun tidak terlepas dari adanya bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak. Sebagai contoh, masih ada kekerasan di antara murid sekolah dalam bentuk bullying atau dengan dalih orientasi masa pendidikan sekolah, sampai kekerasan yang dilakukan oleh guru sekolah. Dalam bidang hukum, perlindungan terhadap anak juga menjadi fokus penting karena perlindungan terhadap anak yang terlibat dalam kasus hukum masih kurang mendapatkan penanganan yang semestinya. Perlindungan terhadap hak anak perlu dilakukan sejak tahap penyelidikan, penuntutan, persidangan bahkan sampai proses penghukuman. Bentuk penghukuman terhadap narapidana anak juga harus dipertimbangkan dengan baik. Pengaruh lingkungan penjara akan banyak memengaruhi perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, hukuman dapat diganti, misalnya dalam bentuk kerja sosial dan lain sebagainya. Di bidang kesehatan dan pendidikan, masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan hak tersebut. Negara masih belum mampu memberikan layanan yang maksimal kepada anak, termasuk anak di usia sekolah. Mengingat jumlah anak Indonesia sebesar 30% dari 243 juta jiwa penduduk Indonesia, anak merupakan potensi strategis dari sebuah bangsa yang perlu diberikan perlindungan semestinya.
10 - 4
II.
Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Beberapa langkah kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya penghapusan diskriminasi antara lain sebagai berikut. Dalam rangka memperkuat perlindungan kepada masyarakat penyandang cacat, Pemerintah telah menandatangani Konvensi Internasional mengenai Perlindungan dan Pemajuan Hak‐Hak dan Martabat Penyandang Cacat pada 30 Maret 2007. Dalam upaya kerja sama Pemerintah dengan negara lain mengenai penanggulangan kejahatan transnasional dan pengembalian aset hasil kejahatan, serta meningkatkan efektivitas kerja sama aparat penegak hukum terkait dengan masalah pidana Pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah strategis berupa pengesahan UU Nomor 15 Tahun 2008 mengenai Pengesahan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana) yang menguatkan UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Perdagangan warga negara Indonesia, terutama perempuan dan anak-anak, masih sering terjadi terutama di wilayah konflik, daerah yang terkena bencana, dan daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain karena alasan kondisi perekonomian maupun merupakan tindak kriminal. Untuk melindungi dan menjamin ketentraman hidup tiap warga negara Indonesia, Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang diikuti dengan PP Nomor 9 Tahun 2008 mengenai Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal itu telah ditindaklanjuti, antara lain, dengan pembahasan mengenai Raperda Provinsi Jawa Barat tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak. Dalam bidang perlindungan saksi dan korban juga telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang beranggota 21 orang melalui seleksi yang dilakukan Departemen Hukum dan 10 - 5
HAM di samping juga pengesahan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.Terkait dengan pelaksanaan kegiatan RAN-HAM, kurun waktu bulan Januari sampai dengan Juni 2008 telah terbentuk panitia pelaksana provinsi RAN-HAM di 32 propinsi dan di 317 kabupaten serta di 90 kotamadya. Untuk menindaklanjuti masalah kewarganegaraan sebagaimana UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan PP Nomor 2 Tahun 2007 mengenai Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Indonesia. Terkait dengan pelayanan masyarakat, Pemerintah juga telah mengesahkan Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Untuk menindaklanjuti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), yang ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerja sama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga, untuk menjamin perlindungan bagi perempuan dari tindakan kekerasan, sejumlah lembaga pun didirikan di lingkungan pemerintahan agar perempuan korban kekerasan dapat mengakses keadilan. Lembaga tersebut antara lain ruang pelayanan khusus (RPK) yang sudah dilembagakan dalam struktur Kepolisian, yaitu pada unit pemberdayaan perempuan dan anak (UPPA) yang terdiri dari 129 unit RPK dan 36 unit pelayanan terpadu (UPT) yang ada di RS Bhayangkara di seluruh Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah menyelenggarakan lembaga pemberi layanan sama yang dimulai tahun 2002 oleh yaitu pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan pada tingkat pemerintah daerah. Sampai saat ini terdapat 23 unit P2TP2A di 19 provinsi. Selain yang dibentuk oleh Pemerintah, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan dan keagamaan pun telah berinisiatif mendirikan pusat-pusat pengadaan layanan bagi perempuan korban. Setidaknya tercatat 41 lembaga layanan telah terbentuk di seluruh Indonesia atas inisiatif masyarakat, baik melalui organisasi 10 - 6
perempuan, organisasi kemasyarakatan, maupun keagamaan. Untuk mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan, langkah sosialisasi mengenai bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga telah dilakukan oleh Komnas Perempuan melalui pembuatan buku referensi yang memberikan informasi kepada hakim di pengadilan agama. Upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin terkait dengan pemajuan perempuan adalah melalui penetapan APBD berbasis gender, yang diharapkan dapat mendukung upaya pembangunan untuk seluruh lapisan masyarakat. Di samping itu, pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 juga berupaya mendukung koordinasi upaya penghapusan, pencegahan, dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Di samping itu, untuk melindungi perempuan yang bermasalah dengan hukum, telah diupayakan konsep sistem penangan peradilan pidana terpadu (SPPT) terkait dengan penanganan tindakan kekerasan terhadap perempuan dari tingkat penyidikan sampai peradilan yang akan diintegrasikan ke dalam amendemen KUHAP. Dalam bidang pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesehatan kaum perempuan, Pemerintah telah melakukan pembahasan RUU Kesehatan di DPR yang diharapkan akan dapat disahkan pada bulan Juli 2008. Peningkatan pelayanan kesehatan berupa pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat juga telah dilakukan di beberapa kabupaten/kota, seperti di Jembrana, Sumedang, Purbalingga, Musi Banyuasin, Banjarmasin, dan Sumbawa Barat. Pemerintah juga telah melakukan penanggulangan penularan penyakit HIV/AIDS di lingkungan lembaga pemasyarakatan/rumah tahanan, yaitu melalui program layanan informasi, penanganan kesehatan dan edukasi serta konseling yang bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan BNN. Dalam bidang pelayanan pendidikan, mulai tahun 2008 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah menerapkan program pendidikan gratis di 23 Kabupaten/Kota dari tingkat SD sampai SMP 10 - 7
yang akan diperluas hingga tingkat SMA. Inisiatif serupa juga telah diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah sejak tahun 2007. Bahkan pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo juga telah menerapkan pendidikan gratis untuk tingkat SMA dan SMK Negeri. Akses masyarakat yang masih minim dalam beberapa sektor tertentu, antara lain, disinyalir dalam penelitian yang dilakukan oleh kelompok kerja yang merupakan perwakilan unsur pemerintahan, LSM, dan perguruan tinggi telah merumuskan permasalahan seperti bidang perempuan dan hukum, tanah dan sumber daya alam, bantuan hukum, tata kelola pemerintahan, reformasi hukum, ketenagakerjaan, kelompok masyarakat miskin, masyarakat yang tidak diuntungkan dan terpinggirkan (sebagai isu cross cutting) telah dipetakan dan menjadi masukan dalam upaya penyusunan konsep akses kepada keadilan (access to justice). Konsep akses terhadap keadilan pada dasarnya mengacu pada sebuah keadaan dan proses. Pada proses itu, warga negara mampu mencari dan memperoleh pemulihan haknya melalui lembaga keadilan formal dan informal sesuai dengan standar hak asasi manusia. Adapun konsep ini akan menjadi masukan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 5 tahun mendatang (2010—2014). Dalam bidang pelayanan lembaga peradilan, inisiatif Pengadilan Agama Sleman patut mendapatkan apresiasi dalam hal transparansi proses berperkara. Para pihak yang bersengketa saat ini telah dapat mengakses perkembangan kasus melalui layanan internet. III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk melanjutkan upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menegakkan hak asasi manusia, peningkatan pemahaman mengenai konsep hak asasi manusia yang universal perlu ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, mulai dari lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Sosialisasi pemahaman tentang keberagaman budaya, suku, etnis, dan agama melalui sektor pendidikan dan sektor penunjang lain juga penting 10 - 8
dilakukan untuk mendukung pemahaman konsep hak asasi manusia di Indonesia. Sebagai langkah tindak lanjut yang konstruktif dan sistematis, dalam bidang penegakan hak asasi manusia perlu dilakukan mekanisme pembentukan, harmonisasi, dan sinkronisasi peraturan perundangan tidak terbatas pada pembentukan legislasi saja. Namun, hal yang terpentung adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah eksis tidak hanya dalam pemenuhan kewajiban Indonesia sebagai negara peserta konvensi internasional terkait dengan hak asasi manusia saja, tetapi juga sebagai langkah-langkah implementatif untuk mengakui dan melaksanakan hak asasi manusia secara komprehensif di Indonesia. Sebagai negara yang berlandaskan hukum, konsep pelanggaran hak asasi manusia harus ditekankan sebagai pelanggaran peraturan perundang-undangan dan konstitusi. Perbaikan layanan publik untuk selanjutnya harus diperhatikan sebagai salah satu indikator keberhasilan upaya penghapusan diskriminasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuk. Layanan publik yang optimal dalam berbagai sektor seperti kepada layanan dasar (pendidikan dan kesehatan) di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang semakin berat. Dampak perekonomian global dan kebijakan nasional di Indonesia perlu ditingkatkan. Konsep pendekatan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan sangat penting dikedepankan sehingga seluruh warga negara, khususnya yang miskin dan terpinggirkan, dapat terpenuhi dan terlayani dengan baik oleh penyelenggara negara.
10 - 9