BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan baik si perokok itu sendiri maupun orang lain di sekelilingnya. Merokok itu sendiri adalah kegiatan membakar dan/atau mengisap, menghembuskan rokok (Peraturan Daerah Nomor Kabupaten Sragen Nomor 1 Tahun 2011). Rokok tidak pernah bisa tuntas dibahas penanganannya. Ia dibutuhkan bagi oleh sebagian orang tetapi juga menyimpan bahaya penderitaan dan kerugian jika mengkonsumsinya. Rokok telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Rokok juga dianggap sebagai simbol dari keakraban diantara warga. Berbagai penelitian telah dilakukan dan memperkuat pernyataan tersebut, namun tetap saja kebiasaan merokok sukar berkurang. Yang patut disayangkan adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat perokok akan bahaya asap rokok yang mereka hembuskan terhadap orang-orang sekelilingnya yang tidak merokok, atau yang lazim disebut perokok pasif (Adisasmito, 2008). World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sepertiga dari penduduk dewasa sedunia adalah perokok dimana prevalensi pria sebanyak 47% dan wanita 12%. Prevalensi perokok di negara berkembang
1
2
adalah 48% pria dan 7% wanita, sedangkan pada negara maju prevalensi pria sebanyak 42% dan wanita sebanyak 24% (Adisasmito, 2008). Meningkatnya prevalensi merokok menyebabkan masalah rokok menjadi masalah yang sangat serius. Tim peneliti yang menulis dalam Journal of the American Medical Association menunjukan bahwa peningkatan jumlah perokok terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang meningkat dua kali lipat selama 50 tahun terakhir. Berdasarkan data terbaru ini, jumlah perokok di seluruh dunia meningkat hampir 250 juta orang antara 1980 hingga 2012 (www.bbc.co.uk). Dalam jurnalnya yang berjudul The Effect of a Smoke-free Campus Policy on College Students' Smoking Behaviors and Attitudes, Chul Seo (2011) mengungkapkan bahwa merokok di antara orang dewasa terus menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat. Pada tahun 2009, 22% dari orang dewasa usia 18-24 tahun yang saat ini menjadi perokok di Amerika Serikat. Mahasiswa menjadi target industri tembakau dengan promosi pemasaran yang berpusat di bar dan klub dekat dengan kampus. Dalam menanggapi keprihatinan tentang rokok dan paparan asap rokok pada mahasiswa, dibuatlah kebijakan-kebijakan yang melarang kegiatan merokok di kampus-kampus. Hal ini telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir di beberapa universitas di Amerika Serikat. Ada bukti bahwa dari kebijakan larangan merokok di kampus efektif dalam mengurangi perilaku merokok pada mahasiswa. Pada mahasiswa, tingkat perokok memuncak pada tahun 1999 dan kemudian menurun selama tahun 2000-an. Ada penurunan tingkat
3
merokok pada mahasiswa pada tahun 2008, yang menjadi hanya 18% dari mahasiswa perokok. Sementara prevalensi dan konsumsi perokok di negara maju telah menurun sebagai hasil dari program penanggulangan yang komprehensif dan intensif, keadaan sebaliknya terjadi di negara sedang berkembang. Jika keadaaan ini tidak ditanggulangi dengan serius, dalam jangka panjang akan terjadi epidemi penyakit akibat merokok yang mahal biaya penanganannya di negara dunia ketiga (Adisasmito, 2008). Peningkatan jumlah perokok khususnya di negara berkembang seperti Indonesia menjadi masalah yang harus segera diatasi. Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, perilaku merokok penduduk umur 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dari 2007 ke 2013, bahkan cenderung meningkat dari 34,2 persen tahun 2007 menjadi 36,3 persen tahun 2013. Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan dimana yang kita temukan bahwa persentase terbesar berada pada tingkatan umur 30-34 tahun yaitu sebesar 33,4 persen. Berikut merupakan data dari jumlah penduduk Indonesia 15 tahun ke atas yang merokok atau perokok aktif.
4
Tabel 1.1 Prevalensi Perokok Usia di Atas 15 Tahun di Indonesia
No
Tahun
Persentase dari Jumlah Penduduk
1.
1995
27,2%
2.
2001
31,8 %
3.
2007
34,2 %
4.
2010
34,7 %
5
2013
36,3 %
Sumber : http://www.litbang.depkes.go.id/berita-data-rokok
Dari data diatas bisa dilihat bahwa prevalensi perokok usia di atas 15 tahun di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya persentase penduduk Indonesia yang mempunyai kebiasaan merokok, merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja mengingat ada dampak negatif dari kegiatan merokok tersebut. WHO mengatakan jutaan nyawa manusia dapat diselamatkan bila lebih
banyak
negara
menerapkan
pengetatan
seperti
kebijakan
meningkatkan cukai rokok, kebijakan melarang merokok di tempat umum, dan kebijakan mencantumkan peringatan kesehatan di bungkus rokok (www.bbc.co.uk). Dalam jurnalnya yang berjudul Kawasan Tanpa Rokok Sebagai Alternatif Pengendalian Tembakau Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Kampus Bebas Rokok Terhadap Perilaku dan Status Merokok Mahasiswa di Fakultas Kedokteran UGM, Prabandari (2009) mengungkapkan bahwa Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
5
Indonesia bekerjasama dengan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA)
melaporkan
empat
alternatif
kebijakan
terbaik
untuk
pengendalian tembakau, yaitu: 1) Menaikkan pajak (65 persen dari harga eceran); 2) Melarang semua bentuk iklan rokok; 3) Mengimplementasikan 100 % Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat umum, tempat kerja dan tempat pendidikan; dan 4) Memperbesar peringatan merokok di bungkus rokok dan menambahkan gambar akibat kebiasaan merokok pada bungkus rokok. Salah satu alternatif yang cukup layak diterapkan di Indonesia dengan menimbang bahwa kebijakan tersebut dapat dimulai dari institusi atau pemerintah daerah adalah melaksanakan Kawasan Tanpa Rokok. Menyadari pentingnya perlindungan terhadap bahaya rokok maka perlu disusun suatu bentuk kebijakan yang bentuk dan substansinya memiliki daya laku efektif. Pemerintah memiliki fungsi pembuat kebijakan khususnya dalam rangka mengendalikan suatu kegiatan yang menyangkut dan berdampak luas pada masyarakat seperti halnya bahaya merokok. Di beberapa daerah di Indonesia sudah memiliki beberapa kebijakan untuk mengurangi dampak negatif rokok. Sebanyak 59 Kabupaten/Kota di 23 provinsi di Indonesia memiliki kebijakan terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kebijakan itu diwujudkan dalam peraturan daerah dan surat edaran gubernur, maupun bupati/wali kota (www.hdindonesia.com). Kebijakan tersebut dibuat untuk mengurangi dampak negatif dari merokok dengan melarang masyarakat merokok di wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai kawasan tanpa rokok.
6
Berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013, Kabupaten Sragen merupakan salah satu daerah yang memiliki tingkat konsumsi rokok yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah yaitu sebesar 20,0 persen perokok aktif, serta 2,8 persen perokok kadang-kadang. Atas dasar alasan dampak negatif merokok serta keprihatinan Pemerintah Kabupaten Sragen akan bahaya dari merokok itu sendiri, membuat Pemerintah Kabupaten Sragen mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok, sebagai payung hukum dalam pengendalian dan mengurangi dampak negatif dari merokok di Kabupaten Sragen. Semua isu mengenai kawasan tanpa rokok ini sudah diupayakan oleh Pemkab Sragen dapat terakomodir dalam peraturan daerah ini. Menurut berita yang dikutip dari timlo.net, Kabupaten Sragen merupakan satu dari 59 Kabupaten/Kota di 23 provinsi di Indonesia yang memiliki kebijakan terkait Kawasan Tanpa Rokok. Kabupaten Sragen juga menjadi anggota Aliansi Bupati/Walikota Peduli Kawasan Tanpa Rokok, sehingga Sragen menjadi percontohan nasional tentang Kawasan Tanpa Rokok. Dalam perda ini dicantumkan tempat-tempat mana yang menjadi kawasan tanpa rokok yaitu : 1. tempat kerja; 2. tempat peribadatan; 3. tempat bermain anak-anak; 4. lingkungan tempat proses belajar mengajar; 5. sarana kesehatan;
7
6. tempat umum; dan 7. kendaraan angkutan umum. Dan juga dicantumkan tujuan dari kawasan tanpa rokok, yakni : 1. Memberikan perlindungan dari bahaya asap rokok bagi perokok aktif dan/atau perokok pasif; 2. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat; 3. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik langsung maupun tidak langsung; 4. Menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, bebas dari asap rokok; 5. Memenuhi rasa aman /nyaman pada orang lain. 6. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat; 7. Menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula. Dalam jurnalnya yang berjudul Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Perda Kota Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif di Sumatera Barat Tahun 2013, Azkha (2013) menjelaskan bahwa peranan pemerintah daerah dalam melarang iklan, promosi rokok serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok tergantung dari komitmen Kepala Daerah, DPRD, Dinas Kesehatan, dan dinas terkait lainnya serta adanya pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan dari jurnal tersebut, dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dan dukungan dari semua pihak dalam
8
penerapan Kawasan Tanpa Rokok. Di samping Kawasan Tanpa Rokok dapat memberikan perlindungan kepada perokok pasif sekaligus perda tentang Kawasan Tanpa Rokok juga mungkin dapat menurunkan perokok aktif. Dengan penetapan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian, meningkatkan produktivitas, mewujudkan kualitas udara yang bersih dan sehat serta terwujudnya generasi muda yang sehat. Dijelaskan, sejak ditetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada bulan Januari tahun 2011 lalu, Pemkab Sragen melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen telah melakukan berbagai langkah untuk melaksanakan Perda tersebut diantaranya Sosialisasi Perda dan Peraturan Bupati (Perbup) di tingkat kecamatan, puskesmas, desa, sekolah, pondok pesantren dan Posbindu (timlo.net). Namun, keberadaan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok selama empat tahun ini belum efektif dilaksanakan dengan masih banyaknya warga yang nekat merokok di kawasan terlarang. Banyaknya pelanggaran terhadap perda tersebut dikarenakan sanksi bagi para pelanggar masih belum ditegakkan. Dijelaskan dr. Aris Surawan (Sekretaris Komisi IV DPRD Sragen periode 2009-2014), selama ini keberadaan perda KTR memang kurang memiliki taring dan belum memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sejumlah kawasan yang mestinya bebas rokok seperti tempat kerja, tempat peribadatan, tempat bermain anak-anak, tempat proses belajar
9
mengajar, sarana kesehatan, tempat umum dan kendaraan angkutan umum, ternyata masih banyak terjadi pelanggaran. Menurut Aris, sosialisasi perda Kawasan Tanpa Rokok ini memang belum efektif bahkan seperti tidak pernah dilakukan. Banyak warga yang masih nekat merokok di kawasan terlarang karena tidak tahu ada perda yang melarang. Selain itu, sanksi dari pelanggaran juga belum ditegakkan sehingga tidak ada efek jera bagi pelanggar (krjogja.com). Berdasarkan realitas tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen dengan judul : “EFEKTIVITAS PERATURAN DAERAH NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DI KABUPATEN SRAGEN”
B.
Rumusan Masalah Berdasar pada paparan latar belakang diatas, masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Sragen? 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Sragen?
10
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui : 1. Efektivitas dari pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Sragen. 2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dari efektivitas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kabupaten Sragen.
D.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis, dan dapat berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan sosial. 2. Manfaat praktis a. Bagi Peneliti 1) Sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret. 2) Menambah wawasan dan wacana berkaitan tentang lingkup administrasi negara, pemerintahan dan bidang sosial politik khususnya
dalam
proses
kebijakan
publik,
untuk
11
selanjutnya dijadikan sebagai acuan dalam menganalisa suatu fenomena atau masalah di masyarakat. b. Bagi Pemerintah 1) Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas kinerja pemerintah Kabupaten Sragen, termasuk sumber daya dan penentu kebijakan yang ada di dalamnya serta pemerintah secara umum. 2) Dapat menjadi pertimbangan dalam menilai suatu kebijakan khususnya mengenai kebijakan tentang rokok. c. Bagi Ilmu Pengetahuan 1) Menambah
khazanah
keilmuan
khususnya
tentang
efektivitas kebijakan kawasan tanpa rokok serta memahami berbagai kajian penting lainnya berkaitan dengan kebijakan yang ada di Kabupaten Sragen. 2)
Sebagai bahan referensi sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan bagi peneliti berikutnya.