1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sebuah kesempatan mengunjungi kota Surakarta atau Solo penulis menemukan sebuah pemandangan yang menarik. Di tepi salah satu jalan utama di kota itu yang membentang dari utara ke selatan ada sebuah masjid dan sebuah gereja yang berdiri berdampingan.1 Bangunan rumah ibadah dua agama yang berbeda itu hanya dipisahkan oleh tembok. Keberadaan rumah ibadah dua agama yang berbeda dalam satu lokasi yang hanya dipisahkan oleh tembok umumnya dipandang sebagai simbol 'harmoni' atau 'kerukunan antar umat beragama'. Namun demikian apakah kesan demikian selalu benar? Keberadaan dua rumah ibadah agama yang berbeda juga bisa ditafsirkan sebagai simbol persaingan antara dua komunitas agama. Di balik harmoni yang tampak di permukan adakah persaingan, kecurigaan, dan ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen di Surakarta? Jika ada, sejak kapan persaingan, kecurigaan, dan ketegangan itu muncul? Berbicara tentang persaingan, kecurigaan, dan ketegangan erat kaitannya
Masjid dan gereja yang berdampingan tersebut adalah Masjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan yang terletak di Jl. Gatot Subroto No. 222. 1
2 dengan tumbuhnya identitas keberagamaan di Surakarta. Tumbuhnya identitas ini tidak lepas dari perkembangan kehidupan beragama yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada awal Orde Baru terjadi proses “pemaksaan” agama -dalam artian agama-agama yang diakui negara- terhadap warga negara. Tragedi 1965-1966 yang membuka jalan bagi lahirnya rezim Orde Baru berpengaruh besar bagi perkembangan masyarakat Indonesia –khususnya Jawa- pada masa selanjutnya. Identifikasi diri dengan agama(-agama) yang diakui negara mendadak menjadi hal yang penting bahkan erat kaitannya dengan keselamatan nyawa. Tahun 1966 pemerintah mengeluarkan Penpres no.1/1966 yang isinya mewajibkan seluruh warga negara Indonesia memeluk salah satu agama dari 5 agama yang diakui Negara –Islam, Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu, dan Buddha.2 Orang-orang yang tidak memeluk salah satu dari kelima agama tersebut terancam dicap atheis yang disamakan dengan komunis yang artinya layak untuk ditumpas. Demikian pula halnya dengan orang yang meskipun secara formal mengaku beragama tetapi tidak menunjukkan ketaatan beragama atau identifikasi dengan agama tertentu juga terancam mengalami nasib yang sama dengan orang-orang yang tidak beragama.
G. Budi Subanar. “Mengoreksi Pandangan Membuka Cakrawala (Sebuah Catatan Pengantar)” dalam R.A.F. Paul Webb & Steven Farram. 2005. Di-PKIkan: Tragedi 1965 dan Kaum Nasrani di Indonesia Timur (Yogyakarta: Syarikat), hal. vii. 2
3
Kebijakan pemerintah dalam hal agama tersebut mendorong perubahan besar dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di berbagai penjuru Indonesia, termasuk di Jawa. Masyarakat yang semula hanya menganut agama secara nominal berusaha menunjukkan ketaatan beragama agar tidak dicap sebagai PKI. Dalam kaitannya dengan Islam tidak heran jika pasca-1965 terjadi perkembangan yang signifikan dalam proses Islamisasi -atau lebih tepatnya santrinisasi- di Jawa. Banyak daerah yang semula dikenal sebagai daerah abangan dan menjadi basis PKI atau PNI mengalami pergeseran dalam orientasi keberagamaan masyarakatnya menjadi masyarakat santri.3 Proses Islamisasi ini sedikit banyak didukung oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya mengikis pengaruh komunis dan membangun stabilitas nasional di samping tentu saja ada peran dari organisasi atau kelompok-kelompok Islam sendiri.4 Di sisi lain kebijakan agama pemerintah di awal masa Orde Baru juga mendorong terjadinya perpindahan agama ke Kristen secara massal. Di sejumlah daerah terjadi konversi agama dari kepercayaan-kepercayaan tradisional ke Kristen “yang mengubah desa-desa animis menjadi desa Kristen hanya dalam semalam.”5 Di Jawa sendiri terjadi gelombang konversi yang cukup besar di kalangan orang-
Lihat Bambang Pranowo. 2009. Memahami Islam Jawa. Tangerang: Pustaka Alvabet & Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP). 3
Lihat Uji Nugroho, “Memutihkan Yang Merah: Ujian Guru Agama (UGA) dan Deideologisasi Komunis di Gunung Kidul Pasca-1965” dalam Sri Margana & Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Persembahan Untuk 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo: 408-428. 4
5
Webb & Farram. 2005; op.cit, hal. 116-117.
4
orang abangan dari Islam ke Kristen.6 Keterlibatan organisasi-organisasi Islam dalam ‘pengganyangan’ PKI yang memakan banyak korban dari kalangan abangan menimbulkan sentimen dari sebagian orang abangan –khususnya yang memiliki keterkaitan dengan PKI- terhadap Islam dan mendorong mereka untuk meninggalkan Islam. Bantuan para rohaniwan serta misionaris Kristen kepada para tahanan politik dari kalangan PKI juga ikut mendorong proses konversi tersebut.7 Dengan latar belakang di atas pada masa Orde Baru terjadi persaingan antara Islamisasi dan Kristenisasi di kota Surakarta atau Solo. Islamisasi di Surakarta ditandai dengan berdirinya masjid dan mushola di seluruh penjuru kota. Sementara itu di sisi lain selepas hancurnya PKI banyak di antara massa abangan yang menjadi pendukung PKI berkonversi ke Kristen. Sepanjang masa Orde Baru terjadi peningkatan jumlah umat Kristen di Surakarta secara signifikan. 8 Hasilnya di pergantian abad ini hampir seperempat penduduk Solo beragama Kristen, sebuah jumlah yang tidak kecil untuk sebuah kelompok minoritas.9 Ditinjau dari dampaknya, sudah barang tentu Islamisasi maupun Kristenisasi mendorong tumbuhnya identitas keberagamaan dalam masyarakat Indonesia. Adalah satu hal yang menarik bahwa pada masa Orde Baru pemerintah
Lihat Avery T. Willis. 1977. Indonesian Revival. Why Two Million People Came to Christ?. Pasadena: William Carey Publishers dan Singgih Nugroho. 2008. Menyintas dan Menyeberang: Perpindahan Massal Keagamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Syarikat. 6
M.C. Ricklefs. 2012. Islamization and Its Opponents in Java. C 1930-Present (Singapore: NUS Press), hal. 146. 7
8 9
Ricklefs. 2012, hal. 143-144. Ricklefs. 2012, hal. 501.
5
di satu sisi menabukan penonjolan identitas keberagamaan namun di sisi lain pemerintah secara tidak langsung ikut berperan dalam menumbuhkan identitas keberagamaan. Tumbuhnya identitas keberagamaan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari intensnya misi keagamaan yang sebagian mendapat dorongan dari pemerintah sendiri. Menarik untuk dilihat identitas keberagamaan seperti apakah yang tumbuh dalam konteks sosial-politik Orde Baru ini dan bagaimana pula pengaruh tumbuhnya identitas itu terhadap hubungan antar pemeluk agama.
B. Rumusan Permasalahan, Batasan Temporal dan Ruang Lingkup Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas dapat dirumuskan sejumlah permasalahan berupa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah proses Islamisasi berjalan di Surakarta pada masa Orde Baru? Siapakah pihak yang berperan sebagai agen-agen Islamisasi di Surakarta? Seperti apakah dampak kultural yang muncul akibat Islamisasi? Identitas keislaman seperti apa yang lahir dari proses ini? 2. Bagaimanakah proses Kristenisasi berjalan di Surakarta pada masa Orde Baru? Siapakah pihak yang berperan sebagai agen-agen Kristenisasi di Surakarta? Seperti apakah dampak kultural yang muncul akibat Kristenisasi? Identitas kekristenan seperti apa yang lahir dari proses ini? 3. Sampai sejauh mana terjadi persaingan dan ketcurigaan anatara komunitas Muslim dan Kristen di Surakarta? Bagaimana hubungan komunitas Muslim dan Kristen di Surakarta di tengah tumbuhnya identitas keberagamaan kedua komunitas?
6
Masa Orde Baru (1966-1998) dipilih sebagai batasan temporal karena pada masa ini berlangsung proses pengagamaan yang didukung oleh negara. Bagaimana dampak dari proses tersebut
berupa menguatnya identitas
keberagamaan akan terlihat pada masa awal Reformasi (1999-2000). Sepanjang periode ini dapat dilihat bagaimana berlangsungnya proses Islamisasi maupun Kristenisasi di Solo dalam kaitannya dengan konstelasi politik yang terjadi beserta bagaimana dampaknya. Mengenai ruang lingkup penelitian, penulis akan memfokuskan penelitian di Surakarta yang meliputi wilayah administratif Kota Surakarta. Walaupun demikian sedikit banyak penelitian ini juga akan menyentuh daerah-daerah pinggiran kota (suburban) di sekitar Surakarta karena perkembangan di daerahdaerah tersebut juga tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di Surakarta sendiri. Kota Surakarta dan sekitarnya dipilih karena dewasa ini di daerah ini banyak berkembang kelompok keagamaan yang militan baik dari kalangan Muslim maupun Kristen.10 Perkembangan ini menarik mengingat sampai dengan masa Demokrasi Terpimpin Surakarta dikenal sebagai basis PKI yang kuat, yang notabene merupakan gerakan militan berorientasi sekuler bahkan sering dicap antiagama.11 Bagaimana sebuah daerah yang dahulu menjadi basis gerakan militan
Tentang kelompok-kelompok Islam militan di Surakarta lihat Muhammad Wildan, “The Nature of Islamic Radical Groups in Surakarta” dalam Journal of Indonesian Islam vol. 7, no.1, June 2013, hal. 49-70. Untuk kelompok Kristen militan lihat studi kasus Susanne Rodemeier tentang GBI (Gereja Bethel Indonesia) Keluarga Allah (Susanne Rodemeier, “Everyone is a potential leader”attractiveness of a charismatic church in Solo, Java (Indonesia)” dalam Economics vol. 3, no. 20, 2012, hal. 45-58. 10
11
Ricklefs. 2012, hal 141.
7
sekuler menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berekembangnya kelompokkelompok keagamaan militan patut diselidiki secara historis.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memahami seperti apa identitas sosial yang tumbuh akibat penyebaran agama di tengah konteks sosial-politik tertentu dan bagaimana identitas itu mewarnai hubungan sosial antar komunitas. Lebih spesifik lagi penelitian ini berusaha untuk memahami identitas sosial seperti apakah yang tumbuh sebagai akibat penyebaran agama ketika penyebaran agama itu berlangsung di tengah masa pemerintahan sebuah rezim yang kebijakannya berorientasi pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Dengan memahami hal tersebut diharapkan dapat lahir suatu pemahaman mengenai hubungan antara identitas sosial yang tumbuh dengan kondisi sosial-politik pada kurun waktu tertentu.. Adapun manfaat dari penelitian ini, diharapkan akan diperoleh pemahaman tentang dimensi sosial dari identitas keberagamaan. Lahir dan berkembangnya
identitas
keberagamaan
tertentu
yang
pada
gilirannya
memengaruhi hubungan antar komunitas agama bukan suatu hal yang tiba-tiba tanpa ada konteks sosial-politik di baliknya. Identitas keberagamaan tersebut disadari ataupun tidak berkaitan dengan latar belakang pihak-pihak yang terlibat aktif dalam proses pembentukan identitas itu sendiri. Siapa pihak yang berperan juga erat kaitannya dengan konteks sosial-politik pada era tertentu. Usaha membangun dialog dan kerjasama antar komunitas agama akan efektif jika masingmasing pihak lebih menaruh perhatiannya pada masalah sosial bersama ketimbang
8
mempertajam perbedaan identitas masing-masing. Akan tetapi untuk sampai pada pemahaman ini perlu ada usaha untuk memahami secara kritis asal usul lahirnya identitas tersebut dengan melihat siapa pembentuknya dan konteks sosial-politik yang melingkupi kelahirannya.
D. Tinjauan Pustaka Sudah banyak penelitian yang dilakukan dan buku yang ditulis mengenai Islamisasi dan Kristenisasi di Jawa atau Indonesia pada umumnya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya karya-karya tersebut sangat berguna sebagai acuan awal untuk meneliti pembentukan identitas Muslim dan Kristen di Jawa. Tentang Islamisasi di Jawa karya-karya yang membantu bagi penelitian ini antara lain adalah buku Memahami Islam Jawa (Bambang Pranowo), Islamization and Its Opponents in Java. c. 1930 to Present (M.C. Ricklefs), dan Crescent Arises Over The Banyan Tree (Mitsuo Nakamura). Memahami Islam Jawa karya Bambang Pranowo menggambarkan proses perubahan di sebuah desa di kaki Gunung Merapi Jawa Tengah – disamarkan dengan nama “Tegalroso”- dari yang semula dikenal sebagai desa “merah” (abangan) dan basis PKI serta PNI menjadi desa santri seiring dengan proses “pembangunan” yang dimotori pemerintah Orde Baru. Buku ini menunjukkan bagaimana modernisasi yang digerakkan pemerintah berpengaruh besar dalam perubahan sebuah masyarakat yang sebelumnya hanya menganut Islam secara nominal menjadi penganut Islam yang lebih ortodoks. Islamization and Its Opponents in Java karya Ricklefs menggambarkan proses Islamisasi beserta perlawanan-perlawanan terhadapnya sejak pertengahan abad ke-20 sampai awal
9
abad ke-21 ini. Dalam buku ini Ricklefs memaparkan bahwa Islamisasi yang sempat mendapat tantangan dan perlawanan besar dari sebagian segmen masyarakat Jawa pada pertengahan abad lalu berhasil berjalan dengan nyaris tanpa hambatan berarti pasca-runtuhnya Demokrasi Terpimpin hingga sekarang. Satusatunya tantangan signifikan tampaknya hanya datang dari kalangan Kristen yang juga melancarkan Kristenisasi di Jawa.12 Ricklefs cukup banyak mengangkat Surakarta sebagai fokus perhatiannya dalam membahas Islamisasi di Jawa. Sementara itu Crescent Arises Over The Banyan Tree karya Nakamura berbicara mengenai Islamisasi di daerah Kotagede Yogyakarta. Ia melihat bagaimana sebuah daerah yang kental dengan tradisi Jawa yang sinkretis bertransformasi menjadi daerah basis Muhammadiyah dengan identitas santri modernisnya. Dalam hal ini Nakamura menunjukkan bagaimana relasi antara tumbuhnya kemakmuran di daerah tersebut sebagai hasil perkembangan industri pribumi dengan tumbuhnya identitas santri yang menekankan pada ortodoksi Islam. Secara garis besar ketiga buku tersebut telah memotret Islamisasi sebagai sebuah proses yang terkait erat dengan berbagai variabel, baik itu ekonomi, sosial, maupun politik. Mengenai Kristenisasi di Jawa beberapa buku yang menjadi acuan adalah Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (C. Guillot), Menyintas dan Menyeberang. Perpindahan Agama Massal di Pedesaan Jawa Pasca-1965 (Singgih Nugroho), dan Indonesian Revival. Why Two Million People Came to Christ (Avery T. Willis Jr.). Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa bercerita mengenai Kiai Sadrach Surapranata sebagai tokoh penyebar Kristen dari kalangan
12
Ricklefs. 2012; op.cit, hal. 446.
10
pribumi yang berperan besar dalam menyebarkan Kristen di tengah masyarakat Jawa. Buku ini memberikan informasi berharga mengenai bagaimana Kristen yang semula dianggap agama orang Belanda –yang notabene adalah penjajah- bisa diterima oleh orang Jawa. Kunci dari keberhasilan tersebut adalah pendekatan kultural Kiai Sadrach yang membuat Kristen menjadi sesuatu yang tidak asing bagi masyarakat Jawa. Menyintas dan Menyeberang membahas konversi ke Kristen di tengah masyarakat pedesaan Jawa pasca tragedi 1965-1966 dengan studi kasus di daerah Salatiga dan sekitarnya. Buku ini menjelaskan bagaimana keterkaitan antara tragedi pembantaian terhadap massa PKI dan orang-orang yang dicap PKI dengan konversi massal ke Kristen pasca-1965. Keinginan melepaskan diri dari stigma PKI dan sentimen terhadap kalangan Islam yang terlibat dalam pembantaian 1965-1966 mendorong banyak orang di daerah Salatiga dan sekitarnya mencari perlindungan kepada gereja yang menawarkan bukan hanya keselamatan fisik tetapi juga secara spiritual. Berdasarkan penjelasan buku ini terlihat bagaimana faktor politik berpengaruh besar bagi proses Kristenisasi di Jawa. Sebagaimana Menyintas dan Menyeberang, Indonesian Revival berbicara tentang konversi massal ke Kristen di Jawa pasca-1965. Buku yang diterbitkan tahun 1978 ini membahas faktor-faktor yang berpengaruh dalam konversi massal ke Kristen di Jawa. Di samping faktor politik, faktor militansi para misionaris, karya-karya kemanusiaan mereka, dan juga fenomena-fenomena metafisik yang menyangkut mentalitas masyarakat memiliki pengaruh besar dalam konversi tersebut. Latar belakang penulisnya yang seorang misionaris menjadi nilai tersendiri bagi buku ini meskipun juga merupakan sebuah kelemahan ditinjau dari segi obyektivitasnya. Secara umum buku-buku yang
11
membahas Kristenisasi di atas menjelaskan keterkaitan Kristenisasi dengan sejunlah faktor yang mendukungnya antara lain faktor politik, sosial, dan juga kultural. Selain buku-buku tentang Islamisasi dan Kristenisasi, buku-buku mengenai hubungan antara komunitas Muslim dan Kristen juga memberikan sumbangan berharga sebagai referensi awal bagi penelitian ini. Buku-buku itu antara lain Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia (Jan S. Aritonang), Kawan dalam Pertikaian; Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (15961942) (Karel Steenbrink), Membendung Arus; Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Alwi Shihab), dan Feeling Threatened.
Muslim-Christians
Relations
in
New
Order’s
Indonesia
(Mujiburrahman). Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen di Indonesia berbicara mengenai perjumpaan kedua agama besar ini di Indonesia sejak awal masuknya Kristen yang bersamaan dengan masa tumbuh dan berkembangnya kerajaankerajaan Islam di Nusantara sampai masa Reformasi. Di dalam buku ini digambarkan bagaimana hubungan antara pemeluk kedua agama ini kerap diwarnai ketegangan dan konflik. Buku yang ditulis sebagai sebuah refleksi ini lalu menampilkan saran tentang apa yang harus dilakukan kedua komunitas untuk membangun hubungan yang lebih baik di masa yang akan datang dalam konteks keindonesiaan. Sementara itu Kawan dalam Pertikaian membicarakan hubungan antara kaum kolonial Belanda dengan penduduk Muslim Nusantara yang seringkali terjadi konflik antara keduanya. Satu hal menarik yang diungkap dalam buku ini adalah bahwa meskipun VOC dan pemerintah kolonial Belanda berkewajiban
12
memajukan misi Kristen di wilayah kekuasaannya akan tetapi ternyata mereka seringkali harus bertindak sangat hati-hati agar tidak memicu kemarahan penduduk pribumi yang Muslim. Terlepas dari itu hubungan antara misionaris dan pemerintah kolonial menghasilkan asosiasi di benak kaum Muslim pribumi antara Kristen dan kolonialisme yang berpengaruh besar dalam membentuk hubungan MuslimKristen yang seringkali mengalami ketegangan. Membendung Arus karya Alwi Shihab membahas kiprah Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang bergerak di bidang sosial dalam menghadapi misi Kristen. Dipaparkan dalam buku ini bahwa salah satu raison d’ etre Muhammadiyah adalah untuk menghadapi Kristenisasi yang ketika itu masuk lewat jalur pelayanan sosial seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan. Latar belakang berdirinya organisasi ini membawa pengaruh pada persepsi dan sikap Muhammadiyah kepada kalangan Kristen sekaligus memberikan gambaran bagaimana kaum Muslim Indonesia pada umumnya memandang
kaum
Kristen.
Sementara
itu
Feeling
Threatened
karya
Mujiburrahman menggambarkan hubungan Muslim-Kristen di Indonesia pada era kontemporer yaitu masa Orde Baru. Hubungan kedua komunitas pada masa ini masih mencerminkan persepsi yang telah terbangun di dalam kedua komunitas sejak masa-masa sebelumnya. Tidak heran jika ketegangan dan konflik masih mewarnai hubungan Muslim-Kristen di Indonesia pada masa Orde Baru. Namun demikian ada nuansa baru dalam hubungan antara keduanya pada masa ini dengan hadirnya wacana dialog antar-agama yang dikemukakan sebagian intelektual baik dari kalangan Muslim maupun Kristen. Berdasarkan tinjauan atas karya-karya akademik di atas terlihat bahwa
13
belum ada karya yang melakukan perbandingan antara Islamisasi dan Kristenisasi serta hubungan antara umat Islam dengan umat Kristen pada periode kontemporer dalam satu lokalitas tertentu. Selain itu belum ada penelitian yang membahas tumbuhnya identitas Islam dan Kristen dalam kaitannya dengan konteks sosialpolitik tertentu. Oleh karena itu penelitian mengenai permasalahan tersebut menjadi penting untuk dilakukan.
E. Kerangka Konseptual Untuk membingkai penelitian dalam tesis ini penulis menggunakan beberapa konsep. Konsep-konsep yang digunakan adalah konsep proselitisasi (proselytization) dan identitas sosial. Proselitisasi diambil dari kata bahasa Inggris “proselytization” yang berasal dari kata kerja “proselytize”. Menurut Oxford Advance Learned Dictionary kata “proselytize” berarti “to try to persuade other people to accept your beliefs, especially about religion or politics” (“mencoba mempersuasi orang lain untuk menerima kepercayaan anda, khususnya mengenai agama atau politik”).13 Dengan kata lain proselytization dapat diartikan sebagai proses penyebaran kepercayaan agama ataupun politik yang dilakukan dengan harapan agar orang menerima kepercayaan tersebut. Konsep yang dapat dikategorikan ke dalam proselytization bisa kita temukan baik dalam Islam maupun Kristen. Dalam Islam dikenal konsep “dakwah” (Arab: da’wah) sedangkan dalam Kristen dikenal konsep “misi”
13
Oxford Advance Learned Dictionary. Sixth Edition. 2002: 1060.
14
(Inggris: mission), “penginjilan” (Inggris: evangelization), dan “proselitisasi” (Inggris: proselytization) –seringkali disamakan dengan “proselitisme” (Inggris: proselytism)- itu sendiri Terkait dengan “proselitisasi” memang ada sedikit kerancuan manakala konsep proselytization dalam arti umum tadi digunakan dalam konteks kekristenan karena proselitisasi (proselytization) merujuk pada bentuk tertentu dari penyebaran agama yang ditolak oleh sejumlah kalangan Kristen sendiri. Untuk menguraikan kerancuan tersebut perlu dipahami pengertian dan perbedaan antara misi (mission), pekabaran Injil/penginjilan (evangelization), serta proselitisasi. Dalam perspektif Kekristenan misi berarti “apapun yang gereja lakukan yang menunjukkan kepada Kerajaan Tuhan”.14 Misi itu sendiri mencakup dua aspek yaitu pekabaran Injil dan pelayanan (diakonia). Evangelization (penginjilan/pekabaran Injil) berasal dari kata evangelion dalam bahasa Yunani yang berarti “kabar gembira”. Dalam konteks kekristenan evangelization berarti “memberitakan kabar gembira tentang Yesus Kristus sebagai Juru Selamat umat manusia”.15 Secara teknis evangelization berarti“to try to persuade people to become Christians” (“mencoba mempersuasi orang untuk menjadi Kristen”).16 Sementara itu diakonia berasal dari kata diakonein dalam bahasa Yunani yang berarti “melayani meja”, “melayani kebutuhan-
“everything the church is doing points toward the kingdom of God” (Moreau et.al. 2007. Introducing World Missions. A Biblical, Historical, and Practical Survey: 17). 14
Lihat Congregation for The Doctrine of The Faith. 2007. Doctrinal Note on Some Aspects of Evangelization. Encyclic Note: 1. 15
16
Oxford Advance Learned Dictionary. 2002: 450.
15
kebutuhan fisik”, dan “menyiapkan makanan sebagai korban kepada dewa-dewa”. Dalam perkembangannya kemudian diakonein diartikan sebagai melayani dalam arti umum.17 Dalam praktiknya diakonia umumnya mengambil bentuk pelayanan sosial bagi orang-orang atau masyarakat yang membutuhkan bantuan. Dengan demikian maka sesungguhnya misi memiliki cakupan yang luas, bukan hanya usaha mengajak orang agar menjadi Kristen tetapi juga pelayanan sosial-kemanusiaan yang diberikan kepada siapa saja tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaannya dan tanpa harus dimaksudkan sebagai usaha mengajak mereka menjadi Kristen. Hanya saja memang dalam praktiknya pelayanan itu bisa dan seringkali -walau tidak selalu- menjadi pintu masuk bagi pekabaran Injil.18 Pekabaran Injil itu sendiri bagi banyak orang Kristen tidak selalu sama artinya dengan proselitisasi. Proselitisasi umumnya dipahami oleh kalangan Kristen sebagai usaha terbuka untuk memperoleh konvert sebanyak-banyaknya dari satu kredo atau kepercayaan ke kredo atau kepercayaan lain. Di kalangan Kristen ada perbedaan pendapat mengenai proselitisasi. Gereja Katolik memandang proselitisasi sebagai perbuatan yang tidak etis sementara tetap menyatakan pentingnya misi yang di dalamnya mencakup pula pekabaran Injil. Sementara itu di kalangan Protestan, gereja-gereja arus utama juga menganut pandangan yang sama. Namun beberapa denominasi mengartikan proselitisasi sebagai pekabaran Injil itu sendiri, lebih jauh
“Diakonia Transformatif dan Restrukturisasi GKJ Dagen-Palur” dalam Pedoman Rapat Jemaat GKJ Dagen-Palur tahun 2000: 118-119. 17
Ini bisa dilihat misalnya dalam aktivitas para misionaris dan zending pada masa kolonial. 18
16
lagi proselitisasi adalah sama dan sebangun dengan misi. Apa yang membedakan proselitisasi dengan pekabaran Injil sebagaimana yang dipahami Gereja Katolik dan gereja-gereja Protestan arus utama adalah penekanan proselitisasi pada kuantitas. Proselitisasi menekankankan pentingnya membawa sebanyak mungkin manusia agar menerima Yesus sebagai Juru Selamat sementara pekabaran Injil dalam pemahaman Gereja Katolik dan gereja-gereja Protestan arus utama- lebih menekankan penghayatan nilai-nilai kekristenan pada diri orang-orang yang mendapatkan pekabaran Injil ketimbang membaptis mereka sesegera mungkin.19 Terlepas dari penjelasan di atas, dalam tesis ini penulis tetap menggunakan konsep “proselitisasi” untuk membingkai upaya-upaya penyebaran agama baik yang dilakukan kalangan Kristen maupun Muslim, dengan catatan bahwa penulis menggunakan konsep tersebut dalam pengertiannya yang paling umum sebagaimana dirujuk berdasarkan referensi di atas. Dalam kaitannya dengan upaya penyebaran penyebaran agama yang dilakukan pihak Kristen penulis tidak memaksudkan
pengertian
“proselitisasi”
dalam
arti
yang
kontroversial
sebagaimana dijelaskan di atas tetapi juga dalam pengertian pekabaran Injil yang dipahami Gereja Katolik dan gereja-gereja Protestan arus utama.
David Schutz. “Evangelisation and Proselytism: A Matter of Ecumenical and Interfaith Ethics” (http://scecclesia.com/other-stuff/my-articles/evangelisationand-proselytisation/ diakses hari Sabtu 11 Mei 2013 pukul 20:10 WIB). Lebih jauh lagi sebagian kalangan Kristen yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa mereka yang bukan Kristen tetapi menganut dan menjalankan nilai-nilai kekristenan yang universal adalah “Kristen anonim” yang juga berhak memperoleh keselamatan di hadapan Tuhan. Bagi kalangan yang berpandangan demikian membaptiskan seorang non-Kristen menjadi Kristen tidak lagi menjadi hal yang terlalu penting (Diskusi dengan Pdt. Novembri Choeldahono (Pendeta Jemaat GKJ Dagen Palur) 23 April 2015 di Palur Jaten Karanganyar). 19
17
Identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya, termasuk di dalamnya atribut pribadi dan atribut yang dibaginya bersama dengan orang lain, seperti gender dan ras (bisa ditambahkan juga agama).20 Menurut Jackson dan Smith, identitas sosial dapat dikonseptualisasikan dalam empat dimensi, salah satunya adalah keyakinan yang saling terkait. Yang dimaksud dengan keyakinan yang saling terkait adalah norma dan nilai yang menghasilkan tingkah laku anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi keyakinan yang sama.21 Berbicara tentang identitas, ia tidak lahir di ruang kosong, ia pasti akan terkait dengan konteks sosial tertentu. Pada konteks Solo masa Orde Baru, identitas sosial Muslim dan Kristen seperti apa yang tumbuh perlu dilihat dalam kaitannya dengan kebijakan rezim Orde Baru yang menjadikan agama sebagai instrumen untuk meneguhkan tatanan yang hendak dibangunnya. Rezim Orde Baru menggunakan agama untuk mengikis dan menghancurkan pengaruh komunisme. Kehancuran komunisme di Indonesia membuka jalan bagi lahirnya tatanan sosialpolitik dan ekonomi yang ramah modal dan menjadikan Indonesia sebagai lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya kapitalisme -baik kapitalisme negara maupun kapitalisme swasta. Agama juga menjadi penting guna memuluskan jalannya proses modernisasi yang diinisiasi dan dimotori oleh negara. Dalam hal ini agama-agama yang terorganisir (organized religions) mendapat peran penting untuk membangun rasionalitas masyarakat yang merupakan salah satu ciri
20
R.A. Baron & D. Byrne. 2004. Psikologi Sosial (Jakarta: Erlangga), hal. 154.
21
Jackson dan Smith dalam ibid, hal. 155.
18
modernitas. Dengan konteks yang demikian kita akan mencoba melihat di antara sekian banyak nilai dan norma yang ada dalam Islam dan Kristen nilai dan norma manakah yang ditekankan oleh kaum Muslim dan Kristen di Solo pada masa Orde Baru. Dari tilikan ini akan terlihat bagaimana kaitan antara penekanan nilai dan norma tertentu itu dengan konteks sosial-politik masa Orde Baru.
F. Metode Penelitian Penelitian untuk penyusunan tesis ini adalah penelitian sejarah yang mempunyai lima tahap yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber), (4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan (5) penulisan.22 Mengingat tema yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tema kontemporer maka dalam pengumpulan sumber penulis banyak menggunakan sumber lisan, yaitu para pelaku yang terlibat dalam proses sejarah yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu penulis juga menggunakan sumber-sumber tertulis berupa koran dan arsip-arsip yang terkait dengan kehidupan keberagamaan di kota Surakarta. Sumber-sumber tersebut adalah sumber primer. Untuk melengkapinya penulis juga menggunakan sumber-sumber sekunder. Dalam pencarian sumber tertulis mengenai proses Islamisasi penulis mengalami kesulitan karena kurangnya sumber tersebut. Lembaga-lembaga Islam di Solo ternyata kurang memerhatikan pengarsipan sehingga banyak informasi
22
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang), hal. 89.
19
tentang aktivitas mereka pada periode yang diangkat dalam tesis ini tidak terdokumentasikan. Beruntung penulis memperoleh data-data statistik Kota Surakarta yang relevan dengan tema yang diangkat. Sejumlah berita di koran dan majalah juga memuat informasi berharga terkait proses Islamisasi yang sedang berlangsung ketika itu meskipun tidak banyak. Untuk menutupi kekurangan sumber tertulis, penulis menggunakan metode sejarah lisan dengan mewawancarai orangorang yang terlibat atau menjadi saksi proses Islamisasi pada masa Orde Baru. Wawancara dilakukan dengan tokoh-tokoh organisasi Islam yang terlibat dalam dan memahami proses Islamisasi pada level makro di Solo maupun para pelaku di tingkat lebih kecil (kelurahan dan kampung) dengan mengambil sampel dari beberapa kelurahan di Solo. Penulis tidak mengalami kesulitan untuk mencari datadata tertulis tentang Kristenisasi. Data-data tersebut dapat diperoleh dari dokumendokumen resmi gereja. Untuk pencarian sumber tertulis ada beberapa tempat yang menjadi lokasi pencarian antara lain Perpustakaan Pusat Studi Kependudukan UGM, Monumen Pers Surakarta, Balai Muhammadiyah Surakarta, Kantor Klasis Kartasura GKJ, Kantor Klasis Surakarta Timur GKJ, Perpustakaan Nasional Jakarta, Institut Sejarah Sosial Indonesia Jakarta, dan Kantor BPS Kota Surakarta.
G. Sistematika Penulisan Tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab I berisi pendahuluan, Bab II berbicara tentang latar proses Islamisasi dan Kristenisasi di Surakarta. Bab III akan membahas Islamisasi di Surakarta mulai akhir dekade 1960-an sampai 1990-an.
20
Bab IV memperbincangkan Kristenisasi di Surakarta pada periode yang sama. Bab V akan membahas hubungan antar komunitas Muslim dan Kristen di Surakarta sepanjang era Orde Baru sampai awal Reformasi (1999-2000). Terakhir Bab VI berisi kesimpulan.