1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu masalah sangat penting yang dihadapi negara-negara berkembang dewasa ini adalah pertumbuhan dan konsentrasi penduduk di kotakota besar yang pesat. Pada tahun 1950 jumlah penduduk perkotaan di 34 negara sedang berkembang baru 275 juta (atau 38%) dari 724 juta total penduduk perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2001 penduduk perkotaan di seluruh dunia meningkat menjadi 3 miliar jiwa, dan di negara sedang berkembang dua per tiga di antaranya tinggal di kota-kota metropolitan. Bahkan diperkirakan jumlah penduduk perkotaan di negara-negara yang sedang berkembang akan meningkat menjadi 4,1 miliar atau 80% dari seluruh penduduk perkotaan di dunia.(World Bank, World Development Report,2000. a.). Hal ini selain disebabkan oleh pertumbuhan penduduk alami (natural growth) yang pesat juga karena terjadi urbanisasi (migration growth). Pada saat yang sama keadaan ini tidak diikuti dengan kecepatan pertumbuhan industrialisasi yang sebanding. Berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur. Urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor pertanian langsung menuju kesektor jasa
di daerah perkotaan tanpa melalui fase
perkembangan industri manufaktur (Gilbert & Gugler, 1996:14). Sebagai akibat di negara berkembang
kecepatan
1
urbanisasi
lebih
tinggi
dibanding
2
ekspansi industri manufaktur. Selain itu karakteristik penduduk desa yang datang ke kota adalah tingkat pendidikan, keterampilan serta kemampuan sosioekonominya
terbatas,
sehingga
urbanisasi
yang
terjadi
mempengaruhi
perkembangan kondisi kota yang cenderung mengalami penurunan kualitas hidup per kapita penduduknya. Globalisasi ekonomi yang memberikan peluang untuk pasar bebas telah memperluas jangkauan kegiatan ekonomi tidak saja antar daerah dalam satu negara saja, melainkan juga antar negara. Globalisasi tidak hanya memperluas jejaring arus barang, jasa, modal tetapi juga arus tenaga kerja yang kemudian mendorong urbanisasi menjadi mega urbanisasi. Di kota-kota besar di dunia mega urbanisasi, meliputi perpindahan penduduk baik dari desa ke kota, dari pinggiran kota ke kota lain, dari desa suatu pulau ke kota di pulau lain dan bahkan dari suatu desa suatu negara ke kota di negara lain (Silas, 2004). Mega urbanisasi tidak saja berupa tenaga kerja yang pindah kerja dari negara berkembang ke negara maju (sebagai tenaga kasar) saja, melainkan juga terjadi perpindahan tenaga kerja dari negara maju ke negara berkembang (sebagai tenaga ahli/teknisi atau sebagai konsultan). Pada umumnya
negara berkembang, karena faktor sosial, ekonomi dan
politik sulit mengendalikan meningkatnya arus urbanisasi.(Todaro, 2004: 348). Sementara itu penduduk pendatang yang sebagian besar adalah golongan serba terbatas dalam
kemampuan ekonomi, keterampilan dan pendidikannya,
memaksakan diri untuk tinggal di kota dengan kondisi apa adanya. Dan bahkan seringkali tinggal berdesakan di permukiman liar yang tidak layak huni. Kondisi yang demikian ini menciptakan daerah-daerah kumuh (slum) di perkotaan. Dalam
3
Population Crisis Comitee, World Population Growth and Global Security Report No.13 (1983: 2) menunjukkan bahwa di kota-kota besar negara berkembang di Amerika Latin, Afrika dan Asia persentase penduduk permukiman kumuh terhadap total penduduk kota berkisar antara 20% sampai dengan 79 %. Persentase penduduk permukiman kumuh terhadap total penduduk kota di beberapa negara berkembang antara lain adalah: di Amerika Latin Bogota (Kolombia)
60%,
Mexico City (Meksiko) 46%, Caracas (Venezuela) 54%, Rio de Janeiro (Brasil) 20%,
Timur Tengah dan Afrika, Adis Ababa (Ethiopia) 79%, Casablanca
(Maroko) 70%, Ankara (Turki) 60%, Kairo (Mesir) 60%, Dar es Salaam (Tanzania) 53%, di Asia Kalkuta (India) 67%, Karachi (Pakistan) 44%, Manila (Filipina) 35%, Jakarta (Indonesia) 26%. Permukiman kumuh sering diidentikkan dengan kemiskinan, bahkan hasil penelitian
Ismail
(1999: 1) menunjukkan bahwa pertumbuhan permukiman
kumuh di Yogyakarta dan Surabaya berhubungan positif dengan problema kemiskinan penduduk. Semakin banyak penduduk miskin di perkotaan (Yogyakarta dan Surabaya), semakin meningkat jumlah permukiman (kampung) kumuh. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penduduk permukiman kumuh di Yogyakarta dan Surabaya merupakan masyarakat miskin. Pada umumnya masyarakat miskin penghuni permukiman kumuh di perkotaan adalah masyarakat marjinal, yaitu masyarakat yang haknya terhadap tanah, rumah, infrastruktur dan pelayanan dasar, kesempatan kerja dan mendapatkan pinjaman, pemberdayaan dan partisipasi, rasa aman dan keadilan sangatlah terbatas atau terpinggirkan (The Wordl Bank, East Asia Urban Working Paper, 2003: 40). Dengan demikian masyarakat marginal kurang mampu memenuhi kebutuhan hidup tanpa dibantu
4
oleh pemerintah, lembaga-lembaga atau fihak lain non pemerintah. Pandangan ini seringkali mempengaruhi kebijakan perumahan di negara
yang sedang
berkembang. Apabila golongan miskin dianggap tidak mampu menolong diri sendiri, maka harus dibantu (Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945). Dalam hal perumahan berarti hanya Pemerintah yang mampu membangun perumahan yang layak bagi golongan miskin (Gilbert, 1996: 113). Pandangan seperti ini memungkinkan terjadinya
kebijakan
yang
non-partisipatif
yaitu
kebijakan
yang
tidak
mempertimbangkan atau mengikutsertakan keterlibatan nyata atau aspirasi masyarakat yang dilayani. Sebaliknya Turner (1972: 154) merekomendasikan pemerintah membantu golongan miskin untuk menolong dirinya sendiri dengan memberdayakan diri sendiri
(self-empowerment).
Perumahan
swadaya
seringkali
menciptakan
perlindungan yang lebih baik daripada perumahan yang dibangun oleh Pemerintah. Hal ini bukan berarti Turner setuju dengan perumahan kumuh, akan tetapi untuk menunjukkan ketidakmampuan orang-orang miskin tinggal di bangunan dengan arsitektur berstandar tinggi, sementara biaya-biaya untuk tinggal di sana mereka tidak mampu menanggung. Rumah-rumah yang baik tidak harus dirancang atas dasar asumsi apa yang seharusnya dibutuhkan melainkan harus fleksibel sehingga golongan miskin mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat dijalankan dengan kebijakan yang bersifat partisipatori dan emansipatori, artinya di dalam pengambilan keputusan yang akan dipakai sebagai kebijakan hendaknya subyek pembangunan secara imperatif diikutsertakan dalam kesetaraan (Swasono, 2004 a: 69).
5
Hakikat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman menurut Lanti dalam Silas (2000:11), adalah : Mewujudkan masyarakat sebagai pelaku penentu serta pusat dari kegiatan dalam proses pelaksanaan pembangunan, dengan memobilisasi masyarakat melalui keikutsertaannya sejak dari perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan dari hasil-hasil pembangunan Pembangunan fisik bagi masyarakat miskin di perkampungan kumuh selain dapat memberi tempat tinggal yang layak huni juga perlu ada peningkatan asset masyarakat miskin; yang berupa
meningkatnya kemampuan/kesempatan
untuk membuka usaha sehingga meningkatkan
keterlibatan anggota keluarga
dalam usaha, dengan demikian masyarakat dapat mandiri di dalam mencapai kesejahteraannya. (Suharto, 2002:
5).Sementara itu hakikat mandiri menurut
Swasono (2006: 4.b) adalah mampu untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya. Selanjutnya Swasono mengatakan: Kita bisa mandiri secara kukuh (terutama di bidang ekonomi), apabila Pemerintah sebagai agent of development mampu : 1. Meningkatkan daya saing (mmemperkukuh daya saing tidak sama artinya dengan prinsip bersaing a la free-fight liberalism). 2. Secara sosial kultural dan birokratik meningkatkan efisiensi nasional dan keterampilan nasional 3. Meningkatkan kerjasama sinergi seluruh kekuatan ekonomi dalam negeri. 4. Meningkatkan kapasitas nasional melalui empowerment of the poor and the weak menuju self-empowerment, memperluas people’s capabilities and innovativeness. 5. Menghentikan semua proses impoversishment dan disempowerment di dalam proses pembangunan terhadap the poor and the weak. 6. Meningkatkan pertisipasi dan emansipasi nasional di dalam proses pembangunan nasional sehingga terbentuk suatu kekuatan “total development”. Pembangunan menurut Todaro (2004: 20), harus dipandang sebagai proses multidimensional yang selain meningkatkan akselarasi pertumbuhan ekonomi,
6
penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan juga tak kalah pentingnya adalah berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat
(budaya),
dan
institusi-institusi
nasional,
dengan
tujuan
mensejahterakan masyarakat. Selanjutnya menurut Todaro pembangunan dapat dikatakan berhasil apabila terjadi perkembangan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs), terjadi peningkatan harga diri (selfesteem) dan peningkatan kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) Sebagaimana dikatakan Swasono (2004 a: 119-120) pembangunan dapat dikatakan berhasil apabila dapat melaksanakan transformasi ekonomi, transformasi sosial dan transformasi budaya. Sementara Sen (1999: 24-25) menyatakan bahwa pembangunan haruslah lebih memperhatikan peningkatan kualitas hidup yang dijalani dan kebebasan yang dinikmati. Selanjutnya menurut Sen untuk mencapai kesejahteraan perlu ada peningkatan kapabilitas rakyat (people’s capabilities). Dengan demikian pembangunan baik menurut Todaro maupun Sen lebih menitikberatkan pada peningkatan
kemampuan
masyarakat
untuk
mandiri
dalam
mencapai
kesejahteraannya (self-empowerment). Menurut Suharto (2002: 3), pengukuran kemampuan sosial kaum miskin dapat didasarkan pada beberapa indikator yaitu; kemampuan keluarga miskin untuk memperoleh mata pencaharian (livelihood capabilities), kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs fulfillment), kemampuan mengelola asset (asset management), kemampuan menjangkau sumber-sumber (access to resources), kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat (acces to social capital), dan kemampuan dalam menghadapi goncangan dan tekanan (cope with
7
shock and stresses). Menurut Swasono (2004 a: 14, 56, 77, 263) pembangunan tidak cukup hanya diartikan sebagai upaya nasional meningkatkan nilai tambah ekonomi (pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita dan kesejahteraan ekonomi), tetapi harus pula meliputi upaya nasional meningkatkan nilai tambah sosial-kultural (sikap mental bermartabat, partisipasi dan emansipasi, etos kerja produktif/tidak konsumtif) Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, mengalami peningkatan urbanisasi yang tidak terkendali. Dari hasil proyeksi urbanisasi, laju urbanisasi menunjukkan trend yang menaik. Tingkat urbanisasi pada tahun 1990 adalah 28,79% naik menjadi
36,46% di tahun 2000. Tingkat urbanisasi ini
diperkirakan akan naik menjadi 44,48% di tahun 2010 serta menjadi 52,20% di tahun 2020. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1. sebagai berikut: Tabel 1.1 PENDUDUK DAN PROYEKSI URBANISASI INDONESIA,TAHUN 1990 – 2020 TAHUN 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020
JUMLAH PENDUDUK ( 000 JIWA ) TOTAL PERKOTAAN PEDESAAN 180.383 51.932 128.451 195.755 63.679 132.076 210.263 76.662 133.601 223.183 90.344 132.838 235.110 104.577 130.533 245.388 118.798 126.595 253.667 132.465 121.202
TINGKAT URBANISASI % 28.79 32.53 36.46 40.48 44.48 48.41 52.20
Sumber : Kompas, 8 Mei 2000 (“Urbanisasi dan Perkembangan Perkotaan di Indonesia ). Hasil penelitian Graeme
(1990: 81) menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia cenderung melakukan migrasi, hal ini disebabkan selain oleh faktorfaktor daya tarik dari daerah tujuan, juga kecenderungan daerah asal
yang
pertumbuhan penduduknya lebih cepat daripada daerah tujuan. Hal yang demikian
8
ini menjadi daya pendorong penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Dampak yang ditimbulkan untuk daerah yang ditinggalkan (pedesaan) meliputi kenaikan pendapatan (bertambah karena ada kiriman dari kota), peningkatan peran secara tradisional (khususnya wanita), peningkatan tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta perubahan sosial cenderung mengalami
peningkatan.
Sedangkan untuk produktivitas pertanian dan tenaga kerja cenderung menurun. Dampak negatifnya untuk daerah perkotaan adalah: 1. tingkat kesejahteraan yang menurun (ditandai oleh pendapatan riil yang tidak sebanding dengan pengeluaran riil); 2. meningkatnya persaingan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan; 3. munculnya daerah kumuh (tak layak huni); 4. meningkatnya kriminalitas (kurangnya rasa aman); 5. banyaknya tuna wisma dan tuna karya, 6. meningkatnya tingkat kebisingan dan lain-lainnya yang kurang nyaman; dan 7. terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat tingginya pencemaran dari limbah industri dan limbah rumah tangga. Seiring dengan perkembangan ekonomi,
perkembangan kota-kota di
Indonesia menimbulkan jejaring antara kota-kota besar dengan kota-kota kecil di sekitarnya. Demikian juga dengan berkembangnya jaringan jalan, baik jalan darat, laut maupun udara memperluas urbanisasi menjadi mega urbanisasi. Urbanisasi tidak lagi dari desa ke kota saja, melainkan juga dari kota-kota kecil di sekitarnya ke kota besar (in-urbanization), atau sebaliknya dari kota besar ke kota-kota kecil di sekitarnya (ex-urbanization) dan bahkan terjadi antar pulau (Todaro 2000: 365). Selanjutnya dalam teori “expected income”, Todaro mengatakan bahwa In-urbanization terjadi karena adanya ketertarikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota (mendapatkan pendapatan yang
9
lebih besar). In-urbanization juga terjadi karena adanya tekanan keterpaksaan meninggalkan daerah asal karena kurangnya lapangan kerja. Urbanisasi yang disebabkan oleh dua hal baik ketertarikan maupun keterpaksaan ini sesuai dengan Teori Push and Pull Factor dari
Lee Everetts (1991: 9). Sementara itu ex-
urbanization terjadi bila pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan lebih maju daripada perkembangan luas kota. Untuk mendapatkan lahan serta bahan baku yang lebih murah, investasi baru akan memilih kota-kota yang lebih kecil yang memiliki jaringan dengan kota-kota besar, hal yang demikian ini menimbulkan exurbanization (Silas, 2004). Pada umumnya in-urbanization kurang mendapatkan perhatian baik dari Pemerintah Pusat maupun dari Pemerintah Kota, sehingga meningkatnya urbanisasi (in-urbanization) di Indonesia menyebabkan timbulnya permukiman kumuh di kota-kota besar seperti yang terjadi di Kota Surabaya (Ismail, 1999: 1). Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia bahkan kota kedua terbesar se ASEAN mempunyai luas wilayah 326,37 km2, terletak pada 071 210 lintang selatan dan 1121 360 bujur timur, dengan batas sebelah utara dan sebelah timur adalah selat Madura , sebelah timur adalah Kabupaten Sidoarjo dan sebelah barat Kabupaten Gresik.. Tabel 1.2. JUMLAH PENDUDUK,KEPADATAN PENDUDUK DAN JUMLAH PENDUDUK PENDATANG KOTA SURABAYA TAHUN 1980,1990, 2000
Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk / km2 Jumlah Penduduk Pendatang
1980 ( jiwa ) 2017527 6.182 *)
1990 ( jiwa ) 2473272 7.579 52569
Sumber : Sensus Penduduk tahun 1980, 1999, 2000, diolah Keterangan : *) = tidak terdeteksi
2000 ( jiwa ) 2599796 7.966 63081
10
Dari tahun 1980 sampai
tahun 2000, penduduk
berkembang, demikian juga kepadatan penduduk
Surabaya terus
dan jumlah penduduk
pendatang menunjukkan tren yang menaik. seperti ditunjukkan Tabel.1.2 pada halaman 9 Menurut Silas (2004), pesatnya urbanisasi di Kota Surabaya telah mendorong terjadinya mega urbanisasi. Mega-urbanisasi di wilayah Surabaya terdiri dari tiga jenis; yaitu : a. Urbanisasi daerah ke selatan (south and contained urbanization). Jenis (ex-Urbanization) ini tergantung pada keterlibatan dan dukungan daerah setempat. b. Kedua adalah keterkaitan/hubungan yang kuat serta bergantung pada kota utama (Surabaya). Jenis ini merupakan mega urbanisasi yang paling umum. c. Ketiga adalah mega urbanisasi yang terpusat. Jenis ini secara mendasar dikembangkan dikota-kota kecil sekitar kota utama yang mempertahankan hubungan ke kota tersebut. Dilihat dari penyebaran penduduk di 5 wilayah menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 kepadatan penduduk di 5 wilayah kota Surabaya menunjukkan penyebaran penduduk yang tidak merata. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada wilayah Surabaya Pusat. Sekalipun pada tahun 2004 kepadatan di wilayah Surabaya Pusat menurun namun kepadatan penduduknya masih lebih tinggi dibanding kecamatan lain. Kondisi ini bertahan dari
tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, utamanya di kecamatan
11
Simokerto Kecamatan Bubutan dan Tegalsari.
Kepadatan penduduk
Kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.3 pada halaman 11.
Tabel 1.3. LUAS WILAYAH DAN KEPADATAN PENDUDUK KOTA SURABAYA PER KECAMATAN TAHUN 2000 – TAHUN 2004 Kecamatan Surabaya Pusat 01.Tegalsari 02. Genteng 03. Bubutan 04. Simokerto Surabaya Utara 05.PabeanCantikan 06.Semampir 07.Krembangan 08.Kenjeran 09.Bulak *) Surabaya Timur 10.Tambaksari 11.Gubeng 12.Rungkut 13.T. Mejoyo 14.Gunung Anyar 15.Sukolilo 16.Mulyo Rejo Surabaya Selatan 17.Sawahan 18.Wonokromo 19.Karang Pilang 20.Dukuh Pakis 21.Wiyung 22.Wonocolo 23.Gayungan 24.Jambangan Surabaya Barat 25.Tandes 26.Sukomanunggal 27.Asemrowo 28.Benowo 29.Pakal*) 30.Lakarsantri 31.Sambikerep*) Jumlah
Luas Wilayah (dlm Km2)
Kepadatan Penduduk per Km2 Tahun Tahun Tahun.200 Tahun 2000 2002 3 2004
4,29 4,04 3,86 2,59
21.787 13.491 22.768 32.579
26.984 16.162 27.345 41.080
26.270 16.044 28.615 37.905
26.513 16.137 28.591 38.424
6,80 8,76 8,34 14,42 ---
10.698 17.632 13.730 9.144 ---
13.297 17.882 14.493 7.838 ---
12.781 20.490 14.006 9.099 ---
12.933 20.564 14.177 9.295 ---
8,99 7,99 21,08 5,52 9,71 23,69 14,21
21.011 16.644 5.279 13.796 5.258 4.227 6002
24.008 18.174 3.906 7.731 4.847 3.266 4.258
22.840 18.431 3.842 9.011 4.180 3.772 5.591
23.237 18.637 3.913 9.166 4.271 3.846 5.063
6,93 8,47 9,23 9,94 12,46 6,78 6,07 4,19
27.239 17.341 7.744 5.759 4.156 12.044 6.563 9.364
29.221 20.809 5.612 4.833 3.413 9.478 6.188 7.807
30.546 21.008 6.827 5.423 4.300 10.974 6.795 9.093
30.575 21.179 6.926 5.522 4.351 11.145 6.876 9.253
11,07 9,23 15,44 45,79 ---36,48 ----
8.443 11.648 2,392 1.465 ---2.147 ----
7.840 9.363 2.062 1.219 ---1.852 ----
7.872 9.680 2.122 1.464 ----2.334 -----
7.903 9.823 2.175 1.503 ----2.370 ------
326,37
7,966
7,750
8,149
8,247
Sumber: Surabaya Dalam Angka Th.2002, Th.2003, Th.2004, diolah.
per
12
Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Surabaya Timur adalah kecamatan Tambaksari dan untuk wilayah Surabaya Selatan adalah kecamatan Sawahan. Hal ini dapat dimaklumi, karena wilayah ini merupakan pusat kegiatan komersiil seperti pusat pembelanjaan, pusat hiburan, lebih dari itu dekat dengan fasilitas pendidikan , kesehatan dan wilayah industri. Kepadatan penduduk yang tersebar di hampir seluruh wilayah ini tidak sesuai dengan teori ” Kosentris”, (Burgess, 1925: 10-11) di mana zona untuk pemukiman penduduk yang mula-mula terkonsentrasi pada zona 2 yang terpisah dari zona 1 (zona kegiatan ekonomi dan industri) kemudian karena adanya intrusi fungsi yang berasal dari zona 1, sehingga terjadi pembauran pemukiman dengan bangunan bukan untuk pemukiman. Perdagangan dan industri ringan dari zona 1, banyak yang mencaplok daerah pemukiman (zona 2). Sebagai akibatnya terjadi kepadatan penduduk yang menyebar di seluruh wilayah kota. Intrusi fungsifungsi dan proses subdivisi yang terus menerus dari zona 1 akan mengakibatkan terbentuknya “slums area” yang boleh dikatakan juga sebagai “areas of proverty, degradation and crime”
Hal ini sesuai dengan pendapat Turner, (1972: 154) Tabel 1.4
JUMLAH PENCARI KERJA YANG ADA DI KOTA SURABAYA YANG TERTAMPUNG DAN YANG BELUM TERTAMPUNG TAHUN 1996 – 2000 Tahun 1996 1997 1998 1999 2000 2001*) 2002 2003 2004
Jumlah Pencari Kerja Yang Tertampung 1 436 6 246 5 471 1 136 1 456 ---1205 4263 3979
Pencari Kerja Yang Belum Tertampung Jumlah (%) 9 832 87,26 6 907 52,51 13 048 70,46 12 150 91,45 87,60 10 286 -------6.544 84,45 9.170 68,26 9.480 70,44
Jumlah Pencari Kerja 11 268 13 153 18 519 13 286 11 742 --7.749 13.433 13.459
Sumber : Kantor Departemen Tenaga Kerja Kota Surabaya, Surabaya
13
dalam Angka .Keterangan : *) data tidak tersedia
Selain perkembangan
penduduk
menyebabkan
kepadatan penduduk
meningkat juga menyebabkan tingginya persentase tenaga kerja yang tidak tertampung dalam lapangan pekerjaan yang tersedia di Kota Surabaya. Pada tahun 1996 persentase tenaga kerja yang belum tertampung menurut Tabel 1.4. pada halaman 12 adalah 87,26 %, kemudian turun menjadi 52,51 % di tahun 1997, dan berturut-turut naik kembali menjadi 70,46 % di tahun 1998 dan menjadi 91,45 % di tahun 1999. Sekalipun dari tahun 2000 persentase tenaga kerja yang tertampung dalam lapangan kerja terus menurun sehingga menjadi 70,44 % di Tahun 2004, namun angka ini masih relatif cukup tinggi. Tingginya persentase tenaga kerja yang tidak tertampung dalam lapangan pekerjaan yang tersedia
disebabkan bertambahnya jumlah penduduk (tenaga
kerja) tidak disertai bertambahnya lapangan kerja yang memadai serta keterampilan dan pendidikan yang dibutuhkan.. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya penduduk yang bekerja di sektor informal, seperti teori yang dikemukakan oleh Lewis (dalam Todaro 2004: 131) tentang penawaran tenaga kerja yang tidak terbatas. .
Pada umumnya sektor informal di negara-negara sedang berkembang
dianggap
sebagai
penyebab
kemiskinan
kota,
bahkan
juga
penyebab
kesemrawutan kota. Kelangkaan pekerjaan bagi penduduk pendatang di Surabaya juga menimbulkan masalah-masalah bagi penataan kota utamanya pemukiman dan meningkatnya kriminalitas. Sementara itu pemerintah baik pusat maupun pemerintah kota seringkali kurang memperhatikan pengembangan sektor ini,
14
sehingga produktivitasnya tetap rendah. Pada hal sejarah menunjukkan bahwa sektor informal ini selain dapat berfungsi sebagai penampung tenaga kerja yang tidak terserap oleh sektor formal, sebagai penyedia pelayanan dan barang-barang yang murah dan mudah dijangkau, juga memiliki peranan dalam menyumbang pendapatan daerah. Di Afrika misalnya 93% penciptaan lapangan kerja baru berasal dari sektor informal, sedangkan di Amerika Latin 83%. Kalau dilihat dari kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Bruto rata-rata 40% di Afrika bagian Sahara dan di Asia 33% (Cities Alliance Public Policy Forum, Nov.2004, Cities Alliance-Cities without Slum) Sementara itu
Swasono (2004, a:17) di dalam bukunya yang berjudul
Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan mengatakan: pentingnya sektor informal di dalam mendukung kekuatan ekonomi nasional; hal ini ditunjukkan dengan kemampuan sektor informal
di dalam menyediakan kehidupan
murah
(menyediakan barang dan jasa serba murah) bagi buruh-buruh miskin (termasuk pegawai negri dan ABRI) yang bekerja di sektor formal. Sehingga boleh diibaratkan sektor informal telah “mensubsidi kepada sektor formal dengan fasilitas sosial atau kapital sosial secara murah. dengan demikian sektor informal ikut meredam high cost economy sektor formal. Melihat pentingnya sektor informal di perkotaan sebagaimana yang telah dikemukakan,
maka
kebijakan
di
perkotaan
hendaknya
mendukung
pengembangan sektor ini, bukan sebaliknya. Dengan meningkatnya produktivitas
sektor
informal
dapat diharapkan kemiskinan kota akan dapat diatasi.
Sebagai akibat pertambahan penduduk yang pesat di Kota Surabaya, serta kurang
15
tertampungnya tenaga kerja di berbagai sektor lapangan kerja, menyebabkan semakin
tingginya
penduduk
yang
bekerja
di
sektor
informal
yang
produktivitasnya rendah. Sementara itu kebijakan kota yang kurang berfihak kepada sektor ini menambah tingginya jumlah penduduk miskin di Kota Surabaya. Hasil penelitian Soen’an (1998: 8) menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh di Semarang dan Surabaya bekerja sebagai pedagang, buruh dan usaha kecil, di mana tempat tinggal bagi masyarakat tidak hanya sebagai sarana yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga dan aksebilitas (ke sekolah, tempat kerja, tempat berdagang, fasilitas lainnya), melainkan juga lebih merupakan komoditas pokok (investasi) daripada fungsi fisiknya. Artinya rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal saja, melainkan juga menjadi tempat berproduksi, usaha dan bahkan disewakan. Pertumbuhan
penduduk
yang
pesat
tanpa
disertai
pertumbuhan
kesempatan kerja yang memadai menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di Kota Surabaya. Persentase penduduk miskin kategori 2 (miskin) dan kategori 3 (sangat miskin) di Kota Surabaya dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2003 lebih kecil dtbandingkan dengan persentase penduduk miskin Jawa Timur. Namun pada kurun waktu tersebut persentase penduduk miskin di Kota Surabaya menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 1998 persentase penduduk miskin di Kota Surabaya adalah 4,91% ( 126.852 jiwa) dan terus meningkat menjadi 13,48% (362.308 jiwa) di tahun 2003. Sementara itu persentase penduduk miskin Jawa Timur pada tahun 1998 adalah 19,53% (6.698.053 jiwa) kemudian naik menjadi 21,55% di tahun
16
1999 (7.440.821 jiwa) kemudian turun menjadi 19,52% (7.064.289 jiwa) di tahun 2003. Sekalipun persentase penduduk miskin di Surabaya lebih rendah dibanding persentase penduduk miskin Jawa Timur, namun melihat persentase yang cenderung naik dikhawatirkan akan menimbulkan masalah dikemudian hari. Jumlah dan persentase penduduk miskin kategori 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 1.5 sebagai berikut : Tabel 1.5. JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKIN KATEGORI 2 DAN 3 DI KOTA SURABAYA DAN JAWA TIMUR TAHUN 1998 – TAHUN 2003
Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kota Surabaya Jumlah (jiwa) % 126.852 4.91 193.066 7.43 190.799 7.31 296.498 11.30 293.016 11,11 362.308 13,48
Jawa Timur Jumlah (jiwa) % 6.698.053 19,53 7.440.821 21,55 7.353.447 21,14 7.267.093 20,73 7.181.757 20,34 7.064.289 19,52
Sumber : BPS Jawa Timur, survey Kemiskinan ,diolah Keterangan :Kategori 2 = Penduduk Miskin Kategori 3 = Penduduk Sangat Miskin Jumlah penduduk miskin per Kecamatan ada pada Tabel 1.6 . Menurut Survei Kemiskinan Jawa Timur (BPS, 2001), persentase penduduk miskin di Wilayah Surabaya Utara menduduki peringkat tertinggi yaitu 15,45%, disusul berturutturut Wilayah Surabaya Barat 12,78%, wilayah Surabaya Pusat 11,36%., Wilayah Surabaya Selatan 9,90% dan terakhir adalah Wilayah Surabaya Timur 9,54%. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta semakin banyaknya penduduk pendatang di kota Surabaya, meningkatkan tingkat kepadatan di beberapa kawasan. Sementara itu minimnya sarana pemukiman serta fasilitasfasilitas untuk pemukiman yang layak huni dan sehat ditambah kemampuan ekonomi penduduk pendatang yang sangat terbatas
(di mana tempat hunian
17
seringkali juga merupakan tempat berproduksi dan sekaligus tempat untuk berjualan) menyebabkan kawasan tersebut menjadi semakin kumuh. Tabel 1.6. JUMLAH PENDUDUK MISKIN KOTA SURABAYA PER KECAMATAN TAHUN 2001 No.
1. 2. 3. 4.
5. 6 7 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
24. 25. 26. 27. 28.
Nama Kecamatan Surabaya Pusat : Tegalsari Genteng Bubutan Simokerto Total Surabaya Pusat Surabaya Utara : Pabean Cantikan Semampir Krembangan Kenjeran Total Surabaya Utara Surabaya Timur : Tambaksari Gubeng Rungkut Tenggilis Mejoyo Gunung Anyar Sukolilo Mulyorejo Total Surabaya Timur Surabaya Selatan : Sawahan Wonokromo Karang Pilang Dukuh Pakis Wiyung Wonocolo Gayungan Jambangan Total Surabaya Selatan Surabaya Barat : Tandes Sukomanunggal Asemrowo Benowo Lakarsantri Total Surabaya Barat Total Surabaya
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah seluruh Pendudk
% Penduduk Miskin per Kecamatan
8.612 7.175 4.129 16.453 36.369
93.465 54.505 87.883 84.380 320.233
11,36
13.724 45.302 6.597 7.550 73.173
72.744 154.455 114.506 131.857 487.562
15,43
26.991 7.544 14.328 3.886 4.822 10.787 2.814 71.171
188.886 132.986 111.286 76.154 51.055 100.148 85.292 745.807
9,54
27.481 13.048 2.696 4.999 5.838 5.370 1.952 5.609 66.990
188.766 146.875 71.478 57.246 51.780 81.660 39.837 39.234 676.876
9,90
12.109 5.079 8.722 11.933 10.955 48.795
93.459 107.514 36.937 67.074 78.334 383.318
12,78
296.498
2.599.796
11.40
Sumber : BPS,Survey Kemiskinan Jawa Timur 2001, diolah Ketrangan: *) persentase terhadap jumlah penduduk pada masing-masing
18
Kecamatan
Menurut Laboratorium Pemukiman ITS, hunian kumuh (slum) adalah hunian yang menempati tanah legal milik pemerintah atau bukan milik pemerintah yang kondisi fisiknya kurang baik, di mana hunian ini sebagian besar berada di dekat pusat kegiatan kota (pasar, pertokoan, industri). Pada umumnya masyarakat yang bersedia tinggal di lokasi ini adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah yang belum memprioritaskan lingkungan fisik yang baik sebagai syarat tempat tinggalnya. Hal ini disebabkan karena prioritas utamanya adalah mendapatkan kesempatan di bidang ekonomi untuk mencukupi kebutuhan pokoknya (basic needs) dengan biaya hidup yang murah.
Hunian kumuh di Surabaya tersebar di lokasi di pusat-pusat kegiatan seperti sekitar pasar, pertokoan dan di sekitar pabrik atau daerah industri. Sampai dengan tahun 2002 pemukiman kumuh di Surabaya yang terbanyak adalah di Kecamatan Kenjeran dengan 6 lokasi kumuh . Disusul berturut-turut Kecamatan Benowo dengan 5 lokasi kumuh,
Kecamatan Sukolilo dengan 4 lokasi,
Kecamatan Mulyorejo dan Wiyung dengan 3 lokasi. Kecamatan yang memiliki 2 lokasi kumuh adalah Kecamatan Pabean Cantikan, Kecamatan Semampir, Kecamatan Krembangan dan Gununganyar. Kecamatan yang hanya memiliki 1 lokasi kumuh adalah Kecamatan Simokerto, Kecamatan Tambaksari, Kecamatan Karangpilang, Kecamatan Tandes, Kecamatan Asemrowo dan Kecamatan Lakarsantri. 12 Kecamatan selebihnya adalah Kecamatan yang bebas dari lokasi kumuh, yaitu Kecamatan Tegalsari, Kecamatan Genteng, Kecamatan Bubutan, Kecamatan Gubeng, Kecamatan Trenggilis Mejoyo, Kecamatan Sawahan,
19
Kecamatan
Wonokromo,
Kecamatan
Wonocolo,
Kecamatan
Gayungan,
Kecamatan Jambangan dan Kecamatan Sukomanunggal. Secara rinci lokasi kumuh per Kecamatan dapat dilihat pada Tabel 1.7. halaman 19.Tabel 1.7 LOKASI PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA SURABAYA TAHUN 2002 No. Kecamatan Jumlah Persentase ( % ) 1. Tegalsari 0 0,00 2. Genteng 0 0,00 3. Bubutan 0 0,00 4. Simokerto 1 2,70 5. Pabean Cantikan 2 5,41 6. Semampir 2 5,41 7. Krembangan 2 5,41 8. Kenjeran * 6 16,22 9. Tambaksari 1 2,70 10. Gubeng 0 0,00 11. Rungkut 2 5,41 12. Trenggilis Mejoyo 0 0,00 13. Gunungayar 2 5,41 14. Sukolilo 4 10,80 15. Mulyorejo 3 8,11 16. Sawahan 0 0,00 17. Wonokromo 0 0,00 18. Karangpilang 1 2,70 19. Dukuh Pakis 0 0,00 20. Wiyung 3 5,,41 21. Wonocolo 0 0,00 22. Gayungan 0 0,00 23. Jambangan 0 0,00 24. Tandes 1 2,70 25. Sukomanunggal 0 0,00 26. Asemrowo 1 2,70 27. Benowo ** 5 13,51 28. Lakarsantri *** 1 2,70 Total 37 100,00 Sumber : Bappeko dan Dinas Sosial Kota Surabaya Keterangan : * Kecamatan Kenjeran gabung dengan Kecamatan Bulak ** Kecamatan Benowo gabung dengan Kecamatan Pakal *** Kecamatan Lakarsantri gabung dengan Kecamatan Sambikerep
20
Dalam tata kota permukiman kumuh (slum), adalah permukiman yang beridiri di atas tanah yang tidak diperuntukkan untuk bangunan (seperti di bantaran sungai) yang sering juga disebut hunian liar. Hunian liar (daerah slum) di Kota Surabaya menempati daerah bantaran sungai Kalimas . Selain tempat tersebut, masih ada hunian liar dalam skala kecil seperti di tepi rel kereta api dan tanah yang peruntukkan lahannya bukan untuk bangunan. Sampai dengan Tahun 2001 lokasi hunian liar di Kota Surabaya tersebar di beberapa Kecamatan Yaitu : 1. 2. 3. 4.
Kecamatan Benowo di Kalurahan Tambak Osowilangun Kecamatan Gubeng di Kalurahan Ngagel Kecamatan Wonokromo di Kampung Jagir Kecamatan Sukolilo di Kalurahan Jangkungan dan Kalurahan Medokan Semampir 5. Kecamatan Rungkut di Kalurahan Kedung Baruk, Kalurahan Penjaringansari. 6. Kelurahan Wonorejo dan Kalurahan Kali Rungkut Adapun yang dimaksud dengan kampung (dalam Kampung Improvement Program , Laboratorium Perumahan dan Permukiman –ITS dan LPM-ITS. 2000) adalah : a. Bukan hunian liar, melainkan merupakan lanjutan dan perkembangan perumahan mandiri, dan umumnya berdiri di atas lahan milik tradisi. b. Merupakan konsep pribumi tentang perumahan dan masyarakat dalam beragam ukuran, bentuk dan kepadatan. c. Letaknya strategis di bagian kota,memberi kesempatan luas untuk mencapai berbagai kesempatan kerja d. Di dalamnya tergalang berbagai industri rumah tangga yang menghasilkan barang-barang, bermacam makanan dan pelayanan siap pakai. e. Memberi perumahan penduduk kota, menawarkan beragam standar perumahan pada berbagai tingkat harga,utamanya bagi keluarga berpenghasilan rendah dan menengah. Kampung menurut kategori Kampung Improvement Program tersebut terdapat hampir di seluruh wilayah kota Surabaya.
21
Jauh sebelum krisis ekonomi (1997) terjadi, yaitu sejak Tahun 1974 Pemerintah Kota Surabaya telah melakukan usaha perbaikan kawasan kumuh dengan berbagai program pembangunan di antaranya adalah : 1. Program Perbaikan Kampung (W.R.Supratman1974); yaitu program perbaikan saluran air yang didanai secara bersama-sama antara warga dan
dana dari
APBD Tingkat II, usaha ini hasilnya sangat terbatas
mengingat dana warga 2. Program
Perbaikan
sangat terbatas. kampung
yang
lebih
dikenal
dengan
KIP
(Kampung improvement Program) Program ini dilaksanakan sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1998, dan didanai dengan dana pinjaman (loan) dari Bank Dunia (World Bank ). Program ini mencakup bina lingkungan, bina manusia (kualitas hidup) dan bina usaha (ekonomi) . Dalam pelaksanaannya program ini
lebih
banyak
menonjolkan
pembangunan fisik (bina lingkungan) sedangkan bina manusia (kualitas hidup manusia) dan bina usaha (ekonomi) kurang diperhatikan (Yudohusodo, 1991: 315). Bank Dunia menilai program perbaikan kampung ini cukup berhasil. sekalipun pada mulanya sarana-sarana yang dibangun seperti saluran pembuangan air limbah, fasilitas sanitasi, penerangan, dan jalan dapat membuat kawasan itu tertata rapi namun pembangunan sarana yang pada awalnya dinilai cukup berhasil pada perkembangannya banyak berubah. Di beberapa kota permukiman yang semula sudah tertata
rapi dan
bersih
menjadi
kumuh
kembali Hal ini
disebabkan oleh perilaku serta kentalnya budaya kurang bersih penduduknya. Sementara itu dengan dibangunnya sarana jalan di kampung, penerangan, saluran
22
pematusan air (drainase), wilayah yang dulunya kumuh dan dihuni penduduk miskin
menjadi
wilayah yang tertata dengan fasilitas memadai,
namun
sayangnya karena kemampuan ekonomi penduduknya yang terbatas, wilayah ini dijual atau jatuh ketangan penduduk yang lebih
kaya. Dengan
demikian
penduduk miskin tergusur oleh golongan penduduk yang lebih kaya. Hal yang demikian ini menurut Swasono (2006: 4.b.) adalah : “terjadi penggusuran penduduk miskin bukan menggusur kemiskinan
Penggusuran terhadap
penduduk miskin ini juga sering terjadi disebabkan kurang jelasnya status tanah. Menurut hasil penelitian yang dilakukan World Bank (World Development Report 2003: 41), akses terhadap tanah dan rumah bagi masyarakat miskin sangat sulit disebabkan oleh pemetaan tanah perkotaan yang tidak jelas, tingginya nilai tanah dan sistem hak tanah yang komplek dan biaya pengurusan yang tinggi serta prosedur pengurusan yang berbelit-belit. Hal yang demikian ini menyebabkan kebanyakan masyarakat miskin hanya mempunyai hak tradisional atas tanah saja, bukan hak yang resmi (legal). Sebagai akibatnya seringkali terjadi penggusuran masyarakat miskin (tanpa kompensasi yang memadai) utamanya bila pemerintah membangun proyek besar. Bagi Masyarakat tinggal di
Kawasan
golongan
yang
ekonomi
berkepadatan
menengah
tinggi
ke bawah yang
atau kawasan
komersiil,
Pemerintah Kota Surabaya membangun Rumah Susun (Rusun). Rusun yang pertama dibangun di Surabaya adalah Rusun Urip Sumohardjo yang dibangun pada tahun 1983 atas dasar kerjasama antara Pemerintah Kota Surabaya dengan P.T. Barata dibangun untuk menampung warga masyarakat yang terkena musibah kebakaran disusul rusun-rusun lain yang dibangun
untuk disewakan kepada
23
masyarakat golongan menengah ke bawah. Dengan diangkatnya dari rumah kumuh (tak layak huni) kerumah susun yang layak huni, (dipandang dari segi kebersihan,
kesehatan, tersedianya sanitasi, air bersih, penerangan / listrik,
pendidikan, keamanan,
dan kenyamanan),
diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan dan pada gilirannya dapat meningkatkan empowerment). Pada kenyataannya kurang lebih 27% dari responden
kemandirian
menunjukkan
bahwa
(penerima
bantuan
(self-
sebagian, yaitu rumah
susun
sebagai pengganti maupun penerima subsidi berupa rumah susun sewa) mengalihkan hak huniannya kepada fihak lain dengan imbalan uang dan berkumuh di tempat lain di mana kondisinya sebelumnya (Masjkuri, Siti U.1992: 91) Hal
lebih buruk
dari
kondisi
ini disebabkan karena bantuan
perumahan tidak disertai sarana yang bisa memenuhi aksesibilitas keluarga (misalnya tempat bekerja, tempat
usaha
atau kesempatan untuk bekerja),
sehingga sebagian dari penghuninya tidak mampu untuk tetap tinggal di situ. Ketidakmampuan ini utamanya disebabkan oleh faktor-faktor internal seperti kemampuan ekonomi tidak memadai (pendapatan tidak mencukupi
untuk
membayar biaya perumahan, seperti sewa, retribusi kebersihan, air, keamanan dan penerangan). Selain itu dapat juga dimungkinkan oleh faktor eksternal, seperti kebijakan Pemerintah Kota yang kurang aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat kampung (kebijakan non-partisipatori dan non emansipatori), serta tidak adanya unsur pemberdayaan (empowerment) Kebijakan yang demikian ini tidak sesuai dengan tujuannya (bina usaha yaitu: pemukiman yang memenuhi aksesibilitas tempat tinggal, tempat kerja, tempat usaha berdasarkan kondisi sosial, budaya dan ekonomi serta mampu menumbuhkan sifat-sifat wirausaha
24
kepada masyarakat dalam menyongsong masa depan yang lebih baik berdasarkan pada aspek-aspek sosial dan budaya yang dimilikinya). (Lanti, 2000 :12) Kampung Improvement Program adalah program kesejahteraan rakyat sebagai suatu intervensi pemerintah. Menurut Barr, untuk mencapai the economic welfare of the state intervensi negara diperlukan justru untuk mencapai effisiensi (Barr,1997: 77-92, 275-282). Hal ini seiring dengan pendapat Swasono (2006, b.), bahwa
“pembangunan tidak menggusur orang miskin tetapi menggusur
kemiskinan, pembangunan mengemban tugas humanisasi”. Dengan demikian pembangunan kampung selain membuat masyarakat kampung mampu untuk tetap tinggal (tidak tergusur) dari kampung yang sudah dibangun juga mampu untuk memelihara
kebersihan,
keamanan
dan kenyamanan serta
mampu
membangun lebih lanjut atau dengan kata lain memiliki kemandirian / selfempowerment (Swasono, 2004, c) Selanjutnya di dalam papernya yang berjudul Indonesian Perspective : ” Renewing and Revitalizing the Cities “ Swasono (2003 : 1) mengatakan “In Indonesia Cities have been developed without a sound city planning, in term of the physical planning (planology and architectural planning) nor in term of the socio-economic and socio-cultural dimensions. Even if such planning is designed, the cities have not in reality departed from the planning frame work. Cities have become the symbol and real form of an economic polarization that subsequently have turned into a social polarization with all the alarming consequences to the solidity of social integration. This however, does not imply that urban planning should stop functioning and be abondend. We must continue our endeavours to transform and revitilize the roles and function of our cities, so that the cities can truly become place that are friendly, enjoyable and inspiring to their citizens to live in peace and in the pursuit of happiness.” Selain semua kelemahan-kelemahan tersebut di atas,
secara fisik
bangunan rumah susun kurang memenuhi syarat untuk tempat tinggal keluarga
25
yang rata-rata beranggotakan 4 orang atau lebih (Ismail, 1999: 19). Secara umum dapat dikatakan program perbaikan kampung seringkali berubah dari usaha perbaikan permukiman masyarakat miskin (dengan usaha bina lingkungan, bina manusia dan bina usaha) menjadi penggusuran secara tidak sengaja. Hal ini tercermin pada bantuan rumah susun yang pada akhirnya jatuh ke fihak yang tidak semestinya berhak menerima bantuan tersebut; yaitu jatuh ke tangan masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih tinggi. Sementara itu kampung yang sudah terbangun sarana jalan, penerangan, sarana sanitasi dan lain-lain jatuh ke tangan golongan yang lebih kaya atau bahkan kampung yang semula sudah tertata rapi menjadi kumuh kembali (karena kurangnya budaya bersih). Oleh karena itu pembangunan perkampungan kumuh di perkotaan tidak hanya pembangunan di bidang fisik saja melainkan perlu disertai usaha pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial dan budaya bagi pemukimnya. Dengan demikin selain kawasan menjadi tertata juga mendorong terciptanya transformasi ekonomi, transformasi sosial serta transformasi budaya yang pada gilirannya selain dapat meningkatkan kesejahteraan juga secara senerjis masyarakat diharapkan mampu berperanaktif di dalam pelaksanaan pembangunan pemukiman secara berkelanjutan. Di dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 1998 telah melaksanakan KIP (Kampung Improvement Program)-Komprensif yang lebih menekankan pada aspek fisik guna mencapai tujuan non fisik .menjadi pembangunan masyarakat yang mandiri melalui perbaikan sarana fisik dan sosial ekonomi. Program KIP-K ini merupakan suatu pembangunan berdasarkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan kampung dan
26
pemenuhan kebutuhan masyarakat. Pelaksanaan program ditujukan pada usaha pemberdayaan dan kemandirian masyarakat kampung secara berlanjutan . Program ini dirumuskan dengan mengutamakan pendekatan bottom up, di mana pada pelaksanaan dilapangan dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. (Dinas Tata Kota, Evaluasi Pelaksanaan KIP Komprehensif, 1999) Konsep yang digunakan dalam KIP-K ini adalah : 1. menyeluruh dan terpadu 2. pemberdayaan dan kemandirian. 3. Pendekatan bottom up 4. Keberlanjutan.
Tujuan dari implementasi program KIP-K ini sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 1992 (Indarto Agus, 1999 : 1) a. pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan atau menikmati dan atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur b. pasal 5 ayat 2 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk berperanserta dalam pembangunan perumahan dan pemukiman. c. Pasal 29 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperanserta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Berdasar UU Nomor 4 Tahun 1992, pasal 5 ayat 1 dan 2 serta pasal 29 tersebut tujuan implementasi Program Perbaikan Kampung Komprehensif (KIP-K) ditujukan untuk : a. meningkatkan infrastruktur dan kualitas lingkungan permukiman kampung b. meningkatkan status kepemilikan lahan rumah c. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
27
Tujuan serta implementasi Program KIP-K diatas sesuai dengan Program MDG Indonesia (Indonesia’s Mellllenium Development Goal), utamanya pada poin 7, yaitu ; Memastikan Keberlanjutan Lingkungan Hidup dengan terget : a. Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional b. Penurunan sebesar separuh penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015 c. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh pada tahun 2020. Meskipun secara teoritis program KIP-K ini nampak menyeluruh dan mendasar, namun mengingat di dalam pelaksanaannya sering dihadang oleh berbagai kendala, maka perlu adanya studi empirik yang mendalam untuk melihat apakah perbaikan kampung melalui KIP-K ini berhasil
di dalam mencapai
tujuannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat yang pada gilirannya
akan
meningkatkan
kemandirian/self-empowerment
masyarakat
perkampungan kumuh. Kendala-kendala
yang dihadapi dalam perbaikan kampung meliputi
terjadinya kesenjangan antara rencana program-program pembangunan dengan implementasinya, beragamnya masyarakat di dalam hal pendidikan, status sosial ekonomi
budaya,
kesadaran
berorganisasi,
terbatasnya
dana,
sulitnya
mempertahankan kosistensi strategi pembangunan yang berfihak pada masyarakat miskin, serta diperlukannya komitmen yang tinggi dari berbagai fihak yang terlibat dalam KIP-K. Untuk melihat keberhasilan perbaikan kampung melalui KIP-K , di dalam studi ini dikaji secara medalam dampak (pengaruh) usaha perbaikan kampung melalui KIP-K
terhadap kesejahteraan sosial masyarakat
miskin kampung kumuh dan terhadap kemandirian masyarakatnya
(self-
28
empowerment). Berdasarkan uraian latar belakang, disusun studi disertasi dengan judul
“Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya
Terhadap Kesjahteraan Sosial Serta Kemandirian Masyarakat Miskin Perkampungan Kumuh di Kota Surabaya)
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dalam studi ini adalah : 1. Apakah usaha pengembangan
masyarakat berpengaruh
signifikan
terhadap kesejahteraan sosial masyarakat miskin perkampungan kumuh ? 2.
Apakah
perkembangan
fisik
lingkungan
terhadap kesejahteraan sosial masyarakat
berpengaruh
signifikan
miskin perkampungan
kumuh ? 3. Apakah
perkembangan
terhadap kesejahteraan
manajemen sosial
lahan
masyarakat
berpengaruh miskin
signifikan
perkampungan
kumuh ? 4. Apakah usaha pengembangan masyarakat berpengaruh
signifikan
terhadap kemandirian masyarakat miskin perkampungan kumuh ? 5. Apakah perkembangan fisik lingkungan berpengaruh signifikan terhadap kemandirian masyarakat miskin perkampungan kumuh ? 6. Apakah perkembangan manajemen lahan berpengaruh signifikan terhadap kemandirian masyarakat miskin perkampungan kumuh ? 7. Apakah kesejahteraan sosial masyarakat miskin kampung kumuh berpengaruh signifikan terhadap kemandirian masyakatnya?
29
1.3. Tujuan Studi Tujuan studi ini adalah : 1. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh usaha pengembangan masyarakat terhadap kesejahteraan sosial masyarakat miskin kampung kumuh 2. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh perkembangan fisik lingkungan terhadap kesejahteraan sosial masyarakat miskin kampung kumuh. 3. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh perkembangan manajemen
lahan terhadap
kesejahteraan sosial
masyarakat miskin kampung kumuh 4. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh usaha pengembangan masyarakat terhadap
kemandirian masyarakat
miskin
kampung kumuh. 5. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh perkembangan fisik lingkungan terhadap
kemandirian masyarakat
kampung kumuh.. 6. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh perkembangan manajemen
lahan terhadap
kemandirian masyarakat
miskin kampung kumuh. 7. Untuk menganalisis dan membuktikan adanya dampak / pengaruh kesejahteraan sosial masyarakat miskin kampung kumuh terhadap kemandirian masyarakatnya.
30
1.4.Manfaat Studi Studi ini disamping untuk memenuhi persyaratan akademi untuk memperoleh gelar Doktor di bidang ekonomi konsentrasi ekonomi pembangunan, juga dari studi ini diharapkan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Kontribusi terhadap ilmu ekonomi pembangunan khususnya
welfare
economics.. 2. Untuk meningkatkan pemahaman teori pembangunan, teori perumahan / pemukiman, teori penggunaan lahan, teori kesehatan lingkungan, dan konsep kemiskinan.. 3. Sebagai bahan masukan bagi pengambil keputusan dalam mengevaluasi serta menentukan kebijakan pembangunan kampung miskin kumuh. 4. Sebagai rujukan / referensi untuk studi selanjutnya.