BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Iklan dapat dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli.4 Dalam proses komunikasi itu iklan menyampaikan sebuah “pesan”. Dengan demikian menimbulkan kesan bahwa periklanan terutama bermaksud memberi informasi yang tujuan terpentingnya adalah memperkenalkan sebuah produk atau jasa. Meski banyak orang tidak begitu menyukai selingan iklan namun iklan dapat menarik perhatian dan cukup berpengaruh bagi perilaku konsumen sehingga berpengaruh pula terhadap keputusan pembeli. Masyarakat cenderung merasa bangga memakai produk – produk yang diiklankan dibandingkan produk yang tidak pernah dilihat dalam iklan. Iklan adalah “segala bentuk pesan tentang suatu produk atau jasa yang disampaikan lewat suatu media, baik cetak maupun elektronik yang ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat”.5 Dengan demikian, iklan merupakan suatu alat komunikasi antara produsen / penjual dan para konsumen/ pembeli. Periklanan adalah “keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan iklan”.6 Sebelum menyampaikan iklan kepada masyarakat, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan, pertama perlu mengenal dan menentukan sasaran khalayaknya. Setelah itu, dapat ditentukan 4
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( Yogyakarta : Kanisius, 2000 ), hal. 264. Niken Tri Hapsari, Seluk-Beluk Promosi & Bisnis : Cerdas Beriklan untuk Usaha Kecil & Menengah , (Yogyakarta : A+ Plus Books, 2010), hal. 36. 6 Ibid. 5
Universitas Sumatera Utara
media yang akan digunakan lalu merancang pesan iklan yang sesuai dengan kebutuhan. Periklanan memiliki dua fungsi yaitu; fungsi informatif dan fungsi persuasif. Didalam dunia bisnis sering berbicara tentang periklanan seolah-olah fungsinya yang utama adalah menyediakan informasi, sedangkan dalam dunia konsumen periklanan terutama dilihat sebagai usaha promosi. Pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak iklan juga yang sematamata persuasif. Sebagai perbandingannya, iklan dalam sektor jasa, seperti asuransi dan pariwisata, memiliki unsur informatif yang dominan sedangkan iklan yang ada banyak mereknya, seperti iklan pakaian dan makanan, memiliki unsur persuasif yang dominan.7 Pada aspek pemasaran (marketing) iklan menempati posisi penting. Setiap perusahaan selalu mengalokasikan dana khusus yang tidak sedikit untuk keperluan periklanannya. Besarnya pengeluaran bagi periklanan merupakan konsekuensi yang logis dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan produk.8 Iklan merupakan sarana bagi produsen untuk menjual produknya pada masyarakat selaku konsumen secara tidak langsung. Masyarakat selaku konsumen akan mengetahui mengenai adanya suatu produk ketika melihat iklan mengenai produk tersebut di televisi ataupun surat kabar. Dan ketika konsumen tersebut merasa tertarik dengan mutu, kualitas, fungsi, dan lain-lain yang dijanjikan melalui iklan dan dianggap sesuai dengan kebutuhannya saat itu maka mereka 7
Ibid, hal. 264-265. Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen ,( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 1. 8
Universitas Sumatera Utara
akan memakai atau membeli barang tersebut. Sejak awal para pelaku usaha meyakini bahwa iklan memberikan sumbangsih yang berharga
pada pasca
produksi. Banyaknya iklan terkadang tidak disadari oleh masyarakat pada umumnya. Sejak mulai berangkat dari rumah, membaca surat kabar, melihat reklame, pamflet, menyetel radio, televisi, sampai kembali kerumah. Mulai dari iklan yang bermutu sampai iklan yang hanya menjual mimpi, selalu mengikuti kemana dan dimanapun masyarakat berada. Daya pikat psikologis dan sentimen-sentimen konsumtif menjadi sasaran utama sebagian besar pelaku usaha periklanan. Meskipun iklan tersebut ditopang oleh data yang tidak cukup untuk dijadikan rujukan bagi relevansi iklan. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung-jawab bagi pelaku usaha untuk
memberikan data atau informasi yang sebenarnya bagi
konsumen untuk diketahui, bukan data yang dilebih-lebihkan atau yang dikurangkurangi. Produk-produk yang memiliki inovasi iklan yang sangat tinggi adalah seperti sabun mandi, sabun cuci, deterjen, pasta gigi, susu balita, dan rokok. Apabila diteliti secara seksama, iklan rokok merupakan penyumbang income yang cukup tinggi bagi media elektronik dan media massa. Namun, kebanyakan pada media elektronik yaitu televisi sehingga dapat dilihat frekuensi iklan rokok yang cukup tinggi pada televisi. Iklan mengenai rokok yang muncul di televisi memberikan banyak pandangan dari kalangan luas, ada banyak pandangan yang muncul namun sebagian besar adalah pandangan buruk. Iklan rokok yang ditayangkan pada stasiun-stasiun televisi yang mendatangkan pandangan buruk
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan iklan rokok yang dapat mengakibatkan banyaknya anak-anak muda atau bahkan anak-anak yang dibawah umur yang merupakan generasi muda bangsa melihat tayangan iklan tersebut menjadi tergoda dan terangsang mengkonsumsinya tanpa mengetahui secara nyata dampak yang ditimbulkan dari pengkonsumsian rokok tersebut.9 Bentuk pelanggaran dalam suatu tayangan iklan rokok dapat berupa pelanggaran terhadap jam tayang ataupun substansi dari iklan tersebut yang dibuat sedemikian rupa sehingga menarik perhatian penonton. Bentuk pelanggaran terhadap substansi atau isi iklan berupa penggunaan animasi yang dapat menarik perhatian anak-anak atau adanya penunjukkan wujud rokok secara nyata dalam iklan tersebut. Sedangkan bentuk pelanggaran terhadap jam tayang biasanya dilakukan diluar waktu penayangan iklan rokok ( pukul 21.30 hingga 05.00). Seringkali iklan rokok tidak dilakukan secara nyata sebagai iklan namun pengiklanan melalui event-event atau acara tertentu sebagai sponsor acara tersebut yang mana acara yang disponsori melibatkan anak-anak muda, misalnya acara olahraga atau konser musik.10 Tayangan iklan rokok tersebut tentu saja menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Pemerintah secara tidak langsung dituntut untuk mengatur dan mengawasi pelaksanaan iklan rokok yang ditayangkan di berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat,
LSM
(Lembaga
Swadaya
Masyarakat),
dan
Badan-Badan
9
“Pelanggaran Media Televisi Terhadap Iklan Rokok”, (http:// belajareti ka.blogspot/2010/05/pelanggaran-media-televisi-terhadap.html ), diakses pada tanggal 22 September 2010. 10 Data diperoleh dari www.kompas.com yang diakses pada 23 september 2010.
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan Konsumen, seperti : YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) yang menutut sikap tanggap dari pemerintah untuk mengatasi keresahan masyarakat. Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.11 Meskipun sebagian besar dari gugatan yang diajukan tidak memberikan hasil yang memuaskan namun membuktikan bahwa masyarakat dan lembaga swadaya lainnya dapat bertindak untuk melindungi hak-hak konsumen khususnya atas pelanggaran tayangan iklan rokok. Disamping menggugat para pelaku usaha apabila melakukan pelanggaran tayangan iklan rokok, masyarakat dan lembaga swadaya lainnya dapat mendesak pemerintah untuk menegakkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Masyarakat jakarta dominan mendukung KTR dibandingkan dengan yang tidak mendukung KTR. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai resah dengan akibat yang ditimbulkan oleh rokok tersebut yang mana kemunculan dari pengkonsumsian rokok berasal dari banyaknya tayangan-tayangan iklan rokok yang dilihat oleh masyarakat yang secara tidak langsung mendorong pengkonsumsian dari rokok tersebut. Hal-hal yang telah diuraikan diatas menunjukkan bahwa tayangan dari iklan rokok memerlukan suatu pengaturan dan pengawasan yang baru dari 11
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah selaku aparat hukum yang paling berwenang dalam masalah ini. UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesian sebagai produk hukum dari pemerintah diharapkan dapat membantu dalam pengaturan terhadap pelaku usaha dalam membuat tayangan iklan rokok yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Disamping itu juga, diperlukan adanya peranan dari Masyarakat, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Asosiasi Pelaku Usaha Periklanan, Komisi Penyiaran Indonesia dan Departemen Kesehatan sebagai pihak-pihak yang dapat membantu tugas dari pemerintah dalam pengawasan dari perilaku pelaku usaha dalam membuat tayangan iklan rokok. Dan diharapkan akan ada sikap bertanggungjawab bagi pelaku usaha dalam mengiklankan produknya (dalam hal ini rokok) dan upaya penyelesaian sengketa apabila ternyata akan timbul suatu masalah konsumen.
B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakan masalah diatas, maka penulis merumuskan latar belakang dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan tayangan iklan rokok dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia serta bentukbentuk pelanggaran tayangan iklan rokok yang kerap terjadi ? 2. Bagaimanakah pengawasan terhadap tayangan iklan rokok?
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan terhadap pelanggaran tayangan iklan rokok dan mekanisme penyelesaian sengketa pelanggaran tayangan iklan rokok ?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui Pengaturan Tayangan Iklan Rokok dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia serta BentukBentuk Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok yang Kerap Terjadi. 2. Mengetahui Pengawasan Tayangan Iklan Rokok oleh Pemerintah, Masyarakat, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan Asosiasi Pelaku Usaha Periklanan. 3. Mengetahui Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Periklanan terhadap Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran bagi peneyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan periklanan rokok. Selain itu, hasil penelitian ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang perlindungan konsumen pada umumnya, dan media
Universitas Sumatera Utara
periklanan pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan informasi yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan Yayasan Lembaga
Perlindungan
Konsumen
Indonesia
(YLKI),
Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) dan Pemerintah dalam menata Peraturan Perlindungan Konsumen serta peraturan yang berkaitan dengan periklanan di Indonesia, juga bagi para produsen, serta masyarakat umum, mengenai berbagai problema praktis yang dihadapi dalam menegakkan hak konsumen dalam memperoleh informasi produk, terutama melalui media iklan. Juga dapat dijadikan sebagai landasan operasional bagi instansi yang terkait dalam menanggulangi hambatan-hambatan dalam penerapan peraturan perlindungan konsumen pada umumnya, hak konsumen atas informasi melalui media iklan pada khususnya.
D. Tinjauan Kepustakaan Iklan mengandung arti advertensi, reklame, pemberitahuan. Advertensi itu sendiri berarti pemberitahuan di surat kabar (majalah, dan sebagainya), untuk menawarkan
barang
dan
sebagainya.
Sedangkan
arti
reklame
adalah
pemberitahuan kepada umum tentang barang dagangan (pujian, gambar dan sebagainya) supaya laku. Jadi pemasangan suatu iklan, bertujuan untuk mempengaruhi konsumen agar membeli barang atau produk atau suatu jasa dari suatu perusahaan tertentu. “ Iklan sebagai alat komunikasi yang menjembatani
Universitas Sumatera Utara
produsen dengan konsumen, harus menyajikan kebenaran dari apa yang diiklankan. Iklan yang ditujukan ini haruslah menarik perhatian, menimbulkan kesan, membangkitkan perhatian dan memancing reaksi.12 Agar promosi melalui iklan tidak sia-sia, sebaiknya promosi diarahkan untuk mencapai tujuan khusus dari periklanan. Tujuan-tujuan periklanan adalah tujuan yang diupayakan untuk dicapai oleh periklanan. Secara umum, tujuan iklan adalah : 13 1. Menciptakan pengenalan merek dan perusahaan Dengan beriklan, seorang pemilik usaha dapat memperkenalkan produk, dan perusahaan. 2. Memosisikan produk di mata konsumen Dengan mengiklankan produk, berarti merupakan usaha memosisikan hal tersebut di benak konsumen. Tujuan mengiklankan barang atau jasa adalah agar produk yang dijual masuk dalam posisi utama di benak konsumn sehingga mereka bisa menjadi pelanggan yang setia. 3. Mendorong konsumen untuk mencoba barang maupun jasa yang ditawarkan karena iklan yang bagus adalah iklan yang membuat orang yang melihat penasaran untuk mencoba apa yang ditawarkan dalam iklan tersebut. 4. Mendukung terjadinya pembelian uang Sebuah iklan yang dimaksudkan untuk mendorong konsumen melakukan pembelian ulang. Seandainya sudah konsumen yang pernah membeli produk yang dijual, maka dengan adanya iklan diharapkan bisa mengingatkan para konsumen atas keberadaan barang maupun jasa yang dijual tersebut sehingga mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang. 5. Membina loyalitas pelanggan Salah satu harapan yang diinginkan setelah mengiklankan adalah membina loyalitas dengan pelanggan. Secara tidak langsung, iklan mampu mengingatkan konsumen atas keberadaan produk yang diiklankan itu dan bisa saja produk itu mampu menempati posisi yang bagus di benak konsumen sehingga mereka bisa menjadi pelanggan yang setia. 6. Menginformasikan keistimewaan barang atau jasa baru Iklan juga bisa digunakan untuk menginformasikan produk baru dengan menjelaskan keunggulan dan keistimewaan dari barang baru tersebut. 7. Meningkatkan citra 12
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1986 ), hal. 372. 13 Niken Tri Hapsari, op.cit, hal. 39-42.
Universitas Sumatera Utara
Sebuah produk yag diiklankan kemungkinan kenaikan citranya lebih besar daripada produk yang tidak diiklankan sama sekali. Jadi, agar produk dari usaha kita bisa naik nilai citranya di mata konsumen, maka ada baiknya produk tersebut diiklankan. Sebagian besar konsumen Indonesia akan merasa bangga mengkonsumsi produk-produk yang terkenal atau paling tidak yang pernah mereka lihat dari iklan atau dengar dari orang lain. Menurut Howard Beales, yang dikutip dalam buku Taufik H.S, setidaknya ada 4 (empat) hal yang harus diatur dalam suatu regulasi yang efisien, berkenaan dengan pentingnya informasi bagi konsumen yang mengikat secara hukum bagi pelaku usaha yang terlibat dalam memproduksi suatu iklan :14 1.
2.
3.
Consumers Information in the Law Bahwa informasi bagi konsumen sekaligus menjadi kewajiban bagi produsen, yang dilindungi secara hukum. Informasi penting yang harus dikemukakan oleh produsen tersebut menyangkut tentang harga, kualitas/mutu, efek samping, dan hal-hal lain yang perlu diketahui konsumen sebagai rujukan ketika konsumen berniat hendak membeli produk barang atau jasa. Information Markets and Market Failures Yaitu : suatu informasi pasar yang mengiklankan suatu produk barang dan jasa secara berlebihan, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang salah.Dari arti kata market failures, yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti “kegagalan pasar”, patut diduga hal tersebut sengaja dilakukan untuk menarik minat pembeli. Meskipun tidak tertutup kemungkinan informasi yang salah tersebut disebabkan salah satu pihak pengiklan (perusahaan yang mengeluarkan produk), perusahaan periklanan (biro iklan), atau media periklanandengan maksud yang tidak baik memberikan informasi secara berlebihan. Information Remedies Pegendalian Informasi dapat diklasifikasikan pada 3 (tiga) kategori umum, yaitu: a. Removing restrains on information Yaitu : suatu usaha-usaha untuk melakukan pemantauan sekaligus pengendalian secara terus-menerus terhadap informasi-informasi produk barang dan jasa yang diterima konsumen. b. Correcting misleading information Yaitu : suatu usaha-usaha untuk mengklasifikasikan claim (gugatan) yang memang disebabkan kesalahan dan perilaku buruk dari produsen. Atau, justru, bukan karena kesalahan produsen, melainkan lebih
14
Howard Beales, Richard Craswell, dan Steven C Salop, “ The Efficient Regulation of Consumers Information”, dalam Taufik H.S., ibid, hal. 10-12.
Universitas Sumatera Utara
4.
disebabkan kesalahan perusahaan periklanan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. c. Encouraging additional information Yaitu : kecenderungan produsen memberikan informasi secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kondisi dan karakteristik produk yang sebenarnya. Policy Implication Yaitu suatu kondisi dimana hak-hak konsumen, khususnya untuk mendapatkan informasi yang benar dari suatu produk barang dan jasa, akan semakin terlindungi. Dengan demikian, informasi-informasi yang diperlukan oleh konsumen
sekaligus yang harus disampaikan produsen adalah menyangkut tentang harga (price), jumlah (quantity), mutu (quality), cara penggunaan, efek samping, dan keterangan-keterangan lainnya, yang dapat membantu konsumen dalam memutuskan untuk membeli atau tidak suatu produk barang dan jasa. Sekaligus informasi-informasi tersebut juga membantu produsen untuk menetapkan bentuk atau standar produk yang ditawarkan kepada konsumen. Penetapan tujuan periklanan harus berdasarkan sasaran pasar, penentuan posisi pasar dan gabungan metode pemasaran dan juga untuk meningkatkan penjualan yang menguntungkan perusahaan. Setelah sasaran pasar, penentuan posisi pasar dan gabungan metode pemasaran jelas, baru menetapkan tujuan periklanan. Jika dilihat berdasarkan sasarannya, periklanan memiliki tujuan sebagai berikut : Iklan Informatif, Iklan Pembujuk (Persuasif), Iklan Pengingat, Iklan Penambah Nilai, Iklan Bantuan Aktivitas lain.15 Berdasarkan kategori diatas, iklan rokok memiliki sasaran Pembujuk (Persuasif). Iklan persuasif berfungsi untuk meyakinkan konsumen bahwa produk mereka benar-benar berbeda atau bahkan lebih baik dibandingkan produk pesaing. 15
Ibid, hal. 42-47.
Universitas Sumatera Utara
Maka iklan rokok pada umumnya berusaha untuk melakukan upaya-upaya dalam periklanan yang berusaha untuk membujuk konsumen agar memakai merek tertentu. Dalam membuat suatu iklan, pelaku usaha harus memperhatikan asas- asas umum kode etik periklanan agar tidak melanggar hak-hak konsumen antara lain :16 1. Iklan harus jujur, bertanggung jawab dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Iklan tidak boleh menyinggung perasaan dan merendahkan martabat negara, agama, adat budaya, hukum dan golongan. 3. Iklan harus dijiwai oleh asas persaingan yang sehat. Tetapi sekarang ini, banyak sekali pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap tayangan iklan yang dibuatnya untuk mempromosikan produknya. Hal-hal tersebut dapat berupa materi periklanan tersebut sampai jam penayangan dari iklan tersebut. Dan iklan yang akan menjadi konsentrasi dari penulis adalah iklan rokok. Iklan rokok merupakan suatu jenis iklan yang memiliki banyak sekali pembatasan dalam penayangan di media elektronik. Media elektronik terdiri dari media komunikasi, media visual, dan media audio visual. Yang termasuk media komunikasi adalah radio dan televisi. Televisi juga dapat disebut sebagai media audio visual. Sedangkan media visual dan media audio visual bertujuan agar konsumen dapat melihat dengan jelas iklan tersebut. Media visual misalnya, 16
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Jakarta : PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 140.
Universitas Sumatera Utara
papan reklame, alat transportasi umum, slide, spanduk, dan pameran-pameran. Sedangkan media audio visual contohnya adalah video, bioskop, tempat-tempat pertunjukan, dan lain-lain. Yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah tayangan iklan rokok dalam media media komunikasi yakni televisi. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) terhadap hasil monitoring yang dilakukan serentak terhadap lima stasiun televisi swasta, mengambil waktu tayang antara jam 18.00-22.00 (diambilnya jam tayang tersebut dengan alasan merupak an primetime dengan acara unggulan yang banyak dikonsumsi dari kalangan remaja, anak, dan ibu rumah tangga. Dari kegiatan tersebut didapat hasil dalam tabel berikut :17 Tabel 1 Rating Stasiun Televisi Swasta dalam Penayangan Iklan Rokok. No.
Stasiun
Jumlah Penayangan
1.
RCTI
43 kali penayangan
2.
SCTV
43 kali penayangan
3.
INDOSIAR
33 kali penayangan
4.
ANTV
19 kali penayangan
5.
TPI
7 kali penayangan Jumlah :
145 kali penayangan
Sumber : YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)
17
Agus Sujatno , (http://wartakonsumen.blogspot.com/ 2008 _08_20_archieve.html), (pada tanggal 23-27 februari 2000, kecuali TPI yang diperoleh pada tanggal 29 februari hingga 4 maret 2000) yang diakses pada 23 juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tabel diatas menunjukkan bahwa setiap stasiun televisi swasta sering seklai menayangkan iklan rokok. Dan semakin tinggi rating dari suatu stasiun swasta itu, maka semakin sering pula stasiun televisi swasta itu melakukan penanyangan iklan rokok. Hal ini mengakibatkan masyarakat semakin sering melihat tayangan iklan rokok karena sering ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi favorit dari masyarakat. Lebih lanjut berdasarkan pemantauan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) selama November-Desember 2001 ditemukan pelanggaran jam tayang yang dilakukan oleh PT Djarum Kudus dan PT HM Sampoerna sebanyak 34 pelanggaran. Dimana PT Djarum Kudus melakukan 32 pelanggaran antara lain, iklan rokok merek Djarum Black yang ditayangkan di RCTI pada jam 13.51.50, jam 14.04.19, jam 10.05.24, dan jam 11.05.24 WIB. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh PT HM Sampoerna ada dua : iklan rokok Sampoerna A Mild ditayangkan di RCTI pukul 21.27.25 dan SCTV pukul 20.05.25 WIB.18 Pada tahun 2006, iklan rokok menempati urutan kedua setelah iklan industri telekomunikasi, yaitu sebesar Rp. 1,6 triliun (satu koma enam triliun rupiah), dari total belanja iklan nasional sebesar Rp. 37 triliun (tiga puluh tujuh triliun rupiah). Pada tahun 2009, iklan nasional mencapai Rp. 48,5 triliun (empat puluh delapan koma lima triliun rupiah) dan iklan rokok semakin dominan.19 Artinya stasiun televisi semakin banyak yang menayangkan iklan rokok dibandingkan dengan iklan produk-produk lain. 18
Andriani Lumankun – Soetoto, Majelis Hakim Tolak Gugatan Iklan Rokok, (http://pub web.acns.nwu.edu/-ejw923/iklan1.html), diakses tanggal 5 Desember 2010. 19 Data diperoleh dari http:// www.kompas.com / yang diakses pada 3 agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Rating Merek pemasang iklan di media Elektronik. No.
Merek
Jumlah Ditayangkan
1.
Sampoerna A Mild
43 kali ditayangkan
2.
Djarum Super
43 kali ditayangkan
3.
Gudang Garam
33 kali ditayangkan
4.
Pall Mall
19 kali ditayangkan
5.
Bentoel Light
9 kali ditayangkan
6.
Long Beach
7 kali ditayangkan
7.
Sampoerna Hijau
5 kali ditayangkan
8.
Mustang
3 kali ditayangkan
9.
Wismilak Diplomat
3 kali ditayangkan
10.
Wismilak Spesial
1 kali ditayangkan
11.
Kennedy
1 kali ditayangkan
Jumlah :
145
Sumber : YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Tabel kedua menunjukkan mengenai tingkat penayangan terhadap merek dari rokok. Tabel diatas menunjukkan bahwa semakin terkenal merek rokok tersebut maka semakin sering pula merek rokok tersebut ditayangkan di televisi. Pada Tahun 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak pernah melakukan penelitian terhadap dampak iklan rokok. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa anak yang berusia antara 13 - 15 tahun cenderung terdorong dan terinspirasi untuk merokok dari iklan rokok. Hal ini menunjukkan bahwa begitu
Universitas Sumatera Utara
besarnya pengaruh dari sebuah iklan rokok terhadap anak-anak. Anak-anak yang cenderung masih dalam keadaan labil otomatis akan terpengaruh atas iklan yang ditayangkan pada televisi, dan kemungkinan akan meniru apa yang ditunjukkan dalam iklan tersebut tanpa dapat menyaring apakah perbuatan tersebut baik atau buruk. Apalagi anak-anak yang menonton tayangan iklan rokok tanpa didampingi orangtua atau orang dewasa. Besarnya pengaruh tayangan iklan rokok yang ditayangkan pada televisi otomatis meningkatkan jumlah konsumsi rokok dalam masyarakat. Apabila berbicara mengenai konsumen rokok, tidak ada batasan terhadap umur. Bagi orang dewasa mengkonsumsi rokok merupakan hal yang lazim meskipun dipandang dari segi kesehatan tetap tidak baik. Namun bila berbicara soal anak yang berada dibawah umur menjadi pertimbangan lain. Pengaruh tayangan iklan rokok terhadap konsumsi rokok oleh anak dibawah umur dapat dibuktikan melalui data yang dikeluarkan oleh Data Survei Ekonomi Nasional 2004 yang menunjukkan prevelansi merokok anak usia 15-19 tahun mencapai 32,8 % (tiga puluh dua koma delapan persen). Perokok yang mulai merokok pada usia 5-9 tahun meningkat tajam 144 % (seratus empat puluh empat persen) dari tahun 2001 ke 2004. Pada tahun 2008 prevelensi diperkirakan meningkat mencapai 37 % (tiga puluh tujuh persen) sehingga dari 70 (tujuh puluh ) juta jumlah anak di Indonesia, 25,9 (dua puluh lima koma sembilan) juta anak diantaranya merokok. Hal ini bukan saja mempengaruhi kesehatan bagi anak-anak yang apabila sejak dini telah
Universitas Sumatera Utara
merokok, juga mempengaruhi kemajuan negara dimana sebagian besar generasi muda sudah mulai merokok sejak dini.20 Selain
itu, penelitian dari Satgas Perlindungan Anak Pengurus Pusat
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2000 menemukan bahwa anak mulai merokok pada usia yang semakin kecil. Pada tahun 1970 - 1980 anak mulai merokok pada usia 12 (dua belas) tahun , pada tahun 1980 - 1990 anak mulai merokok pada usia 10 (sepuluh) tahun, sedangkan pada awal 2000 ditemukan bahwa anak mulai merokok pada usia 7 (tujuh) tahun.21 Hal ini jelas menjadi pemikiran yang serius bagi pemerintah dimana semakin kedepan semakin tinggi tingkat konsumsi rokok dan semakin muda usia perokok. Berdasarkan data diatas maka dapat disimpulkan bahwa sejak 10 (sepuluh) tahun lalu telah terdapat banyak sekali pelanggaran yang dilakukan terhadap jam tayang iklan rokok yang menyebabkan dampak yang begitu besar pada masyarakat terutama anak-anak. Dengan dimulainya pengkonsumsian rokok oleh anak-anak mulai dari sejak dini akan mengakibatkan dampak buruk bagi perkembangan anak-anak tersebut. Dan apabila semakin banyak anak yang mengkonsumsi rokok sejak kecil akan berdampak pada masa depan generasi muda dan masa depan bangsa. Hal tersebut ditunjang oleh tayangan iklan rokok yang secara tidak langsung mendorong para remaja untuk bereksperimen dengan tembakau dan mencoba merokok.WHO (World Health Organization) atau Badan Kesehatan 20
“Kisah Anak – Anak Tersihir Iklan Rokok”, (http://www.vhrmedia .com/ vhrstory/kisah,anak-anak-tersihir-iklan-rokok-142.html ), pada tanggal 23 juli 2010. 21 “Larangan Iklan Rokok”, (http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/ 2010/03/09/ melarang-iklan-rokok/), diakses pada tanggal 23 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Dunia menyatakan sudah terbukti bahwa larangan menyeluruh terhadap iklan rokok mengurangi konsumsi tembakau tetapi larangan sebagian (parsial) hanya sedikit atau bahkan tidak berdampak sama sekali. Ketika suatu jenis iklan dilarang, industri tembakau akan beralih ke jenis lain. Iklan rokok di Indonesia oleh Perusahaan Tembakau termasuk juga dalam keterlibatan sebagai sponsor dalam kegiatan olahraga, acara remaja, dan konser musik. Akibatnya, anak-anak di Indonesia sangat terpengaruh oleh iklan rokok yang mengasosiasikan merokok dengan keberhasilan dan kebahagiaan. 22 Apabila hendak berbicara mengenai pengaturan dan pengawasan maka tidak akan terlepas dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga konsumen swadaya masyarakat. Dalam UU Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa “ Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”.23 Dalam Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, disebutkan bahwa perlindungan konsumen dilakukan secara bersama-sama oleh
22
“WHO : Iklan Rokok Dorong Remaja Merokok”, (http://www.info anda.com/ id/link.php?ih=VIVVBVNUVFVY), diakses pada tanggal 23 juli 2010. 23 Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.
Universitas Sumatera Utara
pemerintah, masyarakat dan LPKSM, mengingat banyak ragam dan jenis barang dan/atau jasa yang beredar di pasar serta luasnya wilayah Indonesia.24 Berdasarkan
penjelasan
tersebut,
tugas
pengawasan
tidak
hanya
dibebankan kepada pemerintah. Masyarakat umum dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) juga bisa terlibat secara aktif. Namun apabila kita menitikberatkan pada Pasal 30 UUPK yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa pengawasan lebih banyak menitikberatkan pada peran masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, dibanding dengan peran pemerintah yang pelaksanaanya dilakukan oleh menteri dan/atau menteri terkait. Seperti terlihat dalam pasal tersebut pemerintah diserahi tugas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya. Sementara pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, selain tugas yang sama dengan apa yang menjadi tugas pemerintah diatas, juga diserahi tugas pengawasan terhadap barang dan/ atau jasa yang beredar di pasar. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 30 ayat 4 juga menentukan bahwa, “apabila pengawasan oleh masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPSKM) ternyata mendapatkan hal-hal yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.”25
24
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen , Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4126. 25 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2004), hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
Maka, dapat disimpulkan bahwa tugas pengawasan terhadap iklan rokok paling besar terletak pada masyarakat serta lembaga perlindungan konsumen masyarakat sedangkan pemerintah hanya melakukan pengawasan terhadap produk (rokok) itu telah tersebar dalam pasar akibat dari pengaruh tayangan iklan dalam media elektronik yakni televisi. Dimana pemerintah akan melakukan pengawasan terhadap iklan rokok apabila telah terdapat pengaduan dari masyarakat maupun lembaga perlindungan konsumen terhadap adanya suatu pelanggaran terhadap ketentuan periklanan rokok dalam media elektronik. Sejalan dengan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maka pemerintah akan melakukan suatu pengaturan terhadap tayangan iklan rokok yang terealisasi dari produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah baik berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah. Beberapa peraturan perundangan yang mengatur antara lain : UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Etika Pariwara Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan pengawasan
Penyelenggaraan
Perlindungan
Konsumen,
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2000 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Melalui peraturan perundangan yang diatas maka pemerintah dapat melakukan pengaturan terhadap tayangan iklan rokok yang dibuat oleh pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara
Namun, apabila ternyata tayangan yang dilakukan oleh pelaku usaha menimbulkan sengketa pada suatu waktu terhadap konsumen, maka pelaku konsumen dapat dituntut pertanggungjawabannya. Prinsip tentang tanggungjawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggungjawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.26 Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut :27 1. Kesalahan (liability based on fault); 2. Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability); 3. Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of nonliability); 4. Tanggung jawab mutlak (strict liability); 5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability). Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault ) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalan hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini 26 27
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal. 59. Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hal. 92.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.28 Prinsip Praduga untuk selalu bertanggung jawab menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.29 Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.30 Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) mengandung pengertian prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan
28
Ibid, hal. 93-94. Ibid. 30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen , Jakarta : Grasindo, 2000), dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid , hal. 93-94. 29
Universitas Sumatera Utara
konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. 31 Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat merugikan konsumen apabila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada
pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas.32 Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen dapat diketahui bahwa terdapat tiga jenis pertanggungjawaban pelaku usaha antara lain: 1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan 2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran 3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.33 Pasal ini menjelaskan bahwa bentuk ganti kerugian tersebut dapat berupa pengembalian uang dan/atau penggantian barang atau jasa yang senilai harganya dan/atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan langsung kepada konsumen. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah termasuk pada kategori manakah apabila seorang pelaku usaha dituntut pertanggungjawabannya atas tayang iklan rokok yang dibuatnya. 31
Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit, hal. 96-97. Ibid, hal. 98. 33 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821. 32
Universitas Sumatera Utara
Pertanggungjawaban pelaku usaha adalah ganti kerugian konsumen karena pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap tayangan iklan rokok termasuk perbuatan melanggar hukum. Oleh karenanya, pertanggungjawaban yang dapat dimintakan adalah pertanggungjawaban ganti kerugian atas kerugian konsumen. Apabila permasalahan konsumen pada akhirnya menimbulkan sengketa maka dalam hal ini akan melibatkan BPSK ( Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dan Peradilan Umum. Dimana BPSK untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Dan hal ini diatur didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yaitu : “ Setiap Konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui badan peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.34 Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Bentuk sengketa konsumen karena kerugian yang dapat dialami oleh konsumen adalah :35 1. Cacat Tubuh / Fisik (Personal Injury) Adalah cacat fisik atau kerugian yang melekat pada diri konsumen sebagai akibat mengkonsumsi akibat mengkonsumsi suatu produk. 2. Cacat Fisik (Injury To The Product Itself / Some Other Property) 34
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821. 35 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), hal. 78-79.
Universitas Sumatera Utara
Adalah kerugian yang diderita akibat rusaknya produk atau tidak berfungsinya produk yang sudah dibeli. 3. Kerugian Ekonomi (Pure Economic Loss) Adalah kerugian yang langsung berkaitan dengan produk yang dibelinya yang muncul ketika produk itu tidak sesuai dengan tingkat performance yang diharapkan. Kerugian semacam ini ada dua tipe yaitu : a. Kerugian Ekonomi Langsung (Direct Economic Loss / Diminution Value of The Product ) adalah kerugian yang dialami konsumen karena pengurangan nilai dari produk yang dibelinya. b. Kerugian Ekonomi Tidak Langsung (Indirect Economic Loss / Resulting From The Performance of Product) adalah kerugian yang disebabkan oleh performace dari produk yang dibelinya atau produk yang cacat sehingga tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya. Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung ke pengadilan atau di luar pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sedangkan gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, lembaga konsumen swadaya masyarakat maupun pemerintah atau instansi terkait hanya dapat diajukan ke pengadilan.36 Banyaknya reaksi keras masyarakat ditunjukkan oleh banyaknya gugatan yang dilayangkan oleh masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat terhadap produsen-produsen rokok antara lain : Gugatan Legal Standing yang diajukan oleh YLKI dengan NGO mitra atas pelanggaran jam tayang pada tahun 2000 terhadap PT. Djarum Kudus dan PT H.M. Sampoerna dimana kedua produsen tersebut melakukan penyangan iklan produknya diluar jam 21.30 s/d 05.00
37
, Gugatan
Legal Standing pada tahun 2002 terhadap PT Djarum selaku pelaku usaha oleh 5
36
Ibid, hal. 81. “Menuju Advokasi Litigasi Pengendalian Tembakau”, (http://wartakonsumen .blogspot.com/2008_08_29_archieve.html), yang diakses pada tanggal 23 Juli 2010 37
Universitas Sumatera Utara
LSM (YLKI dll) yang diputuskan bebas oleh PN Jakarta Selatan No. 278/Pdt.G/2002/PN.Jaksel.38 Gugatan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran atau kerugian yang dialami konsumen akibat ulah pelaku usaha diajukan berdasarkan pelanggaran atas Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen,
sehingga beban pembuktian ada pada pihak produsen berdasarkan asas tanggung jawab mutlak (strict liability). Bila gugatan diajukan berdasarkan atas pelanggaran pelaku usaha terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365 tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Pasal 1234 tentang Ingkar Janji, maka pembuktian harus dilakukan oleh konsumen sebagai penggugat, hal ini akan memberatkan konsumen.
E. Metode Penelitian Adapun metode penelitian hukum yang digunakan oleh penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi : 1. Spesifikasi Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data sekunder.39 Data sekunder dalam skripsi ini yaitu kajian yang digunakan terhadap peraturan peraturan perundang-undangan dan berbagai literatur yang berhubungan dengan judul skripsi. 38
Eni Wahyuni, (http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tab ID=61&src=k&id=138338), yang diakses pada tanggal 24 Juli 2010 39 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah Data Sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data lain yang terdiri atas :40 a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : Buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu : Kamus, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Alat Pengumpulan Data Alat Pengumpulan Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalahmasalah yang dihadapi.41 4. Analisis Data Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Metode kualitatif digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala 40
Ibid, hal. 24-25. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, ( Jakarta : Universitas Indonesia (UIPress), 2007), hal. 21. 41
Universitas Sumatera Utara
yang ditelitinya.42 Maka dalam skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab persoalan yang dihadapi.
F. Keaslian Penulisan Skripsi ini berjudul “Pengaturan dan Pengawasan Tayangan Iklan Rokok Ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia”. Dan judul skripsi ini belum pernah dibahas dan ditulis sebelumnya. Oleh karena itu, skripsi ini merupakan hasil tulisan saya.
G. Sistematika Penulisan Secara garis besar skripsi ini dibagi atas 5 (lima) Bab dan masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan kepentingan penulisan. Bab I Pendahuluan, dalam bab ini menerangkan secara ringkas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tinjauan Penulisan, Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan. Bab II membahas mengenai Pengaturan Tayangan Iklan Rokok dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Etika Pariwara Indonesia yang membahas Pengertian, Tujuan, Prinsip-prinsip dasar, 42
Ibid, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
serta Fungsi Iklan, Media Periklanan dan Pengaturan serta Perlindungannya, Tayangan Iklan Rokok dalam Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk-bentuk Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok. Bab III membahas mengenai Pengawasan Tayangan Iklan Rokok oleh Pemerintah, Masyarakat, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan Asosiasi Pelaku Usaha Periklanan. Bab IV membahas mengenai Pengaturan dan Pengawasan Tayangan Iklan Rokok serta Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Periklanan terhadap Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Tayangan Iklan Rokok. Bab V berisi Kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan Saran yang mungkin berguna dan dapat dipergunakan untuk menyempurnakan penulisan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara