BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Keberadaan institusi informal yang mampu mensubtitusi peran institusi formal sangat jamak terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini menjadi sebuah gambaran menarik karena meskipun sistem pemerintahan telah bergeser ke era desentralisasi dengan pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, artinya masing-masing pemerintah di daerah yang mempunyai kewenangan lebih besar untuk mengatur wilayahnya ternyata masih disubtitusi perannya oleh institusi informal. Selain itu, perkembangan pemerintahan daerah sejak orde baru hingga masa-masa reformasi memberikan gambaran bahwa institusi informal mampu memberikan pandangan mengenai tersedianya alternatif sebuah institusi yang mempunyai kekuatan power sharing terhadap negara, serta dijadikan alternatif pilihan bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Pada tataran lokal khususnya di Pemerintahan Aceh, salah satu institusi informal yang erat kaitannya dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Aceh adalah Mukim. Bahkan sebagai sebuah lembaga pemerintahan yang lahir dari rahim otonomi khusus, Mukim telah bertransformasi dari institusi informal menjadi institusi formal. Pengakuan keberadaan dan kedaulatan Mukim dalam organisasi pemerintahan di Aceh dapat dianggap sebagai hikmah atas perjuangan
1
dengan nilai historis dan idealisme yang besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, kejelasan pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi Mukim sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga dinilai masih menerawang alias kabur atau tidak jelas. Dugaan penulis berawal dari nilai romantisme sejarah pemerintahan Aceh di masa lampau yang dianggap ideal, kemudian diimplementasikan lewat kebijakan pemerintahan daerah masa kini. Beberapa ketentuan dalam Undang-undang Pemerintah Aceh seperti mengadopsi sistem pemerintahan kerajaan yang mengakomodir hak-hak masyarakat berdasarkan adat-istiadat. Implementasi kebijakan bernafas romantisme sejarah tersebut terlihat dari pengembangan kelembagaan terutama pada stuktur dan fungsi pemerintahan pada level paling bawah, diantaranya seluruh kelurahan yang ada di kabupaten/kota di Aceh dihapus dan diganti dengan sistem pemerintahan gampong atau desa sesuai pasal 267 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini menandai keseriusan pemerintah pusat dan daerah yang memandang sisi idealisme Pemerintahan Aceh masa lalu. Terbentuknya sistem pemerintahan mukim di Aceh juga semata-mata dilahirkan dalam rangka mewujudkan nilai-nilai yang dianggap ideal tersebut. Kedudukan pemerintahan mukim yang berada di bawah kecamatan dan di atas pemerintahan gampong menjadi struktur pemerintahan unik yang diakui oleh negara dan hanya berlaku di Aceh saja. Dinamika kelembagaan di masa lampau yang relatif mampu mengatur kehidupan sosio-kultural masyarakat secara adil dan
2
bijaksana dipandang relevan untuk diaplikasikan pada kehidupan masa kini. Padahal, konteks kebijakan dan tatanan kehidupan masyarakat Aceh sekarang telah jauh berbeda. Harus diakui bahwa penyelenggaraan pemerintahan Mukim di Aceh saat ini pun penuh dinamika dan terkesan problematik. Akibatnya, Mukim belum mampu memberi peran yang signifikan sesuai tugas dan fungsi formalnya. Mukim diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas hubungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat. Pada salah satu pasal juga disebutkan bahwa Imeum Mukim bersama dengan orang-orang yang bertanggungjawab dalam bidang pengelolaan sumberdaya alam di gampong-gampong atau wilayah Mukim ditempatkan sebagai bagian dari Lembaga Adat di Aceh. Hal ini menegaskan adanya revitalisasi dan transformasi lembaga yang berkembang dengan pendekatan historical institutionalism, sehingga Mukim pada saat ini diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang memiliki tugas dan fungsi di bagian pemerintahan serta tugas dan fungsi di bagian adat. Fungsi-fungsi ini kemudian kerap mengundang persoalan baru karena kebijakan yang menuntut Mukim bergerak pada dua wilayah yang berbeda dan berpotensi terjadinya friksi. Dalam fenomena transformasi institusi, model perubahan yang terjadi pada Mukim di tiap alur sejarah yang dilewatinya merupakan model disruptive case 1. Model ini menekankan pada perubahan faktor eksternal di luar institusi sehingga 1
Disarikan dari Materi Kuliah Pengembangan Kelembagaan oleh Dr. Dewi Haryani Susilawati
3
menjadi tuntutan dan tuntunan bagi sebuah institusi untuk berubah, baik secara empiris dan ideologis. Model transformasi ini pun memberi efek pada tugas, fungsi dan peran Mukim khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya alam. Sutoro (2007: 42-43) mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada dua peran Mukim yang bersentuhan pada bidang sumberdaya alam, yakni dalam wilayah adat berupa pelaksanaan kenduri adat dan pengelolaan sumberdaya alam, serta dalam wilayah pembangunan berupa hak memberikan izin penggunaan sumberdaya alam sesuai dengan azas konservasi alam. Pada saat ini, transformasi Mukim menjadi lembaga formal dalam pengelolaan
sumberdaya
alam
masih
membutuhkan
perjuangan
untuk
mendapatkan kedaulatan dan pengakuan dari negara. Pasalnya hak ulayat mukim dan kewenangan yang telah diatur dalam UUPA dan Qanun Aceh No. 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim masih membutuhkan kajian sinkronisasi dan adaptasi dengan peraturan perundang-undangan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang telah ada sebelumnya. Apalagi, tata kelola pemerintahan Mukim di masing-masing kabupaten/kota yang ada di Aceh saat ini dipastikan berbeda satu sama lain mengingat kondisi geografis, potensi sumber daya alam yang beragam dan kemampuan masing-masing Mukim yang berbeda-beda. Sudah banyak tulisan maupun hasil penelitian yang menguraikan berbagai masalah terkait penyelenggaraan pemerintahan di Aceh oleh lembaga Mukim. Pada umumnya, kajian yang berhasil dibahas secara lugas dan mendalam adalah tentang peran Mukim dalam penyelenggaraan pemerintahan secara luas.
4
Leriman 2 mengemukakan bahwa sejauh ini Mukim masih terfokus dalam hal-hal yang bersifat adat-istiadat dan syariat islam semata. Hal tersebut terbukti dari salah satu Mukim di kecamatan dalam Kabupaten Gayo Lues, menunjukkan adanya kerancuan pelaksanaan tugas dan fungsi Mukim yang sering berbarengan dengan pemerintah kecamatan. Kedudukan Pemerintah Mukim yang berada di bawah kecamatan justru semakin kuat dalam mengkoordinasikan programprogram pembangunan dan pelayanan publik ke gampong-gampong dalam wilayahnya, sehingga fungsi kecamatan tidak berjalan cukup baik. Kekuatan modal sosial yang bersemayam dalam Mukim di Aceh nyatanya punya potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Namun setelah Mukim menjadi salah satu unit pemerintahan khusus di Aceh, peran mukim dalam merencanakan atau mendiskusikan berbagai hal yang menyangkut kepentingan masyarakat di wilayahnya justru semakin menurun. Padahal, menurut Amiruddin 3 sejak dahulu masyarakat Aceh punya modal sosial yang kuat di dalam lembaga mukim, mengenal dan lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasi mereka. Sebuah hasil penelitian tentang modal sosial masyarakat Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara yang dilakukan oleh Maulana 4 mengungkapkan pula adanya pergeseran hakikat modal sosial dan perubahan kehidupan sosio-kultural, 2
3
4
Leriman. Peran Mukim dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Rikit Gaib Kabupaten Gayo Lues Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2012, h. 5 (diakses dan diunduh dari digilib.unimed.ac.id tanggal 21 Juni 2013) Amiruddin. Peranan Imeum Mukim terhadap Perencanaan Partisipatif Masyarakat Kemukiman Blang Siguci Kecamatan Idi Tunong Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh, 2010, h. 4 (diakses dan diunduh dari repository.usu.ac.id tanggal 21 Juni 2013) Maulana, Fatwa. 2009. Pemanfaatan Modal Sosial Masyarakat pada Program Pembangunan Gampong (PPG) Kecamatan Baktiya Barat Kabupaten Aceh Utara. USU: Medan.
5
termasuk masyarakat di dalam Mukim. Pergeseran ini disebabkan karena telah menempatkan lembaga Mukim sebagai institusi formal dengan segenap aturan dan ketentuan yang mengikat dan menjadi koridor bagi masyarakat dan pemerintahan Mukim. Jika menilik konsep modal sosial dari Fukuyama dalam Maulana (2009: 16), bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka, maka asumsinya modal sosial menjadi kurang berfungsi apabila institusi berada pada tataran formal dan tergerus oleh fungsi pranata formal lainnya yang telah modern dan mutakhir. Romantisme peran Mukim dalam konteks masa kini sesuai modal sosial yang dimiliki sejak dahulu menjadi kurang relevan. Sebagai contoh, proyek Reduction Emissions from Degradation and Deforestation (REDD) yang diinisiasi oleh Pemerintah Aceh untuk mengatasi pemanasan global menimbulkan konflik dan penolakan oleh Mukim dari lima kabupaten di Aceh 5. Kasus itu serupa dengan kasus penolakan PT. Inti Indorayon Utama yang dilakukan oleh Masyarakat Toba Samosir Sumatera Utara 6. Berkaitan dengan kedua hasil penelitian tersebut, dua buah artikel juga menulis dan mengakui bahwa eksistensi Mukim yang sudah diakui secara de jure ternyata tidak sejalan dan selaras secara de facto. Pada dasarnya, keterlibatan Mukim dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam di Aceh berperan 5
REDD di Aceh tidak ditolak, tapi belum tentu diterima (Transparency Internasional Indonesia tanggal 1 November 2012) 6 Artikel: Konversi Modal Sosial menuju Modal Politik (Tugas Kuliah MAKP UI tahun 2007)
6
lebih besar daripada hanya diakui sebagai unit pemerintahan yang berfungsi menjadi pemangku adat-istiadat semata. Asumsi itu tertuang dalam tulisan Syaifuddin yang mengemukakan bahwa Mukim sebagai masyarakat hukum adat di Aceh memang memiliki struktur pengaturan masyarakat berbasis sumberdaya alam, akan tetapi eksistensi Mukim sebagai institusi formal saat ini belum mampu menghadapi persoalan dan kenyataan bahwasanya negara—dalam hal ini pemerintah—belum mengakui kekuasaan, hak dan wilayah kelola Mukim. Interaksi institusi yang terjadi antara Lembaga Mukim dengan gampong dan organisasi perangkat daerah dalam mengelola SDA kerap menimbulkan masalah. Tulisan tersebut juga dibenarkan Taqwaluddin Husein 7, sehingga isu yang utama adalah upaya untuk membuat eksistensi mukim bukan lagi sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa dalam mengatur dan memerintah. Melalui berbagai fenomena tersebut, isu keterlibatan Mukim dalam pengelolaan sumberdaya hutan menjadi isu krusial yang sangat relevan untuk dikaji lebih dalam. Hal tersebut disebabkan banyaknya pembahasan-pembahasan yang bertolak pada kedaulatan Mukim di Aceh dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Proyek REDD terutama pada Kawasan Ulu Masen yang melibatkan mukim-mukim dari 5 kabupaten, yakni Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar dan Aceh Tengah hingga kini masih terombang-ambing karena mukim-mukim tersebut tidak sepakat untuk membicarakan dan mengakui kawasan Ulu Masen 7
Taqwaluddin Husein. Kewenangan Mukim dalam PSDA (greenaceh.or.id tanggal 21 Juni 2013).
7
sebagai objek pengelolaan hutan pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, Ketua Serikat Mukim Aceh Barat Raya menuturkan agar warga yang direpresentasikan oleh Mukim semestinya diberikan hak pengelolaan hutan adat yang berada di luar hutan lindung pada masing-masing wilayah Mukim. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengelolaan hutan adat oleh masyarakat sebenarnya telah dijelaskan secara rinci, bahwa sepanjang kenyataan hutan adat dengan hak ulayatnya masih ada dan diakui keberadaanya, maka selama itu pula negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat. Sebaliknya, apabila masyarakat tidak ada lagi maka hak ulayat tersebut kembali kepada pemerintah 8. Jadi, syaratnya adalah adanya fakta, pengakuan dan adanya masyarakat hukum adat. Mencermati catatan-catatan literatur, keberadaan Aceh dan hak ulayatnya dalam pengelolaan sumberdaya hutan, serta pengakuan negara terhadapnya sudah sangat jelas. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Panglima Uteun sebagai salah satu perangkat Mukim yang bertindak memimpin tradisi pengelolaan hutan secara arif dan bijaksana sesuai dengan kearifan lokal di Aceh. Secara umum, Panglima Uteun bersama dengan masyarakat setempat memiliki cara mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan dengan tidak merusak lingkungan, tidak mengganggu koridor satwa dan melindungi sumber-sumber lainnya. Mereka memiliki tatacara dan pantangan adat dalam melakukan kegiatannya di dalam hutan. Namun, walaupun Mukim telah diakui sebagai organisasi pemerintahan di 8
Disarikan dari Pasal 1 hingga Pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
8
Aceh justru keberadaan Panglima Uteun seolah tergerus oleh kebijakan pemerintahan daerah dan pengelolaan sumberdaya hutan sehingga fungsinya tidak berpengaruh dominan pada masyarakat desa atau gampong. Beberapa studi kasus yang penulis angkat dari Kabupaten Aceh Barat mengungkapkan secara tersirat tentang dinamika pengelolaan hutan yang kurang atau tidak melibatkan Mukim, dalam hal ini adalah Panglima Uteun. Diantaranya adalah kasus penebangan hutan lindung di wilayah Mukim Manjeng oleh PT. Potensi Bumi Sakti yang sudah mengantongi izin dari Pemkab Aceh Barat untuk membuka lahan perkebunan karet 9. Hal tersebut menimbulkan protes keras dari Mukim setempat karena tidak adanya koordinasi dan informasi yang disampaikan oleh Pemkab Aceh Barat. Kasus tersebut hampir serupa dengan kasus penebangan hutan lindung di wilayah Mukim Beuracan Kecamatan Trienggadeng Kabupaten Pidie Jaya pada Oktober 2009 sehingga berkibat banjir besar di wilayah itu 10. Pada wilayah yang menjadi rencana objek penelitian penulis sendiri, yaitu Mukim Lambalek Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat juga ditemui kasus-kasus serupa yang diduga menjadi dampak dari kurangnya keterlibatan Panglima Uteun dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Kebakaran hutan gambut di Mukim Lambalek yang meliputi 13 gampong (desa) terjadi hampir tiap tahun. Aktifitas itu terjadi karena perusahaan diberikan izin konsesi pengelolaan hutan oleh Pemkab Aceh Barat, sehingga perusahaan 9
PT. Potensi Bumi SaktiTebang Hutan Lindung, Serambinews.com tanggal 7 Februari 2012. Mukim Tak Kuasa Menghadang Penebangan Hutan Lindung, Serambinews.com tanggal 17 September 2012. Diakses pada tanggal 21 Juni 2013.
10
9
kerap menggunakan cara membakar hutan untuk membuka lahan-lahan usahanya seperti kelapa sawit, karet ataupun cokelat 11. Selain itu, warga di wilayah Mukim Lambalek juga sering terlibat konflik dengan perusahaan yang telah mendapat izin resmi dari pemerintah untuk mengelola hutan dan membuka lahan perkebunan di hutan, diantaranya adalah konflik masyarakat dengan PT. Sari Inti Rakyat (SIR) 12 dan konflik masyarakat dengan PT. Prima Aceh Agro Lestari (PAAL) 13. Kedua konflik tersebut disebabkan karena kedua perusahaan diklaim telah menduduki lahan masyarakat yang ada di areal hutan wilayah Mukim Lambalek. Kedua perusahaan juga tidak melaksanakan program plasma dan Coorporate Social Responsibility (CSR) yang dijanjikan dapat memberi penghasilan kepada masyarakat setempat. Walau telah dilaksanakan upaya perdamaian, namun aksi protes masyarakat yang dilakukan dengan menduduki kebun dan perusahaan masih kerap terjadi. Menurut asumsi penulis, hal ini mengindikasikan kurangnya keterlibatan Panglima Uteun pada program pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan perusahaan setempat. Adanya gap yang digambarkan dari beberapa uraian di atas semakin memperkuat dan memperjelas adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Dengan demikian, perlu dilakukan penelitian terhadap dinamika pengembangan 11
Kebakaran Hutan di Arongan Lambalek Meluas, Walhi.or.id tanggal 22 Februari 2011. Diakses tanggal 21 Juni 2013. 12 PT. Sari Inti Rakyat Tak Menghadiri Undangan Mediasi, Serambinews.com tanggal 17 Juni 2013. Diakses tanggal 21 Juni 2013. 13 Massa Duduki Kebun PT. PAAL, Serambinews.com tanggal 22 Mei 2013. Diakses tanggal 21 Juni 2013.
10
mukim yang direpresentasikan oleh Panglima Uteun sebagai pengelola sumberdaya hutan di wilayah Mukim Lambalek. Sesuai dengan perspektif ilmu administrasi publik, maka konsep pengembangan kelembagaan menjadi fokus kajian penulis untuk memahami dinamika Mukim Lambalek dan Panglima Uteun dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan. Apabila memandang Mukim sebagai sebuah komunitas adat, maka sebuah penelitian di Kabupaten Bulukumba yang mengilustrasikan keberhasilan Ammatowa
atau
masyarakat
Kajang
sebagai
komunitas
adat
dalam
mempertahankan hutan hujan tua berbasis kearifan lokal yang disebut pasang14 dapat dijadikan acuan. Fungsi para penjaga hutan di Ammatowa tersebut serupa dengan fungsi Panglima Uteun, sehingga kearifan lokal adalah salah satu hal yang patut diperhatikan untuk mengembangkan kelembagaan Mukim di Aceh. Perbedaan penelitian yang dilakukan di Bulukumba dengan penelitian penulis terletak pada kekhususan dengan kebijakan pengakuan Mukim sebagai sistem pemerintahan lokal di Aceh. Tentu akan lahir nilai-nilai berbeda pada Mukim Lambalek dalam menyikapi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayahnya sesuai konteks kekinian, bukan sekedar romantisme sejarah institusi Mukim semata. Oleh sebab itu, penelitian penulis menunjukkan benang merah antara kenyataan dan harapan pada persoalan pengembangan Mukim Lambalek dan Panglima Uteun dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. 14
Penelitian “Pasang Ri Kajang”: Pasang sebagai Modal Sosial (Social Kapital) dalam Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat Ammatowa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan oleh Sarkawi B. Husai dan Sri Endah Kinasih.
11
1.2
Rumusan Masalah
Adapun pertanyaan inti penelitian sebagai rumusan masalah sesuai dengan latar belakang tersebut adalah: Mengapa implementasi Panglima Uteun dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan di wilayah Mukim Lambalek kurang berhasil meskipun ada dukungan formal di dalamnya? Dengan demikian, dapat pula dijabarkan pertanyaan turunan diantaranya: 1. Bagaimana mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh Panglima Uteun di wilayah Mukim Lambalek bekerja? 2. Apakah Mukim beserta Panglima Uteun sebagai perangkatnya mampu memfasilitasi ketersediaan akses sumberdaya hutan bagi masyarakat? 3. Jika tidak, mengapa kewenangan Mukim dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan tidak mendapat pengakuan dari pemerintah meskipun ada kebijakan yang telah mengatur tugas dan fungsi Mukim sesuai idealisme sejarah?
1.3
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui berlangsungnya mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Panglima Uteun di wilayah Mukim Lambalek.
12
2. Untuk mengetahui kemampuan Mukim bersama Panglima Uteun dalam memfasilitasi ketersediaan akses sumberdaya hutan bagi kepentingan masyarakat Mukim Lambalek. 3. Untuk mengetahui ketidakberhasilan Mukim dan Panglima Uteun serta tidak diakuinya kewenangan mereka dalam urusan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan di wilayah Mukim, meskipun ada dukungan kelengkapan formal.
1.4
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulisan karya ini antara lain adalah: 1. Sebagai bahan masukan konstruktif bagi pemerintah pusat maupun Pemerintah Aceh dalam rangka merumuskan dan mengevaluasi kebijakan yang berdasar pada romantisme sejarah namun tetap mempertimbangkan
konteks
yang
rasional
dan
relevan
sesuai
perkembangan zaman, terutama dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan di level paling rendah seperti Mukim dan Gampong. 2. Sebagai bahan pertimbangan teoritis dan tambahan khasanah ilmu pengetahuan bagi pembaca atau peneliti lainnya yang tertarik dengan pengembangan kelembagaan atau institusi formal dan informal, terutama kajian yang erat kaitannya dengan ilmu administrasi publik.
13
3. Sebagai bahan referensi yang bersifat praktis bagi pembaca untuk memperoleh pemahaman yang jelas mengenai gambaran dilema kelembagaan formal-informal terutama pada tataran pemerintahan lokal yang berbasis otonomi khusus dan desetralisasi asimetrik.
14