BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pariwisata kegiatan yang dinamis yang melibatkan banyak manusia serta menghidupkan berbagai kegiatan usaha. Jika diamati dari segala pembentuk faktor produksi seperti modal, tanah, tenaga kerja, teknologi dan manajemen, maka pariwisata dapat memberikan kontribusi yang signifikan sebagai katalisator dalam mengembangkan pembangunan (agent of development) dan pemerataan pendapatan masyarakat (re-distribution of income).1 Aspek yang memberikan perhatian paling besar dalam pembangunan pariwisata adalah aspek ekonomi. Berkaitan dengan hal tersebut, pariwisata dapat dikatakan sebagai suatu industri bahkan kegiatan pariwisata dikatakan sebagai kegiatan bisnis yang berorientasi dalam penyediaan jasa yang dibutuhkan wisatawan seperti accomodation.2 World Tourism Organization (selanjutnya disebut WTO) dalam perkiraan yang dikeluarkan tahun 1977 mencatat, bahwa pada tahun 1995 arus wisatawan mancanegara mencapai 564 juta orang, maka ditahun 2020 wisatawan mancanegara akan mencapai 1.602 juta orang. Angka tersebut mencerminkan peningkatan mendekati 3 kali lipat dalam kurun waktu 25 tahun, atau pertumbuhan rata-rata 4,3% per tahun.3 Pariwisata sudah diakui sebagai industri
1
Oka A. Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 2. 2
Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung,
h.17-18. 3
Andi Mappi Sammeng, 2001, Cakrawala Pariwisata, Balai Pustaka, Jakarta, h. 26
1
2
terbesar di abad ini dan menjadi salah satu sektor andalan di dalam pembangunan di bidang ekonomi berbagai Negara. 4 Perdagangan jasa internasional saat ini semakin menduduki posisi penting dalam perdagangan dunia. Menurut statistik yang dikeluarkan oleh WTO pada tahun 2011, transaksi perdagangan jasa telah memberikan kontribusi sebanyak 60 % dari total Gross Domestic Product (GDP) dunia. Hal tersebut merupakan salah satu bukti nyata bahwa perdagangan jasa internasional berkembang dengan pesat.5 Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat jumlah wisatawan mancanegara yang paling banyak berkunjung ke Bali selama Januari - Desember 2013 adalah wisatawan berkebangsaan Australia 826.388 orang, Cina sebanyak 387.533 orang, Jepang 208.116 orang, Malaysia 199.232 orang, Singapura 138.388 orang, New Zealand 48.749 orang, Thailand 34.728 orang. 6 Banyaknya wisatawan ke Bali tentunya diimbangi dengan jumlah hotel di berbagai kabupaten / kota di Bali seperti Kabupaten Badung yang disebut sebagai pintu gerbang pariwisata Pulau Bali. Sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia, Bali telah menjadi daerah tujuan wisata dunia yang keberadaannya sangat populer. Pariwisata merupakan lokomotif pembangunan perekonomian masyarakat di Bali. Sekitar 80 % kehidupan dari masyarakat Bali baik secara langsung maupun tidak langsung
4
I Putu Gelgel, 2009, Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi perdagangan Jasa (GATS-WTO) Implikasi Hukum dan Antisipasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 1. 5
Violetta Simatupang, 2009, Pengaturan Hukum Kepariwisataan Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 77. 6
Bali.
Parwata, 2014, Pariwisata Bali Minim Anggaran Promosi, Majalah Bali Post, Vol. 33. No.
3
bergantung pada sektor pariwisata.7 Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Provinsi Bali merupakan pemegang otoritas dan legitimasi beserta seluruh stakeholder yang berinteraksi langsung pada tataran implementatif mulai menggulirkan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan demi menjaga konsistensi yang bertujuan memberikan kontribusi bagi Bali itu sendiri. Pariwisata
salah
satu
andalan
dalam
memperoleh
devisa
bagi
pembangunan baik dalam nasional maupun daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pembangunan pariwisata di Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan sebuah inovasi yang terbaru agar nantinya dapat mempertahankan dan meningkatkan daya saing secara berkelanjutan. 8 Industri pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat untuk berusaha dan berwirausaha. Jenis usaha yang ada kaitannya dengan pariwisata tergantung dari kreativitas para pengusaha baik yang bermodal kecil maupun besar. Pariwisata merupakan gabungan dari produk barang dan produk jasa. Keduanya sangat dibutuhkan dan dihasilkan oleh industri pariwisata. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Selanjutnya disebut UU Kepariwisataan), dalam Pasal 1 angka 4 dinyatakan bahwa, “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitasnya serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah”. Oleh sebab itu pariwisata tidak terlepas dari perdagangan jasa pariwisata, seperti jasa angkutan wisata, jasa akomodasi wisata, jasa boga, jasa atraksi pariwisata, jasa pertukaran valuta asing 7
I Putu Anom dkk, 2010, Pariwisata Berkelanjutan, Dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press, Denpasar, h. 45. 8
Made Metu Dahana, 2012, Perlindungan Hukum dan Keamanan terhadap Wisatawan, Paramitha Surabaya, h. 1.
4
dan jasa pariwisata lainnya. Kondisi tersebut juga memberikan konsekuensi terhadap tumbuh cepatnya pembangunan dalam bidang pariwisata. Salah satunya adalah keberadaan pembangunan kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer). Sarana ini menjadi salah satu peluang yang sangat banyak digunakan oleh pelaku usaha jasa dan wisatawan sebagai konsumennya, baik oleh wisatawan domestik maupun wisatawan asing. Kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) memiliki kaitan yang erat dalam pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional. Dalam kegiatan perdagangan internasional, pembeli dan penjual lintas negara tentu mempunyai mata uang yang berbeda, oleh karena itu pembeli memerlukan kepemilikan atas mata uang tertentu untuk dapat melakukan transaksi jual beli. Kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) dalam hal ini bertugas sebagai perantara jual beli internasional dengan menyediakan jasa pertukaran uang asing. Peraturan Perundang-undangan yang erat kaitannya dengan kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) adalah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut UU BI), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Selanjutnya disebut UU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Selanjutnya disebut UU Perbankan), Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Selanjutnya disebut UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang), Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
5
Keuangan (Selanjutnya disebut UU OJK), Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Selanjutnya disebut dengan UU Mata Uang) Bank Indonesia melaksanakan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kegiatan usaha jasa penukaran valuta asing (money changer) diatur dalam ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/15/PBI/ 2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing bukan Bank (selanjutnya disebut PBI No. 16/15/PBI/2014). Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia tersebut, menyatakan bahwa “Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing yang selanjutnya disebut KUPVA adalah kegiatan jual dan beli Uang Kertas Asing (UKA), dan pembelian cek pelawat (traveller’s cheque)”. Pengertian pedagang valuta asing (money changer) dalam peraturan tersebut tidak sama dengan pengertian pedagang valas (trader) yang melakukan kegiatan jual beli kontrak derivatif valas berjangka atau jual beli valas melalui internet (Forex Online Tranding).9 Fungsi dari usaha penukaran valuta asing (money changer) tidak tergantikan, karena lembaga ini mudah ditemukan bagi pembeli perorangan terutama wisatawan yang sedang berkunjung ke negara lain. Kondisi tersebut mengakibatkan merebaknya peluang usaha ini di kawasan pariwisata. Dalam dunia bisnis, sering kali seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan suatu usaha karena keahlian, kemampuan atau hal-hal lain karena bidangnya, namun karena seorang tersebut tidak memiliki cukup modal awal, maka usahanya tersebut tidak dapat dilaksanakannya sesuai dengan ketentuan 9
R. Serfianto Purnomo, dkk, Pasar Uang dan Pasar Valas, 2013, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 131.
6
peraturan yang berlaku.10 Deputi Gubernur Bank Indonesia menjelaskan pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia memiliki posisi strategis bagi usaha penukaran mata uang asing. Kegiatan usaha pedagang valuta asing merupakan salah satu bagian dari jasa yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan pariwisata di pulau Bali. Maka dari itu, Bank Indonesia memberikan perhatian penuh di dalam menata industri pariwisata baik dari bisnis maupun kelembagaan agar terhindar dari penyalahgunaan. Dalam mencegah kejahatan dalam penukaran valuta asing, Bank Indonesia telah menerbitkan PBI No. 16/15/PBI/ 2014 pada 11 september 2014.11 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank, Pasal 1 angka 16 menyatakan bahwa “Usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business) adalah bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan tindak pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Terorisme”. Dalam lampiran peraturan tersebut, dinyatakan bahwa salah satu usaha yang beresiko tinggi adalah usaha pedagang valuta asing (money changer). Dalam ketentuan PBI No. 16/15/PBI/ 2014, Pasal 1 ayat 5 menyatakan “Penyelenggara KUPVA bukan bank adalah perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas bukan Bank yang melakukan KUPVA (money changer)”. Kewajiban penyelenggara KUPVA bukan bank diatur dalam Pasal 17, yang menyatakan bahwa :
10 11
Gunawan Widjaja, 2004, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Prenada Media, Jakarta, h.5.
Anonim, 2014, BI Cabut Izin 21 PVA di Bali, Nusa Bali, Edisi Tgl. 21 November 2014, Denpasar, h. 4.
7
Penyelenggara Bukan Bank wajib memasang : logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan ”Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized Money Changer), dan nama Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha. Kegiatan usaha penukaran valuta asing (money changer) bukan bank maupun perbankan memiliki pangsa pasar yang berbeda. Apabila bank lebih mengutamakan jual beli valuta asing dalam jumlah besar, lembaga pedagang mata uang asing (money changer) biasanya digunakan orang untuk menukar valuta asing dengan jumlah relatif kecil. Pedagang mata uang asing mengambil keuntungan dari kegiatan jual beli valuta asing dengan menyesuaikan nilai tukar. Salah satu wilayah di Provinsi Bali dewasa ini yang terindikasi banyak terdapat money changer illegal adalah Kabupaten Badung. Berdasarkan hasil sidak hasil sidak asosiasi pedangang valuta asing bersama Bank Indonesia tahun 2013 yang terindikasi kegiatan penukaran valuta asing yang tidak berizin di daerah Kuta terdapat sebanyak 50 money changer illegal dan di daerah Nusa Dua terdapat sebanyak 34 money changer illegal. Masih ada pelaku kegiatan usaha penukaran valuta asing yang tidak memasang logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, tidak memasang sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tidak berbentuk perseroan terbatas. Menurut Ketua Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) Bali, Ayu Astuti Dharma, sudah menjadi agenda rutin setiap high season, makin banyak bermunculan “money changer” tidak berizin. Beliau menambahkan keberadaan money changer tidak berizin tersebut
8
dapat merugikan money changer resmi, sebab tarif yang yang ditawarkan sangat berbeda dengan tarif yang ditentukan. 12 Di samping itu dengan adanya praktek penyelenggaraan jasa money changer yang tidak memenuhi ketentuan/syarat tertentu tersebut, nantinya dapat merugikan wisatawan itu sendiri, bahkan adanya kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata yang aman, dan hak untuk memperoleh jasa pariwisata yang baik dan transparan, serta secara tidak langsung akan berdampak bagi citra pariwisata Bali di mata dunia. Pentingnya menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas pariwisata di Bali nantinya akan memberikan dampak positif bagi Indonesia itu sendiri, oleh karena itu maka perlu adanya perhatian khusus dari semua stakeholders terhadap jasa-jasa pariwisata yang menjadi instrumen penting dari kegiatan wisata, salah satunya jasa money changer. Berpijak dari latar belakang masalah tersebut, maka penting kiranya bagi peneliti untuk mengkaji mengenai “EFEKTIVITAS PERATURAN BANK INDONESIA (PBI) NOMOR 16/15/PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK TERKAIT JASA MONEY CHANGER ILLEGAL PADA KAWASAN PARIWISATA DI KABUPATEN BADUNG”.
12
Anonim, 2014, Belum ada UU untuk Money Changer Illegal, Radar Bali, Edisi Tgl. 9 Agustus 2014, Denpasar, h. 26.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut: 1. Bagaimana efektivitas pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank terkait dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung ? 2.
Bagaimana sanksi hukum bagi usaha jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung ?
1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang Lingkup penelitian merupakan rangkaian penelitian, yang menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan, dan membatasi areal penelitian.13 Untuk mencegah agar isi dan uraian tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka perlu diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Pembatasan dari ruang lingkup masalah ini yaitu peneliti hanya akan membahas mengenai efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank berkaitan dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. Permasalahan yang kedua mengenai sanksi hukum bagi jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.
13
Bambang Suggono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.111.
10
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini yang mengacu kepada judul dan permasalahan dibedakan antara tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus, yang lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut : 1.4.1 Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan mengenai suatu permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait dengan efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank terkait jasa money changer pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, dalam hukum pariwisata dan peraturan bank indonesia tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing. 1.4.2 Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum tersebut di atas, terdapat juga tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji mengenai efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank terkait dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.
11
2. Untuk mengkaji mengenai mengenai sanksi hukum bagi jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung.
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan untuk dicapai dari hasil penelitian secara teoretis maupun praktis terhadap pokok permasalahan adalah : 1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat teoritis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini adalah ilmu hukum, khususnya bidang hukum kepariwisataan, yang lebih khusus lagi pada anggota Asosiasi Pedagang Valuta Asing disamping itu juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi penelitian selanjutnya khususnya penelitian yang berkaitan dengan usaha jasa money changer. 1.5.2 Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis, penelitian ini mempunyai manfaat praktis. Adapun penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada : 1. Bagi lembaga pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan yang menyangkut jasa money changer dalam
memberikan perlindungan kepada
wisatawan selaku
konsumen. 2. Bagi wisatawan maupun pelaku usaha jasa money changer, hasil dalam penelitian ini dapat berguna untuk memberikan sumbangan pemikiran berkaitan hal efektivitas pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank
12
terkait dengan money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. 3. Bagi kalangan akademisi, hasil penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan ide baru untuk menghasilkan dan meneliti pada tahap lebih lanjut sehingga suatu saat terdapat aturan yang lebih baik yang berkaitan dengan usaha jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. 1.6
Orisinalitas Penelitian Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil
penelitian tentang “Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank terkait dengan Jasa Money Changer Illegal pada Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Akan tetapi pernah ada yang meneliti yang terkait tentang valuta asing antara lain: 1. Tesis yang ditulis oleh Inayah dengan judul “Tinjauan Yuridis Praktek Transaksi Derivatif pada Perdagangan Valuta Asing”. Tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Universitas Gadjah Mada tahun 2011. Tesis ini merupakan jenis penelitian hukum normatif. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana praktik perjanjian transaksi derivatif pada perdagangan valuta asing (2) Bagaimana pengaturan praktek perjanjian transaksi derivatif pada perdagangan valuta asing.
13
2. Tesis yang ditulis oleh dari Edi Wahananto dengan judul “Transaksi Derivatif Valuta Asing dalam Tinjauan Hukum Perjanjian di Indonesia”. Tesis tersebut ditulis untuk memperoleh gelar Magister Hukum di Gadjah Mada Tahun 2011. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana transaksi derivatif valuta asing ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia (2) Bagaimana pengaturan transaksi derivatif dalam hukum perbankan di Indonesia. 3. Tesis yang ditulis oleh Glen Ezra Parera, SH, mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia Mada tahun 2011 berjudul “Perlindungan Hukum bagi Nasabah dalam Transaksi Derivatif Perbankan di Indonesia”. Adapun permasalahan yang diangkat dan dibahas adalah (1) Bagaimana peran transaksi derivatif didalam era perekonomian global seperti sekarang ini (2) Bagaimana peraturan transaksi derivatif perbankan dalam sistem hukum di Indonesia (3) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap nasabah dalam transaksi derivatif perbankan di Indonesia. Berdasarkan dengan hal tersebut dari tesis dengan judul dan permasalahan diatas, maka menunjukkan bahwa tidak adanya persamaan baik dalam judul maupun di dalam rumusan masalah dengan penelitian yang akan diteliti. Penelitian yang akan diteliti oleh peneliti ini dapat di pertanggung jawabkan keorisinalannya.
1.7
Landasan Teoretis Landasan teoretis untuk mengidentifikasikan teori hukum umum atau teori
yang bersifat khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
14
norma-norma dan lain-lain yang akan dipergunakan sebagai landasan untuk mejawab permasalahan di dalam penelitian. Theories of law will tell one what it is that makes some rule (norm), rule (norm) system, practice, or institution “legal” or “not legal” , “law” or “not law”.14 Asas hukum merupakan pikiran-pikiran yang mendasar yang terdapat didalam dan dibelakang sistem hukum yang masingmasing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya. 15 Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis karena pertanyaan pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.16 Dalam penelitian ini digunakan beberapa teori dan asas yang terkait dengan permasalahan, antara lain : 1.7.1 Teori Sociological Jurisprudence Teori sociological jurisprudence : Pendasar mazhab sociological jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang 14
Brian H Bix, 2009, Jurisprudence : Theory and Concept, Thomson Reuters (legal) Limited, London, h. 9. 15
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2003, Hukum Bisnis (Dalam Persepsi Manusia Modern), Refika Aditama, Bandung, h.50. 16
Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta, h. 87.
15
berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.17 Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law yang hidup di dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan masyarakat.18 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum.19 “Sosciological jurisprudence”. Pound refers to this as a study of the peculiar characteristics of the legal order, i.e, an aspect of jurisprudence proper. Llyod writes effective in action, and based on subjective values. Some other writters use the term to refer to the Sociological School of Jurisprudence, that is, those jurists who see in a study of society a means whereby the science of law might be made more precise. (Ilmu hukum sosiologis Pound menunjuk kajian ini sebagai suatu kajian studi yang berkarakter khas tertib hukum, yaitu merupakan suatu aspek ilmu hukum yang sebenarnya. Lyd menuliskan bahwa “ilmu hukum sosiologis” ini adalah suatu cabang dari ilmu-ilmu normatif, yang bertujuan untuk lebih mengefektifkan perundang-undangan di dalam pelaksanaannya, dan
17 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 66.
18 19
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 19.
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra , 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 124.
16
didasarkan pada nilai-nilai subjektif. Beberapa penulis menggunakan istilahistilah ini untuk menunjukkan pada “Aliran Sosiologis dalam Ilmu Hukum”, yaitu, para yuris yang melihatnya sebagai suatu studi tentang masyarakat untuk membuat ilmu hukum menjadi lebih akurat). Teori Sociological Jurisprudence juga dipergunakan untuk membahas rumusan masalah kedua yaitu bagaimanakah efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank berkaitan dengan money changer pada
kawasan pariwisata di
Kabupaten Badung. 1.7.2 Teori Efektivitas Hukum Teori terdiri dari serangkaian pemahaman dari suatu kenyataan yang tersusun secara sistematis, logik dan konkrit yang melalui serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan pemahaman tentang suatu hal.20 Teori Efektivitas Hukum atau bekerjanya hukum di dalam masyarakat menurut William. J Chambliss dan Robert. B Seidmen yang berpendapat tentang pengaruh hukum. Salah satu hal fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap yang bertindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Efektivitas hukum merupakan sebuah proses yang bertujuan agar semua hukum dapat berlaku secara efektif, keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa
20
B.Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.28
17
bentuk tolak ukur di antaranya hukumnya sendiri, perilaku masyarakat, sarana dan fasilitas. 21 Melihat efektivitas berkaitan dengan bidang hukum, Achmad Ali mempunyai pendapat jika ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah profesional dan bagaimana optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut.22 Penelitian kepustakaan mengenai teori efektivitas memberikan keanekaragaman dalam hal indikator penilaian tingkat efektivitas suatu hal. Dalam secara umum, efektivitas suatu hal diartikan sebagai keberhasilan dalam pencapaian target atau tujuan yang telah ditetapkan. Dalam sebuah konsep hukum sangat mempengaruhi agar suatu perilaku dilakukan oleh lembaga pembuat peraturan dan lembaga kekuasaan negara, kemudian oleh kekuasaan negara diselenggarakan dengan mempergunakan hukum sebagai sarana untuk mendorong perilaku yang lebih baik. Lembaga pembuat hukum bekerja dengan membuat peraturan yang ditujukan untuk mengatur masyarakat, demikian pula dengan lembaga penegak hukum yang bekerja untuk
21 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 22 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana, Jakarta, h. 375.
18
melakukan law enforcement untuk ditegakkan di masyarakat. Robert B. Seidmen membuat model bekerjanya hukum sebagai berikut :23 Area of choise
feedback
Law Making Processes
rule of public Role Accopant Law
Implementing
Confirmity inducing measures
Area of Choise
Area of Choise
feedback Dari bagan tersebut Seidmen mengajukan empat proposisi. Empat proposisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang pemegang peran (Role Occupan) itu diharapkan bertindak. 2. Bagaimana seseorang pemegang peran itu akan bertindak sebagai suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan politik, sosial dan lainlainnya mengenai dirinya. 3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi peraturanperaturan yang ditujukan kepada mereka sanksi-sanksinya, keselurahan kompleks kekuatan-kekuatan politik, sosial, dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran.
23
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 46-47.
19
4. Bagaimana peran pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, politik, ideologis dan lain-lainnya mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari pemegang peran serta birokrasi. 24 Bekerjanya hukum dalam masyarakat terkait juga dengan penegakan hukum dapat melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan sebagai suatu sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga pembuat hukum (Law Making Institution), lembaga sebagai penerap sanksi, budaya hukum serta unsur-unsur umpan balik dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.25 Robert B. Seidman dan William J. Chambliss menyusun suatu konsep bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan sangat tergantung banyak faktor. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor tersebut meliputi keseluruhan komponen sistem hukum, yaitu faktor substansial, faktor struktural dan faktor kultural. a. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk putusan pengadilan; b. Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya; c. Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan, kebiasaankebiasaan, cara berpikir dan cara bertindak baik dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan berbagai fenomena tentang hukum.26
24
ibid.
25
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Centre, Jakarta, h. 27. 26
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang-Undang, Kencana Prenada Group, Jakarta, h. 204.
20
Penegakan hukum sebagai bagian daripada legal system, tidak dapat dipisahkan dengan substansi hukum dan budaya hukum.27 Melaksanakan pengawasan adalah juga menegakkan hukum, penegakan hukum yang secara khusus yang ditujukan terhadap jasa money changer di kawasan pariwisata di mana belakangan ini banyak usaha money changer yang tanpa izin sehingga merugikan konsumen dalam hal ini wisatawan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang selalu harus mendapat perhatian keadilan, kemanfaatan atau hasil guna, dan kepastian hukum. Tujuan pokok dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan atau ketertiban ini, syarat pokok untuk suatu masyarakat yang teratur. Tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan. Untuk mencapai ketertiban dibutuhkan kepastian hukum dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat.28 Jadi fungsi hukum disini diartikan sebagai : 1. Standard of conduct, yakni menjadi ukuran tingkah laku dan kesamaan sikap yang harus ditaati oleh setiap orang dalam pergaulan hidup bermasyarakat. 2. As tool of social engineering, hukum sebagai alat untuk menyatakan benarnya suatu tingkah laku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 3. As tool of justification, hukum sebagai alat untuk menyatakan benarnya suatu tingkah laku yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. 4. As tool of social control, hukum sebagai alat mengontrol pemikiran dan tingkah laku manusia agar mereka selalu terpelihara moralnya, tidak
27
Siswanto Sunarso, 2005, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 110. 28
Moctar Kusumaatmadja, 1998, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Jakarta, h. 2
21
melakukan perbuatan yang melanggar hukum, norma susila, dan ajaran agama yang dipeluknya. 5. Rechzeken heid, agar dalam setiap persoalan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat ada kepastian hukum untuk dijadikan pegangan oleh seluruh masyarakat. 29 Suatu peraturan atau kaedah hukum dapat berlaku efektif dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto adalah: 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.30 Konsep-konsep mengenai ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang memuat larangan atau suruhan yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank. Kewajiban kegiatan penukaran valuta asing bukan bank diatur dalam Pasal 17, yang menyatakan bahwa “Penyelenggara
Bukan Bank wajib memasang : logo penyelenggara
KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan ”Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized Money Changer), dan nama
29 30
Abdul Manan, Op Cit, h. 68.
H. Riduan Syahrani, 2013, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 193.
22
Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha”. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum tersebut. State choose the law as the primary mechanism for veiewing broader understandings of the responsibility for number of reasons. Law, after all, pervades our lives and provides the general rules by which we patern our behavior.31 (Negara memilih hukum sebagai mekanisme utama dalam melihat pemahaman yang lebih luas terhadap tanggung jawab untuk beberapa alasan, hukum menjalankan kehidupan kita dan menyediakan aturan-aturan umum dimana kita harus bertindak). Sistem hukum yang ada dan telah dijalankan seperti sekarang ini dibentuk oleh masyarakat dengan tingkat peradaban sosialnya. Tiap-tiap negara mempunyai karakteristik ideologis yang memiliki perbedaan dan karakteristik inilah yang kemudian akan memberikan corak hukum yang akan dibangun. Hukum tidak dapat dilepaskan dari struktur sosialnya. Hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh sesuai perkembangan masyarakatnya. Menurut H.L.A Hart “ the most prominent general feature of the law at all time and places is that its existence means that certain kinds of human conduct are no longer option, but in some sense obligatory”.32 (sifat mengatur hukum yang harus dipatuhi menyebabkan tuntutan berperilaku manusia pada situasi tertentu bukan lagi merupakan pilihan melainkan menjadi suatu keharusan). Teori efektivitas hukum dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang pertama yaitu tentang faktor-faktor yang
31
Saundra Davis Westervelt, 1999, Shifting The Blame, Rutgers University Press, London,
32
H.L.A Hart, 1998, The Concept of Law, Claredon Press, Oxford, h. 6.
hal. 5.
23
mempengaruhi efektivitas pelaksanaan ketentuan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank terhadap money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Bali. Efektivitas berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank berkaitan dengan money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung, dari perspektif teori efektivitas hukum meliputi keseluruhan komponen sistem hukum, yaitu faktor substansial, faktor struktural dan faktor kultural. 1.7.3 Teori Kesadaran Hukum Sosiologi hukum sangat berperan dalam upaya sosialisasi hukum demi untuk meningkatkan kesadaran hukum yang positif, baik dari warga masyarakat secara keseluruhan, maupun dari kalangan penegak hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kesadaran hukum ada dua macam : a. Kesadaran hukum positif, identik dengan ketaatan hukum b. Kesadaran hukum negatif, identik dengan ketidaktaatan hukum Rumusan Ewick dan Silbey tentang legal conseciousness (kesadaran hukum) sebagai berikut : “The term legal consciousness is used by social scientists to refer to ways in which people make sense of law and legal institutions, that is the understandings which give meaning to people experiences and actions”. (Istilah kesadaran hukum digunakan oleh para ilmuan sosial untuk mengacu ke cara-cara di mana orang-orang memaknakan hukum dan institusi-institusi hukum, yaitu pemahaman-pemahaman yang memberikan makna kepada pengalaman dan tindakan orang-orang). Kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas hukum adalah unsur yang saling berhubungan. Sering orang mencampuradukkan antara kesadaran hukum dan ketaatan hukum, padahal kedua itu, meskipun sangat erat
24
berhubungannya, namun tidak tetap persis sama. Kedua unsur itu memang sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di dalam masyarakat. Teori ini dipergunakan untuk untuk mengkaji permasalahan kedua sanksi hukum bagi usaha jasa money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. 1.7.4 Konsep Kepastian Hukum Kepastian hukum mengandung dua pengertian. Kedua, adanya aturan yang bersifat umum yang membuat individu mengetahui dan memahami perbuatanperbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum berupa jaminan kepastian hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum sehingga individu dapat mengetahui apa yang boleh dilakukan oleh Negara terhadap individu.33 Dengan adanya kepastian hukum di dalam masyarakat akan tahu kejelasan antara hak dan kewajiban menurut hukum. Kepastian hukum ini dapat dibentuk melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang dan akan menjadi jelas pula apa yang akan diterapkan. Kepastian hukum berarti memiliki hukum yang tepat, subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumannya. Konsep kepastian hukum di dalam penelitian ini digunakan untuk membahas permasalahan yang kedua yaitu mengenai bagaimana ketentuan pelaksanaan usaha jasa pedagang valuta asing (money changer). Pada PBI No. 16/15/PBI/ 2014, mengenai setiap pedagang valuta asing (money changer ) wajib logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sertifikat izin usaha yang di terbitkan oleh Bank Indonesia dan tulisan 33
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I), h. 158.
25
”Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Berizin” (Authourized Money Changer), dan nama Perseroan Terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha, untuk menjadi money changer resmi sehingga dapat menjamin suatu kepastian hukum bagi setiap konsumen atau pengguna jasanya tersebut. Money changer mempunyai peran yang cukup penting pada setiap kawasan pariwisata. Setiap money changer yang tidak terdaftar tidak akan dapat menjamin suatu kepastian hukum sehingga dapat merugikan para pengguna jasa. Apalagi saat ini banyak muncul money changer yang tidak terdaftar di beberapa kawasan pariwisata di Bali selain merugikan konsumen dengan mengurangi hasil penilaian uang yang ditukar, sejumlah perusahaan juga sangat berpotensi menjadi salah satu tempat pencucian uang atau money laundering.34 Teori ini dipergunakan untuk untuk mengkaji permasalahan kedua sanksi hukum bagi usaha jasa money changer tidak berizin pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. 1.7.5
Konsep Illegal Illegal and unlawful have slightly different meanings, although they are
often used interchangeably. Something that is illegal is against the law, whereas an unlawful act merely contravenes the rules that apply in a particular context. (Illegal dan melanggar hukum memiliki makna yang sedikit berbeda, meskipun mereka sering digunakan secara bergantian. Sesuatu yang ilegal adalah melawan hukum, sedangkan tindakan yang melanggar hukum hanya bertentangan dengan aturan yang berlaku dalam konteks tertentu). Konsep illegal di dalam penelitian 34
URL : http://m.bisnis.com/finansial/read/20120213/90/63839/money-changer-40-percent -pedagang-valas-di-bali-tak-miliki-izin-usaha. Diakses Pada Tanggal 2 September 2014.
26
ini digunakan untuk membahas permasalahan yang pertama dan kedua yaitu untuk memberikan penjelasan pasal 7 juncto pasal 17 PBI Nomor 16/15/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing berkaitan dengan money changer resmi yang tidak melawan hukum. 1.8
Kerangka Berpikir Dalam penelitian ini, penulis menyajikan dalam bagan kerangka berpikir
sebagai berikut :
27
Efektivitas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor `16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank terkait Jasa Money Changer Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung
Latar Belakang Masalah
1. Pasal 17 PBI 16/15/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank menyatakan bahwa penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan BI, sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh BI dan tulisan “Penyelenggara kegitan usaha penukaran valuta asing berizin (authorized money changer) dan nama perseroan terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan PBI 16/15/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing berkaitan dengan jasa money changer illegal di kabupaten Badung ? 2. Bagaimana sanksi hukum mengenai usaha jasa money changer Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung ?
Landasan Teori
1. Teori sociological jurisprudance
Metode Penelitian
1. 2. 3.
2. Teori Efektivitas 3. Teori Kesadaran Hukum 4. Konsep kepastian hukum
4. 5.
5. Konsep Illegal 6.
2. Prakteknya masih ada KUPVA tidak memasang logo penyelenggara KUPVA berizin
Gambar 1: Kerangka Berpikir
Jenis penelittian : hukum empiris Sifatnya Deskriptif Data dan sumber data : sumber data primer : wawancara dengan BI dan pelaku KUPVA. Sumber data sekunder : Bahan hukum primer, Baham hukum sekunder. Bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data : studi dokumen dan wawancara. Teknik penentuan sample penelitian : Non probabilitas dengan teknik snowball sampling. Pengolahan dan analisa data diolah dan dianalisa secara kualitatif
Hasil Pembahasan
1. Pelaksanaan pasal 7 juncto pasal 17 peraturan BI tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank di kabupaten badung berkaitan dengan jasa money changer belum berjalan efektif 2. Sanksi hukum yang diberikan untuk jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di kabupaten Badung merupakan sanksi Kesimpulan dan Saran
27
Dari bagan tersebut, maka dapat diuraikan bahwa Pasal 17 PBI 16/15/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank menyatakan bahwa penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan BI, sertifikat izin usaha yang diterbitkan oleh BI dan tulisan “Penyelenggara kegitan usaha penukaran valuta asing berizin (authorized money changer) dan nama perseroan terbatas penyelenggara KUPVA di tempat yang mudah terlihat pada lokasi usaha, Masih ada pelaku kegiatan usaha penukaran valuta asing tidak memasang logo penyelenggara KUPVA berizin yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan tidak berbentuk perseroan terbatas. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Bukan Bank berkaitan dengan jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung serta sanksi hukum mengenai usaha jasa money changer Illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan teori-teori yaitu teori sosiological jurisprudence, teori efektivitas hukum, teori kesadaran hukum dan konsep kepastian hukum. Adapun metode penelitian yaitu jenis penelitian adalah empiris dengan adanya kesenjangan antara ketentuan yang berlaku dengan pelaksanaannya. Sifat penelitian adalah deskriptif, didukung dengan data dan sumber data, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara.
Untuk teknik penentuan sampel penelitian digunakan non
probabilitas teknik snowball sampling dan untuk pengolahan dan analisis data maka data diolah dan dianalisa secara kualitatif. Hasil pembahasan, yaitu sebagai
28
29
berikut : pertama Pelaksanaan pasal 7 juncto pasal 17 peraturan BI tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank di Kabupaten Badung berkaitan dengan jasa money changer belum berjalan efektif dan kedua sanksi hukum yang diberikan untuk jasa money changer illegal pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung merupakan sanksi secara administrasi.
1.9
Metode Penelitian
1.9.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis empiris, yaitu
metode pendekatan yang dipergunakan untuk memecahkan objek penelitian dengan meneliti data sekunder (bahan pustaka) terhadap data primer di lapangan karena hukum yang pada kenyataannya dibuat dan ditetapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat artinya keberadaan hukum tidak bisa dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat dan juga perilaku masyarakat yang sangat terkait dengan lembaga hukum tersebut.35 Penelitian
ini
beranjak
pada
ilmu
hukum
normatif
(peraturan
perundangan), kemudian mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika sistem norma itu bekerja di dalam masyarakat.36 Melakukan pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi
35
Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, UI Press,Jakarta,h.3. 36
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 47.
30
ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya, sehingga dapat diimplimentasikan dalam praktek dilapangan.37 Studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.38 Dengan metode pendekatan analitis (analytical approach) yaitu menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung dalam istilah-istilah yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik.39 1.9.2
Sifat Penelitian Sifat penelitian terdiri dari tiga jenis penelitian yaitu yang bersifat
ekploratif (penjajakan atau penjelajahan), penelitian yang bersifat deskriptif dan penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan).40 Pada penulisan ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan permasalahan yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif dapat dikatakan sebagai langkah-langkah melakukan representatif obyektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang
37
Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 14.
38
Ibid, h. 63.
39
Johnny Ibrahim, 2007, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, CV. Putra Media Nusantara, Surabaya, h.310. 40
Amiruddin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 25.
31
diselidiki. Dengan penelitian deskriptif maka dapat menggambarkan secara tepat situasi atau kejadian dan menerangkan hubungan antara kejadian tersebut dengan masalah yang akan diteliti. 1.9.3
Data dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi data
primer dan juga data sekunder, antara lain : 1. Data primer (data lapangan), yakni data yang diperoleh terutama dalam hasil penelitian secara empiris, yaitu penelitian yang dapat dilakukan langsung dalam masyarakat.41 Data yang didapatkan secara langsung melalui teknik wawancara dengan informan. Pada penelitian ini akan melakukan wawancara dengan informan yaitu Bank Indonesia, Polda Bali dan Asosiasi Pedagang Valuta Asing. Wawancara dengan responden yaitu Perusahaan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan Wisatawan. 2. Data sekunder (library research) mencakup dokumen-dokumen resmi, bukubuku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya. Data sekunder ini terdiri dari bahan-bahan hukum yaitu : a. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.42 Bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, antara lain : 1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan; 2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia;
41
Mukti Fajar & Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Noramtif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.157. 42
Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. h. 113.
32
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar; 4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; 6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; 7. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 16/15/PBI/2014 tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank; b.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.43 Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah literatur-literatur berupa bukubuku dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan permasalahan.
c.
Bahan hukum tertier yakni bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tertier yang digunakan adalah artikel-artikel dari internet dan Koran.
1.9.4
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu kegiatan merapikan data dari hasil
pengumpulan data di lapangan sehingga siap dan dapat dipakai untuk dianalisa.44 Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
43
Ibid, h. 114.
44
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 72.
33
1. Data studi dokumen atau bahan kepustakaan yang juga disebut sebagai data sekunder terutama dapat diperoleh dari perpustakaan.45 Maksudnya bahwa dalam penelitian ini akan dikumpulkan data-data kepustakan yang dikumpulkan dengan cara membaca dan memahami, selanjutnya dilakukan teknik pencatatan dengan mengutip teori dan penjelasan yang penting dari bahan-bahan yang relevan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini, baik itu berupa kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung. 2. Teknik Wawancara Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara yaitu wawancara dengan informan dan responden. Informan adalah orang atau individu yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang diketahuinya, sedangkan responden adalah seseorang atau individu yang akan memberikan respon terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Responden ini merupakan orang yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan.46 Wawancara dilakukan di Bank Indonesia selaku pemerintah yang mempunyai wewenang mengawasi kegiatan usaha penukaran valuta asing, asosiasi pedagang valuta asing, pelaku penukaran valuta asing, dan wisatawan. 1.9.5
Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penentuan populasi dan sampel tepat sangat penting artinya dalam suatu
penelitian. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang 45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukun Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 46
Amiruddin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 120.
34
sama.47 Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya. Populasi dalam penelitian ini adalah kawasan pariwisata di Kabupaten Badung. Teknik sampling atau cara pengambilan sampel dari populasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu probabilitas atau random dan nonprobabilitas atau nonrandom.48 Teknik penentuan sampel pada penelitian ini adalah teknik nonprobabilitas dengan teknik snowball sampling. Dalam snowball sampling, penarikan sample ini dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari sample sebelumnya. Dalam penelitian ini akan dihentikan dan dianggap telah mewakili keseluruhan objek penelitian jika menggunakan titik jenuh. Adapun lokasi penelitian yang dipilih dalam penyusunan penelitian ini adalah wilayah Kabupaten Badung. Penelitian dilakukan pada Kabupaten Badung yaitu Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan. 1.9.6
Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan kegiatan merapikan data
dari hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa. 49 Teknik analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara merapikan data yang diperoleh dari hasil wawancara pada kawasan pariwisata di Kabupaten Badung setelah data dikumpulkan kemudian data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang 47
Bambang Sunggono, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 118.
48
Amiruddin, Op.Cit, h.97.
49
Bagong Suyanto dan Sutinah, 2011, Metode Penelitian Social, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 77.
35
teratur, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan pemahaman dan interpretasi data.50 Seterusnya data akan dianalisis dengan menggunakan landasan teori yang berkaitan dengan permasalahan yang selanjutnya dipaparkan dalam bentuk kalimat yang teratur dan bersifat logis dalam pembahasan.
50
Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Banyumedia Publising, Malang, h. 172.