BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi hal yang paling mendasar bagi semua orang, terlebih pada saat persaingan yang semakin ketat sekarang ini menyebabkan sulitnya mencapai tujuan yang diharapkan. Sekolah dasar mempunyai tugas dan fungsi untuk melayani publik. Selain itu, sekolah juga dipandang sebagai sebuah sistem sosial karena terdiri dari seperangkat elemen dan aktivitas yang saling berinteraksi antara yang satu dengan lainnya dan membentuk suatu intensitas sosial (Hasanah, 2010). Elemen-elemen itu dapat dikelompokkan atas tiga aspek, yaitu, birokrasi, kelompok dan individu (Hasanah, 2010). Birokrasi tersebut mencakup struktur format organisasi dimana semua peranan yang menjadi tuntutan organisasi atau aturan-aturan sekolah tersebut dirumuskan. Salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru yang belum mampu menunjukkan kinerja yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai (Danim, 2002; 2010). Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang komprehensif untuk meningkatkan kompetensi guru. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru, diantaranya dengan mengikutsertakan guru-guru dalam program pendidikan dan pelatihan (diklat) serta menciptakan iklim kerja yang kondusif di lingkungan sekolah tersebut (Hasanah, 2010). Dengan mempunyai wawasan yang bertambah baik dan didukung oleh lingkungan atau iklim kerja yang mendukung diharapkan kinerja guru dalam menjalankan tugasnya akan bertambah baik.
1
Hapsari (2012) menyebutkan bahwa sekolah sebagai organisasi dikatakan berhasil jika mampu mendorong, mengatur, dan mengarahkan seluruh unsur-unsur di dalamnya untuk mencapai tujuan organisasi, yaitu tujuan sekolah dan pendidikan nasional. Untuk itu, dibutuhkan pengajar yang memiliki etos kerja dan pengabdian yang tinggi, serta wajib menjalani berbagai diklat yang diadakan oleh Dinas Pendidikan. Raymond et al., (2008) mengartikan pelatihan sebagai upaya yang direncanakan untuk mempermudah pembelajaran para karyawan tentang pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. Dibutuhkan motivasi dari masing-masing karyawan untuk mengikuti pelatihan tersebut. Menurut teori Maslow dalam Robbins dan Judge (2007), terdapat lima kebutuhan dasar manusia, yaitu: (1) kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis ini meliputi kebutuhan rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya. Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang sangat mendasar untuk dipenuhi; (2) kebutuhan rasa aman, kebutuhan rasa aman ini meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional; (3) kebutuhan sosial, kebutuhan sosial ini meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan; (4) kebutuhan penghargaan, kebutuhan penghargaan ini meliputi faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian. Selain penghargaan internal, juga terdapat penghargaan eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian; dan (5) kebutuhan aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya, yang meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri. Teori Maslow ini mengasumsikan bahwa manusia harus memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (aktualisasi diri). Hal yang penting dalam pemikiran Maslow ini adalah kebutuhan yang belum terpenuhi akan memberi motivasi. Apabila seseorang telah mendapatkan atau 2
menerima uang yang cukup dari pekerjaan atau organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya intensitasnya lagi, sehingga apabila suatu kebutuhan telah mencapai puncaknya atau tercukupi, maka kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku. Selanjutnya, kebutuhan kedua akan mendominasi, tetapi walaupun kebutuhan telah terpuaskan, kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku individu, hanya saja intensitasnya yang lebih kecil. Wahjosumidjo (2001) mengungkapkan bahwa menjadi guru tanpa motivasi kerja akan cepat merasa jenuh karena tidak adanya unsur pendorong. Motivasi merupakan pemberi daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Motivasi kerja yang tinggi dalam sebuah organisasi sekolah akan berdampak positif, yaitu tercapainya tujuan yang telah ditentukan oleh organisasi sekolah. Agar motivasi kerja dapat dioptimalkan dalam organisasi sekolah, maka perlu diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja itu. Faktor-faktor itu meliputi faktor internal yang bersumber dari dalam individu dan faktor eksternal yang bersumber dari luar individu. Faktor internal seperti sikap terhadap pekerjaan, bakat, minat, kepuasan, pengalaman, dan lain-lain serta faktor dari luar individu yang bersangkutan seperti pengawasan, gaji, lingkungan kerja, dan kepemimpinan (Robbins dan Judge, 2007). Selain karena faktor internal dan eksternal yang dimiliki individu, motivasi juga dapat muncul karena adanya keinginan yang ingin dicapai dalam pekerjaan, seperti karir. Mondy (1993) mendefinisikan pengembangan karir (career development) sebagai aktivitas-aktivitas untuk mempersiapkan seorang individu pada kemajuan jalur karir yang direncanakan. Terdapat beberapa prinsip pengembangan karir yang diungkapkan oleh Mondy (1993) diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri mempunyai pengaruh yang sangat besar 3
terhadap pengembangan karir. Apabila setiap hari pekerjaan menyajikan suatu tantangan yang berbeda, apa yang dipelajari pada pekerjaan jauh lebih penting daripada aktivitas rencana pengembangan formal. Bentuk pengembangan keterampilan yang dibutuhkan ditentukan oleh permintaan pekerjaan yang spesifik. Keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pengawas guru akan berbeda dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi guru. Pengembangan akan terjadi jika seorang individu belum memperoleh keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Apabila keterampilan tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh seorang individu, maka individu tersebut dapat memenuhi keterampilan yang dituntut pekerjaan dan dapat menempati pekerjaan yang baru. Waktu yang digunakan untuk pengembangan dapat direduksi atau dikurangi dengan mengidentifikasi rangkaian penempatan pekerjaan yang rasional. Selain motivasi pelatihan dan pengembangan karir persepsian, Bertolino et al. (2011) juga menemukan bahwa intensi berperilaku dalam pelatihan (training behavioral intentions) juga mempengaruhi kepribadian proaktif. Intensi berperilaku dalam pelatihan dapat dipahami sebagai maksud dari mengikuti pelatihan oleh seseorang. Yank et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa intensi untuk mengikuti pelatihan mempengaruhi kepribadian proaktif. Selanjutnya, Remesh et al. (2011) menyatakan bahwa intensi berperilaku secara signifikan mempengaruhi kepribadian proaktif dan memotivasi untuk mengikuti pelatihan. Selain itu, Bertolino et al. (2011) juga menemukan bahwa intensi berperilaku dalam pelatihan berpengaruhi kepribadian proaktif. Selain itu, Bertolino et al. (2011) juga menemukan terdapatnya hubungan antara intensi berperilaku dalam pelatihan terhadap kepribadian proaktif ini dimoderasi oleh usia.
4
Covey (1995) mengartikan kepribadian proaktif sebagai kepribadian yang memiliki suatu sikap mental dan tindakan seseorang yang didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri : a) memiliki sikap bertanggungjawab atas sikap dan perilakunya; b) memusatkan energi dengan berfokus dan bekerja pada lingkaran pengaruh (influence circle); c) menggunakan pendekatan dari dalam ke-luar (in side out-approach); d) mendahulukan prinsip atau values di atas suasana hati, kondisi atau tekanan sosial; e) mengembangkan dan menggunakan “empat anugerah unik manusia” (four unique human gifts). Covey menyebutkan “four unique human gifts” itu adalah: self awareness (kesadaran diri), conscience (hati nurani), creative imagination (imajinasi kreatif) dan independent will (kehendak yang bebas). Seorang individu yang proaktif adalah orang yang relatif tidak terpengaruh oleh kekuatan situasi di sekitarnya, bahkan orang tersebut mampu mempengaruhi munculnya perubahan di lingkungannya (Bateman & Crant, 1993) dalam Bertolino et al. (2011). Individu dengan proaktifitas tinggi, mampu mengidentifikasi kesempatan dan mengambil tindakan yang tepat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, menampakkan inisiatif dan mempertahankannya sampai perubahan yang bermakna terjadi (Parker dan Sprigg, 1999 dalam Major et al., 2006). Individu proaktif dalam organisasi dapat mentransformasikan misi organisasi, menemukan masalah dan mampu memecahkannya, serta selalu berusaha untuk melakukan perubahan positif pada lingkungan sekitarnya. Lawan dari sikap proaktif adalah sikap pasif atau reaktif, yaitu orang yang sekedar untuk beradaptasi atau berkompromi dengan keadaan, daripada berusaha mengubah dirinya untuk memberikan pengaruh positif pada situasi sekitarnya (Seibert et al., 1999 dalam Bertolino et al., 2011). Ciri-ciri kepribadian proaktif tersebut dapat terwujud jika seseorang memiliki motivasi yang tinggi (Covey, 1995). Dalam hal ini, seorang guru yang memiliki motivasi tinggi akan 5
mempengaruhi kepribadiannya untuk menjadi lebih proaktif. Di atas telah diuraikan bahwa guru yang lebih muda cenderung memiliki keinginan yang lebih banyak, sehingga akan muncul motivasi yang tinggi, dan dari motivasi yang tinggi tersebut akan muncul kepribadian proaktif untuk dapat mencapai keinginan-keinginannya tersebut. Kepribadian proaktif semangat
mengajar,
juga
harus dimiliki oleh para guru, selain untuk menciptakan untuk
mencapai
tujuan-tujuan
lain
dalam
mendukung
pengembangan karir dalam dunia pendidikan, seperti untuk mendapatkan status guru tetap dan tujuan sertifikasi. Sertifikasi merupakan bukti kemampuan mengajar yang menunjukkan bahwa pemegangnya memiliki kompetensi mengajar dalam mata pelajaran, jenjang, dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam setifikat kompetensi tersebut (P3TK Depdiknas, 2003). Suprapto (2011) dalam tulisannya mengartikan sertifikasi guru secara konkret adalah tanda bukti kewenangan mengajar, sedangkan tujuan sertifikasi guru adalah agar guru menjadi profesional dalam bidangnya. Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi individu profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Selain profesional, kualitas kerja juga merupakan aspek penting dalam profesi. Menurut Suprapto (2011), profesional merupakan ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti. Pada tahun 2012, di Kabupaten Purworejo, tercatat sebanyak 345 orang guru SD mendapat sertifikasi setelah menerima pembekalan bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Negeri Surabaya, dan Universitas Sanata Dharma. Pembekalan bertujuan untuk memberikan pemahaman bagi guru sertifikasi agar memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi. Selain itu juga untuk meningkatkan kinerja guru guna meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di Kabupaten Purworejo (Warta Daerah-Central Java, 2012). 6
Gillet et al. (2011) mendefinisikan usia sebagai bilangan tahun terhitung sejak lahir sampai dengan tahun akhir seseorang melakukan aktifitas. Sedangkan, Hardiwinoto (2011) mendefinisinisikan usia sebagai satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Dengan melihat asumsi teori Maslow yang menyatakan bahwa motivasi akan muncul apabila ada sesuatu yang ingin dicapai atau belum terpenuhi kebutuhannya, apabila dikaitkan dengan usia seseorang, maka kebutuhan setiap individu akan berbeda berdasarkan usia mereka. Seseorang yang lebih muda memiliki keinginan yang lebih banyak untuk dicapai dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih tua dan merasa telah tercukupi kebutuhannya, seperti yang dikatakan oleh Ebner et al. (2006) dalam Bertolino et al. (2011) bahwa seseorang yang lebih muda akan lebih fokus pada pencapaian tujuan, sedangkan mereka yang lebih tua akan lebih fokus pada pemeliharaan dari apa yang telah mereka capai. Selain itu, Freund (2006) dalam Bertolino et al. (2011) juga mengatakan bahwa yang lebih muda akan lebih mengoptimalkan kinerja, sedangkan yang lebih tua akan meminimalkan kerugian. Berdasarkan usia, jumlah guru SD di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dapat dilihat pada Tabel 1.1
Usia
Tabel 1.1 Jumlah Guru SD Berdasarkan Kelompok Usia di Kabupaten Purworejo Pada Tahun 2012 ≤30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 ≥56 Total
Jumlah 289
174
156
570
1.108 1.171 1.050
4.518
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012 (diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat jumlah guru yang berusia ≤ 30 tahun berjumlah 289 orang, lebih banyak jika dibandingkan guru yang berusia 31-35 tahun dan 36-40 tahun. Peneliti menduga bahwa pada usia ≤ 30 tahun, seseorang lebih bersemangat atau termotivasi 7
untuk mencapai suatu tujuan pada usia yang relatif lebih muda, mereka masih memiliki banyak hal yang ingin dicapai, seperti yang disebutkan dalam teori Maslow, bahwa motivasi akan muncul saat tujuan masih belum tercapai. Guru-guru yang berusia ≤ 30 tahun banyak ditemui masih berstatus guru honorer, dimana perlakuan dan fasilitas yang didapatkan tidak sama dengan guru-guru yang sudah berstatus guru tetap. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan peneliti melakukan penelitian terhadap guru dari realita yang ada dimana pada usia yang lebih tua memungkinkan seorang guru sudah terpenuhi kebutuhan dan keinginannya, maka motivasi yang muncul tidak sebesar guru-guru berusia lebih muda, seperti yang disebutkan oleh Ebner et al., (2006) dalam Bertolino et al. (2011) yang menyatakan bahwa individu yang berusia lebih tua akan berfokus untuk memelihara apa yang telah dicapainya dan Freund (2006) dalam Bertolino et al. (2011) yang mengatakan bahwa mereka yang lebih tua memilih untuk meminimalkan kerugian. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa usia berpengaruh terhadap motivasi seseorang, walaupun mungkin masih terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi motivasi seseorang, seperti minat, bakat, kepuasaan, dan penghargaan yang dijanjikan. Seorang guru, tentunya perlu mengikuti diklat-diklat yang diadakan dengan tujuan tertentu seperti yang telah diungkapkan oleh Danim (2010). Untuk mengikuti diklat-diklat ini, tentu diperlukan motivasi dari masing-masing individu. Dan seperti yang sudah diuraikan di atas bahwa usia akan mempengaruhi motivasi karena adanya tujuan yang belum tercapai. Dengan demikian, maka usia dapat dikaitkan dengan hubungan antara motivasi dan kepribadian proaktif. Bertolino et al., (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian proaktif terhadap motivasi pelatihan.
8
Selain adanya motivasi yang kuat, kepribadian proaktif harus dimiliki oleh para guru, selain untuk menciptakan semangat mengajar juga untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam mendukung pengembangan karir dalam dunia pendidikan. Hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian yang mampu mengungkapkan apakah terdapat hubungan antara usia, motivasi pelatihan, dan kepribadian proaktif. Akan tetapi, peneliti juga memasukkan variabel independen lain ke dalam model analisis untuk menganalisis pengaruh masingmasing variabel independen terhadap variabel dependen, yaitu kepribadian proaktif. Peneliti ingin melihat hubungan-hubungan tersebut pada guru SD yang ada di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, sekaligus ingin membuktikan asumsi-asumsi yang dibuat peneliti yang dirumuskan dalam hipotesis. Berdasarkan, variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini, maka peneliti mengambil judul “Analisis Pengaruh Motivasi Pelatihan, Pengembangan Karir Persepsian dari Pelatihan, dan Intensi Berperilaku dalam Pelatihan terhadap Kepribadian Proaktif dengan Usia sebagai Variabel Pemoderasi”
1.2 Rumusan Masalah Kepribadian proaktif memiliki pengaruh yang besar pada kinerja karyawan pada organisasi tempat karyawan tersebut bekerja. Seibert et al. (1999) dalam Major et al. (2006) menyatakan bahwa kepribadian proaktif telah dikaitkan dengan indikator obyektif dan subyektif dari kesuksesan karir, setelah memperhitungkan prediktor lain, seperti demografi, sumber daya manusia, motivasi, jenis organisasi, dan jenis industri. Selain itu, kepribadian proaktif positif terkait dengan inovasi, pengetahuan politik, dan inisiatif karir, yang kesemuanya tersebut, memiliki hubungan positif dengan kemajuan karir dan kepuasan karir (Seibert et al., 2001 dalam Major et al., 2006). Dengan mendasar pada penjelasan Bertolino et al. (2011) dalam penelitiannya yang menemukan bahwa terdapatnya pengaruh antara motivasi 9
pelatihan, pengembangan karir persepsian, dan intensi berperilaku dalam pelatihan terhadap kepribadian proaktif yang dimoderasi oleh usia, maka penulis tertarik untuk melakukakan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Motivasi Pelatihan, Pengembangan Karir Persepsian dari Pelatihan, dan Intensi Berperilaku terhadap Kepribadian Proaktif dengan Usia sebagai Variabel Pemoderasi”.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diungkapkan di atas, maka pertanyaan penelitian pada penelitian kali ini adalah sebagai berikut: a. Apakah usia memoderasi pengaruh motivasi pelatihan terhadap kepribadian proaktif? b. Apakah usia memoderasi pengaruh pengembangan karir persepsian dari pelatihan, terhadap kepribadian proaktif? c. Apakah usia memoderasi pengaruh antara intensi berperilaku dalam pelatihan terhadap kepribadian proaktif?
1.4 Tujuan Penelitian Penggunaan konstruk dalam penelitian ini secara khusus mempunyai tujuan sesuai dengan pertanyaan penelitan di atas, maka tujuan penelitian dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut : a. Untuk menganalisis apakah usia memoderasi pengaruh motivasi pelatihan terhadap kepribadian proaktif. b. Untuk menganalisis apakah usia memoderasi pengaruh pengembangan karir persepsian dari pelatihan terhadap kepribadian proaktif.
10
c. Untuk menganalisis apakah usia memoderasi pengaruh intensi berperilaku dalam pelatihan terhadap kepribadian proaktif.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi banyak pihak, diantaranya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, akademisi, dan pembaca. a. Bagi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan tentang bagaimana usia mempengaruhi motivasi pelatihan, pengembangan karir persepsian dari pelatihan, dan intensi berperilaku dalam pelatihan yang kemudian tergambar pada kepribadian proaktif yang ditunjukkan oleh guru SD yang menjadi sampel dalam penelitian ini. b. Bagi Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan hubungan antara motivasi pelatihan, pengembangan karir persepsian, dan intensi berperilaku dalam pelatihan terhadap kepribadian proaktif dengan usia sebagai pemoderasi. c. Bagi Pembaca Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan, masukan, dan inspirasi untuk penelitian selanjutnya dalam permasalahan SDM yang berkaitan dengan motivasi pelatihan, pengembangan karir persepsian, intensi berperilaku dalam pelatihan, dan kepribadian proaktif.
11