1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Sampai saat ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang lebih berfokus pada guru/dosen sebagai sumber pengetahuan sehingga ceramah menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Siswa atau mahasiswa sering bersikap pasif, bahkan ada kecenderungan hanya bersikap menerima saja pengetahuan dari pendidik. Untuk itu, diperlukan suatu pendekatan belajar yang memberdayakan peserta didik. Salah satu pembelajaran yang memberdayakan peserta didik adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning). Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan “konsep belajar yang membantu dosen/guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan pemaparannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat” (Diknas, 2002: 1). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa/mahasiswa dan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa belajar dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Melalui metode kontekstual , mahasiswa belajar melalui pengalaman, tidak menghafal. Dalam hal ini proses dan strategi pembelajaran lebih dipentingkan. Menurut Muslich (2007: 41), salah satu metode dalam pembelajaran yang dapat merangsang aktivitas mahasiswa dalam belajar adalah pembelajaran kontekstual . Penerapan kontekstual sering digalakan dan dilaksanakan dalam
1
2
pelatihan-pelatihan dengan harapan berpengaruh positif terhadap hasil belajar mahasiswa. Metode kontekstual merupakan salah satu alternatif pembelajaran, yakni pendidik memosisikan para mahasiswa sebagai subjek, bukan sebagai objek pembelajaran. Dengan kata lain, pendidik sebagai fasilitator. Pembelajaran kontekstual di kelas melibatkan tujuh komponen utama, yakni (1) konstruktivisme, (2) menemukan, (3) bertanya, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian yang sebenarnya. Berdasarkan komponen tersebut, dalam pembelajaran kontekstual mahasiswa diharapkan lebih aktif dan kreatif. Proses keterlibatan mahasiswa terjadi secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata. Pendekatan kontekstual mendorong mahasiswa untuk dapat menerapkan keterampilan atau pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pembelajaran tidak hanya mengharapkan mahasiswa memahami materi yang dipelajari, tetapi juga menghendaki agar pelajaran itu dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, pengetahuan dan kemampuan seorang dosen/guru dalam menerapkan model pembelajaran yang tepat. Menurut Buchori (dalam Khabibah, 2006:1) pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan para mahasiswa untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi juga mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal itu tampak dari rata-rata hasil belajar siswa yang
3
senantiasa masih sangat memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri. Dalam arti yang lebih substansial proses pembelajaran hingga dewasa ini tampaknya
masih mencirikan dominasi
guru/dosen dan kurang memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berpikirnya. Di pihak lain, secara empiris berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa rendahnya hasil belajar peserta didik disebabkan oleh salah satu proses pembelajaran
yang
didominasi
oleh
pembelajaran
konvensional
Pada
pembelajaran ini suasana kelas cenderung berpusat pada dosen/guru sehingga mahasiswa menjadi pasif. Meskipun demikian, dosen/guru lebih suka menerapkan model tersebut, sebab tidak memerlukan alat dan bahan praktik. Artinya, guru/dosen cukup menjelaskan konsep-konsep yang ada pada buku ajar atau referensi lain. Dalam hal ini, siswa/mahasiswa tidak diajarkan strategi belajar yang dapat memahami bagaimana belajar, berpikir, dan memotivasi diri sendiri. Masalah ini banyak dijumpai dalam kegiatan proses belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu, diperlukan penerapan suatu strategi belajar yang dapat membantu mahasiswa untuk memahami materi ajar dan aplikasinya dalam kehidupan seharihari. Terkait dengan itu, berlakunya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal. Perubahan tersebut harus pula diikuti oleh dosen/guru yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembelajaran di dalam kelas dan di luar kelas.
4
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada dosen/ guru beralih berpusat pada murid, metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori, dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan. Untuk itu, dosen/guru harus bijaksana dalam menentukan suatu model pembelajaran yang sesuai dan dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Berbicara tentang masalah penggunaan metode
dalam kaitan dengan
proses pembelajaran, guru atau dosen harus tepat dalam memilih dan menentukan metode yang secara rasional dipandang paling cocok. Mengingat tujuan pembelajaran yang hendak dicapai sangat beragam, jenis metode dan pendekatan yang digunakan atau dipilih dosen/guru
juga harus beragam sesuai dengan
karakteristik tujuan pembelajaran tersebut. Metode kontekstual dapat dijadikan alternatif strategi belajar yang lebih memberdayakan mahasiswa. Penggunaan metode kontekstual ini sangat cocok untuk menyampaikan pelajaran karena merupakan konsep belajar yang membantu dosen/guru mengaitkan antara materi yang diajarkanya dan situasi dunia nyata mahasiswa dan mendorong mahasiswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2002).
5
Dengan metode kontekstual, diharapkan hasil pembelajaran lebih bermakna bagi mahasiswa. Proses pembelajaran juga berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan mahasiswa belajar menemukan, bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Dalam hal ini, strategi dan proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dosen/guru juga mengupayakan perbaikan-perbaikan kualitas pembelajaran melalui serangkaian usaha yang langsung berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab profesional dosen/guru dengan harapan pengajaran dan pembelajaran bahasa berhasil dengan baik sesuai dengan tujuan yang sudah ditetapkan. Pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Jepang adalah suatu hal yang kompleks, terutama dalam bidang tata bahasa. Apa yang dipelajari pada tahap pemula atau tahap awal merupakan kunci keberhasilan penguasaan bahasa asing yang akan diperoleh di akhir pembelajaran. Bagi pelajar bahasa Jepang, tata bahasa bisa dianggap sebagai kompas dalam praktik bahasa pada kenyataannya. Pengajaran tata bahasa yang benar tidak semata-mata berpusat pada tata bahasa itu sendiri, tetapi juga harus diseimbangkan dengan
empat aspek keterampilan
berbahasa, yakni aspek menulis, aspek membaca, aspek mendengarkan (menyimak), dan aspek berbicara. Keempat aspek tersebut perlu dikuasai oleh mahasiswa. Di samping menguasai keempat aspek tersebut, pembelajar bahasa Jepang juga harus memahami struktur dan tata bahasa Jepang. Kemampuan seseorang memahami dan menguasai tata bahasa Jepang dibagi dalam beberapa tingkat, yaitu tingkat dasar (shokyou), tingkat terampil (chukyou) dan mahir (jukyou).
tingkat
6
Menurut Sudjianto (2004:14), dilihat dari aspek kebahasaan, bahasa Jepang memiliki karakteristik yang unik dan dapat diamati dari huruf yang digunakan, sistem pengucapan, gramatika, ragam bahasa, kosakata, kaidah-kaidah, aturan penggunaan yang berbeda dengan bahasa lainnya. Bahasa Jepang mempunyai gramatika yang berbeda sekali dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Jepang memiliki gramatika yang sangat unik, yaitu susunan kalimat berpola S-K-O-P (subjek- keterangan - objek- predikat). Di antara selasela S-K-O-P tersebut mutlak harus disisipi dengan kata bantu atau partikel. Contoh: 大学生 Daigakusei mahasiswa „ Mahasiswa
は カンチン で wa kantin de part tempat part makan nasi di kantin‟.
ごはん を 食べます gohan o tabemasu nasi part makan
Kata daigakusei dalam bahasa Indonesia berarti “mahasiswa”, yang berfungsi sebagai subjek (shugo) dalam kalimat dan disertai partikel wa ( は ). Kantin (joukyougo) adalah serapan dari bahasa Inggris berarti “keterangan tempat”, dalam penulisan bahasa Jepang ditulis dengan huruf Katakana disertai partikel de(で)yang berarti “di”. Unsur objek (taishougo) adalah gohan berarti “nasi” dan selalu diikuti partikel o ( を ) . Kata tabemasu berarti “makan” berfungsi sebagai predikat (jutsugo) dan selalu terletak di akhir kalimat. Hal itu berbeda dengan bahasa Indonesia yang susunan kalimatnya berpola S-P-O-K. Contoh: “Rita membaca buku di perpustakaan”. Setiap bahasa memilki gramatika atau tata bahasa yang memuat kaidah-kaidah, aturan bentuk, struktur dan ciricirinya.
7
Dalam berbahasa seseorang perlu mengetahui tata bahasa yang baik dan benar, terutama pada saat hendak berkomunikasi kepada orang asing dalam hal ini kepada orang Jepang. Hal ini amat penting bila ingin menjalin hubungan komunikasi dengan baik. Sudjianto (1996:22) mengemukakan perlunya pembelajar bahasa mempelajari gramatika karena bahasa tidak boleh ditulis dan diucapakan secara sembarangan. Bahasa harus digunakan dengan baik, benar, dan efektif agar dapat memahami apa yang ingin disampaikan ataupun pesan yang diterima dalam komunikasi atau memahami wacana. Dengan kata lain, apabila pembelajar mengetahui dan memahami gramatika dengan baik, dengan sendirinya ia dapat menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berkomunikasi dengan baik pula. Artinya, dapat dengan mudah menyampaikan ide, pesan kepada lawan bicara. Di pihak lain, pesan yang disampaikan lawan bicara akan mudah dimengerti. Sehubungan dengan itu, Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata dan penyusunan kata-kata dalam kelimat. Pada waktu berkomunikasi, khususnya dalam bahasa Jepang pemahaman tata bahasa sangatlah penting, karena bahasa Jepang memiliki karakteristik unik, baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Untuk menanamkan pemahaman tata bahasa Jepang yang baik dan benar,
pendidik harus tepat menentukan dan memilih
metode
pembelajaran bahasa yang diberikan kepada para pelajar bahasa Jepang tahap pemula dalam proses belajar mengajar. Untuk itu, metode kontekstual dapat dijadikan salah satu alternatif yang efektif dalam pembelajaran tata bahasa.
8
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. 1) Bagaimana hasil
belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi
mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebelum menerapkan metode kontekstual ? 2) Bagaimana hasil
belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi
mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar, baik kuantitatif maupun kualitatif, setelah menerapkan metode kontekstual ? 3) Faktor apa sajakah yang memengaruhi hasil belajar mahasiswa semester III Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan diuraikan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum penelitian ini adalah memberikan referensi tentang penggunaan metode kontekstual dalam pengajaran dan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar(shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar.
9
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan
khusus
penelitian ini merujuk pada apa yang dimuat dalam
rumusan masalah sebelumnya, yakni seperti di bawah ini. 1) Untuk mendeskripsikan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar sebelum diterapkan metode kontekstual di dalam kelas. 2) Untuk mengetahui hasil belajar tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar sesudah menggunakan metode kontekstual di dalam kelas. 3) Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual
1.4 Manfaat hasil Penelitian Pada penelitian ini terdapat dua manfaat, yakni manfaat praktis dan teoritis. Kedua manfaat penelitian ini secara terperinci terlihat pada paparan di bawah ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian terhadap penerapan metode kontekstual dalam pembelajaran bahasa Jepang, khususnya pada pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Model pembelajaran yang dihasilkan dapat meningkaktan aktifitas belajar mahasiswa dan memberikan sumbangan terhadap metode dan teori pembelajaran bahasa, khususnya tata bahasa Jepang dasar. Hal ini penting, mengingat masih langkanya bahan referensi
10
yang membahas metode kontekstual dalam meningkatkan pembelajaran dan pengajaran bahasa.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis yang relevan, terutama bagi peningkatan profesional dosen dalam menyusun dan mengelola pengajaran dan pembelajaran bahasa Jepang menjadi lebih inovatif. Kecermatan atau ketepatan dosen dalam menerapkan metode pembelajaran akan memengaruhi hasil belajar mahasiswa. Bagi mahasiswa pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar mahasiswa, karena pembelajaran kontekstual menekankan pada interaksi kerja sama di antara mahasiswa sebagai kelompok belajar. Mahasiswa terlatih untuk lebih aktif bertanya, menemukan sendiri dan mengonstruksi proses materi pembelajaran. Selain itu, juga mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluaga dan masyarakat. Manfaat bagi lembaga, yaitu dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dengan memperhatikan dan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang memadai seperti laboratorium bahasa, tape recorder beserta kasetnya, TV beserta DVD dan CD-nya. Pada hakikatnya hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak pembaca.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini difokuskan pada pemerolehan informasi berupa teori, konsep, pendekatan, dan metodologi yang digunakan dalam penelitian sehingga dapat memperjelas kegunaannya terkait dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang dikaji pada penelitian terdahulu dijadikan bahan masukan pada penelitian ini. Penelitian Lestari (2010) berjudul ”Pembelajaran Kosa Kata secara Kontekstual dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Siswa di Kelas XI Bahasa SMA N 2 Semarapura”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa melalui pelaksanaan pembelajaran membaca secara kontekstual, siswa telah terbukti mampu menunjukkan potensinya dalam pembelajaran membaca. Untuk itu, dalam pembelajaran tersebut, tidak hanya mentransfer materi pelajaran, tetapi dapat juga menemukan dan memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Penelitian Lestari memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena kemampuan tata bahasa yang baik dan benar dalam berkomunikasi sangat terpengaruh oleh penguasaan pembendaharaan kosa kata bagi mahasiswa. Pembelajaran struktur dan unsur tata bahasa secara bertahap juga ditentukan proses pengenalan kosa kata. Penelitian
Narohita (2010) berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan
Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa
11
12
Sekolah Menengah Pertama (Studi Eksperimen pada SMP Negeri 1 Tejakula)”. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pendekatan kontekstual pada pembelajaran matematika terhadap kemampuan pemecahan masalah sebelum dan setelah dikendalikan penalaran formal. Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan rancangan The Posttest-Only Control Group Design dengan melibatkan sampel sebanyak 76 orang siswa SMP Negeri 1 Tejakula. Dengan rancangan tersebut berarti penelitian Narohita tidak melaksanakan
pre-test untuk mengetahui akibat perlakuan
sebelum tes dilaksanakan. Pada penelitian ini menggunakan The One Pre-Test Pos-Test Design. Artinya kondisi perlakuan diberikan pada kelompok subjek yang sama, sehingga perlu dilaksanakan pre-test dan pos-test untuk mengetahui hasil perubahan sebagai akibat dari tindakan yang dilaksanakan. Dengan kedua desain tersebut
ternyata
menunjukkan
hasil
penerapan
pendekatan
kontekstual
berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah setelah diadakan pengendalian terhadap penalaran formal siswa. Hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa pendekatan kontekstual menyebabkan proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan belajar bermakna, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Penelitian Susriati (2009) berjudul “Penerapan Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi Siswa Kelas XI
Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan hasil belajar siswa dengan diterapkannya CTL pada pembelajaran IPA. Untuk mencapai tujuan
13
tersebut dilakukan penelitian tindakan kelas pada semester gasal tahun pelajaran 2009/2010. Prosedur penelitian menggunakan siklus Kemmis dan Taggart yaitu tiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Pada siklus tindakan guru/dosen dominan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa atau mahasiswa untuk mendorong mereka mengatakan apa yang mereka pahami , dan apa yang mereka minati. Sedangkan penelitian ini menggunakan siklus Arikunto yang lebih menekankan tahapan proses pelaksanaan untuk berdiskusi, tanya jawab dalam kelompok belajar untuk menemukan hasil pembelajaran. Hasil penelitian Susriati menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menerapkan metode kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Pada pratindakan rata-rata hasil belajar yang dicapai siswa sebesar 65,73. Pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 70,15. Pada siklus II rata-rata hasil belajar siswa secara klasikal meningkat menjadi 83,85. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian Susriati mengkaji bidang pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas. Penelitian dilakukan oleh Widhiastuty (2014) berjudul “Penerapan Metode Contextual Teaching and Learning dalam Upaya Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Siswa Kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan”. Penelitian dengan dua siklus ini menunjukkan bahwa penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa meningkat dengan diterapkannya metode Contextual Teaching and Learning. Peningkatan tersebut dapat dilihat dari hasil
14
persentase pada siklus I sebesar 64,61% dan termasuk kategori tidak cukup, dan kemudian meningkat pada siklus II menjadi 82,55% termasuk kategori baik. Artinya metode CTL dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas VII SMP Taman Sastra Jimbaran Kuta Selatan. Penelitian yang didilakukan oleh Widhiastuty dari aspek kebahasaan memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena penguasaan kosakata dan tata bahasa termasuk aspek kebahasaan yang tidak dapat terpisahkan. Pembendaharaan kata yang baik dan benar dapat dengan mudah menyusun kalimat yang disampaikan
kepada orang lain. Perbedaannya terdapat pada bidang kajian
penelitian, Widhiastuty meneliti kosakata bahasa Inggris, sedangkan penelitian ini meneliti bidang tata bahasa Jepang dasar, dengan penerapan metode yang sama yaitu metode kontekstual. Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Suryawan (2008) dengan judul “Penerapan Pendekatan Konteksual Menggunakan Media Skema Untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Singaraja”. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa adanya peningkatan yang cukup signifikan pada hasil belajar berbicara siswa dengan penerapan pendekatan kontekstual menggunakan media skema. Walaupun banyak dilakukan penelitian tentang pengaruh pembelajaran kontekstual (CTL) terhadap aspek–aspek pembelajaran mata pelajaran tertentu, belum
ditemukan
penelitian
sejenis
yang mencoba
meneliti
pengaruh
pembelajaran kontekstual terhadap peningkatan hasil belajar mahasiswa pada tataran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) yang memiliki karakteristik unik,
15
baik huruf, ucapan, maupun struktur kalimatnya. Demikian pula subjek dan objek penelitian yang dilakukan oleh para peneliti berbeda, sudah barang tentu konsep, landasan teori, metode, dan kerangka berpikir berbeda pula. Subjek penelitian terdahulu adalah siswa tingkat dasar dan menengah yang memiliki tingkat berpikir berbeda dengan mahasiswa. Objek yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah bidang kajian yang diteliti. Perbedaan lainnya, yakni tidak ditemukan hasil analisis data kualitatif, tetapi semua penelitian yang sudah dilaksanakan hanya menemukan data kuantitatif dalam bentuk angka-angka. Lagi pula, tidak ada yang melengkapi penelitiannya dengan faktor-faktor yang dapat memengaruhi hasil belajar mahasiswa dengan metode kontekstual (CTL). Hasil penelitian di atas yang menerapkan metode
kontekstual dalam
proses pengajaran dan pembelajaran memiliki keunggulan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya keunggulan peningkatan hasil belajar. Peningkatan tersebut terjadi pada siklus I dan siklus II sehingga kriteria nilai minimal terlampaui. Penelitian terdahulu cukup relevan dengan penelitian ini. Diharapkan hasil penelitian dapat menjawab permasalahan dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar. Dengan demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas yang berjudul “Metode Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dalam Pembelajaran Tata Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa Semester III Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati Denpasar”.
16
Penelitian ini dikhususkan pada peningkatan penguasaan tata bahasa Jepang dasar sebagai bahasa asing, sebab tata bahasa merupakan salah satu komponen penting dalam pengajaran bahasa Jepang. Jika seorang mahasiswa lemah dalam penguasaan tata bahasa, ia tidak akan dapat mengomunikasikan pikiran dan idenya dengan baik dan benar, baik lisan maupun tulisan.
2.2 Konsep Pada penelitian ini terdapat beberapa konsep penting sebagai dasar atau acuan untuk memperlancar proses penelitian. Konsep konsep tersebut, yaitu (1) metode kontekstual (CTL ), (2) pembelajaran, (3) tata bahasa Jepang dasar (Shokyou Bunpo).
2.2.1 Metode kontekstual Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran yang akan dicapai. Menurut Sutikno, metode adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan. Para ahli lain menyatakan bahwa metode adalah cara yang digunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran (Sudjana, 2005:76). Metode kontekstual merupakan suatu proses yang dilakukan dalam pembelajaran untuk menghasilkan pengetahuan dengan menghubungkan muatan
17
akademis atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual. Ketujuh komponen utama yang dimaksud adalah konstruktivisme, bertanya, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Untuk mengaitkan materi pembelajaran bisa dilakukan dengan berbagai cara. Selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan kehidupan nyata mahasiswa sehari-hari (Rusman, 2012:188). Metode kontekstual pada penelitian ini adalah cara pembelajaran yang membantu guru/dosen mengaitkan antara materi yang dihajarkan dengan situasi nyata siswa atau mahasiswa dan mendorong untuk menghubungkan antar pengetahuan yang dimiliki dengan kehidupan nyata mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
2.2.2
Pembelajaran Pembelajaran adalah serangkaian peristiwa yang dirancang, dan disusun
demikian rupa untuk mendukung dan memengaruhi terjadinya proses belajar mahasiswa yang bersifat internal. Pembelajaran berupaya mengubah input mahasiswa yang belum terdidik menjadi mahasiswa yang terdidik, mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu menjadi mahasiswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula mahasiswa yang memiliki sikap, kebiasaan, atau tingkah laku yang belum memiliki eksistensi dirinya sebagai pribadi yang baik menjadi mahasiswa yang memiliki sikap yang baik, sebagai hasil dari
18
pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik (Aunurrahman, 2010:34). Darsono (2000:24) menambahkan bahwa secara umum pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa. Dengan demikian tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Menurut Syaiful Sagala (2010:61), pembelajaran adalah membelajarkan peserta didik menggunakan asas pendidikan dan teori belajar sebagai proses komunikasi dua arah. Pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat mahasiswa/siswa belajar secara aktif, mampu
berpikir
yang
dapat
meningkatkan
kemampuan
mengontruksi
pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses belajar mengajar di kelas yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik di lingkungan sekolah untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian ke arah yang lebih baik sebagai hasil dari pengalaman mahasiswa dalam proses pembelajaran yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik. ((Aunurrahman, 2010:34)
2.2.3
Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyou Bunpo) Menurut Iwabuchi Tadasu, gramatika atau tata bahasa adalah aturan-aturan
mengenai bagaimana menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi sebuah kalimat (dalam Sudjianto dan Dahidi, 2009:133). Shokyou bunpo adalah tata bahasa tingkat dasar (pemula); kelas pemula (Matsura, 1994:959).
19
Poerwadaminta (1976:1024) mengemukakan bahwa tata bahasa adalah pengetahuan atau pelajaran mengenai pembentukan kata-kata. Selain itu, juga penyusunan kata-kata dalam kalimat. Pada penelitian ini, tata bahasa Jepang dasar adalah seputar aturan-aturan dalam menggunakan dan menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menguasai aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang sederhana. Artinya, gramatika atau tata bahasa dasar dicirikan oleh pola kalimat yang sederhana. Contoh : わたし は だいがくせい Watashi wa daigakuesi saya part mahasiswa „Saya adalah mahasiswa‟.
です desu kopula
Bahasa Jepang adalah bahasa yang memiliki gramatika/struktur pola kalimat “subjek-keterangan-objek-predikat (S-K-O-P)”. Contoh: あにさん は マタハリ で Ani san wa Matahari de nama part nama tempat part „Ani membeli tas di Matahari‟.
かばん を kaban o tas part
かいます kaimasu membeli
Ani san adalah subjek, partikel wa/は penanda subjek, Matahari adalah keterangan tempat, partikel de/で berarti „di‟, kaban berarti „tas‟ adalah objek, o/ を penanda objek, dan kaimasu berarti „membeli‟ adalah predikat. Predikat dalam pola kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat (Jonathan, 2013:8). Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada empat unsur-unsur bahasa, yakni penggunaan partikel, pola
20
kalimat , unsur predikat, dan makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar.
2.3 Landasan Teori Ada beberapa teori yang melandasi penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah (1) teori pembelajaran bahasa konstruktivisme, (2) dasar-dasar linguistik bahasa Jepang, dan (3) penelitian tindakan kelas (PTK). 2.3.1 Teori Pembelajaran Bahasa Konstruktivisme Munculnya konstruktivisme dalam dunia psikologi, pada tahun-tahun terakhir ini menjadi lebih jelas bahwa fungsi bahasa berkembang dengan baik di bawah gagasan kognitif dan struktur ingatan. Menurut pandangan konstruktivisme, pengetahuan dibina secara aktif oleh individu yang berpikir. Individu ini tidak menyerap secara sembarangan pengetahuan dasar yang dimiliki untuk membentuk pengetahuan baru dalam pikiran mereka dengan bentuk interaksi sosial, baik bersama rekan maupun gurunya (Brooks&Brooks,1993 dalam Aqib, 2013). Komponen
penting dalam teori konstruktivisme adalah bagaimana
mengemas pembelajaran menjadi proses mengontruksi tidak sebatas menerima pengetahuan. Penelitian bahasa anak-anak mulai memusatkan perhatiannya pada bagian linguistik yang paling rawan, yakni fungsi bahasa dalam wacana. Teori belajar konstruktivisme merupakan landasan berpikir metode CTL. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri pengetahuan melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih banyak berpusat pada siswa daripada berpusat pada guru.
21
Artinya, sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengonstruksi tidak menerima pengetahuan. Menurut teori ini satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya sekadar memberikan pengetahuan kepada siswa. Akan tetapi, mahasiswa/siswa itu sendiri harus membangun pengetahuan dalam benaknya. Guru atau dosen dapat memberikan kemudahan dalam proses ini dengan memberikan kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ideide mereka sendiri. Di samping itu, mengajari siswa menjadi sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi peserta didik sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari (Trianto, 2008:41). Konstruktivisme menurut Martin et. al (dalam Gerson Ratumanan, 2002) menekankan pentingnya setiap siswa aktif mengonstruksikan pengetahuan melalui hubungan saling memengaruhi antara belajar sebelumnya dan belajar baru. Selanjutnya, Wikipedia (2008:1) menurunkan definisi ialah “constructivism may be considered an epistemology (a philosophical framework or theory of learning) which argues humans construct meaning from current knowledge structures.” Artinya, konstruktivisme dapat dipandang sebagai suatu epistemologi (kerangka filosofis atau teori belajar) yang mengkaji manusia dalam membangun makna dari struktur pengetahuan terkini. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai landasan paradigma pembelajaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembangan siswa belajar mandiri,
22
dan perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Dalam hal tahap-tahap pembelajaran, pendekatan konstruktivisme lebih menekankan pada pembelajaran top-down processing, yaitu siswa belajar dimulai dari masalah yang kompleks untuk dipecahkan (dengan bantuan guru), kemudian menghasilkan atau menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang dibutuhkan (Slavin, 1994). Misalnya, ketika siswa diminta untuk menulis kalimat-kalimat, kemudian dia akan belajar untuk membaca, belajar tentang tata bahasa kalimatkalimat tersebut, dan bagaimana menulis titik dan komanya. Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun, guru lebih diposisikan sebagai fasilitator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar, bukan bagaimana guru mengajar. Sebagai
fasilitator,
guru
bertanggung
jawab
terhadap
kegiatan
pembelajaran di kelas. Di antara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Orientasi pembelajaran bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa (student centered instruction).
1) Prinsip-Prinsip Konstruktivisme Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut:
23
a) Pengetahuan dibangun oleh mahasiswa/siswa sendiri. b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari dosen/guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan mahasiswa sendiri untuk menalar. c) Mahasiswa/siswa aktif megonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah disesuaikan dengan kehidupan nyata. d) Dosen/guru sekadar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar. e) Struktur pembelajaran seputar konsep diutamakan pada pentingnya sebuah pertanyaan. f) Mencari dan menilai pendapat mahasiswa/siswa. g) Menyesuaikan
bahan
pengajaran
untuk
menanggapi
anggapan
mahasiswa/siswa. Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting yaitu dosen/guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada mahasiswa/siswa. Mahasiswa/siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Seorang dosen/guru dapat membantu proses ini dengan caracara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa/siswa. Hal itu dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada mahasiswa/siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dengan mengajak mahasiswa/siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
2) Implikasi Konstruktivisme pada Pembelajaran Terdapat
beberapa
implikasi
penting
konstruktivisme
terhadap
pembelajaran. Implikasi-implikasi yang dimaksud adalah seperti di bawah ini.
24
1) Pembelajaran tidak dapat dipandang sebagai suatu transmisi pengetahuan. Penyajian pengetahuan jadi (ready made) tidak mendapat penekanan. Dalam kelas konstruktivis, pembelajaran diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan
siswa
mengonstruksi
pengetahuan
dan
memperluas
pengetahuan mereka. Inisiatif dan keterlibatan aktif mahasiswa/siswa dalam pembelajaran merupakan hal yang utama. 2) Perhatian tidak diarahkan hanya pada hasil belajar, tetapi juga dipusatkan pada proses berpikir atau proses mental mahasiswa. Di samping kebenaran jawaban mahasiswa, dosen/guru juga perlu memperhatikan proses yang digunakan mahasiswa hingga memperoleh jawaban tersebut. 3) Perlu adanya scaffolding (dukungan atau bantuan) pada mahasiswa yang mengalami
kesulitan dalam
mengonstruksi
pengetahuan atau dalam
pemecahan masalah. Bantuan ini akan memotivasi mahasiswa dalam belajar dan meningkatkan kemandirian mahasiswa. Di samping itu,
juga akan
mengembangkan ZPD (zon perkembangan prokimal) mahasiswa. 4) Perlu disadari tentang pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran. Pembelajaran seharusnya melibatkan negosiasi sosial dan mediasi. Pedagogis lebih ditekankan pada diskusi, kolaborasi, negosiasi, dan makna bersama. 5) Perlu diciptakan situasi pembelajaran yang merangsang keingintahuan mahasiswa,
sekaligus
merangsang
mengkomunikasikan ide-ide mereka.
mahasiswa
untuk
dapat
25
6) Jika mahasiswa harus mengaplikasikan pemahaman saat ini dalam situasi baru ke bentuk pengetahuan baru, dosen/guru harus sungguh-sungguh melibatkan mahasiswa dalam pembelajaran.
3) Ciri-Ciri Pembelajaran Menurut Konstruktivisme Adapun ciri-ciri pembelajaran menurut konstruktivisme adalah sebagai berikut. 1) Pembelajaran berpusat pada mahasiswa. 2) Fokus kepada pembelajaran bukan pengajaran. 3) Dosen/guru sebagai fasilitator. 4) Bahan pengajaran dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan peluang kepada mahasiswa membina pengetahuan baru. 5) Menyokong pembelajaran secara kooperatif, yaitu suatu kumpulan strategi mengajar yang digunakan mahasiswa untuk membantu satu dengan yang lain dalam mempelajari sesuatu. 6) Menggalakkan mahasiswa bertanya dan berdialog dengan sesama mahasiswa dan dosen. 7) Pendidik memahami karakteristik mental para mahasiswa untuk mengenal penalaran yang dikembangkan untuk mendukung proses pembelajaran. 8) Menggalakkan
dan
menerima
daya
usaha
para
mahasiswa
dalam
mengembangkan pengetahuannya. 9) Menggalakkan ide yang dikemukakan oleh mahasiswa dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
26
4) Keunggulan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Keunggulan 1) Berpikir Dalam proses membina pengetahuan baru, mahasiswa berpikir menyelesaikan masalah, mengemukakan dan membuat simpulan dengan bahasa sendiri. 2) Paham Karena mahasiswa terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengaplikasikannya. 3) Ingat Karena mahasiswa terlibat secara langsung dan aktif, mereka akan mengingat lebih lama mengenai semua konsep. 4) Yakin Melalui pendekatan ini mahasiswa membina sendiri pemahaman mereka dengan strategi belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka menjadi lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah pada situasi baru dalam kehidupan sehari-hari. 5) Interaktif dan Senang Mahasiswa/siswa lebih banyak berinteraksi dan saling bertukar gagasan dengan teman dan dosen/guru dalam proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan baru. Karena mereka paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat, maka timbul rasa senang belajar untuk memperoleh pengetahuan baru.
27
Kelemahan 1) Pemahaman para mahasiswa terhadap materi cenderung kurang merata. 2) Diperlukan persiapan yang lebih matang dari pendidik dan peserta didik agar pembelajaran berjalan dengan lancar. 3) Mahasiswa mengonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga tidak jarang hasil konstruksi tersebut tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Dengan demikian, terjadi miskonsepsi. 4) Konstruktivisme menanamkan agar mahasiswa membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap mahasiswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda. 5) Situasi dan kondisi tiap kampus tidak sama karena tidak semua kampus memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas mahasiswa.
5) Kendala dalam Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar. Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut konstruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan dosen/guru. Selama ini pendidik telah terbiasa mengajar dengan menggunakan pendekatan tradisional. Upaya mengubah kebiasaan ini merupakan suatu hal yang tidak mudah.
28
2) Dosen/guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme. Dosen/guru konstruktivis dituntut untuk lebih kreatif dalam merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai. 3) Adanya anggapan dosen/guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan menggunakan waktu yang cukup besar. Pendidik khawatir target pencapaian kurikulum (TPK) tidak tercapai. 4) Sistem evaluasi masih menekankan pada nilai akhir. Padahal, yang terpenting dari suatu pembelajaran adalah proses belajar, bukan hasil akhirnya. 5) Besarnya beban mengajar dosen/guru, latar belakang pendidikan tidak sesuai dengan mata kuliah yang diasuh, dan banyaknya pelajaran/mata kuliah yang harus dipelajari mahasiswa merupakan hal yang cukup serius. 6) Mahasiswa/siswa terbiasa menunggu informasi dari dosen/guru. Peserta didik akan belajar jika ada transfer pengetahuan dan tugas-tugas dari dosen/gurunya. Upaya mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan pengonstruksi informasi” merupakan kendala tersendiri. 7) Adanya budaya negatif di lingkungan mahasiswa/siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah. Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak dilarang membantah pendapat orang tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke kampus. Mahasiswa/siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat atau penjelasan pendidik. Mahasiswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin berbeda dengan dosen/ gurunya
29
Beberapa kelemahan dan kendala tersebut di atas dialami ketika melaksanakan penelitian pada tindakan siklus I. Kelemahan teori konstruktivisme dengan penerapan metode kontekstual tampak pada kemampuan intelektual mahasiswa kurang merata, sehingga mengonstruksi hasil temuan
belajar
kelompok tidak sesuai dengan kaidah gramatika bahasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari hasil pembelajaran pada siklus I masih kurang. Cara mengatasi kelemahan tersebut, peneliti berkonsultasi dengan dosen pengampu mata kuliah mengenai tingkat kemampuan mahasiswa dan melihat indeks prestasi tiap-tiap mahasiswa. Kemudian berdasarkan data dan masukan dosen pendamping peneliti merombak keanggotaan kelompok belajar dengan tujuan
menimalisir ketimpangan yang ada di antara individu dan kelompok
belajar. Kendala-kendala yang dialami antara lain, mahasiswa tidak terbiasa bekerja kelompok, mahasiswa kurang berani mengemukakan pendapatnya, dan ada kecenderungan mahasiswa hanya menerima informasi dari dosen. Sikap mahasiswa seperti ini tidak baik untuk tujuan pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh kemauan, percaya diri, keberanian, minat, dan motivasi belajar mahasiswa.
2.3.2
Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang Pembelajar bahasa Jepang perlu memahami atau minimal mengetahui
dasar-dasar linguistik bahasa Jepang. Pengetahuan linguistik ini merupakan media untuk mempermudah dan memperlancar penguasaan bahasa Jepang. Linguistik
30
bahasa Jepang disebut dengan nihongo-gaku, bisa diterjemahkan ilmu bahasa Jepang. Jadi, dalam nihongo-gaku dipelajari seluk beluk bahasa Jepang ,yang mencakup berbagai cabang, yaitu : 1) fonetik (onseigaku) 2) fonologi (oninron) 3) morfologi (keitairon) 4) sintaksis (tougoron) 5) semantik (imiron) 6) pragmatik (goyouron) 7) sosiolinguistik (shakai gengogaku) 8) psikolinguistik (shinri gengogaku) Cabang linguistik yang dijadikan landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini adalah cabang sintaksis. Sintaksis (tougoron) dalam bahasa Jepang disebut tougoron. Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari struktur kalimat atau kaidah-kaidah dan unsurunsur pembentuk kalimat dalam suatu bahasa. Bidang garapan sintaksis adalah kalimat yang mencakup unsur-unsur pembentuknya, struktur kalimat dan maknanya, serta jenis dan fungsi kalimat (Nita, 1994 : 18) Secara garis besar jenis kalimat berdasarkan struktur kalimat terdiri atas dua macam, yaitu kalimat yang tidak memiliki unsur predikat dan kalimat yang memiliki unsur predikat. Contoh kalimat sebagai berikut. 1) Kalimat yang tidak mempunyai predikat. Oame (banjir), kaji (kebakaran).
31
2) Kalimat yang memiliki predikat, Contoh :エカさん は にほんご を Eka san wa nihongo o nama orang part bahasa Jepang part „Eka belajar bahasa Jepang‟.
ならいます naraimasu. belajar.
Kata naraimasu berarti belajar, yang berfungsi sebagai predikat dalam bahasa Jepang. Partikel wa/は penanda subjek, dan partikel o/を penanda objek. Pola dan struktur kalimat bahasa Jepang berdasarkan jenis kata yang dijadikan predikat dibagi menjadi tiga macam, yaitu kalimat verbal, baik transitif maupun intrasitif, kalimat adjektiva, dan kalimat nominal. Contoh pola kalimat bahasa Jepang sebagai berikut 1) Pola kalimat verbal intransitif (SP) Contoh : あめ が Ame ga hujan part „Hujan turun‟.
ふる furu air turun
Kata furu adalah kata kerja intrasitif. Partikel ga /が penanda subjek. 2) Pola kalimat verbal transitif (SOP) Contoh : ちち は しんぶん Chichi wa shinbun bapak part surat kabar „Bapak membaca surat kabar‟.
を
よみます
o part
yomimasu membaca
Kata yomimasu berkonjugasi dari bentuk kamus yomu, yang berarti “membaca” dan berfungsi sebagai predikat kata kerja transitif. 3) Pola kalimat adjektiva Contoh keiyoushi : この みかん Kono mikan ini jeruk „Jeruk ini manis‟.
は
あまい
です
wa part
amai manis
desu kopula
32
Kata amai berarti “manis” adalah kata sifat keiyoushi, sering pula disebut kata sifat “ berakhiran i”, dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa /は penanda subjek. Contoh keiyoudoshi : バリ は きれい Bali wa kirei daerah part indah „Pulau Bali indah‟.
です desu kopula
Kata kirei berarti “indah” adalah termasuk kata sifat keiyoudoshi, sering pula disebut kata sifat berakhiran “na/da”, dan berfungsi sebagai predikat. 4) Pola kalimat nomina Contoh : ワヤンさん は だいがくせい Wayan san wa daigakusei Nama orang part mahasiswa „Wayan adalah mahasiswa‟.
です desu. kopula.
Kata daigakusei berarti “mahasiswa” termasuk kata benda dan berfungsi sebagai predikat. Partikel wa/は penanda subjek. Berdasarkan maknanya kalimat dapat dibagi dua, yaitu dari segi isi dan fungsinya. Dari segi isi kalimat dapat menyatakan keadaan dan menyatakan aktivitas, seperti contoh berikut: 1) へや に テレビ Heya ni terebi kamar part TV „Televisi ada di kamar‟.
が ga part
ある aru ada
Makna kalimat di atas menyatakan keadaan. 2) はは は テレビ Haha wa terebi Ibu part TV „Ibu menonton televisi‟.
を o part
みる miru. menonton
33
Makna kalimat menyatakan aktivitas. Berdasarkan fungsi, kalimat dibedakan atas kalimat perintah (meirei), kalimat menyatakan maksud (ishi), keinginan (kibou), kalimat berita (nobetate no bun) kalimat larangan
(kinshi), kalimat tanya (toikake no bun) kalimat
permohonan (irai), kalimat ajakan (kanyuu). Makna atau fungsi kalimat yang diteliti pada penelitian ini adalah kalimat perintah (meirei), kalimat larangan (kinshi), dan kalimat permohonan (irai) Contoh kalimat perintah (meirei):
べんきょう を
しなさい
Benkyou o Pelajaran part „Belajarlah‟.
shinasai melakukan
Contoh kalimat larangan (kinshi):
さけ を
のまないでください
Sake o nomaide kudasai Arak part jangan minum „Jangan minum arak‟. Contoh kalimat permohonan (irai):
どうぞ
たべてください
Douzo tabete kudasai Silakan makanlah „Silahkan makan‟. Unsur kalimat dalam bahasa Jepang secara garis besar terdiri atas (1) subjek (shugo), (2) predikat (jutsugo), (3) objek (taishougo), (4) keterangan (joukyougo), (5) modifikator (shiuushokugo), dan (6) penyambung (setuzokugo). Unsur subjek dan objek biasanya diisi oleh nomina, unsur predikat diisi oleh verbal, adjektiva, nomina ditambah kopula. Unsur keterangan mencakup keterangan tempat, waktu, alat, penyerta, dan yang lainnya.
34
Pada awal pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo), dosen hendaknya
memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana keadaan
gramatikal bahasa yang dipelajari dan
bagaimana pula
perbedaannya jika
dibandingkan dengan gramatika bahasa lain yang lebih dahulu dipelajari. Dengan demikian, pada pengaplikasiannya mahasiswa bisa memiliki keterampilan berbahasa yang baik dan benar karena ditunjang oleh penguasaan tata bahasa yang baik dan benar pula. Bagi pembelajar, tata bahasa menjadi semacam kompas dalam pemakaian bahasa. Bagaimanapun juga, penguasaan tata bahasa tidak bisa dinomorduakan. Memang sekarang ini ada juga yang berpendapat bahwa orientasi pada latihan percakapan harus lebih diutamakan daripada orientasi tata bahasa. Seorang pengajar yang baik haruslah bisa menyeimbangkan hal tersebut. Dengan demikian pada pengaplikasiannya pelajar bisa memiliki aspek keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis yang semakin seimbang dan baik karena ditunjang penguasaan tata bahasa yang baik pula. Dalam pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula, para guru/dosen tidak berarti memberikan pengetahuan tentang ilmu bahasa yang telah dikuasai kepada pelajar tahap pemula begitu saja. Pengajaran tata bahasa tidak sesederhana itu. Dalam mengajarkan tata bahasa pada tahap
pemula, dosen/guru sebagai
pengajar harus memberikan materi pelajaran sedikit demi sedikit, terutama pada pokok-pokok tata bahasa yang dirasa sangat penting atau diperlukan. Sehubungan dengan itu, sebelum masuk kegiatan pembelajaran, pengajar harus bisa membuat rancangan memulainya dari mana, apa yang akan diajarkan, dan bagaimana cara
35
mengajarkannya agar mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itu, guru atau dosen wajib mempersiapkan Silabus dan SAP sebelum memulai pembelajaran. Permasalahan yang sering muncul saat pengajaran tata bahasa Jepang pada tahap pemula yaitu, pada umumnya pelajar menggunakan buku pelajaran tata bahasa tingkat awal yang ditulis dengan bahasa asli mereka, tidak menggunakan bahasa Jepang. Hal ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan kemudahan dalam pemahaman tata bahasa. Walaupun mereka bisa memahami uraian dalam buku pelajaran tersebut, ada kalanya masih sering menghadapi kesulitan untuk benarbenar dapat menguasai persoalan tata bahasa termasuk juga pemahaman terhadap pengertian fungsi tiap-tiap kata yang dilihat dari segi ketatabahasaan. Pemahaman tata bahasa tidaklah hanya terbatas untuk pemenuhan pencapaian keterampilan memahami bacaan, tetapi juga harus mencakup kemampuan aktivitas berbahasa yang lain, seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pengajaran tata bahasa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengandalkan uraian-uraian tentang bahasa yang terdapat dalam buku-buku pelajaran. Selain hal di atas, ada pula masalah yang muncul, yaitu tuntutan mahasiswa atas penjelasan atau pembenaran pada struktur pola tata bahasa sebuah kalimat yang salah. Memang dalam hal kesalahan ucapan, secara mudah pengajar dapat mengatasinya dengan cara langsung melakukan koreksi pembetulan. Akan tetapi, dalam hal kesalahan yang berhubungan dengan unsur tata bahasa terkadang siswa sering meminta penjelasan yang lebih lanjut atas hal yang dianggap salah oleh pengajar. Misalnya, pada kalimat
„道を歩く(michi o aruku,berjalan di jalan), bila ada
siswa yang mengucapkan „ 道に歩く (michi ni aruku‟atau 道で歩く (michi de
36
aruku), dengan mudah pengajar membetulkannya, yaitu dengan meminta siswa tersebut mengucapkan „ 道を歩く ‟. Namun, tidak bisa dihindari bahwa siswa sering mengajukan pertanyaan lebih lanjut terhadap struktur pola kalimat tersebut. Misalnya, mengapa 道を歩く(michi o aruku, (berjalan di jalan). Dalam hal ini pengajar harus menjelaskannya sesuai dengan kaidah tata bahasa Jepang yang benar, yakni kalimat bahasa Jepang menggunakan verba yang sifatnya menunjukkan perpindahan, seperti 歩 く (berjalan) 、 通 る (melewati) 、 出 る (keluar), dan lainnya. Partikel yang harus digunakan untuk mengikuti verba tersebut adalah を(wo) bukan
に(ni) atau で(de). Dalam pengajaran kaidah tata
bahasa, pertanyaan “mengapa” memang merupakan hal yang sukar untuk dijawab. Pertanyaan senacam itu merupakan hal yang wajar terjadi pada mahasiswa/siswa pada tahap pemula pada khususnya. Hal tersebut terjadi karena disebabkan adanya pengaruh bahasa ibu mahasiswa/siswa itu sendiri yang lebih dahulu dipelajari sebelum mempelajari bahasa Jepang. Oleh karena
itu, gramatika bahasa Jepang
penting sekali dipahami belajar bahasa Jepang. Untuk dapat memahaminya akan diamati pendapat pakar bahasa Jepang tetang gramatika. Yasuo (1985:44) mengemukakan bahwa gramatika adalah suatu fenomena umum pada saat menyusun kalimat, yang secara teoretis merupakan suatu sistem tentang bentuk kata, urutan kata, fungsi kata, dan struktur kalimat. Bahasa Jepang memiliki karakteristik unik seperti penggunaan huruf, kosakata, sistem pengucapan, tata bahasa atau gramatika, dan ragam bahasanya. Apabila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa Jepang memiliki struktur pola kalimat yang berbeda. Struktur kalimat dalam bahasa Jepang berpola „subjek-
37
keterangan-objek-predikat‟(S-K-O-P). Di antara S-K-O-P tersebut harus disisipi dengan kata bantu atau partikel. Contoh pola kalimat bahasa Jepang よこさん は バツブラン で バロングダンス を みた Yoko san wa Batubulan de Barong dansu o mita nama orang part tempat part jenis tarian part menonton „Yoko menonton tari barong di Batubulan‟. Yoko san
adalah subjek (S), Batubulan, keterangan tempat (K), tari
barong objek (O), mita berarti menonton (P). Partikel wa ( は ) , menyertai subjek, partikel de(で)berarti „di‟ menyertai keterangan tempat, dan partikel o
(を)petanda objek. Unsur-unsur atau bagian kalimat tersebut menjadi sebuah pola kalimat yang benar karena mematuhi kaidah tata kalimat yang berlaku dalam bahasa Jepang (Sutedi, 2003:72). Sedangkan struktur kalimat dalam bahasa Indonesia berpola „subjekpredikat-objek-keterangan (S-P-O-K)‟. Oleh karena itu, apabila pembelajar pemula di Indonesia mempelajari bahasa Jepang tidak mempelajari struktur bahasa Jepang dengan benar, maka akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat. Penggolongan satuan bahasa atas dasar bentuk, fungsi, dan makna kalimat disebut kategori gramatika atau tata bahasa. Gramatika bahasa Jepang mengenal juga ragam bahasa sopan (formal) dan ragam biasa (informal). Bentuk sopan dan biasa ditentukan oleh jenis kata yang digunakan. Contoh kalimat di bawah ini. 1) これはほんです (kore wa hon desu.), artinya ini adalah buku. Jenis kalimat ini adalah bentuk sopan.
38
2) これはほん (kore wa hon ), artinya sama dengan kalimat nomor satu, tetapi kalimat ini adalah bentuk biasa. Menurut kaidah bahasa Jepang , apabila kalimat tidak menggunakan predikat kata kerja, untuk bentuk sopan harus
disertai kata desu pada akhir kalimat seperti contoh
kalimat nomor (1). 3) わたしはりんごをたべます ( watashi wa rinngo o tabemasu), artinya saya makan apel. Kalimat ini adalah bentuk sopan ( formal ). 4) わたしはりんごをたべる , artinya sama dengan kalimat nomor (3), tetapi kalimat ini bentuk biasa (informal). Menurut gramatika bahasa Jepang
predikat kata kerja bentuk masu (masukei) adalah bentuk
sopan. Dan masih banyak ragam sopan lainnya. Untuk tingkat tata bahasa pemula bentuk sopan dihajarkan secara tahap demi tahap. Untuk menghindari pembahasan terlalu melebar pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) dalam penelitian ini terbatas pada unsur-unsur penggunaan partikel, pola kalimat, unsur predikat, dan fungsi/makna kalimat bahasa Jepang bagi mahasiswa sastra Jepang semester III STIBA Saraswati Denpasar. Ada beberapa hal secara umum yang perlu dipahami dalam belajar bahasa Jepang. Adapun hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1) Lafal bahasa Jepang Bahasa Jepang hanya mempunyai lima vokal yang pengucapannya sama persis dengan bahasa Indonesia. Apa yang ditulis sama dengan yang dibaca, tetapi ada sedikit pengecualian untuk beberapa huruf.
39
2) Bahasa Jepang mempunyai dua tensis, yaitu bentuk present (termasuk future) dan bentuk lampau. Kata benda bahasa Jepang tidak mengenal single dan flural. Kata kerja mengalami konjugasi. 3) Susunan kalimat bahasa Jepang digunakan
oleh
bahasa
menggunakan pola yang tidak lazim
lainnya,
yaitu
“subyek-keterangan-obyek-
predikat”. Tampaknya susunan kalimat bahasa Jepang agak sulit bagi pembelajar pemula. Predikat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat. 4) Di antara kata-kata pada kalimat bahasa Jepang diselipkan kata bantu atau partikel. 5) Huruf Jepang ada tiga jenis, yakni huruf Kanji, Hiragana, dan katakana. Untuk huruf Hiragan dan Katakana mungkin tidak terlalu sulit dipelajari, tetapi huruf Kanji sangat melelahkan dalam mempelajarinya.
2.3.3
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris disebut classroom action
research. Arikunto (2009:3) mengatakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut diberikan oleh dosen/guru atau dengan arahan guru yang dilakukan oleh mahasiswa. Dalam penelitian tindakan kelas dilaksanakan beberapa siklus yang secara garis besar pada setiap siklus ada empat tahap tindakan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
40
1) Perencanaan Siklus I Pada tahap perencanaan siklus I dilakukan koordinasi dengan pihak kampus, dalam hal ini koordinasi dengan Ketua STIBA Saraswati Denpasar dan dosen mata kuliah bersangkutan. Setelah koordinasi diadakan observasi ke kelas dan kemudian dipersiapkan instrumen penelitian, seperti silabus, SAP, lembar observasi, kuesioner, persiapan tes awal sebelum menerapkan tindakan metode kontekstual , dan persiapan tes akhir siklus I dan siklus II.
2) Pelaksanaan Siklus I Pada tahap pelaksanaan dosen dalam hal ini adalah peneliti mengajarkan atau menjelaskan secara singkat materi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual. Metode kontekstual terdiri atas tujuh komponen, yakni konstrukvisme, inkuiri, bertanya, kelompok belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang kepada mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar Pada pelaksanaan siklus I ini, dilaksanakan beberapa kali pertemuan. Pada setiap pertemuan terdapat tiga kegiatan, yaitu kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir.
3) Pengamatan Siklus I Pada saat berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yaitu pelaksanaan siklus I, peneliti dibantu oleh seorang observer pendamping yakni dosen mata
41
kuliah Shoukyou Bunpo. Tugas observer adalah melakukan penilaian pengamatan
terhadap
aktivitas
dan respons
mahasiswa
dalam
proses
pembelajaran.
4) Refleksi Siklus I Tahapan tindakan yang terakhir pada siklus I adalah refleksi. Pada tahap ini
diadakan tes akhir atau evaluasi.Tujuan evaluasi
untuk mengetahui
peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode kontekstual. Apabila hasilnya belum mencapai nilai ketuntasan minimal yang diharapkan, yakni nilai B, maka diadakan tindakan siklus II. Tahap tindakan siklus II sama dengan tindakan siklus I, yakni perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Proses pelaksanaan pembelajaran juga sama dengan penerapan metode kontekstual. Setelah tahapan pembelajaran berakhir diadakan tes akhir atau evaluasi dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan atau perubahan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar setelah penerapan metode kontekstual sebagai kajian refleksi. Selama tahap pelaksanaan berlangsung observer pendamping melakukan pengamatan. Adapun model atau bagan keempat tahapan tersebut sebagai berikut
42
2.1 Bagan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Perencanaan
Refleksi I
Siklus I Pelaksanaan
Pengamatan
Perencanaan
Pelaksanaan Refleksi II
Siklus II
Pengamatan
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini menyajikan bagan abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian. Secara terperinci, model penelitian yang dimaksudkan terlihat di bawah ini.
43
2.2 Bagan Model Penelitian Pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) dengan metode kontekstual (CTL) bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar
1. Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang sebelum menerapkan metode kontekstual
2. Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang setelah menerapkan metode kontekstual
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang dengan metode kontekstual
Siklus I PTK
Metode Kontekstual (CTL)
Siklus II Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang
Temuan
44
Bagan di atas menginformasikan bahwa pembelajaran tata bahasa Jepang dasar ditingkatkan dengan menggunakan metode kontekstual. Metode kontekstual yang terdiri atas tujuh komponen yakni konstruktivisme, menemukan, tanya jawab, kelompok belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian autentik untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang dihadapi mahasiswa. Dalam hal ini adalah kemampuan tata bahasa Jepang dasar sebelum dan sesudah penerapan metode kontekstual Di samping itu juga untuk menjawab faktor-faktor yang dapat memengaruhi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). PTK ini akan dimulai dengan siklus I dan kemudian dilanjutkan siklus II. Setelah dilaksanakan siklus I dan siklus II diperoleh hasil penelitian yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif dan data kualitatif diolah sehingga dihasilkan simpulan. Pada penelitian tindakan kelas (PTK) ini dilaksanakan dua siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Dalam konteks ini, metode kontekstual merupakan strategi interaktif yang diciptakan oleh dosen/guru dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar Penelitian ini menggunakan teori konstruktivisme dan dasar-dasar linguistik bahasa Jepang yang menghasilkan temuan tertentu. Hasil pembelajaran dengan metode kontekstual (CTL) yang dilakukan ini menjadi sebuah simpulan dan sekaligus sebagai rekomendasi atau saran untuk perbaikan proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) bagi pembelajar pemula.
45
BAB III METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara yang tepat untuk melakukan sesuatu, sedangkan penelitian adalah kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya. Penny dalam Achmadi (2004:1) mengatakan bahwa penelitian merupakan pemikiran yang sistematis tentang berbagai jenis masalah yang pemecahaannya memerlukan pengumpulan dan penafsiran data-data. Metode penelitian adalah cara-cara melakukan pengamatan dengan pemikiran yang tepat secara terpadu melalui tahapan-tahapan yang disusun secara ilmiah untuk mencari, merumuskan, menganalisis, menyusun, dan menyimpulkan
data-data
sehingga
dapat
digunakan
untuk
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan berdasarkan faktafakta secara ilmiah. Kesalahan memilih metode dalam penelitian akan membawa penyimpangan pada hasil penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian diperlukan pemilihan metode yang benar-benar akurat.
3.1 Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini digunakan gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, dan definisi suatu situasi tertentu dalam konteks tertentu. (Sarwono, 2006:257). Pada penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk menjabarkan data-data yang bersifat deskriptif, seperti data hasil observasi dan kuesioner. Di samping itu juga memaparkan kendala yang dialami selama pendekatan kontekstual dilakukan. Di
45
46
pihak lain pendekatan kuantitatif memberikan makna dalam hubungannya dengan perhitungan angka statistik bukan makna secara kebahasaan (Sarwono, 2006:258). Pada penelitian ini, pendekatan kuantitatif digunakan untuk memaparkan data yang bersifat kuantitatif atau angka-angka statistik, baik hasil tes awal (pretes ) maupun tes akhir (postes).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Program Studi Sastra Jepang Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Saraswati Denpasar. Subjek penelitian adalah mahasiswa Sastra Jepang semester III (ganjil). Waktu penelitian dilaksanakan awal September 2014 sampai awal Januari 2015.
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif merupakan data penelitian yang diuraikan dalam bentuk penjelasan, sedangkan data kuantitatif merupakan data yang diperoleh berupa angka atau nilai dari hasil tes yang dilaksanakan. Sumber data dalam penelitian disebut populasi. Menurut Sugiyono (2009:115) populasi memiliki pengertian wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan . Populasi dalam penelitian ini yang dipilih oleh peneliti adalah terdiri dari seluruh mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar berjumlah tiga
47
puluh tujuh orang. Berdasarkan pertimbangan peneliti, jumlah populasi tidak terlalu besar maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pengambilan
sampel
dalam
penelitian
ini
dengan
penarikan
Nonprobability Sampling dengan jenis “Purposive Sampel”. Artinya, seseorang atau sesuatu yang diambil sebagai sampel karena peneliti menganggap bahwa seseorang sesuai dan memiliki karakteristik informasi yang diperlukan bagi penelitian ini. Sampel dipilih berdasarkan penilaian peneliti bahwa yang bersangkutan adalah pihak yang paling baik untuk dijadikan sampel penelitian. Sampel penelitian dapat disajikan dalam tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Keadaan Sampel Penelitian Mahasiswa Semester III Sastra Jepang No
Kelas
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
III/JP
12 orang
25 orang
37 orang
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen
penelitian
adalah
suatu
cara
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan data dan informasi yang diinginkan. Sukardi, (2007:168) mengatakan bahwa instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data. Kualitas instrumen akan menentukan data yang terkumpul. Hal ini senada juga dengan hal yang diungkapkan oleh Margono dalam Sukardi (2007:168) bahwa pada umumnya penelitian akan berhasil dengan baik apabila menggunakan instrumen. Dikatakan demikian sebab data yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dikumpulkan melalui instrumen. Instrumen
48
sebagai alat pengumpul data harus betul-betul dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga menghasilkan data empiris sebagaimana adanya. Data yang salah atau tidak menggambarkan data yang empiris bisa menyesatkan peneliti sehingga simpulan penelitian juga bisa keliru. Peneliti menggunakan metode tes dan kuesioner sehingga instrumen yang digunakan adalah pedoman evaluasi tes atau penampilan dan penganalisisan hasil kuesioner. Untuk mencapai keakuratan data, juga digunakan media audiovisual dan dilakukan observasi, yakni melihat, mencatat fenomena apa yang muncul yang barangkali dapat memengaruhi pelaksanaan metode kontekstual . 3.5 Prosedur Penelitian Penelitian ini berupa penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas atau sekolah bertujuan untuk melakukan pemecahan berbagai permasalahan yang digunakan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan dalam hal ini peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar dengan menerapkan metode kontekstual. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen terdapat kelompok yang disebut kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang sengaja dipengaruhi oleh variabel-variabel tertentu, dalam penelitian ini dipengaruhi oleh metode kontekstual. Di samping itu, ada juga kelompok kontrol, yaitu kelompok yang tidak dipengaruhi oleh latihan-latihan tertentu yang sering disebut pembelajaran konvensional.
49
Peneliti mengalami kesulitan dalam menentukan kelas kontrol, karena jumlah kelas terbatas, oleh karena itu dalam penelitian ini kelompok yang sama dijadikan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan jarak waktu tidak terlampau lama (Nasution, 2012:30). Rancangan penelitian PTK yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Arikunto yang meliputi empat langkah. Keempat langkah tersebut adalah (1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap pengamatan, dan (4) tahap refleksi.
3.5.1 Pelaksanaan Siklus I 1) Tahap Perencanaan Pada tahap perencanaan ini dipersiapkan rencana jadwal pelaksanaan tindakan, bahan ajar sesuai dengan pokok bahasan, SAP, lembar tugas mahasiswa, instrumen, lembar observasi, kertas manila, spidol, LCD, dan kelengkapan lain yang diperlukan pada saat analisis data. Selain itu, dimatangkan persiapan ketujuh komponen utama metode CTL, yakni konstruktivisme, inkuiri, bertanya, kelompok belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik. Pada komponen kelompok belajar (masyarakat belajar), mahasiswa dibagi menjadi tujuh kelompok belajar. Lima kelompok beranggotakan masing-masing lima orang dan dua kelompok kemudian
beranggotakan enam orang. Sesudah kelompok belajar terbentuk, dipilih
koordinator
kelompok
yang
sekaligus
bertugas
mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok, sesuai dengan pokok bahasan yang ditugaskan pada hari bersangkuta
50
2) Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan siklus I disesuaikan dengan rencana tindakan yang tertuang dalam rencana pelaksanaan SAP. Secara operasional tindakan siklus I dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dilakukan oleh peneliti, sedangkan observer pendamping berperan sebagai pengamat. Setelah ditayangkan dan dijelaskan materi konteks bahasan, dibagikan lembar kerja kepada setiap kelompok oleh observer untuk dibahas bersama anggota kelompok mereka. Setiap kelompok harus mengonstruksi materi yang ditugaskan (komponen konstruktivisme). Selanjutnya koordinator kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok ke depan kelas (komponen inkuiri) sambil berperan dalam percakapan sesuai dengan materi yang disampaikan (pemodelan). Setelah selesai presentasi diadakan sesi tanya jawab antarkelompok mahasiswa, dosen dan observer (komponen tanya jawab). Langkah selanjutnya kelompok mahasiswa bersama peneliti mendiskusikan kembali hasil presentasi sehingga seluruh mahasiswa memahami konteks materi yang dibahas (refleksi). Peneliti melakukan penilaian terhadap hasil diskusi kelompok yang dipresentasikan ke depan kelas dan keaktifan mahasiswa bertanya selama proses pembelajaran berlangsung (komponen penilaian autentik). Seluruh uraian tindakan pembelajaran tersebut berlangsung dalam suasana kelompok belajar (komponen masyarakat belajar). Setiap kelompok diberikan waktu untuk presentasi termasuk tanya jawab kurang lebih 20 menit. Proses tindakan pembelajaran inilah merupakan model penerapan metode kontekstual (CTL).
51
3) Tahap Pengamatan Peneliti dan observer pendamping mengamati aktivitas mahasiswa selama proses belajar berlangsung dengan cara men-ceklis indikator yang diamati pada lambaran pengamatan. Di samping itu, juga dicatat aktivitas mahasiswa ketika presentasi dan diskusi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan mahasiswa dalam mengonstruksi hasil temuan belajar melalui diskusi kelompok. Selanjutnya dipresentasikan di hadapan teman sambil memeragakan dialog sesuai dengan topik yang disampaikan dan keberanian bertanya apabila ada hal yang belum dipahami.
4) Tahap Refleksi Tindakan ini merupakan kegiatan untuk mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan, artinya pada tahap ini dikumpulkan pokok bahasan yang telah dipresentasikan oleh setiap kelompok. Hasil bahasan tersebut dijadikan dasar untuk membuat evaluasi sehingga dapat diketahui berhasil tidaknya tindakan yang dilaksanakan. Untuk mengetahui berhasil tidaknya
proses pembelajaran yang
dilaksanakan dapat dilihat dari skor atau jumlah nilai yang diperoleh oleh setiap mahasiswa atau nilai rata-rata keseluruhan mahasiswa. Nilai yang dipersyaratkan atau diharapkan minimal mencapai kriteria kategori nilai B (baik) karena nilai B merupakan standar umum yang sering dipakai persyaratan untuk merebut persaingan pangsa kerja. Bahkan, institusi perguruan tinggi juga berusaha mencapai nilai akreditasinya standar minimal kategori B (baik) untuk
52
menunjukkan eksistensinya, syukhur apabila mampu mencapai
kategori nilai
maksimal, yakni A.
3.5.2 Pelaksanaan Siklus II Dari hasil analisis dan refleksi pada siklus I diketahui aspek-aspek yang harus diperbaiki sehingga direncanakan pelaksanaan siklus II. Tahapan siklus II sama dengan tahapan siklus I, yaitu dimulai dari tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan, tahapan pengamatan, dan tahapan refleksi
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah observasi, kuesioner, dokumentasi, dan pemberian tes. Data dikumpulkan berdasarkan hasil pratindakan kelas siklus I dan siklus II untuk mengetahui hasil pembelajaran yang terjadi pada mahasiswa semester III Sastra Jepang.
3.6.1 Metode Observasi Metode observasi adalah upaya mencatat aktivitas belajar mahasiswa dan dosen dalam proses pelaksanaan pembelajaran kontekstual. Teknik observasi yang digunakan adalah observasi nonpartisipan dan observasi eksperimental. Observasi nonpartisipan adalah pengamatan yang dilakukan peneliti dengan tidak terlibat secara langsung atau tidak turut ambil bagian terhadap subjek yang diobservasi. Observasi eksperimental merupakan observasi yang dilakukan, yaitu ada observasi pengendalian unsur-unsur penting dalam situasi itu dapat diatur sesuai
53
dengan tujuan penelitian dan dapat dikendalikan untuk menghindari timbulnya faktor-faktor yang tidak diharapkan memengaruhi situasi pembelajaran. Observasi eksperimental memiliki beberapa ciri. Pertama observer diharapkan pada situasi perangsang yang dibuat seragam mungkin untuk semua observer. Kedua, situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang diamati. Ketiga, situasi dibuat sedemikian rupa sehingga observer mengetahui maksud observasi yang sebenarnya. Keempat, observer atau alat pencatat membuat catatan secara teliti mengenai cara-cara observer mengadakan reaksireaksi (Achmad, 2004:72).
3.6.2 Metode Kuesioner Kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden (Daryanto, 2007:30). Pengisian kuesioner dilakukan sebelum dan setelah tindakan untuk menggali informasi mengenai hasil dan proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Kuesioner menggunakan empat alternatif jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), cukup setuju (CS), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).
3.6.3 Metode Dokumentasi Dokumentasi digunakan untuk mendokumentasikan proses pembelajaran di kelas sehingga bermanfaat sebagai sarana pendukung untuk memahami masalah yang diteliti. Di samping itu mahasiswa.
sekaligus untuk melihat hasil belajar
54
3.6.4 Metode Tes Metode tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) yang bersumber dari buku Minna noNihongo I dan II. Metode tes ini
dapat mengukur penguasaan dan kemampuan tata bahasa
Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang setelah selama waktu tertentu menerima proses pembelajaran (Sukardi, 2008). Jenis tes yang digunakan adalah tes objektif (pilihan ganda). Jumlah soal lima puluh, terdiri dari sepuluh soal untuk mengukur kemampuan pemakaian partikel, lima belas soal mengukur kemampuan pola atau struktur kalimat, sepuluh soal mengukur kemampuan unsur predikat, dan lima belas soal lagi mengukur kemampuan makna kalimat bahasa Jepang. Tes tersebut digunakan sebagai berikut . Tes awal (pretes), yaitu tes yang diberikan sebelum pembelajaran dimulai dengan menerapkan metode CTL. Tes awal bertujuan untuk mengetahui sampai di mana penguasaan mahasiswa terhadap bahan pengajaran yang akan diajarkan. Tes lainnya adalah tes akhir (postes), yaitu tes yang diberikan pada akhir program pembelajaran setelah menerapkan metode CTL. Tujuan postes, yaitu untuk mengetahui sampai di mana pencapaian mahasiswa terhadap bahan pengajaran setelah mengalami suatu kegiatan pembelajaran.(Purwanto, 2006). Adapun tes yang digunakan adalah tes standar yang sudah dikonsultasikan kepada pembimbing. Oleh karena itu, dihanggap telah memenuhi syarat-syarat sebagai alat evaluasi.
55
3.7 Metode dan Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan untuk mengelompokkan data (Mahsun, 2005:253). Pada tahap ini dilaksanakan langkah-langkah mengelompokkan data, mengabstraksikan, memfokuskan, menyeleksi data secara sistematis dan rasional sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu, juga mendeskripsikan data hasil penelitian dengan menggunakan tabel sebagai alat bantu untuk memudahkan dalam menginterpretasi. Data hasil penelitian tersebut diinterpretasi (pengambilan makna) dalam bentuk naratif (uraian) dan disimpulkan. Data kuantitatif dan data kualiatif yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif kuantitatif. Data kualitatif yang diperoleh sebelum dan sesudah diberikan tindakan dianalisis secara deskriptif. Analisis data kualitatif bersifat induktif dan berkelanjutan (Sarwono, 2006:261). Data kuantitatif yang diperoleh melalui pretes dan postes dianalisis dengan menggunakan statistik, dalam arti sempit yaitu diartikan sebagai data., sedangkan dalam arti luas diartikan sebagai alat, yaitu alat untuk menganalisis dan membuat keputusan. Hal ini berguna untuk mengolah data yang diperoleh selama penelitian berlangsung (Sugiyono, 2006:12). Dalam penelitian ini digunakan statistik komparasional yang menganalisis hasil pretes dan postes dengan analisis statistik Uji-t. Tujuannya agar dapat diketahui kemampuan awal mahasiswa. Di samping itu, juga untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa sesudah melalui proses metode kontekstual.
56
Data kuantitatif yang diperoleh melalui pretes dan postes pada siklus I dan siklus II dianalisis melalui beberapa tahapan sebagai berikut. 1) Menentukan kriteria penilaian dan selanjutnya menabulasi frekuensi pilihan jawaban yang diberikan oleh mahasiswa. Segala bentuk jawaban yang diberikan oleh mahasiswa disajikan dalam bentuk tabel untuk memudahkan proses identifikasi. 2) Dari hasil tabulasi data dihitung persentase tiap-tiap alternatife pilihan jawaban sesuai dengan ranahnya. 3) Penarikan simpulan dari tiap-tiap data yang diperoleh sesuai dengan fenomena yang diteliti berdasarkan besar kecilnya persentase tersebut. Pada teknik kuantitatif setiap mahasiswa, hasil kuantitatif setiap mahasiswa tersebut dikoreksi dan diberikan nilai. Aspek penilaian didasarkan kemampuan mahasiswa menjawab atau mengisi lembar jawaban tentang pemakaian partikel, pola kalimat, unsur predikat, dan makna/fungsi kalimat. Semakin banyak mahasiswa mengisi lembaran jawaban yang benar, maka semakin tinggi nilai yang diperoleh. Kriteria acuan penilaian yang digunakan dalam peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shokyou bunpo) mahasiswa menggunakan rubrik penilaian dari Brown (2007). adalah sebagai berikut.
pada penilaian ini Rubrik penilaian
57
Tabel 3.2 Rubrik Penilaian Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa No 1
Indikator Pemakaian
Skor 20
Partikel Bahasa Jepang.
Penjelasan Apabila mahasiswa menjawab benar sepuluh (semua) soal.
18
Apabila mahasiswa menjawab benar sembilan soal.
16
Apabila mahasiswa menjawab benar delapan soal.
14
Apabila mahasiswa menjawab benar tujuh soal
12
Apabila mahasiswa menjawab benar enam soal.
10
Apabila mahasiswa menjawab benar lima soal.
8
Apabila mahasiswa menjawab benar empat soal.
6
Apabila mahasiswa menjawab benar tiga soal.
4
Apabila mahasiswa menjawab benar dua soal.
2
Apabila mahasiswa menjawab benar satu soal.
0
Apabila mahasiswa menjawab salah kesepuluh soal.
2
Pola kalimat
30
bahasa Jepang
Apabila mahasiswa menjawab betul lima belas (semua) soal.
28
Apabila mahasiswa menjawab betul empat belas soal.
26
Apabila mahasiswa menjawab
58
betul tiga belas soal. 24
Apabila mahasiswa menjawab betul dua belas soal.
22
Apabila mahasiswa menjawab betul sebelas soal.
20
Apabila mahasiswa menjawab betul sepuluh soal.
18
Apabila mahasiswa menjawab betul sembilan soal.
16
Apabila mahasiswa menjawab betul delapan soal.
14
Apabila mahasiswa menjawab betul tujuh soal.
12
Apabila mahasiswa menjawab betul enam soal.
10
Apabila mahasiswa menjawab betul lima soal.
8
Apabila mahasiswa menjawab betul empat soal.
6
Apabila mahasiswa menjawab betul tiga soal.
4
Apabila mahasiswa menjawab betul dua soal
2
Apabila mahasiswa menjawab betul satu soal
0
Apabila mahasiswa menjawab salah semua soal
59
3
Unsur Predikat
20
Kalimat Bahasa Jepang
Apabila mahasiswa menjawab betul semua (sepuluh) soal.
18
Apabila mahasiswa menjawab betul sembilan soal.
16
Apabila mahasiswa menjawab betul delapan soal.
14
Apabila mahasiswa menjawab benar tujuh soal.
12
Apabila mahasiswa menjawab benar enam soal.
10
Apabila mahasiswa menjawab benar lima soal.
8
Apabila mahasiswa menjawab benar empat soal.
6
Apabila mahasiswa menjawab benar tiga soal.
4
Apabila mahasiswa menjawab benar dua soal.
2
Apabila mahasiswa menjawab benar satu soal.
0
Apabila mahasiswa menjawab salah kesepuluh soal.
4
Makna/Fungsi
30
Kalimat Bahasa Jepang.
Apabila mahasiswa menjawab betul lima belas (semua) soal.
28
Apabila mahasiswa menjawab betul empat belas soal.
26
Apabila mahasiswa menjawab betul tiga belas soal.
24
Apabila mahasiswa menjawab betul dua belas soal.
22
Apabila mahasiswa menjawab
60
betul sebelas soal. 20
Apabila mahasiswa menjawab betul sepuluh soal.
18
Apabila mahasiswa menjawab betul sembilan soal.
16
Apabila mahasiswa menjawab betul delapan soal.
14
Apabila mahasiswa menjawab betul tujuh soal.
12
Apabila mahasiswa menjawab betul enam soal.
10
Apabila mahasiswa menjawab betul lima soal.
8
Apabila mahasiswa menjawab betul empat soal.
6
Apabila mahasiswa menjawab betul tiga soal.
4
Apabila mahasiswa menjawab betul dua soal
2
Apabila mahasiswa menjawab betul satu soal
0
Apabila mahasiswa menjawab salah semua soal
Setelah itu keseluruhan nilai direkapitulasi untuk dihitung nilai rata-rata. Untuk peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa digunakan analisis data Nurgyantoro (2010:139). Adapun rumus analisis data tersebut, yakni seperti di bawah ini.
61
1) Total skor tiap mahasiswa S=R Keterangan : S = skor. R = rigth, jumlah jawaban yang benar
2) Tingkat Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar dalam persentase L = Total skor mahasiswa Skor maksimum
X 100%
Keterangan: L = tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam persentase.
3) Menentukan mean skor X = ∑X N Keterangan : X = Mean skor mahasiswa ∑X = Jumlah skor seluruh mahasiswa N = Jumlah mahasiswa Fungsi mean skor mahasiswa adalah untuk mengetahui apakah penelitian yang dilakukan berlanjut atau tidak. Penelitian akan diselesaikan apabila mean skor mahasiswa sudah mencapai ≥ 70 atau ≥ 70 %, yaitu dalam kategori bobot B (baik).
62
Keseluruhan data diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori dalam standar evaluasi penilaian seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3.3 Kategori Tingkat Kemampuan Mahasiswa No 1 2 3 4 5
Skor (%) 85 --100% 70 -- 84% 55 -- 69% 45 -- 54% 0 -- 44%
Tingkat Kemampuan Sangat Baik, nilai A Baik, nilai B Cukup, nilai C Kurang, nilai D Sangat Kurang, nilai E
Sumber: Buku Pedoman Kegiatan Akademik STIBA Saraswati Denpasar (2013:18)
Analisis data kualitatif adalah analisis data nontes. Data nontes tersebut meliputi data pengamatan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran dengan metode CTL untuk meningkatkan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa, data hasil wawancara kepada mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, data analisis naratif hasil tes mahasiswa, dan data respons mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL. Data-data tersebut dianalisis untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada sikap, perilaku, dan kemampuan mahasiswa STIBA Saraswati Denpasar terhadap pembelajaran tata bahasa Jepang dasar setelah diberikan treatment pada siklus I dan siklus II. Adapun formula yang digunakan untuk menganlisis data kualitatif adalah dengan teknik Skala Likert. Menurut Sugiyono, jawaban setiap instrumen dengan menggunakan Skala Likert ini mempunyai gradasi dari sangat positif hingga sangat negatif.
63
Jawaban diberikan skor seperti berikut. Sangat Setuju / Suka (SS), nilai 5 Setuju/ Suka (S), nilai 4. Cukup Setuju/Suka (CS), nilai 3. Tidak Setuju (TS), nilai 2. Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 1. Kategori SS, S, dan CS dikelompokkan penilaian setuju/suka. Kategori TS dan STS dikelompokkan penilaian tidak setuju/suka. Analisis hasil kuesioner respons mahasiswa dilakukan dengan rumus berikut. Rumus = T x Pn Keterangan: T= total jumlah panelis yang memilih. Pn = pilihan angka Skor Likert.
(Sugiyono, 2012:93).
Skor tertinggi (X) adalah 5 x N (jumlah peserta). Skor terendah (Y) adalah 1 x N (jumlah peserta).
Rumus Indeks = Total Skor X 100 Skor Tertinggi
Rumus Interval (I) = 100 Jml Skor 100 = 5 Interval penilaian: 0% -- 19.99% = STS 20% -- 39.99% = TS
20
64
40% -- 59.99% = CS 60 % -- 79.99% = S 80% -- 100%
= SS
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data dapat disajikan secara formal, informal, atau gabungan cara formal dan informal. Penyajian hasil analisis data secara formal meliputi bagan, grafik dan lain-lain, sedangkan penyajian hasil analisis secara informal adalah dengan penjelasan deskriptif (naratif). Pada penelitian ini digunakan teknik penyajian hasil analisis data gabungan, yakni antara cara formal dan informal. Cara formal berupa tabel, gambar, dan grafik, sedangkan cara informal berupa penjelasan deskriptif (naratif).
65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab IV ini dijelaskan hasil penelitian yang berfokus pada analisis hasil pembelajran tata bahasa Jepang dasar ( shoukyu bunpo ) mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar yang mencakup data kuantitatif dan kualitatif. Hasil data kuantitatif diperoleh dari hasil belajar tata bahasa Jepang dasar yang berupa nilai individu dan nilai rata-rata mahasiswa. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari hasil tes awal mahasiswa, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II. Hasil tes tersebut dibandingkan untuk mengetahui peningkatan kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar sebelum dan sesudah penerapan metode kontekstual (CTL) dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar. Hasil data kualitatif diperoleh dari hasil analisis tes dalam bentuk naratif, kuesioner, wawancara. Di samping itu, juga diperoleh dari pengamatan keterlaksanaan pembelajaran di dalam kelas tahap demi tahap.
4.1 Pengamatan Pembelajaran Tata Bahasa Jepang Dasar Sebelum dilakukan tindakan penelitian, diadakan observasi ke kelas selama kurang lebih dua minggu. Selama observasi diamati proses pembelajaran yang didominasi oleh dosen dengan metode ceramah, artinya proses pembelajaran lebih berpusat pada dosen (teacher center). Mahasiswa cenderung bersifat pasif, sepertinya mahasiswa hanya menerima pengetahuan dari dosen. Mahasiswa semester III Sastra Jepang berjumlah 37 orang terdiri atas 12 orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Seluruh mahasiswa dijadikan sampel
65
66
penelitian. Jadwal perkuliahan tata bahasa Jepang dasar setiap Rabu dan Jumat, pukul 18.30 WITA sampai dengan 20.10 WITA. Pada saat dilakukan observasi dijelaskan pelajaran 33 ( daika 33 Minna no Nihongo II ) oleh dosen. Ketika dosen menjelaskan materi , mahasiswaa tertib mengikuti
perkuliahan.
Selesai
menjelaskan
materi
perkuliahan
dosen
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertanya. Pada saat diberikan kesempatan tanya jawab tidak ada mahasiswa yang bertanya. Oleh karena itu, dosen menyuruh mahasiswa untuk mengerjakan latihan-latihan soal pada buku Minna no Nihongo II yang baru selesai dijelaskan. Ketika jam perkuliahan berakhir dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk dikerjakan di rumah. Hari berikutnya ketika perkuliahan dimulai, dosen mendiskusikan tugas yang diberikan pada pertemuan sebelumnya. Sebagian besar mahasiswa belum mengerti mengerjakan tugas yang diberikan sehingga dosen mengulangi lagi membahas tugas yang diberikan.
4.2 Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Sebelum Penerapan Metode Kontekstual Sebelum menerapkan metode CTL peneliti melaksanakan tes awal untuk mengetahui tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Tes awal terdiri atas empat indicator, yakni (1) mengukur kemampuan mahasiswa menggunakan partikel, (2) pola atau struktur kalimat, (3) unsur-unsur predikat, dan (4) makna atau fungsi kalimat dalam bahasa Jepang dasar, yang bersumber dari buku Minna no Nihongo II.
67
Soal tes awal terdiri atas lima puluh item dengan perincian sepuluh soal mengukur kemampuan mahasiswa mengenai pemakaian partikel, lima belas soal mengukur kemampuan mahasiswa dalam bidang pola atau struktur kalimat, sepuluh soal mengukur kemampuan mahasiswa tentang pemahaman unsur-unsur predikat, dan lima belas soal lagi untuk mengukur kemampuan mahasiswa mengenai makna atau fungsi kalimat tata bahasa Jepang dasar. Skor tiap soal bila betul adalah dua , sehingga skor maksimal adalah seratus . Pada bagian soal nomor 1 sampai dengan nomor 10 mahasiswa memilih kata bantu atau partikel yang betul di antara kata-kata yang terdapat pada kalimat sehingga menjadi kalimat yang benar. Pemakaian partikel dalam bahasa Jepang sangat penting artinya. Kesalahan penggunaan kata partikel pada sebuah kalimat akan menyebabkan kesalahan makna dalam kalimat bersangkutan. Pada soal nomor 11 sampai dengan nomor 25 mahasiswa memilih pola atau struktur kalimat bahasa Jepang yang benar sesuai dengan gramatika atau tata bahasa Jepang. Pada soal nomor 26 sampai dengan nomor 35 mahasiswa memilih unsur-unsur predikat kalimat yang benar, dan pada soal nomor 36 sampai dengan nomor 50 mahasiswa memilih jawaban yang benar sesuai dengan konjugasi kalimat bersangkutan sehingga makna kalimat menjadi benar menurut kaidah-kaidah bahasa Jepang. Jenis tes yang digunakan pada tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II adalah sama dengan maksud untuk mengetahui tingkat perubahan hasil belajar sebelum dan setelah menggunakan metode CTL. Hasil tes awal menunjukkan nilai yang bervariasi. Nilai-nilai tes awal dari 37 mahasiswa ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut .
68
Tabel 4.1 Data Skor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Semester III Sastra Jepang pada Tes Awal No. Mhs
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Total
Skor Jawaban Tes yang Benar Total Penggunaan Pola Unsur- Makna/Fungsi Skor Partikel Kalimat unsur Kalimat Predikat 12 10 14 10 8 10 6 12 6 6 12 16 8 12 12 12 14 8 16 8 12 14 10 10 12 14 12 8 8 8 12 10 12 12 10 12 10 394
16 12 20 14 14 12 10 18 14 10 18 18 10 12 14 16 14 12 18 10 14 16 14 12 14 20 14 12 10 10 12 16 10 16 12 10 14 488
12 8 14 10 10 10 8 10 10 12 8 16 10 14 10 10 12 12 16 10 16 12 14 10 12 18 12 8 8 10 14 8 8 16 14 10 14 422
12 14 20 12 16 14 10 18 12 14 20 20 14 20 20 18 18 12 20 14 18 18 20 16 18 20 12 14 12 16 18 16 16 18 20 16 20 608
58 44 70 46 58 48 34 58 42 40 58 70 42 58 56 56 58 44 70 42 56 62 56 46 56 72 56 42 38 44 56 46 46 60 56 48 58 1.912
%
Kategori Skor
58% 44% 70% 46% 58% 48% 34% 58% 42% 40% 58% 70% 42% 58% 56% 56% 58% 44% 70% 42% 56% 62% 56% 46% 56% 72% 56% 42% 38% 44% 56% 46% 46% 60% 56% 48% 58%
C D B D C D E C D D C B D C C C C D B D C C C D C B C D E D C D D C C D C
69
Berdasarkan data tabel 4.1 di atas dapat disampaikan bahwa total skor kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada tes awal sebelum penerapan metode kontekstual adalah 1.912. Nilai rata – rata mahasiswa yang diperoleh pada tindakan tes awal dihitung dengan cara total skor dibagi jumlah mahasiswa . Sehingga skor rata – ratanya adalah 1.912 : 37 = 51, termasuk kategori nilai kurang (D). Keempat indikator yang dites, yakni skor pemakaian partikel diperoleh dengan cara total skor dibagi skor maksimum dikalikan seratus persen, sehingga skornya adalah 394 : 740 x 100% = 53 %. Skor mengenai pola kalimat bahasa Jepang adalah 488 : 1.110 x 100 = 43 %. Skor mengenai unsur predikat adalah 422: 740 x 100% = 57 % dan skor tentang makna kalimat adalah 608 : 1.110 x 100% = 54%. Semua indikator yang dites memperoleh skor kurang. Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa semester III pada tindakan tes awal yakni tidak ada mahasiswa yang memperoleh nilai A, 3 orang mahasiswa yang mendapat nilai B, 17 orang mahasiswa mendapat nilai C, 14 orang mahasiswa mendapat nilai D, bahkan 2 orang mahasiswa mendapat nilai E. Untuk lebih detailnya dapat disampaikan pada analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif berikut.
4.2.1 Analisis Data Kuantitatif Sebelum Penerapan Metode Konstektual Berdasarkan data pada tabel 4.1 di atas, dapat dihitung nilai setiap mahasiswa, nilai mahasiswa dalam bentuk persentase, nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam presentase, dan mean score pada tes awal dengan menggunakan rumus berikut.
70
1) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar tiap mahasiswa digunakan rumus berikut. S=R S = skor/nilai R = right/total jawaban yang betul. (Nurgiyantoro, 2010:139 ). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 58, demikian seterusnya sampai dengan nomor urut mahasiswa terakhir.
2) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar tiap mahasiswa dalam persentase digunakan rumus berikut.
L = total skor setiap mahasiswa X 100% Skor maksimum L = 58 X 100% = 58% 100 Skor mahasiswa nomor urut 1 dalam bentuk persentase adalah 58%.
3) Untuk mencari nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa menggunakan rumus berikut. X = total skor mahasiswa Jumlah mahasiswa
X 100%
= 1.912 X 100% = 51 % 37 Jadi, nilai rata-rata mahasiswa dalam penguasaan tata bahasa Jepang dasar pada tes awal pada penerapan metode kontekstual dalam proses pembelajaran bahasa
71
Jepang adalah 51%. Artinya, hasil pembelajaran mencapai skor 51 dan termasuk kategori D ( kurang ).
4) Berdasarkan hasil tes awal tabel di atas dan nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar tersebut, maka dapat dicari mean score tes awal dengan digunakan rumus berikut. X =
∑X N
Mean score = 1.912 37 = 51 X = Mean score. ∑X = jumlah skor seluruh mahasiswa. N = jumlah mahasiswa. Jadi, mean score tes awal adalah 51 termasuk kategori kurang, artinya diperlukan tindakan siklus I.
Nilai rata-rata mahasiswa dalam kemampuan tata bahasa Jepang dasar pada tes awal yang dilakukan sebelum penterapan metode CTL dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar adalah 51. Artinya, kemampuan tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III STIBA Saraswati Denpasar masih kurang atau kategori skor D.
4.2.2 Analisis Data Kualitatif Sebelum Penerapan Metode Konstektual (CTL) Kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dilihat dari nilai rata-rata tes awal ini termasuk kategori nilai kurang. Adapun sebaran skor
72
yang diperoleh mahasiswa berdasarkan tabel di atas ternyata tidak ada mahasiswa yang memperoleh nilai A, empat orang
mahasiswa dari tiga puluh tujuh
mahasiswa mendapatkan nilai B, tujuh belas orang memperoleh nilai C, pada tes awal ada empat belas orang mendapat nilai D, bahkan ada dua orang memperoleh nilai E. Dari tiga puluh tujuh orang jumlah mahasiswa, dua puluh satu orang memenuhi syarat untuk lulus, sisanya lagi enam belas orang nilai mereka tergolong kategori tidak lulus. Dari keempat indikator tes yang dikerjakan hampir seluruh mahasiswa mengalami kesulitan dalam penguasaan unsur tata bahasa Jepang dasar. Hasil analisis tes tentang kemampuan penggunaan partikel bahasa Jepang memperoleh tingkat skor 53%. Artinya, hanya sebagian dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa yang mengerti pemakaian partikel bahasa Jepang. Berdasarkan pengamatan hasil tes diadakan wawancara kepada lima orang mahasiswa yang memperoleh nilai penggunaan partikel terendah yakni: Aldi san, Chyntia san, Degus san, Supari san, dan Astuti san. Kelima mahasiswa bersangkutan wawancarai sekilas sesudah selesai pelaksanaan tes awal atau sebelum menerapkan metode CTL. Mereka mengalami banyak kesulitan pada penggunaan pertikel de/で、ni/に、wo/ を dalam kalimat bahasa Jepang. Partikel tersebut bisa mempunyai arti yang sama, yakni “di”, tetapi dapat pula mempunyai arti yang berbeda bergantung pada konteks kalimat atau kata kerja yang menyertainya. Misalnya, Restaurant で ごはん Restaurant de gohan Tempat part nasi „Makan nasi di restoran‟.
を o part
たべます. tabemasu. makan.
73
Pada pola kalimat ini partikel de/で berarti “di”, menunjukkan tempat melakukan kegiatan. Kalimat tersebut akan berbeda dengan kalimat berikut, タクシー で Kuta へ いきます. Takusi de Kuta e ikimasu. Taksi part tempat part pergi. „Pergi ke Kuta dengan (naik) taksi‟. Pada pola kalimat ini partikel de/ で menunjukkan “alat transportasi” yang digunakan. Begitu pula partikel ni/に misalnya, Kuta に bom Kuta ni bom Tempat part bom „Ada bom di Kuta‟.
が ga part
ありました. arimashita. ada.
Pada pola kalimat ini partikel ni/に berarti “di”, menunjukkan keberadaan suatu “benda atau kejadian”. Kalimat ini akan berbeda artinya pada kalimat berikut, せんせい に ききます. Sensei ni kikimasu. Guru part bertanya. „Bertanya kepada guru‟. Pada pola kalimat ini partakel ni/に tidak berarti “di”, tetapi berarti “kepada” atau sasaran yang dituju. Masih banyak lagi perbedaan arti partikel de/で dan ni/に pada pola kalimat bahasa Jepang lainnya. Penggunaan partikel o/を pada sebuah kalimat bahasa Jepang berbeda lagi. Misalnya、 私 は はし を Watashi wa hashi o Saya part jembatan part „Saya menyeberang di jembatan‟.
わたる. wataru. menyeberang.
74
Pola kalimat seperti ini tidak boleh memakai partikel de/で atau ni/に , walaupun sama-sama berarti “di”. Dalam hal ini menurut gramatika bahasa Jepang partikel yang harus digunakan pada jenis kata kerja gerak perpindahan seperti contoh kalimat tersebut adalah partikel o/を yang juga berarti “di”. Sedangkan partake o/ を pada contoh kalimat berikut. 私 は ごはん Watashi wa gohan Saya part nasi „Saya makan nasi‟.
を o part
たべます. tabemasu. makan.
Partikel o/を pada kalimat ini tidak berarti “di”, tetapi menunjukkan objek sebuah kalimat. Hasil analisis tes awal dan pengamatan bersama observer pendamping menunjukkan
bahwa
kebanyakan
mahasiswa
salah
mengerjakan
atau
menggunakan jenis partikel tersebut. Di samping itu, menurut mereka yang paling membingungkan adalah penggunaan partikel o/ を ketika berfungsi untuk menyatakan tempat yang berarti “di”. Misalnya: とり が そら を Tori ga sora o burung part langit part „Burung terbang di langit‟.
とんでいます. tonde imasu. terbang.
Hampir sebagian besar mahasiswa kurang mengerti pemakaian partikel o/
を pada pola kalimat ini. Oleh karena itu, pada pembelajaran berikutnya peneliti akan lebih ditekankan pada hal-hal tersebut. Total skor persentase hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat bahasa Jepang adalah 43%. Artinya hanya empat belas orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa yang memahami pola kalimat bahasa Jepang . Skor pemahaman
75
mahasiswa mengenai struktur kalimat bahasa Jepang paling rendah dibandingkan dengan nilai indikator lainnya. Hanya tiga orang dari tiga puluh tujuh mahasiswa yang memperoleh skor delapan belas dari yang seharusnya skor tertinggi, yaitu tiga puluh. Skor mahasiswa lainnya yang terdapat pada tabel analisis sangat kurang
dari nilai rata-rata. Hampir setengah dari jumlah mahasiswa hanya
mampu mengerjakan lima soal dari lima belas soal. Berdasarkan pengamatan dan
wawancara singkat kepada lima orang
mahasiswa yang bernama Aldi san, Degus san, Supari san, Lilik san dan Astuti san sebagai perwakilan karena keterbatasan waktu, diketahui bahwa mereka mengakui masih bingung mengenai pola kalimat bahasa Jepang. Menurut mereka, pola atau struktur kalimat bahasa Jepang kacau. Mereka tidak mengerti menyusun unsur-unsur, terutama predikat dan keterangan. Kesulitan lainnya adalah kemampuan kosakata dan huruf Jepang masih terbatas. Bagi pemula belajar bahasa Jepang hal seperti ini dapat dimaklumi
karena
mahasiswa masih
terpengaruh oleh bahasa ibu yang dipelajari sejak semula. Struktur kalimat bahasa Jepang memang berbeda jauh dengan bahasa Indonesia yang sudah dipelajari sejak mengenal bahasa. Pola kalimat bahasa Jepang adalah subjek-keterangan-objek-predikat (SKOP) berbeda dengan struktur bahasa Indonesia
subjek-predikat-objek-
keterangan (SPOK) . Mahasiswa sering salah menempatkan predikat. Predikat bahasa Jepang terletak di akhir kalimat. Contoh: Kuta で おちゃ Kuta de ocha Tempat part teh „ Minum teh di Kuta‟.
を o part
のみます. nomimasu. minum.
76
Kata nomimasu adalah predikat yang berarti “minum” dan terletak di akhir kalimat. Penggunaan kata keterangan pada bahasa Jepang boleh sebelum subjek atau boleh juga setelah subjek. Dalam percakapan bila subjek sudah jelas boleh tidak disebutkan. Hampir sebagian besar
mahasiswa belum mengerti
struktur atau pola kalimat bahasa Jepang. Hal ini bisa dibuktikan dari skor ratarata mahasiswa hanya mencapai 43%. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran berikutnya peneliti lebih menekankan pemahaman mengenai pola kalimat bahasa Jepang. Total skor hasil analisis tes mengenai unsur-unsur kalimat bahasa Jepang dalam bentuk persentase adalah 57 %. Artinya, baru sebagian dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa yang mengerti tentang unsur-unsur kalimat bahasa Jepang. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara kepada empat orang mahasiswa sebagai perwakilan yaitu Agus san, Aldi san, Dwi san dan Jati san, diketahui bahwa mahasiswa bersangkutan mengalami kesulitan membaca dan menulis huruf Jepang, kemampuan kosakata mereka terbatas. Di samping itu, mereka memiliki pemahaman bahwa predikat sebuah kalimat hanya terdiri atas kata kerja. Padahal, predikat pada kalimat boleh kata kerja, kata benda, atau kata sifat. Contoh : わたし は Kuta で およぎます. Watashi wa Kuta de oyogimashita. saya part tempat part berenang. „Saya berenang di Kuta‟. Kata お よ ぎ ま す ( oyogimashita ) pada kalimat ini adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat, berikut.
artinya “berenang”. Perhatikan
contoh kalimat
77
よしださん は にほんじん です . Yoshida san wa nihonjin desu. Nama part orang Jepang kopula „Ibu Yosidha orang Jepang‟. Kata にほんじん (nihonjin ) pada kalimat ini adalah jenis kata benda yang berfungsi sebagai predikat, artinya ”orang Jepang”. Contoh berikut adalah Kuta かいがん は Kuta kaigan wa tempat pantai part „Pantai Kuta sangat indah‟.
とても totemo sangat
きれい kirei indah.
です . desu. kopula
Kata とてもきれい( totemo kirei ) adalah kata sifat yang berfungsi sebagai predikat kalimat, artinya “sangat indah”. Total skor hasil analisis tes terakhir tentang makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang total skornya dalam bentuk persentase adalah 54%. Artinya, baru setengah dari tiga puluh tujuh mahasiswa yang mengerti makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Dari hasil pengamatan dan wawancara kepada lima orang mahasiswa denga nilai terendah yaitu Arda san, Chintya san, Kompyang san, Astuti san, dan Supari san, diketahui bahwa mereka kurang mengerti golongan dan konjugasi kata kerja bahasa Jepang sesuai dengan makna kalimat, terutamanya bentuk te, antara satu t dan dua t dan antara nde dengan ide. Misalnya, tabete artinya “makan” dan wakatte artinya “mengerti”. Demikian juga nonde artinya “minum” dan oyoide artinya “berenang”. Hasil wawancara singkat itu sangat bermanfaat bagi peneliti dalam pembelajaran berikutnya.
memilah dan menekankan materi
78
Mengingat hampir pada semua indikator tes mahasiswa mengalami kesulitan dalam tata bahasa Jepang dasar,
maka sebelum mengawali
pembelajaran siklus I dengan metode CTL dicoba diklasifikasikan kesulitan – kesulitan mahasiswa
berdasarkan hasil tes dan wawancara. Untuk sementara
dapat disimpulkan bahwa sebagian besar mahasiswa memang belum mengerti atau masih bingung mengenai tata bahasa Jepang dasar, khususnya tentang pola kalimat dan makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa masih terbiasa dengan pola bahasa Indonesia yang pertama dipahami. Banyak mahasiswa yang belum paham tentang konjugasi atau perubahan kata kerja. Kata kerja bahasa Jepang akan mengalami perubahan bentuk sesuai dengan makna kalimat. Berdasarkan hasil analisis data kuantitatif dan kualitatif di atas diketahui bahwa hasil pembelajaran mahasiswa termasuk kategori kurang. Sehingga perlu ditingkatkan. Salah satu cara yang dilakukan untuk memperbaiki hasil belajar mahasiswa adalah berusaha mengganti metode yang digunakan oleh dosen, yakni dari metode ceramah yang berpusat pada dosen (teacher center) ke metode kontekstual (CTL) yang berpusat pada mahasiswa (student center).
4.3 Penerapan Metode Kontekstual dalam Upaya Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Semester III STIBA Saraswati Denpasar Dalam usaha meningkatkan kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar, Diterapkan metode kontekstual yang terdiri dari tujuh komponen dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Ketujuh komponen dimaksud adalah (1)
79
konstruktivisme, (2) menemukan,, (3) bertanya,
(4) masyarakat belajar, (5)
pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian.
4.3.1 Penelitian Tindakan Kelas Siklus I Tindakan kelas siklus I dilaksanakan mulai Rabu, 19 November 2014 sampai dengan Rabu, 3 Desember 2014 dengan alokasi waktu dua jam setiap pertemuan (18.30--20.10 Wita). Materi pokok perkuliahan adalah tata bahasa Jepang dasar dengan penerapan metode kontekstual. Subjek penelitian ini adalah 37 orang mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Tindakan siklus I terdiri atas empat langkah kegiatan, yakni (1) perencanaan, tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi tindakan (Arikunto, 2010:16) Tiap-tiap langkah kegiatan dimaksud dijabarkan sebagai berikut.
4.3.1.1 Perencanaan Tindakan Siklus I Tindakan ini merupakan langkah awal sebelum dilaksanakan tindakan, yaitu mempersiapkan berbagai alat kelengkapan yang diperlukan terkait dengan rencana pelaksanaan tindakan. Alat kelengkapan yang dimaksud, antara lain satuan acara perkuliahan (SAP), materi perkuliahan, alat pengajaran, lembar kerja mahasiswa, lembaran observasi, tes penilaian proses belajar sehingga proses dapat pembelajaran berlangsung sesuai dengan yang dharapkan. Setelah alat kelengkapan yang diperlukan siap, kemudian dilaksanakan tindakan. Pada penelitian ini peneliti dibantu oleh seorang dosen sebagai observer pendamping sekaligus sebagai penilai.
80
4.3.1.2 Pelaksanaan Tindakan Siklus I Pelaksanaan tindakan ini meliputi tiga kegiatan, yaitu (1) kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan akhir. Ketiga langkah kegiatan tersebut diuaraikan di bawah ini.
1) Kegiatan awal Sebelum perkuliahan dimulai dilakukan hal-hal sebagai berikut. a) Peneliti membuka perkuliahan yang diawali dengan mengucapkan salam dan dilanjutkan presensi kehadiran mahasiswa (ada seorang mahasiswa tidak hadir karena sakit) b) Peneliti menyampaikan pokok bahasan tata bahasa Jepang dasar dengan penterapan CTL dan menyampaikan kompetensi dasar yang dibahas, yang akan dipresentasikan oleh tiap-tiap kelompok mahasiswa. c) Peneliti membagi mahasiswa menjadi tujuh kelompok belajar dan masing-masing terdiri atas lima orang sampai dengan enam orang mahasiswa sebagai wadah masyarakat belajar. d) Peneliti mempersilakan mahasiswa untuk memilih koordinator kelompok yang nantinya juga akan bertugas mempresentasikan hasil kerja kelompok.
2) Kegiatan Inti Tindakan Kelas Siklus I Kegiatan ini merupakan inti dari pelaksanaan tindakan proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL. Kegiatan dimaksud dapat dideskripsikan seperti di bawah ini:
81
a) Peneliti menjelaskan secara singkat bahan ajar tentang tata bahasa Jepang dasar yang terdiri atas penggunaan partikel pada kalimat, pola kalimat, unsur-unsur kalimat, dan makna kalimat dalam bahasa Jepang dengan metode CTL. Pada pertemuan pertama yang dipelajari adalah penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang. Pada pertemuan berikutnya dibahas tentang unsur-unsur dan makna kalimat dalam bahasa Jepang. Peneliti memberikan contoh pembelajaran yang ditayangkan melalui
video visual
atau media
gambar
yang
diilustrasikan sebagai konteks dengan lingkungan kehidupan daerah wisata Kuta yang sudah tidak asing bagi
mahasiswa. Mahasiswa
sangat serius memperhatikan penjelasan peneliti. b) Setelah memberikan contoh mengenai topik bahan ajar yang dibahas sehubungan dengan tata bahasa Jepang dasar peneliti dibantu oleh observer membagikan lembar kerja atau tugas kepada setiap mahasiswa untuk dikerjakan bersama anggota kelompoknya. sesuai dengan petunjuk. c) Peneliti memberikan kesempatan waktu empat puluh menit kepada mahasiswa untuk melaksanakan pembelajaran dengan berdiskusi bersama anggota kelompok tentang tata bahasa Jepang dasar dengan pokok bahasan penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang sesuai dengan konsteks media gambar yang diamati. Mahasiswa mengerjakan tugas ini dengan tertib, disiplin, mahasiswa aktif
82
berdiskusi, tanya jawab sehingga proses pembelajaran berlangsung sesuai dengan diharapkan. d) Selama
mengerjakan
tugas
pembelajaran
berlangsung
peneliti
memberikan bimbingan kepada beberapa mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas tersebut. e) Peneliti yang dibantu oleh seorang observer pendamping melakukan penilaian terhadap aktivitas pembelajaran mahasiswa tentang tata bahasa Jepang dasar melalui pengamatan dengan menggunakan lembar observasi penilaian yang telah dipersiapkan sebelumnya f) Setelah menyelesaikan tugas sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, peneliti mengumumkan dan mempersilakan kelompok yang
akan
presentasi.
Setiap
anggota
kelompok
wajib
mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok dan sekaligus akan dijadikan model dalam pembahasan materi yang disampaikan. Pada pertemuan pertama kegiatan inti ini ada dua kelompok yang sudah siap untuk presentasi, yakni kelompok 3 dan kelompok 5. Koordinator kelompok 3 adalah Eka san yang sekaligus mempresentasikan hasil pembelajaran kelompoknya. Di pihak lain koordinator kelompok 5 Swary san juga mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok mereka. Pada tahapan ini hasil presentasi kelompok mereka ada yang sudah benar dan ada pula yang salah menurut kaidah gramatika bahasa Jepang. Kemudian didiskusikan lagi untuk memperoleh hasil pembelajaran yang benar. Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar yang dipresentasikan oleh
83
kelompok 3 adalah sebagai berikut. 1) Kuta に わたし Kuta ni watashi tempat part saya „Saya berenang di Kuta‟.
は wa
およぎます oyogimasu part berenang
2) よこさん は Kuta へ いきます Yokosan wa Kuta e ikimasu nama part tempat part pergi „Yoko pergi ke Kuta naik taksi‟. 3) Kuta は きれい です Kuta wa kirei desu tempat part indah „Pantai Kuta indah dan ramai‟.
にぎやか nigiyaka kopula ramai
4) わたし は sunset Watashi wa sunset saya part sunset „Saya melihat sunset di Kuta‟.
みました mimashita melihat
5) おきゃくさま は Kuta Okyakusama wa Kuta wisatawan part tempat „ Wisatawan banyak ada di Kuta‟.
を o part
タクシー takusi taksi
です desu kopula
Kuta に Kuta ni tempat part
あります arimasu ada
Setelah selesai presentasi Ekasan menjelaskan materi pokok pembelajaran mengenai penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang. Pada kalimat nomor 1 partikel yang digunakan adalah wa/は dan ni/に, partikel wa/は sebagai petanda subjek dan partikel ni/に menunjukkan tempat yang berarti “di”. Predikat kalimat ini adalah oyogimasu yang artinya “berenang”. Pola kalimat adalah subjek = watashi, predikat = oyogimasu, keterangan tempat = kuta. Jadi, pola kalimatnya S-K-P. Kalimat nomor 1 tidak mengandung unsur objek. Pada kalimat nomor 2 terdapat partikel e/ へ
yang berarti “ke”
menunjukkan tempat yang dituju. Kata kerja mimashita pada kalimat nomor 4
84
berarti “melihat” menyatakan suatu kegiatan sudah berlangsung. Kemudian Eka san memberikan kesempatan bertanya kepada anggota kelompok lainnya. Salah seorang mahasiswa yang bernama Wiranatasan dari kelompok 1 bertanya dan sekaligus mengoreksi dari kalimat nomor 1 sampai dengan kalimat nomor 5. Menurut Wiranata san, hasil temuan pembelajaran kelompok 3 hampir seluruhnya salah, baik dari pemakaian partikel maupun pola kalimat. Misalnya, kalimat nomor (1) tertulis Kuta にわたしはおよぎます. Pola kalimat ini salah, seharusnya わたしは Kuta でおよぎま. Artinya, saya berenang di Kuta. Kalimat nomor (2) hasil presentasi kelompok 3 adalah Yokosan wa Kuta e ikimasu takusi desu. Dalam kalimat bahasa Jepang susunan predikat selalu terletak di akhir kalimat dan bila dalam sebuah kalimat sudah terdapat kata kerja, desu tidak perlu lagi. Denan demikian pola kalimatnya akan menjadi Yokosan wa taxsi de Kuta e ikimasu. Artinya, Bapak Yoko pergi ke Kuta naik taksi. Struktur kalimatnya menjadi subjek = Yokosan, keterangan = Kuta, objek = taksi, predikat = ikimasu, sedangkan wa,de, dan e adalah partikel. Kemudian pola kalimat nomor (4) disampaikan, yaitu Watashi wa Kuta ni mimashita sunset. Hasil pembelajaran yang dipresentasikan oleh kelompok 3 salah, seharusnya yang betul menurut gramatika kalimat bahasa Jepang adalah watashi wa Kuta de sunset o mimahita. Artinya saya melihat sunset di Kuta. Struktur
yang betul
adalah S-K-O-P. Koreksi dari pendapat Wiranata san
mendapatkan aplouse dan disetujui oleh kelompok lainnya. Selain Wiranatasan ada lagi mahasiswa yang bernama Supartinisan dari kelompok VII mengoreksi kalimat nomor (3) dan nomor (5). Menurut Supartini
85
san, untuk menyambung kata sifat dalam bahasa Jepang tidak memakai desu, seperti kalimat nomor (3), seharusnya de yang berarti “dan”. Begitu pula kalimat yang menyatakan keberadaan benda hidup
tidak boleh menggunakan kata
arimasu, seharusnya kata imasu. Pendapat Supartinisan dibenarkan oleh anggota kelompok lainnya. Setelah melalui diskusi ( questioning ) kelompok, akhirnya ditemukan hasil konstruksi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar yang benar dari kelompok 3 sebagai berikut . 1) わたし は Kuta で Watashi wa Kuta de saya part tempat part „Saya berenang di Kuta‟.
およ
泳ぎます oyogimasu. berenang
2) よこさん は タクシー で Yokosan wa taxsi de nama part transpotasi part „ Yoko pergi ke Kuta naik taxsi‟.
Kuta Kuta tempat
3) Kuta は きれい Kuta wa kirei tempat part indah „ Pantai Kuta indah dan ramai‟
にぎやか。 nigiyaka. ramai
い
へ e part
行きます ikimasu. pergi.
4) わたし は Kuta で sunset Watashi wa Kuta de sunset saya part tempat part matahari terbenam „Saya melihat sunset di Kuta‟.
を o part
みました mimashita. melihat.
5) おきゃくさま は Kuta に Okyakusama wa Kuta ni Wisatawan part tempat part „Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
います。 imasu ada
で de part
おぜく ozeku banyak
Pada kalimat nomor (1) sampai dengan nomor (5) di atas terdapat partikel wa/は yang berfungsi sebagai penanda subjek. Partikel de/で pada kalimat nomor
86
(1) dan (4) berarti “di” menunjukkan tempat melakukan kegiatan. Kata kerja atau predikat yang menyertai adalah oyogimasu artinya berenang dan mimashita artinya melihat termasuk kata kerja beraktivitas. Kalimat tersebut harus memakai partikel de/ で . Untuk kalimat nomor (4) predikat mimashita termasuk jenis kalimat bentuk lampau,
artinya kegiatan sudah berlangsung. Kata kerja
mimashita tergolong kata kerja transitif, objeknya harus disertai partikel o/を Di pihak lain partikel de/ で pada kalimat nomor (3) tidak berarti “di” tetapi bermakna untuk menyambung dua kata sifat berakhiran na yang berarti dan. Kalimat nomor (2) juga mengandung partikel de/で artinya dengan. Partikel ini menandakan alat transpotasi yang digunakan. Kata kerja ikimasu artinya pergi, ada sasaran tujuan, Oleh karena itu, didahului oleh partikel e/へ , artinya “ke”. Pada kalimat nomor (5) ada predikat imasu berarti ada, suatu pernyataan keberadaan benda dalam hal ini wisatawan.Tempat keberadaannya ditandai oleh partikel ni/に artinya di. Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P seperti hasil temuan mahasiswa yang dikonstruksi pada kalimat nomor (4) di atas. Watashi adalah subjek, Kuta adalah keterangan tempat, sunset adalah objek, mimashita adalah predikat, dan disisipi partikel wa/は , de/で , o/を . Presentasi berikutnya dilanjutkan oleh kelompok 5 yang disampaikan oleh Swarysan. Hasil pembelajaran pemakaian partikel dan pola kalimat bahasa Jepang dari kelompok 5 sebagai berikut. 1) わたし Watashi
は wa
bakso bakso
を o
たべました Kuta tabemashita Kuta
に ni
です desu
87
saya part bakso „Saya makan bakso di Kuta‟.
part
makan
tempat part
kopula
2) Bali では Kuta の かいがん は とてもゆめいです Bali de wa Kuta no kaigan wa totemo yumei desu daerah part tempat part pantai part sangat terkenal „Di Bali pantai Kutalah yang paling terkenal‟. 3) あした いっしょに Kuta へ いきませんか Ashita isshoni Kuta part ikimasen ka besok bersama tempat ajakan pergi „Besok bagaimana kalau bersama-sama pergi ke Pantai Kuta‟. 4) Kuta に ありました Kuta ni arimashita tempat part ada „Ada bom di Kuta‟.
bom bom bom
です desu kopula
5) あのひと は にほんじん ですか Anohito wa Nihonjin desu ka orang itu part orang Jepang kopula Orang itu orang Jepangkah. Sesudah selesai presentasi Swary san menjelaskan partikel wa/は untuk menunjukkan subjek, partkel de/で menunjukkan tempat kegiatan, partikel e/へ berarti ke menunjukkan tujuan, dan partikel o/ を menunjukkan objek sebuah kalimat. Contoh kalimat nomor 1, わたしは bakso をたべました Kuta にです. Artinya, kami makan bakso di Kuta. Pola kalimat tersebut adalah S – K – O – P (subjek = watashi , keterangan = Kuta , objek = bakso , predikat = tabemashita). Swary san juga memberikan kesempatan untuk bertanya bagi kelompok lain. Ada mahasiswa kelompok 7 yang bernama Yudi san menanyakan kalimat nomor 2 yang dipresentasikan yaitu Bali では Kuta のかいがんはとてもゆめい です.Kalimat itu diterjemahkan “di Bali Pantai Kutalah yang sangat terkenal”. Kalau menurut kaidah bahasa Jepang, partikel wa/は di antara kata kaigan dan
88
yumei tidak tepat memakai partikel wa/は, yang benar adalah memakai partikel ga/ が karena mengandung makna menegaskan atau menekankan unsur objek pada bagian kalimat tersebut. Begitu pula kalimat nomor 1, Watashi wa bakso o tabemashita Kuta ni. Susunan predikat, kata keterangan, dan partikel kalimat ini salah. Pemakaian partikel ni/に pada kata Kuta tidak tepat walaupun sama- sama berati “di”, yang benar adalah partikel de/で karena predikat kalimat tersebut melakukan aktivitas. Dengan demikian menurut Yudi san kalimat nomor 1 yang betul adalah Watashi wa Kuta de bakso o tabemashita. Salah seorang mahasiswa kelompok 1 bernama Agus san mengoreksi kalimat nomor 4. Agussan mengatakan kalimat nomor 4 yang dipresentasikan salah, baik pemakaian partikel maupun pola kalimatnya. Seharusnya menurut aturan tata bahasa Jepang, kalimat tersebut adalah Kuta ni bom ga arimashita. Artinya, “ada bom di Kuta” dan tidak ada kata desu. Berdasarkan diskusi dan koreksi dari kelompok lain akhirnya kelompok Swary san meninjau dan merevisi hasil temuan kelompok mereka. Hasil temuan dan kontruksi pembelajaran yang sudah direvisi dari kelompok 5 sebagai berikut. 1) Kuta で bakso を Kuta de bakso o tempat part makanan part „Saya makan bakso di Kuta‟.
たべました。 tabemashita. makan
2) Bali では Kuta の かいがん が Bali de wa Kuta no kaigan ga daerah part tempat part pantai part „Di Bali pantai Kutalah yang sangat terkenal‟.
とてもゆめいです。 totemo yumei desu. sangat terkenal.
3) あした Ashita besok
いきませんか。 ikimasen ka. ajakan pergi
いっしょに isshoni bersama
Kuta Kuta tempat
へ e part
89
„Besok bagaimana kalau bersama-sama pergi ke Pantai Kuta‟. 4) Kuta に bom Kuta ni bom tempat part peristiwa „Ada bom di Kuta‟.
が ga part
ありました。 arimashita ada
5) あのひと は にほんじんですか。 Anohito wa Nihonjin desu ka. orang itu part orang Jepang kah. „Orang itu orang Jepangkah‟. Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar kelompok 5 di atas sudah betul sesuai dengan gramatika bahasa Jepang. Jenis partikel de/で dan ni/に pada konteks kalimat tersebut berarti “di” menunjukkan tempat dilakukannya kegiatan. Partikel no/ の pada kalimat nomor (2) berfungsi untuk menerangkan tempat, dalam konteks ini dimaksudkan pantai Kuta. Selain itu, juga terdapat partikel ga/
が pada kalimat tersebut yang bermakna untuk menegaskan Pantai Kuta oleh sipembicara karena di Bali terdapat banyak pantai. Pada kalimat nomor 4 yang diikuti oleh kata kerja arimashita yang berarti ada, harus didahului oleh partikel ga/が sesuai dengan aturan tata bahasa Jepang. Contoh lain misalnya toshokan ni daigakusei ga imasu. Artinya, ada mahasiswa di perpustakaan. Polanya benda ga imasu/arimasu. Kalimat nomor (1) tertulis Kuta de bakso o tabemashita. Kalimat ini adalah bentuk lampau, ditandai oleh kata kerja tabemashita atau bentuk mashita kata sopan. Contoh kalimat nomor (3) isshoni Kuta e ikimasen ka, kalimat ini adalah ajakan yang sopan. Artinya bagaimana kalau kita bersama-sama pergi ke Kuta. Kalimat tersebut bila tidak ada kata ka di akhir kalimat bukan kalimat ajakan, melainkan kalimat bentuk negatif, artinya tidak pergi. Oleh karena
90
itu bagi pembelajar pemula harus berhati-hati danmemahami gramatika bahasa Jepang. Dengan berakhirnya presentasi hasil pembelajaran kelompok 3 dan kelompok 5 peneliti dan observer pendamping memberikan apresiasi kepada mahasiswa karena aktivitas belajar mereka sangat tinggi. Artinya, telah tercipta masyarakat belajar sebagaimana yang dimaksudkan komponen CTL. Perkuliahan dilanjutkan pada pertemuan berikutnya yaitu pada Jumat, 21 November 2014 dengan melanjutkan presentasi kelompok lainnya. Pada hari berikutnya tindakan inti siklus I dilanjutkan oleh kelompok 1, 2, 4, 6, dan 7. Koordinator kelompok 1 koordinator Wiranata san mempresentasikan hasil pembelajaran mereka sebagai berikut. 1) Kuta の かいがん は Kuta no kaigan wa tempat part pantai part Pantai Kuta indah dan menarik.
きれい kirei indah
と to part
おもしろいです omoshiroi desu menarik
2) わたし は Kuta で Watashi wa Kuta de saya part tempat part „Saya membeli topi di Kuta‟.
ぼし を boshi o topi part
3) わたし は Kuta に Watashi wa Kuta ni saya part tempat part „Saya jalan-jalan di pantai Kuta‟.
さんぽします sampo shimasu jalan-jalan
かいました kaimashita membeli
4) Kuta で およいで もいい Kuta de oyoide mo ii tempat berenang bolehkah „Bolehkah berenang di pantai Kuta‟.
ですか desu ka
5) ゆがた Yuugata
を o
Kuta Kuta
で de
sunset sunset
みましょう mimasho
91
sore hari tempat part sunset „Sore hari mari melihat sunset di Kuta‟.
part
mari melihat
Wiranatasan pada saat menjelaskan hasil pembelajaran kelompok mereka, tampil sebagai seorang model, dalam hal ini model sebagai dosen ketika mengajar di kelas. Dari pengamatan pada saat presentasi tampak sepertinya Wiranatasan sudah terbiasa berdiri di depan kelas. Gaya bicaranya, pervomennya benar-benar seperti seorang dosen. Penyajian presentasinya memang menarik sehingga mahasiswa lainnya dengan sungguh-sungguh mengikuti pembelajaran. Ketika diberikan kesempatan bertanya tidak ada mahasiswa yang bertanya. Padahal menurut peneliti dan dosen pendamping ada materi hasil pembelajaran yang salah. Untuk menghindari kesalahan berikutnya, dosen pendamping mengoreksi kalimat nomor 1, yakni tentang pemakaian partikel ni/ に , yang betul adalah menggunakan partikel o/を karena kata kerja shanpo shimasu tergolong kata kerja gerak perpindahan. Kalimat lainnya sudah betul. Hasil pembelajaran berdasarkan diskusi, penemuan, dan konstruksi kelompok 1 adalah sebagai berikut. 1) Kuta の かいがん は きれい で おもしろいです。 Kuta no kaigan wa kirei de omoshiroi desu. tempat part pantai part indah part menarik. „Pantai Kuta indah dan menarik‟. 2) わたし は Kuta で ぼし を Watashi wa Kuta de boshi o Saya part tempat part topi part „Saya membeli topi di Kuta‟. 3) わたし は Kuta を Watashi wa Kuta o Saya part tempat part „Saya jalan-jalan di Pantai Kuta‟.
かいました. kaimashita. membeli.
さんぽします。 shanpo shimasu. jalan – jalan.
92
4) Kuta で およいで もいいですか。 Kuta de oyoide mo ii desu ka. tempat part berenang bolehkah „Bolehkah berenang di Pantai Kuta‟. 5) ゆがた Kuta で sunset Yuugata Kuta de sunset sore hari tempat part matahari Sore hari mari melihat sunset di Kuta.
を o part
みましょう mimashou mari melihat.
Partikel dalam pembelajaran bahasa Jepang sangat penting fungsinya, tetapi bila berdiri sendiri, partikel tidak mempunyai arti apa pun. Fungsi partikel de/で pada kalimat nomor (2) dan (5) menunjukkan tempat dilaksanakan kegiatan. Kalimat nomor (2) kegiatannya adalah membeli topi di Kuta dan kalimat nomor (5) kegiatannya melihat sunset di Kuta. Subjek sebuah kalimat bahasa Jepang disertai partikel wa/は seperti di bawah ini. 私 は Kuta で ぼし を Watashi wa Kuta de boshi o Saya part tempat part topi part „Saya membeli topi di Kuta‟.
買いました kaimashita membeli
Partikel wa は menandakan subjek, yakni watashi, partikel de/で artinya di menunjukkan keterangan tempat, yakni Kuta, partikel o/を menandakan objek, yakni boshi, dan kaimashita adalah predikat. Struktur atau pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P (subjek- keterangan-objek-predikat). Pada contoh kalimat nomor (3) ada kata tomodachi to. Partikel to と pada kalimat ini berarti bersama, dalam hal ini bersama teman. Kata to dalam konteks tertentu akan mempunyai arti berbeda. Contoh
本 と Hon to buku part
かばん kaban tas
が ga part
あります arimasu ada
93
„Ada buku dan tas‟. Kata to pada contoh kalimat di atas berarti “dan”. Hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar berikutnya dipresentasikan oleh Bagus san koordinator kelompok 2 sebagai berikut. 1) がいこくじん は Kuta に おぜく Gaikokujin wa Kuta ni ozeku orang asing part tempat part banyak „Orang asing ada banyak di Kuta‟.
います imasu ada
2) あの めがね を かけて いる ひと は だれですか Ano megane o kakete iru hito wa dare desu ka itu kacamata part memakai orang part siapakah „Orang yang memakai kacamata itu siapakah‟. 3) わたしたち は およぎました Watashitachi wa oyogimashita kami past berenang „Kami berenang di pantai Kuta‟.
Kuta で Kuta de tempat part
4) にちようび sunset を みにいきました Kuta Nichiyoubi sunset o mi ni ikimashita Kuta hari Minggu sunset part melihat pergi tempat „Pada hari Minggu pergi ke Kuta melihat sunset‟.
ni ni part
5) Kuta はきれいでゆめいです Kuta wa kireide yumei desu Tempat indah terkenal Pantai Kuta terkenal dan indah.
Pada saat presentasi Bagussan menjelaskan hal-hal seperti di bawah ini. Pada kalimat nomor 1 ada kata ozeku imasu yang berarti “ada banyak”, dalam hal ini maksudnya ada banyak orang asing. Pada kalimat bahasa Jepang apabila terdapat kata sifat berfungsi menerangkan kata kerja, maka kata sifat akan mengalami perubahan bentuk. Misalnya ozeku, berasal dari kata ozei dan tergolong jenis kata sifat berakhiran i/い. Menurut kaidah bahasa Jepang apabila
94
kata sifat berakhiran i/い berfungsi menerangkan kata kerja, maka akhiran
i/い
diganti dengan ku/く dan apabila jenis kata sifat berakhiran na/な, akan menjadi ni/に selalu terletak di depan kata kerja. Contoh: ozei imasu akan berubah menjadi ozeku imasu artinya‟ ada banyak orang‟. Kireina kakimasu akan berubah menjadi kireini kakimasu artinya „tulisannya bagus‟. Ketika presentasi muncul pertanyaan dari Yudasan kelompok 7, yaitu pada presentasi tadi mengapa ada kalimat Kuta de dan Kuta ni. Bagus san dapat menjelaskan bahwa Kuta de dan Kuta ni,
partikel de/で dan
partikel ni/ に sama-sama berarti “di” tetapi pemakaiannya berbeda. Kuta de, parikel de/ で menunjukkan „tempat‟ terjadinya aktivitas atau kata kerja yang menyertai menunjukan ada kegiatan. sedangkan partikel ni/ に menunjukkan „tempat keberadaan sesuatu benda‟. Oleh karena itu, bila kata kerja yang dipakai beraktivitas pakailah partikel de/ で . Bila tidak melakukan kegiatan pakailah partikel ni/に seperti pada kalimat di atas. Evilayanti san kelompok 3 bertanya mengapa Kuta de dan Kuta ni pada kalimat nomor 3 dan 4 terletak di akhir kalimat padahal termasuk unsur kata keterangan. Kelompok lain juga menyalahkan sehingga kelompok 2 meninjau kembali hasil temuan mereka. Akhirnya, kelompok mereka mengakui kesalahannya. Seharusnya kalimat nomor 3 adalah わたしたちは Kuta でおよぎ ました。Artinya,‟ kami berenang di Kuta‟. Kalimat nomor 4 yang betul adalah
95
にちようび Kuta ni sunset をみにいきました。Artinya „hari Minggu pergi ke Kuta melihat sunset‟. Tidak ada pertanyaan lagi dari kelompok lain. Kemudian dosen pendamping menyempurnakan penjelasan Supardiana san dan koreksi temannya bahwa kalimat nomor 4 nichiyoubi Kuta ni sunset o mi ni ikimasu. Kata Kuta ni , partikel ni/に pada kalimat ini tidak berarti „di‟ Kuta tetapi berarti „ke‟ Kuta. Padahal, terjemahan kalimat nomor 4 sudah betul, hanya Bagussan keliru menjelaskan ketika ada pertanyaan dari kelompok lain. Hasil Pembelajaran kelompok 2 yang sudah direvisi adalah sebagai berikut. 1) がいこくじん は Kuta に おぜく Gaikokujin wa Kuta ni oozeku wisatawan part tempat part banyak „Wisatawan ada banyak di Kuta‟.
います。 imasu. ada .
2) あのめがね を かけている ひと は Ano megane o kakete iru hito wa kaca mata itu part memakai orang part „Orang yang memakai kaca mata itu siapakah‟.
だれですか。 dare desu ka. siapakah
3) わたしたち は Kuta で Watashitachi wa Kuta de kami part tempat part „Kami berenang di pantai Kuta‟.
およぎました。 oyogimashita. berenang.
4) にちようび Kuta に sunset を みにいきました。 Nichiyoubi Kuta ni sunset o mi ni ikimashita. hari Minggu tempat part mtahri terb part pergi melihat. „Pada hari Minggu pergi ke Kuta melihat sunset‟. 5) Kuta は きれい で Kuta wa kirei de tempat part indah part „Pantai Kuta terkenal dan indah‟.
ゆめいです。 yumei desu. terkenal
Unsur-unsur kalimat bahasa Jepang akan disisipi partikel. Untuk unsur kata penanda subjek memakai partikel wa/は atau ga/が . Contoh kalimat nomor
96
(3) わたしたちは Kuta でおよぎました. Subjek kalimat ini adalah わたしたち (watashitachi) artinya „kami‟, diikuti partikel wa / は . Kata Kuta adalah keterangan tempat, diikuti partikel de/で artinya „di‟, dan predikatnya およいま し た (oyogimashita) artinya „berenang‟. Pada kalimat ini tidak terdapat unsur objek yang biasanya diikuti oleh partikel o/を . Pada kalimat nomor (1) ada kata おぜくいます(oozeku imasu), artinya‟ ada banyak‟. Kata oozeku berasal dari kata oozei termasuk kata sifat berakhiran i/い . Menurut tata bahasa Jepang, bila kata sifat berakhiran i/い berfungsi menerangkan kata kerja, maka akhiran i/い berubah menjadi ku/く sehingga berubah menjadi oozeku, artinya „banyak untuk orang‟. Presentasi berikutnya adalah kelompok 4 yang disampaikan oleh Krisna san. Krisna san dibantu oleh anggota kelompoknya menempelkan lembaran kertas manila yang sudah ditulisi hasil kerja kelompok sebagai berikut. 1) わたし の うち は Kuta に Watashi no uchi wa Kuta ni saya part rumah part tempat part „Rumah saya di Kuta‟. 2) Kuta では たべもの Kuta dewa tabemono tempat part makanan „Di Kuta makananya mahal‟.
を o part
あります arimasu ada
たかいです takai desu mahal
3) Kuta も Sanur も きれいです Kuta mo Sanur mo kirei desu tempat part tempat part indah „Baik Kuta maupun Sanur indah‟. 4) Denpasar から Kuta まで baiku でなんじかんぐらいかかり ますか Denpasar kara Kuta made baiku de nanjikan kakarimasuka tempat part tempat part motor part berapa jam memerlukan
97
„Dari Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan waktu‟. 5) あした の やすみ は いっしょに Kuta へ いきませんか Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka besok part libur part bersama tempat part ajakan pergi „Liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke Kuta‟. Selesai presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab. Pada kesempatan ini Juli san menanyakan kalimat nomor 5, yakni Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka. Juli san menanyakan kata ikimasen, mengapa Krisnasan mengartikan kata ikmasen menawarkan “pergi”, padahal kata ikimasen artinya “tidak pergi”. Krisnasan memberikan kesempatan anggota kelompoknya untuk menjawab. Kemudian Kompyang san menjelaskan kalimat nomor 5 bukan kalimat negatif, kalimat tersebut adalah kalimat ajakan yang sopan karena kata ikimasen disertai oleh kata ka. Pendapat Kompyang san dibenarkan oleh dosen pendamping. Kemudian ada lagi pertanyaan sekaligus koreksi dari Agus san kelompok 1. Agus san mengoreksi kalimat nomor 2, Kuta dewa tabemono o takai desu. Pemakaian partikel o/を di antara tabemono dan kata sifat takai salah. Seharusnya yang betul menurut tata bahasa Jepang adalah ga/ が , karena kata tabemono berposisi sebagai objek pada kalimat bersangkutan. Pendapat Agussan dibenarkan oleh mahasiswa lainnya. Jadi, kalimat nomor 2 yang benar adalah Kuta dewa tabemono ga takai desu. Krisna san masih memberikan
kesempatan kelompok lain bertanya.
Karena tidak ada lagi bertanya kemudian Krisna san menyimpulkan hasil temuan pembelajaran pemakaian partikel dan pola kalimat sebagai berikut:
98
1) わたし の うち は Watashi no uchi wa saya part rumah part „Rumah saya di Kuta‟.
Kuta Kuta tempat
2) Kuta で たべもの Kuta de tabemono tempat part makanan „Di Kuta makanannya mahal‟.
が ga part
に ni part
あります。 arimasu. ada.
たかいです。 takai desu. mahal.
3) Kuta も Sanur も きれいです。 Kuta mo Sanur mo kirei desu. tempat part tempat part indah. „Baik Kuta maupun Sanur indah‟. 4) Denpasar から Kuta まで baiku で なんじかん ぐらい かかりますか。 Denpasar kara Kuta made baiku de nanjikan gurai kakarimasuka. tempat part tempat sampai motor part berapa lama part memerlukan. „Dari Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan waktu‟.
5) あした の やすみ は いっしょに Kuta へ いきませんか. Ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka. besok part liburan part bersama tempat part ajakan pergi. „Liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke Kuta‟. Penjelasan hasil pembelajaran kalimat nomor (1), yaitu
わたし
の
うち は
Kuta に watashi no uchi wa Kuta ni Saya part rumah part tempat part „Rumah saya ada di Kuta‟.
あります arimasu. ada
Di antara kata watashi dan uchi terdapat partikel no/の . Pada konteks kalimat ini partikel no/ の artinya “kepunyaan”. Partikel ni/ に artinya “di”, menunjukkan tempat keberadaan rumah. Berbeda halnya dengan partikel no/の pada kalimat nomor (5) di antara kata ashita dan yasumi. Pada konteks ini partikel no/ の berfungsi menerangkan dua kata benda. Sesudah kata tabemono diikuti partikel ga/ が , berfungsi
untuk menekankan maksud si pembicara bahwa
99
makananlah yang mahal di Kuta. Untuk kalimat nomor (3) terdapat dua partikel mo/も posisinya hampir sama dengan partikel wa/は . Karena membandingkan suatu hal, maka dipakailah partikel mo/も , artinya partikel mo/も pertama adalah “baik” dan mo/も kedua artinya “maupun”. Dalam kalimat nomor (3) maksudnya Kuta も Sanur もきれいです artinya baik pantai Kuta maupun pantai Sanur adalah indah. Ada lagi partikel kara dan made, seperti kalimat nomor (4) Denpasar か ら Kuta ま で baiku で な ん じ か ん ぐ ら い か か り ま す か 。 (Denpasar kara Kuta
made baiku de nanjikan
kakarimasuka). Artinya dari
Denpasar sampai di Kuta naik motor berapa lama memerlukan waktu. Partikel kara menandakan tempat dimulainya suatu kegiatan dan partikel made menandakan berhentinya kegiatan. Kalimat bentuk negative, yakni ikimasen, disertai kata ka diakhir kalimat pertanda kalimat ajakan sopan, seperti contoh kalimat nomor (5) あしたのやすみ
はいっしょに Kuta へいきませんか .(ashita no yasumi wa isshoni Kuta e ikimasen ka). Artinya, liburan besok bagaimana kalau bersama - sama pergi ke Kuta. Menurut gramatika bahasa Jepang, unsur predikat selalu terletak di akhir kalimat. Presentasi
berikutnya
oleh Srisan
kelompok 6. Adapun materi
pembelajaran yang disampaikan sebagai berikut. 1) これ めがね を いくらですか Kore megane o ikura desu ka ini kacamata part berapakah „Kacamata ini berapa harganya‟.
100
2) Kuta は Sanur より にぎやかです Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu tempat part tempat part ramai kopula „Pantai Kuta lebih ramai daripada Pantai Sanur‟. 3) なんで いきます Kuta ですか Nande ikimasu Kuta desu ka dengan apa pergi tempat „Naik apa pergi ke Kuta‟. 4) よしださん は かぶって ぼし あかいです Yoshidasan wa kabutte boshi akai desu nama part memakai topi merah „Ibu Yoshida memakai topi merah‟ 5) リタさん は Kuta に かいました めがね と サンダルです Rita san wa Kuta ni kaimashita megane to sandaru desu nama part tempat part membeli kacamata part sandal „Rita membeli kaca mata dan sandal di Kuta‟.
Setelah presentasi
Srisan menjelaskan
hasil
kerja
kelompoknya,
tampaknya Srisan kurang menguasai materi yang dipresentasikan dan kurang paham merespons dan menjawab pertanyaan kawan-kawannya sehingga suasana kelas menjadi agak gaduh. Apalagi hampir seluruh materi yang dipresentasikan salah, baik pemakaian partikel maupun pola kalimatnya. Suasana kelas menjadi agak tenang dan tertib setelah posisi Sri san dibantu oleh
Putrisan anggota
kelompoknya sendiri. Berikutnya mahasiswa yang bernama Dewasan kelompok 5 mengatakan bahwa pemakaian partikel dan pola kalimat yang disampaikan pada kalimat nomor 1, nomor 3, nomor 4, dan nomor 5 salah berdasarkan aturan tata bahasa Jepang. Misalnya,
kalimat nomor 1 tertulis
Kore megane o ikura desu ka.
Seharusnya kalimat yang betul adalah Kono megane wa ikura desu ka. Memang kata kore dan kono artinya sama, tetapi pemakaiannya berbeda. Terjemahannya
101
sudah betul. Kalimat nomor 3 seharusnya yang betul adalah Nande
Kuta e
ikimasu ka. Predikat terletak di akhir kalimat dan tidak perlu ada kata desu karena sudah ada kata kerja ikimasu yang artinya “pergi”. Kalimat nomor 4 yang betul adalah Yoshidasan wa akai boshi o kabutte imasu. Apabila kata sifat berfungsi menerangkan
benda,
letaknya
selalu
di
depan
benda
bersangkutan.
Terjemahannya sudah betul. Begitu pula kalimat nomor 5 tertulis Rita san wa Kuta ni kaimashita megane to sandaru desu. Partikel dan pola kalimat ini salah. Menurut gramatika bahasa Jepang, seharusnya yang betul adalah Rita san wa Kuta de megane to sandaru o kaimashita. Artinya „Ibu Rita membeli kacamata dan sandal di Kuta‟. Pola atau struktur bahasa Jepang adalah S – K – O – P dan di antara unsur – unsur tersebut disisipi kata partikel. Berbeda dengan bahasa Indonesia yang berpola S – P – O – K. Kelompok 6 masih memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk mengomentari pendapat dari Dewasan. Semua mahasiswa dan termasuk dosen pendamping setuju dengan pendapat Dewasan.
Akhirnya
kelompok 6
menyimpulkan hasil pembelajaran yang sudah direvisi bersama kelompok lainnya sebagai berikut. 1) このめがね は いくらですか。 Kono megane wa ikura desu ka. kacamata ini part berapakah harganya „Kaca mata ini berapa harganya‟. 2) Kuta は Sanur より にぎやかです。 Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu tempat part tempat part ramai „Pantai Kuta lebih ramai dari pada Pantai Sanur‟. 3) なんで Nande
Kuta Kuta
へ e
いきま すか。 ikimasu ka.
102
dengan apa tempat part „Naik apa pergi ke Kuta‟.
pergi.
4) よしださん は あかい ぼし を Yoshidasan wa akai boshi o nama orang part merah topi part „Ibu Yoshida memakai topi merah‟.
かぶっています。 kabutte imasu. memakai. .
5) リタさん は Kuta で めがね と サンダル を かいました。 Rita san wa Kuta de megane to sandaru o kaimashita. nama part tempat part kacamata part sandal part membeli. „Rita membeli kacamata dan sandal di Kuta‟. Hasil temuan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar, yaitu pada kalimat nomor (1) terdapat kata kono, artinya‟ini‟ sama dengan kore. Hanya pemakaiannya berbeda kalau kata kono harus langsung diikuti oleh benda, contoh kono megane artinya „kacamata ini‟. Di pihak lain kata kore boleh berdiri sendiri, contoh kore wa hon desu, artinya „ini adalah buku‟. Kalimat nomor (2) Kuta は Sanur よりにぎやかです. (Kuta wa Sanur yori nigiyaka desu). Artinya, „Pantai Kuta lebih ramai dari pada Pantai Sanur‟. Kata yori, artinya „daripada‟ membandingkan dua hal dan biasanya diikuti oleh kata sifat. Contoh lain Agung san wa Batur san yori takai desu. Artinya, „Gunung Agung lebih tinggi daripada Gunung Batur‟. Kalimat nomor (5) mengandung partikel wa/は menyertai Rita san penanda subjek, partikel de/で menyertai Kuta berarti „di‟, menunjukkan kata keterangan tempat, yakni di Kuta, partikel to/と berarti „dan‟ untuk menyambung objek lebih dari satu benda, juga terdapat partikel o/を menunjukkan objek dari kata kerja transitif. Pola kalimat tersebut adalah リタさんは Kuta でめがねとサ
ンダルをかいました。(Rita san wa Kuta de megane to sandaru o kaimashita). Artinya, „Rita membeli kaca mata dan sandal di Kuta‟. Struktur kalimat bahasa
103
Jepang S-K-O-P, Rita san
unsur subjek, Kuta unsur keterangan, megane to
sandaru unsur objek dan membeli unsur predikat. Presentasi terakhir hasil pembelajaran tentang pemakaian partikel dan pola kalimat bahasa Jepang disampaikan oleh Yudasan kelompok 7 sebagai berikut: 1) わたし は Kuta を Watashi wa Kuta o saya part tempat part „Saya suka Pantai Kuta‟.
すきです suki desu suka
2) てんき が よければ Kuta で スキー を Tenki ga yokereba, Kuta de ski o cuaca part kalau bagus tempat part ski part „Kalau cuaca bagus, saya ingin main ski di Kuta‟. 3) Kuta で さしん Kuta de sashin tempat part foto „Berfoto di Kuta‟.
を o part
したいです shitai desu ingin main
とりました torimashita memotret
4) わたし は Kuta で いろーいろな もの を かいました Watashi wa Kuta de iro-irona mono o kaimashita saya part tempat part macam-macam barang part membeli „Saya membeli bermacam-macam barang di Kuta‟. 5) ともだち は Kuta の ホテル に とまっています Tomodachi wa Kuta no hoteru ni tomatte imasu teman part tempat part hotel part menginap „Kawan saya menginap di hotel Kuta‟. Yudasan menyampaikan hasil belajar kelompok mereka dengan gaya dan tutur kata yang sangat menarik, sehingga kelompok lain dengan mudah dapat mengerti. Ketika kesempatan untuk bertanya diberikan kepada kawan-kawannya, tidak ada mahasiswa yang bertanya. Barangkali karena kelompok 7 dapat giliran terakhir presentasi sehingga mereka dapat mempersiapkan materi hasil pembelajaran dengan sangat sempurna. Karena tidak ada yang bertanya, untuk
104
menghemat waktu dosen pendamping menyela dan mengoreksi hasil belajar kelompok 7. Pada kalimat nomor 1 terdapat sedikit kesalahan pemakaian partikel pada bagian Kuta o suki, seharusnya yang betul adalah Kuta ga suki yang lainnya semua sudah betul. Akhirnya, Yudasan menyimpulkan hasil pembelajaran penggunaan partikel dan pola kalimat bahasa Jepang seperti di bawah ini. 1) わたし は Kuta が すきです Watashi wa Kuta ga suki desu. saya part tempat part suka „Saya suka Pantai Kuta‟.
.
2) てんき が よければ Kuta で スキー を したいです。 Tenki ga yokereba, Kuta de ski o shitai desu. cuaca part kalau bagus tempat part permaian part ingin bermain. „Kalau cuaca bagus, saya ingin bermain ski di Kuta‟. 3) Kuta で さしん Kuta de sashin tempat part foto „Berfoto di Kuta‟.
を o part
とりました。 torimashita. memotret.
4) わたし は Kuta で いろーいろな もの を Watashi wa Kuta de iro-irona mono o saya part tempat part bermacam barang part „Saya membeli bermacam-macam barang di Kuta‟.
かいました。 kaimashita. membeli.
5) ともだち は Kuta の ホテル に とまっています。 Tomodachi wa Kuta no hoteru ni tomatte imasu. teman part tempat part hotel part menginap. „Kawan saya menginap di hotel Kuta‟. Bagi mahasiswa pemula belajar bahasa Jepang hendaknya dengan sungguh-sungguh belajar tentang pemakaian partikel. Kesalahan pemakaian partikel akan mengakibatkan kesalahan pada makna kalimat sehingga pembelajar tidak dapat menggunakan bahasa Jepang dengan baik dan benar. Misalnya, hasil temuan kalimat nomor (1) わたしは Kuta がすくです (watashi wa Kuta ga suki
105
desu.
Artinya,
„saya suka Pantai Kuta‟. Partikel ga/ が di samping untuk
menyatakan subjek juga dipakai untuk mengungkapkan kesanggupan atau potensi seseorang, keinginan, dan lain-lain. Contoh watashi wa nihongo ga dekimasu. Artinya, „saya bisa bahasa Jepang‟. Pemakaian partikel de/で , ni/に , o/を, harus hati-hati karena dalam konteks kalimat tertentu bisa berarti sama, yakni “di” dan akan mempunyai arti berbeda dalam konteks kalimat lainnya. Penjelasan mengenai pemakaian partikel de/で , ni/に , o/を sudah banyak diuraikan pada kalimat-kalimat hasil temuan belajar kelompok lainnya. Dengan berakhirnya proses pembelajaran tindakan inti siklus I mengenai pokok bahasan pemakaian partikel dan pola kalimat bahasa Jepang dengan metode CTL, peneliti memberikan apresiasi
kepada mahasiswa. Apresiasi
diberikan karena mereka dengan sungguh-sungguh belajar, berdiskusi antara kelompok dan pada akhirnya dapat menemukan dan mengonstruksi hasil pembelajaran sebagaimana yang sudah dideskripsikan oleh tiap-tiap kelompok. Mengingat waktu sudah berakhir, pembelajaran tata bahasa Jepang dasar mengenai pokok bahasan unsur – unsur kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang pada siklus I akan dilanjutkan pada Rabu, 26 November 2014. Pada proses pembelajaran berikutnya diuraikan sebagai berikut: a) Tindakan perencanaan sama dengan proses pembelajaran pada tahap pertemuan pertama. b) Tindakan pelaksanaan tetap masih terdiri atas tiga kegiatan awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan akhir.
kegiatan, yakni (1)
106
1) Kegiatn awal Pada tahap ini prosedur hampir sama dengan tindakan terdahulu hanya peneliti menegaskan kembali dan memotivasi mahasiswa untuk meningkatkan tanya jawab dan kerja kelompok. 2) Kegiatan inti Pada tahap ini kembali peneliti menayangkan video tentang konteks kawasan wisata Kuta dan menjelaskan secara singkat dan menekankan hal –hal yang belum dimengerti oleh mahasiswa, terutama pokok bahasan unsur – unsur dan makna kalimat bahasa Jepang dengan metode kontekstual. Penjelasan ditekankan pada konjugasi kata kerja. Setelah memberikan penjelasan kembali menyuruh mahasiswa
belajar kelompok seperti kelompok semula, hanya
mahasiswa yang nantinya bertugas presentasi digilir untuk memberikan kesempatan latihan pada mahasiswa lainnya. Kemudian peneliti dibantu dosen pendamping membagikan tugas agar dikerjakan sesuai dengan petunjuk pada kertas lembaran kerja. Selanjutnya tiaptiap kelompok mempresentasikan hasil temuan pembelajaran di depan kelas. Kelompok 1, yaitu Agus san mempresentasikan hasil belajar tentang unsur kalimat dan makna kalimat kelompok mereka seperti di bawah ini. おお
1) Kuta の なみ は 大きいです Kuta no nami wa ookii desu tempat part ombak part besar „Ombak Pantai Kuta besar‟. 2) かれ は バクソ Kare wa bakso ia part bakso „Ia makan bakso‟.
を wo part
た
食べます tabemasu makan
107
3) あそこ で およがないでください Asoko de oyoganaide kudasai di sana part berenang jangan „Jangan berenang di sana‟. あつ
4) 厚い ですから、 かさ を Atsui desu kara kasa wo panas karena payung part „Karena panas tolong pinjamkan topi‟.
かしてください kashite kudasai pinjamkan
5) ゆこさん は おちゃ を Yukosan wa ocha o nama part teh part minum „Yuko minum teh‟.
のみます nomimasu
Unsur predikat kalimat no 1 unsur predikatnya adalah kata sifat ookii artinya‟ besar‟. Tergolong kata sifat berakhiran i atau keiyoshi. Predikat kalimat no 2 adalah kata kerja tabemasu artinya‟ makan‟ termasuk kata kerja kelompok dua. Predikat kalimat nomor 3 adalah kata oyoganaide kudasai, artinya „jangan berenang‟ mengandung makna larangan. Predikat kalimat nomor 4 adalah kata kashite kudasai , artinya ‟pimjamkanlah‟ bermakna kalimat perintah. Agus san dengan lugas menjelaskan
hasil belajar kelompok mereka sehingga mudah
dimengerti oleh kawan-kawannya. Ketika diberikan kesempatan bertanya tidak ada yang bertanya. Peneliti hanya
menegaskan bahwa kelompok 1 telah
menemukan hasil belajar predikat kata sifat dan kata kerja. Begitu pula makna kalimat nomor 3 adalah larangan dan nomor 4 adalah bermakna perintah. Akhirnya, Agussan menyimpulkan hasil belajar kelompok mereka sebagai berikut. おお
1) Kuta の なみ は 大きいです。 Kuta no nami wa ookii desu. tempat part ombak part besar. „Ombak Pantai Kuta besar‟.
108
た
2) かれ は bakso を 食べます。 Kare wa bakso wo tabemasu. ia part makanan part makan. „Ia makan bakso‟. 3) あそこ で およがないでください。 Asoko de oyoganaide kudasai. sana part jangan berenang „Jangan berenang di sana‟. あつ
4) 厚い ですから、かさ を かしてください。 Atsui desu kara kasa wo kashite kudasai. panas karena payung part pinjamkan. „Karena panas, tolong pimjamkan topi‟. 5) ゆこさん は おちゃ Yukosan wa ocha nama orang part teh „Yuko minum the‟.
を o part
のみます。 nomimasu. minum.
Kata ookii artinya „besar‟ termasuk kata sifat berfungsi sebagai predikat. た
Kalimat nomor (2) かれは bakso を食 べます (kare wa bakso wo tabemasu) artinya‟ ia makan bakso‟. Kata kerja tabemasu adalah predikat. Selain itu, ada lagi kalimat nomor (5)ゆこさんはおちゃをのみます(Yukosan wa ocha o nomimasu) artinya „Yuko minum the‟. Kata kerja nomimasu juga termasuk predikat. Makna kalimat perintah pada hasil belajar ini adalah kalimat nomor (4) かさをかしてく
ださい( kasa wo kashite kudasai) artinya „pinjamkanlah saya topi‟. Caranya kata kerja bentuk te (tekei) diikuti kudasai, merupakan kalimat perintah sopan.
Hasil belajar kelompok 2 dipresentasikan oleh Supardiana san seperti di bawah ini.
109
み
1) Kuta で sunset を よく見ました Kuta de sunset wo yoku mimashita tempat part mth terbenam part baik melihat „Saya melihat matahari akan terbenam di Kuta‟. 2) ゆめい は Kuta です Yumei wa Kuta desu terkenal part tempat kopula „Pantai Kuta terkenal‟. 3) どうぞ ビール Douzo biiru silahkan bir „Silakan minum bir‟.
を o part
のんてください nonte kudasai minum silahkan
4) Kuta で にほんじん が Kuta de nihonjin ga tempat part orang Jepang part „Di Kuta orang Jepang ada banyak‟.
おぜいくいます ozeiku imasu banyak ada
5) たけむらさん は にほんじん です Takemura san wa nihonjin desu nama orang part orang Jepang kopula „Tuan Takemura orang Jepang‟. Setelah presentasi Lestarisan kelompok 7 mengoreksi kalimat nomor 2, yaitu pola kalimatnya salah sehingga unsur kalimat juga salah, strukturnya terbalik. Seharusnya Kuta wa yumei desu. Predikat kalimat tersebut adalah kata yumei termasuk jenis kata sifat berakhiran na/な、artinya „terkenal‟. Ekasan kelompok lain juga mengoreksi kalimat nomor 3, douzo biru o nonte kudasai. Tidak ada konjugasi bahasa Jepang
kata nonte, yang benar adalah nonde. Kesalahan
mengubah kata kerja akan menyebabkan kesalahan makna kalimat. Dari hasil diskusi antar kelompok akhirnya Supardianasan menyimpulkan hasil temuan belajar mereka sebagai berikut:
110
み
1) Kuta で sunset を よく見ました。 Kuta de sunset wo yoku mimashita. tempat part mth akan terbenam part melihat dengan baik. „Saya dapat melihat dengan baik mth akan terbenam di Kuta‟. 2) Kuta は ゆめい Kuta wa yumei tempat part terkenal „Pantai Kuta terkenal‟.
です。 desu. kopula
3) どうぞ ビール Douzo biiru silahkan bir „Silahkan minum bir‟.
のんでください。 nonde kudasai. minumlah.
を o part
.
4) Kuta には にほんじん が おぜいくいます。 Kuta ni wa nihonjin ga ozeiku imasu. tempat part orang jepang part ada banyak. . „Di Kuta orang Jepang ada banyak‟. 5) たけむらさん は にほんじん です。 Takemura san wa nihonjin desu. nama orang part orang Jepang kopula „Tuan Takemura orang Jepang‟. み
Unsur predikat kalimat nomor (1) adalah kata kerja よく見ました (yoku mimashita), artinya „melihat dengan baik‟. Kata sifat yoi berfungsi menerangkan kata kerja maka akan berubah menjadi yoku, artinya „baik‟. Kata kerja mimashita merupakan bentuk lampau. Kalimat nomor (2) Kuta はゆめいです (Kuta wa yumei desu), artinya „Pantai Kuta terkenal‟. Kata yumei artinya‟ terkenal‟, berfungsi sebagai unsur predikat dari kata sifat. Kalimat nomor (3) どうぞビール
をのんでくださ (douzo biiru o nonde kudasai). Artinya „silakan minum bir‟ merupakan kalimat perintah. Kata nonde bentuk kamusnya nomu berakhiran mu, kemudian berubah menjadi nde, disertai kata kudasai. Akhirnya terbentuk kata
111
kerja berkonjugasi menjadi nonde kudasai, yaitu
kalimat bermakna „perintah
sopan‟. Presentasi hasil belajar unsur kalimat dan makna kalimat dilanjutkan oleh kelompok 3, yaitu Evilayantisan sebagai berikut. 1) てんき が わるい ですから、Kuta で スキをしらない Tenki ga warui desu kara, Kuta part ski o shiranai cuaca part buruk part tempat ski tidak bermain „Cuaca karena buruk , jangan bermain ski di Kuta‟. 2) Kuta は きれいな おもしろい Kuta wa kireina omshiroi tempat part indah menarik. „Pantai Kuta indah dan menarik‟. 3) Haha は ドリアン Haha wa dorian Ibu part buah durian „Ibu membeli buah durian‟.
を o part
4) Yoko さん は ホテル に Yoko san wa hoteru ni nama part hotel part „Tuan Yoko menginap di hotel‟. 5
あそこ で 字土砂 を Asoko de jidosha o di sana part mobil part Mobil tidak boleh parkir di sana.
です desu kopula
かいました kaimashita membeli とまっています tomatte imasu menginap とめてはいけません tomete wa ikemasen berhenti tidak boleh
Sesudah presentasi Krisnasan kelompok 4 menanyakan kalimat nomor 1. Kalau maksud kalimat tersebut seperti terjemahannya, kalimat nomor 1 itu salah. Kata ski o shiranai artinya tidak bermain termasuk kalimat negatif. Supaya bermakna larangan seharusnya suruna sehingga kalimat nomor 1 menjadi tenki ga warui desu kara, Kuta で ski o suruna. Pendapat Krisna san disetujui oleh kelompok lainnya. Koreksi lain disampaikan Yudi san yaitu kalimat nomor 2 dan
112
4. Cara menyambung kata sifat pada kalimat nomor 2 salah. Seharusnya kata sifat kirei ditambah de/で karena kata sifat keiyodoushi. Di pihak lain kalimat nomor 4 hasil temuan kelompok 3 tidak sesuai dengan konteks yang dibahas. Kalimat tersebut adalah bentuk sedang, artinya sedang menginap. Padahal, pembahasan saat ini adalah makna kalimat larangan dan perintah. Seharusnya kalimat tersebut menjadi tomarinasai artinya „silakan menginap‟ bentuk perintah atau tomaruna artinya „jangan menginap‟ bentuk larangan. Semua kelompok sependapat dengan Yudi san. Dosen pendamping juga membenarkan. Akhirnya, berdasarkan koreksi dan diskusi bersama hasil temuan belajar yang benar adalah sebagai berikut. 1) てんき が わるい ですから、Kuta で スキ を するな。 tenki ga warui desu kara, Kuta de ski o suruna. cuaca part buruk karena tempat part ski part larangan bermain. „Karena cuaca buruk , jangan bermain ski di Kuta‟. 2) Kuta は きれい で Kuta wa kirei de tempat part indah part „Pantai Kuta indah dan menarik‟.
おもしろい です。 omoshiroi desu. menarik
3) Haha は ドリアン Haha wa dorian Ibu part durian Ibu membeli buah durian.
かいました。 kaimashita. membeli.
を o part
4) Yoko さん は ホテル に Yoko san wa hoteru ni nama orang part hotel part „Tuan Yoko silahkan menginap di hotel‟. 5) あそこ で 字土砂 を Asoko de jidosha o sana part mobil part „Tidak boleh parkir mobil di sana‟.
とまりなさい。 tomarinasai. menginaplah.
とめてはいけません。 tomete wa ikemasen. tidak boleh parkir.
113
Kata き れ い で お も し ろ い ( kireide omoshiroi), artinya „indah‟ dan „menarik‟ adalah unsur predikat dari kata sifat. Kalimat nomor (3) ドリアンをか
い ま し た ( dorian o kaimashita) artinya „membeli durian‟. Predikat kalimat tersebut adalah kata kerja kaimashita bentuk lampau. Kalimat nomor (1)スキをす
るな(ski o suruna) adalah „larangan untuk bermain ski‟. Kalimat nomor (5)とめ てはいけません( tomete wa ikemasen), tidak boleh parkir juga termasuk makna kalimat larangan, hanya cara mengungkapkannya berbeda. Pada kalimat nomor (1) kata kerja bentuk kamus ditambah na/な , sedangkan pada
kalimat nomor
(5) kata kerja bentuk te/て ditambah wa ikemasen. Cara lain seperti kata kerja bentuk nai/ない ditambah kudasai. Selanjutnya presentasi oleh Juliartawansan kelompok 4 sebagai berikut: 1) Hard rock へ あそび に Hard rock e asobi ni tempat part bermain part „Pergi bermain – main ke Hard rock‟.
いきます ikimasu pergi
2) このめがね は リナさん Kono megane wa リナさん ini kacamata part nama „Kaca mata ini milik Rina‟.
のです no desu milik
3) Kuta と Jimbaran のたべもの と どちら が やすい ですか Kuta to Jimbaran no tabemono to dochira ga yasui desu ka tempat part tempat makanan yang mana murah part „Makanan di Kuta dengan di Jimbaran murah yang mana‟. 4) ここ で もの を Koko de mono o di sini part benda part „Tidak boleh jualan di sini‟.
うったはいけません utta wa ikemasen jualan tidak boleh
114
5) Kuta で ばんごはん を Kuta de bangohan o tempat part malam part „Makan malam di Kuta‟.
食べます tabemasu makan
Juliartawan san menjelaskan unsur predikat kalimat nomor 1 adalah kata kerja, yakni asobi ni ikimasu, artinya „pergi bermain‟. Unsur predikat kalimat nomor 2 adalah kata benda yakni Rinasan no, artinya „kepunyaan Rina‟. Unsur predikat kalimat nomor 3 adalah kata sifat yakni yasui, artinya „murah‟. Kelompok 4 menulis satu contoh kalimat yang mengandung makna larangan yakni kalimat koko de mono o utte wa ikemasen. Artinya, adalah „tidak boleh jualan di sini‟. Juliartawan san menguasai materi hasil pembelajaran kelompok mereka, sehingga dapat dipresentasikan dengan lancar dan betul. Kelompok lain dapat mengerti penjelasan Juliartawan san sehingga mahasiswa tidak ada yang bertanya. Akan tetapi dosen pendamping menemukan kesalahan pada kalimat nomor 4, yakni pada kata utta wa ikemasen. Dosen pendamping langsung menjelaskan bahwa kata utta dari kaidah bahasa Jepang tidak benar, seharusnya yang betul adalah utte . Yang berarti „tidak boleh jualan‟. Setelah melalui revisi , hasil pembelajaran kelompok 4 adalah seperti di bawah ini. 1) Hardrok へ あそび Hardrok e asobi tempat part bermain Pergi main – main ke Hardrok.
に ni part
いきます。 ikimasu. pergi.
2) この めがね は Kono megane wa ini kacamata part „Kaca mata ini milik Rina‟.
リナさん リナさん Rina
のです。 no desu. milik.
115
3) Kuta と Jimbaran のたべもの と どちら が やすいですか。 Kuta to Jimbaran no tabemono to dochira ga yasui desu ka. tempat part tempat makanan part yg manakah part murah. „Makanan di Kuta dengan di Jimbaran murah yang mana‟. 4) ここ で もの Koko de mono sini part barang „Tidak boleh jualan di sini‟
を o part
うってはいけません。 utte wa ikemasen. dilarang jualan.
5) Kuta で ばんごはん Kuta de bangohan tempat part malam „Makan malam di Kuta‟.
を o part
食べます。 tabemasu. makan.
Unsur predikat kalimat nomor (1) adalah kata kerja あそびにいきます (asobi ni ikimasu). Yang berarti „pergi untuk bermain‟. Unsur predikat kalimat nomor (5) juga kata kerja, yakni 食べます (tabemasu), artinya „makan‟. Unsur predikat kalimat nomor (2) kata benda, yakni Rina san. Kata sifat やすい (yasui) artinya „murah‟ pada kalimat nomor (3) yang menjadi predikat. Kalimat ここでも
のをうってはいけません (koko de mono o utte wa ikemasen). Pada kata kerja bentuk te/て (utte) disertai wa ikemasen mengungkapkan larangan. Artinya,‟ tidak boleh jualan‟. Presentasi berikutnya kelompok 5 oleh Putrisan , hasil temuan belajar mereka adalah seperti berikut. 1) ジョース を のみませんか Jousu o nomimasen ka minuman part ajakan minum „Bagaimana kalau minum jus‟. 2) バイク で Kuta へ いきます Baiku de Kuta e ikimasu motor part tempat part pergi „Pergi ke Kuta naik sepeda motor‟.
116
3) きょねん Kuta で ともだち と およいだことがあります Kyonen Kuta de tomodachi to oyoida koto ga arimasu tahun lalu tempat part teman part berenang pernah „Tahun lalu pernah berenang bersama teman di Kuta‟. おお
こども
4) 大きい なみ ですから、 子供 が およぐな Ookii nami desu kara, kodomo ga oyoguna besar ombak karena anak part jangan berenang „Karena ombak besar, ana – anak jangan berenang‟. 5) のど が 渇いて、どうぞ aqua Nodo ga kawaite, douzo aqua tenggorokan haus tolong aqua „Saya haus tolong belikan aqua‟.
を o part
かってください katte kudasai belikan
Seusai presentasi mahasiswa Artayasasan kelompok 1 bertanya, yaitu mengapa kelompok 5 tidak menemukan atau membahas unsur – unsur kalimat sesuai dengan yang ditugaskan. Pertanyaan Artayasa san langsung dijawab oleh Putri san. Sebenarnya apa yang ditanyakan oleh Artayasa san sudah terdapat pada tiap – tiap kalimat yang kami sampaikan, hanya seluruh unsur kalimat yang disampaikan termasuk jenis kata kerja yang sudah berkonjugasi. Seperti kalimat nomor 1, unsur predikatnya adalah nomimasen disertai ka. Kata nomimasen dalam konteks kalimat ini bukan kata kerja negatif, melainkan ajakan sopan. Perlu diingat bahwa unsur predikat kalimat boleh kata kerja, kata sifat, dan kata benda tergantung pada maksud si pembicara. Demikian yang dapat kami sampaikan, bagaimana pendapat teman lainnya. Karena lama diam, dosen pendamping membenarkan penjelasan Putrisan kelompok 5. Karena keterbatasan waktu bila ada pertanyaan lagi, akan dibahas pada kesempatan lain.
Putrisan akhirnya
menyimpulkan hasil pembelajaran kelompok mereka sebagai berikut.
117
1) ジョース を のみませんか Jousu o nomimasen ka. minuman part menawarkan. Bagaimana kalau minum jus. 2) バイク で Kuta へ いきます。 Baiku de Kuta e ikimasu. motor part tempat part pergi. „Pergi ke Kuta naik sepeda motor‟. 3) きょねん Kuta で ともだち と およいだことがあります。 Kyonen Kuta de tomodachi to oyoida koto ga arimasu. tahun lalu tempat part teman part pernah berenang. „Tahun lalu bersama teman pernah berenang di Kuta‟. おお
こども
4) 大きい なみ ですから、子供 が およぐな。 Ookii nami desu kara, kodomo ga oyoguna. besar ombak karena, anak part larangan berenang. . „Karena ombak besar, anak – anak jangan berenang‟. 5) のど が 渇いて、どうぞ aqua を Nodo ga kawaite, douzo aqua o tenggorokan part haus tolong air part „Saya haus tolong belikan aqua‟.
かってください。 katte kudasai. belikan.
Kata kerja のみませんか ( nomimasen ka) artinya‟ mengajak minum‟ dan kata いきます ( ikimasu) artinya „pergi‟. Kata kerja tersebut berfungsi sebagai こども
predikat. Kalimat nomor (4) 子供 がおよぐな ( kodomo ga oyoguna) artinya „anak-anak jangan berenang‟ merupakan kalimat bermakna larangan. Caranya kata kerja bentuk kamus dibubuhi kata na/ な untuk mengungkapkan larangan. Berbeda halnya dengan kata kerja bentuk te/ て dibubuhi kata kudasai akan mengungkapkan makna kalimat perintah. Seperti kalimat nomor (5) のどが渇い
て、どうぞ aqua をかってください (Nodo ga kawaite, douzo aqua o katte kudasai), artinya „saya haus tolong belikan aqua‟.
118
Presentasi hasil belajar berikutnya kelompok 6 disajikan oleh Amidah san seperti di bawah. 1) Kuta の みち が Kuta no michi ga tempat part jalan part „Jalan di Kuta sering mace‟t.
よくこんでいます yoku konde imasu sering macet
2) Kuta の しゃんぽしたこと Kuta no shanpo shita koto tempat part jalan-jalan Jalan – jalan di Kuta menyenangkan.
は wa part
たのしかったです tanoshikatta desu senang
やす
3) 休み とき は Kuta に おきゃくさま が おぜくいます Yasumi toki wa Kuta ni okyakusama ga ozeku imasu liburan ketika part tempat part wisatawan part banyak ada „Ketika liburan ada banyak wisatawan di Kuta‟ こども
4) 子供 が Kuta で ひとり Kodomo ga Kuta de hitori anak part tempat part sendiri Anak – anak jangan mandi sendiri di Kuta.
で de part
あびるな abiruna jangan mandi
5) Kuta まで ついたら、私 に Kuta made tsuitara, watashi ni tempat sampai kalau tiba saya part „Kalau sudah tiba di Kuta , telponlah saya‟.
でんわしなさい denwa shinasai telponlah
Amidahsan kelompok 6 menjelaskan kalimat nomor 1 bahwa maksud si pembicara menegaskan topik, yakni jalan di Kuta , maka partikel yang digunakan adalah ga, dan unsur unsur kalimat berpredikat kata kerja. Kalimat nomor 4 adalah termasuk kalimat larangan . Supartini san kelompok 7 mengoreksi kalimat nomor 2 yaitu tertulis Kuta ni shanpo shita koto wa tanoshikatta desu. Menurut aturan gramatika bahasa Jepang partikel ni/に salah, yang benar adalah partikel o/を karena kata kerja shampoo suru termasuk jenis kata kerja gerak perpindahan. Kalimat nomor 4
119
bermakna larangan, yaitu kata kerja kamus disertai na/な. Kalimat nomor 5 adalah kalimat bermakna perintah dengan mengganti masu/ます dengan kata nasai/なさ
い . Kelompok 6 mengakui kesalahannya, padahal baru saja mempelajari pemakaian
partikel.
Berdasarkan
hasil
diskusi
akhirnya
kelompok
6
menyimpulkan hasil belajar mereka seperti di bawah ini . 1) Kuta の みち が Kuta no michi ga tempat part jalan part „Jalan di Kuta sering macet‟.
よくこんでいます。 yoku konde imasu. sering macet.
2) Kuta を しゃんぽしたこと は Kuta o shanpo shita koto wa Tempat part jalan – jalan part „Senang jalan-jalan di Kuta‟.
たのしかったです。 tanoshikatta desu. senang.
やす
3) 休み とき は Kuta に おきゃくさま が おぜくいます。 Yasumi toki wa Kuta ni okyakusama ga ozeku imasu. libur ketika part tempat part wisatawan part ada banyak. „Ketika liburan ada banyak wisatawan di Kuta‟. こども
4) 子供 が Kuta で ひとり で あびるな。 Kodomo ga Kuta de hitori de abiruna. anak part tempat part sendiri part larangan bermain. „Anak – anak jangan mandi sendiri di Kuta‟. 5) Kuta まで ついたら、私 に Kuta made tsuitara, watashi ni tempat part kalau tiba saya part „Kalau sudah tiba di Kuta , telponlah saya‟.
でんわしなさい。 denwa o shinasai. telponlah.
Hasil temuan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar di atas dilihat dari unsur predikat kalimat terbentuk dari kata sifat dan kata kerja. Unsur kata sifat tampak pada kalimat nomor (2), yakni たのしかった (tanoshikatta), artinya „senang‟ dalam bentuk lampau. Predikat kata kerja tampak pada kalimat nomor (3) おぜくいます(ozeku imasu) artinya „ada banyak‟ dalam hal ini benda hidup,
120
yakni wisatawan. Untuk menyatakan ada benda mati dipakai kata kerja arimasu. こども
Kalimat bermakna larangan tampak pada nomor (4) 子供が Kuta でひとりであ
びるな (kodomo ga Kuta de hitori de abiruna). Kata kerja abiruna bentuk kamus adalah abiru, artinya „mandi‟ termasuk kata kerja kelompok kedua diikuti na/な untuk mengungkapkan makna larangan. Presentasi terakhir mengenai hasil belajar unsur kalimat dan makna kalimat adalah kelompok 7. Presentasi disampaikan oleh Iswara san sebagai berikut. 1) Gede さん は にほんご の Gedesan wa nihongo no nama part bahasa Jepang part gaid „Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟
ガイドです gaido desu
2) たけむらさん は にほんじんです Takemura san wa nihonjin desu nama part orang Jepang „Ibu Takemura adalah orang Jepang‟. 3) どうぞ いっしょに Douzo isshoni silahkan bersama „Silakan foto bersama‟.
しゃしん shashin foto
を wo part
とてください totte kudasai potretlah
4) よる Kuta を しゃんぽし に いけば、き を つけてください Yoru Kuta wo shampo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai malam tempat part jalan-jalan part kalau pergi berhati-hatilah „Kalau jalan-jalan di Kuta malam hari, hati-hatilah‟. 5) Kuta の 食べ物 は おいしいです Kuta no tabemono wa oishii desu tempat part makanan part enak „Makanan di Kuta enak tetapi mahal‟.
たかいです takai desu mahal
Iswarasan menjelaskan unsur predikat kalimat nomor 1 dan 2 adalah kata benda dan predikat kalimat nomor 5 adalah kata sifat. Kalimat nomor 3 dan 4
121
adalah kata kerja yang sudah mengalami perubahan sesuai dengan makna kalimat perintah. Mungkin karena kelompok 7 dapat presentasi terakhir, sehingga kelompok lain dapat dengan mudah mengerti pokok bahasan yang disampaikan. Sesungguhnya kelompok 7 membuat kesalahan tetapi tidak terkotrol oleh kelompok lain. Pada kesempatan ini peneliti langsung menunjukkan kalimat nomor 3, yaitu kata tote kudasai dan kalimat nomor 5 kurang partikel ga. Kata tote seharusnya totte, doubel tte. Bentuk kamusnya toru artinya „memotret‟ termasuk jenis kata kerja kelompok satu atau godan doushi. Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan koreksi peneliti, maka hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan pokok bahasan unsur – unsur dan makna kalimat yang benar adalah sebagai berikut. 1) Gede さん は にほんご の Gedesan wa nihongo no nama orang part bahasa Jepang part „Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟
ガイドです。 gaido desu. gaid.
2) たけむらさん は にほんじんです。 Takemura san wa nihonjin desu. nama orang part orang Jepang. „Ibu Takemura adalah orang Jepang‟. 3) どうぞ いっしょに Douzo isshoni silahkan bersama „Silakan foto bersama‟.
しゃしん shashin poto
を wo part
とってください。 totte kudasai. ambillah.
4) よる Kuta を しゃんぽし に いけば、きをつけてください。 Yoru Kuta wo shampo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai. malam tempat jalan-jalan part kalau pergi hati-hatilah. „Kalau jalan-jalan di Kuta malam hari,berhati-hatilah‟. 5) Kuta の 食べ物 は おいしいです が たかいです。 Kuta no tabemono wa oishii desu ga takai desu. tempat makanan enak tetapi mahal.
122
„Makanan di Kuta enak, tetapi mahal‟. Unsur- unsur predikat kalimat kelompok 7 terdiri atas kata benda yakni kalimat nomor (1) Gede さんはにほんごの ガイドです (Gedesan wa nihongo no gaido desu). Artinya, „Pak Gede adalah gaid bahasa Jepang‟. Gaid bahasa Jepang adalah unsur predikat kata benda. Unsur predikat kalimat nomor (5) adalah kata sifat おいしい (oishii), artinya „enak‟ dan kata sifat たかい (takai) artinya „mahal‟. Hasil pembelajaran makna kalimat perintah tampak kalimat nomor (3) yakni kata とってください (totte kudasai) artinya „fotolah‟ dan (4), kata きをつ
けてください (hati-hatilah). Untuk makna kalimat perintah kata kerja berubah menjadi bentuk te(tekei) kemudian disertai kudasai untuk bahasa sopan. Dengan berakhirnya presentasi kelompok 7, berakhir pula pelaksanaan kegiatan inti pada siklus I. Pada kesempatan ini peneliti dibantu oleh dosen pendamping menyampaikan kesan bahwa mahasiswa semester III Sastra Jepang memang dengan sungguh – sungguh mempunyai semangat belajar yang tinggi. Mereka aktif berdiskusi dan tercipta suasana proses pembelajaran yang menarik dan menyenangkan sehingga dapat menemukan hasil belajar sebagaimana yang sudah disampaikan pada saat presentasi. Langkah kegiatan pembelajaran dengan metode kontekstual ( CTL )
benar – benar terlaksana pada saat proses
pembelajaran di dalam kelas.
6) Kegiatan akhir siklus I Pada akhir kegiatan pembelajaran, dilakukan hal –hal di bawah ini.
123
a) Peneliti memberikan penjelasan singkat dan menyimpulkan secara umum materi pelajaran yang sudah dipresentasikan. b) Peneliti menyuruh mahasiswa mengerjakan latihan – latihan sebagai pekerjaan rumah yang terdapat pada buku Nihongo no Minna II dai 33 ka. c) Peneliti memotivasi mahasiswa untuk rajin belajar dan akhirnya menutup perkuliahan dengan menyampaikan kata salam.
4.3.1.3 Pengamatan Tindakan Siklus I Selama berlangsungnya proses kegiatan pembelajaran pada tindakan siklus I ini peneliti bersama dosen pendamping (observer) melakukan pengamatan terhadap aktifitas mahasiswa dalam proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual (CTL). Penilaian pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan lembar penilaian yang telah disiapkan . Data temuan pengamatan yang dikumpulkan peneliti dan observer digunakan sebagai bahan untuk melakukan refleksi atau evaluasi. Adapun indikator yang dinilai dan dijadikan ukuran hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar adalah sebagai berikut: 1) Perhatian, motivasi dan tanggung jawab mahasiswa untuk belajar. 2) Pengembangan ide atau gagasan pengalaman nyata yang dimiliki mahasiswa 3) Kemampuan dan kecekatan mahasiswa dalam menemukan kontek materi pembelajaran. 4) Kemampuan dan kecekatan mahasiswa mengontruksi hasil pembelajaran kelompok.
124
5) Tingkat keaktifan mahasiswa dalam belajar kelompok atau kekompakan kerja sama antar anggota kelompok belajar untuk mengerjakan tugas. 6) Keaktifan mahasiswa dalam bertanya atau mengkritisi hasil presentasi pembelajaran. 7) Kelancaran atau kepekaan mahasiswa dalam merespon permasalahan yang timbul pada saat proses pembelajaran berlangsung 8) Tertib, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran 9) Kemampuan mahasiswa dalam menggunakan waktu 10) Kemampuan mahasiswa untuk mempresentasikan hasil pembelajaran kelompok. Langkah berikutnya adalah analisis kualitatif hasil pengamatan proses aktivitas pembelajaran tata bahasa Jepang dasar pada siklus I dengan penerapan metode kontekstual (CTL) bagi mahasiswa semester III STIBA Saraswati Denpasar. Lembar pengamatan akivitas mahasiswa dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual
pada siklus I yang telah
disiapkan diisi oleh dosen pendamping sebagai observer pengamat. Penilaian yang
digunakan
pada
lembar
pengamatan
aktivitas
mahasiswa
dalam
pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode kontekstual terdiri atas empat kategori, yakni baik sekali, baik, cukup, dan kurang. Pengisisan lembar jawaban dengan memberikan tanda cek atau contreng (√) sesuai dengan pengamatan observer pada kolom – kolom yang tersedia. Setelah selesi mengamati proses pembelajaran dengan metode kontekstual (CTL) , pengamat
125
menulis saran – saran untuk peningkatan hasil belajar berikutnya. Adapun hasil pengamatan hasil observer pada siklus I dapat diuraikan sebagai berikut.
Tabel 4.2 Pengamatan Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Menerapkan Metode Kontekstual (CTL) pada Siklus I
No.
1
2 3 4 5
6 7
8 9 10
Indiktor Pengamatan
Baik Sekali
Perhatian, motivasi dan tanggung jawab ketika pembelajaran berlangsung. Pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa Kemampuan untuk menemukan konteks pembelajaran. Kemampuan untuk mengontruksi hasil pembelajaran Keaktifan mahasiswa dalam belajar kelompok (kerja sama dalam kelompok) Keaktifan dalam bertanya/diskusi. Kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen. Tertib, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran. Kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu. Kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar.
Penilaian Baik Cukup
Kurang
√
√ √ √ √
√ √
√ √ √
Hasil pengamatan pada lembar pengamatan siklus I dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan menggunakan metode CTL pada indikator minat, motivasi, dan tanggung jawab baik,
pengembangan ide/gagasan nyata dari
126
mahasiswa cukup, kemampuan untuk menemukan konteks pembelajaran cukup, kemampuan untuk mengonstruksi hasil pembelajaran
juga cukup, keaktifan
mahasiswa dalam belajar kelompok (kerja sama dalam kelompok) baik, keaktifan dalam bertanya/diskusi baik, kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen cukup, ketertiban, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran baik, kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu cukup, dan kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar pada siklus I baru tahap cukup. Berdasarkan hasil analisis pengamatan tersebut, diketahui bahwa indikator pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa,
kemampuan untuk
menemukan kontek pembelajaran , kemampuan untuk mengontruksi hasil pembelajaran , kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen, kemampuan mahasiswa dalam memamfaatkan waktu , dan kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar diperhatikan dan
pada siklus I, perlu
ditingkatkan. Dengan demikian implementasi proses
pembelajaran dengan metode CTL terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.
4.3.1.4 Refleksi Tindakan Kelas Siklus I Tahap keempat pada penelitian tindakan kelas siklus I adalah refleksi. Tindakan refleksi ini dilakukan setelah peneliti melaksanakan siklus I. Refleksi dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan observer pendamping. Tujuan refleksi siklus I dilakukan adalah untuk mengetahui hasil peningkatan belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati
127
Denpasar setelah penterapan metode CTL. Tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan tata bahasa Jepang dasar siklus I sama dengan tes awal atau tes sebelum melaksanakan kontekstual. Sehubungan dengan hal tersebut, hasil analisis data pelaksanaan refleksi siklus I dapat dideskripsikan seperti tabel 4.3 berikut.
Tabel 4.3 Data TotalSkor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Semester III Setelah Dilakasanakan Metode CTL pada Tindakan Siklus I No. Penggunaan Mhs Partikel 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
14 12 20 12 16 8 16 14 14 14 18 20 8 18 14 12 16 10 16 16 14 16 18 12 16 20 18 12 16 14 16
Pola Kalimat
Unsurunsur Kalimat
24 20 24 20 18 18 16 20 18 18 20 24 14 22 22 20 22 20 22 20 18 24 24 12 26 26 22 20 18 20 18
14 16 18 18 14 10 10 20 16 16 16 18 10 16 10 14 16 12 16 14 16 16 20 14 16 20 16 16 16 18 16
Makna/Fungsi Total Kalimat Skor 20 22 26 18 18 18 16 20 20 20 20 26 16 22 20 18 26 22 22 18 18 22 22 16 24 24 24 22 20 22 20
72 70 86 68 68 64 60 74 68 68 74 88 50 78 66 64 80 68 76 68 68 78 84 54 82 88 82 70 70 74 70
%
Kategori Skor
72% 70% 88% 68% 68% 64% 60% 74% 68% 68% 74% 88% 50% 78% 66% 64% 80% 68% 76% 68% 68% 78% 84% 54% 82% 88% 82% 70% 70% 74% 70%
B B A C C C C B C C B A D B C C B C B C C B B D B A B B B B B
128
32 33 34 35 36 37 total
12 14 16 10 14 16 540
20 16 18 18 18 18 732
12 12 16 16 14 16 556
16 18 20 18 18 20 746
60 60 72 58 64 70 2.574
60% 60% 72% 62% 64% 70%
C C B C C B
Berdasarkan data tabel 4.3 di atas dapat disampaikan bahwa total skor kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada pelaksanaan tes PTK siklus I dengan menterapkan metode CTL adalah 2.574. Nilai rata – rata mahasiswa yang diperoleh pada tindakan tes akhir siklu I dengan cara total skor dibagi jumlah mahasiswa . Jadi skor rata – ratanya adalah 2.574 : 37 = 69, termasuk kategori nilai cukup (C). Keempat indikator yang dites, yakni skor pemakaian partikel diperoleh dengan cara
total skor dibagi skor maksimum
dikali seratus persen, jadi skornya adalah 540: 740 x 100% = 72 %. Skor pola kalimat bahasa Jepang adalah 732 : 1.110 x 100 = 69 %. Skor mengenai unsur predikat adalah 556 : 740 x 100% = 75 % dan skor tentang makna kalimat adalah 746 : 1.110 x 100% = 67 %. Skor maksimal sub pemakaian partikel dan unsur predikat 740 sedangkan skor maksimal subpola kalimat dan makna kalimat 1.110 Pada tindakan tes akhir siklus I pemakaian partikel dan unsur predikat memperoleh skor B (baik) sedangkan pola kalimat dan makna kalimat memperoleh skor C (cukup). Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa semester III pada tindakan tes akhir siklus I adalah mahasiswa yang memperoleh nilai A sebanyak 3 orang, mahasiswa yang mendapat nilai B sebanyak 12 orang, mahasiswa yang mendapat nilai C berjumlah 20 orang, mahasiswa yang mendapat nilai D sebanyak 2 orang tetapi ada mahasiswa yang mendapat nilai E. Untuk
129
lebih lengkapnya dapat disampaikan pada analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif berikut.
4.3.1.5 Analisis Data Kuantitatif PTK Siklus I Cara menghitung score/total jawaban yang benar pada setiap mahasiswa pada tabel 4.3 di atas disesuaikan dengan rubrik penilaian kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa yang terdapat pada tabel 3.1. Sebaliknya, cara menghitung total score tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar setiap mahasiswa menggunakan rumus berikut. 1) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo) tiap mahasiswa digunakan rumus berikut . S=R S = skor/nilai R = right/total jawaban yang betul Jadi, skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 72. Demikian seterusnya sampai nomor urut mahasiswa terakhir seperti terdapat pada tabel 4.3 di atas. 2) Untuk mencari tingkat kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo) tiap mahasiswa dalam persentase digunakan rumus berikut. L = total skor setiap mahasiswa X 100% Skor maksimum L = 72 X 100% = 72 % 100 3) Untuk mencari nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo) mahasiswa digunakan rumus berikut.
130
X = total skor mahasiswa Jumlah mahasiswa
X 100%
= 2.574 X 100% = 69 37 Jadi, nilai rata-rata mahasiswa dalam penguasaan tata bahasa Jepang dasar (shoukyu bunpo) pada tes siklus I
pada penerapan metode CTL dalam proses
pembelajaran bahasa Jepang adalah 69 %. Artinya
hasil pembelajaran mencapai
skor 69 skor itu termasuk kategori C (cukup). 4) Berdasarkan hasil refleksi siklus I pada tabel 4.3 di atas dan nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shokyou bumpo) mahasiswa semester III, maka dapat dicari mean score siklus I dengan menggunakan rumus berikut. X =
∑X N
X = Mean score ∑X = jumlah skor seluruh mahasiswa. N = jumlah mahasiswa X ( Mean score) = 2.574 37 = 69 Jadi, mean score siklus I adalah 69, artinya diperlukan tindakan siklus II.
4.3.1.6 Analisis Data Kualitatif PTK Siklus I Apabila dilihat dari kategori tingkat kemampuan mahasiswa, nilai rata-rata tes siklus I ini sudah menunjukkan sedikit peningkatan dibandingkan dengan tes awal atau sebelum penerapan metode CTL. Adapun sebaran skor yang diperoleh
131
mahasiswa berdasarkan tabel di atas adalah tiga orang mahasiswa memperoleh nilai A dari tiga puluh tujuh mahasiswa, dua belas orang mahasiswa mendapatkan nilai B, dua puluh orang mahasiswa memperoleh nilai C, dan dua orang mendapat nilai D pada pelaksanaan tes siklus I, Terdapat peningkatan hasil pembelajaran yang signifikan,yaitu pada tes awal delapan orang mahasiswa mendapat nilai D. Pada proses pembelajaran siklus I tidak ada mahasiswa yang memperoleh nilai E. Pada tes siklus I
tiga puluh lima orang dari tiga puluh tujuh orang, telah
memenuhi syarat untuk lulus, tetapi sebagian besar memperoleh nilai C artinya nilai cukup. Kategori nilai C kurang memuaskan, sedangkan sisanya nilai dua orang lagi tergolong kategori tidak lulus. Secara persentase dari keempat indikator tes siklus I yang dikerjakan oleh mahasiswa, dua indikator mencapai kategori B yakni penguasaan kemampuan partikel dan penguasaan unsur-unsur dalam kalimat bahasa Jepang. Dua indikator lagi mencapai kategori C, yakni pola atau struktur kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang. Hasil analisis tes pada siklus I tentang kemampuan penggunaan partikel bahasa Jepang memperoleh skor 72%, Artinya dua puluh enam orang dari jumlah tiga puluh tujuh orang mahasiswa semester III Sastra Jepang mengerti pemakaian partikel bahasa Jepang.
Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan hasil tes,
diketahui tiga orang mahasiswa, yaitu Wiranata san, Eka san dan Rada san, mendapat nilai maksimal. Mereka betul semua soal saat mengerjakan tes pemakaian partikel pada pelaksanaan tes siklus I dengan metode CTL. Akan tetapi empat orang mahasiswa, yaitu Asri san, Supari san, Kompyang san, dan
132
Yuda san mendapatkan nilai terendah pada pemakaian partikel. Mereka hanya berhasil mengerjakan empat soal dari sepuluh soal. Pada waktu istirahat peneliti mendekati mahasiswa yang memperoleh nilai terendah untuk wawancara sehubungan dengan hasil belajar mereka khususnya tentang pemakaian partikel dalam bahasa Jepang. Asri san mengatakan bahwa ia kurang mengerti penggunaan partikel de/ で dan wo/を bila menunjukkan tempat dalam bahasa Jepang. Teman lainnya juga mengatakan hal yang sama, bahkan ada yang mengatakan bahwa pemakaian partikel ga/が sering membingungkan. Untuk memotivasi mereka, peneliti mengatakan “bukan kamu saja yang bingung, orang lain juga banyak yang belum mengerti penggunaan partikel tersebut”. Hal itu terjadi karena jenis partikel tadi mempunyai arti dan fungsi berbeda tergantung dari
jenis kata
yang menyertai. Misalnya, partikel de/ で akan berarti “di”
menunjukkan tempat, apabila disertai
dengan kata kerja yang menyatakan
kegiatan atau beraktivitas. Contoh : Jimbaran で ばんごはん Jimbaran de bangohan tempat di malam „Makan malam di Jimbaran‟.
を o part
たべます. tabemasu. makan.
Partikel de/ で bisa berarti “dengan” menunjukkan alat yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Contoh: えんぴつ で かきます . Enpitsu de kakimasu . pensil dengan menulis. „ Menulis dengan pensil‟.
133
Partikel de/で bisa juga berarti “dan” apabila digunakan untuk menyambung dua kata sifat atau lebih yang berakhiran na/da. Contoh : Kuta かいがん は きれい で Kuta kaigan wa kirei de Kuta pantai part indah part terkenal. „Pantai Kuta indah dan terkena‟l.
ゆめいです . yumei desu.
Selain itu masih banyak lagi pemakaian partikel de/で. Penggunaan partikel o/を pada sebuah kalimat bahasa Jepang berbeda lagi. Misalnya, Kuta かいがん を さんぽうします. Kuta kaigan o shanpo shimasu . Kutat pantai di jalan-jalan. „Jalan-jalan di pantai Kuta‟. Pada pola kalimat seperti ini tidak boleh digunakan partikel de/で atau ni/
に walaupun sama-sama berarti “di”. Dalam hal ini menurut gramatika bahasa Jepang, partikel yang harus digunakan pada jenis kata kerja gerak perpindahan seperti contoh kalimat tersebut adalah partikel o/を yang juga berarti “di”. Akan tetapi berbeda dengan partikel o/を pada contoh kalimat berikut. Kuta で sunset を Kuta de sunset o tempat part sunset part „Melihat sunset di Kuta‟.
みます mimasu melihat
Partikel o/を pada kalimat ini tidak berarti “di” tetapi menunjukkan objek sebuah kalimat.
134
Pemakaian partikel ga/ が memang banyak maknanya tergantung dari konteks kalimat yang dimaksud oleh si pembicara misalnya, 雨 が ふりました Ame ga furimashita hujan part air turun „Turun hujan‟. Partikel ga/ が pada kalimat ini untuk menunjukkan subjek dari kata kerja intransitif Di samping itu, juga ada partikel ga/が yang menunjukkan memiliki suatu sifat atau keadaan, seperti contoh yang disampaikan ketika presentasi misalnya, Kuta では 食べ物 が Kuta de wa tabemono ga tempat part makanan part „Makanannya mahal di Kuta‟.
たかいです takai desu mahal
Selain itu, masih banyak pemakaian partikel ga/ が
(Candra, 2009:4).
Berdasarkan hasil analisis tes awal dan siklus I diketahui masih
banyak
mahasiswa salah mengerjakan atau menggunakan jenis partikel dalam bahasa Jepang. Total skor persentasi hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat bahasa Jepang adalah 65%. Artinya, hanya dua puluh empat orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa memahami pola kalimat bahasa Jepang. Bahkan skor pemahaman mahasiswa mengenai struktur kalimat bahasa Jepang paling rendah dibandingkan dengan nilai indikator lainnya. Pada indicator ini hanya dua orang dari tiga puluh tujuh mahasiswa memperoleh skor tertinggi, yaitu dua puluh
135
enam. Artinya, mahasiswa hanya mampu mengerjakan maksimal tiga belas soal dari lima belas soal yang seharusnya dijawab. Berdasarkan pengamatan dan hasil tes pada siklus I diketahui ada empat orang mahasiswa yang memperoleh skor terendah, yakni Aldi san, Supari san, Yanti san, dan Tina san. Pada waktu istirahat peneliti mendekati sambil wawancara singkat kepada keempat orang mahasiswa bersangkutan. Mereka mengakui masih bingung pemahaman pola kalimat bahasa Jepang. Menurut mereka, pola atau struktur kalimat bahasa Jepang berbeda jauh dengan bahasa Indonesia. Mereka tidak mengerti menyusun unsur predikat. Penempatan unsur predikat mereka masih terpengaruh oleh struktur bahasa Indonesia yang terlebih dahulu dikenalnya. Lebih-lebih predikat kata kerja yang mengalami konjugasi dan ada tambahan kata keterangan. Contoh: 波
が
おおきい ですから 泳ぐこと が できません ookii desu kara oyogu koto ga dekimasen ombak besar karena berenang tidak bisa „Karena ombak besar, tidak bisa berenang‟.
Nami ga
Contoh lain hasil temuan mahasiswa seperti Kuta ni arimashita bom desu. Pola kalimat yang disampaikan oleh kelompok 5 itu salah. Pola kalimat tersebut yang benar adalah seperti berikut. Kuta に bom が Kuta ni bom ga tempat di bom part „Ada bom di Kuta‟.
ありました arimashita ada
Apabila sudah terdapat predikat kata kerja pada kalimat bahasa Jepang, tak perlu ada kata desu. Berdasarkan ungkapan mereka, peneliti menyarankan agar
136
mahasiswa betul – betul mengerti terlebih dahulu mana unsur subjek, objek, keterangan dan predikat bahasa Jepang. Kemudian perlu diingat bahwa struktur bahasa Jepang adalah S-K-O-P (subjek- keterangan- objek- predikat).Selain itu, ingat sisipkan kata bantu partikel. Peneliti terus menekankan bahwa predikat terletak di akhir kalimat. Beberapa jenis kata keterangan
boleh di depan subjek
atau setelah subjek. Contoh: このう 私 は Kuta を しゃんぽしにいった。 Kinou watashi wa Kuta o shanpo shi ni itta. Kemarin saya part tempat part jalan-jalan pergi „Kemarin saya pergi jalan – jalan ke Kuta‟, atau Watashi wa kinou Kuta o shanpo shi ni itta. „Saya kemarin pergi jalan – jalan ke Kuta‟. Mengingat pemahaman tentang pola kalimat merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa Jepang, peneliti juga mewawancarai mahasiswa yang mendapatkan skor tertinggi pada indikator pola kalimat yakni Swary san, dan Putri san.Hal itu dilakukan sebagai strategi inovatif dalam pembelajaran berikutnya. Hasil rangkuman wawancara mahasiswa bersangkutan mengatakan bahwa yang mereka lakukan lebih dahulu harus tahu arti kata bahasa Jepang, jenis kata apakah termasuk kata sifat, kata benda, kata kerja termasuk kelompoknya dan kata - kata yang lainnya. Bila sudah dipahami, yang perlu diingat adalah strukturnya. Pola atau struktur kalimat bahasa Jepang adalah S - KO- P (subjek-keterangan - objek- predikat ), sedangkan bahasa Indonesia adalah S-P-O-K
(subjek-predikat-objek-keterangan).
Hal
inilah
yang
sering
membingungkan bagi pemula belajar bahasa Jepang. Berdasarkan pendapat
137
mahasiswa yang memperoleh skor terendah dan skor tertinggi, peneliti mengkaji kembali untuk peningkatan hasil pembelajaran berikutnya dengan metode CTL. Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes mengenai unsurunsur kalimat bahasa Jepang total skor dalam bentuk persentase adalah 75%. Artinya, dua puluh tujuh orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa mengerti unsur-unsur kalimat bahasa Jepang. Hasil belajar siklus I menunjukkan peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan tes awal. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi adalah Swary san, Wiranata san, Putri san, dan Shintia san. Keempat mahasiswa tersebut berhasil mengerjakan sembilan soal dari sepuluh soal yang diujikan. Pada tes siklus I ada empat orang mahasiswa yang memperoleh nilai terendah, yakni Aldi san, Asri san, Supari san, dan Sri san. Keempat mahasiswa tersebut hanya bisa mengerjakan lima soal dari soal sepuluh. Ketika mahasiswa bersangkutan diajak wawancara, mereka menyadari bahwa kemampuan kosakata bahasa Jepang kurang, aturan konjugasi kata kerja, kata sifat kurang dipahami, dan hampir semua mengatakan kurang mengerti huruf Jepang sehingga sulit mengerjakan soal. Contoh berikut diambil dari hasil temuan kerja kelompok yaitu, Kuta は きれい と Kuta wa kirei to tempat part part indah „Pantai Kuta indah dan menarik‟.
おもしろいです omoshiroi desu. dan menarik
Unsur predikat kalimat ini betul, yaitu kata sifat tetapi gramatikanya salah. Untuk menyambung kata sifat tidak dipakai kata to/と. Namun, ada aturannya yakni bila kata sifat berakhiran na/ な , diubah dengan de/ で . Bila kata sifat berakhiran i/い diubah menjadi ku/く. Kalimat yang benar adalah seperti di bawah ini.
138
Kuta は きれい で Kuta wa kirei de tempat part indah „Pantai Kuta indah dan menarik‟.
おもしろいです omoshiroi desu. part menarik
Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi juga diajak wawancara. Agar dapat mengerti dan mengerjakan soal unsur- unsur kalimat dengan benar, mereka sepakat bahwa mahasiswa harus tahu arti kosakata bahasa Jepang, strukturnya, dan kalau secara tertulis, harus
bisa membaca dan menulis huruf Jepang.
Rangkuman hasil wawancara dengan perwakilan mahasiswa dijadikan dasar pertimbangan dalam usaha kiat - kiat peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa. Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes terakhir tentang makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang adalah dalam bentuk persentase 67%. Artinya, ada dua puluh empat mahasiswa sudah mengerti makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi adalah Eka san, Wiranata san, Juliartawan san, dan Swary san. Mereka berempat memperoleh skor dua puluh enam dari total skor maksimum tiga puluh. Ketika mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi diwawancarai secara garis besar dikatakan bahwa kuncinya adalah pembelajar harus mengerti pola kalimat bahasa Jepang dengan baik dan benar, mengerti kelompok kata kerja bahasa Jepang sekaligus konjugasinya, dan yang tidak kalah pentingnya pembelajar dapat membaca dan menulis huruf Jepang. Dari hasil pengamatan dan tes, diketahui ada empat orang mahasiswa memperoleh nilai terendah pada indikator makna kalimat bahasa Jepang, yaitu Aldi san, Purnamayanti san, Supari san, dan Supartini san. Peneliti mencoba
139
menelusuri kesulitan – kesulitan yang dialami oleh mahasiswa bersangkutan. Dari hasil catatan wawancara singkat dapat disampaikan bahwa secara umum mereka mengalami kesulitan
dalam bidang membaca dan menulis huruf Jepang
khususnya huruf kanji, perubahan kata kerja dan kata sifat sesuai gramatikanya. Di antara mahasiswa bersangkutan ada yang mengatakan bahwa penguasan kosakata kurang, sehingga sulit mengerti makna yang dimaksud kalimat bersangkutan. Contoh berikut diambil dari hasil temuan konstrukasi pembelajaran kelompok 7 yaitu, よるKuta を しゃんぽし に いけば、 きをつけてください。 yoru Kuta o shampoo shi ni ikeba, ki o tsukete kudasai. malam tempat part jalan-jalan part kalau pergi, hati-hatilah. „Kalau jalan-jalan malam hari di Kuta, berhati-hatilah‟.
Kalimat ini tidak mengandung makna perintah, karena terdapat kesalahan pada konjugasi kata kerja tsukette. Bentuk kamus kata tsukette adalah tsukeru, termasuk jenis kata kerja kelompok dua. Oleh karena itu, konjugasinya menjadi tsukete, satu te bukan dua tte. Pada bahasa Jepang perubahan kata kerja antara satu te dan dua tte mempunyai makna yang berbeda. Hal ini belum dipahami dengan baik oleh mahasiswa. Bagi pembelajar pemula memang benar mengubah kata kerja atau kata sifat bahasa Jepang sesuai dengan makna atau fungsi kalimat tidak mudah. Hal ini harus dilakukan melalui proses pembelajaran terus-menerus. Untuk dapat mengubah kata kerja sesuai dengan makna kalimat, mahasiswa harus memahami betul kelompok kata kerja bersangkutan. Kata kerja bahasa Jepang terdiri atas tiga golongan, yakni kata kerja kelompok I ( godan doushi ) , kata kerja kelompok
140
II ( ichidan doushi ) dan kata kerja kelompok III (henkaku). Cara mengubah tiaptiap kelompok kata kerja berbeda. Perubahan kata kerja bahasa Jepang dapat diuraikan sebagai berikut. Kata kerja kelompok I yang berakhiran u, tsu, ru berubah menjadi “tte”, contoh kau menjadi katte, artinya membeli, matsu menjadi matte, artinya „membeli‟, wakaru menjadi wakatte, artinya „mengerti‟. Kata kerja yang berakhiran bu, nu, mu berubah menjadi “nde”, contoh tobu menjadi tonde, artinya „terbang‟, shinu menjadi shinde, artinya „meninggal‟, nomu menjadi nonde, artinya „minum‟. Kata kerja yang berakhiran ku menjadi ite, contoh kaku menjadi kaite, artinya „menulis‟. Kata kerja yang berakhiran gu menjadi ide, contoh oyogu menjadi oyoide. Kata kerja berakhiran su berubah menjadi shite, contoh hanasu menjadi hanashite, artinya „berceritra‟. Kata kerja kelompok II, yang berakhiran eru dan iru berubah menjadi “te”. Contoh taberu menjadi, tabete artinya „makan‟, miru berubah menjadi mite, artinya „menonton‟. Kata kerja kelompok III, terdiri dari dua kata kerja yakni kuru menjadi kite artinya „datang‟ dan kata kerja suru menjadi shite artinya „melakukan‟. Kata kerja suru dapat mengubah kata benda menjadi kata kerja. Contoh denwa artinya‟ telpon‟, bila diikuti kata kerja suru, akan menjadi denwa suru artinya „menelepon‟. Hal lain yaitu mahasiswa sering keliru tentang perubahan kata kerja bentuk “te” antara satu “t” dan dua “tt”. Misalnya, kata kerja hataraku akan menjadi hataraite, satu “t”, artinya „berjalan‟, dengan kata kerja harau akan menjadi haratte, dua “tt” artinya „membayar‟. Padahal,
kedua kata kerja tersebut termasuk kelompok
141
godan doushi. Terkait dengan perubahan kata kerja bentuk “ta”, mahasiswa tinggal mengubah vokal “e” menjadi vokal “a”, contoh katte menjadi katta, tabete menjadi tabeta untuk bentuk lampau begitu juga kata kerja lainnya (Tanaka, 2002).
Perubahan kata kerja dan kata sifat
merupakan kunci dalam belajar
bahasa Jepang. Pada waktu wawancara tidak resmi hal tersebut dijelaskan kepada mahasiswa, mudah – mudahan dapat dimengerti. Berdasarkan hasil tes, pengamatan proses pembelajaran, dan wawancara pada pelaksanaan siklus I, diketahui bahwa mean skor mahasiswa mencapai 69 Artinya, nilai rata – rata kemampuan mahasiswa dalam tata bahasa Jepang dasar pada siklus I baru mencapai skor 69. Skor ini termasuk kategori nilai C (cukup). Dari data tabel di atas diketahui tiga orang mahasiswa memperoleh nilai A, dua belas orang mahasiswa memperoleh nilai B, dua puluh orang mahasiswa memperoleh nilai C dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa, bahkan masih ada dua orang mahsiswa mendapat nilai D (kurang). Mengingat masih rendahnya nilai pembelajaran bahasa Jepang pada pelaksanaan tindakan siklus I, maka perlu dilaksanakan tindakan pembelajaran
siklus II dengan metode CTL kepada
mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Diharapkan pada tindakan siklus II terjadi peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa.
4.3.2 Penelitian Tindakan Kelas Siklus II Dalam usaha meningkatkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar perlu
142
dilaksanakan tindakan kelas siklus II. Tindakan siklus II dilaksanakan pada Rabu, 10 Desember 2014. Model dan metode pembelajaran yang digunakan sama seperti pada siklus I, yaitu menggunakan model menurut pendapat Arikunto melalui empat langkah kegiatan, yakni (1) perencanaan tindakan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) pengamatan tindakan, dan (4) refleksi tindakan dengan metode CTL. Untuk menghindari kebosanan dan kejenuhan mahasiswa dalam belajar, materi kontek video gambar pada pembelajaran siklus II diganti tetapi tetap konteks kawasan wisata Kuta.Selain itu, tugas atau proses pembelajaran keempat unsur tata bahasa Jepang dasar dilaksanakan secara terpadu pada siklus II ini. Unsur partikel dan unsur predikat dapat terpadu bersamaan dengan pembahasan pada bagian pola kalimat dan makna kalimat. Pembelajaran pada siklus II lebih menekankan pada struktur dan makna kalimat bahasa jepang, karena pada kedua unsur ini banyak mahasiswa mengalami kesulitan. Pelaksanaan siklus II dapat dijabarkan sebagai berikut.
4.3.2.1 Perencanaan Tindakan Siklus II Pada siklus II ini perencanaan dilaksanaan tidak jauh berbeda dengan tindakan siklus I.
Untuk menghindari kejenuhan kelompok belajar mahasiswa
dirombak dengan membentuk kelompok belajar baru, dengan harapan dapat meningkatkan motivasi dan aktivitas belajar mereka. Jumlah kelompok dan jumlah anggotanya sama seperti siklus I. Peneliti pendukung , seperti spidol, kertas, manila, dan LCD
menyiapkan fasilitas untuk kelengkapan
presentasi hasil belajar mereka. Dengan adanya perencanaan yang lebih matang
143
tentunya pelaksanaan tindakan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL lebih menarik. Disamping itu, juga diharapkan memberikan dampak positif terhadap hasil belajar mahasiswa.
4.3.2.2 Pelaksanaan Tindakan Siklus II Pelaksanaan kegiatan siklus II juga meliputi 3 (tiga) langkah tindakan yakni (1) tindakan awal, (2) tindakan inti, dan (3) tindakan akhir. Ketiga langkah tindakan tersebut disajikan sebagai berikut.
1) Kegiatan awal Langkah tindakan awal sama dengan siklus I, hanya pada siklus II peneliti menyuruh mahasiswa membentuk kelompok belajar baru dengan jumlah anggota yang sama dengan siklus I. Pembentukan kelompok baru dimaksudkan untuk penyegaran. Terbentuklah tujuh kelompok belajar dengan seorang koordinator kelompok, yang bertugas menyampaikan hasil temuan belajar kelompok mereka.
2) Kegiatan inti Berdasarkan pertimbangan peneliti terhadap hasil pembelajaran pada siklus I, maka proses pembelajaran tindakan inti pada silkus II dengan metode CTL dilaksanakan terpadu antara partikel, pola atau struktur kalimat, unsur predikat, dan makna kalimat bahasa Jepang. Pada tindakan inti siklus II peneliti kembali menayangkan video visual gambar baru dengan kontek pembelajaran tetap kawasan wisata Kuta. Dalam hal ini ijelaskan konteks kawasan wisata Kuta dengan contoh – contoh kalimat yang lebih menekankan pembelajaran tentang
144
struktur kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang sesuai dengan hasil temuan pada pembelajaran siklus I. Kemudian
dibantu oleh dosen pendamping
membagikan lembaran kerja atau tugas kepada setiap mahasiswa untuk dikerjakan bersama kelompok belajar yang baru saja terbentuk. Mahasiswa disuruh mengerjakan tugas berkelompok sesuai dengan konteks media gambar kawasan wisata Kuta yang baru saja diamati. Observer pendamping melakukan penilaian terhadap aktivitas mahasiswa melalui pengamatan dengan menggunakan lembaran penilaian
yang
sudah
disiapkan
sebelumnya.
Selama
berlangsungnya
pembelajaran, peneliti mengamati sambil memberikan bimbingan kepada mahasiswa atau kelompok yang mengalami kesulitan mengerjakan tugas yang diberikan. Pada tindakan inti siklus II semua kelompok menulis hasil temuan mereka pada kertas manila yang sudah tersedia. Setelah mahasiswa selesai mengerjakan tugas sesuai dengan batas waktu yang ditentukan peneliti mempersilakan kelompok yang sudah siap mempresentasikan hasil belajar kelompok di hadapan kawan – kawannya. Hasil belajar kelompok yang difresentasikan belum tentu benar atau salah. Pada kesempatan ini tampil kelompok 2 dengan koordinator Apriyantisan mempresentasikan hasil belajar mereka seperti berikut. 1) Sunset を 見て から はやい Sunset o mite kara hayai sunset part melihat setelah cepat „Setelah melihat sunset cepatlah pulang‟.
かえてください kaete kudasai pulanglah
2) Kuta は 綺麗 です が みち の が よくこんでいます Kuta wa kirei desu ga michi no ga yoku konde imasu tempat part indah part jalan part sering macet „Kuta indah, tetapi jalan sering macet‟.
145
3) Bali へ 行けば、 Kuta に Bali e ikeba, Kuta ni daerah part kalau pergi tempat part „Kalau pergi ke Bali, menginaplah di Kuta‟
止まってください tomatte kudasai menginaplah
4) ここ は 打ってはいけません Koko wa utte wa ikemasen sini part jualan tidak boleh „Tidak boleh jualan di sini‟. 5) Kuta は ゆめい Kuta wa yumei tempat part terkenal „Kuta menarik dan terkenal‟.
と to part
面白いです omoshiroi desu menarik
Tindakan inti siklus II sama dengan siklus I. Artinya, seusai presentasi diberikan kesempatan tanya jawab antarkelompok. Apriyantisan memberikan kesempatan untuk bertanya. Maulidasan dari kelompok 3 menanyakan kalimat nomor 2 mengapa ada dua partikel ga/ が . Kemudian Apriyanti san menjawab bahwa kalimat nomor 2 si pembicara bermaksud menyampaikan dua kalimat yang berlawanan. Partikel ga/が pada kata kirei desu ga, berari „tetapi‟. Partikel ga/が pada kata michi no ga, untuk menegaskan topik pembicaraan. Kedua partikel pada kalimat nomor 2 mempunyai fungsi yang berbeda. Maulidasan juga mengoreksi kalimat nomor 5, yaitu untuk menyambung kata sifat tidak dipakai to/と, yang benar adalah partikel de/で. Pada kesempatan ini peneliti juga bertanya sebagai evaluasi kemampuan kelompok 2, betulkah kalimat nomor 1 yang dipresentasikan. Tidak ada mahasiswa yang berani menjawab. Peneliti langsung mengatakan bahwa kalimat tersebut salah. Di mana letak kesalahannya, setelah dipancing seperti itu ada mahasiswa, yaitu Swary san menunjukkan bahwa kesalahannya terdapat pada kata
146
hayai yang disertai kata kerja. Seharusnya hayaku karena berfungsi menerangkan kata kerja kaete, yang artinya „cepatlah pulang‟. Hasil belajar tata bahasa Jepang dasar kelompok 2 yang sudah diperbaiki adalah seperti di bawah ini. 1) Sunset を 見て から はやく Sunset o mite kara hayaku sunset part melihat setelah cepat „Setelah melihat sunset cepatlah pulang‟.
かえてください。 kaete kudasai. pulanglah,
2) Kuta は きれいです が みちの が よくこんでいます。 Kuta wa indah desu ga michi no ga yokukonde imasu. tempat part indah part jalan part sering macet, „Kuta indah, tetapi jalan sering macet‟. 3) Bali へ 行けば、Kuta に Bali e ikeba, Kuta ni daerah part pergi kalau tempat part „Kalau pergi ke Bali, menginaplah di Kuta‟.
止まってください tomatte kudasai. menginaplah.
4) ここ は 打ってはいけません。 Koko wa utte wa ikemasen. sini part dilarang jualan. „Tidak boleh jualan di sini‟ 5) Kuta は ゆめい Kuta wa yumei tempat part terkenal „Kuta menarik dan terkenal‟.
で de part
面白いです。 omoshiroi desu. menarik. .
Hasil pembelajaran kalimat nomor (1) Sunset を見てからはやくかえて
ください (sunset o mite kara hayaku kaete kudasai). Artinya „setelah melihat sunset cepatlah pulang‟. Bentuk kamus kata kerja mite adalah miru,
artinya
melihat kemudian berkonjugasi menjadi bentuk te/ て (tekei) disertai kata kara yang bermakna setelah melihat. Bentuk kamus kata kerja kaete adalah kaeru, artinya „pulang‟ terus berkonjugasi menjadi kaete kudasai artinya „pulanglah‟,
147
yang bermakna kalimat perintah sopan. Pada kalimat nomor (4) terdapat makna larangan tidak boleh berjualan. Unsur predikat hasil belajar tersebut terdiri atas kata kerja, yaitu konde imasu dan kata sifat yumeide omoshiroi, artinya „indah dan menarik‟. Pada kalimat nomor (2) terdapat dua partikel ga/が , tetapi fungsinya berbeda. Partikel ga/ が pertama berarti „tetapi‟ sedangkan partikel ga/が kedua berfungsi untuk menegaskan anak kalimat jalan di Kuta (michi no ga). Pola kalimat bahasa Jepang S-K-O-P. Contoh: 私 は Kuta で sunset Watashi wa Kuta de sunset saya part tempat di sunset „Saya melihat sunset di Kuta‟.
を o part
見ます。 mimasu. melihat.
Partikel wa/は penanda subjek, partikel de/で penanda keterangan tempat, dan partikel o/を penanda objek. Selanjutnya peneliti memberikan kesempatan satu kelompok lagi untuk presentasi. Yang maju adalah kelompok 6 koordinatornya Evilayantisan menyampaikan hasil kerja kelompok sebagai berikut. 1) おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること を すきです Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku surukoto o suki desu wisatawan part tempat part berjemur part suka „Wisatawan suka ber jemur di Kuta‟. 2) Kuta が 厚い ですから、 Kuta ga atsui desu kara, tempat part panas karena „Karena panas di Kuta pakailah topi‟. 3) Kuta Kuta
では speed boat dewa speed boat
を o
ぼし を boshi o topi part
被って kabutte pakailah
してはいけません shite wa ikemasen
148
tempat part speed boat part „Tidak boleh bermain boat di Kuta‟.
bermain tidak boleh
4) Kuta を しゃんぽうして から、晩ご飯 を Kuta o shampoo shite kara, bangohan wo tempat part jalan-jalan setelah malam part „Ayo makan malam setelah jalan – jalan di Kuta‟. 5) Kuta には おふく が Kuta niwa ofuku ga tempat part pakaian part „Pakaian mahal – mahal di Kuta‟.
たべましょう tabemashou ajakan makan
高いです takai desu mahal
Setelah presentasi kelompok 4 Permanasan mengoreksi kalimat nomor 2. Menurut dia kalimat tersebut kurang kata kudasai, seharusnya kabutte kudasai. Evilayantisan menanggapi pendapat Permanasan betul, tetapi kalimat nomor 2 juga tidak salah. Tanpa kata kudasai pun kalimat tersebut termasuk kalimat perintah, hanya
kalimatnya
kurang sopan. Bila disertai kata kudasai, akan
menjadi kalimat perintah bentuk sopan. Pertanyaan selanjutnya dari Novitasarisan kelompok 7. Kata nikkoyoku suru pada kalimat nomor 1 termasuk jenis kata kerja. Mengapa terletak di tengah – tengah kalimat. Dosen observer membantu memberikan jawaban bahwa kata kerja bila disertai kata koto atau no tidak berfungsi kata kerja lagi, tetapi menjadi kata benda. Kalimat nomor 1 betul. Mahasiswa lain mengatakan bahwa kalimat itu belum betul. Kesalahan terdapat partikel o/ を seharusnya partikel ga/ が , karena disertai oleh kata sifat suki artinya suka. Akhirnya, kelompok 6, yaitu Evilayanti san menyimpulkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar setelah dikoreksi seperti berikut. 1) おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること がすきです。 Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku surukoto ga suki desu.
149
wisatawan part tempat part berjemur „Wisatawan suka berjemur di Kuta‟.
part
2) Kuta が 厚い ですから、 Kuta ga atsui desu kara, Tempat part panas karena Karena panas di Kuta, pakailah topi.
ぼし を boshi o topi part
3) Kuta では speed boat Kuta dewa speed boat tempat part permainan „Di Kuta tidak boleh bermain boat‟.
を o part
suka.
被って。 kabutte pakailah.
してはいけません。 shite wa ikemasen. larangan bermain.
4) Kuta を しゃんぽうして から、晩ご飯 を たべましょう。 Kuta o shampoo shite kara, bangohan wo tabemashou. tempat part jalan-jalan setelah malam part mari makan . „Ayo makan malam setelah jalan – jalan di Kuta‟. 5) Kuta には おふく が Kuta niwa ofuku ga tempat part pakaian part „Pakaian mahal – mahal di Kuta‟.
高いです。 takai desu. mahal
Predikat kata sifat, seperti suki, oishii dan kata kerja yang menunjukan potensial seperti dekiru, tai, wakaru selalu didahului oleh partikel ga/が , seperti contoh kalimat nomor (1) di bawah ini. おきゃくさま は Kuta で にっこよくすること が すきです Okyukusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto ga suki desu. wisatawan part tempat part berjemur part suka. „Wisatawan suka berjemur di Kuta‟. Kata kerja bentuk te/て dalam bahasa Jepang banyak fungsinya. Sesuai dengan pokok bahasan di atas antara lain untuk mengungkapkan perintah seperti kalimat nomor (2) berikut. Kuta が 厚い ですから、 ぼし を Kuta ga atsui desu kara, boshi o tempat part panas karena topi part „Karena panas di Kuta, pakailah topi‟.
被って. kabutte. memakai.
150
Akan tetapi kalimat perintah ini kurang sopan dan sering disebut bentuk biasa. Kata kerja bentuk te/て disertai oleh wa ikemasen bermakna kalimat larangan. Contoh: たばこ を すってはいけません。 Tabako o sutte wa ikemasen. rokok part merokok larangan. „Tidak boleh merokok‟.
Berhubung waktu perkuliahan sudah berakhir presentasi hasil belajar dilanjutkan pada Jumat, 12 Desember 2014. Pada hari berikutnya dilanjutkan presentasi dari kelompok 1, 3, 4, 5, dan 7. Hasil belajar kelompok yang difresentasikan belum tentu benar atau salah. Kelompok 1 disilakan presentasi. Koordinator kelompok Antara san menyampaikan hasil kerja kelompoknya sebagai berikut. 1) 今日 は 天気 が いい、Kuta で およぎます Kyou wa tenki ga ii, Kuta de oyogimasu hari ini part cuaca part baik tempat part berenang „Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟. 2) あの 売っている 人 は Bali ひと ではありません Ano utte iru hito wa Bali hito dewa arimasen itu jualan orang part Bali orang bukan „Orang yang jualan itu, bukan orang Bali‟. 3) きたない ばしょ ですから、ここ Kitanai basho desu kara, koko kotor tempat karena di sini „Jangan makan di sini karena tempat kotor‟.
で de part
食べろ tabero jangan makan
4) Kuta の みち は 言いです Kuta no michi wa ii desu tempat jalan bagus Jalan di Kuta bagus, tetapi sempit.
が にぎやかです ga nigiyaka desu tetapi ramai
151
5) バス 大きい は Kuta に はいるな Basu ookii wa Kuta ni hairuna Bus besar part tempat part dilarang masuk Bus besar dilarang masuk ke Kuta. Antarasan mempersilakan kelompok lain untuk mengoreksi hasil kerja kelompoknya. Semua mahasiswa diam dan mengatakan apa yang disampaikan sudah betul. Padahal, menurut peneliti dan dosen observer hasil kerja kelompok 1 ada yang salah. Untuk menghemat waktu peneliti langsung menyuruh mengecek kalimat nomor (4) dan (5). Betulkah kalimat tersebut? Lestari san kelompok 7 mengatakan bahwa terdapat kesalahan pada kata basu ookii. Dari struktur bahasa Jepang yang betul adalah ookii basu, artinya „bus besar‟, yaitu terbalik dengan susunan bahasa Indonesia. Dalam gramatika bahasa Jepang bila kata sifat berfungsi menerangkan kata benda, letaknya di depan kata benda. Mahasiswa lain sependapat dengan Lestari san. Pada kalimat nomor (4) unsur predikat kata sifat nigiyaka tidak tepat dalam konteks kalimat tersebut karena ada partikel ga, maka kata yang tepat adalah semai artinya „sempit‟ yang lain sudah betul. Sesudah melalui diskusi
kelompok 1 kemudian mengonstruksi kembali hasil belajar
mereka seperti di bawah ini. 1) 今日 は 天気 が いい、Kuta で Kyou wa tenki ga ii, Kuta de hari ini part cuaca part bagus tempat part „Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟.
およぎます。 oyogimasu. berenang
2) あの 売っている 人 は Bali ひとではありません。 Ano utte iru hito wa Bali hito dewa arimasen. itu jualan orang part Bali orang bukan. „Orang yang jualan itu, bukan orang Bali‟. 3) きたない ばしょ Kitanai basho kotor tempat
ですから、ここ で desu kara, koko de karena sini part
食べるな。 taberuna. larangan makan.
152
„Jangan makan di sini karena tempat kotor‟. 4) Kuta の みち は 言い です が Kuta no michi wa ii desu ga tempat part jalan bagus tetapi „Jalan di Kuta bagus, tetapi sempit‟. 5) 大きい バス は Kuta に Ookii basu wa Kuta ni besar bus part tempat part „Bus besar dilarang masuk ke Kuta‟.
狭いです。 semai desu. sempit. .
はいるな。 hairuna. larangan masuk.
Kata kerja お よ ぎ ま す (oyogimasu) artinya „berenang‟, adalah berfungsi sebagai predikat. Pardikel de berarti „di‟ menunjukkan tempat kegiatan. Untuk menandakan keadaan alam biasanya dipakai partikel ga seperti contoh kalimat nomor (1) berikut. 今日 は 天気 が いい、Kuta で Kyou wa tenki ga ii, Kuta de hari ini part cuaca part bagus tempat part „Hari ini cuaca bagus, saya berenang di Kuta‟.
およぎます. oyogimasu. berenang
Kalimat nomor (2) Bali ひとではありません (Bali hito dewa arimasen), artinya „bukan orang Bali‟, adalah predikat kata benda dalam bentuk negatif. Cara menegatifkan kata benda adalah kata benda disertai dewa arimasen atau janai. Kata taberuna adalah larangan makan. Konjugasinya, yaitu kata kerja bentuk kamus ditambah na. Contoh lain sake o nomuna, artinya‟ jangan minum arak‟. Bila kata sifat berfungsi menerangkan kata benda, posisi kata sifat mendahului kata benda. Contoh kalimat nomor (5) berikut. 大きい バス は Kuta に Ookii basu wa Kuta ni besar bus part tempat part „Bus besar tidak boleh masuk ke Kuta‟.
はいるな. hairuna. masuk tidak boleh
153
Presentasi berikutnya kelompok 3 oleh Ratcahyani san sebagai berikut: 1) 来週 の 休み は どこ Raishuu no yasumi wa doko Minggu depan part libur part mana „Liburan minggu depan pergi ke mana‟.
へ e part
行きますか ikimasu ka pergi.
2) Riko さん は 日本人 じゃない Rikosan wa nihonjin janai nama orang part orang Jepang bukan „Riko bukan orang Jepang‟. 3) Kuta に たくさん ものかざり Kuta ni takusan monokazari tempat part banyak perhiasan „Membeli banyak perhiasan di Kuta‟.
を o part
買いました kaimashita membeli
4) Kuta に 一緒に 行きましょう Kuta ni isshoni ikimashou tempat part bersama mari pergi „Ayo bersama sama pergi ke Kuta‟. 5) 食べ物 が たかくて、Kuta で たべないでください Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai makanan part mahal tempat part makan jangan „Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟. Kesempatan bertanya dimanfaatkan oleh Antara san
kelompok 1.
Menurut dia, pada kalimat nomor 3 terdapat kesalahan penulisan partikel ni/に pada kata Kuta ni. Partikel yang betul adalah de/ で karena predikatnya beraktivitas. Selain itu, kalimat nomor 3 juga salah dalam pemakaian partikel ni/
に, seharusnya partikel e/へ karena kata kerja bertujuan. Pendapat Antara san untuk kalimat nomor 1 dapat diterima karena memang yang benar adalah partikel de/で, Akan tetapi, untuk kalimat nomor 3 dapat disampaikan boleh pakai e/へ atau ni/ に artinya pada kontek kalimat tersebut sama – sama berarti ke untuk menunjukkan tujuan. Pada kesempatan ini peneliti
bertanya tentang kata
154
ikimashou, bagaimana bentuk kamusnya dan termasuk kata kerja kelompok mana. Kelompok Ratcahyanisan menjawab bahwa bentuk kamus ikimashou adalah iku artinya „pergi‟, termasuk kata kerja kelompok 1. Jawaban Ratcahyani san dan anggotanya betul. Akhirnya kelompok 3 menyimpulkan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL sebagai berikut. 1) 来週 の 休み は どこ Raishuu no yasumi wa doko Minggu depan part libur part mana „Liburan minggu depan pergi ke mana‟.
へ e part
行きますか ikimasu ka pergi.
2) Riko さん は 日本人 じゃない Rikosan wa nihonjin janai nama orang part orang Jepang bukan „Riko bukan orang Jepang‟. 3) Kuta に たくさん ものかざり Kuta ni takusan monokazari tempat part banyak perhiasan „Membeli banyak perhiasan di Kuta‟.
を o part
買いました kaimashita membeli
4) Kuta に 一緒に 行きましょう Kuta ni isshoni ikimashou tempat part bersama mari pergi „Ayo bersama sama pergi ke Kuta‟. 5) 食べ物 が たかくて、Kuta で たべないでください Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai makanan part mahal tempat part makan jangan „Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟.
Hasil temuan belajar kelompok 3 di atas,
pada
kalimat nomor (1)
merupakan jenis kalimat tanya, yang ditandai oleh kata tanya doko e, artinya ke mana. Selain itu, pada akhir kalimat terdapat kata ka pertanda kalimat tanya. Untuk mengungkapkan larangan sopan, kata kerja diubah menjadi bentuk nai (naikei) kemudian ditambah kata de kudasai.
155
Perhatikanlah contoh kalimat nomor (5) berikut. 食べ物 が たかくて、 Kuta で たべないでください. Tabemono ga takakute, Kuta de tabenaide kudasai. makanan part mahal tempat part makan jangan. „Jangan makan di Kuta karena makananya mahal‟. Selanjutnya presentasi kelompok 4 disampaikan oleh Tina san disampaikan sebagai berikut . 1) お雨 ですから、 私 は Kuta へ Oame desu kara, watashi wa Kuta e Hujan karena saya part tempat part Karena hujan lebat, saya tidak pergi ke Kuta.
行きません ikimasen tidak pergi
2) Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan „Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟. 3) Kuta で かいました Kuta de kaimashita tempat past membeli „Membeli oleh-oleh di Kuta‟.
を o past
お土産 です omiyage desu oleh-oleh
4) おきゃくさま は Kuta に おぜくいます Okyakusama wa Kuta ni ozeku imasu wisatawan part tempat part banyak ada „Wisatawan ada banyak di Kuta‟. 5) みなさま は Kuta を しゃんぽうすれば、気をつけてください Minasama wa Kuta o shanpou sureba, ki o tsukete kudasai saudara part tempat part kalau jalan-jalan, berhati-hatilah „Anda sekalian kalau jalan- jalan di Kuta , hati- hatilah‟ Ketika diberikan kesempatan bertanya ada mahasiswa, yaitu Juliartawan san dari kelompok 2 mengatakan bahwa pola kalimat nomor 3 salah, seharusnya kata kerja kaimashita terletak di akhir kalimat. Pola yang benar adalah seperti di bawah ini.
156
Kuta で お土産 を Kuta de omiyage o tempat part oleh-oleh part „Membeli oleh – oleh di Kuta‟.
買いました。 kaimashita. membeli
Karena tidak ada pertanyaan lagi, peneliti mengomentari kalimat nomor 2. Pada kalimat nomor 2 ada kata takusi o yonde kudasai. Bagaimana bentuk larangan kalimat tersebut. Mahasiswa Artayasa san menjawab takusi o yonda. Jawaban Artayasa san salah. Noviyanti san kelompok 6 menjawab takusi o yobuna, artinya „jangan panggil taksi‟. Peneliti membetulkan jawaban Noviyantisan kelompok 6. Akhirnya Tina san menyimpulkan hasil temuan kelompok mereka seperti berikut . 1) お雨 ですから、 私 は Kuta へ Oame desu kara, watashi wa Kuta e Hujan karena saya part tempat part Karena hujan lebat, saya tidak pergi ke Kuta.
行きません ikimasen tidak pergi
2) Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan „Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟. 3) Kuta で お土産 Kuta de omiyag tempat part oleh-oleh „Membeli oleh-oleh di Kuta‟.
を o part
かいました kaimashita membeli
4) おきゃくさま は Kuta に おぜくいます Okyakusama wa Kuta ni ozeku imasu wisatawan part tempat part banyak ada „Wisatawan ada banyak di Kuta‟. 5) みなさま は Kuta を しゃんぽうすれば、気をつけてください Minasama wa Kuta o shanpou sureba, ki o tsukete kudasai saudara part tempat part kalau jalan-jalan, berhati-hatilah „Anda sekalian kalau jalan- jalan di Kuta , hati- hatilah‟
157
Berdasarkan hasil analisis pembelajaran mahasiswa, diketahui ternyata pemakaian partikel o/ を untuk kata kerja gerak perpindahan sering mengalami kesulitan, seperti pada kalimat berikut. Kuta に しゃんぽうし に いきたい タクーシ を 呼んでください Kuta ni shampoo shi ni ikitai, takusi o yonde kudasai tempat part jalan-jalan ingin pergi, taksi part panggikan „Saya ingin jalan- jalan ke Kuta tolong panggilkan taksi‟.
Kata kerja shanpo suru (jalan-jalan), wataru (menyeberang), magaru (membelok) disertai partikel o/を , yang berarti “di”. Berbeda halnya bila yang menyertai kata kerja transitif fungsi partikel o/ を menyatakan objek. Unsur predikat kalimat di atas semua berupa kata kerja seperti ikimasen artinya „tidak pergi sopan‟ pada kalimat nomor (1), kaimashita artinya membeli bentuk lampau, kalimat nomor (3). Kata kerja bentuk te/て diikuti kata kudasai bermakna kalimat perintah, seperti contoh kalimat berikut. タクーシ を 呼んでください. Takusi o yonde kudasai. taksi part panggilkan. „Tolong panggilkan taksi‟. Berikutnya dilanjutkan presentasi oleh Sustrawansan kelompok 5 dengan hasil pembelajaran di bawah ini . 1) Gensai Kuta で ビル 高い が たくさんありました Gensai Kuta de biru takai ga takusan arimashita sekarang tempat part gedung tinggi part banyak ada „Sekarang banyak bangunan tinggi – tinggi di Kuta‟. 2) ゆがた だったら、Kuta に sunset を 見に行きましょう Yugata dattara, Kuta ni sunset o mi ni ikimashou sore kalau tempet part sunset part melihat ajakan pergi. „Kalau sore hari, mari kita melihat sunset di Kuta‟.
158
. 3) ワヤンさん は Kuta に よみこさん を あんないしてください Wayan san wa Kuta ni Yomiko san o annai shite kudasai nama part tempat part nama part antarlah „Pak Wayan tolong antar Ibu Yomiko ke Kuta‟. 4) Kuta が ついたら、電話 を Kuta ga tsuitara, denwa o tempat part kalau tiba telpon part Kalau sudah tiba di Kuta tolong telepon ya.
かけてください kakete kudasai telponlah
5) Bali に とても綺麗な かいがん Bali ni totemo kirei na kaigan tempat part sangat indah pantai „Pantai terindah di Bali adalah Kuta‟.
は wa part
Kuta Kuta desu tempat
Seusai kelompok 5 presentasi ada pertanyaan dan koreksi dari Krisnadewi san kelompok 2. Menurut dia, struktur kalimat nomor 1 salah. Menurut gramatika bahasa Jepang seharusnya gensai Kuta ni takai biru ga takusan arimasu. Artinya, sekarang ada banyak bangunan tinggi di Kuta. Selain itu, pada kalimat nomor 4 tertulis Kuta ga/が. Pemakaian partikel ga/が pada konteks ini tidak tepat, tetapi yang benar adalah partikel ni/に, artinya menunjukkan tempat tujuan. Pendapat Krisna san bisa diterima oleh kelompok 5. Pada kesempatan ini peneliti bertanya sekaligus mengevaluasi kemampuan tiap-tiap kelompok. Peneliti meminta mahasiswa memperhatikan kata annai shite kudasai dan kata kakete kudasai. Seandainya kata kudasai dihilangkan,
bagaimana makna kalimat tersebut.
Mahasiswa agak lama tidak menjawab. Kemudian ada kelompok 1, yaitu Wiranata san menjawab. Bila tanpa ada kata kudasai, kalimat tersebut bukan kalimat perintah lagi, melainkan kalimat sedang beraktivitas. Pendapat Wiranatasan disanggah oleh Swarysan kelompok 7. Menurut Swary san tanpa kata kudasai pun kalimat tersebut tetap termasuk kalimat perintah, tetapi kurang
159
sopan atau dikatakan kalimat perintah bentuk biasa dan biasanya dipakai antarteman akrab. Bagaimana mahasiswa lain, banyak mahasiswa menjawab bahwa pendapat dari
Swary san yang betul. Dalam hal ini peneliti juga
sependapat. Setelah melalui diskusi akhirnya hasil temuan mengenai tata bahasa Jepang dasar dikonstruksi ulang sebagai berikut . 1) Gensai Kuta に ビル 高い が たくさんありました Gensai Kuta ni biru takai ga takusan arimashita sekarang tempat part gedung tinggi part banyak ada „Sekarang banyak bangunan tinggi – tinggi di Kuta‟. 2) ゆがた だったら、Kuta に sunset を 見に行きましょう Yugata dattara, Kuta ni sunset o mi ni ikimashou sore kalau tempet part sunset part melihat ajakan pergi. „Kalau sore hari, mari kita melihat sunset ke Kuta‟. . 3) ワヤンさん は Kuta に よみこさん を あんないしてください Wayan san wa Kuta ni Yomiko san o annai shite kudasai nama part tempat part nama part antarlah „Pak Wayan tolong antar Ibu Yomiko ke Kuta‟. 4) Kuta が ついたら、電話 を Kuta ga tsuitara, denwa o tempat part kalau tiba telpon part Kalau sudah tiba di Kuta tolong telepon ya.
かけてください kakete kudasai telponlah
5) Bali に とても綺麗な かいがん Bali ni totemo kirei na kaigan tempat part sangat indah pantai „Pantai terindah di Bali adalah Kuta‟.
は wa part
Kuta Kuta desu tempat
Partikel ni/に berarti “di” pada kata Kuta kalimat nomor (1) menunjukkan tempat keberadaan benda dalam hal ini bangunan tinggi. Kalimat nomor (2) Kuta ni/に pada konteks kalimat ini partikel ni/に tidak berarti di, tetapi berarti “ke”. Perlu diketahui bahwa partikel ni/ に bisa berarti di, ke, oleh, dan lain-lain
160
tergantung dari konteks kalimat. Makna kalimat perintah terdapat pada kalimat nomor (3) dan (4), yakni kata kerja bentuk te/て disertai kata kudasai. Contoh: 電話 を Denwa o Telpon part „Silakan telepon‟.
かけてください。 kakete kudasai. telponlah.
Kalimat perintah ini termasuk bentuk sopan, sedangkan bentuk biasa boleh tanpa kata kudasai. Presentasi terakhir adalah kelompok 7. Novitasari san menyampaikan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL sebagai berikut. 1) 子供 が Kuta で ひとりで およぐな Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna anak part tempat part sendiri jangan berenang „Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟. 2) Kuta で Jogger の テシャーツ Kuta de Jogger no Tshatsu tempat part nama toko baju „Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟ . 3) Kuta で いっしょに 写真 を Kuta de isshoni shasin o tenpat part bersama foto part „Mari foto bersama di Kuta‟.
を かいなさい o kainasai part belikan とりましょう torimashou ajakan berfoto
4) 友達 は Kuta で さっかをしてはいけません Tomodachi wa Kuta de sakka shite wa ikemasen teman part tempat part bola bermain tidak boleh „Teman- teman tidak boleh bermain bola di Pantai Kuta‟. 5) おきゃくさま は Kuta で sunset を おぜく見ました Okyakusama wa Kuta de sunset o ozeku mimashita wisatawan part tempat sunset part banyak melihat „Wisatawan ramai menonton sunset di Kuta‟.
161
Sesudah presentasi Novitasari san menjelaskan bahwa kalimat nomor 1 dan kalimat nomor 4 bermakna kalimat larangan. Bentuk kamus kata oyoguna, pada kalimat nomor 1 adalah oyogu tergolong kata kerja kelompok satu. Bila disertai kata na, akan berubah fungsi menjadi makna larangan. Apabila kata kerja kelompok 2 kata ru diganti ro akan berubah makna menjadi bentuk larangan. Taberu menjadi tabero artinya „dilarang makan‟. Begitu juga kata shite wa ikemasen, pada kalimat nomor 4 artinya tidak boleh melakukan juga mengandung makna larangan. Kalimat nomor 2 bermakna kalimat perintah. Kalimat nomor 3 adalah kalimat ajakan. Novitasari san memberikan kesempatan kelompok lain untuk bertanya. Akan tetapi, tidak ada bertanya dan mereka mengatakan sudah mengerti. Kemudian peneliti bertanya mengapa kelompok 7 menulis kainasai tidak menulis kata kerja bentuk “te”. Novitasari san memberikan kesempatan anggota kelompoknya untuk menjawab. Lestari san mengatakan bahwa kata dasar bentuk masu disertai kata nasai juga dapat membentuk kata kerja perintah sama dengan kata kerja bentuk “te” disertai kata kudasai. Perbedaannya hanya pada tingkat kesopanannya. Pendapat kelompok 7 memang dapat diterima dan benar. Hasil temuan pembelajaran kelompok 7 semua
sudah betul. Kemudian
disimpulkan sebagai berikut . 1) 子供 が Kuta で ひとりで およぐな Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna anak part tempat part sendiri jangan berenang „Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟. 2) Kuta で Jogger の テシャーツ Kuta de Jogger no Tshatsu tempat part nama toko baju „Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟
を かいなさい o kainasai part belikan
162
3) Kuta で いっしょに Kuta de isshoni tenpat part bersama „Mari foto bersama di Kuta‟.
写真 を shasin o foto part
とりましょう torimashou ajakan berfoto
4) 友達 は Kuta で さっかをしてはいけません Tomodachi wa Kuta de sakka shite wa ikemasen teman part tempat part bola bermain tidak boleh „Teman- teman tidak boleh bermain bola di Pantai Kuta‟. 5) おきゃくさま は Kuta で sunset を おぜく見ました Okyakusama wa Kuta de sunset o ozeku mimashita wisatawan part tempat sunset part banyak melihat „Wisatawan ramai menonton sunset di Kuta‟. Partikel wa/は dan ga/が dipakai untuk menyatakan subjek kalimat bahasa Jepang. Perhatikanlah kalimat nomor (1). 子供 が Kuta で ひとりで およぐな. Kodomo ga Kuta de hitoride oyoguna. anak part tempat part sendiri jangan berenang. „Anak – anak jangan berenang sendiri di Kuta‟. Partikel ga/が lebih menekankan pada subjek, seperti pada kalimat di atas menegaskan kepada anak-anak. Bentuk kamus kata kerja oyoguna, adalah oyogu artinya „berenang‟ disertai kata na/な bermakna untuk mengungkapkan larangan berenang. Ungkapan larangan ini adalah bentuk biasa. Perhatikan kalimat hasil temuan nomor (2) berikut. Kuta で Jogger の テシャーツ Kuta de Jogger no Tshatsu tempat part Jogger part baju kaos „Tolong belikan baju kaos Jogger di Kuta‟.
を o part
かいなさい. kainasai. belikan.
Kalimat ini adalah kalimat perintah. Caranya kata kerja kaimasu, kemudian masu diganti dengan nasai. Contoh lain tabemasu artinya makan. Kata itu berkonjugasi menjadi tabenasai artinya “makanlah” yaitu bentuk perintah.
163
Mahasiswa hati-hati memakai partikel o/を bila berfungsi sebagai penanda objek pada kata kerja transitif dan partikel o/を dapat juga berarti “di” pada kata kerja lain seperti wataru (menyeberang), magaru (membelok). Pola kalimat bahasa Jepang S-K-O-P (subjek-keterangan-objek-predikat), di antara kata-kata tersebut disisipi kata bantu atau partikel. Predikat bahasa Jepang terletak di akhir kalimat. Contoh: Riko さん は Kuta で 母子 を Rikosan wa Kuta de boshi o nama part tempat part topi part „ Riko membeli topi di Kuta‟.
買いました。 kaimashita. membeli.
Riko (S), wa partikel penanda subjek, Kuta (K), de partikel penanda tempat kegiatan berarti di, boshi (O) partikel o penanda objek, kaimashita (P) bentuk lampau. Kalimat ini adalah bentuk lampau.
4.3.2.3 Pengamatan Siklus II Seperti telah dikemukkan di atas bahwa selama berlangsungnya proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar (shokyou bumpo) dengan metode CTL dilakukan penilaian pengamatan oleh peneliti dan dosen observer pada siklus II sama dengan yang digunakan dalam penilaian tindakan siklus I. Penilaian dilaksanakan dengan lembar penilaian yang sudah dipersiapkan dan dilakukan melalui observasi. Hasil pengamatan dianalisis dan hasil analisis dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan refleksi untuk mengetahui hasil pencapaian proses pembelajaran.
164
Berikut disampaikan hasil pengamatan proses pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL pada siklus II. Pada pengamatan ini indikator – indikator yang diamati sama dengan indikator pengamatan siklus I. Hasil pengamatan pembelajaran siklus II dapat disampaikan sabagai berikut.
4.4 Pengamatan Aktivitas Belajar Mahasiswa dengan Menerapkan Metode Kontekstual (CTL) pada Siklus II No. 1
2 3 4 5
6 7
8 9 10
Indiktor Pengamatan Perhatian, motivasi, dan tanggung jawab ketika proses pembelajaran berlangsung. Pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa Kemampuan untuk menemukan konteks pembelajaran. Kemampuan untuk mengonstruksi hasil pembelajaran Keaktifan mahasiswa dalam belajar kelompok (kerjasama dalam kelompok) Keaktifan dalam bertanya/diskusi. Kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen Tertib, sopan, dan disiplin dalam mengikuti proses pembelajaran. Kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu. Kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar.
Baik Sekali √
Penilaian Baik Cukup Kurang
√ √ √ √
√ √
√ √ √
Hasil pengamatan pada lembar pengamatan siklus II dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan menggunakan metode CTL pada indikator aspek,
165
motivasi, dan tanggung jawab, kemampuan untuk mengonstruksi hasil pembelajaran,
ketertiban,
sopan,
dan disiplin
dalam
mengikuti
proses
pembelajaran
mengalami peningkatan mejadi sangat baik. Indikator lainnya,
yakni pengembangan ide/gagasan nyata dari mahasiswa, kemampuan untuk menemukan konteks
pembelajaran,
keaktifan mahasiswa dalam belajar
kelompok (kerja sama dalam kelompok), keaktifan dalam bertanya/diskusi, kelancaran mahasiswa dalam menjawab pertanyaan kelompok dan dosen, kemampuan mahasiswa dalam memanfaatkan waktu, dan kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar, mengalami peningkatan dari kategori cukup menjadi baik pada siklus II. Menurut saran dan catatan dosen pendamping, kemampuan mahasiswa dalam mempresentasikan hasil belajar memang mengalami peningkatan, tetapi ada beberapa orang perlu dilatih dan ditingkatkan lagi. Hasil pengamatan yang dilaksanakan oleh dosen pendamping dan catatan – catatan wawancara peneliti pada pembelajaran siklus I dan siklus II dijadikan dasar pertimbangan juga dalam pengambilan tindakan pembelajaran tata bahasa Jepang dasar.
4.3.2.4 Tindakan Refleksi Siklus II Sebagaimana sudah diuraikan pada siklus I, refleksi tindakan siklus II juga dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan observer pendamping. Refleksi siklus II bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Sarasawati Denpasar setelah melaksanakan siklus I dengan metode CTL. Jenis dan bentuk tes yang digunakan
166
pada refleksi siklus II sama dengan tes siklus I karena kedua tahapan tersebut mempunyai tujuan yang sama yakni mengukur kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar bagi mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Hasil refleksi siklus II dapat dideskripsikan pada tabel berikut
Tabel 4.5 Data Total Skor Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Mahasiswa Semester III Setelah Dilaksanakan Metode CTL pada Tindakan Akhir Tes Siklus II No. Penggunaan Pola Unsur- Makna/Fungsi Total % Kategori Partikel Mhs Kalimat unsur Kalimat Skor Skor Kalimat 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
16 18 20 14 16 14 16 14 14 14 20 20 16 18 16 20 18 18 20 16 14 18 18 16 16 20 20 18 16 18 18 16
26 24 26 22 26 26 20 26 18 26 28 24 18 20 22 24 26 20 24 20 18 26 24 18 26 26 24 22 18 24 24 24
16 16 20 16 14 14 14 20 16 14 18 20 12 18 14 18 20 12 18 16 16 20 18 14 16 20 20 18 16 18 18 16
24 22 26 20 22 26 18 24 22 24 24 28 18 24 22 28 24 22 24 18 26 28 22 20 24 26 26 22 18 22 24 26
82 80 92 72 78 80 68 84 70 78 90 92 64 80 74 90 88 72 88 70 78 92 82 68 82 92 90 80 68 82 84 82
82% 80% 92% 72% 78% 80% 68% 84% 70% 78% 90% 92% 64% 80% 74% 90% 88% 72% 88% 70% 78% 92% 82% 68% 82% 92% 90% 80% 68% 82% 84% 82%
B B A B B B C B B B A A C B B A A B A B B A B C B A A B C B B B
167
33 34 35 36 37 Total
18 16 16 18 18 632
22 22 24 20 22 848
16 18 18 16 18 622
24 24 22 24 24 864
80 82 80 78 82 2.966
80% 82% 80% 78% 82%
B B B B B
Berdasarkan data tabel 4.5 di atas dapat disampaikan bahwa total skor kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada pelaksanaan tes PTK siklus II dengan menerapkan metode CTL adalah 2.966. Nilai rata – rata mahasiswa yang diperoleh pada tindakan tes akhir siklus II , dengan cara total skor dibagi jumlah mahasiswa . Jadi, skor rata – rata mahasiswa adalah 2.966 : 37 = 80, termasuk kategori nilai baik (B). Keempat indikator yang dites, yakni skor pemakaian partikel diperoleh dengan cara total skor dibagi skor maksimum dikali seratus persen. Jadi, skornya adalah 632 : 740 x 100% = 85%, artinya 31 orang mahasiswa dari 37 orang sudah mengerti pemakain partikel. Skor mengenai pola kalimat bahasa Jepang adala 848 : 1.110 x 100 = 70%, artinya 28 orang mahasiswa mengerti pola kalimat bahasa Jepang. Skor mengenai unsur predikat adalah 622 : 740 x 100% = 84%, artinya 31 orang mahasiswa mengerti unsur – unsur predikat bahasa Jepang dasar. Skor tentang makna kalimat adalah 864 : 1.110 x 100% = 77%, artinya 28 orang mahasiswa sudah mengerti makna kalimat bahasa Jepang. Skor maksimal subpemakaian partikel dan unsur predikat 740 sedangkan skor maksimal subpola kalimat dan makna kalimat 1.110. Pada tindakan tes akhir siklus II pemakaian partikel pada kalimat bahasa Jepang dasar memperoleh kategori skor A (sangat baik), sedangkan pola kalimat, unsur predikat, dan makna kalimat pada tata bahasa Jepang dasar memperoleh skor B
168
(baik). Adapun sebaran nilai yang dicapai oleh mahasiswa semester III pada tindakan tes akhir siklus II adalah mahasiswa yang memperoleh nilai A= 9 orang, mahasiswa yang mendapat nilai B = 24 orang, mahasiswa yang mendapat nilai C = 4 orang, dan pada akhir tes siklus II tidak ada mahasiswa yang mendapat nilai D atau
E. Untuk lebih lengkapnya
dapat disampaikan pada analisis data
kuantitatif dan analisis data kualitatif berikut.
4.3.2.5 Analisis Kuantitatif Penelitian Tindakan Kelas Siklus II Data tabel 4.3.3 tentang skor akhir siklus II menunujukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan hasil tes akhir siklus I. Peningkatan ini terjadi karena mahasiswa telah mampu memahami materi pembelajaran yang diberikan dengan menggunakan metode CTL. Pada siklus II nilai tertinggi 92, sedangkan nilai terendah 64. Hasil tes siklus II tingkat penguasaan tata bahasa Jepang dasar setiap mahasiswa dihitung dengan rumus , berikut. 1) S = R S = skor tiap mahasiswa R = right atau total skor betul mahasiswa Skor mahasiswa nomor urut 1 adalah 16 + 26 + 16 + 24 = 82. Demikianlah skor mahasiswa berikutnya sampai dengan mahasiswa terakhir seperti terdapat pada tabel di atas.
Skor tiap mahasiswa dalam bentuk persentase.
169
L = skor mahasiswa X 100% Skor maksimum 82 X 100% = 82 %. 100 Keterangan : L = tingkat kemampuan penguasaan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dalam bentuk persentase. Berdasarkan jumlah nilai mahasiswa pada tabel 4.5 di atas dapat dihitung nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III dengan menggunakan rumus berikut. X = total skor mahasiswa X 100% Jumlah mahasiswa X=
2.966 X 100% 37
X = 80 % Untuk mean score siklus II dapat dihitung menggunakan rumus di bawah ini. X = ∑X N
X = 2.966 37
= 80
Jadi, mean score silkus II adalah 80 artinya termasuk kategori B (baik) maka tidak diperlukan lagi tindakan siklus III.
4.3.2.6 Analisis Data Kualitatif Penelitian Tindakan Kelas Siklus II Nilai rata-rata tes hasil analisis
tingkat kemampuan tata bahasa Jepang
dasar mahasiswa pada siklus II nilai rata-rata tes mencapai 80. Adapun sebaran
170
skor yang diperoleh mahasiswa berdasarkan tabel di atas adalah sembilan orang mahasiswa memperoleh nilai A , dua puluh empat orang mahasiswa mendapatkan nilai B, empat orang mahasiswa memperoleh nilai C, dan pada pelaksanaan tes siklus II tidak ada mahasiswa mendapat nilai D atau E dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa. Pada akhir siklus II terdapat peningkatan hasil pembelajaran yang signifikan dibandingkan dengan hasil tes sebelumnya dengan metode CTL. Semua mahasiswa memenuhi syarat untuk lulus dengan predikat rata -rata B (baik). Hasil analisis tes pada siklus II tentang kemampuan penggunaan partikel bahasa Jepang memperoleh skor delapan puluh lima persen, artinya tiga puluh satu orang mahasiswa mengerti pemakaian partikel bahasa Jepang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa semester III Sastra Jepang. Berdasarkan pengamatan, wawancara, dan hasil tes, diketahui bahwa mahasiswa yang
mendapat nilai
maksimal adalah Wiranata san, Apriyanti san, Noviyanti san, Artini san, Krisna san, dan Rada san. Mereka betul semua soal tes pemakaian partikel pada pelaksanaan tes siklus II dengan
metode CTL. Sebaliknya, mahasiswa yang
memperoleh nilai terendah adalah Arda san, Asri san, Supardiana san, Chyntia san, Sutrisna san, dan Maulida san. Hasil analisis tes menunjukkan bahwa secara umum letak kesalahan mahasiswa adalah pada soal partikel ga/が dan o/を pada kata kerja dan kata sifat. Contoh
hasil temuan belajar mahasiswa yaitu
okyakusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto o suki desu. Banyak mahasiswa salah memakai partikel o/を di antara kata koto dan suki, seharusnya yang benar adalah partikel ga/ が karena kata suki termasuk kata sifat potensial. Dengan demikian kalimat yang benar menjadi seperti contoh di bawah ini.
171
おきゃうくさま は Kuta で 荷っこよくすること Okyakusama wa Kuta de nikkoyoku suru koto wisatawan part tempat part berjemur „Wisatawan suka berjemur di pantai Kuta‟.
が
すきです。
ga part
suki desu. suka.
Pencapaian skor rata- rata indikator pemakaian partikel tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III pada siklus II adalah 85%, termasuk kategori A (sangat baik). Hal ini menunjukkn bahwa terdapat peningkatan apabila dibandingkan dengan siklus I. Total skor persentase hasil analisis tes tentang pola atau struktur kalimat bahasa Jepang adalah tujuh puluh enam persen, artinya dua puluh delapan orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa memahami pola kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang mencapai nilai tertinggi adalah Apriyanti san dengan skor dua puluh delapan, artinya mahasiswa bersangkutan dapat mengerjakan empat belas soal pola kalimat bahasa Jepang dari lima belas soal. Di pihak lain mahasiswa yang mendapat skor terendah adalah Chintya san, Supari san, Maulida san, Purnama san dan Seri san. Mereka tampaknya masih bingung menyusun unsurunsur kalimat sesuai dengan gramatika bahasa Jepang terutama kata sifat dan kata kerja yang sudah berkonjugasi. Contoh hasil temuan yang dikonstruksi oleh kelompok 4 adalah Rita san wa Kuta de kaimashita o omiyage desu. Pola atau struktur kalimat ini salah, seharusnya yang benar seperti di bawah ini. Rita さん は Kuta で おみやげ Rita san wa Kuta de omiyage Nama part tempat part oleh-oleh „Rita membeli oleh-oleh di Kuta‟.
を o part
買いました。 kaimashita. membeli.
Rita san subjek , kaimashita (membeli) predikat, omiyage (oleh-oleh) objek, dan Kuta keterangan tempat, wa, de dan o adalah partikel. Kata desu tidak perlu
172
karena sudah ada kata kerja. Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P. Sedangkan bahasa Indonesia berpola S-P-O-K. Berdasarkan gramatika bahasa Jepang dimana predikat kalimat bahasa Jepang selalu terletak di akhir kalimat. Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes mengenai unsurunsur kalimat bahasa Jepang adalah delapan puluh empat persen, artinya tiga puluh satu orang dari tiga puluh tujuh orang mahasiswa mengerti tentang unsurunsur kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi mengenai unsur-unsur predikat adalah Wiranata san, Supardiana san, Noviyanti san. Mereka sudah dapat mengerjakan semua soal yang diujikan. Sebaliknya mahasiswa yang memperoleh nilai terendah adalah Supari san, Kompyan san. Mereka belum mengerti unsur predikat kata sifat yang berkonjugasi. Misalnya Kuta no michi wa ii desu ga nigiyaka desu. Unsur kata sifat kalimat ini tidak tepat, karena kata sifat sebagai predikat dalam konteks ini mempunyai arti berlawanan. Kalimat yang betul seharusnya seperti berikut. Kuta の みち は いいです Kuta no michi wa ii desu tempat part jalan part bagus „Jalan di Kuta bagus tetapi sempit‟.
が ga part
せまいです。 semai desu. sempit.
Peneliti beranggapan bahwa kesulitan mahasiswa bukan pada unsur kalimat melainkan pada penguasaan kosakata. Pada tindakan siklus II tidak banyak mahasiswa yang mengalami hal seperti ini. Hal ini dapat dilihat hasil tes unsur kalimat menunjukan nilai rata-rata 84 termasuk kategori baik. Total skor dalam bentuk persentase hasil analisis tes terakhir tentang pengertian makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang total skornya dalam bentuk persentase tujuh puluh tujuh persen , artinya ada dua puluh delapan mahasiswa
173
sudah mengerti tentang makna atau fungsi kalimat bahasa Jepang. Mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi adalah Noviyanti san, Artini san, dan Novitasari san. Mereka memperoleh skor dua puluh delapan, artinya berhasil mengerjakan soal empat belas soal dari lima belas soal. Dari hasil pengamatan dan tes tindakan siklus II diketahui tiga orang mahasiswa memperoleh nilai terendah pada indikator makna kalimat bahasa Jepang yaitu Supari san, Aldi san, dan Seri san. Mahasiswa bersangkutan hanya mencapai skor delapan belas, artinya dapat mengerjakan sembilan soal dari lima belas soal. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa mereka mengalami kesulitan pada konjugasi kata kerja sesuai dengan makna kalimat. Contoh hasil temuan kelompok, misalnya tomodachi wa Kuta de sakka o shirona. Maksud si pembicara membuat kalimat larangan, yaitu teman-teman dilarang bermain sepak bola di Pantai Kuta. Makna kalimat tersebut salah. Kesalahan terletak pada perubahan kata kerja suru. Kata kerja bentuk kamus suru untuk makna larangan tidak berubah menjadi shirona, tetapi menjadi suruna. Dengan kata lain kata kerja kamus ditambah na. Kalimat yang benar seharusnya seperti berikut. ともだち は Kuta で さかをするな。 Tomodachi wa Kuta de sakka o suruna. teman part tempat part bermain bola dilarang „Teman-teman dilarang bermain sepak bola di Kuta‟. Setelah dilaksanakan tindakan siklus II hampir semua mahasiswa mampu meningkatkan nilai hasil belajar. Jika dilihat dari kategori tingkat kemampuan mahasiswa, nilai rata – rata tes akhir siklus II termasuk kategori baik. Kemampuan mahasiswa menjawab tes yang mengukur partikel, pola kalimat, unsur kalimat, dan makna kalimat bahasa Jepang sudah meningkat dibandingkan
174
dengan siklus I. Pada setiap akhir tindakan presentasi hasil belajar
peneliti
bertanya untuk mengecek kemampuan mahasiswa . Respons mahasiswa sangat bagus dan dapat menyelesaikan tugas – tugas yang diberikan.Dengan keterbatasan waktu dan jadwal akademis di tempat penelitian, peneliti tidak bisa melakukan wawancara lebih lanjut kepada mahasiswa yang memperoleh skor terendah untuk membantu mengatasi kesulitan belajar mereka. Pada akhir penelitian secara umum peneliti tetap memberikan motivasi kepada mahasiswa agar
dapat mengatur
waktu untuk belajar demi masa depan yang lebih baik, apalagi menghadapi persaingan global yang semakin ketat bagi mahasiswa. Berdasarkan pengamatan dan wawancara pada waktu istirahat diketahui terdapat kesulitan-kesulitan secara umum yang dialami mahasiswa belajar tata bahasa Jepang. Adapun kesulitan-kesulitan tersebut antara lain (1) mahasiswa sering keliru mengenai susunan kalimat bahasa Jepang yang sangat komplek dibandingkan dengan bahasa lainnya, (2) penguasaan kosakata bahasa Jepang masih terbatas, (3) masih langkanya buku-buku bahasa Jepang berhuruf Latin, dan (4) kemampuan penguasaan huruf Jepang khususnya huruf Kanji masih kurang.
4.4 Perbandingan Hasil Analisis Tes Kuantitatif yang Menunjukkan Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Sebelum dan Sesudah Penerapan Metode CTL Skor tes yang diperoleh selama penelitian, yakni nilai tes awal, nilai tes sebelum penterapan metode CTL dan nilai tes sesudah penterapan metode CTL yang berupa tindakan siklus I dan tindakan siklus II dibandingkan untuk mengetahui peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa . Untuk dapat dilihat dengan jelas peningkatannya disajikan dalam bentuk tabel berikut .
175
Tabel 4.6 Data Perbandingan Skor yang Menunjukan Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Setiap Mahasiswa Sebelum dan Sesudah Penerapan Metode Kontekstual (CTL) Nama Mahasiswa M. 01 M. 02 M. 03 M. 04 M. 05 M. 06 M. 07 M. 08 M.09 M. 10 M. 11 M. 12 M. 13 M. 14 M. 15 M. 16 M. 17 M. 18 M. 19 M. 20 M. 21 M. 22 M. 23 M. 24 M. 25 M. 26 M. 27 M. 28 M. 29 M. 30 M. 31 M. 32 M. 33 M. 34 M. 35 M. 36 M. 37
Nilai tes awal
%
Nilai tes Siklus I
%
Nilai tes Siklus II
%
58 44 70 46 58 48 34 58 42 40 58 70 42 58 56 56 58 44 70 42 56 62 56 46 56 72 56 42 38 44 56 46 46 60 56 48 58
58% 44% 70% 46% 58% 48% 34% 58% 42% 40% 58% 70% 42% 58% 56% 56% 58% 44% 70% 42% 56% 62% 56% 46% 56% 72% 56% 42% 38% 44% 56% 46% 46% 60% 56% 48% 58%
72 70 88 68 68 64 60 74 68 68 74 88 50 78 66 64 80 68 76 68 68 78 84 54 82 88 82 70 70 74 70 60 60 72 58 64 70
72% 70% 88% 68% 68% 64% 60% 74% 68% 68% 74% 88% 50% 78% 66% 64% 80% 68% 76% 68% 68% 78% 84% 54% 82% 88% 82% 70% 70% 74% 70% 60% 60% 72% 62% 64% 70%
82 80 92 72 78 80 68 84 70 78 90 92 64 80 74 90 88 72 88 70 78 92 80 68 82 92 90 80 68 82 84 82 80 82 80 78 82
82% 80% 92% 72% 78% 80% 68% 84% 70% 78% 90% 92% 64% 80% 74% 90% 88% 72% 88% 70% 78% 92% 80% 68% 82% 92% 90% 80% 68% 82% 84% 82% 80% 82% 80% 78% 82%
176
Data pada tabel 4.7 di atas menunjukkan adanya peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar setelah menerapkan metode CTL. Pada akhir tes siklus I nilai rata – rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa meningkat bila dibandingkan dengan nilai tes awal atau sebelum penterapan metode CTL. Skor rata – rata mahasiswa pada tes awal mencapai 51 termasuk kategori nilai D (kurang). Tidak ada mahasiswa memperoleh nilai A, 22 orang memperoleh nilai C, 8 orang mahasiswa memperoleh nilai D , dan 2 orang memperoleh nilai E. Akan tetapi, setelah menerapkan metode CTL skor rata- rata mahasiswa pada siklus I meningkat menjadi 69 termasuk kategori nilai C. Pada siklus I ada 3 orang mahasiwa memperoleh nilai A, 20 orang memperoleh nilai C, dan 2 orang memperoleh nlai D. Sehubungan dengan itu, dipandang perlu dilaksanakan tindakan siklus II. Pada tindakan tes siklus II nilai rata- rata mahasiswa meningkat menjadi 80. Pada tindakan siklus II ada 9 orang mahasiswa memperoleh nilai A, 24 orang memperoleh nilai B, dan 4 orang memperoleh nilai C. Oleh karena itu, tidak perlu dilaksanakan tindakan siklus berikutnya.
4.4 Perbandingan Hasil Analisis Tes Kualitatif yang Menunjukkan Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar Sebelum dan Sesudah Penerapan Metode CTL Berdasarkan hasil analisis tes, hasil pengamatan, dan wawancara dapat diuraikan data kualitatif kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa semester III Sastra Jepang STIBA Saraswati Denpasar. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut.
177
Sebelum penerapan metode CTL banyak mahasiswa mengalami kesulitan tentang pemakaian partikel de/で, ni/に, dan o/を. Dalam konteks tertentu partikel tersebut mempunyai arti yang sama, yakni „di‟ pada kalimat bahasa Jepang. Sebagai contoh, watashi wa Kuta de oyogimasu. Artinya, „saya berenang di Kuta‟. Kalimat ini akan salah apabila diucapkan atau ditulis watashi wa Kuta ni oyogimasu. Kesalahan terletak pada pemakaian partikel ni/に di antara kata Kuta dan oyogimasu. Kata kerja oyogimasu tergolong kata kerja beraktivitas sehingga harus digunakan partikel de/で . Berbeda halnya dengan contoh kalimat Kuta ni bom ga arimashita. Artinya, „ada bom di Kuta‟. Pada kalimat ini partikel yang benar digunakan adalah ni/に, karena menyatakan keberadaan suatu benda atau peristiwa. Menurut gramatika bahasa Jepang ada aturan apabila predikat kalimat kata kerja beraktivitas, partikel yang digunakan adalah de/ で
, apabila
menunjukkan keberadaan suatu benda, digunakanlah partikel ni/に. Pada tindakan tes awal kemampuan mahasiswa menggunakan partikel masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil analisis tes mencapai skor 53%. Artinya sebagian mahasiswa belum mengerti pemakaian partikel. Sesudah menerapkan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar pada tindakan siklus I dan tindakan siklus II, kemampuan mahasiswa mengenai partikel secara berangsur-angsur mengalami peningkatan. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil analisis tes awal 53% meningkat menjadi 72%.pada tindakan siklus I, kemudian meningkat menjadi 85% pada tindakan siklus II. Di samping itu, berdasarkan pengamatan dan wawancara sebelum menerapkan metode CTL, diketahui bahwa kebanyakan mahasiswa masih belum mengerti
178
pemakaian partikel de/ で , ni/ に , o/ を dan ga/ が . Akan tetapi, sesudah menerapkan metode CTL terdapat perubahan atau peningkatan yang signifikan. Sebagian besar mahasiswa sudah mengerti pemakaian partikel dalam kalimat bahasa Jepang dasar. Kemampuan mahasiswa mengenai pola kalimat bahasa Jepang dasar sebelum menerapkan metode CTL termasuk kategori sangat kurang. Hal ini diketahui berdasarkan analisis hasil tes mencapai skor 43% .Mahasiswa masih bingung mengenai pola kalimat bahasa Jepang yang sangat kompleks. Mahasiswa sering salah menempatkan unsur predikat pada kalimat bahasa Jepang. Misalnya, watashi wa mimashita sunset o Kuta desu. Pola kalimat ini salah, seharusnya yang benar adalah watashi wa Kuta de sunset o mimashita. Artinya “saya melihat sunset di Kuta”. Pola kalimat bahasa Jepang adalah S-K-O-P. Unsur predikat terletak di akhir kalimat. Sesudah menerapkan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar hasil belajar mengalami peningkatan dari tes awal dengan skor 43% meningkat menjadi 65% pada tindakan siklus I kemudian meningkat lagi menjadi 76% pada tindakan siklus II. Peningkatan ini menunjukkan bahwa penerapan metode CTL dalam pembelajaran memberikan dampak positif terhadap hasil belajar. Skor sebelum penerapan metode CTL termasuk kategori sangat kurang, tetapi sesudah penerapan metode CTL hasi pembelajaran tata bahasa Jepang dasar meningkat menjadi kategori baik. Kemampuan mahasiswa sehubungan dengan unsur-unsur predikat kalimat bahasa Jepang sebelum penerapan metode CTL mencapai skor 57% termasuk
179
kategori cukup. Mahasiswa beranggapan bahwa unsur predikat hanya terdiri atas jenis kata kerja, padahal kata sifat dan kata benda juga dapat berfungsi sebagai predikat. Penguasaan kosakata bahasa Jepang yang terbatas juga menjadi kendala bagi mahasiswa untuk memahami unsur predikat. Misalnya, Kuta mo Sanur mo oyogimasu. Kalimat ini salah pada unsur predikat. Pada konteks kalimat ini kata kerja oyogimasu berarti berenang tidak tepat sebagai predikat. Kalimat ini akan benar bila dinyatakan seperti berikut. Kuta も Sanur も きれいです。 Kuta mo Sanur mo kirei desu. tempat part tempat part indah. „Baik Pantai Kuta maupun pantai Sanur indah‟. Unsur predikat yang tepat adalah kata sifat. Pada kalimat ini kata sifat kirei berarti “indah”. Hasil belajar sesudah penerapan metode CTL mengalami peningkatan yakni dari
skor tes awal 57% meningkat menjadi 75% pada tindakan siklus I
kemudian meningkat lagi menjadi 84% pada tindakan siklus II. Semula termasuk kategori cukup meningkat menjadi kategori baik sesudah penerapan metode CTL. Kemampuan kosakata dan huruf Jepang masih menjadi kendala dalam pembelajaran bahasa Jepang. Kemudian hasil analisis data kualitatif makna kalimat sebelum penerapan metode CTL menunjukkan skor 54%, tergolong kategori kurang. Berdasarkan data dokumentasi dan wawancara kepada mahasiswa diketahui banyak yang belum mengerti perubahan kata kerja sesuai dengan makna kalimat, terutama konjugasi bentuk tekei, perubahan antara huruf satu „t‟ dan
dua „tt‟, dan
perubahan antara kata ide dan kata nde. Misalnya Kuta de omiyage o katte
180
kudasai. Artinya “belikan oleh-oleh di Kuta”, kalimat ini betul. Tetapi kalimat ini akan salah apabila ditulis Kuta de omiyage o kate kudasai. Kesalahan terletak pada kata kate, antara satu te/て dan dua tte/つて mempunyai makna berbeda. Oleh karena itu, konjugasi kata kerja bahasa Jepang harus dipahami betul oleh mahasiswa. (Sudjianto, Dahidi, 2012:136). Sesudah penerapaan metode CTL dalam pembelajaran tata bahasa Jepang dasar kemampuan mahasiswa tentang makna kalimat mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari hasil belajar sebelum penerapan metode CTL mencapai tingkat keberhasilan 54% pada tes awal, meningkat menjadi 67% pada tindakan siklus I, kemudian meningkat lagi menjadi 77% pada tindakan siklus II dan sudah termasuk kategori baik. Peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar mengalami perubahan yang signifikan. Nilai rata-rata yang diperoleh pada pelaksanaan tes awal 51 kemudian meningkat menjadi 69 pada tindakan siklus I, kemudian meningkat lagi menjadi 80 pada tindakan siklus II, dan termasuk kategori baik. Itu berarti pembelajaran dengan menerapkan metode CTL dapat memberikan dampak yang sangat positif terhadap hasil belajar mahasiswa. Apabila dilihat dalam grafik, hasil peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa mulai dari tes awal, tes siklus I, dan tes siklus II tergambar seperti berkut.
181
Gambar 4.1 Grafik Nilai Rata- rata Mahasiswa dalam Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar 100% 90%
80%
80%
69%
70% 60%
51%
50% 40% 30%
20% 10% 0% Tes Awal
Tes Siklus I
Tes Siklus II
4.6 Analisis Respons Mahasiswa terhadap Perangkat Pembelajaran dengan Menerapkan Metode CTL Data
kuesioner
respons
mahasiswa
yang terkumpul
setelah
akhir
pembelajaran dianalisis untuk mengetahui sikap atau respon mahasiswa terhadap perangkat pembelajaran
menerapkan metode CTL. Data tersebut dianalisis
dengan teknik Skala Likert. Menurut Sugiyono, jawaban setiap instrumen dengan menggunakan Skala Likert ini mempunyai gradasi dari sangat positif hingga sangat negatif. Jawaban diberikan skor seperti berikut. Sangat Setuju / Suka (SS), nilai 5. Setuju/ Suka (S), nilai 4. Cukup Setuju/Suka (CS), nilai 3. Tidak Setuju (TS), nilai 2. Sangat Tidak Setuju (STS), nilai 1.
182
Kategori SS, S, dan CS dikelompokan penilaian setuju/suka. Kategori TS dan STS dikelompokkan penilaian tidak setuju/suka. Analisis hasil kuesioner respons mahasiswa dihitung dengan rumus berikut Rumus = T x Pn Keterangan: T= total jumlah panelis yang memilih. Pn = pilihan angka skor Likert.
(Sugiyono, 2012:93).
Tabel 47 Respons Mahasiswa terhadap Perangkat Pembelajaran dengan Menerapkan Metode CTL No Pilihan Jawaban
Singkatan
Skor
1
Sangat Setuju/Suka
SS
5
2 3 4 5
Setuju/Suka Cukup Setuju/Suka Tidak Setuju/Suka Sangat Tidak Setuju Total Skor
S CS TS STS
4 3 2 1
Skor tertinggi (X) adalah 5 x 37 = 185 Skor terendah (Y) adalah 1 x 37 = 37. Rumus Indeks =
Total Skor X 100 Skor Tertinggi
= 145 X 100 185 = 78.37%
Rumus Interval (I) = 100 Jml Skor 100 = 5
20
Jml Pemilih 10
Total Skor
19 4 3 1 37
76 12 6 1 145
50
183
Interval penilaian: 0 % -- 19.99% = STS 20% -- 39.99% = TS 40% -- 59.99% = CS 60 % -- 79.99% = S 80% -- 100%
= SS
Berdasarkan tabel 4.8 di atas diketahui bahwa respons atau sikap mahasiswa mencapai indek penilaian 78.37 %, termasuk kategori setuju/suka (S). Ini berarti bahwa sangat positif
respons atau sikap mahasiswa terhadap perangkat
pembelajaran dengan menerapkan metode CTL. Hasil analisis pilihan pernyataan ini juga dapat membuktikan bahwa mahasiswa aktif berdiskusi mengerjakan tugas kelompok belajar mereka. Proses pembelajaran ini dikenal dengan student centered.
4.7 Faktor - Faktor yang Memengaruhi Peningkatan Kemampuan Tata Bahasa Jepang Dasar bagi Mahasiswa dengan Penerapan Metode CTL Berdasarkan kuesioner, pengamatan, wawancara, dan dokumen/catatan harian pada saat dilakukan penelitian diketahui terdapat beberapa faktor yang memengaruhi hasil peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar dengan menggunakan metode CTL. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut. 1) Perhatian, minat, dan motivasi belajar mahasiswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar dengan metode CTL. Mahasiswa yang memiliki minat dan motivasi besar terhadap pelajaran cenderung akan memberikan
184
prestasi tinggi. Sebaliknya, bila kurang minat dan motivasi mahasiswa terhadap suatu pelajaran akan menghasilkan prestasi yang rendah. 2) Kondisi kelas yang aktif dan menyenangkan berpusat pada mahasiswa menyebabkan pelajaran, dengan mudah dapat dimengerti. 3) Konsentrasi belajar mahasiswa akan berpengaruh terhadap hasil temuan, mengonstruksi dan menyampaikan materi yang dipresentasikan dalam kerja kelompok. 4) Kekompakan kerja kelompok yang disertai disiplin sangat memengaruhi hasil belajar dengan metode CTL. 5) Keberanian dan kebiasaan mahasiswa bertanya terhadap hal yang belum dimengerti. Proses ini berdampak terhadap suasana kelas yang hidup, aktif, terjadi interaksi pembelajaran yang demokratis. 6) Kebiasaan belajar mahasiswa yang teratur sesuai dengan jadwal pelajaran. 7) Adanya sikap dan kemampuan untuk mengkritisi yang bersifat membangun hasil presentasi kelompok yang disampaikan. 8) Memiliki keterampilan berbicara untuk menyampaikan dan menyimpulkan hasil pembelajaran tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL. 9) Sarana dan prasarana yang memadai akan mendukung tercapainya hasil pembelajaran yang maksimal. 10) Lingkungan keberadaan kampus sangat memengaruhi mahasiswa untuk mencapai
tingkat keberhasilan dalam belajar, khususnya belajar tata
bahasa Jepang.
185
Selain faktor- faktor di atas yang memengaruhi peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, ada juga beberapa kendala yang dihadapi ketika penerapan metode CTL dalam proses pembelajaran. Kendala – kendala, tersebut antara lain seperti di bawah ini. a) Penataan ruang belajar karena sudah terbiasa dengan sistem klasikal yang berlaku. b) Alokasi waktu yang terbatas menghakibatkan diskusi kelompok ketika presentasi tidak maksimal. c) Mahasiswa belum terbiasa kerja kelompok karena terpengaruh dengan sistem pembelajaran sebelumnya. d) Kebanyakan mahasiswa kurang percaya diri di depan kelas pada saat mempresentasikan hasil kerja kelompok.
186
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penilitian tindakan kelas yang dibahas pada Bab IV, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Hasil tes awal kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) sebelum penerapan metode CTL menunjukkan nilai mahasiswa tertinggi 72 dan nilai terendah 40. Sebaran nilai pada tes awal tidak ada mahasiswa mendapat nilai A, 4 orang mahasiswa mendapat nilai B, 17 orang mahasiswa mendapat nilai C , 14 orang
mahasiswa mendapat nilai D, bahkan 2 orang mahasiswa
mendapat nilai E, dari 37 orang mahasiswa. Hasil nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar
seluruh mahasiswa pada tes awal adalah 51%.
Apabila dilihat kategori tingkat kemampuan mahasiswa, nilai rata-rata tata bahasa Jepang dasar pada tes awal ini termasuk kategori kurang Artinya, sebagian besar mahasiswa belum mampu mencapai persyaratan nilai kelulusan, yakni nilai C (cukup). 2) Kemampuan tata bahasa Jepang dasar (shoukyou bunpo) mahasiswa sesudah penerapan metode CTL pada tindakan tes siklus I menunjukkan nilai tertinggi 88 dan nilai terendah 50. Kemudian nilai pada tindakan tes siklus II meningkat menjadi tertinggi 92 dan terendah 64. Hasil tes rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa pada tindakan tes siklus I adalah 69% kemudian meningkat pada tindakan tes siklus II menjadi 80%. Jadi, secara
186
187
keseluruhan nilai mahasiswa pada tindakan tes siklus II telah mampu mencapai kategori nilai B (baik ). Subtes kemampuan pemakaian partikel dan unsur- unsur predikat kalimat bahasa Jepang pada tes tindakan siklus I mencapai kategori nilai B (baik), sedangkan subtes kemampuan mengenai pola kalimat dan makna kalimat bahasa Jepang pada siklus I baru mencapai kategori nilai C (cukup). Subtes kemampuan pemakaian partikel, unsur- unsur predikat, pola kalimat, dan makna kalimat bahasa Jepang dasar pada tes tindakan siklus II sudah mencapai kategori nilai B (baik). Adapun sebaran nilai yang diperoleh mahasiswa adalah 9 orang mendapatkan nilai A ada, 24 orang mahasiswa mendapat nilai B, 4 orang mahasiswa mendapat nilai C, tidak ada mahasiswa mendapat nilai D atau E pada siklus II dari 37 orang mahasiswa . Peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah penerapan metode CTL adalah sebesar 29% dengan perincian sebagai berikut. Peningkatan nilai ratarata kemampuan tata bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa dari tes awal ke tes siklus I, yakni 18%, peningkatan nilai rata-rata kemampuan tata bahasa Jepang dasar seluruh mahasiswa dari tes siklus I ke tes siklus II, yakni 11%. Apabila dilihat dari kiteria kemampuan mahasiswa, maka peningkatan yang terjadi adalah dari kategori kurang meningkat menjadi kategori cukup lalu meningkat menjadi kategori baik. 3) Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan kemampuan tata bahasa Jepang dasar mahasiswa dengan penerapan metode CTL adalah sebagai berikut. a) Minat, perhatian, dan motivasi belajar mahasiswa.
188
b) Kekompakan kerja kelompok akan cepat menemukan dan mengonstruksi hasil belajar. c) Keberanian dan
kebiasaan bertanya terhadap suatu hal yang belum
dimengerti. d) Sarana prasarana pendidikan dan keberadaan lingkungan kampus, sangat memengaruhi hasil belajar tata bahasa Jepang dasar. Selain faktor- faktor di atas yang memengaruhi peningkatan hasil belajar tata bahasa Jepang dasar dengan metode CTL, ada juga beberapa kendala yang dihadapi ketika penerapan metode CTL dalam proses pembelajaran. Kendala – kendala tersebut, antar lain seperti berikut. a) Penataan ruang belajar karena sudah terbiasa dengan sistem klasikal yang berlaku sampai sekarang. b) Alokasi waktu yang terbatas sehingga ada kekhawatiran target pencapaian kurikulum tidak terlialisasi. c) Mahasiswa belum terbiasa kerja kelompok karena terpengaruh dengan sistem pembelajaran sebelumnya. d) Ketika ditugasi mahasiswa belajar kelompok di luar kelas mahasiswa mengalami kesulitan karena kebanyakan kuliah sambil bekerja. e) Kebanyakan mahasiswa kurang percaya diri di depan kelas pada saat mempresentasikan hasil kerja kelompok.
189
5.2 Saran Berdasarkan simpulan di atas, dapat disampaikan
beberapa hal sebagai
berikut. 1) Institusi sebagai wadah proses pembelajaran, hendaknya menata ruang belajar, khususnya tempat duduk mahasiswa seperti kerja kelompok sehingga waktu belajar akan lebih efektif. Selain itu, melengkapi sarana prasarana pendukung proses pembelajaran di tiap kelas sehubungan dengan tehnologi dan informasi saat sekarang. Hal ini tidak mudah dilaksanakan karena peneliti tahu ruang belajar bersifat kaminius. Ilmu pengetahuan berkembang
begitu pesatnya. Oleh karena itu, lembaga
hendaknya mengalokasikan waktu untuk memberikan pelatihan kepada para dosen mengenai tindakan penerapan
metode kontekstual dalam
proses pembelajaran. 2) Para dosen disarankan berinovasi
mengubah metode mengajar dari
metode ceramah yang berpusat pada dosen ke metode CTL yang berpusat pada mahasiswa. Dengan metode CTL dalam proses pembelajaran di kelas, mahasiswa aktif berdikusi bersama kelompok, situasi kelas akan hidup, mahasiswa merasa senang belajar sehingga mereka dengan mudah dapat menemukan dan mengonstruksi hasil belajar. Selain itu, mahasiswa akan terlatih mengungkapkan pendapat, tanya jawab, dan presentasi di hadapan kelompok belajar atau orang lain. 3) Mahasiswa disarankan untuk terbiasa belajar kelompok, dengan belajar kelompok akan terjadi sharing pendapat sehingga hasil belajar akan lama
190
tersimpan dalam ingatan. Melalui kerja kelompok juga akan terbentuk karakter untuk menghargai orang lain. 4) Untuk peneliti lainnya diharapkan untuk menyosialisasikan penerapan metode CTL terhadap mata pelajaran lainnya. Hal itu penting karena metode CTL tidak hanya terbatas untuk bahasa Jepang, tetapi juga dapat dilaksanakan untuk bidang studi lainnya, dengan harapan nantinya dapat mengubah paradigma pembelajaran dari teaching center menjadi student center
191
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Abu. 2004. Metodelogi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Aqib. 2013. Model Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual. Bandung Yrama Widya. Arikunto, Suharsimi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Bety. 2008. “Penerapan Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Peningkatan Hasil Belajar pada Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotor Siswa Kelas VII SMP Negeri I Kunduran Blora”. Brown. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. White Plains, NY: Pearson Education. Candra. 2009. Nihongo no Joshi. Jakarta: Evergreen. Dahidi, Sudjianto. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc. Darsono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. Daryanto. 2007. Dasar-Dasar Teknik Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Darsono. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: CV. IKIP Semarang Press. Depdiknas. 2003. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Diknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta : Ditjen Dikdasmen. Iwabuchi, Tadasu. 1989. Nihon Bunpo Yoogo Jiten. Tokyo: Sanseido. Johnson, Elaine B. 2010. Contextual Teaching and Learning, Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Kaifa. Jonathan, Chiba Tadaki. 2013. Japanese Grammar Pool. Malang: Linguistik Pool Media. Kashima Tanomu. 1997. Onsei dalam Nihongo Kyoushi Yansei Shirrizu Onsei, Hyouki, Goi, Moji Hyouki. Tokyo: Touhou.
192
Khabibah. 2006. Inovasi Model Pembelajaran. Bandung : Alfabeta Lestari. 2010. “Pembelajaran Kosa Kata Secara Kontekstual dalam UpayaMeningkatkan Kemampuan Membaca Siswa Kelas XI Bahasa SMA N2 Semarapura”. Mahsun. 2005. Metodelogi Penelitian Bahasa. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Masnur, Muslich. 2007. KTSP Pembelajaran Bebasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta : Bumi Aksara. Matsuura, Kenji. 1994. Kamus Bahasa Indonesia Jepang. Kyoto Sangyo University Press. Narohito. 2010. “Pengaruh Pendekatan Kontekstual terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Siswa SMP N1 Tejakula”. Nasution, 2012. Metode Research, Jakarta: Bumi Aksara. Nita, Yoshio. 1997. Gendaigo no bunpo, Nihongo Yousetsu. Tokyo: Hisuji Shobou. Nurgiyantoro. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta : PT.BPFE. Nurhadi. 2003. Kontekstual dan Penerapannya. Malang : Univesitas Negeri Malang. Nurhadi. 2004. Kurikilum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Grasindo. Poerwadarminto. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka. Purwanto. 2006. Proedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Ratumanan, Tanwey Geson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press. Rusman. 2001. Model Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta : Rajawali Pers. Rusman. 2012. Model Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta PT Raja Grafindo Persada. Sarwono. 2006. Metodelogi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogjakarta: Graha Ilmu.
193
Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning, Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Alfabeta. Sudjana, Nana. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Folah Production. Sudjianto. 2004. Gramatika Bahasa Jepang Modern Seri A. Jakarta : Kasaint Blanc. Sugiyono. 2006. Statistik untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Sukardi. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta : Bumi Aksara. Susriati. 2009. “Penerapan Pembelajaran CTL untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Materi Bagian-bagian Utama Tumbuhan bagi Siswa Kelas XI Miftahul Ulum 2 Nguling Kec. Nguling Kab. Pasuruan”. Sutikno, Sobry. 2009. Pengelolaan Pendidikan. Bandung: Prospect Suryawan. 2008. “Penerapan Pendekatan Kontekstual Menggunakan Media Skema Untuk Meningkatkan Ketrampilan Berbicara Siswa Kelas X SMA Negeri 2 Singaraja”. Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung : Humaniora Utama Press. Syaiful Sagala. 2010. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Tanaka, Yone. 2002. Minna no Nihongo I dan II. Surabaya: Pusaka Lintas Budaya Seri A Network. Tokyo 101. 3A Corporation. Trianto. 2008. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka. Yasuo, Kitahara. 1985. Nihongogaku. Tokyo: Asakura Shoten.