1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Indonesia secara tegas dalam konstitusinya menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum.1 Salah satu prinsip negara hukum menurut A.V. Dicey adalah adanya supremacy of law atau supremasi hukum.2 Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.3 Di dalam konstitusi diatur ketentuan-ketentuan yang fundamental, diantaranya mengenai bentuk Negara Indonesia sebagai negara kesatuan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Kemudian berdasarkan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, sebagai konsekuensi bentuk negara kesatuan adanya pembagian wilayah Indonesia menjadi daerah besar (provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Perlunya pembagian wilayah tersebut untuk menjalankan otonomi daerah, mengingat tugas presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan begitu besar, sebagaimana konstitusi menjelaskan bahwa, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luanya kecuali urusan
1 2
3
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 154. Ibid.
2
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.4 Selain itu, terdapat amanat konstitusi lainnya yang berbunyi”:5 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kedua ketentuan di dalam konstitusi tersebut memberikan jalan adanya penyelenggaraan pemerintahan hingga level desa, yang kemudian perlu diatur di dalam undang-undang. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maupun undang-undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, pada mulanya mengatur mengenai desa sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagai contoh, Pasal 200 sampai Pasal 216 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur berbagai kewenangan desa dalam upaya mengembangkan potensi masing-masing desa secara umum. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa kemudian memperinci pengaturan mengenai desa. Dikaitkan dengan kewenangan desa, peraturan pemerintah tersebut pada intinya mengatur bahwa:6 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; c. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan
4 5 6
Lihat Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587).
3
d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Kewenangan desa dewasa ini semakin diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014. Tidak sampai sembilan bulan kemudian, tepatnya pada 2 Oktober 2014, keluar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disusul 18 Maret 2015 keluar UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua undang-undang tersebut tidak mengubah ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 karena
lebih
rinci
mengatur
mengenai
otonomi
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota, serta kepala daerah baik gubernur maupun bupati atau walikota. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa saat ini mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa, disamping tiga kewenangan desa lainnya, yakni pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.7 Pada intinya, Undang-Undang Desa mengatur dan memberikan kesempatan bagi desa untuk mengurus kemampuannya sendiri dalam aspek ekonomi, sosial politik, kependudukan, dan potensi lainnya. Pelaksanaan kewenangan desa kemudian secara teknis diatur oleh peraturan pemerintah. Dengan
diakuinya
eksistensi
desa
termasuk
penyelenggaraan
pemerintahan desa melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, 7
Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495).
4
diharapkan dalam penataan desa akan menghasilkan kebijakan yang memberikan prioritas pada peningkatan kesejahteraan rakyat, pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis, pembagunan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban, serta relasi yang harmonis antar-desa. Seiring berjalannya waktu, impelentasi dari kewenangan desa yang diberikan melalui Undang-Undang Desa berdampak negatif. Hal ini dikarenakan pelaksanaan kewenangan desa tersebut didorong oleh kepentingan politik para elit pada masing-masing desa untuk dapat menduduki jabatan dan memperkaya diri. Anggaran yang diberikan kepada masing-masing desa sebagian besar hanya digunakan untuk belanja administrasi dan terbukti tidak mampu menjawab pertanyaan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Penyebab permasalahan lainnya juga terjadi karena kurang atau tidak mengetahui maupun memahami mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik unsur pemerintahan desa maupun terlebih masyarakat desa. Pada saat yang sama, telah berlaku living law dalam suatu desa yang tidak tertulis, tidak boleh
bertentangan
dengan
Undang-Undang
Desa.
Kondisi
demikian
memperlihatkan bahwa tidak semua desa siap melaksanakan peannya masingmasing dalam keberhasilan pelaksanaan kewenangan desa berdasarkan UndangUndang Desa. Selain itu, implementasi penyelenggaraan pemerintahan desa yang tidak sesuai harapan pemerintah pusat karena masih terdapat banyak pengaturan yang abstrak, tidak tersusun secara sistematis, maupun hal-hal penting yang tidak diatur dalam Undang-Undang Desa itu sendiri. Pun demikian, masih terdapat banyak kekurangan mengenai hal-hal yang diatur di dalam Undang-Undang Desa maupun
5
peraturan pelaksananya. Tidak hanya itu, pelaksanaan kewenangan desa juga dipengaruhi oleh kekuatan politik di dalam desa itu sendiri, maupun relasi antara pemerintah desa dengan pemerintah kabupaten/kota. Pada saat yang sama, semakin berkembangnya zaman, maka semakin kompleks pula permasalahan pada setiap desa mengingat kondisi geografis dan penduduk yang beragam, sangat mempengaruhi jalannya politik masing-masing wilayah. Mengingat banyak rumusan pasal mengenai kewenangan desa yang begitu luas, yang berpotensi akan menyebabkan penyelewengan dalam penyelenggaraan kewenangan desa dan tidak maksimalnya dalam upaya membangun desa masing-masing dengan segala fasilitas yang telah disediakan dari pusat. Sebagai contoh, Undang-Undang Desa telah mengatur bahwa pendapatan bagi pemerintah desa diambil dari APBN yang diterima oleh dan ditetapkan melalui APBD kabupaten/kota.8 Selain itu, tanah kas desa merupakan salah satu aset milik desa, yang mana diatur secara tersirat tidak dapat digunakan untuk peruntukkan lainnya termasuk pendapatan bagi pemerintah desa.9 Namun demikian, Pasal 100 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015, mengakomodir tanah bengkok sebagai pendapatan tunjangan bagi pemerintah desa, yang mendasarkan pada Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Desa. Begitu pula pelaksanaan kewenangan desa di Desa Sedadi yang terletak di Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Pendapatan tanah 8
9
Lihat Pasal 66 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495). Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5495).
(Lembaran Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
6
bengkok bagi pemerintah desa masih diterapkan di tengah sebagian besar penduduk berprofesi sebagai buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian dan petani yang memiliki lahan pertanian. Lahan pertanian yang sebagian besar terletak di wilayah utara desa, terdapat lahan pertanian milik kepala desa maupun perangkat desa yang dianggap sebagai bondo atau harta desa. Hal tersebut telah lama diterapkan sejak sebelum keluarnya UndangUndang Desa mengingat Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa masih mengakomodir hal tersebut sampai dengan saat ini. Di dalam peraturan daerah kabupaten tersebut diatur yang pada intinya mengatur bahwa salah satu penghasilan tetap pemerintah desa senilai uang dari hasil pemanfaatan tanah bengkok, meskipun dinyatakan bahwa, “Tanah Kas Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, tanah desa yang hasilnya dipergunakan untuk keperluan desa di luar gaji Kepala Desa dan Perangkat Desa …”.10 Besaran penghasilan bagi Pemerintah Desa Sedadi pun tidak terlepas dari proses penyusunan APBDes di dalam musyawarah desa, yang sangat dipengaruhi dari peran masing-masing unsur pemerintahan desa sesuai hak dan kewajibannya yang diberikan melalui Undang-Undang Desa. Permasalahan tanah bengkok sebagai pendapatan pemerintah desa tersebut menjadi salah satu dari sekian permasalahan implementasi atas Undang-Undang Desa yang tidak sesuai dengan pengaturan dan konsep yang dibangun di dalam undang-undang itu sendiri.
10
Lihat Pasal 1 angka 13, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Grobogan Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Grobogan Tahun 2009, tidak tercantum nomor dan seri).
7
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan yang
dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana Pemerintahan Desa Sedadi menggunakan otoritas yang diberikan oleh Undang-Undang Desa? 2. Bagaimana upaya Pemerintahan Desa Sedadi dalam melaksanakan asas partisipatif, asas keterbukaan, dan asas profesionalitas sebagaimana disebutkan di dalam Undang-Undang Desa?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Objektif Dalam lingkup ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan dan pengkajian ilmu hukum, khususnya dalam bidang desa yaitu: a. Untuk mengetahui peran Pemerintahan Desa Sedadi dalam upaya melaksanakan kewenangan desa sesuai otoritasnya yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta peraturan pelaksananya; dan b. Untuk mengetahui upaya Pemerintahan Desa Sedadi dalam melaksanakan kewenangan desa dilihat dari asas partisipatif, asas keterbukaan, dan asas profesionalitas sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
8
2.
Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan informasi, serta ilmu pengetahuan bagi
penulis dalam rangka mengemban tugasnya selama menjadi mahasiswa, khususnya dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D.
Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian dalam penulisan hukum ini, maka
penulis melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Adapun beberapa penulisan hukum yang terkait dengan topik yang dibahas oleh penulis diantaranya sebagai berikut: 1. Rasya Rahma, pada tahun 2008, telah melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Dampak Pemekaran Desa tehadap Pelaksanaan Pelayanan
Publik
di
Desa
Tilangobula”.
Penelitian
tersebut
mentitikberatkan pembahasannya mengenai faktor yang menyebabkan adanya pemekaran desa dan dampaknya terhadap pelayanan publik di Desa Tilangobula, Provinsi Gorontalo.11 2. Muhammad Farid Alwajdi, pada tahun 2013, telah melakukan penelitian dengan judul “Kedudukan dan Kewenangan Desa dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia”. Penelitian tersebut mentitikberatkan
11
Rasya Rahma, 2008, Tinjauan Yuridis Dampak Pemekaran Desa tehadap Pelaksanaan Pelayanan Publik di Desa Tilangobula, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8.
9
pembahasannya pada kedudukan dan kewenangan desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.12 3. Muhammad Nurcholis Alhadi, pada tahun 2014, telah melakukan penelitian dengan judul “Kedudukan Peraturan Desa Pasca UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011”. Penelitian tersebut memfokuskan pembahasannya dalam hal eksistensi peraturan desa setelah berlaunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.13 4. I Nyoman Pranata Sena, pada tahun 2016, telah melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Pemilihan Kepala Desa secara Serentak Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Kabupaten
Kulon
Progo”.
Penelitian
tersebut
memfokuskan
pembahasannya mengenai pelaksanaan pemilihan kepala desa di seluruh desa yang berada di Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dikaitkan dengan pengaturan mengenai pemilihan kepala desa di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.14
12
13
14
Muhammad Farid Alwajdi, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Desa dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8. Muhammad Nurcholis Alhadi, 2014, Kedudukan Peraturan Desa Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 7. I Nyoman Pranata Sena, 2016, Tinjauan Yuridis Pemilihan Kepala Desa secara Serentak Pasca Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di Kabupaten Kulon Progo, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 9.
10
Penelitian
ini
pada
intinya
berbeda
dengan
penelitian-penelitian
sebelumnya yang terkait dengan desa. Hal ini dikarenakan penelitian ini menelaah mengenai konsep pemerintahan desa yang dibangun di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beikut peraturan pelaksananya, sekaligus membahas implementasinya dengan studi kasus yang teletak di Desa Sedadi, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini secara khusus membahas lebih dalam mengenai kewenangan desa berupa penyelenggaraan pemerintahan desa berikut pembagian pokok bahasannya, yaitu kelembagaan pemerintahan desa, regulasi pemerintahan desa, tata laksana pemerintahan desa, serta pengelolaan kekayaan dan sumber daya desa, yang mana juga dikaitkan dengan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan desa.
E.
Manfaat Penelitian
1.
Secara Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini agar dapat memahami kewenangan
desa, khususnya konsep penyelenggaraan pemerintahan desa yang dibangun melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 2.
Secara Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Mendapatkan hasil evaluasi atas pelaksanaan kewenangan desa khususnya penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai UndangUndang Desa.
11
b. Memberikan
pemahaman
maupun
menumbuhkan
kesadaran
masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan desa mendasari pelaksaan kewenangan desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa. c. Memahami sekaligus mengkritisi konsep dan pengaturan kewenangan desa agar penyelenggaraan pemerintahan desa ke depan dapat berjalan secara efektif dan efisien.