BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rasisme adalah masalah rasial yang mendarah daging di tengah kehidupan masyarakat multikultur di berbagai belahan dunia. Rasisme berkembang pesat di suatu negara seiring berkembangnya teknologi dan perdagangan yang mengakibatkan berkembangnya tingkat kemajemukan dalam negara tersebut. Ketertarikan akan kehidupan yang lebih baik yang ditawarkan oleh negara dengan iklim perdagangan yang baik itulah yang kemudian mengundang kedatangan masyarakat dari berbagai kelompok ras. Mitos-mitos tentang ras unggul dan ras kelas bawah merupakan faktor penyebab semakin peliknya masalah rasisme. Mereka yang dikonstruksikan sebagai ras unggul seringkali melakukan tindakan rasisme terhadap golongan ras kelas bawah. Tindakan-tindakan rasisme tersebut terjadi dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, hiburan dan lain sebagainya. Realita dari pernyataan di atas dapat dilihat dari situasi negara Amerika Serikat yang di dalamnya terdapat berbagai macam kelompok ras. Hampir semua sektor kehidupan di Amerika Serikat dikuasai oleh warga kulit putih yang merupakan ras kaukasoid. Pada awal kedatangannya di benua Amerika, orangorang ras kulit putih mempunyai keinginan untuk menghabiskan semua warga suku asli yang menempati benua Amerika pada saat itu yaitu suku Indian yang 1
merupakan bagian dari ras mongoloid. Usaha nyata yang dilakukan warga kulit putih untuk menguasai Amerika yaitu dengan melakukan pembantaian massal terhadap orang Indian yang berdampak menurunnya jumlah warga suku bangsa Indian sejak Colombus menginjakkan kakinya di Benua Amerika dari 10juta jiwa menjadi 400.000 jiwa. warga kulit putih juga menindas para pendatang watga Africans-Americans yang berasal dari ras Negroid.
Warga kulit putih
menempatkan warga ras negroid pada posisi terendah dalam strata ras dan etnik berdasarkan derajat dominasi. Warga ras negroid juga dipisahkan dari warga kulit putih dalam fasilitas sosial dan dibatasi ruang geraknya dalam bidang politik. Rasisme yang menjangkiti suatu negara multikultur memang membawa dampak yang cukup buruk seperti tingginya angka kriminalitas, bentrokanbentrokan, prasangka antar golongan ras dan ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal itu semakin diperkeruh dengan adanya pemberitaan-
pemberitaan yang berpihak pada salah satu kelompok. Sebagai alat pendorong kohesi dosial dalam masyarakat, media seharusnya mampu memberikan informasi dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara berimbang). Namun pada kenyataannya media di Amerika sering kali menyudutkan golongan ras kuliat hitam dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan
tentang
kriminalitas yang dilakukan oleh golongan ras kulit hitam seperti perampokan, kekerasan, peredaran dan penggunaan narkoba, serta perilaku negatif lainnya. Hal ini sengaja dilakukan untuk membentuk persepsi masyarakat Amerika tentang perilaku negatif yang identik dengan warga kulit hitam. Dengan demikian kita
2
dapat menilai bahwa dalam media massa Amerika juga terdapat tindakan rasisme terhadap warga kulit hitam. Selain pers, film juga merupakan media massa yang dapat membentuk persepsi masyarakat melalui cerita yang terdapat di dalamnya karena biasanya cerita dari sebuah film berangkat dari fenomena yang terjadi di kehidupan seharihari (film sebagai keoleksi local content). Pengaruh film terhadap jiwa manusia sangat kuat karena penonton tidak ganya terpengaruh dengan pesan yang disampaikan dalam film tersebut, tetapi terus sampai waktu yang lama. Dengan demikian film merupakan bagian dari media massa yang cukup penting dalam menyampaikan pesan kepada khalayak, atau setidaknya untuk mempengaruhi khalayak dalam bertindak maupun menilai sesuatu seperti gaya berpakaian dan gaya berbicara remaja saat ini yang meniru karakter tertentu dalam sebuah film. Karena berbagai permasalahan tersebut di atas peneliti memiliki ketertarikan untuk meneliti sebuah film yang di dalamnya sarat akan tema rasisme. Judul film yang dipilih oleh peneliti adalah film ―Freedom Writer‖ karya sutradara Richard La Gravense produksi Paramount Picture. ―Freedom Writer‖ bercerita tentang perjuangan seorang guru berkulit putih bernama Erin Gruwell yang pantang menyerah dalam menyelesaikan konflik-konflik rasis yang terjadi di antara murid-muridnya di SMU Woodrow Wilson di kawasan Long Beach, California. Film ini bersetting tahun 1990an dimana pada masa-masa itu kerusuhan berbasis ras sedang terjadi di beberapa kota di California. Dalam film ini terdapat empat golongan ras yang menonjol yaitu ras Americans-Africans (kulit hitam), Americans-Asians, Hispanic dan ras kulit putih. Namun karakter 3
mereka digambarkan berbeda-beda. Secara umum Ras kulit putih digambarkan sangat berpendidikan, santun dan selalu menjadi korban tindakan rasis orangorang diluar kulit putih, warga Hispanic digambarkan sebagai sosok yang diamdiam menghanyutkan, warga Americans-Asians memiliki karakter yang hampir sama dengan ras Hispanic namun terlihat sedikit lebih santai, sedangkan orangorang kulit hitam digambarkan sangat anarkis, rasis dan sama sekali tidak punya sopan santun. Dalam film ini tokoh Erin Gruwell yang diperankan oleh Hillary Swank melakukan metode pengajaran yang lain daripada yang lain. Ia banyak melibatkan murid-muridnya secara langsung seperti dengan adanya game yang mengharuskan mereka bersikap jujur, Toast for Change (saat Gruwell mengajak mereka untuk melakukan perubahan dengan memberikan tos akan perubahan yang akan mereka lakukan dan dengan membagikan buku sebagai diary mereka), debat terbuka, menulis kisah hidup mereka dalam sebuah diary dan lain-lain. Ia juga rela bekerja paruh waktu sebagai pegawai di sebuah hotel dan toko pakaian dalam wanita agar dapat membelikan murid-muidnya sejumlah buku yang berhubungan dengan keadaan mereka saat itu seperti Diary of Anne Frank dan sebagainya. Gruwell juga mau mengajak mereka ke Museum of Tolerance dan makan bersama dengan korban-korban Holocaust yang masih hidup di restoran tempat ia bekerja agar mereka benar-benar paham tentang apa yang disebut dengan Holocaust. Kesibukannya inilah yang nantinya membuat Gruwell bercerai dengan Scott (Patrick Dempsey), suaminya. Sejak murid-murid di ruang 203 membaca bukubuku tersebut dan paham mengenai Holocaust, mereka berubah total. Mereka 4
tidak lagi mempermasalahkan ras. Mereka mulai mengenal dan dekat satu sama lain. Secara sepintas film ―Freedom Writer‖ seperti menggambarkan betapa tertindasnya orang-orang ras kulit putih oleh orang-orang di luar kulit putih. Namun peneliti memiliki kecurigaan tertentu yang terdapat dalam film tersebut yang dapat dianalisa menggunakan teknik analisis semiotika, bahwa terdapat makna rasisme dimana film ini sesungguhnya lebih menempatkan posisi ras kulit putih sebagai ras yang paling hebat diantara ras-ras yang lain. Padahal jika melihat respon masyarakat, film ini mendapat banyak sanjungan tentang pesan anti rasisme, baik yang tertulis dalam beberapa media online maupun pendapat langsung dari masyarakat. Di antara beditu banyak film Holywood, terdapat beberapa film yang selalu menggambarkan kepositifan orang kulit putih dibandingkan orang-orang dari ras di luar kulit putih antara lain film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun 1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah. Hollywood sebagai industri perfilmaan terbesar di dunia memiliki kecenderungan untuk mengangkat tema-tema tentang kemenangan dan ke-positif-an Amerika Serikat, yang digambarkan melalui kelompok ras kulit putih.
5
Dari uraian di atas peneliti dapat merumuskan sebuah judul penelitian yaitu RASISME dalam FILM PRODUKSI AMERIKA (Analisis Semiotik dalam Film Freedom Writer Karya Richard LaGravenese). B. Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana makna rasisme yang terdapat dalam film ―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui makna rasisme yang digambarkan dalam film ―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan tambahan keilmuan bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian sejenis, khususnya pada kosentrasi Audio Visual tentang penggunaan media massa film sebagai penyampaian pesan karena film selalu bertautan dengan nilai budaya dalam masyarakat. E. Tinjauan Pustaka E.1. Mitos Ras superrior Mitos tentang unggulnya salaha stu ras manusia disbanding dengan ras yang lainnya muncul ketika pada tahun 1871 Darwin menerbitkan bukunya yang berjudul The Descent of Man. Dalam buku ini ia menyatakan bahwa manusia berevolusi dari makhluk mirip kera. Darwin tak dapat memberikan bukti apapun yang mendukung klaimnya selain membuat sejumlah skenario 6
khayalan. Darwin memiliki sebuah pemikiran bahwa sejumlah ras berevolusi lebih cepat dan, karenanya, lebih maju dari yang lain; sedangkan ras-ras lain dianggapnya masih setingkat dengan kera (Gramsci,1971:128). Menurut Darwin, ras pilihan adalah ‗bangsa kulit putih Eropa‘, sedangkan Ras Asia atau Afrika gagal dalam perjuangan mempertahankan hidup. Darwin melangkah lebih jauh, bahkan mengatakan bahwa ras-ras ini akhirnya akan dihapuskan sama sekali. Ia meyakini bangsa kulit putih pertama-tama akan memperbudak, dan kemudian memusnahkan ras-ras kelas rendah. Gagasan Darwin mendapat sambutan baik dari bangsa kulit putih yang sedang mencari teori untuk membenarkan tindakan mereka di masa itu seperti ketika. Sejak abad keenam belas, Eropa mulai menjajah berbagai belahan dunia. Penjajah pertama adalah bangsa Spanyol di bawah pimpinan Christopher Columbus. Dalam waktu singkat, penjajah Spanyol menyerbu Amerika Selatan. Mereka memperbudak penduduk asli, yaitu suku Indian berkulit merah yang termasuk dalam ras mongoloid yang sebelumnya hidup damai. E.2. Rasisme Dan Media Massa Menurut George M Fredickson (2005:3) istilah ―rasisme‖ sering digunakan secara longgar dan tanpa banyak pertimbangan untuk melukiskan permusuhan dan perasaan negatif suatu kelompok etnis atau ―masyarakat‖ terhadap kelompok lain, serta sebagai tindakan yang dihasilkan dari sikapsikap itu. ―Rasisme‖ adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia 7
menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur yang lainnya. Rasisme merupakan salah satu bentuk khusus yang memfokuskan diri pada variasi fisik di antara manusia. Rasisme juga dapat diartikan sebagai suatu kompleks keyakinan bahwa subspecies dari manusia lebih rendah daripada subspecies yang lain. Pembendaan antara yang superior dan inferior tersebut memiliki tujuan tertentu misalnya untuk menciptakan sebuah ideologi budaya. Media massa merupakan kependekkan dari media komunikasi massa memiliki pengertian sebagai sarana yang digunakan oleh komunikator dalam proses komunikasi massa. Menurut Maletzke (dalam Effendy, 2003: 27-28) ada dua definisi komunikasi massa yaitu: 1. Komunikasi
massa diartikan setiap
bentuk
komunikasi
yang
menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar 2. Komunikasi massa dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komunikasi agar supaya komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama pada semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat 8
Salah satu fungsi dari media massa adalah mendorong kohesi sosial. Kohesi yang dimaksud disini adalah penyatuan. Artinya, media massa mendorong masyarakat untuk bersatu. Jika media itu mampu meliput informasinya dengan teknik cover both sides (meliput dua sisi yang berbeda secara seimbang), maka media massa tersebut secara tidak langsung berperan dalam mewujudkan kohesi sosial. Namun pada kenyataannya media massa sering kali berpihak dalam menyampaikan pesan-pesan kepada komunikan dalam hal ini publik. hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi kelompok masyarakat yang memang saling memiliki prasangka negatif. Misalnya saja penempatan perempuan dalam wilayah domestik pada iklan-iklan televisi, hal ini yang kemudian memunculkan kritik di kalangan feminis. Mitos tentang keunggulan ras kulit putih tidak hanya menyebar dari mulut ke mulut, tetapi melalui media massa posisi ras kulit putih juga dikonstruksikan sebagai ras yang paling unggul. Iklan yang merupakan produk media massa juga dianggap rasis ketika pada massa Victoria sekitar tahun 1884 muncul sebuah iklan sabun mandi merk Imperial Leather. Iklan sabun mandi pada mulanya merupakan representasi dari kemewahan, sehingga dimaksudkan bagi orang kelas menengah. Iklan sabun juga muncul dan terasialkan bersama keterpesonaan terhadap kulit putih dan ke-putih-an yang juga secara tidak terelakkan berkaitan dengan putih sebagai ras (Aquarini, 2003:37). Mc Clintock (dalam Aquarini, 2003:38) membahas bahwa iklan sabun pada awalnya begantung pada kebudayaan yang imperial (imperial culture) 9
dan alam yang terjajah (colonialised nature) sebagai dikotomi hitam/putih. Iklan sabun dianggap mengkomodifikasi rasisme sedemikian rupa sehingga rasisme merangkul setiap produk kebutuhan rumah tangga dengan kedigdayaan yang bersinar atas kemewahan imperial dan potemsi rasial. Sabun sebagaimana dikatakan Mc Clintock adalah rasisme komoditas sedemikian sehingga sabun lebih dari sekedar komoditas sehari-hari merupakan agen ideologis rasisme dan superioritas kulit putih. E.3. Film Sebagai Media Representasi Ras Film merupakan salah satu bentuk komunikasi massa modern yang kedua muncul di dunia (Sobur,2004:126). Film adalah bentuk komunikasi massa elektronik yang berupa media audio visual. Dalam banyak penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Artinya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tanpa berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat,
kemudian
memproyeksikannya
ke
atas
layar
(Irawanto,1999:13). Sebagai media dokumentasi sejarah, film terkadang tidak hanya merefleksikan
sebuah
peristiwa
ke
atas
layar.
Namun
film
juga
merepresentasikan kejadian di masa lampau tersebut. Hal ini dikarenakan film tidak dibuat oleh seorang sejarahwan melainkan oleh seorang sineas yang juga 10
memiliki latar ideologi sendiri dalam mengkonstruksikan dan menggambarkan sebuah peristiwa. Seperti yang dikatakan Turner bahwa bagaimanapun film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya (Irawanto, 1999:16). Film yang dibuat oleh seorang komunis tentu akan berbeda dengan film yang dibuat oleh seorang nasionalis, film yang dibuat oleh orang-orang kulit putih di Amerika tentu akan berbeda dengan film-film karya orang-orang kulit hitam karena masing-masing dari mereka memiliki sejarah dan ideologi yang mempengaruhi ruang imajinasinya ketika mengkonstruksikan setiap peristiwa dalam film. Secara ringkas, film sebagai media komunikasi massa membentuk pandangan dunia dari orang - orang di sekelilingnya. Didalamnya termasuk media film yang begitu sarat dengan muatan ideologis dari sang komunikatornya. Dengan demikian film merupakan obyek yang potensial untuk dikaji khususnya dalam kerangka komunikasi massa yang sarat dengan muatan pesan baik yang nampak maupun yang tersembunyi. Perbedaan kelas antara ras kulit putih dengan lainnya ternyata tidak hanya dipresentasikan dalam iklan, tetapi juga dalam film. Pada tahun 1970an muncul film Tintin yang sangat popular yang menggambarkan kepahlawanan orang kulit putih terhadap orang kulit hitam (Indian), ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah, dan masih banyak lagi filmfilm yang mengkotak-kotakan peran manusia berdasarkan ras mereka.
11
E.4. Hegemoni Ras Kulit Putih Dalam Perfilman Amerika Bagi Gramsci, hegemoni berarti situasi dimana suatu ‗blok historis‘ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekeuatan,dan terlebih lagi dengan konsensus. Suatu blok hegemoni tidak pernah terdiri dari kategori sosial-ekonomi tunggal, namun dibentuk melalui serangkaian aliansi dimana suatu kelompok berposisi sebagai pemimpin. Ideologi memainkan peran krusial dalam membiarkan aliansi kelompok ini(awalnya dikonsepsikan dalam terminologi kelas)menanggalkan kepentingan sempit usaha-ekonomi dan mengutamakan kepentingan ‗nasionalis-populer‘. Jadi,‘suatu kesatuan soaial-budaya‘diperoleh ‗melalui aneka ragam kehendak,yang tujuan heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke dalam satu tujuan tunggal, sebagau
basis
suatu
konsepsi
tentang
dunia
yang
adil
dan
alamiah(Gramsci,1971:349). Hegemoni secara konstan disesuaikan dan direnegosiasikan.Gramsci mengatakan bahwa hegemoni tidak dapat didapat begitu saja. Pada fase pasca revolusioner (ketika kelas pekerja telah mendapatkan kontrol) fungsi kepemimpinan hegemik tidak hilang tetapi merubah karakternya.Namun, Gramsci menyebutkan dua mode berbeda kontrol sosial:
a. kontrol koersif : termanifestasi melalui kekuatan langsung atau ancaman (dibutuhkan
oleh
sebuah
kepemimpinan
ketika
kepemimpinan
hegemonik rendah atau lemah) 12
b. kontrol konsesual : muncul ketika individu secara seukarela berasimilasi dengan pandangan dari kelompok yang mendominasi (kepimimpinan hegemonik)
Peran serta Amerika dalam sejarah perfilman dunia dimulai pada tahun 1894 ketika seoranga warga kulit putih Amerika Woodville Latham beserta dua anaknya Otway dan Gray mengembangkan teknologi kamera dan proyektor. Pada
1905 Amerika memulai industri perfilmannya dengan
munculnya teater lokal, di tahun ini pula Nickelodeon mulai menampilkan film-filmnya.
Tahun
1905-1907
Nickelodeon
berkembang
melalui
pertunjukkan di bioskop dengan memutar film-film pendek yang berdurasi 15 menit. Nickelodeon mampu menghasilkan 3 program berbeda tiap minggu yang berarti sama dengan 450 judul tiap tahun. Tetapi disaat yang sama Amerika masih tetap megimpor film dari luar negeri. Dalam waktu yang tidak jauh berselang muncul beberapa production house yang kemudian merajai perfilman Amerika seperti MGM Film (Metro Goldwyn Mayer), Paramount Picture, Warner Bross, Miramax, 20th Century Fox, Columbia Picture, Fox Searchlight, dan lain sebagainya (http://www.filmalloy.de/feed/492/) Sejak awal Amerika punya kesadaran untuk menciptakan produk hiburan yang bisa dinikmati siapa saja. Yaitu dengan daerah yang diciptakan sebagai pembuatan film daerah yang biasa disebut Hollywood. Suburb Hollywood adalah sebuah daerah dimana menjadi tempat berkumpulnya pendirian studio-studio yang berada di New Jersey, Florida, Chicago dan Philadelphia. Seiring berjalannya waktu Hollywood kemudian menjadi ikon 13
perfilman Amerika. Film-film Hollywood memiliki ciri khas yaitu tema-tema yang mereka angkat adalah tema-tema kepahlawanan, romantisme dan peperangan dengan setting megah dan endingnya mudah ditebak. Academy Awards, yang lebih dikenal sebagai Oscar merupakan bukti sejarah yang tidak dapat terelakkan bahwa dalam industri perfilman Hollywood, kulit putihlah yang menguasai segalanya. Ajang penghargaan film di Amerika yang memulai masa kejayaannya sejak tahun 1940an ini mencatat nama-nama sutradara dan karya mereka yang didominasi oleh orang-orang kulit putih. Masa jaya Oscar yang sebenarnya dimulai awal tahun 40an hingga akhir tahun 50an, ketika pemenang piala dipenuhi nama-nama ‗filmmaker‘ tenar seperti Elia Kazan, Billy Wilder, John Ford atau William Wyler. Era 40 dan 50an menyajikan film yang memiliki ciri khas dengan jalan cerita linear, dengan motivasi tokoh utama yang tak tergoyahkan, dipenuhi karakterkarakter kuat (jiwa dan raga) dengan susunan adegan yang menyajikan solidisitas cerita kuat. Era New Hollywood kemudian dibuka pada tahun 60an oleh para pendatang muda, yang bersama pergantian zaman menamai diri mereka ‗director‘, istilah filmmaker nyaris tidak pernah digunakan lagi dalam industri dan telah menyempurnakan teknik film mereka di Eropa. Nama-nama besar dari zaman ini menghiasi Oscar selama puluhan tahun berikutnya, sebut saja mulai dari Steven Spielberg, Martin Scorsese, Woody Allen, Francis Ford Coppola dan Peter Bogdanovich. Era New Hollywood melahirkan banyak sutradara-sutradara alternatif yang memanfaatkan teknologi film warna zaman 14
itu, mematikan film Golden Age dan musical. Untuk bangkit Hollywood membutuhkan sesuatu yang baru, film seperti The Graduate dan Bonnie and Clyde langsung mendapat penghargaan Oscar. Di tahun 70-80an nama-nama tersebut masih menguasai perfilman Hollywood dengan dengan ciri khasnya yang menyabet penghargaan di ajang Academy Award. Selain ke-khas-an pada tema-temanya, film produksi Amerika juga cenderung menempatkan orang-orang kulit putih dalam peran-peran protagonis yang memiliki karakter penuh dengan kepositifan, sedangkan orang-orang di luar ras kulit putih ditempatkan dalam peran-peran antagonis atau hanya sekedar sebagai peran pembantu. Film-film tersebut antara lain adalah film seri ―Tintin‖ yang diputar pada tahun 1970an, ―Just Cause‖ yang bercerita tentang pembunuhan wanita kulit putih oleh seorang ras kulit hitam, dan film box office ―Avatar‖ yang berkisah tentang kepahlawanan Marinir AS dalam menolong alien ras kulit biru yang lemah. Berbagai prasangka pun muncul seiring dengan kecenderungankecenderungan tersebut di atas yang tergambar dalam film-film produksi Amerika. Salah satu prasangka yang muncul adalah adanya hegemoni yang disebabkan kepemilikan rumah-rumah produksi di Hollywood oleh orangorang ras kulit putih terhadap content film-film Amerika. Sebagaimana yang dikutip dari http://kajianzionisme.multiply.com/journal/item/16 disebutkan bahwa para petinggi rumah produksi di Hollywood semmuanya adalah orangorang ras kulit putih, berikut nama-nama pejabat rumah produksi terbesar Hollywood: 15
1. Sandy Krushow, Ketua Fox Entertaiment 2. Barry Meyer, Ketua Warner Bros 3. Sherry Lansing. Presiden Komunikasi Paramount dan Ketua Paramount Pictures Grup Motion 4. Harvey Weinstein, CEO. Miramax Films. 5. Barry Diller, Ketua Amerika Serikat Interaktif, bekas pemilik Universal Entertaiment 6. Terry Semel, CEO, Yahoo dan Warner Bros. 7. Gail Berman, Presiden Fox Entertainment. 8. Stephen Spielberg, co-pemilik Dreamworks. 9. Jeffrey Katzenberg, co-pemilik Dreamworks 10. Jordan Levin, presiden Warner Bros Entertainment 11.
Howard Stringer, Kepala Sony Corp of America
12. Amy Pascal, Ketua Columbia Pictures. Entah memiliki hubungan secara langsung atau tidak mengenai keberadaan orang-orang kulit di balik industri perfilman Amerika dengan kecenderungan tema-tema dan penempatan peran dalam film-filmnya. Data di atas sudah cukup membuktikan bahwa orang-orang kulit purih memang menempati level yang tinggi dalm industri perfilman Amerika.
E.5. Politik Identitas Berbasis Ras Di Amerika Jean Baudrillard dalam Abdilah (2002:28) menyangsikan adanya suatu identitas yang pasti pada suatu subjek yang selama ini melekat ada 16
(orisinalitasnya) karena semuanya telah mengalami peristiwa dekonstruksi. Namun sebuah identitas dapat ditelusuri melalui suatu kajian psikologi yang disebut dengan te ori identifikasi. Teori identifikasi tersebut dikembangkan oleh Sigmund Freud dari ajarannya yang disebut dengan Psikoanalisa. Teori dari Sigmund Freud tentang penelusuran identitas kemudian disempurnakan oleh Erik Homburger Erikson yang juga seorang psikoanalisis. Dalam teorinya Erik lebih berbicara tentang formasi identitas dalam proses perkembangan
dari
anak-anak
menjelang
tua.
Tulisan-tulisan
Erik
menggambarkan tentang pertumbuhan konfigurasi perkembangan sosial dan psikologis dengan pembentukan identitas melalui perputaran siklus hidup manusia. Erikson dalam Abdilah (2002:38) menekankan bahwa identitas itu merupakan ―proses yang terjadi‖ secara bertahap pada inti individu meskipun juga dalam inti kebudayaannya pula, sebenarnya merupakan proses pendirian identitas dari kedua identitas ini. Erikson menggambarkan bahwa sebenarnya identitas ego tidak terlepas dari pengaruh hubungan sosial dan sejarah. Sejarah kehidupan pribadi seseorang juga terjalin erat dengan sejarah pada umumnya. Abdilah (2002:41) menyebutkan pengamanan terhadap identitas individual merupakan bentuk usaha yang inheren dalam setiap individu dan tidak akan membiarkannya dicampuri atau di reduksi orang lain. Dalm konetks inilah terjadinya suatu bentuk pemujaan terhadap identitas dasar kelompok etnis. Bahwa etnisitas telah menjadi sentimen ―ego‖, ―saya‖ (dalam konsep Fromm) yang hidup kembali, aktif menjadi penggerak individu17
individu dan kelompok yang membentuk kesadaran kolektif budaya dan politik Isaac dalam Abdilah (2002:41). Hellner dalam Abdilah (2002:41) menyebutkan bahwa politik identitas yang sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikam oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang, sebagai contoh adalah politik ras dan politik jender. Biopolitik merupakan suatu bentuk kritik terhadap konsep sejarah politik dan sosiologi seperti pandangan superioritas dan inferioritas satu ras atas yang lain atau yang disebut sebagai rasisme. Menurut buku Garis Besar Sejarah Amerika yang diterbitkan oleh Badan Penerangan Amerika Serikat (United States Information Agency) halaman 246-247 menerangkan bahwa dalam sensus penduduk resmi pertama Amerika pada tahun 1970 terdapat sebanyak 3.929.214 jiwa yang setengah penduduk dari 13 negara bagian asli adalah keturunan inggris, sisanya adalah keturunan Skotlandia, Irlandia, Jerman, Belanda, Perancis, Swedia Wales dan Finlandia. Seperlima penduduk lainnya adalah orang-orang Afrika yang diperbudak. Pada tahun 1840-an berjuta-juta imigran masuk lagi ke Amerika akibat menjalarnya penyakit kentang di Irlandia dan revolusi yang terus berlanjut di Jerman. Gelombang imigran terus berdatangan sampai pada abad ke dua puluh mayoritas imigran yang datang bukan lagi mereka yang berasal dari Inggris, tetapi mereka berasal dari Amerika Latin dan Asia. Mereka berimigran dengan alasan yang sama yaitu kesempatan dan kebebasan. Pada penutup buku ini disebutkan pula bahwa menurut pengamat politik Ben 18
Wattenburg, Amerika Serikat merupakan negara yang disebut sebagai negara universal pertama di dunia dengan penduduk sebanyak hampir 250 juta jiwa yang mewakili nyaris semua kebangsaan dan kelompok etnis di dunia. Di semua Negara bagian di Amerika Serikat terdapat berbagai macam ras dalam kehidupan masyarakatnya seperti yang tergambar dalam film Freedom Writer yang bersetting di Negara bagian California, Amerika. Namun menurut Thomas Well dalam bukunya Mosaik Amerika, ras terbesar di Amerika Serikat ada 4 macam. Ke empat ras tersebut adalah sebagai berikut: 1. Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs) Warga kulit putih atau White Anglo Saxon Protestant (WASPs) adalah sebuah tradisi atau bahkan bisa disebut ideologi tentang siapa yang seharusnya menjadi penguasa Amerika Serikat. Pada awalnya tradisi ini diperkenalkan oleh orang-orang Inggris yang merasa dirinya superior. Karena merekalah yang pertama masuk ke Amerika Serikat dan Membangun Amerika dengan pengetahuan dan ketrampilan tertentu dengan orientasi kerja dalam berbagai bidang ekonomi dan politik. Keyakinan tersebut juga didorong oleh moralitas agama protestan yang diasumsikan sebagai agama yang paling kuat mendorong orang bekerja lebih produktif (Liliweri, 2005:116). Warga kulit putih cenderung tidak disukai atau dianggap tidak baik oleh berbagai ras yang ada karena perbuatan mereka pada jaman dahulu hingga sekarang. Menurut Killian warga kulit hitam diketahui 19
memiliki prasangka buruk kepada warga kulit putih dikarenakan perlakuan warga kulit putih pada jaman perbudakan Amerika Selatan terhadap warga kulit hitam. 2. Warga kulit hitam atau Africans-Americans Warga kulit hitam adalah kelompok etnik pertama dari benua Afrika yang dijadikan budak oleh orang-orang Spanyol dalam eksplorasi ke dunia baru Amerika, sejak tahun 1619 sampai akhir abad ke-18. Jumlah warga kulit hitam di AS diperkirakan 10 juta orang yang tinggal di bagian barat benua.masalah umum yang dihadapi warga kulit hitam adalah pendapatan mereka yang rendah, kemiskinan, dan diskriminasi oleh orang-orang kulit putih di berbagai sendi kehidupan sosial (Liliweri, 2005:116). Warga kulit hitam seringkali tidak disukai atau dianggap negatif oleh warga kulit putih karena mereka dulu menjadi budak warga kulit putih. namun seiring dengan kemajuan jaman, keberadaan warga kulit hitam juga terus maju. Hal tersebut dianggap sebagai keaadaan yang mengancam warga kulit putih. 3. Warga Asia yang tinggal di Amerika atau Asian-Americans Adalah warga Asia yang tinggal di Amerika atau yang biasa disebut Asian-Americans. Mereka adalah orang Amerika dengan subkultur Asia. Jumlah waraga Asian-Americans adalah sekitar 4% dari warga Amerika. Mayoritas dari mereka berasal dari Cina dan Jepang, di
20
samping imigran dari Filipina, Korea, Kamboja dan yang terakhir dari Vietnam (Liliweri, 2005:117). Warga Amerika-Asia kurang disukai keberadaannya, karena sejak pertama kali datang ke Amerika kedatangan mereka dianggap merusak standar buruh yang ada. Warga dari ras lain sering menganggap warga Amerika-Asia sebagai orang-orang yang serakah. Bahkan di Merika sempat memiliki peraturan yang melarang kedatangan warga Asia ke Amerika 4. Warga Hispanic-Americans Adalah warga yang mewakili tiga budaya sekaligus yaitu Meksiko, Puerto Rico dan Cuba. Jumlah keturunan Amerika Hispanik diperkirakan mencapai 12% dari penduduk AS. Prosentase ini cenderung meningkat karena imigrasi dan tingkat kelahiran yang tinggi (Liliweri, 2005:118). Warga Amerika-Hispanik diantipati oleh berbagai ras di Amerika karena keberadaan mereka yang seringkali menyebabkan keresahan karena tindakan anarkis yang mereka lakukan pada masa lalu di Los Angeles. Prasangka berkembang luas di negara multi ras karena perbedaan latar belakang budaya dan kejadian pada masa lampau membuat seseorang mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang lain ketika melihat sesuatu yang dirasa tidak biasa. Di negara Amerika sendiri prasangka sering kali muncul mengingat Amerika merupakan satu-satunya negara yang 21
memiliki keanekaragaman ras terbesar di dalamnya. Dalam presangka, emosi sering kali memaksa seseorang untuk berpikir secara subyektif dan tidak melihat realita serta fakta yang terjadi. Sehingga sekali prasangka sudah mencekam pikiran seseorang, maka orang tersebut tidak akan bisa berfikir obyektif dan segala apa yang dilihatnya selalu akan dinilai secara negatif (Liliweri, 2005:200) E.6. Neo-Kolonialisme oleh Ras Kulit Putih Peristiwa kolonialisme akan selalu menyisakan kompleksitas ekses yang berkepanjangan
pada
masa
selepas
kolonialisme.
Poskolonial
atau
pascakolonial itu sendiri berarti masa selepas kolonial, dan pada saat yang sama kata post atau pasca selalu berada dalam keterkaitan dengan kolonialisme (Budianta, 2004:61). Sebagai bagian dari wacana kolonial, bangsa, etnis, ras ataupun kelas sosial dalam suatu komunitas masyarakat yang pernah terjajah mempunyai kecenderungan untuk selalu dimarginalkan, dipinggirkan, diasingkan, dibaca, serta dikendalikan, oleh kaum imperialis penjajah dan keturunan anak cucu kolonial. Di saat yang sama kaum yang pernah terjajah berpersepsi bahwa kaum penjajah adalah kaum yang kuat, hebat, makmur, kaya, pintar, dan sebagainya yang dapat menjanjikan kemampuan untuk mengubah keterpurukan-kemiskinan hidup seseorang, dengan syarat apabila Sang Terjajah rela ―dibaca dan dikendalikan, bersimpuh dan berpihak‖ kepada Sang Penjajah
22
Dalam pemaknaan tesktual yang dimaksud dengan neo kolonialisme adalah bentuk penjajahan baru. Penjajahan ini berbeda dengan penjajahan model lama, bahwa suatu bangsa menguasai langsung terhadap negara jajahan, seperti Inggeris yang menguasai India dan kawasan Asia lainnya, serta Belanda menguasai Indonesia. Untuk membedakan bagaimana tipologi jajahan, Sukarno membedakan antara ―finanz capital ― dan ―handelz capital‖. Untuk tipologi pertama, negara jajahan adalah tempat pengambilan sumbersumber alam untuk keperluan industri negara penjajah, dan tempat pemasaran hasil industry. Tipologi ini dipraktekan Belanda terhadap negara jajahan Indonesia. Sedangkan pda ―handelz capital‖ , negara jajahan hanya sebagai tempat pemasaran hasil industri, hal ini dipraktekan Inggeris dengan negara jajahannya. Ronald H. Chilote (57:2003) juga berpendapat bahwa neo kolonialisme adalah suatu strategi dalam tahapan imperialism setelah berkhirnya Perang Dunia II. Ciri-cirinya adalah monopoli dan munculnya suatu system internasional korporasi. Korporasi sejagat sedang menghantarkan suatu perekonomian dunia yang sejati dalam sebuah pusat perbelanjaan dunia‖. Sejalan dengan pendapat di atas, untuk mendorong adanya perluasan pasar bebas (liberalisasi) atau globalisasi isu yang dikembangkan pun berubah tidak sekedar
―modernisasi‖
tetapi
meluas
dalam
beragam
isu,
seperti
demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), penegakan hukum (law enforcement), pemerintahan yang bersih (good government), dan lingkungan hidup (environment). Isu-isu tersebut menjadi alat untuk memaksakan 23
kehendak terhadap negara berkembang. Apabila, suatu rezim menentang atau tidak mematuhi, maka tidak segan-segan kekuatan neo kolonialis akan mengganti suatu rezim sebelumnya dengan rezim yang baru, baik langsung ataupun tidak langsung. Fenomena kolonialisme pada masa sekarang atau yang biasa disebut dengan Neo-Kolonialisme atau Kolonialisme baru memang masih didominasi oleh kelompok Ras Kulit Putih yang notabene merupakan manusia-manusia Barat. Hegemoni di hampir semua bidang masih dikendalikan oleh dunia barat. Hal ini mungkin terjadi karena warisan sejarah dan mitos yang terlanjur melekat pada masyarakat dunia bahwa orang-orang Kulit Putih atau orangorang barat lah yang memiliki kuasa untuk memonopoli seluruh sendi kehidupan global. Berbagai sector kehidupan saat ini pada kenyataannya memang dikuasai oleh Barat, baik industry tekonologi, perekonomian, hiburan, gaya hidup dan lain sebagainya. E.7. Semiotika Dalam Kajian Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis strukturalis atau semiotik. Film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah mediumnya, cara pembuatannya dengan kamera, dan pertunjukannya yang menggunakan proyektor dan layar. Menurut Art Van Zoest (1993:113), ―Semiotika film untuk membuktikan hak keberadaannya- yang dalam hal-hal penting menyimpang dari sintaksis dan semantik teks dalam arti harfiah—harus memberikan perhatian khusus‖. Menurutnya, pada sintaksis dan semantik film dapat dipergunakan 24
pengertian-pengertian yang dipinjam dari ilmu bahasa dan sastra, tetapi akan merupakan metafor-metafor, jadi dengan pengertian-pengertian
yang
digunakan sebagai perbandingan-tidak perlu kita tolak. Istilah semiotik secara etimologis berasal dari kata Yunani semion yang berarti ‗tanda‘. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, dalam Alex Sobur, 2002). Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang dikomunikasikan di dunia ini. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (system tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tamda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersamasama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada 25
dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek–objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda. Analisis semiotika modern dapat dikatakan dipelopori oleh dua orang– Ferdinan de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913) dan Charles Sanders Pierce, filosof Amerika (1839-1914). Peirce menyebut sistemnya sebagai semiotika dan telah menjadi istilah dominan yang digunakan untuk ilmu tentang tanda-tanda. Istilah dan konsep semiologi dari Saussure berbeda dengan semiotika dari Peirce dalam beberapa hal, namun keduanya menaruh perhatian kepada tanda-tanda. Saussure membagi tanda menjadi dua komponen: penanda (signifier) atau ―citra suara‖ (sound image) dan penanda (signified) atau ―konsep‖ (concept), serta sarannya bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah sewenang-wenang yang merupakan titik penting dalam perkembangan semiotik. Di pihak lain Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek tanda yaitu pada dimensi ikon-indeks dan simbol-nya. Adapun menurut John Fiske ada tiga kajian utama dalam semiotik, yaitu: a.
Tanda itu sendiri. Ini terjadi atas bermacam-macam perbedaan tanda. Banyak
cara
untuk
memberikan
pemaknaan
dan
cara
yang
menghubungkan manusia yang menggunakannya.
26
b.
Kode-kode atau sistem-sistem pada tanda-tanda yang terorganisir. Ini mencakup cara-cara dimana kode-kode dapat berkembang atau untuk menemukan keinginan atau kepentingan masyarakat atau individu atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia.
c.
Budaya dimana kode-kode dan tanda-tanda yang beroperasi. Ini tergantunng pada
penggunaan
untuk
masing-masing bentuk
dan
keberadaan. Secara substansial, semiotik adalah kajian yang concern dengan dunia simbol, sebab pada dasarnya isi media massa adalah bahasa, sementara bahasa merupakan dunia simbolik. Adapun simbol itu bisa berupa bahasa verbal seperti: ucapan, dan bahasa non verbal yang meliputi: gesture, yang berasal dari indra manusia maupun dari tanda-tanda yang menjadi struktur pesan dalam media yang dapat dimaknakan secara denotatif maupun konotatif. Pendekatan terhadap tanda-tanda dibagi menjadi:
a. Penanda dan petanda Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari konsep dan citra suara (sound image), kombinasi yang tidak dapat dipisahkan. Penanda (signifiant)adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda (signified) adalah gambaran mental, yakni pikiran atau konsep (aspek mental) dari bahasa (Kurniawan, 2001).
27
Tanda (sign) yang kita temui di pada berbagai macam ruang, media, atau karya tidak akan lepas dari dua unsur yang membentuknya, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda merupakan aspek material tanda yang bersifat sensoris atau dapat diindrai (sensible). Substansi penanda senantiasa berwujud material baik berupa bunyi-bunyi, objek-objek, imaji-imaji, dan sebagainya. Sementara itu, petanda merupakan aspek mental dari tanda-tanda, atau seringkali disebut sebagai ―konsep‖, yakni konsep-konsep ideasional yang bercokol di dalam benak penutur. Keberadaan petanda tidak bersifat fisik, melainkan berupa hasil pikiran tertentu, suatu sosok di dalam mimpi, atau mungkin makhluk khayali, maka petanda adalah semata-mata sebuah representasi mental dari ―apa yang diacunya‖ (Kris Budiman, 2003: 47). Kedua elemen tanda ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sehingga kebergantungan antara satu dengan yang lain menjadikan: penanda tidak akan ada tanpa petanda, dan petanda tidak akan ada tanpa penanda. Dan apabila tidak ada penanda atau petanda, maka tidak akan ada tanda. b. Ikon, Indeks dan Simbol Charles Sanders Peirce, seorang filsuf dan pemikir Amerika menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberdaanya memiliki hubungan sebab akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan 28
sebab akibat, simbol untuk asosiasi konvensional. Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objek. Adapun konsep makna tanda dibagi menjadi: Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, tanda disebut sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaanya berkaitan dengan objek individual, tanda adalah sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai sebagai akibat dari suatu kebiasaan, tanda disebut sebuah simbol (Alex Sobur, 2003). c. Konotasi, Denotasi dan Mitos Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Fokus perhatian Roland Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar berikut ini: Gambar 1.1 Signifikasi Dua Tahap Barthes
Deno tation
Conn otatio n
29 Myth
Sumber : John Fiske, 1990:122
Barthes menyebut denotasi sebagai makna paling nyata dari tanda. Pada level ini tanda dimaknai sebagimana adanya. Denotasi berarti hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung , yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Denotasi juga merupakan makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu diluar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu secara obyektif (Sobur, 2003:263) Pada level konotasi, tanda dimaknai menurut makna tambahannya (konotasi). Menurut Barthes konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung pada saat tanda bertemu dengan emosi para penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya (Fiske, 1990:118). Konotasi sebagian besar bersifat arbriter dan spesifik pada kultur tertentu. Konotasi bersifat ekspresif , lebih mengutamakan pengalaman subyektif dari pada unsure obyektif. Konotasi merupakan cara yang penting dimana encoder mentransmisikan emosi, perasaan, atau penilaian mereka mengenai pesan dalam teks. Ketika tanda lebih mengandung makna cultural daripada makna representasional, maka proses signifikasi terhadap tanda melangkah pada 30
level mitos. Secara umum, mitos adalah cerita yang digunakan oleh suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang sudah mempunyai suatu redenominasi (Sobur, 2002:128). Mitos adalah suatu wahana dimana ideologi berwujud. Ideology menunjuk pada realita dimana individu maupun kelompok, secara obyektif maupun subyektif mengorientasikannya dalam dunia mereka masingmasing. Raymond William (dalam Sobur, 2001:64) menanamkan ideology sebagai himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan tertentu atau secara lebih luas, dari sebuah kelas atau kelompok tertentu. Ideology diorganisasikan kedalam kesatuan penerimaan social seperti individualisme, patriarki, ras, gender, kelas, materealisme, kapitalisme dan sebagainya. d. Sintagmatik dan Paradigmatik Segala sesuatu yang ada di dalam sebuah sistem tanda didasarkan atas relasi-relasi. Relasi ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik merujuk pada hubungan in prasentia antar tanda dalam suatu sistem tanda. Relasi sintagmatik disebut juga sebagai relasi linear, seperti yang dijumpai dalam hubungan antara kata dengan kata dalam sebuah kalimat. Kebalikan relasi ini adalah relasi paradigmatik. Paradigmatik merujuk pada suatu relasi in absentia yang mengaitkan sebuah tanda dalam suatu sistem tanda dengan tanda-tanda lain di luar sistem, entah berdasarkan kesamaan atau perbedaannya. 31
Misalkan dalam bahasa, hubungan kata dengan sinonim-sinonimnya atau antonim-antonimnya, atau kata-kata lain yang memiliki kesamaan bentuk dasar, bunyi dan seterusnya (Kris Budiman, 2003: 43). Menurut Claude Levi-Strauss (1967; Berger, 2000:23) menyatakan bahwa analisis paradigmatik pada teks akan menjelaskan apa yang ―sesungguhnya‖ terjadi. Berbeda dengan analisis sintagmatik yang mengemukakan makna manifes (nyata-tampak), analisis paradigmatik memperlihatkan makna laten. Analisis paradigmatik sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola
pasangan oposisi berlawanan yang
tersembunyi dan menghasilkan makna. Elemen-elemen dikeluarkan dari urutan yang terjadi dan dikelompokkan kembali dalam satu atau lebih skema analitis. Mitos terdiri dari unit dasar dan minimal, ―mythemes‖, yang dengan berbagai cara digunakan untuk menyampaikan pesan. Paradigmatik pada sebuah teks melibatkan penyelidikan pola-pola pasangan oposisi (berlawanan) yang tersembunyi dan menghasilkan makna. Pasangan berlawanan digunakan oleh kaum strukturalis sebagai dasar berfikir manusia dalam memproduksi makna, seperti penelitian yang dilakukan oleh Budi Irawanto dalam mempertentangkan karakter sipil dan militer dalam bukunya yang berjudul ―Film, Ideologi dan Militer‖. Claude Levi Strauss, seorang antropolog Perancis terkenal, mengemukakan bahwa analisis sintagmatik teks memperlihatkan makna yang manifest (nyatanampak) dan analisis paradigmatik teks memperlihatkan makna yang laten. 32
e. Metafora dan metonimia Metonimia mencakup relasi bagian dan keseluruhan, artinya ―bagian‖ dari sesuatu digunakan untuk merujuk keseluruhan dari sesuatu tersebut. Contohnya pada ―tangan‖ digunakan untuk merujuk kata pekerja keras. Metonimia menggambarkan tubuh dari pekerja tersebut yaitu tangan yang paling relevan dengan kegiatannya sebagai seorang pekerja. Sedangkan metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan, misalnya kaki gunung, kaki meja, berdasarkan kias pada kaki manusia. Metonimia adalah pemakaian nama untuk benda lain yang berasosiasi atau menjadi atributnya misalnya si kaca mata digunakan untuk menyebut orang yang sedang memakai kacamata. Perbedaan antara metafora dan metonimia dapat terlihat dari ada tidaknya pengalihan konsep antar ranah. Pada metafora terlihat jelas adanya pengalihan konsep ranah secara keseluruhan. Namun pada metonimia tidak terlihat adanya pengalihan konsep ranah. Oleh sebab itu dalam bidang linguistik metonimia dinyatakan berbeda tetapi terkadang dapat saling melengkapi.
F. Metode Penelitian F.1. Pendekatan Penelitian Pendekatan dari penelitian ini adalah kualitatif dengan tipe penelitian interpretatif dimaksudkan untuk menginterpretasikan gambaran dan pemahaman mengenai rasisme yang terdapat dalam film ―Freedom 33
Writer‖. Sedangkan metode yang digunakan mengacu pada teknik analisa semiotika Roland Barthes.
F.2. Obyek Penelitian Objek penelitian ini adalah film ―Freedom Writer‖ karya Richard LaGravenese yang berdurasi 1:58 menit dan difokuskan pada scene-scene yang diduga menyimpan muatan rasisme. F.3. Unit Analis Data Unit analisa dalam penelitian ini adalah scene, namun tidak smua scene yang terdapat dalam film ini yang akan diteleti, namun hanya beberapa scene yang diduga menyimpan makna rasisme. Selain scene, unit analisa dalam penelitian ini juga akan diambil dari dialog, setting dan beberapa karakter penokohan yang terdapat dalam film ―Freedom Writer‖ F.4. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui dua cara: 1. Data Primer, dengan teknik pengumpulan data dan dokumentasi yaitu memutar dan menyaksikan film ―Freedom Writer‖, kemudian melakukan pemilihan scene yang sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas. 2. Data Sekunder, dengan berbagai kepustakaan yang ada baik buku, majalah, internet, maupun bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan permasalahan guna menunjang kelanjutan data. 34
F.5. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik semiotika yaitu dengan menggunakan teori semiotika dari Roland Barthes. Pertama data dikumpulkan dengan cara mengamati secara keseluruhan obyek yang akan diteliti dalam hal ini beberapa scene dalam film ―Freedom Writer‖, dengan cara membaca dan menganalisanya kemudian mengelompokkan makna-makna yang ada baik makna denotasi maupun konotasinya. Untuk mempermudah mengidentifikasi makna yang tersembunyi dibalik scene-scene tersebut serta mengetahui bagaimana makna konotatifnya dikonstruksi, maka peneliti menggunakan peta tentang bagaimana tanda-tanda tersebut bekerja milik Roland Barthes, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1.1 Table semiotika Roland Barthes 1. signifier (penanda)
2.signified (petanda)
3. Denotative sign ( tanda denotatif) 4. connotative signifier (penanda konotatif)
5. connotative signified (petanda konotatif)
6. connotative sign (tanda konotatif) (Sumber: Alex Sobur : Semiotika Komunikasi 2006:69) Peta Tanda Roland Barthes. 35
Peta tentang tanda-tanda tersebut diatas dapat dideskrpsikan secara ringkas sebagai berikut: 1. Mengamati secara keseluruhan obyek penelitian. Kemudian membuat deskripsi secara keseluruhan tentang film. 2. Melakukan pemotongan-pemotongan gambar, pemilihan adegan berdasarkan fokus penelitian dan disimpan dalam format JPEG 3. Melakukan identifikasi penanda dan petanda denotatifnya, serta kemudian menganalisa makna denotatifnya 4.
Dari data yang diperoleh pada langkah ke 3, kemudian mencari
penanda
dan
petanda
konotatifnya,
serta
mencari
kemungkinan-kemungkinan makna konotatif dari sebuah tanda yang ada pada obyek penelitian. 5.
Mendeskripsikan secara detail tentang hasil dari identifikasi dat yang berupa gambar yang telah dibuat berdasarkan struktur penandaan dan makna yang ada di dalamnya.
36