BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan dan ditegakkan dalam penyelengaraan kehidupan kenegaraan. Mahkamah Konstitusi dibentuk pada perubahan ketiga UUDNRI Tahun 1945. Indonesia merupakan negara yang ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.1 Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUDNRI Tahun 1945 mengatur mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, berbunyi: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
1
Mahkamah Konstitusi, 2010, Profil Mahakamah Konstitusi, Cetakan Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm 2.
1
Ketujuh, Sekretariat
2
Mahkamah
Konsitusi
memiliki
fungsi
yang
melekat
pada
keberadaanya dan dilaksanakan melalui kewenangannya, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights), pelindung hak konstitutisional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rigths), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).2 Mengingat keberadaannya sebagai lembaga yang dibentuk untuk mengawal konstitusi agar dilaksanakan oleh ketentuan dibawahnya, Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang menyelenggarakan peradilan konstitusi (constitutional court). Hal tersebut tercermin dari perkara-perkara yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi adalah perkara-perkara konstitusional, yakni perkara yang menyangkut konsistensi pelaksanaan norma-norma konstitusi dan dasar utama yang digunakan untuk memeriksa, mengadili dan memutus adalah konstitusi itu sendiri. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar tidak hanya sebatas pengujian materiil (materiele toetsingsrecht) dari suatu undang-undang akan tetapi juga melakukan pengujian formil (formele toetsingsrecht). Dalam proses beracara di Mahkamah Konstitusi terdapat dua jenis putusan, yaitu putusan sela (putusan provisi)3 dan putusan akhir4. Di dalam suatu putusan tidak terlepas
2
Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama, Sekteratriat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, hlm 10. 3 Putusan sela adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau atas
3
dari suatu amar putusan, amar putusan ini diatur dalam Pasal 56 UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yakni ditolak, tidak dapat diterima, dan dikabulkan.5 Namun,
dalam
perkembangannya
Mahkamah
Konstitusi
mengeluarkan beberapa amar putusan yang kontroversial dalam praktik beracara di Mahkamah konstitusi, yaitu amar putusan yang menyatakan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional), tidak konstitusional bersyarat (Conditionally Unconstitutional), penundaan keberlakuan putusan, dan perumusan norma dalam putusan.6 Beberapa amar putusan di atas disebut dengan
ultra
petita, diketahui
bahwa Mahkamah Konstitusi
tidak
diperbolehkan mengeluarkan sebuah putusan yang bersifat ultra petita. Martitah dalam disertasinya membagi ultra petita secara umum menjadi 4 (empat) jenis, yaitu: (1) membatalkan pasal yang tidak dimintakan; (2) memberi beban tambahan kepada Termohon; (3) putusan mengatur; dan (4) menentukan jangka waktu.7 Beberapa amar putusan di atas tidak sesuai dengan Pasal 45A yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau pertimbangan hakim. Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir. 4 Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili. 5 Yang dimaksud dengan amar putusan yang menyatakan permohonan ditolak, yaitu dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan UUDNRI 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan. Yang dimaksud dengan amar putusan yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima (niet ontvantkelijk verklaard), yaitu dalam hal MK berpendapat bahwa Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagai mana dimaksud dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU MK. Sedangkan yang dimaksud dengan amar putusan yang menyatakan dikabulkan, yaitu MK berpendapat bahwa permohonan beralasan. 6 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. op.cit., hlm. 142-147. 7 Martitah, 2012, “Fungsionalisasi Jaringan Sosial Dalam Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Yang bersifat Mengatur”, Disertasi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 294.
4
melebihi permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok permohonan. Ketentuan Pasal 45A dipertegas lagi kedalam Pasal 57 ayat (1), ayat (2), dan ayat (2a)8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut Mahkamah Konstitusi dilarang mengeluarkan putusan yang bersifat mengatur salah satunya adalah putusan yang bersifat Positive Legislature (amar putusan yang menemukan norma baru dan bersifat mengatur). Positive Legislature dipahami sebagai wilayah para legislator, bukan pengadilan. Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang amar putusannya yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mahkamah Konstitusi beberapa kali mengeluarkan putusan positive legislature. Dalam beberapa perkara yang putusannya memuat amar berupa perumusan suatu norma, diketahui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akan langsung berlaku ketika selesai diucapkan mengingat sifat putusannya yang final and binding. Oleh karenanya perumusan norma tersebut dianggap sebagai bentuk intervensi Mahkamah Konstitusi ke ranah Legislatif yang dalam hal ini dipegang oleh DPR. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
8
Pasal 57 ayat (2a) menyebutkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat amar selain sebagaimana dimaksud Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2); perintah kepada pembuat undang-undang; dan rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUDNRI 1945.
5
Daerah. Dalam amar putusan ini menghapuskan sebagian kalimat dari 1 pasal tersebut sehingga menimbulkan norma yang berbeda dari norma sebelumnya (norma baru). 1. Menyatakan 1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat, “...yang bertanggungjawab kepada DPRD” 2) Pasal 66 ayat (3) huruf e, “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPU” 3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat “...kepada DPRD” 4) Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “...oleh DPRD” Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 2. menyatakan 1) pasal 57 ayat (1) sepanjang anak kalimat “...yang bertanggungjawab kepada DPRD” 2) Pasal 66 ayat (3) huruf e, “meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPU” 3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat “...kepada DPRD” 4) Pasal 82 ayat (2) sepanjang anak kalimat “...oleh DPRD” Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110-111-112/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 205 ayat (4) adalah konstitusi bersyarat (conditionally constitution) sehingga Mahkamah Konstitusi memuat beberapa syarat/ketentuan baru. 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
6
2. Menyatakan Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP, maka partai politik tersebut memperoleh 1 kursi; 2) Apabila suara sah atau sisa suara partai peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka: a. Suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga; dan b. Sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga. 3. Menyatakan Pasal 211 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1) Menentukan jumlah kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan penghitungan tahap pertama. 2) Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Provinsi tersebut dengan cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kursi pada perhitungan tahap pertama, jumlah suara sah partai politik tersebut dikurangi dengan hasil perkalian jumlah kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP. b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahapan pertama , suara sah yang diperoleh Partai Politik tersebut dikategorikan sebagai sisa suara. 3) Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta Pemilu Anggota DPRD Provinsi, dengan cara membagikan sisa kursi kepada partai politik peserta Pemilu Anggota DPRD Provinsi satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh Partai Politik. 4. Menyatakan Pasal 212 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Artinya, konstitusional sepanjang dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
7
1) Menentukan jumlah sisa kursi yang belum terbagi, yaitu dengan cara mengurangi jumlah alokasi kursi di Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut dengan jumlah kursi yang telah terbagi berdasarkan perhitungan tahap pertama. 2) Menentukan jumlah sisa suara sah partai politik peserta pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut, dengan cara: a. Bagi partai politik yang memperoleh kurasi pada penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah partai politik tersebut dikurangi dengan hasil perkailan jumlah kursi yang diperoleh partai politik pada tahap pertama dengan angka BPP. b. Bagi partai politik yang tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, suara sah yang diperoleh partai tersebut dikategorikan sebagai sisa suara. 3) Menetapkan perolehan kursi partai politik peserta Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota, dengan cara membagikan sisa kursi kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPRD Kabupaten/Kota satu demi satu berturut-turut sampai semua sisa kursi habis terbagi berdasarkan sisa suara terbanyak yang dimiliki oleh Partai Politik. 4) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan perhitungan perolehan kursi DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kab/Kota tahap kedua hasil Pemilihan Umum Tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tetang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi memuat suatu norma baru mengenai tata cara pemilihan dalam Pemilu. Dalam bagian amar putusan, berbunyi: 1. 2.
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Pasal 28 dan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924), adalah konstitusional sepanjang diartikan mencakup warga negara yang tidak terdaftar dalam DPTdengan syarat dan cara sebagai berikut:
8
1) Selain Warga Negara yang terdaftar dalam DPT, Warga Negara Indonesia yang berlum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku atau paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang berada diluar negeri; 2) Warga Negara Indonesia yang menggunakan KTP harus dilengkapi dengan Kartu Keluarga atau nama sejenisnya; 3) Penggunaan hak pilih bagi Warga negara Indonesia yang menggunakan KTP yang masih berlaku hanya dapat digunakan di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di RT/RW atau nama sejenisnya sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP-nya; 4) Warga Negara sebagaimana disebutkan pada angka 3diatas, sebelum menggunakan hak pilihnya, terlebih dulu mendaftarkan diri pada KPPS setempat; 5) Warga Negara Indonesia yang akan menggunakan hak pilihnya mengunakan KTP atau paspor dilakukan pada 1 jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS atau TPS luar negeri setempat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi memberikan suatu penafsiran baru terhadap Pasal 43, dalam bagian pertimbangan hakim: “Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Bagian pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi didukung dengan amar putusan yang dikeluarkan:
9
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”; Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga merupakan putusan yang mengadung positive legislature. Dalam amar putusan dari putusan ini, berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perselisihan hasil Pemilihan Umum Kepada Daerah selama belum ada undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut”. Pada hakikatnya amar putusan Mahkamah Konstitusi hanya memuat bahwa suatu ayat atau pasal dalam suatu undangundang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak berlakunya undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Mahkamah Konstitusi tidak berwenang lagi mengadili sengketa hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah akan tetapi Mahkamah Konstitusi masih menyatakan bahwa dirinya berwenang untuk mengadili sengketa Pemilihan
10
Umum Kepala Daerah sampai ada peraturan perundang-undangan yang mengatur. Pada dasarnya sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah final and binding, namun dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi masih menyatakan dirinya berwenang. Salah satu problematika yang muncul adalah status dari putusan Mahkamah Konstitusi setelah keluarnya putusan ini. Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengandung ultra petita dan Positive Legislature secara dini dapat dikatakan mengingkari doktrin pemisahan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 24C UUDNRI Tahun 1945 yang merupakan bagian dari konsep checks and balances system, yakni konsekuensi dari dianutnya konsep negara hukum (rule of law), pemisahan kekuasaan (separation of power), dan perlindungan hak asasi manusia.9 Pembentukan hukum (undang-undang) adalah penciptaan hukum dalam arti umum. Pada umumnya berkaitan dengan perumusan aturan-aturan umum yang dapat berupa penambahan atau aturanaturan yang sudah ada sebelumnya.10 DPR selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. Fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR berkaitan dengan kegiatan pembentukan kebijakan publik yang disepakati bersama oleh wakil rakyat atas nama seluruh rakyat yang diwakili. Agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat mengatur dan mengikat seluruh warga negara, maka dituangkanlah kedalam bentuk hukum tertentu sebagai
9
Assiddiqie, Jimly. 2005, Model-Model Pengajuan Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan ke 2, Konstitusi Press, Jakarta, hlm.10. 10 http://boyyendratamin.blogspot.com/2012/05/eksistensi-hukum-islam-dan-pembentukan.html, diakses pada Senin, 15/09/2014 pukul 13.00 Wita.
11
“legislative acts”, yaitu dalam bentuk undang-undang. Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma (positive legislature). Tata cara pembentukan undang-undang pada dasarnya diawali dan dimulai dari perencanaan dan persiapan rancangan undang-undang baik yang dilakukan oleh DPR RI maupun Pemerintah RI, teknis penyusunan rancangan undangundang, pembahasan rancangan undang-undang di DPR RI oleh DPR RI dan Presiden RI untuk mendapatkan persetujuan bersama DPR RI dan Presiden RI, dan diakhiri dengan pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama DPR RI dan Presiden RI menjadi undang-undang oleh Presiden RI.11 Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat positive legislature akan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap proses pembentukan hukum yang dalam hal ini dipegang kekuasaannya oleh DPR selaku pembuat undang-undang baik terhadap perubahan undang-undang yang dibatalkan, dan proses pembuatan produk hukum itu sendiri. Terdapat indikasi bahwa Mahkamah Konstitusi mengintervensi kekuasaan legislatif dengan mengeluarkan putusan yang bersifat positive legislature. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis merumuskan masalah, sebagai berikut:
11
Soehino. 2011, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan: Setelah Dilakukan Perubahan Pertama dan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Cetakan Kedua, BPFE UGM, Yogyakarta, hlm 21.
12
1. Bagaimanakah implikasi yuridis putusan positive legislature Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang dibatalkan dan terhadap DPR selaku lembaga legislatif? 2. Bagaimanakah tindak lanjut yang ideal atas putusan postive legislature Mahkamah Konstitusi oleh DPR? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Umum Mendeskripsikan dan menjelaskan implikasi yuridis terkait dengan putusan positive legislature Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terhadap proses pembentukan hukum nasional. 2. Tujuan Khusus 1) Mendeskripsikan implikasi yuridis putusan positive legislature Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang dibatalkan dan terhadap DPR selaku lembaga legislatif dalam membentuk norma suatu undang-undang; 2) Mendeskripsikan mengenai tindak lanjut yang ideal atas putusan postive legislature Mahkamah Konstitusi oleh DPR. D. Manfaat Penelitian Setelah dilakukan penelitian ini, maka diharapkan terpenuhinya kontribusi berupa manfaat baik dalam tataran teoritis maupun praktis. Manfaat dimaksud adalah sebagai berikut:
13
1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum tata negara pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum tata negara berkaitan dengan kajian mengenai hubungan antara putusan Mahkamah Konstitusi dan pembentukan hukum.
2. Manfaat Praktis a. Guna mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dari proses perkuliahan. b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti. c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang berminat pada masalah yang sama. E. Keaslian Penelitian Guna menunjukan keaslian penelitian ini, penulis menekankan kepada orisinalitas gagasan penulis dari karya tulis sebelumnya, penulis menelusuri
dan mengetengahkan karya tulis ilmiah yang memiliki tema
kajian yang relevan dan berkaitan dengan permasalahan yang penulis angkat. Dari penelusuran penulis terdapat beberapa hasil penelitian sebelumnya yang
14
relevan dan cenderung mendekati permasalahan yang diteliti. Pertama, penelitian berasal tesis oleh Nurrahma Aji Utomo dari Universitas Gadjah Mada yang berjudul “Dinamika Legislasi Dalam Hubungan Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Analisis Hubungan Antara Pengujian UndangUndang Dengan Pembentukan Undang-Undang” yang ditulis pada tahun 2013. Tesis ini mengkaji perkembangan serta pelaksanaan fungsi Pengujian Undang-Undang dan Pembentukan Undang-Undang. Hasil penelitian Tesis bahwa perkembangan dan pelaksanaan hubungan mengarah kepada friksi berupa
lahirnya
anomali
putusan
Pengujian
Undang-Undang
yang
berbenturan terhadap praktik Pembentukan Undang-Undang yang berlaku. Ketiadaan mekanisme tindak lanjut putusan yang membatalkan norma dalam sebuah undang-undang, menyebabkan lahirnya anomali putusan. Friksi hubungan pengujian undang-undang dengan pembentukan undang-undang lahir dalam bentuk samar dan semu dengan ketiadaan mekanisme tindak lanjut. Upaya untuk mereduksi friksi di antara keduanya dilakukan untuk mencapai
hubungan
ideal
antara
pengujian
undang-undang dengan
pembentukan undang-undang. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang berjudul “Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi” yang ditulis pada tahun 2007. Penelitian ini mengkaji hubungan antara putusan Mahkamah Konstitusi dengan proses legislasi, muatan pembahasan penelitian ini terletak pada tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi dan Pengaruhnya terhadap proses legislasi. Analisis
15
dari PSHK ini lebih menguraikan ketidak seragaman respon terhadap putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR dan Pemerintah, dengan menjelaskan tahapan teknis pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pada penelitian terdahulu yang penulis uraikan, objek permasalahan bisa dikatakan mendekati dengan permasalahan yang penulis angkat, yakni membahas Pengujian Undang-Undang dengan Pembentukan Hukum yang terjadi di Indonesia. Terkait pembeda antara karya penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu diatas dapat diperinci dengan bahasan hanya putusan-putusan positive legislature Mahkamah Konstitisi serta pengaruhnya terhadap proses pembentukan hukum di Indonesia, ditambah dengan kajian teoritik serta sudut pandang yang digunakan oleh penulis tidak hanya mengupas mengenai teknis, akan tetapi juga membenturkan permasalahan dalam ranah teoritis hukum.