BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian
perkara
di
lingkungan
peradilan
agama
sebagaimana
lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman1, akan tetapi dilakukan secara bersama-sama dengan aparat peradilan agama lainnya yaitu kepaniteraan, kejurusitaan dan kesekretariatan. Peradilan agama dijalankan oleh Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding. Dalam menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan agama dibutuhkan kerja sama dan koordinasi antar aparat pengadilan agama, mulai dari hakim, panitera/panitera pengganti sampai jurusita/jurusita pengganti yang sehari-hari melaksanakan pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak. Perkara-perkara yang terdaftar di pengadilan agama diselesaikan dalam kerangka satu sistem kerja, di mana antara satu bagian dengan bagian lainnya harus saling menunjang. Apabila salah satu bagian tidak bekerja dalam kerangka sistem tersebut, maka mustahil suatu perkara dapat diselesaikan dengan baik. Misalnya jurusita/jurusita pengganti tidak melaksanakan panggilan secara sah dan patut, maka hakim pasti tidak dapat memutus perkara lebih cepat karena persidangan akan
1
Pasal 11 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah yang kedua dengan UU No. 50 Tahun 2009: Hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
1
ditunda-tunda, akibatnya asas peradilan ”sederhana, cepat dan biaya ringan2” tidak dapat terlaksana. Salah satu cara mencegah terjadinya ketidaksinergian aparat pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara yang menjadi kewenangannya adalah dengan menerapkan sistem atau pola penyelesaian perkara dari segi administrasi, sebab pengadministrasian yang baik akan mendorong aparat peradilan bekerja dengan rapi, terpola dan bersinergi. Oleh karena itu, pada tahun 1991 Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan surat yang menetapkan Pola-pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi perkara yang dikenal dengan Pola Bindalmin3. Pola-pola itu meliputi prosedur penyelenggaraan administrasi perkara (tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali), registrasi perkara, keuangan perkara, laporan perkara dan kearsipan perkara. Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut dikeluarkan dalam rangka mewujudkan peradilan agama sebagai Court of Law” yang cirinya adalah mandiri, berpegang teguh kepada hukum acara yang benar dan melaksanakan administrasi peradilan yang tertib4. Hal ini karena pada waktu itu peradilan agama baru saja mempunyai landasan hukum berupa undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan dengan undang-undang tersebut, pengadilan agama benar-benar menjadi peradilan yang mandiri yang dapat melaksanakan sendiri putusannya. Sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut,
2
Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/001/SK/1991 tanggal 24 Januari 1991. 4 Sambutan Ketua Muda MARI Urusan Lingkungan Peradilan Agama, Mei 1994. 3
2
putusan Pengadilan Agama harus mendapatkan fiat eksekusi terlebih dahulu oleh Ketua Pengadilan Negeri baru dapat dilaksanakan, sehingga saat itu pengadilan agama sering disebut pengadilan semu. Dalam undang-undang tersebut telah disebutkan kewenangan-kewenangan pengadilan agama yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadaqah5, dan telah ditambah dengan kewenangan baru yaitu zakat, infaq dan ekonomi syariah6. Demikian pula di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang memperkenankan pilihan hukum untuk
perkara waris telah dihapus oleh Undang-Undang
Nomor
3 Tahun 20067. Mengenai hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan agama belum berubah sehubungan dengan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut. Perkara-perkara tersebut diperiksa, diputus dan diselesaikan dengan menerapkan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 19898. Oleh karena itu, apabila tidak ada ketentuan hukum acara yang khusus di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, maka proses pemeriksaan perkara-perkara
5
Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 49 UU No. 3 Tahuin 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 50 Tahun 2009; 7 Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alinea kedua bagian terakhir. 8 Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 3 Tahuin 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009. 6
3
tersebut, menggunakan HIR/R.Bg. atau Buku IV KUH Perdata yang juga mengatur tentang pembuktian. Di dalam praktik, seiring dengan perkembangan kewenangan pengadilan agama,
jumlah perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan
(yustisiabel) semakin besar baik dari segi kuantitas maupun jenisnya. Jenis perkara yang paling banyak adalah perkara cerai yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat. Cerai talak adalah jenis perkara cerai yang pengajuannya dilakukan oleh suami yang berkedudukan sebagai pemohon dan isteri berkedudukan sebagai termohon. Sedangkan cerai gugat yaitu jenis perkara cerai yang pengajuannya dilakukan oleh isteri, kedudukannya disebut penggugat dan suami berkedudukan sebagai tergugat. Oleh karena dua jenis perkara cerai ini sangat dominan dibandingkan dengan jenis perkara lain, maka sering kali diperiksa dan diputus tanpa mengalami kesulitan yang berarti, baik dari segi hukum materiil maupun hukum formil (hukum acara). Jenis perkara cerai sudah dianggap sebagai ”sarapan paginya” hakim-hakim dan jajaran pengadilan agama, sehingga tidak mengherankan apabila hakim-hakim dianggap sudah sangat mahir dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara perceraian tersebut. Untuk jenis-jenis perkara lainnya yang termasuk dalam kompetensi absolut pengadilan agama, kuantitasnya masih sangat terbatas, misalnya perkara waris, izin poligami, harta bersama, wali adhal, lebih-lebih perkara ekonomi syariah yang memang sampai saat ini masih sangat langka, khususnya di Pengadilan Agama Sleman belum pernah diajukan perkara ekonomi syariah. Pada saat jumlah dan jenis perkara semakin banyak, maka Pola Bindalmin yang diterapkan sejak tahun 1991 terasa tidak memadai lagi, terutama dari segi 4
pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan yang membutuhkan kecepatan dan ketepatan waktu. Jumlah dan jenis perkara yang semakin banyak tidak dapat dijadikan sebagai alasan keterlambatan pelayanan. Pada sisi yang lain, paradigma peradilan yang modern, terbuka (transparan) dan akuntabel tidak dapat lagi diwadahi secara maksimal oleh Pola Bindalmin dengan sistem kerja manual. Dalam rangka peningkatan kinerja hakim dan aparat peradilan lainnya, transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan agama, maka Pola Bindalmin yang berbasis teknologi konvensional seperti penggunaan mesin ketik manual (konvensional) dan penulisan buku-buku register dengan tulisan tangan, kemudian dikembangkan dengan cara komputerisasi. Pada tahun 2000 Pengadilan Agama Malang memulai dengan Sistem Informasi Administrasi Peradilan Agama atau yang singkat dengan ”Siadpa”, kemudian dicoba diikuti oleh pengadilan-pengadilan agama yang kuantitas perkaranya cukup tinggi, diantaranya oleh Pengadilan Agama Sleman yang menerima rata-rata 800 perkara setiap tahun. Upaya meningkatkan kinerja hakim dan aparat pengadilan agama lainnya melalui penerapan ”Siadpa” dapat dilihat dari bagian-bagian ”Siadpa” yaitu Siadpa Register, Siadpa Keuangan (Siadpa KIPA), Siadpa Laporan Perkara (Siadpa LIPA). Ketiga bagian ini menunjukkan bahwa proses penyelesaian perkara di pengadilan agama berkaitan dengan biaya dan administrasi serta laporan perkara, putusan hakim hanya merupakan salah satu bagian namun mempunyai kedudukan istimewa sebagai produk pengadilan. Keistimewaan putusan hakim terletak pada kedudukannya yang menetapkan atau menegaskan apakah hukumnya bagi kedua belah pihak yang
5
berperkara....9, yang lainnya penetapan majelis dan hari sidang, surat panggilan dan berita acara persidangan serta tindakan-tindakan lainnya hanya merupakan proses menuju putusan atau penetapan dijatuhkan oleh hakim. Untuk memenuhi aspek transparansi dan akuntabilitas publik, Pengadilan Agama Sleman telah mempunyai situs (www.paslemankab.org.id) sebagai realisasi Surat
Keputusan
Ketua
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Setiap orang berhak memperoleh informasi dari pengadilan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.10
Standar pelayanan informasi
pengadilan
yaitu
menyediakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses publik, serta pengadilan tidak dapat mewajibkan pemohon informasi untuk menyebutkan alasan atau tujuan permohonan informasi yang secara tegas dinyatakan sebagai informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh publik11. Keterbukaan
informasi
pengadilan
tersebut
sekaligus
merupakan
pertanggungjawaban kepada masyarakat (akuntabilitas publik) sehingga masyarakat umum sudah dapat memperoleh informasi tentang suatu perkara dan dapat memantau kinerja hakim atau aparat pengadilan lainnya melalui situs yang dimiliki pengadilan. Untuk mengisi data-data ke dalam situs tersebut dibutuhkan dukungan program komputer penyedia data yang akurat dan mudah dipindahkan secara cepat.
9
Sudikno Mertokusumo, 1983, Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya bagi kita Bangsa Indonesia, Disertasi, Cetakan Kedua, tanpa penerbit Liberty, Yogyakarta, hal.3. 10 KMA No. 144/KMA/SK/VIII/2007, Pasal 2. 11 Ibid, Pasal 3
6
Oleh karena itu, pengadministrasian perkara dengan program Siadpa ternyata dapat mewadahi kebutuhan kecepatan, akurasi dan pemutakhiran data ke dalam situs Pengadilan Agama Sleman tersebut. Jika Pola Bindalmin tidak dikembangkan dengan program Siadpa, maka pengisian data ke dalam situs tersebut tidak dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, sehingga data-datanya tidak mutakhir. Cara mendapatkan informasi di pengadilan dapat dilakukan dengan menempatkan papan pengumuman di setiap pengadilan atau menggunakan sarana penyebaran informasi lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemampuan anggaran pengadilan.12 Siadpa
tersebut
kemudian
dikembangkan
penggunaannya
untuk
mempermudah pembuatan surat gugatan penggugat yang meminta bantuan ke pengadilan agama, pembuatan relaas-relaas panggilan dan pemberitahuan, serta penyusunan berita acara persidangan dan pengetikan putusan. Siadpa ini merupakan sistem jaringan di mana antara satu komputer dengan komputer yang lain saling terhubung di dalam kantor pengadilan agama, sehingga sangat mempermudah mendapatkan data suatu perkara yang dibutuhkan. Dari sistem tersebut terdapat pemikiran bahkan telah dipraktikkan penggunaannya untuk membuat standardisasi (pembakuan) putusan atas perkaraperkara yang dianggap sederhana dan sangat rutin. Sistem itu dapat digunakan untuk membuat konsep putusan yang baku, khususnya penerapan pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang paling sering dipakai sebagai dasar hukum untuk memutus suatu perkara. Salah satu contoh perkara yang dianggap sederhana
12
Ibid, Pasal 7 ayat (1)
7
adalah perkara cerai dengan alasan bahwa antara suami-isteri terjadi pertengkaran yang terus-menerus dan tidak ada harapan lagi untuk rukun kembali yang diputus berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991). Perkara-perkara yang digolongkan sederhana tersebut, dengan menggunakan Siadpa, cukup diganti nomor perkaranya, identitas pihak-pihak dan saksi-saksinya, keterangan saksi dan spesifikasi alat-alat bukti tertulisnya serta nama-nama majelis dan waktu persidangannya, sedangkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya sudah dibakukan. Cara ini merupakan salah satu alternatif solusi dari kesulitan-kesulitan menyelesaikan perkara yang jumlahnya cukup besar dalam waktu yang singkat. Dari aspek teknis penyelesaian perkara khususnya pembuatan putusan, sistem ini sangat membantu para hakim pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara yang cukup besar jumlahnya. Akan tetapi, dari aspek materi dan kualitas putusannya sangat meragukan, bahkan dapat menghasilkan putusan-putusan yang bersifat mekanis dan sangat dangkal pertimbangan hukumnya. Putusan-putusan yang dijatuhkan berpotensi tidak lagi mengandung alasan-alasan yang kuat (argumentatif) atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd)13 untuk menjatuhkan suatu putusan. Kehadiran sistem tersebut pada satu sisi akan mempermudah penyelesaian perkara-perkara di pengadilan agama, akan tetapi pada sisi yang lain akan berbenturan dengan sifat putusan yang harus memuat pertimbangan-pertimbangan 13
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketujuh, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal.222.
8
yang argumentatif dan logis serta kasuistis untuk dijatuhkannya suatu putusan. Hal ini perlu ditegaskan karena putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang.14 Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan pada putusan atas perkara yang satu tidak dapat dijadikan pertimbangan hukumnya sebagai pertimbangan hukum pada putusan atas perkara yang lain, walaupun alasan-alasan dan peristiwanya nampak tidak berbeda satu sama lain. Setiap perkara sifatnya kasuistis dan tidak satupun perkara yang persis sama peristiwanya dengan perkara yang lain. Upaya membakukan pertimbangan-pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan untuk perkara-perkara sederhana yang memiliki alasan dan persitiwa yang hampir sama, perlahan tapi pasti akan membentuk putusan-putusan yang mekanis di pengadilan agama walaupun dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara. Dalam penelitian ini pula akan dikaji korelasi antara penggunaan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) dalam penyelesaian perkara dengan peningkatan kinerja, transparansi dan akuntabilitas di Pengadilan Agama Sleman. Dari hasil penelitian itu, penulis akan mendeskripsikannya dalam tesis yang diberi judul: Penyelesaian Perkara dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman (Upaya Meningkatkan Kinerja, Transparansi dan Akuntabilitas Peradilan Agama). 14
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Kedua, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal.112.
9
B. Permasalahan 1. Bagaimanakah penyelesaian perkara dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman? 2. Apakah putusan yang dihasilkan dari Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman tetap mengacu kepada Berita Acara Persidangan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penyelesaian perkara dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman. 2. Untuk mengetahui putusan dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman tetap atau tidak mengacu kepada Berita Acara Persidangan. D. Manfaat Penelitian 1. Dari Segi Teori Hasil penelitian ini diharapkan menjadi literatur yang dapat mendorong kajiankajian ilmiah atau penelitian-penelitian mengenai penyelesaian perkara dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa), sehingga upaya mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, transparan dan akuntabel mempunyai landasan teori yang memadai. 2. Dari Segi Praktik Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah penyelesaian perkara di pengadilan agama yang menerima perkara dalam jumlah yang cukup besar setiap
10
tahun, namun tetap memperhatikan tiga ide des recht yang harus terkandung dalam setiap putusan, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. E. Keaslian Penelitian Pokok kajian penelitian ini mengenai penyelesaian perkara dengan Sistem Informasi Administrasi Pengadilan Agama (Siadpa) di Pengadilan Agama Sleman, (Upaya Meningkatkan Kinerja, Transparansi dan Akuntabilitas Peradilan Agama), sepanjang pengetahuan peneliti, belum pernah diteliti sebelumnya, khususnya di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta. Penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya oleh peneliti.
11