BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh manusia. Kebutuhan akan rumah menempati kedudukan kedua setelah makanan. Tanpa rumah, manusia akan kedinginan dan kepanasan sehingga mengancam kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itulah setiap orang berusaha untuk memenuhi kebutuhan perumahan sesuai dengan kemampuan dan kondisinya masing-masing. Harga tanah dan bahan bangunan yang semakin meningkat, membuat kepemilikan rumah sangat berat bagi sebagian orang. Untuk itu membeli rumah secara kredit, yang biasa disebut Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), menjadi pilihan memiliki rumah yang terjangkau bagi banyak orang. Penjualan rumah dengan cara KPR ini sering digunakan oleh pengembang (developer) yang menawarkan beberapa unit rumah kepada calon pembeli. Seringkali rumah yang ditawarkan pengembang itu dalam kondisi belum terbangun, yaitu masih berupa kapling-kapling tanah. Pembangunan baru dimulai setelah ada calon pembeli yang memesan rumah itu. Sistem ini dinamakan pre project selling yaitu cara penjualan properti oleh pengembang sebelum bangunan fisik selesai dibangun.1 Dalam mekanisme pre project selling, pengembang menawarkan brosur yang berisi rencana pembangunan, 1
Anonim, “Pakar Hukum: Apakah Kuasa dalam PPJB Termasuk dalam Kategori Kuasa Mutlak?”, http://m.propertykita.com/, diakses pada tanggal 4 Februari 2014.
1
2
fasilitas-fasilitas yang tersedia, gambar-gambar unit, spesifikasi bangunan, dan biasanya disertai dengan kalimat bahwa investasi di propertinya pasti untung serta harga akan segera naik. Minat masyarakat untuk memiliki rumah dengan sistem KPR semakin meningkat, namun hal ini tidak diikuti dengan pemahaman mengenai proses hukum yang terkait dengan kepemilikan rumah itu. Proses hukum pemilikan rumah berturut-turut mulai dari Surat Pesanan (SP), Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Berita Acara Serah Terima (BAST/Hand Over), Akta Jual Beli (AJB), sampai dengan terbitnya sertipikat.2 Surat Pemesanan (SP) merupakan surat yang berisi pemesanan rumah bagi masyarakat yang serius ingin membeli. SP ini merupakan transaksi awal sebab setelah calon pembeli menandatanganinya harus membayar biaya-biaya seperti biaya pemesanan (booking fee) dan uang muka (down payment/DP). Selain itu, calon pembeli harus tunduk dan terikat pula dengan syarat dan ketentuan dalam SP tersebut. Selanjutnya, setelah pembeli membayar sejumlah tertentu (biasanya 30% dari harga rumah), maka dilakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). PPJB tersebut ditandatangani oleh para pihak beserta saksi-saksi. Dalam proses ini, SP menjadi bagian lampiran yang tidak terpisahkan dari PPJB. PPJB berisi ketentuan-ketentuan yang akan digunakan dalam proses pembangunan sampai penyerahan rumah, misalnya masalah biaya rumah, cara pembayaran, waktu penyerahan rumah, sampai dengan syarat penyerahan sertipikat. Ketentuan-ketentuan dalam PPJB inilah 2
Anonim, “Pahami PPJB Sebelum Tanda Tangan!, http://ppjbrusun.wordpress.com/, diakses pada tanggal 4 Februari 2014.
3
yang nantinya berlaku sebagai aturan main (hukum) bagi calon pembeli dan pengembang, dan akan berakhir pada saat penandatanganan Akta Jual Beli (AJB). Dengan kata lain, PPJB seperti jembatan penghubung antara proses transaksi SP dan AJB.3 Penandatanganan AJB dilakukan di depan Notaris/PPAT yang akan mengurus pembuatan sertipikat rumah. Syarat penandatanganan AJB adalah dilakukannya pelunasan harga rumah oleh pembeli dengan disaksikan oleh Notaris/PPAT. Jika pelunasan sudah dilakukan melalui bank sebelum penandatanganan AJB dilakukan, maka kuitansi pembayaran rumah diserahkan kepada Notaris/PPAT dan dijadikan bukti untuk proses pensertipikatan. Jika sudah sampai pada tahap ini, maka proses pembelian rumah telah selesai, penjual telah menerima pelunasan biaya dan pembeli telah mendapatkan rumah beserta sertipikat tanda bukti kepemilikan. Dalam penelitian ini, yang disoroti adalah pada tahap PPJB. PPJB dari sisi transaksi bisnis properti merupakan konsekuensi dari strategi pemasaran pre project selling. Langkah ini ditempuh pengembang lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi, yaitu memperoleh dana murah dan kepastian pasar.4 PPJB merupakan cara memperoleh dana murah karena pengembang mendapatkan dana dari uang muka pembeli tanpa harus membayar bunga, berbeda halnya jika dana itu dipinjam dari bank, perusahaan harus membayar bunga yang tidak sedikit. PPJB juga dikatakan memberikan kepastian pasar, karena dengan telah diserahkannya uang muka oleh pembeli, menunjukkan 3 4
Ibid. Ibid.
4
minat pembeli atas rumah yang akan dibangun pengembang (kepastian pasar). Di lain pihak, bagi pembeli adanya proses PPJB merupakan cara bagi pembeli untuk mendapatkan kepastian akan rumah yang diidamkan dengan biaya yang terjangkau karena pada tahap ini pembeli hanya perlu membayar uang muka terlebih dahulu. Pada saat penandatangan PPJB, biasanya calon pembeli diberikan kesempatan untuk membaca dan mempelajari draft PPJB terlebih dahulu dengan dipandu “petugas pembaca PPJB” dari pihak pengembang. Draft PPJB pada umumnya tidak bisa dibawa pulang dan penjelasan yang diberikan pun hanya seperlunya, sehingga banyak calon pembeli yang “terpaksa” asal tanda tangan tanpa memahami substansi PPJB. Padahal, di dalam PPJB tersebut banyak sekali klausul-klausul yang menimbulkan akibat hukum tertentu yang cenderung merugikan calon pembeli apabila terjadi permasalahan di kemudian hari. PPJB bukan merupakan bukti peralihan kepemilikan bangunan, tetapi baru merupakan ikatan awal calon pembeli dengan pengembang yang menunjukkan keseriusannya untuk melanjutkan transaksi pembelian rumah atau ruko dari pengembang. Dalam PPJB biasanya dimasukkan klausul yang mengatur tentang serah terima bangunan, yaitu tentang kapan waktu penyerahan dilakukan dan apa syarat-syaratnya. Syarat yang ditentukan antara lain mengenai pembayaran dan penandatanganan Berita Acara Serah Terima (BAST).
5
Dalam prakteknya sering terjadi penyerahan rumah tidak sesuai dengan jadwal yang dijanjikan atau spesifikasi rumah tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Dalam hal ini konsumen telah dirugikan dan berhak menuntut ganti rugi dari pengembang. Namun seringkali konsumen dalam keadaan yang lemah, sehingga pengembang dapat dengan bebas begitu saja lepas dari tuntutan konsumen. Sebetulnya konsumen mempunyai kekuatan hukum dan bisa mengajukan tuntutan jika dirugikan. PPJB merupakan salah satu kekuatan hukum untuk konsumen ketika membeli rumah yang ”belum jadi”. PPJB itu sendiri dibuat karena pengembang menawarkan rumah yang ”belum jadi” sehingga perlu adanya jaminan hukum bagi kedua belah pihak. Klausul PPJB dalam prakteknya memang sudah baku dan dibuat sendiri oleh pengembang, tetapi pengembang tidak boleh sewenang-wenang dalam membuat isi PPJB karena ada pedoman aturan dari pemerintah. Pedomannya adalah Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Terkait dengan ketentuan penyerahan tanah dan bangunan, Keputusan Menteri ini menentukan bahwa pembeli berhak membatalkan perjanjian jika: a. Pihak Penjual tidak dapat menyerahkan Tanah dan Bangunan Rumah beserta hak-hak yang melekat, tepat waktu yang diperjanjikan, dan Pembeli telah selesai kewajibannya untuk membayar harga Tanah dan Bangunan tersebut. b. Pihak Penjual menyerahkan Tanah dan Bangunan Rumah yang tidak cocok dengan Gambar Denah, dan Spesifikasi Teknis Bangunan yang telah ditetapkan bersama dan menjadi lampiran dalam Pengikatan Jual beli. c. Apabila keadaan yang dimaksud dalam butir a dan b angka IX tersebut terjadi maka perjanjian menjadi batal, dan Penjual wajib membayar
6
uang yang telah diterima, ditambah dengan denda, bunga, dan biayabiaya lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut hukum. d. Pembeli tidak dapat memenuhi dan atau tidak sanggup meneruskan kewajibannya untuk membayar harga Tanah dan Bangunan Rumah sesuai dengan yang diperjanjikan. e. Pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar cicilan kepada Bank Pemberi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sesuai dengan syarat-syarat Akta Perjanjian Kredit. f. Pembeli mengundurkan diri atau membatalkan transaksi jual beli Tanah dan Bangunan Rumah karena suatu sebab atau alasan apapun juga. g. Apabila keadaan sebagaimana dimaksud dalam butir d, e, dan f angka IX tersebut terjadi dalam hal pembayaran atas Tanah dan Bangunan Rumah belum mencapai 10% (sepuluh prosen) maka keseluruhan pernbayaran tersebut menjadi hak pihak Penjual. Dalam hal pembayaran harga Tanah dan Bangunan Rumah yang dilakukan pihak Pembeli melebihi 10% (sepuluh prosen) maka pihak Penjual berhak memotong 10% (sepuluh prosen) dari jumlah total harga Tanah dan Bangunan Rumah dan sisanya wajib dikembalikan kepada pihak Pembeli.5
Dari ketentuan yang dimuat di atas, diketahui bahwa konsumen perumahan mempunyai hak untuk menuntut pengembang mengembalikan uangnya jika pengembang tidak dapat menyerahkan Tanah dan Bangunan Rumah tepat waktu atau apabila Penjual menyerahkan Tanah dan Bangunan Rumah yang tidak cocok dengan Gambar Denah, dan Spesifikasi Teknis Bangunan yang telah ditetapkan. Akan tetapi dalam prakteknya, tetap saja pihak pengembang berhasil melepaskan diri dari tanggung jawabnya berdasarkan klausula yang dimuatnya dalam PPJB. Padahal jika pengembang mematuhi dengan konsisten ketentuan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, pengembang tentu kena sanksi sesuai ketentuan Bagian IX angka 1
5
Bagian IX tentang Ketentuan Pembatalan Pengikatan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.
7
huruf
c
Keputusan
Menteri
Negara
Perumahan
Rakyat
Nomor
09/KPTS/M/1995, yaitu harus mengembalikan uang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lainnya kepada pembeli. Dari fenomena ini terlihat bahwa pengembang tidak mentaati pedoman pembuatan PPJB yang ditentukan dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995. Hal ini diketahui dari tidak adanya sanksi bagi pengembang yang didasarkannya pada PPJB. Padahal jika benar PPJB dibuat oleh pengembang berdasarkan pedoman itu, dipastikan pengembang akan kena sanksi. Dari penelitian awal yang dilakukan di Pengadilan Negeri Sleman ditemukan wanprestasi yang dilakukan PT Sarwo Indah selaku pengembang Perumahan Merapi Regency yang terletak di Dusun Ngebel Gede, Sardonoharjo, Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman. Bentuk wanprestasi yang dilakukan ada dua, yaitu 1) Pembangunan rumah tidak diselesaikan tepat waktu (tertunda); dan 2) Pihak pengembang telah menyerahkan tanah dan bangunan rumah, namun tidak mau mengurus sertipikat kepemilikan. Untuk pembangunan rumah yang tidak tepat waktu, pembeli tidak menuntut ganti rugi, tetapi hanya meminta perusahaan segera menyelesaikan proses pembangunan. Sedangkan untuk rumah yang sudah selesai namun tidak segera diserahkan sertipikat, perusahaan menggunakan 2 (dua) modus. Pertama, meminta pembeli melunasi pembayaran namun tidak dilengkapi dengan Akta Jual Beli (AJB) sehingga syarat untuk mengurus sertipikat menjadi tidak lengkap karena untuk itu diperlukan AJB. Kedua, sengaja
8
meminta pembeli tidak melunasi seluruh biaya yaitu sekitar 1 – 5% dari total dengan alasan biaya itu nanti dibayar lunas ketika perusahaan menyerahkan sertipikat, namun pihak perusahaan tidak pernah mengurus sertipikat itu dan selalu menghindar jika ditanyakan oleh pembeli. Dalam hal ini pengurusan sertipikat oleh pembeli yang telah melunasi pembayaran terkendala tidak adanya AJB yang menjadi syarat pengurusan sertipikat. Pembeli hanya memegang PPJB yang merupakan perjanjian pendahuluan pembelian rumah dan tidak dapat digunakan untuk pengurusan sertipikat. Di lain pihak, pembeli yang masih kurang sedikit pelunasan biaya rumahnya (1 – 5%) juga mengalami masalah yang sama. Mereka dianggap belum melunasi harga rumah dan hanya mempunyai pegangan PPJB sebagai dasar transaksi, sehingga kedudukannya dianggap lemah oleh Pengadilan. Para pembeli yang terkatung-katung statusnya karena tidak memegang sertipikat semakin tidak jelas nasibnya ketika mengetahui bahwa sertipikat tanah dan bangunan yang mereka beli telah dijaminkan pihak pengembang kepada Bank Mandiri tanpa sepengetahuan pembeli. Kenyataan itu membuat rumah yang telah diserahkan perusahaan kepada pembeli menjadi terancam tidak dapat dipertahankan pembeli, karena pembeli tidak memegang Akta Jual Beli yang dibuat di depan Notaris, tetapi hanya PPJB yang dibuat di depan Bagian Legal perusahaan. Keadaan semakin memburuk ketika pembeli akhirnya juga mengetahui bahwa PT Sarwo Indah selaku pengembang ternyata telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang dengan nomor putusan pailit No. 02/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg.
9
Sebuah
perusahaan
dinyatakan
pailit
atau
bangkrut
harus
menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi. Sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka semua perikatan antara debitor yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit. Semua kenyataan yang baru diketahui kemudian oleh para pembeli perumahan Merapi Regency sangat memukul perasaan mereka. Perasaan tertipu membuat para pembeli perumahan yang harganya mencapai milyaran rupiah tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sleman. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti masalah ini. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pendorong diterapkannya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 sebagai pedoman dalam pembuatan PPJB, sehingga kepentingan pembeli dan pengembang perumahan dapat terlindungi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah perusahaan pengembang PT Sarwo Indah sudah melaksanakan
10
Perjanjian Pengikatan Jual Beli properti menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 di Kabupaten Sleman? 2. Bagaimanakah kekuatan PPJB sebagai dasar untuk menuntut pemenuhan hak pembeli jika penjual tidak memenuhi prestasinya berupa penyerahan sertipikat kepemilikan rumah yang telah dilunasi pembayarannya?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah perusahaan pengembang PT Sarwo Indah sudah melaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli properti menurut Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 di Kabupaten Sleman. 2. Untuk menganalisis kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar untuk menuntut pemenuhan hak pembeli jika penjual tidak memenuhi prestasinya berupa penyerahan sertipikat kepemilikan rumah yang telah dilunasi pembayarannya.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan dibidang ilmu pengetahuan serta pengembangan teori di bidang perlindungan konsumen, khususnya perlindungan hukum
11
terhadap konsumen perumahan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah. 2. Secara Praktik Secara praktik penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Dapat mengetahui pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli rumah pada praktiknya. 2) Dapat mengetahui kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar untuk menuntut pemenuhan hak pembeli dalam praktiknya.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
yang
penulis
lakukan,
ditemukan ada beberapa penelitian yang berkaitan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, berikut tulisan-tulisan tersebut : Penelitian pertama dilakukan oleh Rusmiyati, yang melakukan penelitian berjudul ”Kedudukan Asas Itikad Baik dalam Pengertian Objektif (Kepatutan) dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Sleman Register Perkara Nomor : 01/Pdt.G/PN.Slmn)”.6 Permasalahan yang dianalisis dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana perwujudan dan kedudukan asas kepatutan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah (Studi Kasus
6
Rusmiyati, “Kedudukan Asas Itikad Baik dalam Pengertian Objektif (Kepatutan) dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Akta Kuasa Menjual Tanah (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Negeri Sleman Register Perkara Nomor : 01/Pdt.G/PN.Slmn)”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012.
12
terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sleman dengan Register Perkara Nomor 01/Pdt.G/2010/PN.SLMN)? 2. Bagaimana upaya hukum yang dilakukan oleh para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang melanggar kepatutan? Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rusmiyati adalah dalam hal objek yang diteliti adalah PPJB, sedangkan perbedaannya adalah dalam titik berat penelitiannya. Rusmiyati menitikberatkan perwujudan dan kedudukan asas kepatutan dalam PPJB, sedangkan penelitian ini menitikberatkan pada pelaksanaan
PPJB
yang
bertentangan
dengan
Kepmenpera
Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Penelitian kedua dilakukan oleh Sumalia Novia, dengan penelitian berjudul ”Tinjauan Tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris Di Kota Banjarmasin”.7 Permasalahan yang dianalisis dalam tesis ini adalah: 1. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah berdasarkan akta notaris? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli berdasarkan akta notaris? Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sumalia Novia adalah dalam hal objek yang diteliti adalah PPJB dan juga kekuatan hukum PPJB. Adapun perbedaannya adalah dalam penelitian ini kekuatan PPJB yang
7
Sumalia Novia, “Tinjauan Tentang Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris Di Kota Banjarmasin,” Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013.
13
dianalisis kekuatannya sebagai dasar penuntutan hak pembeli jika penjual tidak memenuhi prestasinya berupa penyerahan sertipikat rumah yang telah dilunasi pembayarannya, sedangkan yang dianalisis Sumalia Novia adalah dalam hal kekuatan PPJB yang dibuat berdasarkan akta notaris. Penelitian lain yang hampir sama dengan penelitian ini adalah penelitian Indragani yang melakukan penelitian berjudul Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan oleh Notaris8. Penelitian ini mengungkap permasalahan: 1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengikatan jual beli atas tanah dan bangunan? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian akta pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris? 3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa akibat terjadinya wanprestasi dalam perjanjian jual-beli rumah dan bangunan yang telah dibuat di hadapan notaris? Persamaan penelitian ini dengan penelitian Indragani adalah dalam hal objeknya, yaitu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Perbedaannya
penelitian Indragani yang menitikberatkan kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh notaris, sedangkan penelitian ini menitikberatkan pada pelaksanaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang menyimpang dari ketentuan Kepmenpera Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. 8
Indragani, “Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah dan Bangunan oleh Notaris,” Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012.
14
Berdasarkan uraian perbedaan antara penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana tersebut diatas, penelitian mengenai Aspek-aspek Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Properti Menurut
Keputusan
Menteri
Negara
Perumahan
Rakyat
Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah merupakan penelitian yang berbeda khususnya tentang obyek penelitian dan permsalahan yang diajukan, karena itu penelitian ini merupakan penelitian asli. Apabila ternyata pernah dilakukan peneliti serupa maka penelitian ini dapat melengkapinya.