BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Menurut ketentuan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam, kegiatan usaha Minyak Bumi dan Gas Alam terdiri atas kegiatan usaha hulu (eksplorasi dan eksploitasi/produksi) dan kegiatan usaha hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga). Kegiatan usaha hulu Migas dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama antara Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pemerintah, setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 dan dengan mengacu pada PP No. 42 Tahun 2003, diwakili oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas). Sebelum berlakunya UU No. 22 tahun 2001, Pemerintah diwakili oleh PERTAMINA. Di sisi lain, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dinamakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang dapat merupakan perusahaan dalam negeri, perusahaan luar negeri yang mempunyai izin bentuk usaha tetap atau dapat juga merupakan perusahaan patungan antara perusahaan dalam negeri dan luar negeri. Peraturan pemerintah tentang pengembalian biaya operasi (cost recovery) bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam aspek cost recovery dan ketentuan perpajakan bagi investor dan kontraktor.
1
2
Mengenai pembatasan (capping) cost recovery didasarkan pada UU no.47/2009 tentang APBN 2010. Pembatasan dilakukan sebagai dasar untuk mengaloksikan anggaran untuk cost recovery. Jika ada peraturan pemerintah (PP) yang kemudian dianggap mampu untuk mengatur cost recovery dan dianggap dapat mewadahi seluruh aspek secara baik, itu akan dijadikan dasar untuk menghitung APBN pada 2011 dan APBN pada tahun-tahun berikutnya, yang dicadangkan ketika ada suatu klaim biaya dari kontraktor. Dasarnya adalah komponen yang sudah ditampung dalam PP ini, yang nanti di hitung oleh BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi) sekarang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Sehingga tidak ada yang disebut pembatasan yang mengatakan suatu tingkatan yang lebih tidak boleh dibayarkan. Penghentian dan pengambilalihan (assume and discharge) ini yang akan sangat berbeda dari perlakuan Exhibit C dengan PP ini. Penghentian dan pengambilalihan merupakan biaya yang langsung di bayar kembali tanpa melalui cost recovery. Sementara prinsip bagi hasil adalah biaya yang dikembalikan merupakan biaya yang akan ditutupi, apabila biaya itu sudah menghasilkan. Sehingga jika tidak menghasilkan menjadi resiko kontraktor tersendiri. Bagi yang belum menghasilkan, maka biaya-biaya itu tidak harus dikembalikan. Adapun prinsip utama pengaturan dalam PP tentang pengembalian biaya operasi (cost recovery) dan ketentuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas alam meliputi: Pertama, PP berisi ketentuan khusus di
3
bidang pertambangan minyak bumi dan gas alam, utamanya tentang cost recovery, untuk menghitung bagi hasil dan sekaligus untuk perpajakan. Kedua, PP ini wajib dijadikan dasar dalam kontrak kerja sama di bidang pertambangan minyak bumi dan gas alam. Ketiga, seluruh pajak tidak langsung termasuk pajak daerah dan retribusi daerah merupakan bagian dari biaya operasi. Keempat, standar atau norma dan metode pembebanan biaya di dalam ketentuan khusus ini merupakan kombinasi dari ketentuan UU Pajak Penghasilan dan Exhibit C yang berlaku saat ini. Kelima, batasan pembebanan biaya di dalam PP ini disesuaikan dengan prinsip kewajaran dunia usaha dan ketentuan perpajakan. Keenam, biaya yang tidak diperbolehkan dibebankan kepada cost recovery merupakan kombinasi dari ketentuan PPh dan peraturan menteri ESDM nomor 22 tahun 2008 yang berlaku saat ini. Ketujuh, penghasilan lain (by product) merupakan pengurangan cost recovery. Kedelapan, transaksi farm-in farm out dan up lift dikarenakan pajak final. Kesembilan, dalam hal tertentu (khusus), menteri keuangan berkoordinasi dengan menteri ESDM dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis. Kesepuluh, kontraktor wajib melakukan transaksinya di dalam negeri dan menyelesaikan pembayarannya melalui sistem perbankan Indonesia. Dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan produksinya, K3S tentu memerlukan perusahaan-perusahaan EPCI untuk ataupun di dalam pembangunan infrastruktur mereka baik onshore maupun offshore. Proses dari EPCI inipun bertahap di mulai dari adanya studi kelayakan (feasibility study/FS), Plan of
4
Development (POD), eksplorasi, konstruksi, produksi dan pemeliharaan. Pemerintah menerbitkan aturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) No 79/2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan serta Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP Cost Recovery). Apabila pengoperasian semua blok E&P diserahkan kepada satu perusahaan PSC akan mengakibatkan cost recovery menjadi sangat berbahaya karena bisa merugikan Negara dalam jumlah besar. Itu dikarenakan jadi amat leluasanya di dalam menyusun Plan of Development (POD), sehingga terbuka peluang cost recovery untuk digelembungkan (mark up). Penggelembungan pengeluaran belanja dalam POD yang kelak diklaimkan sebagai cost recovery. Mantan Vice President Unocal Indonesia, Effendi Situmorang mengingatkan kalau selama ini banyak sekali kegiatan berbau riset yang dilakukan perusahaan asing pemegang kontrak bagi hasil (PSC), seperti technical service menyangkut suatu blok di Indonesia, dilaksanakan di luar negeri. Padahal kalau riset itu dilakukan di Indonesia, biayanya jauh lebih murah sehingga tidak membebani cost recovery. Lebih jauh lagi, penggunaan kandungan lokal juga bisa membantu usaha dalam negeri lewat riset itu. Menurut Effendi, besarnya cost recovery yang diklaim pemegang KKKS bukan karena seseorang melakukan korupsi atau mark up. Kemungkinan perbuatan perusahaan yang kebetulan merupakan korporasi. "Misalnya saja, satu perusahaan KKKS juga beroperasi di banyak Negara. Perusahaan tersebut hanya membuat satu analisis riset dasar, tetapi hasilnya bisa dipakai di unit usaha mereka
5
di negara lain," katanya. Biaya riset itu kemudian dimasukkan cost recovery di Indonesia. Tindakan tersebut tidak mungkin dilakukan di Negara lain, karena memang hanya Indonesia yang menerapkan sistem cost recovery ini. Di sisi lain, soal gaji juga bisa membuat cost recovery membengkak. Effendi menuturkan, gaji orang Indonesia yang bekerja di perusahaan asing pemegang KKKS lazim dicantumkan lebih besar ketimbang jumlah yang diterima pegawai bersangkutan. "Bisa saja, dalam konsep KKKS, gaji orang Indonesia ini 5.000 dolar AS. Karena peraturan ini dan itu, gaji yang diterima pegawai itu hanya 1.000 dolar AS. Tetapi yang masuk ke cost recovery di korporat pemegang KPS itu tetap 5.000 dolar AS," paparnya. Ketua Asosiasi Perminyakan Indonesia (Indonesia Petroleum Association/ IPA) Ron Aston menilai sejumlah pasal dalam PP tersebut bertentangan dengan kontrak kerja sama sehingga berpotensi mengganggu iklim investasi di bidang migas. Menanggapi kekhawatiran itu, Evita menjamin bahwa aturan pelaksanaan akan lebih menjelaskan pasal-pasal yang ada dalam PP Cost Recovery. Di situ, kata dia, akan ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dinilai kontraktor bertentangan dengan kontrak kerja sama. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita menegaskan, sesuai pasal 38a dalam PP Cost Recovery, kontrak kerja sama akan tetap dihormati.Namun, pasal 38b dalam aturan yang sama memang menuntut adanya penyesuaian atas sejumlah hal. Cost Recovery (CR) adalah biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor
6
minyak dan gas dalam hal ini pihak swasta yang selanjutnya akan diganti pemerintah setelah produksinya berjalan. Di dalam CR ini terdapat komponen AFE (Authorization for Expenditure) yang merupakan kewenangan pengeluaran biaya proyek kontraktor KKKS yang akan menjadi beban biaya operasi setelah mendapat persetujuan dari BP MIGAS. Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution penggunaan anggaran untuk kegiatan tersebut sangat tidak transparan sehingga laporan keuangan lembaga tersebut selalu mendapat opini tidak wajar atau disclaimer. Terlebih lagi Anwar Nasution menilai akuntabilitas lembaga BP Migas dalam bidang cost recovery membuat penggunaan anggaran tersebut tidak wajar. Meneg BUMN, Sugiharto menekankan, audit pengelolaan suatu blok Migas akan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta kantor akuntan publik. Pengeluaran belanja blok tersebut harus mengikuti model yang disetujui dan memenuhi syarat tender pengadaan barang pemerintah. Cost Recovery seharusnya berbanding lurus dengan produksi migas (lifting migas). Namun kenyataannya sebaliknya di mana CR selalu bertambah besar (membengkak) sedangkan produksi migas (lifting migas) menurun drastis di dalam waktu yang singkat/anjlok. Meskipun target lifting minyak tahun 2010 gagal terpenuhi, namun seiring dengan meningkatnya harga minyak dunia, maka penerimaan negara dari kegiatan hulu migas berhasil melampaui target. Dari target sebesar USD 26.060 miliar,
7
industri sektor migas mampu menyumbang USD 26.178 miliar terhadap penerimaan Negara. BP Migas memang mengakui bahwa tidak mampu memenuhi target lifting minyak yang ditetapkan dalam APBN 2010 yang sebesar 965 ribu barel per hari. Kepala BP Migas R Priyono menyatakan bahwa lifting minyak tahun ini hanya dapat menembus 954 ribu barel per hari. Pasalnya, dirinya mengaku bahwa banyak peristiwa di semester II tahun ini yang sifatnya di luar kendali BP Migas sepanjang tahun ini yang menghambat target lifting minyak. Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, atau yang lazim di sebut dengan PP Cost Recovery, di nilai tidak akan menyelesaikan masalah. Bukan PP Cost Recovery yang dibutuhkan karena akar persoalannya ialah kegagalan BP Migas dalam mengelola dan mengontrol perusahaan migas. Di semua Negara penghasilan migas yang menerapkan sistem PSC (Production Sharing Contract) tidak dikenal adanya PP Cost Recovery. Baik itu di Malaysia, Aljazair, Arab Saudi, Libya, Venezuela, dan sebagainya. Penyelesaian kasus tunggakan pajak kontraktor kontrak kerja sama (K3S) harus menjaga asas kerahasiaan dengan demikian penyelesaian kasus tunggakan pajak diharapkan tidak mengganggu iklim investasi minyak dan gas di Indonesia. Bila tidak mengandalkan asas kerahasiaan itu, justru akan berpengaruh negatif terhadap penerimaan negara.
8
Pemerintah harus secepatnya menyelesaikan masalah tunggakan pajak yang diduga mencapai Rp 1,6 triliun sesuai dengan mekanisme perpajakan yang ada. Selama ini, kontraktor minyak dan gas telah memberi kontribusi kepada negara yang sangat besar. Setoran pajak selama 2005-2010 berkisar antara Rp 35-77 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan telah menemukan 14 perusahaan migas asing yang memiliki tunggakan pajak. Dari sejumlah perusahaan itu, "Bahkan ada beberapa perusahaan yang tidak membayar pajak sejak lima kali menteri keuangan berganti," kata Wakil Ketua KPK, Haryono Umar, di Jakarta, Senin 18 Juli 2011. Nilai tunggakan itu diduga Rp1,6 triliun. Selain itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis 33 perusahaan migas yang memiliki tunggakan pajak. Dari 33 perusahaan itu terdapat perusahaan asing dan lokal. Data yang diolah ICW tersebut berasal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan per 24 Mei 2011. Tercatat, total tunggakan pajak dari 33 perusahaan itu mencapai Rp. 5 triliun. Tunggakan itu merupakan akumulasi hingga tahun 2010. BP MIGAS adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan Gas Alam. BP MIGAS merupakan badan hukum milik Negara (Pasal 2 ayat 2), berkedudukan dan berkantor pusat di Jakarta (Pasal 3) dan berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak bumi
9
dan gas alam milik Negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 10). BP MIGAS terdiri dari unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administrasi. Unsur pimpinan terdiri dari seorang Kepala, Wakil Kepala, dan Deputi-deputi. Salah satu Deputi yang membawahi fungsi Pengadaan adalah Deputi Umum. Deputi Umum mempunyai beberapa divisi diantaranya divisi Pengadaan dan Manajemen Aset (PMA). Divisi PMA bertugas untuk mengawasi, mengendalikan dan melakukan pembinaan terhadap proses pengadaan K3S. Dalam melakukan fungsinya tersebut, PMA BP MIGAS dibekali dengan Pedoman Tata Kerja Nomor 007 revisi II/PTK/I/2011 tentang Pengelolaan Rantai Suplai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (PTK-007) yang merupakan keputusan Kepala BP MIGAS untuk dijalankan oleh K3S (Surat Keputusan No. Kpts21/BP00000/2004-SO tanggal 9 Juni 2004). PTK-007 inilah yang menjadi dasar hukum bagi bagian Pengadaan K3S untuk menjalankan aktifitas pembelian barang dan jasa; sebagai prosedur pengadaan. Seperti umumnya sebuah peraturan, adalah tidak mungkin untuk menuliskan semua ketentuan di dalam satu peraturan sehingga perlu ada ketentuan-ketentuan tambahan yang bersifat melengkapi dan memperjelas peraturan di atasnya. Dalam hal tersebut bagian Pengadaan K3S kemudian membuat Prosedur Pengadaan K3S. Secara praktek, masih banyak halhal yang tidak diatur dalam PTK-007 ataupun dalam Prosedur Pengadaan K3S. Dalam hal ini, kesepakatan antara dua pihak, selama tidak bertentangan dengan dua (2) peraturan di atas, bersifat mengikat/ Pacta Sun Servanda (Pasal 1338 KUH
10
Perdata) dan dituangkan di dalam satu perjanjian, atau dalam rangka tesis ini disebut sebagai kontrak. Dalam melakukan proses pengadaan, bagian Pengadaan K3S melakukan proses pengadaan baik melalui penunjukan langsung, pemilihan langsung, ataupun melalui proses lelang. Hasil dari pengadaan barang dan jasa tersebut dapat berupa Purchase Order (PO), Blanket Order (BO), Service Order (SO), ataupun Kontrak yang semuanya adalah merupakan sebuah perjanjian tertulis. Dalam rangka penelitian ini, Peneliti menyebut perjanjian tertulis tersebut sebagai kontrak, baik kontrak untuk pembelian barang maupun kontrak untuk pembelian jasa. Jenis barang dan jasa yang dibeli oleh K3S sangatlah bervariasi. Namun demikian secara umum dapat dikategorikan ke dalam barang atau jasa yang berteknologi tinggi dan yang berteknologi tidak tinggi. Jenis kegiatan operasi K3S adalah jenis kegiatan yang mempunyai resiko tinggi, maka wajar apabila barang dan jasa yang dibeli mempunyai kategori berteknologi tinggi yang masih merupakan barang dan jasa yang dibeli dari luar negeri (impor). Beberapa Negara maju yang merupakan Negara pengekspor barang dan jasa yang dipakai di K3S adalah Negara-Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Italia, Perancis, Belanda, Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, Cina, Singapura, dan Rusia. UNIDROIT Principles (Prinsip-Prinsip UNIDROIT) adalah merupakan salah satu sumber hukum perdagangan internasional yang merupakan hukum kebiasaan internasional yang berkembang dan telah diadopsi ke dalam konvensi
11
internasional (Lex Mercatoria). Feronica Taylor (1999, Indonesia Law and Society: The Transformations of Indonesian Commercial Contracts and Legal Advises), yang dikutip oleh Taryana Soenandar (2004) menyarankan agar hukum kontrak Indonesia memperhatikan prinsip-prinsip hukum kontrak UNIDROIT agar supaya dapat menampung perkembangan perdagangan komersial yang semakin kompleks dan melibatkan pihak-pihak antar Negara yang berbeda. Tidak saja antar dua (2) pihak dari dua (2) Negara berbeda namun seringkali suatu pembelian barang atau pekerjaan melibatkan lebih dari dua (2) pihak yang berasal dari lebih dari dua (2) Negara. Mengacu pada, terutama pendapat Feronica Taylor di atas, dan pengalaman Peneliti sebagai praktisi di bidang jasa konstruksi di perusahaan EPCI, maka Peneliti ingin melakukan penelitian apakah prinsip-prinsip UNIDROIT telah diterapkan dalam pembuatan kontrak pengadaan barang dan jasa di perusahaan EPCI.
1.2.Perumusan Masalah Melalui latar belakang permasalahan sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan serta sub-permasalahan terhadap tinjauan yuridis atas prinsip-prinsip UNIDROIT yang telah diterapkan dalam pembuatan kontrak di perusahaan EPCI sebagai berikut: 1.
Bagaimana PP Nomor 79/2010 (PP cost recovery) tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha
12
hulu minyak dan gas bumi mampu mengatasi masalah meningkatnya cost recovery di tengah menurunnya produksi Migas? 2.
Apakah UU Nomor 22/2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam atau UU Migas cukup efektif untuk menyeimbangkan cost recovery terhadap produksi Migas melalui pembentukan lembaga independence (BP Migas)?
3.
Apakah cost recovery, pengaturan pajak penghasilan K3S dan domestic market obligation / DMO di dalam kontrak K3S telah memenuhi rasa keadilan bagi para pihak?
1.3.Keaslian Penelitian Untuk memastikan bahwa penelitian yang Peneliti sedang lakukan adalah asli, maka Peneliti telah melakukan penelusuran data kepustakaan dengan datang ke gedung perpustakaan pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada serta melalui Internet untuk melihat perpustakaan on-line yang tersedia di beberapa perguruan tinggi dan lembaga penelitian non universitas di Indonesia. Selain itu Peneliti juga melakukan browsing lebih lanjut terhadap situs-situs website lainnya. Pada akhirnya Peneliti menyimpulkan bahwa penelitian terhadap penerapan prinsip UNIDROIT di dalam penyusunan kontrak baku EPCI terhadap pengembalian biaya operasi (cost recovery) dan ketentuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas alam yang ditinjau secara yuridis ini belum ada Peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian mengenai hal yang
13
sama seperti judul penelitian yang Peneliti sedang lakukan namun pernah ada Peneliti dari Pasca Sarjana Hukum Bisnis yang meneliti penerapan prinsip UNIDROIT di dalam penyusunan kontrak pengadaan barang dan jasa di perusahaan migas yang ruang lingkupnya lebih kecil. Peneliti menemukan ada beberapa buku yang memberikan uraian tentang pengenalan prinsip-prinsip UNIDROIT, seperti buku yang dikarang oleh Taryana Soenandar (2004) dan Huala Adolf (2005).
1.4.Tujuan Penelitian Dari hasil penelitian thesis ini, secara umum diharapkan dapat memberikan 2 (dua) manfaat, yaitu: 1.
Manfaat ilmiah
1.1 Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya mengenai hukum kontrak bagi pembangunan bangsa dan Negara Indonesia. 1.2 Secara khusus, dari tinjauan yuridis terhadap penerapan prinsip UNIDROIT di dalam perusahaan EPCI memberikan informasi bahwa penerapan prinsipprinsip UNIDROIT akan mempunyai peranan terhadap perubahan Cost Recovery serta produksi migas, maka diharapkan akan dapat memberikan konfirmasi kepada para praktisi bahwa salah satu sumber hukum perdagangan internasional yang dapat dipakai sebagai sumber hukum kontrak telah diadopsi sehingga para praktisi dapat melakukan negosiasi dengan lebih baik
14
dengan para pelaku bisnis dari luar negeri khususnya Amerika Serikat, Negara-Negara Eropa maupun Negara penganut sistem Common Law lainnya mengenai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan kontrak sehingga dihasilkan suatu Kontrak yang memberikan manfaat dan keuntungan yang wajar di kedua belah pihak. 1.3 Manfaat praktikal Dengan mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam dan memberikan informasi apakah prinsip-prinsip UNIDROIT telah diterapkan dalam pembuatan kontrak di perusahaan EPCI dan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembalian biaya operasi (Cost Recovery) yang wajar serta peningkatan produksi (lifting) migas. Lebih lanjut untuk mengetahui prinsipprinsip mana dari UNIDROIT yang digunakan sebagai dasar pembuatan kontrak EPCI, serta pertimbangan apa yang mendasari penggunaan prinsipprinsip tersebut.
1.5. 1.
Beberapa Permasalahan yang Terjadi Di Lapangan Beberapa permasalahan yang terjadi dilapangan yang dimuat majalah Eksplo Edisi II Maret Tahun 2010 menunjukkan bahwa BP Migas tidak mampu menjalankan tugas sebagai pengelola dan pengendali kegiatan usaha Hulu Migas antara lain sebagai berikut : 1.1
Perlu keberpihakan dalam mengelola gas.
15
Data terakhir dari world energi report menyebut cadangan gas Indonesia saat ini jauh melebihi Cina dan jauh melebihi India yang kurang dari separuh cadangan gas Indonesia. Dari data kepemilikan cadangan gas, ternyata tidak otomatis membuat Negara ekonominya tumbuh secara baik. Adakah yang keliru dengan kebijakan pemanfaatan gas kita ? Besaran ekspor gas menimbulkan permasalahan dalam pemenuhan kebutuhan gas utuk keperluan domestik, utamanya untuk pembangkit listrik dan industri seperti pupuk dan infra struktur. Ekspor gas dianggap terlalu besar dari alokasi kebutuhan dalam negeri terlalu kecil. Penerapan kebijakan Market Domestik Obligation (DMO) belum baik. DMO dianggap sebagai belas kasihan dan terkesan pemerintah diberi jatah. Banyak yang menginginkan kuota ekspor yang berkesan memihak kepentingan dalam negeri (bangsa) yang ternyata masih banyak yang belum tercukupi. Kecukupan gas dalam negeri mempunyai multiplier effect dari industri dalam negeri. Pengalaman penghentian pasokan gas PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM) di Aceh mengakibatkan sering terjadi kelangkaan pupuk dikalangan petani yang berimbas kepada berkurangnya hasil tanaman pangan di Indonesia. Kontribusi gas belum proporsional terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari rincian kontribusi per sektor terhadap PDB, gas, listrik dan air tahun 2009 hanya menyumbang 0,8% saja.
16
Pengelolaan gas perlu koordinasi antar kementerian yang baik. Kementerian
perindustrian
yang
mengelola
industri
dalam
negeri,
kementerian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan BP Migas yang mengelola sumber daya migas, dan BUMN yang membina BUMN Migas. Keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri perlu dimiliki oleh semua pemangku kepentingan. 1.2
Menyoal kuota gas domestik. Dengan menerapkan kuota ekspor, maka kebutuhan gas domestik
akan lebih diutamakan jika ada sisa baru diekspor. Ada beberapa pertanyaan dari masyarakat : “ Mengapa Negara seperti tersandera terus menjual gas ke luar negeri? Mengapa yang dipakai DMO, yang nilainya, kita hanya mendapat jatah sisa? Mengapa kita tidak memilih kuota ekspor? Persoalan pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri, kementerian Perindustrian belum bisa secara terkoordinasi menuntaskan jaminan gas bagi enam pabrik pupuk baru yang akan direvitalisasi. Dari enam rencana pendirian pabrik baru tersebut, pemerintah hanya bisa menyelesaikan alokasi gas untuk pabrik pupuk Kalimantan Timur 5. Milik PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) untuk menggantikan PKT I yang boros energi. Volume pasokan gasnya hanya 80MM scfd (million metric standard cubic feet) perhari dan tidak lebih dari 10 thn. Mulai dari thn 2012 hingga 2021. Untuk operasi ideal, industri pupuk harus mendapat pasokan gas sedikitnya 20 tahun.
17
Kata Menteri MS Hidayat, kepastian itu diperoleh setelah principle agreement antara PKT dan K3S yang terdiri dari Total E & P, Pearl Oil sekarang menjadi Mubadala dan Inpex. Namun lima pabrik baru, yaitu Pusri IIB, IIIB, dan IVB berkapasitas total 272 ribu ton, satu pabrik PT. Petro Kimia Gresik (Petrogres ) kapasitas 570 ribu ton dan satu pabrik pupuk Kujang Cikampek (PKC) berkapasitas 907 ribu ton pertahun belum memperoleh kepastian pasokan gas. BP Migas mengaku sudah berusaha maksimal namun belum mencukupi, BP Migas malah meminta perencanaan revitalisasi pabrik pupuk dengan memperhatikan sumber daya gas yang ada. Deputy operasi Migas mengingatkan bahwa pemerintah telah menggariskan agar menghormati terhadap kontrak – kontrak yang sudah ada sebelumnya, kendati terjadi defisit pasokan gas terus terjadi di Negara ini. Adanya konflik tersebut Dirut PT. PIM, Mashudiyanto mengusulkan agar masalah gas untuk industri ini sebaiknya dibawa ke tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian. Pendapat BP Migas itu dibantah oleh Menteri BUMN Mustofa Abu Bakar yang justru menegaskan, bahwa kontrak yang sudah ditanda tangani bisa dinegosiasi khususnya yang berakhir tahun 2010 dengan tujuan agar pasokan gas untuk revitalisasi industri pupuk nasional terpenuhi. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono: “ Pasokan gas menjadi perhatian serius pemerintah mengingat pabrik pupuk harus mampu
18
merealisasikan produksi dengan optimal untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Kepala BP Migas Raden Priyono mengatakan: Bila kontrak diperpanjang, maka kewajiban mengganti hutang yang merupakan akumulasi kekurangan kontrak ekspor LNG ke Jepang akan hilang atau selesai. Kalau kita tidak penuhi kekurangan 80 kargo itu, Indonesia harus membayar US$ 2 Milyar. Melihat kasus pengiriman gas dari Grissik, Sumatra ke Singapura menurut Raden Priyono, mayoritas gas yang digunakan Singapura dibeli dari Indonesia. Ternyata kita mengimpor BBM dari kilang - kilang yang banyak dibangun di singapura. Lalu menguntungkan siapa? Kenapa dana untuk mengimpor BBM itu tidak digunakan saja untuk menambang gas atau membeli gas dari kontraktor yang menambang di Indonesia. Tabel 1.1: Pola Neraca Gas ( 9 Propinsi di Indonesia secara Random) Pola Neraca Gas Indonesia (MMScfd) Net No.
Region
Pasokan Kebutuhan Balance Keluar
Masuk Balance
Nangroe Aceh 1 Darussalam
358
60
298
325
0
-27
2
Sumatera Utara
54
88
34
0
0
-34
3
Sumatera Tengah
1736
867
869
1143
0
-274
19
4
Jawa Barat
669
1561
892
0
716
-176
5
Jawa Tengah
2
2
0
0
0
0
6
Jawa Timur
486
746
-263
0
0
-263
7
Sulawesi Selatan
53
38
15
0
0
15
8
Papua
856
1
855
949
0
-94
545
5
480
575
65
-30
Kep. Riau dan 9 sekitar Sumber : BP Migas, 2012
Kasus Donggi – Senoro hingga sekarang proyek ini macet, karena didesak untuk dijual ke domestik. Persoalannya Pertamina dan Medco yang menjadi operator utama penambang gas Donggi. Senoro meminta pembeli domestik dengan harga yang kompetitif dengan pembeli asing. Tentu saja pembeli domestik sulit bersaing. Tetapi industri domestik sudah mulai berani membeli gas dengan harga internasional. PLN dan PT PJM berani membeli dengan harga US$5,8 per MM padahal biasanya industri domestik hanya mampu membeli gas dibawah US$5 per MMBtu dibawah harapan investor. Pengakuan suyitno Padmo sukisno menyatakan bahwa harga dibawah harapan tersebut masih menguntungkan investor. Karena itu kini tinggal keberanian atau arahan yang jelas dari pemerintah untuk mendahulukan
20
kebutuhan domestik, sehingga kita bisa menerapkan kuota ekspor, bukan lagi DMO. Sebagai amanat konstitusi, kekayaan alam adalah kekayaan termasuk migas nasional tidak bisa dilepaskan dari penguasaan Negara dan dipergunakan sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Banyak sisi yang harus diperhatikan dalam implementasi DMO usaha pertimbangan, termasuk batu bara. Yaitu skala usaha pertambangan, transportasi, dan pengguna yaitu PLN dan industri lainnya. Oleh karena itu DMO lebih tepat dipandang sebagai supply chain management (SCM), bukan sekadar logistic chain. Dengan begitu, strategi pengaturan dan pengontrolan pasokan
sumber daya energi ke industri
pemakai lebih terkontrol, sehingga secara makro lebih untuk kepentingan efisiensi sumber daya energi nasional. Jika kebijakan pemerintah tepat terhadap pengelolaan sumber daya energi dalam negeri, akan lebih mampu membangun kesejahteraan rakyat. 1.3
Maju mundur Donggi – Senoro. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bahwa kontrak – kontrak
gas yang sudah jatuh tempo tidak lagi untuk ekspor, melainkan untuk kebutuhan dalam negeri. Kebijakan ini kalau ingin sukses harus ditopang ketersediaan gas bumi di dalam negeri. Kebijakan revitalisasi pabrik pupuk dan industri lain, diantaranya industri keramik dan pulp and paper mulai mengeluhkan pasokan gas itu.
21
Defisit gas mengancam keberlangsungan industri padat tenaga kerja itu. Lapangan Donggi – Senoro ini dioperasikan oleh kontraktor, yaitu PT Pertamina E&P dan JOB Pertamina Medco E&P Tomori. Gas yang dihasilkan akan dijual kepada PT Donggi Senoro LNG yang saham terbanyaknya dikuasai Mitsubishi Jepang 51%. Cadangan gas dilapangan ini mencapai 2,3 Triliun Kaki Kubik (TCF). Total investasi US$ 3,7 Milyar terdiri dari pengembangan hulu US$ 1,7 Milyar dan untuk hilir US$ 2 Milyar. Persoalan yang hingga sekarang belum tuntas, terutama tentang alokasi gas produksi dari lapangan ini, apakah diekspor semuanya atau untuk domestik atau gabungan keduanya. Dalam hal ini pemerintah menyusun empat skenario : 1.
Skenario pertama : Sebanyak 335 MM scfd gas di ekspor dan jatah domestik 70 MM Scfd
2.
Skenario kedua : Semua gas akan dijual kepada PT Donggi – Senoro LNG.
3.
Skenario ketiga : Jatah ekspor 265 MM scfd dan domestik 70 MM scfd.
4.
Skenario keempat : Semua untuk keperluan dalam negeri. Pemerintah dan kontraktor cenderung memilih skenario pertama dan
kedua. Skenario pertama pemerintah akan menerima pendapatan Negara US$6,4 Milyar. Sedangkan skenario kedua pemerintah akan menerima pendapatan US$7 Milyar.
22
Lambatnya keputusan yang akan diambil disebabkan industri dalam negeri sedang defisit gas yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah , dan belum ada titik temu soal harga gas antara pembeli domestik dengan produsen. Pembeli domestik yang terdiri dari PT PLN, PT Pusri Palembang, PT. Panca Amara Utama mematok harga US$4,2 per MMBtu. Sedangkan produsen bersedia mematok US$5,3 per MMBtu. Direktur Reforminer institute, Pri Agung Rahmanto memprediksi gas dari lapangan ini akan diekspor, karena selain saham Mitsubishi mencapai 51%, pembiayaan proyek ini siap ditangani Bank kerjasama Internasional Jepang (JBIC) dengan asumsi gasnya diekspor dalam bentuk LNG ke Jepang. Pengembangan hilir fasilitas LNG Donggi – Senoro dipilih karena alasan : 1.
Pemerintah tidak terekspose liability (tidak menanggung akibat aliran kemungkinan terjadinya kesulitan dalam penjualan LNG) jika terjadi short fall gas, keterlambatan pembangunan kilang LNG, gas depletion atau persoalan operasional LNG.
2.
Tidak perlu garansi pemerintah seperti proyek Tangguh
3.
Tidak memberatkan keuangan Negara, kalau dikerjakan dengan pola Hulu, biaya pembangunan kilang akan direimburse ke Negara sebagai cost recovery.
4.
Investasi kilang LNG merupakan investasi langsung PMA.
5.
Bagian pendapatan Negara sudah positif sejak kilang LNG dioperasikan.
23
Direktur utama Pertamina, Koren Agustiawan menyatakan : “ Kami hanya memegang saham 29%, karena mempertimbangkan kemampuan keuangan dan resiko investasi.” Project director Medco Energi International, Lukman Mahfoedz menjelaskan : “Mengacu pada harga gas dengan patokan Japan Crude cocktail (JCC) senilai US$70 atau US$6,16 per MMBtu, Negara diprediksi memperoleh pendapatan US$330 juta per tahun. Pada saat harga BBM dengan patokan JCC US$80 atau harga gas US$7,36 per MMBtu pendapatan Negara bisa mencapai US$420 juta per tahun.” Anggota Komisi III DPR RI, Alimin Abdullah mengatakan : “ Jika dilihat dari nilai penjualan Gas Donggi – Senoro, menguntungkan bila diekspor. Namun jauh lebih menguntungkan, jika digunakan untuk industri pupuk nasional selama 15 tahun ke depan. “ Dengan belajar menggunakan sumber daya alam sendiri, kita mendapat nilai tambah. Kita belajar dari Jepang dan Korea yang lihai mengelola sumber daya alam, padahal mereka tidak punya sumber daya alam. Mereka mengandalkan teknologi jangan pernah menjual barang ke luar negeri. Mengacu data neraca Gas Indonesia, perkiraan kebutuhan gas yang bisa kita penuhi dari existing supply dan project supply sebagai berikut :
24
Tabel 1.2: Contracted Demand dan Committed Demand
No.
Permintaan
1
Jangka pendek 2010
A
contracted demand
Dipenuhi per tahun
Sebab
Penurunan
dan
keterlambatan
88,9% produksi dari lapangan Gas bumi
Permintaan terkontrak B
75,7% dan committed demand Jangka Menengah
2 (2010 – 2014) A
contracted demand
115% Menurunnya kemampuan produksi
Permintaan terkontrak B
81,7%
secara
alamiah
dan
adanya
dan committed demand kenaikan committed demand Jangka Panjang (2010 3 2025) Kelebihan
A
contracted demand
148%
suplai
pertahun
pada
lapangan
gas
contracted kontrak
rata
mulai dan
demand
-
rata
produksi minimnya
pada
akhir
25
Menurunnya kemampuan produksi Contracted demand B
73% dan commited demand
secara
alamiah
dan
kenaikan commited demand
Sumber : BP Migas, 2012 Karena itu lebih baik gas itu diutamakan untuk kebutuhan domestik. Apalagi LNG yang biasa kita ekspor merupakan teknologi pengurasan sumber daya energi dari suatu Negara ke Negara lain yang diprakarsai Negara – Negara yang bukan produsen gas. “Lebih baik memacu pembangunan instalasi pipa gas untuk kebutuhan dalam negeri daripada membangun kilang LNG. 1.4
Industri pupuk kesulitan pasokan gas.
Dalam rapat dengan DPR, Menteri ESDM Darurin Zahedy, anggota dewan menanyakan kepastian gas untuk kebutuhan dalam negeri. Dia menyatakan: “Pemenuhan bahan baku bagi pabrik pupuk, pembangkit listrik tenaga uap (PLTGU) dan kebutuhan sektor industri lain merupakan hal yang vital untuk menggerakkan perekonomian nasional. Maka kebutuhan gas untuk domestik akan diprioritaskan.”
Menteri BUMN Mustofa Abu Bakar dalam rapat dengan komisi VI DPR, mengungkapkan program revitalisasi enam pabrik pupuk membutuhkan
adanya
26
tambahan gas 509 juta MMScFd. Tambahan pasokan gas itu ditujukan untuk meningkatkan kapasitas produksi pupuk urea dari 80,5 juta ton menjadi 10,4 juta ton, untuk pengembangan pertanian dalam negeri. Kementerian BUMN ingin ada kepastian kontrak pasokan gas selama 20 tahun. Selama lebih enam tahun pabrik pupuk selalu sekarat akibat kekurangan pasokan gas, karena sebagian besar gas diekspor. Pupukpun menjadi langka dan harganya dipasaran terus melonjak. Pupuk plat merah, PT. Pupuk Iskandar Muda (PIM), pada tahun 2003 Exxon Mobile sebagai kontraktor Lapangan Gas Arun mengehentikan pengiriman gas ke pabrik itu, karena perusahaan Amerika ini memilih ekspor ke Korea dan Jepang karena telah menandatangani kontrak jangka panjang dengan kedua Negara tersebut. Pada tahun 2005 dua pabrik PIM 1 dan PIM 2 masing – masing berkapasitas 1.750 ton urea berhenti beroperasi. Pada tahun 2007 PIM membeli 110 juta MMScFd gas dari PT Medco Maluku dengan harga US$6,5 per MMBtu. Sayangnya terkendala kontrak yang baru akan dimulai tahun 2012.
Kepala Pusat data dan analisa Indonesian Corruption Watch (ICW), Firdaus Ilyas berpendapat bahwa defisit pasokan gas yang terjadi selama ini adalah buah ketidak tegasan dan ketidak konsistenan pemerintah.
27
Peraturan Menteri ESDM no.3 tahun 2010 mengenai alokasi dan pemanfaatan gas bagi kebutuhan di dalam negeri dinilai tidak menjawab permasalahan kelangkaan pasokan gas yang ada. “Dalam peraturan itu alokasi gas, malah diprioritaskan untuk memacu produksi migas. Sedang yang mendesak untuk dipenuhi kebutuhan gas bukan industri migas, melainkan PLN, pabrik pupuk, dan pabrik keramik. DMO untuk produksi gas nasional juga tidak diatur dengan jelas.
Dalam UU no. 22 thn 2001 tentang migas memang mengatur, kontaktor migas wajib menyerahkan maksimal 25% dari volume produksinya bagi kepentingan domestik namun kewajiban tersebut hanya diperlakukan disektor perminyakan tidak pada gas.
Kebutuhan PLN per tahun 462 MMBtu, pasokan gas ke PLN baru 150 – 160 jika tidak ada komitmen mengenai kebutuhan gas dalam negeri, maka pasokan
gas
dalam
negeri
dapat
terancam.
Apabila
pemerintah
mengalokasikan pasokan untuk dalam negeri dengan mengacu pada harga gas US$ 4 per MMBtu dengan kurs Rp.12.000 maka pemerintah dapat menghemat Rp.29 Triliun. Lebih dari 60% gas malah diekspor, akibatnya pemerintah kelimpungan untuk memenuhi defisit gas dalam negeri.
Direktur Eksekutif Revorminer Institute, Pri agung Rahmanto berpendapat senada: “ Pemerintah tidak perlu khawatir kehilangan
28
pemasukan dikarenakan menjual gas kedalam negeri, penerimaan negara menjadi berkurang.
Tabel 1.3: Kebutuhan Gas untuk Listrik dan Pupuk Tahun 2010
Perusahaan
Volume (MMScfd)
Perkiraan status
1. PT. PLN
2233
defisit 661 MMscfd
2. PKT
285
defisit 20 MMscfd
3. Petrokimia Gresik
65
defisit 15 MMscfd
4. Pupuk Kijang Cikampek
108
defisit 19 MMscfd
5. Pupuk Sriwijaya
225
Terpenuhi
6. PIM
110
defisit 110 MMscfd
Sumber : Kementrian Pertambangan dan Energi, 2013 1.5
Indonesia Seharusnya Belajar dari Negara Singapura “Kebijakan pemerintah gemar mengekspor gas, menghilangkan
potensi pendapatan Negara 50% dari nilai riil sumber daya alam gas. Itu karena mata rantai ekspor gas 50% dinikmati pihak luar, termasuk biaya transportasi gas alam cair, regasifikasi, dan penyimpanan.” Kata Widodo W Purwanto, peneliti minyak dan gas bumi di pusat pengkajian energi Universitas Indonesia dihubungi Eksplo februari 2010.
29
Komponen harga gas terdiri dari biaya produksi hingga kepala sumur berkisar US$0,5 – 1 per juta British Terminal Unit (BTU), transportasi US$ 0,8 – 1 per MMBtu dan proses menjadikan gas atau regasifikasi serta penyimpanan di Negara tujuan US$ 0,4 – 0,5 per MMBtu. Pemerintah memang masih mengutamakan ekspor gas sebagai salah satu andalan devisa Negara. Ilustrasi lain pada tahun 2008 harga rata – rata minyak mentah sekitar US$ 100 per barel, pemerintah mengeluarkan anggaran Rp. 297,5 Triliun untuk mengimpor 35,84 juta kilo liter BBM. Sedangkan pemasukan dari ekspor gas hanya Rp. 164,9 Triliun, sehingga neraca perdagangan defisit Rp.133 triliun. Kalau pemerintah dibebani subsidi masyarakat sebesar Rp.134,7 Triliun, maka potensi loss yang dialami negeri ini menjadi Rp.267,3 Triliun.
Salah satu pemecahan masalah ini adalah pembelian yang sudah berjalan biarkan sampai habis masa kontraknya dan tidak diperpanjang kalau tidak Indonesia akan selalu rugi, lebih baik digunakan untuk keperluan dalam negeri. Sebenarnya gas alam Indonesia berpotensi membawa Indonesia menjadi pemimpin di sektor energi. Sejak 1980 – 2009 ketika cadangan minyak merosot tajam, cadangan gas justru naik dari 820 milyar meter kubik menjadi 3,18 triliun meter kubik sehingga merupakan cadangan gas tertinggi di kawasan regional. Produksi gas juga naik dari 1,2 milyar kaki kubik menjadi 69,7 milyar kaki kubik, atau 2,3% dari produksi dunia. Menurut
30
kepala BP Migas, Tubagus Haryono mengatakan bahwa : “Cadangan gas alam Indonesia 170 Triliun kaki kubik, terdiri dari 112 Triliun kaki kubik merupakan cadangan terbukti, dan 58 triliun kaki kubik potensial.” Keberhasilan Indonesia mengekspor LNG kontras dengan pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri yang sangat tertinggal. Ini dibuktikan minimnya infrastruktur gas bumi yang baru mencapai 4.346 km (milik pertamina 2.189 km, PGN 2.157 km). Sejauh ini Indonesia hanya memiliki kemampuan mengekspor gas ke Singapura dan Malaysia melalui jaringan transmisi pipa, meskipun kini Indonesia menjadi pengekspor LNG terbesar ketiga di dunia dengan volume secara konsisten sebesar 25 milyar kaki kubik per tahun. Kita mengekspor minyak mentah ke Singapura dan kita membeli kembali BBM dari singapura yang telah diolah melalui kilang – kilang minyak mereka.