BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Kondisi Transportasi Udara Indonesia Industri penerbangan merupakan industri dinamis yang secara terus – menerus menyesuaikan dengan berbagai kekuatan pasar, di antaranya harga bahan bakar minyak (BBM), pertumbuhan ekonomi, peraturan lingkungan, liberalisasi pasar, kemampuan pesawat dan moda transportasi lainnya. Pertumbuhan ekonomi memiliki
kecenderungan
menarik
yang
berdampak
pada
peningkatan
pertumbuhan industri penerbangan nasional yang diukur melalui revenue passanger kilometers (RPK) dengan indikator produk domestik bruto (PDB) [1]. Pertumbuhan transportasi udara nasional tercatat 13% dengan total penumpang mencapai 60 juta penumpang pada tahun 2013. Pertumbuhan transportasi udara diprediksi meningkat 26% pada tingkat PDB sebesar 7% periode 2015 – 2019 [2]. Kondisi ini juga ditandai dengan meningkatnya armada yang beroperasi dari 700 unit tahun 2012 menjadi 741 unit tahun 2013 [3]. Peningkatan armada akan berdampak pada peningkatan konsumsi avtur di Indonesia. Tahun 2013, konsumsi avtur sebanyak 4,16 juta kilo liter dimana tingkat produksi hanya 2,96 juta kilo liter sedangkan kekurangannya diimpor sebanyak 948 ribu kilo liter [4]. Dengan angka pertumbuhan 26% diprediksi konsumsi avtur tahun 2020 akan mencapai 8,69 juta kilo liter [3]. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar jet di masa mendatang, maka perlu diketahui kondisi pasokan minyak bumi di Indonesia.
1.1.2 Kondisi Pasokan dan Harga Bahan Bakar Jet Bahan bakar jet (aviation kerosene) merupakan produk olahan minyak bumi melalui proses crude distillation unit (CDU) fraksi middle distillate, dimana hingga saat ini bahan baku jet fuel masih bersumber dari minyak bumi, sementara cadangan minyak bumi di Indonesia mulai menipis. Data dari Energi dan Sumber Daya Mineral - ESDM (2013) menyatakan cadangan minyak mentah Indonesia hanya 7,4 milyar barrel yang terdiri dari 3,74 milyar barrel cadangan yang terbukti dan 3,66 milyar barrel masih berstatus potensi [4]. Dengan angka tersebut, diperkirakan Indonesia hanya mampu bertahan hingga tahun 2024. Ketidakstabilan pasokan minyak bumi berdampak pada fluktuasi harga minyak bumi yang berimplikasi pada harga bahan bakar penerbangan. Data dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 harga bahan bakar jet mencapai US$ 120/barrel pada posisi harga minyak dunia US$ 110/barrel. Tahun 2013 biaya pengadaan bahan bakar pesawat mencapai 30 – 50% dari total biaya operasional penerbangan. Ketidakstabilan harga bahan bakar jet yang dipengaruhi pasokan minyak bumi mempengaruhi profitabilitas maskapai penerbangan dunia termasuk Indonesia. Isu penerbangan lainnya terkait dengan penggunaan bahan bakar penerbangan yakni kontribusi emisi CO2 dari aktivitas penerbangan. Chevron (2006) menyatakan sumber emisi CO2 dari aktivitas penerbangan berasal dari pembakaran intenal jet engine dan operasional auxiliary power unit (APU) [5]. Emisi CO2 dari transportasi udara tidak bisa diukur secara akurat karena proses pembakaran tidak terjadi di darat. Dengan demikian, IEA memperkirakan jumlah
emisi transportasi udara global mencapai 568,5 MtCO2. International Air Transportation Association (IATA) mengungkapkan emisi CO2 dan kelangkaan pasokan minyak bumi dapat direduksi dengan penggunaan sumber energi terbarukan. Penggunaan bahan bakar jet alternatif (biojet) mampu mereduksi emisi CO2 hingga 55% - 92% dari jet konvensional. Oleh karena itu, IATA membuat kebijakan strategi 4 pilar green aviation dengan salah satu strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penggunaan biofuel penerbangan (biojet) dengan target blending jet konvensional sebanyak 30% tahun 2030 dan 50% tahun 2050. IATA mengungkapkan biofuel penerbangan yang dikembangkan harus aman, layak, berkelanjutan, lebih fleksibe dan compatible pada sistem dan infrastruktur penerbangan saat ini tanpa perlu melakukan modifikasi pada engine dan struktur pesawat. Sebagai upaya futuristik untuk menemukan solusi dari permasalahan tersebut, maka IEA mengungkapkan ada berbagai raw material dari sumber terbarukan (renewable resources) yang mampu diproses menjadi bahan bakar jet yang ramah lingkungan. IEA membagi klasifikasi biofuel penerbangan menjadi dua tipe yakni generasi conventional dan generasi advanced (lihat Tabel 1.1). Tabel 1.1 Klasifikasi Biofuel Klasifikasi Generasi Pertama G1 Generasi Kedua G2
Tipe Biofuel
Conventional
Advanced
Raw Material Sugar Starch Vegetable oil, Animal oil & fat Used cooking oil Lignin Celloluse Hemicellulose
Sumber: International Energy Agency (IEA)
Teknologi Proses Fermentation Transesterification Fischer Tropsch Hydroprocessing Biochemical Thermochemical Hybrid (Biorefinary)
Untuk realisasi penggunaan biofuel tersebut, maka perlu adanya evaluasi kelayakan dari raw material, teknologi proses dan kualitas biojet yang dihasilkan guna menjamin produk biojet yang diperoleh aman, layak, berkelanjutan dan sifat propertis biojet memenuhi standar propertis bahan bakat jet. 1.1.3 Evaluasi Kelayakan Biojet 1.1.3.1 Evaluasi kelayakan teknis Kelayakan teknis (technical feasibility) adalah ukuran kepraktisan solusi teknis tertentu. International Civil Aviation Organization (ICAO) menyatakan bahwa, secara teknis dalam memproduksi biojet menghadirkan berbagai tantangan – tantangan yang perlu ditemukan solusinya untuk menghasilkan produk yang aman, layak dan berkelanjutan. Kriteria aman dan layak mengartikan bahwa biojet yang dihasilkan memenuhi standar propertis bahan bakar penerbangan sedangkan kriteria keberlanjutan untuk produk biojet [6], antara lain : 1) produk biojet mampu mereduksi emisi dengan persyaratan minimum 50% dari jet konvensional, 2) tidak diperbolehkan adanya konversi lahan dengan stok karbon yang tinggi dan 3) bahan baku tidak berasal dari lahan yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi seperti: hutan primer.
Gambar 1.1 Tahapan Proses Produksi Biojet Sumber: ICAO Report, 2010
Pada keseluruhan tahapan proses, beberapa hal yang sangat penting untuk menguatkan produksi biojet, di antaranya ketersediaan raw material, teknologi proses yang standar atau proven dan biofuel yang bersertifikat. Raw material proses produksi merupakan bahan mentah atau bahan setengah jadi yang kemudian digunakan dalam suatu proses produksi untuk menghasilkan suatu produk. Untuk mengetahui sejauhmana potensi raw material produksi biojet, berikut disajikan Tabel 1.2 mengenai evaluasi kelayakan teknis dari berbagai raw material, teknologi proses dan kuaitas biojet yang dihasilkan. Tabel 1.2 Evaluasi Kelayakan Teknis Biojet Peneliti UOP [7]
Feedstock Rapeseed Oil Soybean Oil Palm Oil Jatropha Oil
Teknologi
Hasil
Hydroprocessed Ester and Fatty Acid (HEFA)
Kualitas blending biojet dan avtur memenuhi sifat propertis ASTM D7655.
McCall,dkk [8]
Soybean Oil
HEFA
Biojet memenuhi standar propertis ASTM D7655.
Hileman,dkk [9]
Crude Oil Oil Sands Natural Gas Biodiesel Biokerosen Jatropha Oil Camelina Oil
Conventional Tech. Unconvent Tech. Fischer Tropsh (FT) HEFA
Semua jenis bahan bakar compatible pada infrastruktur pesawat kecuali biodiesel dan biokerosene.
Hui,dkk [10]
Camelina Oil Tallow
HEFA
Dewitt,dkk [11]
Tallow Camelina Oil
HEFA
Lupton,dkk [12]
Alga Oil
HEFA
Casey,dkk [13]
Camelina Oil
HEFA
Moser,dkk [14]
Camelina Oil
HEFA
Angka setana biojet camelina oil lebih tinggi dari jet konvensional. Blending 50% biojet dan 50% JP-8 menghasilkan 16% kandungan aromatik (lebih rendah dari kandungan 100% JP-8). Biojet alga oil memenuhi properties standar bahan bakar jet. Parameter propertis autoignition biojet camelina oil lebih cepat dari JP-8. Camelina biojet mampu mereduksi emisi hingga 60% dan tergolong non-edible oil sehingga tidak bersaing dengan bahan pangan.
Tabel 1.2 Evaluasi Kelayakan Teknis Biojet (Lanjutan) Peneliti
Liu,dkk [15]
Llamas,dkk [16]
Feedstock Crude Oil Oil Sands Coal Natural Gas Lignin Palm Oil Soybean Oil Camelina Oil Jatropha Oil
Coconut Oil Palm Kernel Oil
Teknologi
Hasil
Convent. Tech Unconvent. Tech FT-CtL FT-BtL HEFA
Kualitas paraffin pada proses HEFA/HRJ berbahan baku vegetabe oil lebih superior dari bahan baku dan teknologi proses lainnya.
TransEsterifikasi Distillate
Pencampuran 5% biokerosen pada jet konvensional hanya memenuhi standar propertis bahan bakar pada density dan viskositas bahan bakar dengan rekomendasi blending 10%.
Dari hasil evaluasi kelayakan teknis dari raw material, teknologi proses dan kualitas produk dapat disimpulkan bahwa raw material dan teknologi proses yang menjanjikan dalam produksi biojet di antaranya sebagai berikut: 1. Minyak terbarukan (renewable oil) yang berasal dari tumbuhan maupun hewan (vegetable or animal oil and fat) dengan teknologi proses hydroprocessed ester and fatty acid (HEFA) atau hydroprocessed renewable jet (HRJ) atau Bio-Synthetic Paraffine Kerosene (Bio-SPK). 2. Sumber biomassa lainnya yang berasal dari sisa produk pertanian, perkebunan dan hutan dengan teknologi proses melalui teknologi Fischer Tropsch (FT) dalam bentuk Biomassa to Liquid (FT-BtL), Coal to Liquid (FT-CtL) dan kombinasinya. Produk biojet yang diperoleh melalui proses HEFA dan FT telah diuji sifat propertisnya untuk menjamin bahwa biojet yang diperoleh aman dan sesuai standar bahan bakar jet. Standar biojet yang diproses melalui kedua teknologi
tersebut dibakukan dalam ASTM D7655. Di bawah ini Tabel 1.3 perbandingan sifat propertis dari jet konvensional (D1655) dan biojet (D7655). Tabel 1.3 Standar Propertis Jet (D1655) dan Biojet (D7566) Spesifikasi ASTM D1655* ASTM D7566** Aromatics (% vol.) 25 17,2 Heat of Combustion, MJ/kg 42,8 43 Freeze Point, °C -40 -47 jet A-1, -40 jet A Flash Point, °C 22,5 - 66 38 Viscosity -20°C (mm2/det) 8 4,1 Smoke Point, min mm 25 25 Density, kg/L 0,775 - 0,840 0,730 – 0,770 Boiling Point, °C 300 260 Sulfur Content, %wt 0,3 0,064 Sumber: *)British Petroleum (BP) dan **)Universal Oil Product (UOP)
Dari Tabel 1.3 terlihat perbandingan kualitas bahan bakar yang berasal dari crude oil (avtur) dan renewable oil (biojet). Uji propertis biojet dari berbagai raw material bersumber dari minyak nabati dan minyak serta lemak hewani menunjukkan kualitas yang lebih baik dari avtur. Blending biojet sekian-% terhadap avtur (JP-8 atau Jet A/Jet A-1) tidak merubah sifat propertis bahan bakar, tidak mengganggu struktur maupun engine pesawat, maka biojet ini disebut sebagai “drop-in” biofuel aviation. Tabel 1.4 Propertis Biojet Dari Renewable Oil Propertis Aromatic (% vol.) Heat of Combust.(MJ/kg) Freeze Point, °C Flash Point, °C Viscosity -20, cSt Density, kg/L(15°C) Boiling Point, °C Ignition Time, ms Sulpur Content, %wt
Tallow[17] 0,4
Camelina[17] 0,0
Alga[15] 0,0
Soybean[8] 0,0
Jatropha[18] 0,0
44,1
44,3
44,3
44,3
44,3
-62 55 5,3 0,758 255 2,58 <0,0003
< -77 43 3,3 0,751 259 2,82 <0,0018
-48,6 42,5 0,755 279 <0,0018
-52,6 53 0,759 279 <0,0018
-57 46,5 3,6 <0,0018
Tabel 1.4 menyajikan propertis hasil proses HEFA dari beberapa renewable oil potensi biojet. Biojet tersebut telah mulai diproduksi dalam skala komersial oleh beberapa perusahaan minyak dan telah diuji keberhasilan performa pesawat melalui flight test pada beberapa pesawat di dunia. Produsen yang telah memproduksi biojet di dunia di antaranya Amyris, Dynamic Fuel, Gevo, Solayzme, Lanzatech, Neste Oil, Sapphire, Virent, Rentech, UOP Honeywell, Shell, Syntroleum, Conoco Philips dan Petro China Sinopec [19]. Tabel 1.5 Produsen Biojet di Dunia Produsen Biojet Amyris Dynamic Fuels Gevo Solayzme Lanzatech Neste Oil Sapphire Virent Rentech UOP Sinopec Petro China
Bahan Baku Sugarcane Animal fats, greases dan vegetable oil Platform Algae Forestry dan agricultural residues Municipal waste dan coal Palm oil dan animal fat Waste form food industry Algae Sugar dan corn production waste Biomassa dan waste materials Vegetable, animal fat dan oil Jatropha dan palm oil
Lokasi Brazil United State United State United State United State Finlandia United State United State China
Sumber : Berdy (2014)
Pada Tabel 1.5 produsen biojet telah mendapat dukungan dari supporter penerbangan (IATA, IEA, FAA, RFS), operator penerbangan (Airbus, Boeing) maupun airline – airline di dunia melalui kesepakatan dalam bentuk MoU pembelian biojet. Biojet yang diproduksi telah diuji kelayakan performa pada beberapa pesawat komersial dan pesawat militer di dunia. Hasil flight test menunjukkan keberhasilan pesawat tanpa mengalami kegagalan engine atau kegagalan teknis lainnya dalam pengujian performa biojet.
Tabel 1.6 Beberapa Hasil Uji Terbang Biojet Maskapai
Tipe Pesawat
Tanggal Flight Test
Virgin Atlantic
B747-400
23 Feb 2008
Coconut oil & Babassu oil
Air New Zealand
B747-400
30 Dec 2008
Jatropha oil
Continental Airlines
B737-800
07 Jan 2009
Algae oil & Jatropha oil
Japan Airlines
B747-300
30 Jan 2009
Camelina, Jatropha & Algae oil
KLM
B747-400
23 Nov 2009
Camelina oil
A320
23 Nov 2009
Jatropha oil
Interjet
A320-214
01 Apr 2011
Jatropha oil
Air China
B747-400
2011
Jatropha oil
TAM Airlines
Raw material
Sumber: Garham (2011); ATAG (2011)
1.1.3.2 Evaluasi kelayakan lingkungan dan sosial Secara
teknis,
biojet
layak
untuk
direalisasikan,
tetapi
dalam
implementasinya, biojet juga harus dievaluasi dari aspek lingkungan dan sosial. Evaluasi kelayakan lingkungan (environmental feasibility) biojet mengenai dampak dari sisi ekologis yang ditimbulkan dari keseluruhan proses produksi biojet sedangkan evaluasi kelayakan sosial (social feasibility) biojet mengenai apakah pabrik biojet membawa manfaat positif atau negatif pada kehidupan sosial budaya masyarakat seperti tidak terganggunya ekosistem, tidak mengganggu kesehatan manusia, tidak merusak kualitas udara dan lain sebagainya. ICAO mengungkapkan syarat produksi biojet harus mampu mereduksi CO2 minimal 50% yang dievaluasi mulai dari proses pembudidayaan hingga penggunaan akhir pada pesawat (end-use). Berikut evaluasi kelayakan lingkungan dan sosial produksi biojet dari beberapa penelitian yang telah dilakukan.
Tabel 1.7 Evaluasi Kelayakan Lingkungan Biojet Peneliti
Wong[20]
Raw Material dan Teknologi Oil Sands dan Oil Shale (Unconven.Tech) Nat.gas, Coal dan Biomassa (F.Tropsch) Soybean oil dan Palm Oil (HEFA)
Hasil LCA GHG emission menunjukkan alternatif jet dari teknologi F.T dan HEFA menawarkan substansi yang dapat mereduksi emisi CO2 dengan syarat no direct land use.
Han,dkk[21]
Soybean, Palm, Rapseed, Jatropha dan Camelina Oil (HRJ) Corn stover dan Coal (FT) Corn stover (Pyrolisis Jet)
Stratton[22]
Crude Oil (Convent.Tech) Oil Sands (Unconvent.Tech) Coal (FT-CtL) Corn stover dan forest residue (FT-BtL) Coal combine biomass (FT) Soybean, Palm, Rapeseed, Jatropha dan Camelina Oil (HRJ/HEFA)
Baka,dkk[23]
Jatropha Oil (Bio-SPK)
LCA biojet menunjukkan reduksi emisi pada masing –masing proses: HRJ : 41 – 63% FT : 89% Pyrolisis : 68 – 76% Hasil LCA GHG emission menunjukkan bahan baku dengan teknologi proses HEFA/HRJ akan meningkatkan emisi CO2 lebih dari jet konvensional jika dilakukan perubahan lahan baik langsung maupun tidak langsung LCA GHG emission menunjukkan dengan asumsi 20 tahun masa tanam, tanpa perubahan lahan mampu mereduksi 55% CO2 dari jet konvensional.
Tabel 1.8 Evaluasi Kelayakan Sosial Biojet Peneliti
Objek Kajian
Steer[24]
Lifecycle penilaian keberlanjutan industri biojet di New Zealand
Li,dkk[6]
Evaluasi dampak produksi Biojet dan Biodiesel dari camelina oil melalui proses HEFA terhadap lingkungan, kesehatan manusia dan konsumsi energi
Hasil Untuk mendapat biojet yang layak secara teknis, ekonomi dan lingkungan serta diterima secara sosial, bahan baku produksi biojet skala komersil dan berkelanjutan harus menggunakan bahan baku “nonfood” seperti lignoselulosa, limbah perkotaan, residu produk hutan dan limbah dari pengolahan kayu industri. Hasil LCA renewable diesel dan jet mampu mereduksi emisi dari jet A-1. Tiga faktor menyebabkan terganggunya kesehatan manusia yaitu penggunaan gas alam, pupuk dan pestisida yang berekspansi ketanaman dan kualitas air.
Berdasarkan evaluasi kelayakan lingkungan dan sosial pada penilaian life cycle analysis GHG emission menunjukkan biojet mampu mereduksi emisi CO2 hingga 80% dengan syarat tanpa ada perubahan lahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika pemanfaatan lahan dieksplorasi secara berlebihan
seperti adanya pembukaan dan perluasan lahan budidaya, maka emisi CO2 yang dibangkitkan dari produksi biojet lebih besar dari jet konvensional. Dari aspek sosial, perubahan lahan dalam rangka meningkatkan kapasitas produksi renewable oil masih berdampak negatif pada kehidupan manusia, karena eksplorasi lahan tanam secara signifikan akan mempengaruhi kualitas udara, terganggunya kualitas air dan ekosistem lainnya. Untuk produksi skala komersial, penawaran yang paling menjanjikan dalam produksi biojet akan diterima selama bahan baku produksi tidak berfungsi sebagai bahan pangan. Pembangunan pabrik biojet telah mampu menciptakan lapangan kerja karena menyerap tenaga kerja yang cukup banyak.
Gambar 1.2 Lifecycle Emission Biojet Sumber: Beginner Guide Aviation Fuel
1.1.3.3 Evaluasi kelayakan ekonomi Dalam proses produksi biojet perlu dilakukan evaluasi kelayakan ekonomi atau finansial untuk menilai apakah proses produksi biojet bernilai ekonomis. Teknologi proses fischer tropsch (FT) dan hydroprocessed ester and fatty acid
(HEFA) menggunakan sejumlah teknologi tinggi dan tergolong mahal. Untuk melihat sejauhmana evaluasi ekonomi dilakukan, berikut Tabel 1.9 gambaran evaluasi ekonomi produksi biojet yang telah dilakukan. Tabel 1.9 Evaluasi Kelayakan Ekonomi Biojet Peneliti
Saskatchewan Council, Canada
Daniel K [25]
Pearlson [26]
Winchester,dkk [27]
Natelson R. [28]
Hasil Raw material : Camelina oil dan Carinata oil Teknologi : HEFA Kapasitas Produksi Biojet : 230 juta liter per tahun Biaya Produksi : US$ 165 – 245 juta per tahun Kebutuhan Bahan Baku : US$ 350 juta Kebutuhan Lahan : 800 ribu – 1 juta Ha Ketika harga crude oil US$ 100/barrel, maka diperoleh net income sebesar US$ 50 juta per tahun dengan harga jual biojet US$ 0,80/liter. Raw material : Microalgae, Pongamia pinnata dan sugarcane Teknologi : HEFA Total Capital Investment ($ Juta/tahun) : $ 3.451, $ 506, $ 259 Annual Operating Cost ($ Juta/tahun) : $ 984, $ 303, $ 253 Minimum Selling Price ($ Juta/barrel) : $1.348, $ 373, $ 301. Biojet akan kompetitif jika harga crude oil pada $1.348, $ 373 dan $ 301 per barrel. Raw material : Soybean Oil Teknologi : HEFA Biaya produksi dasar US$ 3,80 – 4,38 per gallon. Estimasi biaya tambahan produksi antara US$ 0,25 – 0,30 per gallon. Raw material : Soybean Oil Teknologi : HEFA Produksi Biojet : 1 Milyar Gallon Perlu subsidi implisit dari pemerintah kepada produsen biojet $ 2,69 per gallon. Jika ditunjang dengan tanaman rotasi lainnya, subsidi implisit hanya US$ 0,25 per gallon. Biaya karbon dapat direduksi antara US$ 50 – 400/ton. Raw material : Camelina oil Teknologi : Hydrolisis – Decarboxylation – Reforming Biaya bahan baku : US$ 0,31/kg Biaya Investasi : US$ 283 juta (Dollars in 2014). Harga jual produk pada kondisi BEP yakni US$ 0,80/kg.
Dari evaluasi kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa harga bahan baku sangat berpengaruh pada proporsi harga bahan bakar biojet, kapasitas pabrik, kapasitas utilitas serta finansial pabrik. Harga jual biojet cukup bersaing terhadap avtur dengan nilai investasi cukup tinggi. Pearlson (2011), potensi bahan bakar hydroprocessed renewable oil (HRO) dalam penetrasi pasar tergantung pada
ketersediaan bahan baku dan akses modal [26]. Oleh karena itu, pemilihan raw material menjadi sangat penting untuk dilakukan sebelum pabrik dibangun karena akan mempengaruhi finansial pabrik. Keseluruhan evaluasi kelayakan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa biojet termasuk dalam komoditas baru. Sebagai target proyeksi pemasaran, pabrik biojet di Indonesia sangat terbuka lebar dikarenakan belum didirikannya pabrik sejenis dan potensi raw material yang berlimpah. Selain itu, program penggunaan biojet merupakan kebijakan yang telah ditetapkan secara internasional maupun domestik dalam upaya penggunaan sumber renewable energy. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi masalah mendasar terkait pembangunan pabrik biojet adalah pemilihan jenis raw material yang tepat dalam produksi biojet di Indonesia. Raw material atau bahan baku proses dalam pabrik merupakan faktor produksi yang sangat menentukan kelancaran proses produksi. McCall dan Kalnes (2009) menyatakan, raw material dari jenis minyak terbarukan (renewable oil) yang berasal dari jenis minyak nabati (vegetable oil) dan jenis minyak lemak hewani (animal and fat oil) yang dapat diproses atau dimodifikasi menjadi biojet (aviation fuel drop-in) di antaranya yakni canola (rapeseed) oil, corn oil, soybean oil, colza oil, tall oil, sunflower oil, hempseed oil, olive oil, linseed oil, coconut oil, castor oil, peanut oil, palm oil, mustard oil, cottonseed oil, tallow, yellow grease, brown grease, lard, train oil, fat in milk, fish oil, alga oil, sewage sludge oil, chupea oil, camelina oil, jatropha oil, babasu oil, palm kernel oil dan crambe oil [8].
Secara teknis, Indonesia mampu menghasilkan keseluruhan renewable oil tersebut karena kondisi geografis yang menyebabkan Indonesia menerima energi surya yang memiliki potensi dalam produksi sumber nabati. Namun untuk mengetahui renewable oil yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam produksi biojet di Indonesia, maka perlu dilakukan evaluasi raw material secara teknis dan ekonomi untuk dikembangkan di Indonesia. Dari 60-an jenis minyak terbarukan di Indonesia, maka akan dipilih 3 kandidat raw material untuk dievaluasi potensi teknis dan ekonominya. 1.3 Perumusan Masalah Dari identifikasi masalah tersebut, maka akan dipilih 3 kandidat raw material minyak terbarukan dari jenis minyak nabati (vegetable oil) dengan satu teknologi proses sesuai kategori raw material prosesnya yang dirancang dengan kapasitas tertentu. Ketiga raw material akan dievaluasi potensinya dengan mempertimbangkan faktor teknis dan ekonomi dengan masing – masing indikator dapat dilihat pada Tabel 1.10 di bawah ini. Tabel 1.10 Kriteria Evaluasi Teknis dan Ekonomi Biojet Faktor Teknis Label Faktor Ekonomi 1) Kandungan asam lemak T1 1) Ketersediaan raw a. Jumlah asam lemak T1a material (ton/tahun) penyusun 2) Harga raw material b. Asam lemak tak jenuh T1b (Rp/kg) (%) 3) Estimasi investasi awal 2) Kebutuhan gas H2 T2 a. Reaktor-1 (kg/jam) T2a b. Reaktor-2 (kg/jam) T2b 3) Yield biojet (%) T3
Label E1 E2 E3
Penetapan raw material terbaik akan menggunakan metode grid analysis yakni suatu metode pengambilan keputusan dari beberapa alternatif pilihan dengan beberapa indikator yang berpengaruh. Alternatif terpilih akan dievaluasi aspek finansial dan kelayakan tekno-ekonomi. Parameter kelayakan dari pabrik ini dapat dilihat pada Tabel 1.11 di bawah ini. Tabel 1.11 Kriteria Kelayakan Ekonomi Syarat Kelayakan Ekonomi NPV > 0 Pabrik layak NPV < 0 Pabrik tidak layak BEP ≤ 50% Pabrik layak BEP ≥ 70% Pabrik kurang layak ROI ≤ 15 % Risiko pengembalian modal rendah. 15 % ≤ ROI ≤ 45 % Risiko pengembalian modal rata – rata. ROI ≥ 45 % Risiko pengembalian modal tinggi. DCFROR > suku bunga bank Pabrik layak DCFROR < suku bunga bank Pabrik tidak layak
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni memperoleh 1 raw material terbaik dari 3 raw material alternatif potensi produksi biojet di Indonesia dengan pertimbangan faktor teknis dan ekonomi. Raw material terpilih akan dievaluasi lebih lanjut melalui analisis tekno-ekonomi sehingga memperoleh gambaran investasi, harga jual produk dan kelayakan pabrik biojet di Indonesia dari raw material potensi raw material yang terpilih. 1.5 Batasan Masalah Penelitian ini memiliki ruang lingkup untuk membatasi analisisnya. Ruang lingkup pembahasan penelitian sebagai berikut:
1. Analisa pemilihan raw material biojet dari 3 alternatif raw material hanya mempertimbangkan 2, di antaranya: 1) faktor teknis dengan indikator indikatornya yakni: a) profil asam lemak (jumlah asam lemak penyusun atau teridentifikasi dan asam lemak tak jenuh), b) kebutuhan gas H2 (pada reaktor R-01 dan pada reaktor R-02) dan c) yield biojet dan 2) faktor ekonomi dengan indikator sebagai berikut: a) ketersediaan raw material, b) harga raw material dan c) estimasi investasi awal berdasarkan profil asam lemak. Evaluasi pemilihan raw material melalui metode grid analysis dengan evaluasi level 3 tingkat pada faktor teknis dan faktor ekonomi dengan level 2 tingkat. 2. Dari hasil evaluasi faktor teknis menghasilkan sebuah process flow diagram (PFD) pabrik biojet dari vegetable oil dengan kapasitas 245.000 ton/tahun. PFD akan dimodelkan dan disimulasikan pada software ASPEN Plus untuk mengetahui konversi minyak terbarukan menjadi produk biohidrokarbon terutama biojet. ASPEN Plus akan secara langsung menghitung neraca massa, neraca panas dan spesifikasi alat yang digunakan pada proses ini. ASPEN Plus juga akan mendefiniskan sifat propertis dari produk yang terbentuk. 3. Beberapa asumsi yang dilakukan dalam analisa ekonomi, di antaranya: a. Analisa finansial yang dilakukan merupakan off-farm investment atau kajian hanya pada kondisi raw material existing. b. Analisa ekonomi tidak menghitung biaya emisi karbon (carbon tax) dan tidak mengevaluasi siklus emisi yang dihasilkan dari pabrikasi biojet. c. Desain kapasitas pabrik dilakukan dengan pertimbangan kebijakan 5% blending biojet tahun 2020 dari proyeksi kebutuhan avtur di tahun 2020.
d. Analisa finansial yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai investasi total, harga jual produk minimum dan kelayakan pabrik biojet berkapasitas 245.000 ton/tahun di Indonesia. 1.6 Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat langsung dari hasil penelitian a. Dari hasil evaluasi raw material produksi biojet, akan diperoleh urutan dari 3 raw material potensial dalam produksi biojet di Indonesia, sehingga diperoleh 1 raw material yang sangat potensial. b. Dari evaluasi teknis dalam analisis teknologi proses yang akan dilakukan, diperoleh sebuah process flow diagram (PFD) yang dapat memberikan gambaran investasi terkait pendirian pabrik biojet di Indonesia. 2. Manfaat jangka menengah a. Memberikan gambaran bahwa Indonesia secara geografis mampu memproduksi berbagai sumber minyak terbarukan (renewable oil) yang dapat di sintesa menjadi bahan bakar jet yang rendah emisi. b. Peluang investasi bagi investor dalam negeri untuk memanfaatkan berbagai raw material potensi produksi biojet. 3. Manfaat jangka panjang a. Sebagai upaya substitusi bahan bakar jet dalam upaya mengamanan pasokan energi nasional dan sebagai upaya menjamin ketersediaan bahan bakar jet dimasa mendatang sekaligus dapat mengurangi nilai impor.
b. Sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan dan peraturan lainnya yang mendukung realisasi berbagai raw material biojet di Indonesia. 1.7 Keaslian Penelitian Penelitian ini mengenai pemilihan raw material potensial produksi biojet di Indonesia melalui evaluasi faktor teknis dan faktor ekonomi, kemudian raw material terbaik yang dievaluasi menggunakan metode grid analysis yang kemudian akan dianalisis keekonomian. Penelitian ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Beberapa penelitian yang sama mengenai kajian ekonomi teknik dalam evaluasi raw material potensi produksi biojet sebagai berikut. Tabel 1.12 Penelitian Terkait Evaluasi Ekonomi Teknik Biojet No.
Peneliti
1.
M.Noah Pearlson (2011)
2.
Daniel KM Turner Chirstopher Allen Mark Gray Peter Dietzgen RG Gresshoff PM Hankamer B Heimann K Speight R Paul Scott (2013)
3.
Crawford TJ (2013)
Judul dan Objek Kajian Judul: A Techno-economic and environmental assessment of hydroprocessed renewable distillate fuels Objek Kajian: Membahas biaya produksi biojet berbahan baku soybean oil dengan teknologi hydroprocessed Judul: Techno-economic analysis of renewable aviation fuel from microalgae, pongamia pinnata, and sugarcane. Objek Kajian: Membahas nilai investasi dalam produksi biojet dari 3 raw material untuk memperoleh harga jual biojet dari tiap raw material dengan teknologi proses HEFA.
Judul: Techno-economic analysis of hydrocarbon biofuel from poplar biomass. Objek Kajian: Membahas mengenai biaya produksi biojet berbahan baku lignin dengan proses gasifikasi – biochemical serta menghitung harga jual biojet.
Tabel 1.12 Lanjutan No.
Peneliti
4.
Niven Winchester D. McConnachie C.Wollersheim Ian A. Waitz (2013)
5.
Gonca Seber Robert Malina M.Noah Pearlson Hakan Olcay James I.Hileman Steven R.H.Barrett (2014)
6.
Natelson R.H Wang Wei C Roberts W Zering KD (2015)
Judul dan Objek Kajian Judul : Economic and emissions impacts of renewable fuel goal for aviation in the US Objek Kajian: Membahan biaya produksi biojet berbahan baku soybean oil untuk penerbangan di Amerika Serikat Judul : Environmental and economic assessment of producting hydroprocessed jet and diesel fuel from waste oil and tallow Objek Kajian: Membahas harga jual biojet dan jumlah emisi CO2 dari produksi biojet yang berbahan baku waste oil dan tallow di Amerika Serikat Judul : Techno-economic analysis of jet fuel production from hydrolysis, decarboxylation and reforming of camelina oil. Objek Kajian: Membahas mengenai biaya investasi yang dibutuhkan serta mengetahui harga jual biojet berbahan baku camelina sativa.