10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadi krisis yang mengkhawatirkan dalam masyarakat saat ini yang melibatkan orang-orang yang paling berharga yaitu anak-anak. Semua pihak menyuarakan kekhawatiran yang sama, terutama bagi para pendidik, orangtua, pemuka agama dan masyarakat umum. Terdapat begitu banyak berita-berita berisi tragedi yang mengejutkan dan data statistik mengenai anak-anak yang membuat para orangtua merasa takut dan khawatir (Borba, 2008). Satu sisi kemajuan jaman ini memberikan banyak kemajuan teknologi yang memungkinkan anak memperoleh fasilitas yang serba canggih. Anak-anak sekarang sejak dini sudah mengenal HP, kamera, internet, videogames, dll. Namun di sisi lain kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif seperti tersedianya informasi negatif yang sulit untuk dihindari, misalnya kekerasan, pornografi, konsumerisme melalui berbagai media informasi tersebut. Dampak buruk perkembangan media massa dan teknologi sekarang ini ternyata bukan hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi juga sudah menyentuh anak-anak usia sekolah dasar. Fenomena tersebut diperkuat dengan pernyataan dari Kepala Pusat Intelegensia Departemen Kesehatan (Jannis, 2009) bahwa sebanyak 66% anak usia sekolah dasar diperkirakan telah menyaksikan pornografi lewat berbagai media, antara lain sebanyak 24% anak-anak melihat pornografi lewat komik, 18% lewat games, 16% situs porno, 10% film VCD/DVD, 8% HP serta 4% dari koran
Universitas Sumatera Utara
11
dan majalah. Data tersebut diambil berdasarkan pertemuan konselor remaja Yayasan Kita dan Buah Hati dengan responden sebanyak 1.625 siswa kelas 4-6 SD se-Jabodetabek sepanjang tahun 2008 (Pusat Data Departemen Komunikasi & Informatika, 2008). Demikian juga tayangan televisi dengan tema kehidupan anak remaja, yang umumnya menampilkan gaya hidup kaum elit dengan segala kemewahan, konsumerisme, dan kekerasan telah menjadi model dan tak jarang dicontoh dalam kehidupan nyata anak-anak usia sekolah dasar. Hal ini juga terungkap dalam komunikasi personal dengan Ratna (bukan nama sebenarnya) seorang guru sekolah dasar, berikut ini: “saya kira adegan-adegan anak sekarang yang bergeng-geng itu cuma ada di sinetron, ternyata itu memang udah terjadi di anak-anak sekarang, waktu itu saya jalan pulang ngajar saya lihat anak-anak itu satu kelompok mau naik becak, mereka ngompasin satu anak yang sedang jalan, lima ratus masing-masing, itu anak SD” (Komunikasi Personal, Medan, 12 Januari 2009) Anak-anak sekolah dasar, yang usianya berkisar 7-11 tahun menurut Piaget (dalam Sigelman & Rider, 2003) berada pada tahap perkembangan kognitif operasional konkrit, dimana anak telah memiliki kemampuan untuk menampilkan keadaan-keadaan mental akan objek-objek tertentu. Mereka dapat berfikir sangat efektif terhadap objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Pada usia 11-12 tahun, anak biasanya mulai memasuki tahap perkembangan kognitif yang disebut operasional formal, dengan pola pemikiran yang lebih abstrak, mereka sudah dapat menampilkan proses-proses mental terhadap ide-ide dan berfikir logis terhadap ide-ide walaupun mereka tidak melihat, mendengar atau merasakannya serta mencium atau menyentuhnya.
Universitas Sumatera Utara
12
Sementara fenomena anak zaman sekarang sangat sering terpapar hal-hal yang seharusnya tidak dikonsumsi oleh anak-anak sekolah dasar yang sudah memiliki kemampuan untuk menampilkan keadaan-keadaan mental akan objek-objek tersebut, sehingga anak dapat dengan mudah meniru atau mengikutinya. Peristiwa-peristiwa dan data statistik di atas sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan baik para orangtua dan masyarakat, meskipun pihak sekolah dan keluarga juga mengupayakan berbagai hal, namun krisis ini masih terus berlanjut, dan bisa dilihat karena masih ada anak-anak yang menjadi korban. Menurut Borba (2008) hal ini dapat disebabkan karena para orangtua melewatkan satu bagian yang sangat penting yaitu sisi moral dalam kehidupan anak. Berbeda halnya dengan Newman & Newman (2006) dilema moral yang dialami anak-anak bukanlah tentang aborsi, plagiat, dan kekerasan-kekerasan lainnya. Lebih dari itu dilema moral yang terjadi pada anak adalah mengenai pemahaman bahwasanya berbohong, mencontek, mencuri, menyakiti orang lain dan memperolok anak-anak lain yang berbeda adalah salah secara moral. Sebaliknya, mengatakan suatu kebenaran, berbagi, bermain secara fair, menjadi seorang yang penolong, dan menghargai perbedaan-perbedaan orang lain adalah moral yang benar. Kekuatan moral diperlukan anak untuk menjaga adab mereka menghadapi kebobrokan moral yang sering terjadi di dunia ini. Dilema moral yang juga tidak kalah mengkhawatirkan ini juga sudah mulai terjadi pada anak-anak sekarang, yaitu semakin kurangnya rasa hormat terhadap orangtua, guru, dan sosok-sosok lainnya. Seringkali terdengar keluhan dari orang tua dan para pendidik bahwa dibandingkan dengan anak-anak zaman
Universitas Sumatera Utara
13
dulu, anak-anak sekarang cenderung lebih sulit diatur, kurang menghargai orang tua dan guru. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Sari (bukan nama sebenarnya) seorang guru sekolah dasar yang telah mengajar selama 10 tahun, berikut ini: “moral anak sekarang ini jauh….terlebih dalam jangka waktu 3 tahun terakhir ini, anak sekarang itu kurang sekali rasa kasih sayangnya, menolong sesama teman, misalnya kalau ada teman yang jatuh atau gak punya pinsil gak ada rasa ingin menolong, toleransinya gak ada, gak mau peduli gitu, apalah kita bilang istilahnya ya, gak ada rasa kasih sayangnya gitulah, beda sekali sama anak-anak dulu. Kalau sama guru, ya guru yang ngajar dia aja, kalau sama guru-guru yang gak ngajar dia, mereka gak mau peduli, gak ada rasanya rasa penghormatan pada semua guru gitu”
(Komunikasi Personal, Medan, 3 Maret 2009) Norma etika yang memuat kearifan hidup seperti kesabaran, toleransi, tenggang rasa, gotong royong dan lainnya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan telah menjadi sesuatu yang asing dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya sikap seperti ”asal gue senang, peduli amat dengan orang lain”, justru merupakan hal yang kerap kali dijumpai sejak era modernisasi dan globalisasi informasi sekarang ini. Anak zaman sekarang telah melupakan kearifan budaya asli yang bermuatan etika hidup dan bermakna luhur, seperti gotong royong, rasa empati, siap menolong tanpa pamrih, toleran, tenggang rasa dan lain sebagainya (Tedjalaksana, 2008). Moralitas sendiri merupakan suatu perangkat prinsip yang membantu individu untuk membedakan mana yang benar atau yang salah, dan bertindak berdasarkan perbedaan tersebut (Martin & Colbert, 1997). Berns (1997) juga mengemukakan bahwa moralitas mencakup kepatuhan akan aturan sosial dalam kehidupan sehari-hari atau aturan personal seseorang untuk berinteraksi dengan
Universitas Sumatera Utara
14
orang lain. Dengan fenomena yang terjadi, anak memiliki tantangan yang lebih berat akan hal-hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta hal-hal yang etis dan tidak etis. Perkembangan moral anak yang sesungguhnya dapat dilihat dari dua aspek yaitu perilaku moral dan pertimbangan moral. Perilaku moral adalah perilaku yang dilandasi atau dipikirkan sebelumnya oleh pelakunya, berupa alasan dan motivasi yang bernilai moral (Kurtines & Gerwitz, 1992). Sebaliknya suatu tindakan tidak dapat dipandang sebagai perilaku moral, bila perilaku tersebut tidak pernah dipikirkan oleh pelakunya, misalnya seseorang yang melompat ke sungai untuk menyelamatkan orang lain yang hendak tenggelam, akan tetapi motifnya adalah untuk mendapatkan hadiah, maka tindakan tersebut tidak dapat dipandang sebagai sebuah perilaku bermoral. Dengan kata lain, betapapun bermanfaatnya suatu perilaku moral terhadap nilai kemanusiaan, namun jika perilaku tersebut tidak disertai dan didasarkan pada pertimbangan moral, maka perilaku tersebut belum dapat dikatakan sebagai perilaku moral yang mengandung nilai moral. Sementara pertimbangan moral menurut Kohlberg (1995) merupakan apa yang diketahui dan dipikirkan seseorang mengenai baik dan buruk atau benar dan salah. Pertimbangan moral bukan berkenaan dengan jawaban atas pertanyaan ”apa yang baik dan buruk” melainkan terkait dengan jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana seseorang sampai pada keputusan bahwa sesuatu dianggap baik dan buruk.
Universitas Sumatera Utara
15
Banyak penelitian yang membahas tentang hubungan antara pertimbangan moral dengan perilaku moral, seperti penelitian Dreman (1976) tentang tahapan moral dengan kesediaan berbagi permen, Eisenberg (1977) tentang tahapan moral dengan ikut berperan serta dalam suatu kegiatan, dan Anderson (1976) tentang tahapan moral dengan menolong mencarikan lensa yang hilang. Lebih lanjut oleh Kohlberg (1995) dikatakan bahwasanya kematangan pertimbangan moral dapat dijadikan prediktor yang baik terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Melalui pengukuran tingkat pertimbangan moral anak, akan dapat diketahui tinggi rendahnya moral tersebut. Pertimbangan moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral. Memperhatikan pertimbangan mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi penjelasan dari pada memperhatikan tindakan seseorang atau bahkan mendengar pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975). Oleh sebab itulah beberapa peneliti yang meneliti tentang moral lebih tertarik untuk meneliti pertimbangan moral daripada perilaku moral. Adapun tingkatan dalam pertimbangan moral ini menurut Kohlberg (1995) dibagi menjadi tiga tingkatan yang masing-masingnya terdiri dari dua tahap. Tingkat pertama adalah Preconventional morality, pada umunya dimulai usia 4 sampai 10 tahun. Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran dan kebaikan) atau dari segi kekuatan fisik
Universitas Sumatera Utara
16
mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Contohnya, seorang anak dalam melakukan atau memberikan sesuatu pada orang lain bukan karena rasa terima kasihnya atau sebagai curahan kasih sayang, tetapi bersifat pamrih (keinginan untuk mendapatkan balasan), ‘jika kau memberiku maka aku akan memberimu’. Tingkat kedua adalah Conventional morality, berkisar usia 10 sampai 13 tahun. Pada tingkat ini anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa, dan dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan saja konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melainkan juga loyal terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Contohnya anak memandang suatu perbuatan itu baik, atau berharga baginya apabila dapat menyenangkan, membantu, atau disetujui/diterima orang lain. Tingkat terakhir adalah Postconventional
morality, dimulai dari masa
remaja awal sampai seterusnya. Banyak orang yang tidak mencapai tingkat ini, bahkan sampai seseorang dewasa. Pada tahap terakhir ini seseorang melihat konflik berdasarkan standar-standar moral yang bersifat universal, dimana penilaian universal ini dapat berasal dari keadilan, kejujuran, kesamaan hak asasi manusia, penghormatan kepada martabat manusia maupun nilai-nilai spiritualitas, untuk kemudian memberikan penilaian mereka sendiri berdasarkan prinsip-prinsip tersebut. Contohnya, ketika seseorang berhadapan dengan hukum dan kata batinnya, maka ia akan lebih mengikuti kata batinnya, walaupun keputusan
Universitas Sumatera Utara
17
tersebut akan memasukkan ia ke dalam sebuah bahaya. Kebenaran ditentukan oleh keputusan kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika yang logis, universal dan konsisten. Menurut Hurlock (1990) perkembangan moral seorang anak sejalan dengan perkembangan kognitifnya, dengan kata lain semakin bertambah tingkat pengertian anak, semakin banyak pula nilai-nilai moral yang dianut oleh anak. Sejalan dengan hal ini Piaget juga menyatakan semakin bertambahnya usia anak, maka akan berkembang pula kemampuan berbahasa, pencapaian tingkat kognitif yang lebih tinggi sampai pada akhirnya anak memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan moral. Kohlberg (1995) menyatakan meskipun perkembangan anak melewati tahapan yang tetap, usia anak dalam mencapai tahapan perkembangan moral tertentu dapat berbeda-beda, misalnya anak usia 10 tahun ada yang sudah mencapai tahap konvensional, namun ada pula yang masih pada tahap pra konvensional. Faktor-faktor penentu utama mengapa sejumlah orang mencapai tahap perkembangan pertimbangan moral yang berbeda antara lain banyaknya pengalaman dan keanekaragaman pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan berjumpa dengan sudut pandang orang lain. Sementara Freud (dalam Sigelman & Rider, 2003) berasumsi bahwasanya anak pada umumnya memiliki tingkat moralitas yang masih rendah, dimana anak kurang memiliki superego, dan pada dasarnya dipenuhi oleh id, maka dari itu mereka bertindak sesuai dengan kebutuhan diri mereka, terkecuali orangtua dapat mengontrol mereka. Orangtua berkontribusi sangat besar dalam perkembangan
Universitas Sumatera Utara
18
moral anak, dimana anak menginternalisir standar moral orangtua jika mereka ingin berperilaku sesuai moral, bahkan ketika tidak ada figur otoritas yang hadir untuk mendeteksi dan menghukum mereka. Besarnya pengaruh pola asuh orangtua dalam hal perkembangan moral anak juga dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Holstein (dalam Kohlberg, 1995) yang memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah maju dalam pertimbangan moral memiliki orang tua yang juga maju dalam hal pertimbangan moral. Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang mendorong terjadinya perbandingan pandangan lewat dialog, mempunyai anak yang lebih maju dalam hal moral. Demikian juga Buck (dalam Bornstein, 2002) menemukan adanya hubungan yang positif, orangtua yang memiliki pertimbangan moral yang tinggi memiliki anak yang memiliki pertimbangan moral yang tinggi pula, dengan menerapkan pola komunikasi yang lebih banyak dalam diskusi-diskusi keluarga. Melihat peran orang tua yang cukup besar, maka orang tua memiliki tanggung jawab untuk menerapkan metode pengasuhan yang dapat menjawab tantangan keluarga masa kini, yang kemudian memunculkan alternatif pilihan pola asuh, diantaranya yaitu pola pengasuhan spiritual, pola asuh yang memprioritaskan Tuhan dan ajaran Ilahiyah dalam kehidupan keluarga yang disebut spiritual parenting. Nashori (2006) juga menyatakan bahwasanya gagasan tentang peran orangtua dalam meningkatkan spiritualitas termasuk konsep Tuhan pada diri anak diwadahi oleh konsep spiritual parenting. Gagasan umumnya adalah mengakrabkan konsep Tuhan kepada anak-anak sejak usia dini.
Universitas Sumatera Utara
19
Pada
pembahasan
sebelumnya
dinyatakan
bahwasanya
tingkat
pertimbangan moral yang paling tinggi adalah tingkat pertimbangan moral yang didasarkan pada nilai-nilai universal yang dapat diambil dari spiritualitas. Goldberg (dalam Paloutzian & Park, 2005) mengatakan bahwa spiritualitas sekarang telah dilukiskan sebagai sebuah pencarian untuk kebenaran universal. Demikian juga penelitian Walker dan Pitts’s (dalam Paloutzian & Park, 2005) mengenai kematangan moral, disini dimasukkan sebuah sesi pertanyaan yang menanyakan kepada partisipan bagaimana mereka merepresentasikan ciri seseorang yang memiliki moral, religius dan spiritual, dalam hal ini Walker percaya bahwa kematangan moral sangat berkaitan dengan spiritual. Menurut Pamugari (dalam Irianto, 2002), spiritual parenting adalah sistem pengasuhan anak dengan paradigma menanamkan keimanan dan kesadaran rohani. Metode ini tergolong baru karena menggunakan paradigma holistik dalam memandang manusia. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang ditujukan untuk membangun seluruh dimensi manusia, yaitu untuk membangun dimensi sosial, emosi, motorik, akademik, spiritual, dan kognitif. Selama ini menurutnya, paradigma pendidikan di Indonesia bersifat parsial maksudnya, aspek rohaniah acap kali diabaikan ketimbang aspek fisik dan intelektual. Spiritual parenting mengimplikasikan bahwasanya orang tua tidak hanya hadir untuk anak mereka, namun juga untuk diri mereka sendiri (Hart, 2004). Seseorang yang lebih dulu mengakui diri sendiri sebagai makhluk spiritual, maka seseorang itu dapat mendidik anak-anak dengan menyadari bahwa anak-anak adalah individu yang benar-benar berketuhanan (Doe,1998)
Universitas Sumatera Utara
20
Prinsip pendidikan anak secara spiritual (spiritual parenting) diantaranya adalah memperlakukan anak-anak sebagai sosok individu yang utuh, menawarkan spiritualitas sehari-hari yang dapat memupuk jiwa anak. Spiritualitas ada dalam kehidupan rutin para orang tua bersama anak-anak, peristiwa sehari-hari, percakapan saat makan malam, menciptakan ritual yang nyaman, melaksanakan tugas rumah sehari-hari, yang berpotensi untuk menjadi momen-momen suci (Doe, 1998). Hidayat (dalam Irianto, 2002) menambahkan bahwa prinsip spiritual parenting bisa diterapkan misalnya dengan mengajak anak untuk mengapresiasi Tuhan melalui ciptaannya, bisa melalui keindahan alam, sinar matahari, ataupun warna-warni bunga, anak diajak mengagumi dan menghayati karya Tuhan. Doe (dalam Irianto, 2002) lewat bukunya juga mengutarakan cara mengimplementasi prinsip spiritual parenting, inti penerapannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan agama yang diterapkan selama ini. Bedanya, metode baru ini tak mencekoki anak dengan doktrin-doktrin ketuhanan. Ia merangsang anak untuk berpikir tentang Tuhan, memberikan pencitraan Tuhan yang mencintai, bukan Tuhan yang menunggu dengan rotan untuk memukul. Pengasuhan dengan cara spiritual parenting mengajarkan bahwasanya setiap kejadian bisa dijadikan momentum yang baik untuk mendidik, dengan cara melibatkan anak berdiskusi dan berpikir dalam mempelajari segala kejadian. Hal ini akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Dengan terbiasa melibatkan anak berdiskusi, akan membantu anak untuk bisa berpikir pada tahapan yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
21
Manfaat spiritual parenting ini sendiri menurut Rachman (2002) antara lain bisa mengasah kepekaan dan keterhubungan manusia dengan Tuhan dalam pengertian
universal.
Manfaat
lain
adalah
mendidik
kepekaan
kepada
transendensi, nilai-nilai, moral, dan akhlak mulia. Karakter yang diajarkan pada anak meliputi toleransi, keterbukaan, kejujuran, rasa terima kasih, kemampuan memaafkan dan mencintai. Nashori (2006) menambahkan inti dari spiritual parenting adalah usaha yang dapat ditempuh orangtua dalam kehidupan seharihari untuk menguatkan spiritualitas anak. Namun demikian masih terdapat perbedaan pendapat antara sejumlah peneliti tentang hubungan antara pola asuh dan tingkat pertimbangan moral anak, antara lain Walker & Taylor (dalam Bornstein, 2002) menemukan bahwasanya tidak ada hubungan antara tingkat pertimbangan moral dengan gaya interaksi atau pola asuh terhadap anak. Sementara Menurut Kohlberg (1995) proses perkembangan pertimbangan moral tidak terjadi karena transmisi informasi melalui hukum-hukum biologi genetik, tidak juga karena proses pembentukan perilaku langsung terhadap (misalnya pelaziman operan menurut teori belajar Behaviouristik), melainkan terjadi dalam dan melalui “interaksi” pribadi tersebut dengan seluruh kondisi sosial hidupnya. Oleh karena itu peneliti ingin melihat gambaran tingkat pertimbangan moral anak dengan kondisi sosial yang memberi perhatian lebih terhadap aspek spiritual, khususnya dalam pola asuh yang disebut spiritual parenting. Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pertimbangan moral anak dengan pola pengasuhan spiritual (spiritual parenting).
Universitas Sumatera Utara
22
B. Rumusan Masalah Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Untuk itu, peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut yaitu: 1. Bagaimana gambaran pertimbangan moral anak dengan pola asuh spiritual? 2. Bagaimana orangtua dengan pola asuh spiritual menanamkan nilainilai moral pada anak?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah diharapkan agar hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang psikologi pada umumnya dan secara khusus pada bidang psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting. 2. Manfaat Praktis a. Memberi informasi pada masyarakat, khususnya bagi orang tua, mengenai gambaran pertimbangan moral anak dengan spiritual
Universitas Sumatera Utara
23
parenting, sehingga orang tua dapat lebih bijak untuk menentukan proses apa yang akan mereka jalani dalam melakukan pola asuh terhadap anak. b. Memberi informasi pada masyarakat tentang hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan pertimbangan moral anak.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Latar Belakang Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Landasan Teori Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain mengenai definisi spiritual parenting, moral dan pertimbangan moral, spiritual, pola asuh (parenting), pertimbangan moral pada anak dengan spiritual parenting serta paradigma penelitian. Bab III Metode Penelitian Bab ini berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisi tentang pendekatan kualitatif, subjek dan lokasi penelitian, teknik pengambilan data, metode pengambilan data, kredibilitas penelitian, tahap pelaksanaan dan prosedur penelitian, dan teknik dan proses pengolahan data.
Universitas Sumatera Utara
24
Bab IV Analisa Data dan Interpretasi Data Bab ini berisi deskripsi data responden, analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan. Bab V Kesimpulan, Diskusi dan Saran Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan, diskusi dan saran mengenai penalaran moral pada anak dengan pola asuh spiritual parenting.
Universitas Sumatera Utara