BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Nyeri merupakan suatu rasa atau sensasi yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut International Association for Study of Pain (IASP) dalam Potter & Perry (2005), Nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Low Back Pain adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah . Nyeri ini dapat bersifat lokal atau radikuler maupun keduanya serta terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daearah lumbal. Nyeri ini kerap kali disertai dengan penjalaran hingga ke arah tungkai dan kaki . Nyeri ini bisa akut, subakut dan kronis berdasarkan durasi timbulnya keluhan (Meliala L, 2005). Penyebab low back pain bervariasi antara lain bisa karena degenerasi, inflamasi,infeksi, metabolisme, neoplasma , trauma, kongeinetal, musculoskeletal, miogenik, vaskuler, dan psikogenik serta pasca operasi (Borenstein & wiesel, 2004 ). Faktor resiko yang biasanya menjadi penyebab low back pain adalah usia, kebugaran yang buruk, kondisi kesehatan yang jelek, masalah psikososial, merokok, kelebihan berat badan, serta faktor fisik yang berhubungan dengan
1
2
pekerjaan seperti duduk dan mengemudi, mengangkat, membawa beban, menarik beban dan membungkuk (Walsh, 2000 ). Menurut data dari Amerika, prevalensi gangguan ini adalah berkisar 15 – 20 % dari populasi umum. Dari kelompok usia bekerja sekitar 50 % mengaku pernah mengalami keluhan low back pain setiap tahunnya. Di Swedia menurut National Health Insurance , low back pain ditemukan pada 53 % pekerja ringan dan 64 % pekerja berat ( Meliala, dkk 2005 ). Di Indonesia, data mengenai jumlah penderita low back pain di RSUD dr. Soedarso Pontianak didapatkan bahwa pada tahun 2010 sebanyak 189 kasus, tahun 2011 sebanyak 63 kasus dan tahun 2012 sebanyak 959 kasus (Tuti, 2013).
Angka kejadian low back pain di Bali
berdasarkan data yang diperoleh dari poliklinik Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2011 dan 2012 di dapatkan jumlah penderita low back pain (LBP) yang menjalani rawat jalan sebanyak 152 pasien. (Endah , 2013).
Penatalaksanaan konservatif low back pain biasanya diatasi dengan dua cara yaitu farmakologis dan non farmakologis. Penatalaksanaan farmakologis dilakukan dengan pemberian analgetik berupa obat anti inflamasi non steroid (NSAID) sampai gejala menghilang. Relaksan otot diberikan jika ditemukan adanya spasme otot dan gejala sulit tidur yang diakibatkan oleh nyeri. Suntikan anastesi lokal dengan atau tanpa kortikosteroid dapat ditambahkan apabila terjadi nyeri lokal disertai spasme yang berat. Namun pemakaian terapi farmakologis dalam waktu yang panjang dan terus – menerus dapat menyebabkan efek samping
3
yang membahayakan terutama pada lambung dan saluran pencernaan, serta fungsi ginjal dan hati ( Mahadewa & Maliawan, 2009 ).Tindakan pembedahan untuk low back pain baru dipertimbangkan apabila terapi konservatif gagal dan low back pain) atau nyeri tungkai yang menetap untuk waktu yang lama. Bagi pasienpasien yang mengalami low back pain atau nyeri leher, namun tidak ditemukan kelainan anatomis, tindakan pembedahan tidak disarankan dan terapi konservatif merupakan satu-satunya tindakan yang dianjurkan ( Rahim,2012 ). Berkenaan dengan penatalaksanaan low back pain di atas, terapi konservatif dengan terapi komplementer merupakan pilihan yang bisa dipertimbangkan untuk meminimalkan efek samping yang ditimbulkan dari terapi farmakologis. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat dalam Bab III, sebagaimana yang tertulis dalam ayat 3 yaitu praktik keperawatan dilaksanakan melalui kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan berupa upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan masyarakat serta pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1109 tahun 2007 menyebutkan pengobatan komplementer adalah pengobatan meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan keamanan dan efektifitas tinggi. Berdasarkan peratutan tersebut, dapat diketahui bahwa penggunaan terapi komplementer sudah menjadi bagian dari pelayanan kesehatan dan perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan diperbolehkan untuk melakukan terapi komplementer dengan memperhatikan keamanan, manfaat, dan dapat
4
dipertanggungjawabkan. Salah satu terapi kompelementer tersebut adalah terapi bekam kering. Terapi bekam merupakan pengobatan alternatif yang berasal dari timur tengah dan telah dipraktikan ribuan tahun ke daratan Cina. Terapi bekam ini sebenarnya bukan hal baru lagi di kalangan masyarakat Indonesia. Terapi bekam kering seperti yang disebutkan diatas adalah suatu metode pengobatan dengan cup yaitu alat untuk membekam yang menghisap kulit dan jaringan dibawah kulit sehingga menyebabkan komponen darah mengumpul di bawah kulit tanpa pengeluaran darah. Terapi bekam mengakibatkan terjadinya dilatasi kapiler dan arteriol pada daerah yang di bekam. Dilatasi kapiler juga dapat terjadi di tempat yang jauh dari tempat pembekaman . Akibatnya, terjadi perbaikan mikrosirkulasi pembuluh darah sehingga timbul efek relaksasi otot – otot yang kaku / spasme ( Umar, 2010). Beberapa peneliti baru – baru ini meneliti tentang terapi bekam kering sebagai alternatif terapi komplementer dalam penanganan nyeri diantaranya Desi ( 2012 ) yang dalam penelitiannya mengungkapkan adanya penurunan skala nyeri yang dirasakan pada 32 pasien yang sukarela menjadi responden dengan kasus nyeri kepala primer setelah dilakukannya terapi bekam kering. Penelitian lain yang dilakukan Istichomah ( 2011 ) yang berjudul “ Perbedaan Efektifitas Analgesia Terapi Bekam dengan Akupuntur pada Nyeri Leher , dimana dalam kesimpulan penelitian ini disebutkan bahwa terapi bekam dapat memberikan efek analgesia yang dapat mengurangi nyeri leher secara
5
bermakna serta terapi bekam juga dapat dijadikan alternatif non farmakologi untuk menangani nyeri leher disamping terapi akupunktur. Hal yang serupa juga dikemukakan Mizan ( 2012 ) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Terapi Bekam Kering terhadap Perubahan Tingkat Nyeri pada Lansia di Panthi Werdha Budi Dharma Yogyakarta dimana hasil penelitian ini menggambarkan adanya
perbedaan skala nyeri sebelum pemberian terapi
bekam dengan skala nyeri setelah pemberian terapi bekam kering. Terapi bekam kering mempunyai pengaruh yang bermakna dalam menurunkan skala nyeri dengan signifikansi 0,000. Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Klinik Praktek Perawat Latu Usadha tanggal 5 Oktober 2013 mendapatkan bahwa di praktek perawat ini menyediakan pelayanan terapi komplementer sebagai pendukung terapi pengobatan dasar diantaranya terapi akupunktur, akupressure, chi machine, infra red, dan terapi bekam kering. Di klinik tersebut juga didapatkan data bahwa 80 % pasien yang datang ke klinik tersebut selama 3 bulan terakhir yakni dari Juli hingga September 2013 yakni sebanyak 254 pasien datang dengan keluhan nyeri dan 10 % dari pasien nyeri tersebut atau sebanyak 76 pasien mengalami keluhan low back pain. Pasien – pasien tersebut mengatakan mengalami keluhan nyeri di daerah lumbosacral dan
keluhan nyeri tersebut
muncul setelah melakukan
kegiatan atau aktivitas yang berat seperti mengangkat beban maupun melakukan aktivitas dengan posisi yang salah seperti membungkuk atau duduk yang terlalu lama. Pasien yang mengalami keluhan low back pain tersebut juga mengatakan bahwa keluhan nyeri yang dialaminya begitu menganggu kualitas hidupnya sehari
6
–hari bahkan pada 1 pasien yang diwawancarai peneliti sewaktu studi pendahuluan mengatakan dirinya mengalami susah berjalan karena keluhan low back pain yang dialaminya. Berdasarkan latar belakang dan literatur di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “ Pengaruh Terapi Bekam terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien dengan low back pain di Praktek Perawat Latu Usadha Abiansemal, Badung “ untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh dari terapi bekam kering terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan low back pain . 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas didapatkan rumusan masalah ; Apakah ada pengaruh terapi bekam kering terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan low back pain di Praktek Perawat Latu Usadha Abiansemal, Badung ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.2 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi bekam kering terhadap intensitas nyeri pada pasien dengan low back pain
di Praktek Perawat Latu Usadha
Abiansemal, Badung . 1.3.3 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi karateristik pasien yang mengalami low back pain (umur , jenis kelamin, dan pekerjaan). b. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien dengan low back pain sebelum dilakukan terapi bekam kering.
7
c. Mengidentifikasi skala nyeri pada pasien dengan low back pain setelah dilakukan terapi bekam kering. d. Menganalisis pengaruh terapi bekam kering terhadap nyeri pada pasien dengan keluhan low back pain. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis a. Sebagai acuan .bagi tenaga kesehatan khususnya perawat agar menggunakan terapi bekam kering sebagai pilihan terapi komplementer selain terapi farmakologis dalam mengatasi keluhan low back pain. b. Membantu pasien terutama dengan keluhan low back pain agar dapat mengatasi keluhan nyeri yang dirasakan dengan menggunakan terapi kompelementer yaitu terapi bekam kering. 1.4.2 Manfaat Teoritis a. Sebagai
pustaka
dalam
bidang
keperawatan
khususnya
keperawatan
komplementer dalam memberikan intervensi kepada pasien yang mengalami keluhan low back pain dengan metode kompelementer yaitu terapi bekam kering. b. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti manfaat lain dari terapi bekam kering selain berpengaruh terhadap skala nyeri pada low back pain