1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dunia usaha kesulitan untuk mengembangkan kelangsungan
kemampuan
kegiatan
usaha
usahanya, tidak
bahkan
mudah.
untuk
Kesulitan
mempertahankan tersebut
sangat
mempengaruhi kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya kepada Kreditor, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. Perkembangan
perekonomian
dan
perdagangan
serta
pengaruh
globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat dunia usaha suatu perusahaan tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya. 3 Mengantisipasi kondisi permasalahan tersebut diperlukan produk hukum nasional yang dapat menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang diharapkan akan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian adil dan produktif, budaya sosial politik yang demokratis, serta dapat mengamankan dan mendukung 3
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia (Jakarta : Rineka Cipta, 1994) hlm. 3
1
2
pembangunan nasional yang dapat memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat secara merata dalam lingkungan multi dimensi yang stabil, seimbang, harmonis, aman dan tertib. Produk hukum nasional itu diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional. 4 Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Undang-Undang 1945) diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348). Tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-UndangD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements verordenirng, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah 4
Sinaga M, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: Tatanusa, 2012),hlm : 6
2
3
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang. 5 Perubahan terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan tersebut di atas yang
dilakukan
dengan
memperbaiki,
menambah,
dan
meniadakan
ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari terjadinya hal-hal sebagai berikut: 6 1. Perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. 2. Adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. 3. Adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
5
Indonesia, Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Undang-Undang No.37 Tahun 2004, LN No.131 Tahun 2004, TLN No.4443, penjelasan umum alinea 3 dan 7. 6 Ibid, alinea 12
3
4
Bertitik
tolak
dari
dasar
pemikiran
tersebut,
perlu
dibentuk
Undang- undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Tepat tanggal 18 Oktober 2004, diterbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ) sebagai dasar pengaturan hubungan antara Kreditor dan Debitor dalam dunia usaha. Perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai Kepailitan dan PKPU memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan penyelesaian hutang piutang antara Debitor dan Kreditor. Tujuan akhir dari Kepailitan dan PKPU adalah terciptanya perdamaian antara Debitor dan Kreditor. Perdamaian tersebut dapat diajukan oleh Debitor dalam bentuk Rencana Perdamaian. Pengaturan mengenai Perdamaian dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU diatur dalam Bagian Kedua dari Bab III yaitu dari Pasal 265 sampai Pasal 294. 7 Adanya permintaan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh Debitor, maka kepada Debitor diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren (Kreditor yang tidak memegang agunan dan yang tidak
7
hal.363.
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2010),
4
5
mempunyai hak istimewa dan yang tagihannya tidak diakui atau diakui secara bersyarat). 8 Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah kepailitan seorang Debitor yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan keringanan sementara kepada Debitor dalam menghadapi para Kreditor yang menekan dalam rangka mereorganisasi dan melanjutkan usaha dan akhirnya
memenuhi
kewajiban
Debitor
terhadap
tagihan-tagihan
para
Kreditor. 9 Adanya keringanan sementara tersebut banyak Debitor yang lebih memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utangutangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan untuk dipailitkan oleh para Kreditornya. Debitor boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Umumnya Debitor hanya mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan terhadap Debitor yang diajukan oleh Kreditor, dikarenakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa apabila permohonan-permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan diputus terlebih dahulu. Sehingga penundaan kewajiban pembayaran utang hanya
8
Kartini Mulyadi, Suara Pembaruan, 20 Oktober 2005. Jeffry Hoff, Undang-undang Kepailitan di Indonesia (Penerjemah Kartini Mulyadi, Cet.1, Jakarta : Tatanusa, 2000) , hal.187. 9
5
6
boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga. 10 Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat antara Debitor dan Kreditor tersebut, terdapat klausula untuk penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan antara para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut. Umumnya para pihak memilih menyelesaikan melalui lembaga Arbitrase. Menurut pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya di sebut Undang-undang Arbitrase), Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. 11 Seperti kasus dibawah ini merupakan suatu contoh dimana PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (Selanjutnya disebut Pemohon), mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian tertanggal 21 Nopember 2013 yang telah disepakati oleh Pemohon dengan PT. Erakarya Prima, beralamat di Jalan Asrama Amal Luhur III No. 129, Medan (selanjutnya disebut Termohon/ Debitor) dan PT. Bringin Sejahtera Arta Makmur (BSAM), beralamat di Jalan
10
Lontoh, dkk. Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung: Alumni, 2001), hlm: 26. 11 Jono, Hukum Kepailitan (Bandung: Sinar Grafika, 2009), hlm : 42
6
7
Gatot Subroto Komp. Pertokoan Plaza Medan Fair No. B-21, Medan (selanjutnya disebut Kreditor lain) kepada Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan register No. 01/Pdt.Khusus/Pembatalan/2014/PN.Niaga.Mdn
Jo.03/PKPU/2013/PN.Niaga/Mdn. Pengadilan Niaga Medan telah menyatakan Termohon/Debitor berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya disingkat PKPU) dengan waktu yang telah ditentukan oleh pengadilan. Selama proses PKPU tersebut, Termohon/ Debitor telah mengajukan beberapa kali rencana perdamaian di mana dalam rencana perdamaian terakhir tertanggal 14 Nopember 2013, Termohon/Debitor telah menawarkan kepada Pemohon skema penyelesaian utang Termohon/Debitor sebagai berikut : 1.
Down
Payment
sebesar
Rp.
92.450.000.000,-
wajib
dibayar
oleh
Termohon/Debitor kepada Pemohon dengan jadwal pembayaran sebagai berikut : 2.
Tahap pertama sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan sebelum Perjannjian Perdamaian disahkan (Homologasi) oleh Pengadilan Negeri Medan ;
3.
Tahap kedua sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-3 setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Negeri Medan ;
4.
Tahap ketiga sebesar Rp. 15.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-6 setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga Medan ; dan
5.
Tahap keempat sebesar Rp. 17.450.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-13 setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga Medan ;
7
8
6.
Sisa pokok sebesar Rp. 119.550.000.000,- dibayar dengan cara angsuran sebanyak 35 kali ;
7.
Bunga tertunggak sebesar Rp. 40. 203.539.548,- akan dibayar mulai dari bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-48. Melihat dari skema tersebut masing-masing pihak menyetujui adanya
skema penyelesaian utang Termohon kepada Pemohon dan dituangkan pada perjanjian perdamaian pada tanggal 21 Nopember 2013. Namun seiring berjalannya waktu, Termohon telah lalai dalam memenuhi perjanjian perdamaian yang telah masing-masing pihak setujui. Menurut Pasal 291 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur sebagai berikut “(1) Kreditor dapat menurut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut”. Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan pertimbangannya kemudian menyatakan bahwa Termohon telah lalai dalam perjanjian perdamaian tersebut yang dituangkan pada putusan pengadilan dengan register No. 01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan/ 2014/ PN.Niaga.Mdn Jo. 03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Medan bahwa Termohon PT.Erakarya Prima telah lalai dalam melaksanakan isi Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 November 2013 yang telah disahkan melalui Putusan pengadilan Niaga Medan No. 03/PKPU/2013/PN.Niaga. Medan. Tertanggal 4 Desember 2013. Berdasarkan uraian kasus diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan pengkajian melalui sebuah penelitian (skripsi) dengan judul “Akibat Hukum Kelalaian Debitor untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian dalam PKPU
8
9
(Studi Putusan No.01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan /2014/ PN.Niaga.Mdn Jo.03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Mdn”. B. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan PKPU oleh Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT) sebagai Debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ? 2. Bagaimana pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU? 3. Bagaimana akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu: 1. Tujuan penulisan Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui pengaturan PKPU oleh PT sebagai Debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. b. Untuk mengetahui pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU. c. Untuk akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU.
9
10
2. Manfaat Penulisan Mengenai manfaat akan hasil penelitian skripsi ini terhadap rumusan permasalahan yang sudah diuraikan dapat dibagi menjadi dua jenis manfaat, yaitu: a. Manfaat teoritis 1) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan teoritis bagi penulis dan pembaca untuk menambah pengetahuan beserta pemahaman mengenai pengaturan PKPU oleh Debitor serta akibat hukumnya dalam kelalaian memenuhi perjanjian perdamaian menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 2) Merupakan bahan untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan dasar maupun bahan perbandingan bagi penelitian yang lebih luas.
b. Manfaat praktis 1) Bagi pemerintah, agar menyadari peran tanggung jawab mengenai permasalahan
dunia
usaha
sebagai
penunjang
pembangunan
pertumbuhan ekonomi. 2) Bagi pelaku usaha, agar memahami peran sebagai Debitor maupun Kreditor dalam perjanjian menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
10
11
maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Akibat Hukum Kelalaian Debitor untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian dalam PKPU (Studi Putusan No.01/ Pdt.Khusus/ Pembatalan /2014/ PN.Niaga.Mdn Jo.03/ PKPU/ 2013/ PN.Niaga.Mdn”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.
E. Tinjauan Pustaka Penundaan pembayaran diajukan oleh Debitor kepada pengadilan niaga bilamana Debitor dalam keadaan masih mampu membayar utang-utangnya, akan tetapi memerlukan waktu untuk membayar. Permohonan penundaan pembayaran harus diajukan kepada pengadilan niaga dengan dilampirkan surat bukti yang berkenaan dengan jumlah piutang dan utang harta pailit, yang disertai dengan identitas daripada para pihak. 12 Selain penyelesaian dengan permohonan pailit, suatu masalah utang piutang dapat pula diselesaikan melalui mekanisme yang disebut penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Diajukannya PKPU ini biasanya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi seluruh tawaran pembayaran dari seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren. Mekanisme seperti ini dilakukan oleh Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat 12
Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia: Studi Putusan-Putusan Pengadilan (Yogyakarta:Total Media, 2008), hlm : 82
11
12
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang , dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor. 13 Istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau disebut juga moratorium harus dibedakan dengan gagal bayar, karena gagal bayar secara esensial berarti bahwa seorang Debitor tidak melakukan pembayaran utangnya. Gagal bayar terjadi apabila si peminjam tidak mampu untuk melaksanakan pembayaran sesuai dengan jadwal pembayaran yang disepakati baik atas bunga maupun atas utang pokok. 14 PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada Debitor dan Kreditor untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang Debitor,
baik
sebagian
maupun
seluruhnya
termasuk
apabila
perlu
merestrukturisasi utang tersebut. Diberikannya kesempatan bagi Debitor untuk menunda kewajiban pembayaran utang-utangnya, maka berkemungkinan bagi Debitor untuk melanjutkan usahanya, aset-aset dan kekayaan akan tetap dapat dipertahankan Debitor sehingga dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang kepada seluruh Kreditor, dan juga memberi kesempatan kepada Debitor untuk merestrukturisasi utang-utangnya, sedangkan bagi Kreditor, PKPU yang telah diberikan kepada Debitor juga dimaksudkan agar Kreditor memperoleh
13
Kartini Muljadi, Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan Dan PKPU (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 260. 14 Sutan Remmy Syahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Fallisment Verordering, Juncto Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Kepailitan (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2008), hlm. 328.
12
13
kepastian mengenai tagihannya, utang piutangnya akan dapat dilunasi oleh Debitor. 15 Menurut Munir Fuady, istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of payment atau Surseance van Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang dinerikan oleh undang-undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak Kreditor dan Debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian hutangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. 16 Selanjutnya menurut Fred BG Tumbuan pengajuan PKPU ini juga dalam rangka untuk menghindari kepailitan yang lazimnya bermuara dalam likuidasi harta kekayaan Debitor. Khususnya dalam perusahaan, penundaan kewajiban pembayaran utang bertujuan memperbaiki keadaan ekonomi dan kemampuan Debitor untuk membuat laba, maka dengan cara seperti ini kemungkinan besar Debitor dapat melunasi kewajibannya. 17 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan pengunduran pembayaran utang yang sudah jatuh tempo. Permohonan PKPU dapat diajukan oleh Debitor maupun Kreditornya. Pengajuan permohonan PKPU harus mempunyai lebih dari satu orang Kreditor dimana salah satu utangnya sudah jatuh tempo. Pembuktian yang dilakukan dalam proses PKPU adalah bersifat sederhana
15
Kartini Muljadi, Penyelesaian Utang Piutang : Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung : Alumni, 2001), hlm. 173 16 Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 15 17 Fred B.G. Tumbuan ,Hukum Kepailitan, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung:Alumni,2001), hlm. 50.
13
14
baik terhadap para Kreditornya maupun utang-utangnya yang dapat dibuktikan dengan suatu surat perjanjaian yang telah dibuat antara Debitor dengan Kreditornya. Apabila Debitor adalah perseroan terbatas maka permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri (direksi) hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut RUPS), dengan quorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. 18 Debitor dalam perseroan terbatas adalah direksi yang merupakan salah satu organ perseroan terbatas disamping RUPS dan komisaris. hal permohonan diajukan oleh Debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga hari) sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan PKPU Sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan, serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. 19 Bila permohonan diajukan oleh Kreditor, pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (duapuluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan harus mengabulkan permohonan PKPU Sementara, dan harus menunjuk hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat satu atau lebih pengurus PKPU yang bersama Debitor mengurus harta Debitor. 20 Segera setelah PKPU Sementara diucapkan, maka pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan surat
18
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 190 Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2 (Jakarta : Sofmedia, 2010), hlm. 203. 20 Ibid., 19
14
15
tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang ditentukan paling lama pada harike 45 (empat puluh lima), terhitung sejak putusan PKPU Sementara diucapkan. Apabila Debitor tidak hadir dan sidang PKPU Sementara berakhir maka pengadilan wajib menyatakan Debitor pailit dalam sidang yang sama (Pasal 225 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU), 21 tetapi jika Debitor menghadiri sidang tersebut dan juga mengajukan rencana perdamaian bagi para Kreditornya, maka hakim pengadilan niaga menerima permohonan PKPU Tetap dengan jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, terhitung sejak permohonan PKPU sementara diterima. PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan Debitor, dimana selama berlangsungnya PKPU, Debitor tidak dapat dipaksakan untuk membayar utang-utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan. Selama PKPU berlangsung Debitor tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. 22 . Proses PKPU tersebut maka dipilihlah pengurus yang berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor itu sendiri.
F. Metode Penelitian Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami segala kehidupan, atau lebih jelasnya penelitian 21 22
Ibid., hlm. 204 Rahayu Hartini, Op.Cit., hlm. 211
15
16
merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, menguji, serta mengembangkan ilmu pengetahuan. 23 Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain: 1.
Spesifikasi penelitian Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat. 24 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.
2.
Sumber data Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. 25
23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia (UI) Pers, 1986), hlm. 250. 24 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm. 54. 25 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), hlm. 30.
16
17
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain: a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) b. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa bukubuku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3.
Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library
reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca,
menelaah,
mengklarifikasi,
mengidentifikasi,
dan
dilakukan
pemahaman terhadap bahan-bahanhukum yang berupa peraturan perundangundangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebutkemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
17
18
pendapat-pendapat
atau
penemuan-penemuan
yang
berhubungan
dengan
permasalahan penelitian. 26
4.
Analisis data Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan
dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan. 27
G. Sistematika Penulisan Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
26 27
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit, hlm. 24. Ibid., hlm. 24-25.
18
19
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR MENURUT
UNDANG-UNDANG
NO.37
TAHUN
2004
TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU Bab ini berisi syarat pengajuan PKPU, prosedur pengajuan PKPU oleh PT sebagai Debitor menurut Undang-Undang kepailitan dan PKPU, akibat hukum PKPU yang diajukan oleh PT sebagai Debitor, berakhirnya PKPU. BAB III
PEMBATALAN DISAHKAN
PERJANJIAN DALAM
PERDAMAIAN
PENUNDAAN
YANG
KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG (PKPU). Bab ini memberikan penjelasan mengenai perjanjian perdamaian dalam PKPU, alasan pembatalan perjanjian perdamaian dalam PKPU, pembatalan perjanjian perdamaian dalam PKPU. BAB IV
AKIBAT
HUKUM
ATAS
KELALAIAN
PT
SEBAGAI
DEBITOR UNTUK MEMENUHI PERJANJIAN PERDAMAIAN DALAM
PENUNDAAN
UTANG (PKPU)
19
KEWAJIBAN
PEMBAYARAN
20
Bab ini berisikan tentang bentuk-bentuk kelalaian PT sebagai Debitor dalam memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU, akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi perjanjian perdamaian dalam PKPU, PKPU yang dibatalkan. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari subtansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran penulis berikan dengan masalah yang dibahas.
20