BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Setiap pasangan menginginkan keutuhan dalam membangun rumah tangga, namun realitas menunjukkan bahwa angka perceraian kian meningkat. Banyak perkawinan yang mengalami “kemandegan”, di dalam perkawinan itu hanya sekedar bertahan atau menjalani rutinitas dan kewajiban tanpa kehangatan dan kemesraan. Kini pada sebagian kalangan masyarakat perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan,
perceraian langsung menjadi pilihan.
Sering pula terjadi
pasangan suami istri saling menyerang, menuduh dan memfitnah. Bayangkan orang yang dulu saling mencintai, hidup bersama dalam suka dan duka, punya harapan untuk mereguk kebahagiaan, berakhir dengan perceraian. Padahal, ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata dan tidak sedikit perceraian terjadi pada mereka yang baru berumah tangga. Apapun alasannya setiap perceraian selalu
membekas
luka
yang
mendalam
terutama
bagi
anak-anak
yang
dilahirkannya. Setiap hari kantor Pengadilan Agama selalu disibukkan dengan urusan pasangan yang akan bercerai. Berita-berita di media cetak dan elektronik pun tak kalah serunya dengan isu kandasnya perkawinan para selebritis. Kenyataan itu sangat kontras dengan gambaran dan impian setiap orang tentang perkawinan dengan sejuta harapan indah dan kebahagiaan.
1
2
Secara memberikan
teoritis jaminan
terpenuhinya terhadap
ekonomi
kebutuhan
keluarga
pihak-pihak
dianggap yang
mampu
berhak
untuk
memperoleh nafkah, juga dianggap mampu mengantisipasi akibat negatif dari kemungkinan adanya pihak-pihak yang melalaikan tanggung jawabnya. Berkaitan dengan kewajiban memenuhi ekonomi keluarga adakalanya suami mampu dan adakalanya dia seorang yang tidak mampu. Terpenuhinya ekonomi keluarga besar sekali pengaruh dan fungsinya dalam membina rumah tangga bahagia, aman tenteram dan sejahtera. Sebaliknya tidak terpenuhinya ekonomi keluarga menjadi penyebab terjadinya pertengkaran dan kekacauan dalam rumah tangga yang berakibat perceraian. Kecukupan ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk menuju keluarga yang bahagia. Masalah ekonomi merupakan faktor yang sangat rentan dalam menimbulkan problem rumah tangga, baik masalah ekonomi yang cukup bahkan berlebihan hingga masalah ekonomi yang kurang bahkan sangat berkekurangan atau masalah dalam pengaturan keuangan keluarga (Umay M. Dja‟far Shiddieq, 2004: 109). Adanya kelalaian dalam memenuhi ekonomi keluarga sehingga pihak yang dinafkahinya menjadi terlantar merupakan permasalahan yang sering terjadi di kalangan keluarga Islam, terutama pada masyarakat yang kurang pengetahuannya tentang kewajiban memenuhi ekonomi keluarga. Akibatnya tidak sedikit istri dan anak-anak yang terlantar dibiarkan begitu saja oleh ayahnya tanpa pembelaan. Inilah yang menjadi alasan perceraian umum diajukan oleh pasangan suami istri, karena jika pernikahan dilanjutkan akan membawa kemudharatan bagi keduanya bahkan keluarga dan agama. Alasan tersebut kerap diajukan apabila
3
kedua pasangan atau salah satunya menemukan ketimpangan dalam perkawinan yang
sulit
diatasi
sehingga
mendorong
mereka
untuk
mempertimbangkan
perceraian. Sebagaimana telah diketahui dewasa ini, salah satu penyebab yang menimbulkan pertengkaran dan keretakan dalam rumah tangga adalah kondisi ekonomi keluarga. Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan, salah satunya adalah Pengadilan Agama Bandung. Pengadilan agama ini memiliki kewenangan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berada di bawah wewenang Peradilan Agama sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya berwenang dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tingkat pertama dalam hal perkawinan. Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Pengadilan
Agama
Bandung,
sebab
berdasarkan data yang penulis peroleh jumlah perkara perceraian di Pengadilan Agama Bandung dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, dan perceraian paling banyak dilakukan oleh isteri yang gugat cerai. Jumlah perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2010 sebanyak 3629 perkara, sedangkan pada tahun 2011 sebanyak 4116 perkara perceraian. Adapun faktor perceraian di Pengadilan Agama Bandung disebabkan antara lain: poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak
4
ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, penganiayaan, dihukum, cacat biologis, gangguan pihak ketiga dan tidak ada keharmonisan.1 Dari dua belas penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Bandung,
faktor ekonomi menempati posisi yang tinggi sebagai penyebab
perceraian. Dalam hal ini pihak suami tidak mampu mencukupi dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga kehidupan rumah tangganya menjadi tidak harmonis, sering terjadi perselisihan dan percekcokan yang akhirnya terjadi perceraian antara pasangan suami istri (pasturi). Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan mengadakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul FAKTOR EKONOMI SEBAGAI
ALASAN
GUGATAN
PERCERAIAN
(Studi
Putusan-Putusan
Pengadilan Agama Bandung Tahun 2011). B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dapat diajukan pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung karena alasan ekonomi? 2. Bagaimana pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Bandung dalam menyelesaikan gugatan perceraian dengan alasan ekonomi? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang penelitian dan perumusan masalah penelitian yang telah peneliti uraikan diatas, maka tujuan diadakan penelitian adalah : 1
Data ini diperoleh dari Laporan Tahunan Pengadilan Agama Bandung.
5
1. Untuk mengetahui prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung karena alasan ekonomi. 2. Untuk
menjelaskan
Pengadilan
Agama
pertimbangan hukum yang diberikan oleh hakim Bandung dalam menyelesaikan gugatan perceraian
dengan alasan ekonomi. D. Kerangka Pemikiran Setiap
manusia
menginginkan
kehidupan
perkawinannya
dapat
berlangsung terus hingga akhir hayatnya. Hal ini diperkuat sebagaimana dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa prinsip perkawinan adalah suatu akad yang suci yang dibangun oleh suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang kekal dan bahagia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan rumah tangga tak luput dari permasalahan-permasalahan yang timbul baik disengaja maupun tidak disengaja yang mana dapat menimbulkan perselisihan dalam rumah tangga. Faktor-faktor penyebab terjadinya perselisihan diantaranya adalah faktor ekonomi. Kesulitan ekonomi, menjadi masalah krusial yang dapat memicu pertengkaran antara suami istri. Islam telah mengatur mengenai hak kewajiban suami kepada istri dalam keluarga. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf” (QS. Al-Baqarah: 233).
6
Rasulullah SAW bersabda:
َ ت َوا ْكسُهَب ٳِ َذا ا ْكتَ َسي َ ت َواَطْ ِع ْمهَب ٳِ َذا طَ ِع ْم َ ْت َحرْ ثَكَ ٲَنَّى ِشئ . ْضْرة َ ْْت َوالَ تُقَبِّح ِ ْاِئ ِ َالىجْ هَ َوالَ ت “Datangilah ladangmu (istrimu) dari mana kamu suka, berilah ia makan apabila kamu makan, berilah ia pakaian apabila kamu memakai pakaian, jangan menampar mukanya, dan janganlah kamu memukuli (dia)”. Hadis ini di-takhrij oleh Abu Dawud (1/334), dan Ahmad (5/3/5) dari Bahz ibn Hakim: “Ayahku telah bercerita kepadaku dari kakekku, ia mengatakan: Saya berkata: “Ya Rasulullah, istri-istri kami, apa yang boleh kami lakukan kepada mereka dan apa yang harus kami tinggalkan?” Rasulullah s.a.w. bersabda:… (Sabda Nabi sama dengan redaksi hadis di atas). Menurut Muhammad Nashiruddin al-Albani (2006: 406). Hadis ini hasan dari segi sanad-nya, karena ada perselisihan menyolok mengenai Bahz ibn Hakim, seorang perawi yang shadûq, sebagaimana disebutkan dalam at-Taqrîb. Adapun ayahnya (Ibnu Mu‟awiyah ibn Hidah), hadisnya diriwayatkan oleh sekelompok perawi tsiqah, dan oleh Ibnu Hibban (1/24) dinyatakan tsiqah. Suami-istri dalam ajaran Islam tidak
boleh terlalu cepat mengambil
keputusan bercerai, karena benang kusut itu sangat mungkin disusun kembali. Walaupun dalam ajaran islam ada jalan penyelesaian terakhir yaitu perceraian, namun perceraian adalah suatu hal yang meskipun boleh dilakukan tetapi dibenci oleh Nabi (Satria Effendi M. Zein, 2004: 97). Untuk mencapai perdamaian antara suami istri bilamana tidak dapat diselesaiakan oleh mereka, maka Islam mengajarkan agar diselesaikan melalui hakam, yaitu dengan mengutus satu orang yang dipercaya dari pihak laki-laki dan
7
satu orang dari pihak perempuan untuk berunding sejauh mungkin untuk didamaikan. Dalam Al-Qur‟an Surat An-Nisa ayat 35 Allah berfirman: ...
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan...”2 Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran
Islam.
kerukunan,
Apabila
kedamaian,
sudah ditempuh berbagai cara untuk dan
kebahagiaan,
namun
harapan
mewujudkan dalam
tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. Perceraian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (selanjutnya disebut UUPA) dan Pasal 115 KHI. Tata cara perceraian menurut pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:3 1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2. Untuk melakukan perceraian harus cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundang-undangan sendiri.
2 3
An-Nisa (4) :35. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
8
Hakim dalam suatu lembaga peradilan memegang peranan penting karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke pengadilan. Tugas pokok dari pada hakim adalah menerima, memeriksa, dan mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim menerima perkara, jadi dalam hal ini sikapnya adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau mengejar perkara (wo kein Klager ist, ist kein Richter nemo judex sine actore). Kemudian hakim meneliti perkara dan akhirnya mengadili yang berarti memberi kepada yang berkepentingan hak atau hukumnya (Sudikno Mertokusumo, 2009: 117). Pada
saat
menangani perkara
perceraian
hakim tidak
serta merta
memutuskan perceraian akan tetapi hakim juga mempertimbangkan hukum sesuai dengan
undang-undang
memutuskan
perceraian
yang apabila
berlaku.
Hakim
perceraian
hanya
tersebut
bisa
menjatuhkan
sesuai dengan
aturan
perundang-undangan. Adapun hal-hal yang dapat dipakai untuk mengajukan gugatan perceraian diatur dalam Pasal 39 ayat 2 menentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. dan dipertegas lagi di dalam Pasal 19 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
9
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan perceraian ini adalah sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan dua ayat yaitu: (a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. Terkait masalah ketidakmampuan suami memenuhi ekonomi keluarga bila istri merelakannya tidak menjadi persoalan, tetapi jika istri tidak suka, tidak rela dan tidak sabar menghadapi suaminya maka pihak istri boleh mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Jika Istri meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin suami,
gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya mewilayahi tempat kediaman suaminya. Hak untuk memohon memutuskan ikatan perkawinan
10
ini dalam hukum Islam disebut khulu‟, yaitu salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datang dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi, yaitu dengan mengembalikan mahar kepada suami. E. Langkah-langkah Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian Analisis isi (content analysis) adalah
penelitian
yang bersifat pembahasan mendalam terhadap
isi suatu
informasi tertulis atau tercetak dalam media masa. Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi, baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun bahan dokumentasi lain (Dadang Kuswana, 2011: 249). Pada penelitian ini yaitu terhadap putusan-putusan gugat cerai karena faktor ekonomi tahun 2011 yang dijadikan bahan penelitian ini. Metode ini digunakan berdasarkan karakteristik yang disesuaikan dengan masalah, tujuan, dan kerangka berfikir penelitian ini, yang berfokus pada isi putusan tersebut dikaitkan dengan hukum tertulis dan tidak tertulis yang dijadikan dasar pada putusan tersebut, serta nilai- nilai hukum yang digali dan ditemukan dalam putusan Pengadilan itu. 2. Sumber Data Penentuan sumber data dalam penelitian ini menggunakan dua sumber data utama yaitu: a. Sumber
data
primer
berupa
teks
(naskah)
salinan
putusan-putusan
Pengadilan Agama Bandung termasuk berita acara persidangan, surat-surat kelengkapan perkara, dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan perkara tersebut. Terlebih juga informasi atau keterangan yang diperoleh
11
dari para Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini dan para pihak yang berperkara, yang berhubungan dengan perkara tersebut. b. Sumber sekunder berupa buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan pokok bahasan atau inti permasalahan penelitian ini. 3. Tekhnik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data merupakan cara atau metode tertentu guna memperoleh
data
yang
berkaitan
dengan
masalah
yang
diteliti.
Tekhnik
pengumpulan data yang digunakan yaitu: a. Wawancara (Interview) Merupakan suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan
mengadakan
tanya jawab secara lisan kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung yang berkaitan dengan permasalahan dari objek yang diteliti. Menurut Cik Hasan Bisri (2001: 64). Alat pengumpulan data itu dapat berupa suatu daftar pertanyaan terstruktur dan rinci, yang disebut kuesioner (questionaire); atau secara garis besar dan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan wawancara, yang kemudian dikenal sebagai panduan wawancara (interviewguide). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang peneliti teliti. b. Dokumentasi Yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan masalah ekonomi keluarga tidak terpenuhi menjadi
12
alasan gugatan perceraian dan data yang diperoleh dari data tertulis yaitu bukubuku maupun tulisan yang berkaitan dengan persoalan yang diteliti. 4. Pendekatan Penelitian Dalam hal ini penulis menggunakan dua pendekatan yaitu: a. Pendekatan yuridis, yaitu pendekatan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pendekatan normatif, yaitu pendekatan terhadap materi-materi yang diteliti dengan mendasarkan pada penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an, al-Hadits serta pandangan para ahli hukum yang berkompeten dalam hal ini. 5. Analisis Data Analisis data merupakan tahap pertengahan dari serangkaian tahap dalam sebuah penelitian yang mempunyai fungsi yang sangat penting. Hasil penelitian yang dihasilkan harus melalui proses analisis data terlebih dahulu agar dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya (Haris Herdiansyah, 2010: 158). Analisis data disebut juga pengolahan data dan panafsiran data yaitu rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokkan, sistematisasi, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah (Nurul Zuriah, 2006: 191). Metode yang digunakan untuk menganalisa data adalah metode induktif, yaitu penarikan kesimpulan yang berawal dari satuan pengetahuan yang bersifat khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan umum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Ekonomi 1. Pengertian Ekonomi Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk individu yang sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sejak Kehidupan manusia berjalan terus, sepanjang perjalanan hidup itu pula manusia tidak pernah lepas dari kebutuhan. Sejak manusia
mengenal
hidup
bergaul,
tumbuhlah
suatu
masalah
yang
harus
dipecahkan bersama-sama, yaitu bagaimana setiap manusia memenuhi kebutuhan hidup
mereka
masing-masing.
Kebutuhan
seseorang
tidak
mungkin
dapat
dipenuhi oleh dirinya sendiri. Ketika beranjak dewasa, kebutuhan manusia semakin bertambah. Semula hanya membutuhkan makanan dan minuman,
kemudian bertambah dengan
kebutuhan-kebutuhan lain, seperti pakaian, tempat tinggal, perabot rumah tangga, kendaraan bermotor, dan rumah mewah. Setelah kebutuhan yang satu terpenuhi, maka akan segera muncul kebutuhan yang lain. Kebutuhan hidup manusia untuk memenuhi,
menghasilkan,
dan
membagi-bagikannya
dinamakan
ekonomi
(Abdullah Zaky Al-Kaaf, 2002: 11). Ekonomi berasal dari bahasa Yunani (Grek) yang terdiri dari dua kata, yaitu oikos dan nomos. Oikos artinya rumah tangga dan nomos artinya aturan dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Rumah tangga dalam pengertian ekonomi adalah rumah tangga dalam arti luas, yang meliputi rumah tangga keluarga, rumah tangga perusahaan, rumah
13
14
tangga Negara, dan rumah tangga dunia. Dalam setiap kebutuhan rumah tangga diperlukan aturan agar kegiatan rumah tangga dapat berjalan dengan baik dan setiap anggotanya dapat hidup makmur sejahtera (Kardiman, Endang Mulyadi, Achmad Kusriadi, 2003:9). “Manusia adalah makhluk multi dimensional. Di dalam diri manusia terdapat aspek-aspek yang menggerakan manusia bertindak dan membutuhkan sesuatu. Beberapa aspek tersebut biasanya memberikan dasar pijakan bagi pengembangan sesuatu itu dibuat dalam rangka untuk memenuhi apa yang dibutuhkan manusia” (Muhammad,2004: 25). Meskipun kebutuhan manusia cukup banyak (jenis dan jumlahnya), tetapi jika ditelusuri lebih seksama ternyata tiap orang mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Perbedaan tingkat kebutuhan ini disebabkan beberapa faktor yang diantaranya adalah faktor ekonomi. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berhadapan dengan masalah ekonomi, paling tidak untuk mempertahankan hidup seperti kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Meski setiap orang berbeda, namun semua orang dikenal memiliki dua kebutuhan, yakni kebutuhan asasi (primer) secara terbatas dan kebutuhan kamali (sekunder dan tersier) serta keinginan bersifat tidak terbatas. Kebutuhan lahir atau kebutuhan fisik termasuk kedalam kebutuhan asasi sehingga wajib dipenuhi. Dalam memenuhi kebutuhan ini sumber daya yang disediakan di alam ini akan mampu
memenuhinya.
Di lain pihak,
naluri yang tidak
terkontrol dapat
melahirkan kebutuhan kamali dan keinginan yang tidak terbatas. Jika hal ini harus dipenuhi, boleh jadi sumber daya yang ada tidak akan mencukupinya. Maka disinilah kepentingan mendudukkan posisi manusia secara benar dalam ilmu dan sistem ekonomi agar ketersediaan sumber daya yang ada di alam
15
ini tidak dijadikan sebagai permasalahan utama ekonomi. Pandangan yang memasukkan semua kebutuhan manusia tidak terbatas dan wajib dipenuhi bertentangan dengan realitas yang ada. Kenyataannya, banyak orang yang tidak memiliki mobil mewah, rumah besar, harta melimpah dapat hidup dengan bahagia. Mereka tidak memiliki resiko yang mengancam kehidupan, kesehatan, dan jiwanya karena kondisi itu. Islam menganggap bahwa kebutuhan fisik sebagai kebutuhan asasi mutlak harus dipenuhi dengan berbagai mekanisme, baik sebagai tanggung jawab individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Oleh karena itulah Allah SWT memberikan keringanan (rukhshah) kepada orang-orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan asasinya itu sendiri. Hal ini semata-mata agar orang tersebut dapat bertahan hidup dari keadaan darurat. Sebaliknya kebutuhan kamali tidak mutlak untuk dipenuhi bila beberapa hal tidak mampu memenuhinya (M. Sholahuddin, 2007: 22). Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan fisik merupakan pemenuhan yang wajib dilakukan agar manusia tidak mengalami kerusakan organ tubuh, penyakit, dan kematian. Karenanya, masing-masing individu berkewajiban menggerakkan segenap potensi dan kemampuannya untuk hal ini. Setiap individu bekerja untuk mendapatkan nafkah bagi dirinya dan tanggungannya.
Masyarakat berkewajiban membantu tetangga,
kerabat atau
anggota masyarakat lainnya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan asasinya sendiri.
Sedangkan negara bertanggung jawab terhadap seluruh pemenuhan
kebutuhan asasi warga negaranya.
16
2. Pengaruh Ekonomi Terhadap Keluarga Keluarga
diartikan sebagai suatu masyarakat terkecil yang sekaligus
merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Hubungan antara individu dengan kelompok disebut primari group. Kelompok yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk
kepribadiannya dalam masyarakat. Dalam
kebudayan kita dewasa ini dapat ditemukan berbagai macam variasi keluarga, baik variasi dari struktur, taraf hidup, maupun filsafat hidup keluarga. Ada keluarga inti yang terdiri dari ayah ibu dan anak-anak (nucler family). Ada pula keluarga besar (extended family) yang anggotanya merupakan keluarga inti ditambah dengan anggota keluarga lain. Dari segi taraf hidup, kita temukan keluarga terdidik, keluarga yang mampu, kurang mampu atau kombinasi dari variasi-variasi tadi dan lain-lain. Namun bagaimanapun, dalam keanekaragamannya dapat dijumpai suatu persamaan yang esensial dari keluarga, yaitu mengenai fungsinya. Paling sedikit ada dua fungsi utama yang harus di jalankan oleh keluarga. Fungsi ini sangat mendasar, bila tidak terpenuhi akan membuat keluarga itu tidak berarti. Fungsi tersebut adalah: 1. Keluarga sebagai suatu unit yang berfungsi memberi atau memenuhi kepuasan primer-biologik pada anggotanya, seperti: Kepuasan seksual bagi suami isteri Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan dan pembiayaan keperluan primer (utama) lainnya bagi anggota keluarga.
17
2. Keluarga sebagai suatu unit yang berfungsi membudayakan manusia. Karena keluarga adalah “An institution to which we owe our humanity”. (Suatu lembaga yang menjunjung harkat kemanusiaan). Termasuk dalam kategori ini, fungsi keluarga untuk mengembangakan kehidupan: Emosional anggota keluarga, dengan memberinya rasa aman, terlindungi, diakui, dihargai, diinginkan, disayangi dan sebagainya. Sosialisasi
anggota
keluarga,
hingga
perilaku
masing-masing
tidak
menyulitkan dalam melakukan penyesuaian diri antara satu sama lain (Sanusi, Badri dan Syafruddin, 1996: 13). Adapun fungsi keluarga yang lain adalah fungsi edukasi, fungsi proteksi (fungsi perlindungan), fungsi rekreasi, fungsi religius, dan fungsi ekonomis. Keluarga merupakan suatu kesatuan ekonomis, lebih-lebih zaman dahulu dalam masyarakat pertanian, keluarga dan perusahaan, ruang keluarga dan ruang kerja perusahaan, personalia kerja dan personalia perusahaan adalah satu. Sekarang keadaan demikian telah banyak berubah, akan tetapi keluarga sebagai kesatuan ekonomis pada umumnya masih banyak berlaku. Karena itu ekonomi keluarga sangat vital bagi kehidupan keluarga . Ekonomi berperan sebagai upaya dalam membebaskan keluarga dari cengkrama kemelaratan. Dengan ekonomi yang cukup atau bahkan tinggi, keluarga akan dapat hidup sejahtera dan tenang. Lalu apakah yang disebut dengan keluarga sejahtera atau bahagia? Sebab kebahagiaan tidaklah sama bagi setiap orang. Kebahagiaan sifatnya adalah sangat perseorangan. Orang yang satu berbeda dengan yang lain. Akan tetapi meskipun demikian dapatlah ditinjau
18
kebutuhan
pokok
dari
manusia
yang
mendatangkan
kebahagiaan
atau
kesejahteraan tersebut. Adapun yang dikatakan sejahtera, aman, tenteram dan bahagia ialah apabila keluarga
itu
dapat
memenuhi semua
kebutuhan-kebutuhannya.
Kebutuhan-
kebutuhan pokok manusia yang mendatangkan kesejahteraan yaitu : 1. Kebutuhan jasmaniah yang meliputi : makanan, pakaian, perumahan, keuangan, dan lain-lain. 2. Kebutuhan rokhaniah yang meliputi : rasa aman, tenteram, rasa puas, rasa harga diri, rasa tanggungjawab, dihormati, disayangi dan lain-lain (Sutari Imam Barnadib, 1995: 126-127). Dalam realita kehidupan bahwa besar kecilnya penghasilan mempunyai hubungan erat dengan standar kehidupan dan tingkatan sosial ekonomi serta besar kecilnya penghasilan dapat menentukan terhadap tercapai tidaknya kebutuhan dan keinginan anggota keluarga. mengakibatkan
Sebaliknya dari kegagalan yang dialami akan
rasa ketidaktenangan jiwa dan bahkan dapat mendorong
seseorang untuk bertindak nekat kearah yang negatif merugikan diri sendiri dan orang lain atau merusak dan meresahkan masyarakat. Keadaan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap harapan orang tua akan masa depan anaknya serta harapan anak itu sendiri. Keluarga yang keadaan ekonominya sangat lemah mungkin menganggap anaknya lebih sebagai beban hidup daripada pembawa kebahagiaan keluarga. Sikap semacam ini, disadari atau tidak tercermin dalam ucapan dan tingkah laku orang tua.
19
Sedangkan mereka yang keadaan ekonominya kuat mempunyai lebih banyak kemungkinan memenuhi kebutuhan material anak dibandingkan dengan yang lemah. Akan tetapi keadaan itu belum menjamin pelaksanaan ekonomi keluarga sebagaimana semestinya. Karena penyalahgunaan materi dalam rangka pembelanjaan keluarga yang berlebihan atau tidak seimbang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan (M.I Soelaeman, 1994: 107). Untuk mengatur ekonomi keluarga agar kebutuhan dari masing-masing keluarga terpenuhi, maka harus teliti memilah dan memilih antara kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder serta pelengkap yang lain. Semuanya itu harus disesuaikan dengan kemampuan atau penghasilan keluarga yang diperoleh, sehingga
tidak
terperosok
dalam pemborosan,
kesombongan atau bahkan
sebaliknya kesengsaraan atau mendorong berlakunya penyimpangan dari hukum atau peraturan. Suami sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab dalam mencari nafkah dan memelihara kelangsungan hidup keluarga. Surah An-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa “Laki-laki itu pengurus atas perempuan-perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian dan dengan sebab (nafkah) yang mereka belanjakan dari harta-harta mereka”. “Sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga tanggung jawabnya lebih dititik beratkan kepada suasana rumah terutama bidang perbelanjaan. Tetapi kalau istri mempunyai penghasilan sendiri walaupun tidak sebagai kewajibannya mencari nafkah, maka dalam pembiayaan dan pendidikan anak yang dilakukan dengan penghasilannya akan mendapat pahala” (Abdul Djamali, 1997: 94). Sebagai
seorang
istri
harus
mempertimbangkan
kondisi
suami
dan
memahami situasi. Ia harus sadar bahwa rezki sudah ditentukan Allah. Karena itu,
20
ia harus rela dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Sikap rela terhadap kehendak dan putusan Allah adalah sumber ketenangan hamba dan menjadi surganya di dunia. Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya seperti ini, “Banyak sekali istri yang memberatkan suaminya dengan berbagai macam tuntutan hingga suami terpaksa berutang untuk memenuhi keinginannya. Para istri mengira bahwa itu sudah menjadi haknya. Apakah anggapan ini benar? Syaikh menjawab, “ini adalah bentuk pergaulan buruk istri terhadap suaminya (Syaikh Mahmud al-Mashri, 2011: 123). Maka tidak dihalalkan bagi seorang wanita meminta nafkah lebih banyak, atau melebihi kebiasaan yang berlaku disekitarnya, meskipun suami mampu memenuhinya. 3. Bentuk dan Kadar Nafkah Ulama fikih membagi nafkah atas dua macam : (1) Nafkah diri sendiri. Dalam hal ini, seseorang harus mendahulukan nafkah untuk dirinya dari nafkah kepada orang lain, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW: “Mulailah dengan diri engkau, kemudian bagi orang yang berada dibawah tanggung jawabmu” (HR. Muslim, Ahmad Bin Hanbal, Abu Dawud, dan an-Nasa‟I dari Jabir bin Abdullah). (2) Nafkah seseorang kepada orang lain. Kewajiban nafkah terhadap orang lain, menurut kesepakatan ahli fikih, terjadi disebabkan oleh tiga hal: (a) hubungan perkawinan, (b) hubungan kekerabatan, (c) hubungan kepemilikan (tuan terhadap hambanya).
21
Banyaknya nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan
kebutuhan
serta
mengingat
keadaan
dan
kemampuan
orang
yang
berkewajiban menurut kebiasaan masing-masing tempat. (Sulaiman Rasjid, 2000: 421). Kaidah dasar dalam hal ini adalah firman Allah yang berbunyi, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya” (QS. Ath-Thalaq: 7). Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung nafkahnya, istri mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal. Dalam hal ini istri, istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu, selama suami melaksanakan kewajibannya itu (Sayyid Sabiq, 1981: 85). Jika suami bakhil, yaitu tidak memberi nafkah secukupnya kepada istri tanpa alasan yang benar, maka istri berhak menuntut jumlah nafkah tertentu baginya untuk keperluan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Hakim boleh memutuskan
berapa
jumlah
nafkah
yang
harus
diterima oleh istri serta
mengharuskan suami untuk membayarnya jika tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh istri ternyata benar (H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, 2009: 164). Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tanpa sepengetahuan suami untuk mencukupi kebutuhannya apabila suami melalaikan kewajibannya. Orang yang mempunyai hak boleh mengambil haknya sendiri jika mampu melakukannya, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa‟i dari „Aisyah:
22
“Dari „Aisyah r.a. sesungguhnya Hindun binti „Utbah pernah bertanya “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku sehingga aku harus mengambil darinya tanpa sepengetahuannya”.
Maka Rasulullah SAW. bersabda, “Ambillah apa yang
mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa‟i). Hadits diatas menunjukkan bahwa kadar nafkah diukur menurut kebutuhan istri, dengan ukuran yang baik bagi setiap pihak tanpa mengesampingkan kebiasaan yang berlaku pada keluarga istri. Oleh karena itu, kadar nafkah berbeda menurut keadaan, zaman, tempat, dan keberadaan manusia. Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam manetapkan kadar nafkah yang wajib diberikan suami terhadap isterinya. Jumhur Ulama, selain Mazhab Syafi‟i, menetapkan bahwa jumlah nafkah itu diberikan secukupnya. Mereka tidak mengemukakan jumlah pasti dalam penentuan nafkah tersebut, tetapi hanya menetapkan sesuai dengan kemampuan suami (QS. At-Thalaq (65) ayat 7). Menurut jumhur ulama, nafkah wajib yang dikeluarkan suami terhadap isterinya disesuakan dengan kondisi dan situasi suami dan keadaan setempat. Lain halnya dengan pendapat Mazhab Syafi‟i, menurut mereka nafkah berupa makanan yang wajib diberikan suami terhadap isterinya ditentukan sejalan dengan kemampuan suami. Hal tersebut dinyatakan Allah SWT
yang artinya:
”Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu” (QS. Almaidah (5) ayat 89). Jumlah nafkah minimal yang harus dibayarkan suami menurut mereka sama dengan jumlah kafarat sumpah yang dibayarkan pada satu
23
orang, yaitu satu mudd (675 gram). Alasan mereka ialah karena Allah menetapkan kafarat sesuai dengan nafkah pada isteri. Adapun yang berkaitan dengan masalah pakaian, para ulama sepakat bahwa suami wajib memberikan pakaian kepada istrinya, jika istri telah menyerahkan dirinya dan menyatakan kesanggupannya melaksanakan kewajiban terhadap suami. Untuk tempat tinggal, suami juga berkewajiban menyediakannya dengan membeli sendiri, menyewa, meminjam, atau didapatkan melalui wakaf seseorang. Firman Allah SWT:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut
kemampuanmu
dan
janganlah
kamu
menyusahkan
mereka
untuk
menyempitkan (hati) mereka”.4 Ibnu Qudamah berpendapat, “Jika nafkah papan (tempat tinggal) bagi wanita yang dicerai saja diwajibkan, maka tentu lebih wajib bagi wanita yang masih berstatus sebagai istri, sebab seorang istri membutuhkan tempat tinggal untuk melindungi diri dari intipan dan pandangan orang, juga untuk beradaptasi melakukan hubungan seksual dan menyimpan perhiasan. Namun, tempat tinggal disesuaikan dengan kondisi ekonomi keduanya (Shalahuddin Sulthan, 2006: 99).
4
At-Thalaq (65): 6.
24
B. Tinjauan Umum tentang Perceraian 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian Dalam fiqih, perceraian dikenal dengan istilah talak. Secara etimologis talak berasal dari akar kata thallaqa artinya hillu al-qiyyadi al-irsal dan al-tarqi atau fakka, yang semuanya berarti melepas ikatan. Makna yang dikehendaki dengan ikatan disini adalah ikatan yang bersifat bisa diraba, seperti ikatan hewan, ataupun yang bersifat maknawi, seperti ikatan batin (Syafiq Hasyim, 2001:167-168). Menurut bahasa, talak berarti menceraikan atau melepaskan. Sedang menurut syara‟ yang dimaksud talak ialah memutuskan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan kedudukan kata-kata tersebut (Anshori Umar, TT: 386). Ada tiga definisi talak yang dikemukakan ulama fikih. Definisi pertama dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali. Menurut mereka, talak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus. Ungkapan “secara langsung” dalam definisi tersebut adalah talak yang hukumnya langsung berlaku ketika lafal talak selesai diucapkan, tanpa terkait dengan syarat atau masa yang akan datang. Definisi kedua dikemukakan oleh Mazhab Syafi‟i. Menurut mereka, talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan itu. Definisi ini mengandung pengertian bahwa hukum talak itu berlaku secara langsung, baik dalam talak raj’i maupun dalam talak ba’in. Definisi ketiga dikemukakan oleh Mazhab Maliki.
25
Menurut mereka,.talak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan suami-isteri (Abdul Azis Dahlan, 2006: 1777). Dari tiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa talak adalah lepasnya ikatan
perkawinan antara suami dan istri secara langsung akibat akibat
pengucapan lafal talak
yang dilakukan oleh suami sehingga gugurnya kehalalan
hubungan antara suami dan istri. Melihat tujuan perkawinan, tentulah perceraian tidak disukai oleh syari‟at Islam, karena perceraian itu menimbulkan malapetaka, bukan saja buat suami istri, tetapi juga kepada anak-anak dan keturunan. Tetapi adalah suatu kenyataan pula, bahwa dalam pergaulan itu timbul hal-hal yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak, timbul persengketaan tersebab soal-soal perselisihan faham.
Kalau
perselisihan dan persengketaan itu tidak dapat diatasi lagi, maka jalan lain tidak ada selain cerai, hubungan diputuskan (Siradjuddin Abbas, 2008:269). Di dalam Al-Qur‟an banyak ayat yang berbicara tentang masalah talak. Diantara ayat-ayat yang menjadi dasar hukum bolehnya menjatuhkan talak tersebut adalah firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 229 dan surah at-Talaq (65) ayat 1 yang artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar)”. Dalam sunnah Rasulullah SAW dikatakan bahwa: “Pekerjaan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar). Berdasarkan ayat dan hadits diatas dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya talak itu dibolehkan namun sesungguhnya sangat dibenci oleh Allah. Untuk itu
26
perlu dilakukan dengan cara yang makruf yaitu berdasarkan alasan yang kuat dan tepat agar tidak menimbulkan kezaliman bagi salah satu pihak (istri). Apabila suami akan menceraikan isterinya dengan tergesa-gesa, maka itu adalah perbuatan yang tidak benar. Sebab siapa tahu kemarahan dan kebencian sekarang akan menimbulkan kebaikan yang banyak di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, agar tidak ada penyesalan dikemudian hari hendaknya terlebih dahulu harus dipikirkan secara matang dampak dari adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut”.5 2. Macam-Macam Perceraian Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, dibagi menjadi dua macam, yaitu : a. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat: 1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni. 2. Istri dapat segera melakukan iddah, bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci.
5
An-Nisaa (4): 19.
27
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di pertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang haid. b. Talak Bid‟i, yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Termasuk talak bid‟i ialah: 1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di permulaan haid maupun di pertengahannya. 2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut: a. Talak Sharih, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas. Imam Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak, firaq dan sarah, ketiga ayat itu disebut dalam Al-Qur‟an dan hadits. b. Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya: “Selesaikan sendiri segala urusanmu”, engkau
dari
“Janganlah engkau mendekati aku lagi” atau “Pergilah
tempat
ini
sekarang
juga”.
Ucapan-ucapan
tersebut
mengandung kemungkinan cerai dan mengandung kemungkinan lain. Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
28
a. Talak Raj‟i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dr. As-Siba‟i mengatakan bahwa talak raj‟i adalah talak uang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak memerlukan pembaruan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan persaksian. Jika dalam masa iddah
tersebut bekas suami tidak rujuk maka kedudukan talak
menjadi talak ba‟in; kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula (Abdul Rahman Gazali, 2008:197). b. Talak Ba‟in, yaitu talak yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli, dan talak dengan tebusan oleh istri kepada suaminya. Talak ba‟in ada dua macam, yaitu talak ba’in shugra dan talak ba’in kubra. Talak ba‟in shugro yaitu memutuskan tali suami istri begitu talak diucapkan. Karena ikatan perkawinannya telah putus, maka istrinya kembali menjadi orang asing (lain) bagi suaminya (Sayyid Sabiq, 1990: 67). Karenanya ia tidak halal bersenang-senang dengan perempuan Bekas suami berhak untuk kembali kepada istrinya yang tertalak ba‟in sughra dengan akad nikah dan mahar baru selama ia belum kawin dengan laki-laki lain Sedangkan talak ba‟in kubra, yaitu memutuskan tali perkawinan. Tetapi talak ba‟in kubra tidak menghalalkan bekas suami meruju‟ perempuannya lagi, kecuali setelah perempuannya tersebut kawin dengan laki-laki dalam arti kawin yang sebenarnya dan pernah disetubuhi tanpa ada niat kawin tahlil.
29
Ditinjau dari segi suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa macam, yaitu : talak dengan ucapan, talak dengan tulisan, talak dengan isyarat dan talak dengan utusan. 3. Alasan Perceraian menurut Undang-undang Dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI dinyatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut : a. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. b. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga (Mohd. Idris Ramulyo, 1999: 152-153). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat tambahan mengenai alasan terjadinya
perceraian
yang
berlaku
khusus kepada suami istri (pasangan
perkawinan) yang memeluk agama Islam, yaitu:
30
g. Suami melanggar taklik talak; h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga (Zainuddin Ali, 2006: 75). 4. Akibat Hukum Perceraian a. Terhadap Hubungan Suami Istri Dalam suatu perkawinan tidak tertutup kemungkinan akan timbulnya satu perselisihan atau pertengkaran yang berkaitan terjadinya perceraian antara suami istri. Perceraian antara suami istri dan mereka memiliki anak, maka dalam surat Ath-Thalaq
dijelaskan
mengenai
akibat
hukum
perceraian
dimana
suami
berkewajiban memberikan upahnya, si istri berkewajiban menjaga, memelihara anak tersebut jika ia yang berhak merawat dan membesarkan anak tersebut. Apabila dalam perceraian yang bersalah adalah si istri maka terhadapnya tidak ada biaya yang menjadi tanggungan suaminya. Seorang istri yang telah ditalak oleh suaminya maka ia mempunyai masa iddah tiga quru‟ (tiga kali suci), seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah: 228. Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Perkawinan tiga quru‟ yaitu tiga kali suci dari haid atau sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari barulah si istri habis masa iddahnya dan boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Seorang wanita yang belum pernah digauli oleh suaminya tetapi ia telah bercerai dengan suaminya dan apabila ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain maka ia tidak mempunyai masa iddah dan dapat langsung menikah dengan lakilaki pilihannya (Surat Al-Baqarah: 236).
31
b. Terhadap Pemeliharaan Anak (Hadhanah) Fakta kehidupan menunjukkan bahwa tidak sedikit perkawinan yang dibangun dengan susah payah pada akhirnya bubar karena kemelut rumah tangga yang menghantamnya. Akibat dari bubarnya perkawinan itu, tidak sedikit pula anak
yang
dilahirkan
dari
perkawinan
itu
menanggung
derita
yang
berkepanjangan. Terhadap adanya perbedaan keinginan dari kedua orang tua anak tersebut, timbul berbagai masalah hukum dalam penguasaan anak jika telah bercerai (Abdul Manan, 2005: 423). Dalam hukum Islam pemeliharaan anak disebut dengan “Al-Hadhinah” yang merupakan masdar dari kata “Al-Hadhanah” yang berarti mengasuh atau memelihara bayi (Hadhanah as shabiyya). Para ahli Hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang berhak melakukan hadhanah. Namun mereka berpendapat dalam hal-hal yang lain terutama lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu dan juga syarat-syarat yang menjadi ibu pengasuh. Selama tidak ada hal yang menghalangi untuk memelihara anak-anak, maka ibulah yang harus melaksanakan hadhanah, maka hak hadhanah berpindah ke tangan orang lain dalam kerabat ibu garis lurus ke atas. Apabila kerabat ibu dalam garis lurus ke atas berhalangan, maka yang lebih berhak adalah kerabat dari ayah dari anak tersebut, terutama kerabat dalam garis lurus keatas. Manakala anak yang masih kecil itu sama sekali tidak punya kerabat di antara muhrim-muhrimnya itu atau mempunyai kerabat tetapi tidak cakap bertindak untuk melaksanakan hadhanah, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan siapa wanita yang pantas menjadi ibu pengasuh dari anak-anak tersebut.
32
Kewajiban orang tua terhadap anak secara tegas diatur dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa: 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dalam pasal 41 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 juga diatur mengenai putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya.
Semata-mata
perselisihan
mengenai
berdasarkan putusan
kepentingan anak-anak,
anak,
bilamana
Pengadilan
ada
memberi
keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Pasal tersebut bahwa kedua orang tua harus bertanggung jawab terhadap anak-anaknya
meskipun
perkawinan
telah
putus.
Bapak
dan
Ibu
tetap
berkewajiban mengurus masa depan anak-anaknya yang dalam pelaksanaannya tentu saja dilakukan oleh salah satu pihak. Kewajiban orang tua itu tetap berlaku
33
meskipun kekuasaan orang tua dicabut. Kewajiban orang tua ini berlangsung sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Akan tetapi bapak yang bertanggung
jawab
atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara jelas diatur tentang akibat putusnya hubungan perkawinan. Pasal 149 KHI menyebutkan bahwa salah satu akibat dari putusnya hubungan perkawinan karena talak adalah bekas suami wajib memberikan
biaya
hadhanah
(pemeliharaan,
termasuk
didalamnya
biaya
pendidikan) untuk anak yang belum mencapai umur 21 tahun. Mengenai akibat putusnya hubungan perkawinan karena (gugat cerai) diatur dalam pasal 156 KHI. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia. Bagi anak yang telah mumayyiz berhak memilih ayah atau ibu. Semua biaya nafkah anak menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dapat mengurus diri sendiri (21 tahun). c. Terhadap Pembagian Harta Bersama Perceraian
yang
timbul antara
suami dan
isteri melahirkan
akibat,
diantaranya adalah pembagian harta bersama. Harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. Harta tersebut akan menjadi harta bersama, jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum ada pada saat dilangsungkan pernikahan, kecuali harta yang dapat itu diperoleh dari
34
hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan pernikahan, seperti tercantum pada pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Wasman, Wardah Nuroniyah, 2011: 219). Menurut undang-undang perkawinan, apabila putus perkawinan karena perceraian harta bersama harus diselesaikan menurut hukumnya masing-masing yaitu: Pasal 35 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing- masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 1. Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur dalam hukumnya masing- masing. Menurut Kompilasi Hukum Islam: Pasal 85: Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri
35
Pasal 86 (1) : Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri dalam perkawinan. Pasal 86 (2) : Harta istri tetap dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Dalam ayat-ayat tersebut Kompilasi Hukum Islam bertentangan bunyinya, karena hukum Islam pada prinsipnya tidak dikenal harta campur kecuali dengan syirkah (perkongsian), namun apabila dalam kehidupan sehari-hari antara suami istri mencampurkan hartanya maka otomatis terjadi percampuran harta. Pasal 96 (1) : apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup terlama. Pasal (97) : Janda atau duda hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Berdasarkan ayat-ayat tersebut maka harta yang diperoleh suami istri karena usahanya, adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau hanya suami saja yang bekerja sedangkan istri hanya mengurus rumah tangga beserta anak-anak di rumah.
BAB III FAKTOR EKONOMI SEBAGAI ALASAN GUGATAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BANDUNG TAHUN 2011 A. Deskripsi Pengadilan Agama Bandung 1. Dasar Hukum dan Sejarah Pembentukannya Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Bandung : 1. Pengadilan Agama Bandung dibentuk berdasarkan Stbl. 1882 No.152 dan 153 untuk Jawa Madura dan Stbl. 1937 No.116 dan 639 untuk Luar Jawa dan Madura dengan nama Raad Agama. 2. Stbl. 1937 No.638 dan 639 untuk Kalimantan. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Undang-Undang Tentara Jepang (Osamu Saerie) tanggal 7 Maret 1942. 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-Undang No. 4/2004; 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UndangUndang No. 3/2006; jo No. 50/2009; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1946 tentang Mahkamah Islam Tinggi dan Pengadilan Agama. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 1957
tentang Pembentukan
Peradilan Agama/Mahkamah Syari‟ah untuk luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan.
36
37
9. Undang-Undang No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung jo UndangUndang No. 5/2004, jo Undang-Undang No. 3/2009; 10. Keppres No. 21/2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung; 11. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004; 12. Peraturan Presiden RI Nomor 13 Tahun 2005 tentang Sekretariat Mahkamah Agung RI; 13. Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung RI; 14. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/018/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung RI; 15. Keputusan
Sekretaris
Mahkamah
Agung
RI
Nomor
MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah Agung RI; Sejarah Pembentukan Pengadilan Agama Bandung Pengadilan Agama Bandung berdiri kurang lebih pada tahun 1882. Asumsi ini didasarkan atas : a. Bandung
sebagai
wilayah
administratif,
sudah
ada
semenjak
berdirinya yaitu tahun 1810. b. Berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura adalah tahun 1882.
tahun
38
Dua hal tersebut kiranya dapat dijadikan suatu sandaran atas berdirinya Pengadilan Agama Bandung, dengan pertimbangan bahwa: a. Sebagai wilayah administratif, sudah ada terlebih dahulu jauh sebelum berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura. b. Tahun 1882, sebagai tonggak berdirinya Pengadilan Agama Jawa Madura, secara implisit adalah Bandung, mengingat Bandung adalah gugusan kota di pulau Jawa. Dari sejak berdirinya hingga pasca kemerdekaan, yakni tepatnya tahun 1972 Pengadilan Agama beralamat di komplek Masjid Agung di Jalan Dalem Kaum dengan dipimpin oleh seorang Penghulu Recht yang disebut Hup Penghulu atau Kepala Penghulu (Sekarang Ketua Pengadilan Agama). Sampai dengan pertengahan tahun 1972, Pengadilan Agama Bandung masih berkantor di komplek Masjid Agung di Dalem Kaum yang secara umum memiliki kekuatan tenaga pegawai Pengadilan Agama sebanyak 9 orang, yang terdiri dari 1 orang Ketua merangkap Hakim Ketua, 1 orang Wakil Ketua, 2 orang Hakim Anggota Tetap, 1 orang Girifir (sekarang Panitera), 1 orang Jurutulis (tenaga administrasi), dan sisanya sebagai Pesuruh. Kemudian pada tanggal 12 Juli 1972 kantornya dipindahkan ke Jalan Garuda menjadi satu dengan kantor penerangan Agama Islam Propinsi Jawa Barat (sekarang menjadi Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Barat). Alasan kepindahan tersebut karena kantor itu akan dibongkar dalam rangka peluasan Masjid Agung.
39
Di jalan Garuda, Pengadilan Agama Bandung hanya menempati beberapa lokal saja. sehingga volume kerja yang dihadapi, dirasa kurang memadai. Pada tahun 1976/1977 mulai menerima Pegawai Negeri Sipil (Guna peningkatan Sumber Daya Manusia) juga disaat seluruh Pengadilan Agama mendapat Daftar Isian Proyek (DIP), maka dibangunlah gedung yang nantinya dipergunakan
sebagai
kantor/balai
sidang
yang
lebih
respresentatif,
tidak
menumpang dan tidak pindah-pindah lagi. Dan pada tahun 1976 untuk wilayah hukum Bandung Raya memiliki 2 (dua) Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama Bandung dan Pengadilan Agama Cimahi. Pada tanggal 1 April 1978, Pengadilan Agama Bandung resmi menempati bangunan baru yang berdiri di atas tanah seluas 600 m2 , dengan Hak Sewa Guna Pakai dari Pemkot Bandung, yang sampai akhir Tahun 2007 setelah melakukan perluasan bangunan Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung mencapai 500 m2 , yang terletak di Jalan Tangkuban Perahu No. 14 (sekarang dikenal
Jalan
Pelajar Pejuang 45 No.8 Bandung) . Seiring dengan berjalannya waktu, pada tanggal 11 Pebruari 2008 Bapak Ketua Mahkamah Agung RI, Bapak Bagir Manan, meresmikan Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung yang baru, yang terletak di Jalan Terusan Jakarta No. 120 Antapani Kota Bandung. Gedung
Kantor
Pengadilan
Agama
Bandung
yang baru ini mulai
operasional pada tanggal 18 Pebruari 2008, satu minggu setelah acara peresmian. Gedung Kantor Pengadilan Agama Bandung yang baru dan lebih refresentatif ini,
40
dibangun di atas tanah yang luasnya 2.444 m2 , dengan luas bangunan 1.000 m2 (dua lantai), sehingga total keseluruhan luas bangunan 2.000m2 . 2. Wilayah Hukumnya Wilayah hukum Pengadilan Agama Bandung terdiri dari 30 kecamatan dan 151 kelurahan, yaitu: 1. Kecamatan Bandung Kulon
: 8 Kelurahan
2. Kecamtan Babakan Ciparay
: 6 Kelurahan
3. Kecamatan Bojongloa Kaler
: 5 Kelurahan
4. Kecamatan Bojongloa Kidul
: 6 Kelurahan
5. Kecamatan Astanaanyar
: 6 Kelurahan
6. Kecamatan Regol
: 7 Kelurahan
7. Kecamatan Lengkong
: 7 Kelurahan
8. Kecamatan Bandung Kidul
: 4 Kelurahan
9. Kecamatan Buahbatu
: 4 Kelurahan
10. Kecamatan Rancasari
: 4 Kelurahan
11. Kecamatan Cibiru
: 4 Kelurahan
12. Kecamatan Ujungberung
: 5 Kelurahan
13. Kecamatan Arcamanik
: 4 Kelurahan
14. Kecamatan Antapani
: 5 Kelurahan
15. Kecamatan Kiaracondong
: 6 Kelurahan
16. Kecamatan Batununggal
: 8 Kelurahan
17. Kecamatan Sumur Bandung
: 4 Kelurahan
18. Kecamatan Andir
: 6 Kelurahan
19. Kecamatan Cicendo
: 6 Kelurahan
20. Kecamatan Bandung Wetan
: 3 Kelurahan
21. Kecamatan Cibeunying Kidul
: 6 Kelurahan
22. Kecamatan Cibeunying Kaler
: 4 Kelurahan
23. Kecamatan Coblong
: 6 Kelurahan
24. Kecamatan Sukajadi
: 6 Kelurahan
41
25. Kecamatan Sukasari
: 4 Kelurahan
26. Kecamatan Cidadap
: 3 Kelurahan
27. Kecamatan Gedebage
: 4 Kelurahan
28. Kecamatan Panyileukan
: 4 Kelurahan
29. Kecamatan Cinambo
: 4 Kelurahan
30. Kecamatan Mandalajati
: 4 Kelurahan
3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bandung Berdasarkan pasal 9, 10 dan 11 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 dan pasal 107 dan 105 undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Struktur Organisasi Pengadilan Agama Bandung terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris, Panitera Muda Gugatan, Panitera Muda Permohonan, Panitera Muda Hukum, Ka.Sub.Bag. Kepegawaian Ka.Sub.Bag. Umum, Ka.Sub.Bag. Keuangan, Panitera Pengganti, dan Juru Sita, Juru Sita Pengganti. Adapun susunan struktur kepegawaian Pengadilan Agama Bandung adalah sebagai berikut: 1. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Kelas 1A Bandung Ketua/Wakil Ketua
: Drs. Enas Nasai, SH.
Panitera/Sekretaris
: Drs. H. Deden Nazmudin, SH.
Wakil Panitera
: Wahid Hilmi, SH.MH.
Wakil Sekretaris
: Drs. Safe‟i Agustian
Pan Mud Gugatan
: Ahmad Mujahidin, S.Ag.
Pan Mud Permohonan
: Abdul Hakim, SH. SHI.
Pan Mud Hukum
: Hj. Muntiamah, SH.
42
Ka.Sub.Bag.Kepegawaian
: Budi Ansyori, SE.
Ka.Sub.Bag.Umum
: Abdul Ghaffar Mubtadi, SHI.
Ka.Sub.Bag.Keuangan
: Endang Kanawijaya, SH.
2. Kelompok Fungsional Kepanitraan a. Panitera Pengganti: 1) H. Hidayat, S.Ag. 2) Hj. N. Juriah, SH. 3) Irna Resmiana, SH. 4) Tintin Aisah, SH. 5) Ida Frieda Djufri, S.Ag. MH. 6) Moh Hasan Sodiq A, SHI. 7) Taufik Ahmad, SH. 8) Dewi Sulami, SHI. 9) Nenden Sobariyah, SH. 10) Gungun Gunawan, SH. b. Juru Sita: 1) H. Uwes, SH. 2) H.Agus Salim, S.HI. c. Juru Sita Pengganti: 1) Siti Maemunah. 2) Asep Ruchyana, SH. 3) Asep Syamsudin 4) Dian Legiansah
43
5) Moh Febriansyah, SH. 6) Jaenudin Ramdhan, SHI. 7) Titin Rihantingsih, S.Sy. 8) Ratih Puspitasari 9) Eli Fatmawati 10) Asep Abdul Azis, SHI. 11) Umar Dani, S.Sy. 3. Majelis Hakim: a. Drs. H. Abdul Fatah, SH. b. Drs. H. Encep Hasan c. Drs. Asep Gupron, SH. d. Drs. Mustopa, SH. e. Drs. Muhadir, SH. f. Drs. H. Kamaludin, MH. g. Drs. Mohamad Jumhari, SH.MH. h. Drs. Nandang Nurdin. MH. i. Drs. Anang P, SH.MH. j. Bua Eva Hidayah, SH., MH. k. Drs. H. Tata Taufiqurrohman, SH., MH. l. Drs. H. Bahrul Hayat, SH. m. Drs. H. Ramlan Marzuki, SH., MH. n. Dra. Hj. Upi Komariah, SH., MH. o. H.A. Shobur Hasan Supardi, SH.
44
p. Drs. H. Baim As‟ari B. Data Umum Perceraian di Pengadilan Agama Bandung Pengadilan Agama Bandung telah menerima dan memeriksa 5.546 perkara pada tahun 2011, mayoritas perkara tersebut adalah mengenai perceraian berjumlah 4116 perkara. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut: Tabel 1 JUMLAH PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BANDUNG TAHUN 2011 No
BENTUK PERKARA
PERKARA
PERKARA
YANG DITERIMA
YANG DIPUTUS
1
Cerai Talak
1047
890
2
Cerai Gugat
3119
2788
Jumlah
4116
3678
Tabel 2 FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA BANDUNG TAHUN 2011 PERKARA YANG DITERIMA-PERKARA YANG DIPUTUS No
1
FAKTOR PENYEBAB
JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS
Moral Poligami tidak sehat Krisis Akhlak Cemburu
2 8 1
2
Meninggalkan kewajiban Kawin Paksa
45
Ekonomi Tidak ada tanggung jawab Kawin di bawah umur
1118 396 -
3
Penganiayaan
1
4
Dihukum
-
5
Terus menerus berselisih Cacat biologis Gangguan Pihak Ketiga Tidak ada keharmonisan
602 2.037
Jumlah
4.165
Masing-masing faktor prnyebab perceraian tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Moral Keberadaan moral sangat penting bagi kehidupan manusia, baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa maupun dalam kehidupan keluarga (rumah tangga) jika salah atau satu atau kedua belah pihak terikat perkawinan tidak bermoral maka dapat berakibat pada rusaknya hubungan perkawinan, yang berujung pada perceraian. Faktor penyebab perceraian karena moral meliputi poligami tidak sehat, krisis akhlak dan cemburu. a. Poligami tidak sehat Poligami
adalah
beristri
lebih
dari
satu,
sekalipun
agama
Islam
membolehkan poligami tetapi pertanggung jawaban, syarat-syarat poligami berat.
46
Untuk berpoligami laki-laki harus memenuhi syarat poligami, adapun syarat tersebut antara lain: 1. Berlaku adil dalam pembagian giliran, nafkah, dan kasih sayang yang membawa kepada pertanggung jawaban yang penuh. 2. Keadilan nafkah bukanlah berarti jumlah yang sama, melainkan melihat kebutuhan rumah tangganya masing-masing. Jika istri pertama anaknya banyak itu nafkahnya harus dilebihkan dari istri yang beranak sedikit. 3. Keadilan kasih sayang jangan dilihat dari cantiknya seseorang. Kasih sayang itu diperlukan untuk semuanya sehingga semua istrinya mendapat lindungan dan pertanggungjawaban dari suaminya. 4. Suami boleh poligami bila ternyata istrinya mandul (tidak mempunyai anak) (Hadiyah Salim, 1993: 77-78). Apabila seorang suami yang berpoligami tetapi tidak memenuhi keempat syarat diatas, dan salah satu istri tidak terima diperlakukan tidak adil maka dapat menimbulkan pertengkaran, tidak tercapai kehidupan yang harmonis, hingga berujung pada perceraian. b. Krisis Akhlak Krisis akhlak merupakan penyebab perceraian yang termasuk kategori moral. Seorang calon suami istri, ketika hendak melakukan pernikahan dituntut untuk membangun kepribadian secara utuh karena krisis akhlak mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membina kelangsungan hidup keluarga. Membangun kepribadian mempunyai arti penting dalam membina keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dalam rangka membangun keluarga yang
47
harmonis.
Maka
apabila
seseorang
akan
berumah
tangga,
seharusnya
mempersiapkan diri, mendidik agar mempunyai budi pekerti yang baik dan kepribadian para pihak yang terkait dalam perkawinan hendaknya dilandasi oleh keutuhan agama maupun lainnya yaitu norma hukum, norma sosial dan norma sopan santun.
c. Cemburu Cemburu secara umum adalah fenomena yang sehat, karena jika tidak ada cemburu di tengah masyarakat, niscaya akan banyak hal yang diharamkan Allah SWT dilanggar manusia. Meskipun begitu bukan berarti cemburu itu halal secara mutlak, karena ada cemburu yang dapat menghancurkan rumah tangga bukan membangun. Cemburu model ini adalah cemburu gila dan buta, yang tidak membedakan antara yang benar dan yang batil. Cemburu ini berawal dari kecurigaan antara suami dan istri. Jika cemburu buta ini terjadi antara suami istri maka akan berakibat kehancuran dalam rumah tangga hingga berujung pada perceraian. 2. Meninggalkan Kewajiban Suami
berkewajiban
memenuhi
kebutuhan
istri
sesuai
dengan
kemampuannya, begitu juga dengan istri berkewajiban memenuhi kebutuhan suami. Pasal 80 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan hal-hal yang termasuk kategori meninggalkan kewajiban meliputi:
48
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama. b. Suami
wajib
melindungi
istrinya
dan
memberikan
segala
sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. c. Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa. d. Sesuai dengan kewajibannya suami menanggung: 1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri 2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri 3. Biaya pendidikan bagi anak e. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat 4 huruf a dan b diatas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya. f. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b. g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz. Adapun sebab-sebab suami istri meninggalkan kewajibannya adalah: 1) Kawin paksa Perkawinan merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh agama bagi orang yang mampu menjalani hidup berumah tangg. Oleh karena itu orang tua yang mempunyai anak
gadis yang sudah dianggap mampu untuk melaksanakan
49
perkawinan,
hendaknya
menikahkan
mereka.
Dalam
menikahkan
anaknya
hendaknya orang tua meminta izin pada anaknya. Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menentukan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal 16 ayat (1 dan 2) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa: (1) perkawinan atas persetujuan calon mempelai. (2) bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. 2) Ekonomi Ekonomi sangat besar sekali pengaruh dan fungsinya dalam membina rumah tangga yang bahagia, aman tenteram dan sejahtera. Salah satu penyebab krisis perkawinan dan yang menimbulkan pertengkaran dan kekacauan dalam rumah tangga ialah masalah ekonomi. Kelancaran dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh kelancaran kestabilan ekonomi, segala kebutuhan rumah tangga yang beraneka ragam macamnya dapat terpenuhi jika ekonominya lancar, sebaliknya kericuhan rumah tangga sering terjadi yang diakhiri oleh perceraian disebabkan oleh masalah ekonomi yang tidak mendukung kebutuhan pangan, pakaian dan tempat tinggal. Terkait
masalah
ketidakmampuan
suami memenuhi ekonomi keluarga
dalam kelangsungannya seperti makan, sandang, dan perumahan, bila istri tidak rela dan tidak sabar maka pihak istri dapat mengajukan gugatan cerai. Tetapi alasan ini pun dipertimbangkan lebih dahulu terutama dalam ketidakcukupan kalau tidak mengganggu kelangsungan hidup keluarga sehari-hari bahkan ada
50
suatu harapan dalam menambah penghasilan,
maka tidak perlu dilakukan
perceraian. 3) Tidak Ada Tanggung Jawab Apabila sudah terjadi akan nikah secara sah maka mulai saat itulah antara suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban baik hak dan kewajiban terhadap istri maupun hak dan kewajiban istri terhadap suami. Selain suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban, suami istri juga mempunyai tanggung jawab yang harus dipenuhi, tanggung jawab bersama antara suami dengan istri, tanggung jawab terhadap keluarga dan tanggung jawab terhadap tetangga. Perkara perceraian yang disebabkan karena tidak adanya tanggung jawab umumnya terkait dengan pelanggaran taklik talak yang diucapkan setelah terjadi akad nikah yaitu: a. Apabila suami telah meninggalkan istrinya selama 6 bulan berturut-turut b. Apabila suami tidak memberi nafkah wajib kepada istrinya selama 3 bulan lamanya. c. Atau menyakiti badan jasmani si istri d. Apabila suami tidak memperdulikan atau membiarkan istri 6 bulan lamanya. Jadi apabila suami tidak adanya tanggung jawab atau melanggar taklik talak maka istri boleh mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. 4) Kawin dibawah umur Kawin di bawah umur biasanya terjadi karena kemauan pihak laki-laki ataupun pihak perempuan yang usianya belum cukup menurut undang-undang atau pada usia muda (belum matang) secara lahiriyah (fisik, kemampuan kerja)
51
bathiniyah (mental belum labil atau jiwa mudanya masih kuat mendominasi). Sebab
lain
kawin
di bawah
umur
adalah
nikah hamil yang bertujuan
menyelamatkan kehormatan keluarga. Kondisi rumah tangga pernikahan yang dilakukan di bawah umur beraneka ragam. Biasanya kehidupan rumah tangganya masih bergantung pada orang tua, mereka masih tinggal bersama orang tua. Kadangkala pertengkaran kecil sering menyertai kehidupan rumah tangga mereka, baik karena keegoisan masing-masing pihak,
maupun kesalahpahaman yang bisa menyebabkan pertengkaran atau
kadangkala kecemburuan yang tidak pasti alasannya. Perceraian yang terjadi karena kawin di bawah umur biasanya terjadi karena salah satu pihak atau kedua belah pihak belum siap hidup berumah tangga. 3. Penganiayaan Penganiayaan terhadap istri seperti melakukan pemukulan, melukai dan menganiaya merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Jika suami telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada istrinya, maka istri dapat mengajukan perceraian. Hukum positif telah menentukan bahwa jika salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak-pihak tersebut dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. 6 4. Dihukum Dihukum bisa digunakan sebagai alasan perceraian, jika sudah memenuhi ketentuan dalam undang-undang. Ketentuan tersebut adalah salah satu pihak
6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Jo. PP. Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 19 Huruf d Jo Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 huruf d.
52
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan tersebut berlangsung.7 5. Terus Menerus Berselisih Dalam membangun
bahtera
rumah
tangga kehidupan keluarga tidak
selamanya berjalan secara mulus, namun terkadang muncul permasalahan yang dapat mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran. Alasan perselisihan terus menerus mencakup: a. Cacat biologis Kesehatan jasmani menjadi bagian penting bagi suami istri dalam menjalani kehidupan keluarga, keberadaan jasmani yang sehat diharapkan dapat membantu suami istri untuk memenuhi kewajiban. Jika salah satu pihak mempunyai cacat biologis
atau
fisik
dimungkinkan
dapat
menghambat
atau
tidak
dapat
melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah dapat terhalang untuk itu aturan memperbolahkan mengajukan permohonan atau gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.8 b. Gangguan Pihak Ketiga Adanya gangguan pihak ketiga adakalanya muncul dari keluarga salah satu atau kedua belah pihak yang selalu ikut campur dalam rumah tangga tersebut. Gangguan pihak ketiga juga dapat terjadi dari pihak lain, baik suami mempunyai
7 8
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 19 Huruf c. Jo Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 Huruf c. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Jo. PP. Nomo r 9 Tahun 1975, Pasal 19 Huruf e Jo Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 huruf e.
53
WIL (wanita idaman lain) maupun istri mempunyai PIL (pria idaman lain) sehingga salah satu pihak meninggalkan tanggung jawabnya yang harus dipenuhi terhadap keluarganya. Mereka telah melupakan keluarga dan kewajiban yang harus dilaksanakan karena perhatiannya telah terbagi pada WIL atau PIL-nya, hal ini bisa disebut perselingkuhan. c. Tidak Ada Keharmonisan Pada dasarnya setiap orang yang berumah tangga selalu mendambakan keluarga yang harmonis. Ada kesesuaian dan kecocokan diantara suami istri serta mampu mengatasi perbedaan yang ada secara baik dan tetap bertujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Keluarga yang tidak menyenangkan dan tidak Ketidakharmonisan
tersebut
harmonis akan menjadi suatu hal yang tidak memberi kenyamanan bagi masing-masing pihak. pada
akhirnya
menimbulkan
perselisihan
dan
pertengkaran yang terus menerus kemudian berujung pada perceraian. C. Putusan Gugatan Perceraian Karena Faktor Ekonomi di Pengadilan Agama Bandung Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, bahwa di Pengadilan Agama Bandung tahun
2011 terdapat 1118 putusan perceraian terkait ekonomi sebagai
alasan perceraian. Tetapi disini penulis hanya membahas tiga putusan tahun 2011. Dari ketiga putusan tersebut diuraikan sebagai berikut: Kasus 1 Putusan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
54
Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai berikut dalam perkara antara: ERNAWATY AS binti ANDA SURYANA, Umur 36 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, tempat kediaman di Jalan Karangtineung Dalam No. 70 RT. 01 RW. 04 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Melawan TANTAN YULIANTO bin EMAN SULAEMAN, Umur 42 Tahun, agama Islam, pekerjaan Serabutan, tempat kediaman di Jalan Karangtinggal Dalam No. 26 RT. 06 RW.11 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”. Penggugat berdasarkan surat gugatannya tanggal 3 Januari 2011, dan terdaftar
pada
kepaniteraan
Pengadilan
Agama
Bandung.
Nomor:
21/Pdt.G/2011/PA.Bdg. mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa Penggugat adalah istri sah Tergugat yang menikah pada tanggal 26 September 1999, dengan kutipan akta nikah nomor: 416/59/IX/1999 tanggal 27
September 1999, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama
Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung. 2. Bahwa setelah perkawinan penggugat dengan tergugat tinggal bersama di Jalan Karangtinggal Dalam No. 26 RT. 06 RW.11 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung hingga sekarang, karena berselisih kemudian Penggugat keluar dari rumah dan sekarang tinggal di Jalan Karangtineung Dalam No. 70 RT. 01 RW. 04 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung.
55
3. Bahwa dari perkawinannya tersebut telah dikaruniai 3 (tiga) orang anak yang bernama: 1. AZKA AQILAH FADHILLAH, Lahir tanggal 29 Juli 2001 2. ALI FAYZAN ABDILLAH, lahir tanggal 16 Juli 2003 3. MUHAMMAD HUSSAIN ABDALA, lahir tanggal 10 Februari 2007 4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga akhir Tahun 2009 rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan harmonis sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak tahun 2010 antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk didamaikan. 5. Bahwa
penyebab
terjadinya
perselisihan
dan
pertengkaran
tersebut
dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat. 6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benarbenar tidak rukun lagi, dan sampai sekarang telah pisah rumah selama 4 bulan. 7. Bahwa penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga bersama tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada keluarga akan tetapi tidak berhasil. Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memanggil Penggugat dan Tergugat
56
agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra dari Tergugat kepada Penggugat 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum Atau apabila pengadilan berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya. Setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan terhadap perkara tersebut, Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut:
TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 130 HIR Jo Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, Majelis Hakim telah berusaha semaksimal mungkin mengupayakan perdamaian, agar kedua belah pihak berperkara bisa hidup rukun kembali membina rumah tangga dan sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008, Majelis Hakim sesuai kesepakatan kedua belah pihak berperkara, telah menunjuk Sdr. Drs. H. IDANG HASAN, S. SH. MH. Selaku mediator untuk melakukan mediasi, namun upaya tersebut gagal. Menimbang,
bahwa yang menjadi alasan pokok diajukannya gugatan
perceraian oleh Penggugat yaitu bahwa sejak tahun 2010 antara Penggugat dengan Tergugat
sering
didamaikan,
terjadi
hal tersebut
perselisihan
dan
pertengkaran
terjadi karena faktor ekonomi,
yang
sulit
untuk
tergugat kurang
57
bertanggung jawab terhadap Penggugat, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat menjadi benar-benar tidak rukun lagi, dan sampai sekarang telah pisah rumah selama 4 (empat) bulan, oleh karena demikian Penggugat
memohon
agar Pengadilan menjatuhkan talak
Tergugat kepada
Penggugat. Menimbang, bahwa Tergugat telah memberikan jawaban secara lisan yang pada pokoknya Tergugat membenarkan seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat dan Tergugat tidak keberatan untuk bercerai. Menimbang, bahwa memperhatikan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 guna untuk mengetahui sejauhmana kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat, Majelis Hakim perlu mendengar keterangan saksisaksi dari keluarga atau orang terdekat kepada Penggugat dan Tergugat. Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya, Penggugat dan Tergugat telah mengajukan bukti berupa Photo Copy Surat Kutipan Akta Nikah yang diberi tanda P.1 dan mengajukan saksi yang terdiri dari 2 (dua) orang saksi yaitu: CACIH SARSIH binti CECE CASMEDI dan YON AIDIL bin WISHAR. Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1 yaitu Fotokopi kutipan Akta Nikah Nomor: 416/59/IX/1999 tanggal 27 September 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Sukajadi Kota Bandung yang telah dicocokan dengan aslinya dan dibubuhi materai secukupnya, harus dinyatakan terbukti bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah.
58
Menimbang,
bahwa saksi-saksi yang diharapkan oleh Penggugat dan
Tergugat tersebut pada pokoknya menerangkan bahwa mereka mengetahui sudah kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sejak tahun 2010 diantara mereka sering bertengkar, yang disebabkan karena masalah ekonomi yang selalu tidak mencukupi, dimana Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat pada saat sekarang telah pisah rumah selama 5 (lima) bulan. Menimbang, bahwa kedua saksi penggugat juga menerangkan bahwa selaku keluarga mereka telah berusaha mendamaikan Penggugat dan Tergugat, tetapi tidak berhasil karenanya saksi sudah tidak sanggup lagi mendamaikan kedua belah pihak. Menimbang bahwa fakta dipersidangan menunjukkan, sampai pada tahap kesimpulan penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan Tergugat dan upaya mediasi pun tidak membuahkan hasil. Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat benar sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sudah tidak ada harapan untuk dipertahankan lagi, sehingga rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah pecah sedemikian rupa (marriage breakdown). Menimbang,
bahwa
kondisi rumah
tangga
Penggugat
dan
Tergugat
sebagaimana digambarkan diatas, sudah jauh dari hakekat dan tujuan perkawinan yang sebenarnya sebagaimana yang dicita-citakan didalam Pasal 1 Undangundang nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam dimana perkawinan itu bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
59
sakinah, mawaddah dan rahmah, karenanya mempertahankan ikatan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak akan bermaslahat lagi. Menimbang, diatas,
maka
bahwa
Penggugat
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut
telah berhasil membuktikan dalil-dalil gugatannya,
karenanya alasan perceraian sebagaimana diatur pada Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jis Pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi, dengan demikian gugatan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat patut dikabulkan. Menimbang, bahwa selama perkawinan Penggugat dengan Tergugat telah bergaul sebagaimana layaknya suami istri (ba‟da dukhul) dan belum pernah bercerai, maka berdasarkan ketentuan Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam talak yang dijatuhkan adalah talak satu ba‟in sughra. Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya timbul dalam perkara ini harus dibebankan kepada Penggugat. Mengingat, segala ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan hukum Islam yang berkaitan dengan perkara ini. MENGADILI 1. Mengabulkan gugatan Penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat TANTAN YULIANTO bin EMAN SULAEMAN kepada Penggugat ERNAWATY binti ANDA SURYANA
60
3. Membebankan biaya perkara sejumlah Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh satu ribu rupiah) kepada Penggugat. Demikian putusan ini dijatuhkan di Bandung pada hari Rabu tanggal 02 Februari 2011 Masehi bertepatan dengan tanggal 28 Shafar 1432 Hijriyyah, oleh kami Drs. MUHADIR, SH. Sebagai Ketua Majelis dan Drs. ZEZEN ZAENAL ABIDIN serta Drs. H. IDANG HASAN, S. SH. MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan tersebut diucapkan oleh Majelis tersebut pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota serta KOSMARA, SH sebagai panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat dan Tergugat. Kasus 2 Putusan Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai berikut dalam perkara antara: Aah Kurniati, Umur 34 Tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Jalan Cipedes No. 37 RT. 04 RW. 06 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Melawan Dadang Rahmat Arifin, Umur 42 Tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Swasta, bertempat tinggal di Jalan Cipedes No. 37 RT. 04 RW. 06 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”.
61
Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 15 Maret 2011, yang telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung dalam register perkara Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg. mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa pada tanggal 31 Januari 1993, Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat dihadapan Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung. Kutipan Akta Nikah Nomor: 740/38/II/1993 tanggal 09 Februari 1993. 2. Bahwa setelah perkawinan tersebut penggugat dengan tergugat tinggal bersama di Jalan Cipedes No. 37 RT. 04 RW. 06 Kelurahan Cipedes Kecamatan Sukajadi Kota Bandung hingga sekarang Penggugat tetap tinggal di alamat tersebut, karena berselisih kemudian Penggugat keluar dari rumah dan sekarang tinggal di Jalan Cisaranten No. 25 RT. 02 RW. 06 Kelurahan Cisaranten Wetan Kecamatan Cinambo Kota Bandung. 3. Bahwa dari perkawinannya tersebut telah dikaruniai 2 (dua) orang anak masing- masing bernama: 1. Hera Oktavia Anjani, lahir tanggal 23 Oktober 1993 2. Wine Gloria Tifani, lahir tanggal 10 Mei 2003 4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga tahun 2004 rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan harmonis sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak tahun 2005 antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk didamaikan.
62
5. Bahwa
penyebab
terjadinya
perselisihan
dan
pertengkaran
tersebut
dikarenakan Faktor Ekonomi, Tergugat kurang bertanggungjawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita idaman lain (WIL). 6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benarbenar tidak rukun lagi, dan sampai sekarang telah pisah rumah selama 6 (enam) tahun. 7. Bahwa penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga bersama tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada keluarga akan tetapi tidak berhasil. Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Agama Bandung untuk memanggil Penggugat dan Tergugat agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughra dari Tergugat kepada Penggugat 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum - Mohon putusan yang seadil-adilnya. Setelah melakukan pemeriksaan dan persidangan terhadap perkara tersebut, Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut: TENTANG HUKUMNYA
63
Menimbang, bahwa sesuai dengan Pasal 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, Majelis Hakim telah mendamaikan para Penggugat, akan tetapi tidak berhasil. Menimbang, bahwa dari dalil Penggugat butir (1) dihubungkan dengan Kutipan Akta Nikah (P.1) tersebut diatas, harus dinyatakan bahwa sejak tanggal 31 Januari 1993 antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat oleh perkawinan yang sah. Menimbang,
bahwa dalam persidangan Tergugat telah tidak datang
menghadap ke persidangan, oleh karenanya harus dinyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap ke persidangan, tidak hadir. Menimbang,
bahwa
alasan
Penggugat
sebagaimana
dalam
positanya
tersebut adalah bahwa dari sejak tahun 2005 antara Penggugat rumah tangganya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita idaman lain, bahkan antara Penggugat dengan Tergugat telah pisah rumah selama 6 (enam) tahun. Menimbang,
bahwa
dari
dalil-dalil
Penggugat
dihubungkan
dengan
keterangan saksi EEN KARNENGSIH binti UHA dan ASEP SAEFUL KAMAL, S.Ag., yang pada pokoknya kedua saksi tersebut menerangkan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sudah tidak rukun lagi, sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena faktor ekonomi, Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita
64
idaman
lain,
akhirnya mereka telah pisah rumah dan sudah diusahakan
perdamaian akan tetapi ternyata tidak berhasil, dapat disimpulkan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit didamaikan, oleh karenya harus dinyatakan bahwa perkawinan tersebut telah pecah, sehingga tujuan perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan sebagaimana ditegaskan dalam AlQur‟an Surat Ar-Ruum ayat 21, bahwa dijodohkannya laki-laki dan perempuan ini sebagai suami istri agar tercapai kehidupan yang tenteram dan selalu terjalin rasa saling mencintai dan saling menyayangi, tidak akan tercapai. Menimbang, bahwa berdasarkan kenyataan dan pertimbangan tersebut, harus dinyatakan bahwa cerai gugat tersebut telah memenuhi alasan perceraian yang diatur dalam pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Sehingga cukup beralasan dan tidak melawan hukum, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek. Menimbang, bahwa perkara tersebut termasuk bidang perkawinan, maka berdasarkan pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, biaya perkara harus dibebankan kepada Penggugat. Memperhatikan, ketentuan hukum yang berlaku dan berkaitan dengan perkara tersebut.
65
MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek 3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat DADANG RAHMAT ARIFIN bin SULAEMAN terhadap Penggugat AAH KURNIATI binti UHA 4. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat sejumlah Rp. 271.000,(dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah). Demikian diputuskan di Bandung pada hari Kamis tanggal 28 April 2011 M. bertepatan dengan tanggal 24 Jumadil Awal 1432 H. oleh kami Dra. Hj. EUIS KARTIKA, Sebagai Hakim Ketua, Drs. ASEP GUPRON, SH. dan Drs. MOHAMAD JUMHARI, SH., MH.
masing-masing sebagai Hakim Anggota,
putusan mana diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh ROJUDIN,
M.Ag. sebagai Panitera Pengganti pada
Pengadilan Agama tersebut, dihadapan Penggugat tanpa hadirnya Tergugat. Kasus 3 Putusan Nomor:843/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Pengadilan Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama dan telah menjatuhkan putusan atas perkara sebagai berikut dalam perkara Cerai Gugat yang diajukan oleh Istri, Umur 38 Tahun, agama Islam,
pekerjaan
Pegawai Swasta,
bertempat
tinggal di Komplek
Bumi
Panyileukan Blok F3 No.32 RT. 02 RW. 05 Kelurahan Cipadung Kidul
66
Kecamatan Panyileukan Kota Bandung. Selanjutnya disebut sebagai “Penggugat”. Melawan Suami, Umur 43 Tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Swasta, bertempat tinggal di Jalan Panti Asuahan No. 47B RT. 03 RW. 02. Kelurahan Jurang Manggu Timur Kecamatan Pondok Aren Kota Tangerang, sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya diwilayah Indonesia. Selanjutnya disebut sebagai “Tergugat”. Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 11 Maret 2011, dan telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Bandung dalam register perkara Nomor: 843/Pdt.G/2011/PA.Bdg. pada pokoknya berbunyi sebagai berikut: 1. Bahwa pada tanggal 03 Mei 1996, Penggugat telah melangsungkan perkawinan dengan Tergugat dihadapan Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Coblong Kota Bandung. Kutipan Akta Nikah Nomor: 107/19/V/1996 tanggal 03 Mei 1996. 2. Bahwa setelah perkawinan tersebut penggugat dengan tergugat tinggal bersama di bertempat tinggal di Komplek Bumi Panyileukan Blok F3 No.32 RT. 02 RW. 05 Kelurahan Cipadung Kidul Kecamatan Panyileukan Kota Bandung, hingga sekarang Penggugat dan Tergugat tetap tinggal di alamat tersebut. 3. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dikaruniai 2 (dua) orang anak masingmasing bernama: 1. RIZKY AULYA PRATAMA, lahir tanggal 15 April 1997. 2. M. FADHIL IHSAN F, lahir tanggal 20 Juni 2002.
67
4. Bahwa dari sejak perkawinan tersebut hingga tahun 2004 rumah tangga antara
Penggugat
dengan
Tergugat
berjalan
rukun
dan
harmonis
sebagaimana layaknya suatu rumah tangga yang baik, akan tetapi sejak tahun 2005 antara Penggugat dengan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk didamaikan. 5. Bahwa
penyebab
terjadinya
perselisihan
dan
pertengkaran
tersebut
dikarenakan Faktor Ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat, Tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap Penggugat. 6. Bahwa karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran tersebut, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi benarbenar tidak rukun lagi, dan sudah tidak ada harapan untuk bersatu kembali. 7. Bahwa Penggugat telah berusaha untuk mempertahankan rumah tangga bersama Tergugat bahkan Penggugat telah meminta bantuan kepada keluarga akan tetapi tidak berhasil. Berdasarkan kepada apa yang diuraikan diatas, maka dengan ini Penggugat memohon
kepada
Ketua
Pengadilan
Agama
Bandung
untuk
memanggil
Penggugat dan Tergugat agar hadir di muka persidangan, memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat 2. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro dari Tergugat terhadap Penggugat 4. Menetapkan biaya perkara menurut hukum - Mohon putusan yang seadil-adilnya.
68
Setelah
melakukan
pemeriksaan
dan
persidangan
terhadap
perkara
tersebut, Majelis Hakim menetapkan putusan sebagai berikut: TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah mendamaikan agar Penggugat bersabar dan meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat akan tetapi tidak berhasil. Menimbang bahwa berdasarkan dalil Penggugat pada posita poin 1 (satu), dan keterangan saksi serta bukti (P.1), maka pertama-tama harus dinyatakan terbukti
bahwa
antara
Penggugat
dengan
Tergugat
masih
terikat
dalam
perkawinan yang sah. Menimbang, bahwa Penggugat telah hadir ke persidangan dan telah memberikan keterangan dan penjelasan secukupnya. Menimbang, bahwa Tergugat tidak datang menghadap ke persidangan dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai kuasanya, walaupun kepadanya telah dipanggil
secara
patut
dan
sah
melalui
RRI
dengan
Nomor:
843/Pdt.G/2011/PA.Bdg., tanggal 26 April 2011 dan tanggal 26 Mei 2011, ketidakhadiran Tergugat tersebut telah ternyata tidak disebabkan oleh suatu halangan yang sah menurut Undang-undang, oleh karena itu Tergugat harus dinyatakan tidak pernah hadir ke persidangan dan berdasarkan pasal 125 (1) HIR perkara ini harus diputus secara verstek. Menimbang, bahwa Penggugat telah mendalilkan bahwa rumah Tangganya dengan Tergugat sejak tahun 2005 sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab
69
terhadap Penggugat dan Tergugat melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Penggugat. Menimbang, bahwa berdasarkan para saksi yang diajukan Penggugat bernama
EVIYANTI
binti
DADANG
dan
SANTI
NURHAYATI
binti
WARJONO, telah membenarkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sekarang ini sudah tidak rukun dan harmonis lagi karena faktor ekonomi, Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap Penggugat dan ada kekerasan dalam rumah tangga serta tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat tanpa memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan sekarang Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya serta tanpa kabar berita, yang sampai sekarang telah pisah rumah selama kurang lebih 6 (enam) tahun. Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil gugatan Penggugat dan bukti saksi, Majelis Hakim telah mendapatkan fakta dipersidangan, bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak rukun dan harmonis lagi karena faktor ekonomi, Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat, dan ada kekerasan dalam rumah tangga serta Tergugat telah pergi meninggalkan Penggugat tanpa memberi nafkah wajib kepada Penggugat dan sekarang Tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya serta tanpa kabar berita, yang sampai sekarang telah pisah rumah selama 6 (enam) tahun, atas kejadian tersebut Penggugat tidak mempercayai lagi Tergugat dan sudah tidak sanggup lagi untuk melanjutkan rumah tangga dengan Tergugat. Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan diatas,
Majelis
Hakim
berpendapat bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah sulit untuk
70
dirukunkan lagi, oleh karena itu telah cukup bukti alasan gugatan Penggugat sesuai maksud pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 (f) Kompilasi Hukum Islam, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan verstek dengan menjatuhkan talak satu bain sughro Tergugat terhadap Penggugat. Menimbang, bahwa dalam perkara ini telah timbul biaya, maka berdasarkan pasal 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 harus dibebankan kepada Penggugat. MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil dengan resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, tidak hadir 2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek 3. Menjatuhkan talak satu ba‟in sughro Tergugat terhadap Penggugat 4. Membebankan biaya perkara sejumlah Rp. 361.000,- (tiga ratus enam puluh satu ribu rupiah) kepada Penggugat. Demikian diputuskan di Bandung pada hari Senin tanggal 05 September 2011 M. bertepatan dengan tanggal 07 Syawal 1432 H. oleh kami Drs. MUGHNI MUHARROR, M.Hum, sebagai Hakim Ketua, Drs. H. ABDUL FATAH, SH. dan Drs. H. IDANG HASAN. S., MH. masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Hj. MUNTHIAMAH, SH. sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Agama tersebut, dihadapan Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
71
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAJELIS HAKIM TERHADAP GUGATAN PERCERAIAN KARENA FAKTOR EKONOMI A. Alasan Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama Bandung Meningkatnya kebutuhan ekonomi memaksa pasangan suami istri harus bekerja
untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali
perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan. Gugatan perceraian dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan perkembangan zaman yang modern, seperti hidup di lingkungan orang kaya yang berbeda profesi, istri mengikuti gaya hidup teman-temannya yang hidup serba kemewahan, sementara penghasilan suami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan seharihari.
Begitupun dalam kehidupan rumah tangga seperti tingkat kebutuhan yang
semakin meningkat, harga semua kebutuhan pokok semakin mahal sementara penghasilan suami kecil, tingkat kesadaran suami akan tanggung jawab untuk memenuhi ekonomi keluarga sangat minim, dan antara suami dan istri tidak saling memahami satu sama lain. Setelah diselidiki ternyata kasus gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung ini dipengaruhi oleh kultur sosial dan budaya masyarakat Bandung yang life style-nya diatas rata-rata. Selain itu gugatan perceraian karena faktor ekonomi di Pengadilan Agama Bandung lebih dominan disebabkan: a. Penghasilan suami yang kecil tidak seimbang dengan kebutuhan yang diperlukan istri dan anaknya;
72
73
b. Suami tinggal di rumah istri (mertua); c. Suami bersikap cuek/ tidak mau memberi nafkah terhadap istri; d. Istri banyak menuntut nafkah yang lebih akan tetapi suami tidak mampu memenuhi permintaan istri; e. Suami malas/tidak sungguh-sungguh dalam bekerja.9 Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan gugatan perceraian karena faktor ekonomi di Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2011 mengalami peningkatan, hal ini dapat dibuktikan dengan laporan tahunan Pengadilan Agama dalam hal ini faktor ekonomi pada tahun 2011 sebanyak 1118 perkara. Apabila di presentasekan gugat cerai karena faktor ekonomi sekitar 70% dari 70% perkara gugatan perceraian. Perkara tersebut kebanyakan diajukan oleh masyarakat pada umumnya
menengah
kebawah
dan
pernikahan
yang
rata-rata
lima
tahun/pernikahan yang masih muda. Ada beberapa hal yang patut dikaji secara kritis dari putusan pengadilan dan hasil penelitian yang penulis peroleh antara lain: Pemahaman hakim terhadap tidak terpenuhinya ekonomi keluarga
menjadi
alasan pihak istri mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Dalam hal suami yang tidak memberi nafkah istrinya, tetapi ia mempunyai harta yang disimpan oleh istrinya, maka istrinya tidak berhak mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan, karena pihak istri dibolehkan agama mengambil harta suaminya yang ada padanya sekedar keperluan nafakahnya dan anak-anaknya (Kamal Muchtar, 2004: 217). 9
Wawancara dengan Bapak Mohamad Jumhari, Hakim Pengadilan Agama Bandung, di Bandung, 24 April 2013.
74
Hakim memahami bahwa standar pemberian nafkah sangat relatif karena tidak adanya ketentuan yang pasti, maka hakim dalam pertimbangan hukumnya dengan mengkaitkan pada penghasilan suami, jenis profesi dan kebutuhan istri. Untuk
wilayah Bandung UMR (Upah Minimum Regional)-nya hampir 2 juta
lebih. Gaji PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Bandung dengan gaji 2-3 juta itu tidak cukup dengan kebutuhan primer sehari-hari. Hal ini bukan berarti mempermudah seorang istri mengajukan perceraian. Sebab putusan yang dikeluarkan hakim berdasarkan pertimbangan dengan melihat fakta atau peristiwa yang terjadi selama persidangan, bukti yang diajukan para pihak dan pemahaman hakim atas beberapa pasal yang terdapat pada undang-undang. Hakim mengabulkan gugatan perceraian karena ekonomi selain berdasarkan pada undang-undang yang berlaku di Indonesia dan Hukum Islam hakim juga mempertimbangkan sepanjang ekonomi ini tidak menjadi masalah rumah tangga maka
aman
rumah
tangga.
Tetapi
apabila
ekonomi
menimbulkan
masalah/percekcokan dan timbul kebencian istri terhadap suaminya, sehingga hubungan menjadi renggang, dan kehilangan gairah dalam berumah tangga apabila
perceraian
itu
diputuskan
akan
membawa
kearah
kebaikan dan
kemaslahatan bagi pihak suami maupun istri. Hakim dalam memutuskan perkara tidak hanya menggunakan alasan ekonomi sebagai alasan pokok tetapi juga menggunakan alasan bahwa antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan. Selain itu untuk memperkuat hakim dalam memutuskan perkara yaitu dengan menilai duduk perkara, bukti-bukti autentik dan saksi-saksi yang membenarkan kejadian sehingga gugatan perceraian tersebut dikabulkan.
75
Upaya hakim dalam mendamaikan para pihak terdapat dalam pasal 82 yaitu pada
sidang
pertama
pemeriksaan
gugatan
perceraian,
hakim
berusaha
mendamaikan kedua pihak tapi terbatas diruang persidangan. Sesuai dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 melalui upaya mediasi yaitu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator disini adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa
tanpa
menggunakan
cara
memutus
atau
memaksakan
sebuah
penyelesaian. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Upaya damai ini dilakukan dalam rangka memperkecil angka perceraian dan dalam rangka mengeliminir persoalan banding. Jadi apabila kedua belah pihak baik, bisa mengeliminir persoalan maka tidak banding dan otomatis mengurangi angka banding dan kasasi. Sangat disayangkan dalam upaya damai ini ternyata tidak sampai 5% hanya 3% saja yang berhasil didamaikan, hal ini disebabkan karena percekcokan antara Penggugat dan Tergugat sudah parah, dan sebelumnya mereka sudah berunding di rumah, jadi di Pengadilan Agama hanya tinggal menunggu keputusannya saja. Jika dalam upaya damai ternyata tergugat tidak hadir dalam sidang (verstek), maka jatuhlah talak suami kepada istri. Dalam pertimbangan hakim apabila dipertahankan rumah tangga tidak maslahat. Perbedaan pendapat apabila perkara tersebut diputus dengan verstek maka tidak perlu dibuktikan selama gugatan itu benar, tidak bertentangan dengan hukum, petitumnya benar dan
76
tergugat/kuasanya tidak hadir dalam sidang setelah dipanggil secara sah dan patut, maka telah membenarkan dalil atau alasan gugatan yang diajukan oleh penggugat sehingga perkara tersebut dapat diputus tanpa kehadiran tergugat. B. Prosedur Gugat Cerai Karena Alasan Ekonomi Prosedur Gugatan Cerai karena Alasan Ekonomi terdapat pada Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Jika Istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami, gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya
mewilayahi
tempat
kediaman
suaminya.
Hak
untuk
memohon
memutuskan ikatan perkawinan ini dalam hukum Islam disebut khulu‟, yaitu salah satu cara melepaskan ikatan perkawinan yang datang dari pihak istri dengan kesediaannya membayar ganti rugi, yaitu dengan mengembalikan mahar kepada suami. Proses sidang perceraian bisa dilakukan, bila gugatan atau permohonan cerai sudah didaftarkan dan diregister oleh Panitera Pengadilan yang berwenang mengadilinya. Kemudian Ketua Pengadilan terkait, akan menunjuk majelis hakim yang bertugas untuk menyidangkan kasus tersebut. Sekaligus menentukan jadwal sidang pertama dari gugatan tersebut. Cerai gugat diajukan oleh istri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.
77
Prosedur pengajuan gugatan dan pemeriksaan cerai gugat agar dipedomani Pasal 73 s/d Pasal 86 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP No. 9 Tahun 1975 (Mahkamah Agung RI, 2010: 219-220). Pasal 73 UUPA : (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat. (2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri gugatan perceraian diajukan
kepada
pengadilan
yang
daerah
hukumnya
meliputi tempat
kediaman tergugat. (3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan
kepada
pengadilan
yang
daerah
hukumnya
meliputi
perkawinan mereka dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta pusat. (Zainuddin Ali, 2006: 82) Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam Mengenai alasan perceraian dan alat bukti untuk mengajukan gugatan diatur dalam pasal 74, 75, dan 76 UUPA dan Pasal 133, 134, dan 135 KHI. Pasal 74 UUPA : Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti
penggugat
cukup
menyampaikan
salinan
putusan
pengadilan
yang
78
berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 75 UUPA : Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami, maka hakim dapat memerintahkan tergugat untuk memeriksakan diri kepada dokter. Pasal 76 ayat (2) UUPA : Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masingmasing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakim. Pasal 76 ayat (2) UUPA di atas, merupakan penjabaran garis hukum dari Firman Allah dalam Surah An-Nisaa‟ (4) ayat 35, yang kemudian mengambil bentuk lembaga yang disebut BP-4. Selanjutnya, fungsi lembaga tersebut diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, yaitu bahwa Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat diminta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat. Adapun tindakan hukum selama proses perkara di pengadilan berlangsung, menghindari berbagai kemungkinan hal-hal yang bersifat negatif di antara suami istri. Hal ini diatur dalam Pasal 77 UUPA. Pasal 77 UUPA : Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,
79
pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Pasal 78 UUPA : Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat, pengadilan dapat: 1. Menerima nafkah yang ditanggung suami; 2. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak 3. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri (Juhaya S Praja, 1994: 112). Pasal 79 UUPA: Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan. Pasal 80 UUPA: (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau gugatan perceraian didaftarkan di kepaniteraan. (2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup Pasal 81 UUPA: (1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
80
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 82 UUPA: (1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Pasal 83 UUPA: Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum perdamaian tercapai. Pasal 84 UUPA: (1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada pegawai pencatat nikah yang wilayahnya meliputi tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. (2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah pegawai pencatat nikah tempat perkawinan dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula
81
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan. (3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia (4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan kepada para pihak. Pasal 85 UUPA: Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau Pejabat Pengadilan
yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian
bagi bekas suami atau isteri atau keduanya. Karena itu amat penting pengiriman salinan putusan dimaksud. Sebab akan mendatangkan kerugian dari berbagai pihak yang membutuhkannya (Ibid, hal: 114). Pasal 86 UUPA: (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan dalam
82
lingkungan Peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. C. Pertimbangan Hukum yang Digunakan Oleh Majelis Hakim dalam Menyelesaikan Perkara Gugat Cerai Karena Faktor Ekonomi Adapun pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara ekonomi sebagai alasan perceraian dikembalikan pada akibatnya. Bahwa tidak adanya ekonomi mengakibatkan perselisihan dan pertengkaran terus menerus, maka hakim mengembalikan pada pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 Undangundang perkawinan jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI yang menjelaskan bahwa antara suami istri terus menerus berselisih dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi untuk hidup rukun dalam rumah tangga. Alasan Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung menggunakan pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI, karena ketika pasal tersebut muncul penyebabnya kebanyakan didukung oleh faktor ekonomi.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung dalam ranah
kajiannya melihat kepada faktornya terlebih dahulu, ketika faktor ditemukan apa yang muncul, ternyata yang muncul pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI. Ketika Majelis Hakim membuat
suatu
pertimbangan
yaitu
ekonomi
menyebabkan
timbulnya
percekcokan terus menerus, tetap yang di pakai adalah pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI. Jadi
83
bedakan antara faktor penyebab menimbulkan alasan. Alasan berdasarkan pasal, sedangkan faktor menimbulkan alasan ini. 1. Putusan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Pada pemeriksaan Nomor: 21/Pdt.G/2011/PA.Bdg. dapat diketahui bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat telah goyah. Hal ini dikarenakan Tergugat kurang bertanggung jawab dalam hal pemberian ekonomi terhadap Penggugat, maka mengakibatkan rumah tangga Penggugat dan Tergugat menjadi benar-benar tidak rukun lagi, dan sampai saat ini Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah selama 4 (empat) bulan. Dalam perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Agama Bandung memutuskan perceraian dengan dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jis Pasal 19 huruf (f) Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Menurut penulis sangat tepat, karena setelah diteliti duduk perkara yang ditambah lagi adanya bukti-bukti autentik dan saksi-saksi yang telah membenarkan kejadian tersebut yakni memang benar antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi. 2. Putusan Nomor: 871/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Dalam memutuskan
perkara
Nomor
871/Pdt.G/2011/PA.Bdg.
Majelis
Hakim menggunakan dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam karena antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dikarenakan faktor ekonomi, Tergugat tidak
84
bertanggung jawab terhadap Penggugat dan Tergugat memiliki wanita idaman lain. Antara Penggugat dan Tergugat telah pisah rumah selama 6 tahun. Menurut penulis tepat karena berdasarkan keterangan dari para saksi sudah terbukti bahwa antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit untuk didamaikan sehingga tujuan perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perkawinan bertujuan
membentuk
keluarga
(rumah
tangga)
yang
bahagia
dan
kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa tidak tercapai. 3. Putusan Nomor: 843/Pdt.G/2011/PA.Bdg. Tindakan Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan Penggugat dengan dasar hukum Pasal 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, yakni antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Menurut penulis sangat tepat berdasarkan duduk perkara ditambah lagi bukti-bukti autentik dan keterangan para saksi sudah terbukti bahwa rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak dapat akan hidup rukun dan harmonis lagi. Hal ini dikarenakan Tergugat kurang bertanggung jawab terhadap Penggugat, Tergugat tidak memberikan nafkah wajib kepada Penggugat dan apabila terjadi perselisihan dan pertengkaran Tergugat suka menyakiti badan jasmani Penggugat sehingga karena tidak tahan lalu Penggugat pisah rumah dengan Tergugat selama kurang lebih 6 (enam) tahun lamanya dan sekarang tergugat tidak diketehui alamatnya. Menurut Penulis lebih tepat lagi kalau perkara tersebut didasarkan
85
pada Pasal 19 huruf (a) Peraturan Pemerintah. No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam. Yakni salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yakni penganiayaan batin dimana seorang istri dibiarkan begitu saja, tidak diperlakukan sebagaimana layaknya suami istri.
86
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap skripsi dengan tema yang penulis angkat, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur gugat cerai di Pengadilan Agama Bandung mengacu kepada Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama yaitu terdapat pada pasal 73 sampai dengan Pasal 86 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 2. Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus dan menyelesaikan perkara tersebut dikembalikan terhadap akibat tidak terpenuhinya ekonomi keluarga,
yaitu
berakibat tidak
adanya ketentraman,
keharmonisan dan
kebahagiaan dalam membangun rumah tangga, sering terjadinya perselisihan dan
pertengkaran
secara
terus
menerus,
sehingga
tujuan
perkawinan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak tercapai. B. Saran Saran yang dapat penulis kemukakan sehubungan dengan analisis yang penulis lakukan terhadap ekonomi sebagai alasan gugatan perceraian adalah: 1. Pengadilan Agama Perlu diberikan pemahaman atau penyuluhan kepada masyarakat Bandung tentang pentingnya pembinaan keluarga sejahtera, serta memberikan pemahaman
87
lain tentang hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, serta sosialisasi undang-undang perkawinan pada masyarakat agar memiliki kesadaran hukum, melalui pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini Pengadilan Agama dan instansi terkait, dibawahnya (KUA), Depag. Dengan cara terjun ke desa-desa. 2. Suami-Istri a. Hendaknya sebelum melakukan pernikahan antara calon suami-istri lebih dimantapkan dalam hal persiapan batin agar dalam pernikahan tercipta kehidupan yang hermonis antara suami istri serta dapat bertahan seumur hidup. b. Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling memahami, saling terbuka dalam rumah tangga untuk memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga tidak terjadi disharmonis dalam keluarga. Langkah yang ditempuh adalah dengan
cara
mengemukakan
permasalahan
yang
ada,
kemudian
permasalahan tersebut dibicarakan bersama dan dicari jalan keluarnya bersama-sama, salah satunya adalah harus ada yang mengalah dan saling menyadari satu sama lain, sehingga perselisihan cepat terselesaikan dengan damai 3. Masyarakat Hendaknya dilakukan penyuluhan yang menyangakut hukum perceraian dengan segala aspeknya, guna merangsang kokohnya ikatan perkawinan dan mengurangi angka perceraian.
88
Peranan Badan Pembinan Penasehat Pelestarian Perkawinan (BP-4) harus lebih ditingkatkan lagi sehingga masalah perkawinan dapat diatasi sehingga perceraian dapat diatasi.