BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Fenomena sosial yang terjadi di jalanan memang menarik perhatian untuk dilihat dan dipelajari, seperti yang sering kali kita lihat dan jumpai hampir disetiap tempat di kota-kota besar Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan juga Tangerang yang bersebelahan dengan kota metropolitan, Jakarta. Fenomena sosial yang ada di antaranya adalah pengemis, gelandangan, pemulung, anak-anak jalanan sebagai pedagang asongan atau musisijalanan yang biasa disebut oleh masyarakat sebagai pengamen jalanan.Ironisnya ternyata para pengamen jalanan tersebut tidak hanya ditekuni oleh orang-orang dewasa saja tetapi juga oleh banyak anak-anak dan remaja baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai latar belakang. Beberapa di antara mereka
masih berstatus
pelajar dan banyak di antaranya tidak lagi bersekolah karena berbagai alasan. Pendidikan sekolah yang seharusnya masih harus mereka nikmati dibangku sekolah harus rela mereka tinggalkan karena alasan ekonomi sehingga mereka tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Amal (2002) dalam Pardede (2006) yang dikutip Yunda (2008) menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan tidak bersekolah lagi atau tidak melanjutkan pendidikannya. Namun masih ada juga yang masih sekolah meskipun tidak banyak jumlahnya. Para remaja laki-laki ini lebih memilih untuk terjun di jalanan sebagai pengamen untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup dan
1
2
keinginanya disamping mereka juga harus menanggung ekonomi keluarga karena mereka rata-rata memang berasal dari keluarga yang bisa dibilang miskin. Hasil penelitian Syahril (2000) yang dikutip Yunda (2008) merumuskan bahwa sebagian besar anak jalanan berjenis kelamin laki-laki. Anak jalanan tersebut pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan termasuk anak yang kurang beruntung (disadvantage children). Yelon dalam Syahril (2000) yang dikutip Yunda (2008) membatasi definisi anak-anak kurang beruntung sebagai anak yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah, keluarga yang tidak mempunyai orientasi terhadap bahasa, keluarga yang terlalu sibuk untuk mempertahankan hidup secara ekonomi dan tidak menunjukkan minat terhadap pendidikan. Dalam media Banten.com, di Provinsi Banten sebanyak 499.037 anak usia 7 sampai 18 tahun tidak sekolah. Angka anak tidak sekolah diketahui berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat StatistikRepublik Indonesia (BPSRI) yang dirilis pada 2011. Dari data itu diketahui bahwa anak tidak sekolah terdiri dari tiga kelompok, yakni kelompok usia 7-12 tahun sebanyak 66.023 orang, usia 13-15 tahun berjumlah 114.895 orang, dan usia 16-18tahun sebanyak 318.119 orang. Dengan begitu kemungkinan saat ini jumlah anak tidak sekolah usia 7-18 tahun masih bisa bertambah dari jumlah yang ada dalam rentang waktu 3 tahun sejak 2010. Terlihat begitu banyak permasalahan di jalanan tetapi banyak juga kepentingan di jalanan.Jalanan adalah cerminan bagaimana persoalan anak dan
3
sosial bagi suatu daerah, banyaknya anak di jalanan menunjukkan banyaknya persoalan anak di daerah tersebut. Jumlah anak jalanan, pengemis, balita terlantar, dan wanita rawan sosial dari hari ke hari terus meningkat.Dinas Sosial (DINSOS) Provinsi Banten mencatat, warga rawan sosial itu meliputi balita terlantar sebanyak 81 orang, 776 orang anak panti sosial, 87 orang remaja putus sekolah, 760 orang lansia potensial, 2.724 orang lansia terlantar, 98 orang gelandangan, dan 136 orang pengemis ( TAPOS 2012). Sementara berdasarkan data dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tangerang Selatan, jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di Kota Tangerang Selatan saat ini mencapai 22.000 orang.Sedangkan jumlah pengangguran sekitar 55.000 orang dan jumlah penduduk miskin sebanyak 16.303 orang (detik Forum, 9 April 2012). Departemen Sosial (dalam Terloit 2001) yang dikutip Pardede (2008) membuat suatu definisi operasional dari anak jalanan, yaitu anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya. Mereka biasanya berusia 6-18 tahun, masih sekolah atau sudah putus sekolah, tinggal dengan orangtua maupun tidak, atau tinggal di jalanan sendiri maupun dengan teman- temannya, dan mempunyai aktivitas di jalanan, baik terus-menerus maupun tidak. Keberagaman yang ada pada komunitas jalanan sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang melihatnya karena di samping penampilan mereka yang tidak menarik bahkan cenderung kumal, sebagian dari pengamen
4
jalanan khususnya remaja laki-laki juga kerap melakukan perbuatan-perbuatan kriminal seperti meminta dengan sedikit memaksa, bahkan ada juga yang menjadi pencopet. Meskipun hal
tersebuttidak dilakukan oleh semua remaja yang
mengamen di jalanan tetapi hanya pada beberapa orangpengamen saja namun persepsi yang berkembang dimasyarakat bahwa anak-anak jalanan bukanlah orang baik-baik dan harus dihindari. Hal itu pulalah yang membuat masyarakat selalu berpersepsi negatif dengan keberadaan pengamen jalanan karena dianggap sebagai sampah masyarakat yang mengganggu ketentraman, ketenangan dan kenyamananmasyarakat khususnya penumpang bus kota dan kendaraan pribadi yang sedang berhenti dilampu merah. Hampir
semua
anak-anak
jalanan
laki-laki
yang
mengamen
menggantungkan hidupnya menjadi pengamen dengan memainkan alat musik gitar, okulele dan alat musik sederhana yang terbuat dari tutup botol minuman bekas yang kemudian dirangkai sedemikian rupa hingga menghasilkan nada tertentu, ada juga yang berprofesi sebagai pedagang asongan maupun pengemis yang selalu mengharapkan belas kasihan dari pengujung yang datang di sekitar kawasan Tangerang. Di satu sisi mereka dapat mencari nafkah dan mendapatkan pendapatan (income) yang dapat membuatnya bertahan hidup dan menopang kehidupan keluarganya. Namun di sisi lain kadang mereka juga berbuat hal-hal yang merugikan orang lain, misalnya berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan, merusak bodi mobil dengan goresan dan lain-lain. Salah satu tempat dikota Tangerang yang marak dengan anak jalanan yaitu pertokoan, mall dan lampu merah, tempat ini selalu ramai dengan pengunjung pada sore dan malam hari
5
karena keramaian tempat ini menjadikan lahan bagi anak jalanan mencari nafkah dengan cara mengamen. Pengamen seharusnya dapat dihargai, sehingga mereka merasa bahwa dirinya diakui oleh masyarakat karena keadaan ekonomi yang memaksa mereka untuk mempertahankan hidupnya dengan cara semacam itu. Pengamen sering dikucilkan dan tidak dianggap keberadaannya dalam masyarakat, mereka sudah memiliki image yang jelek dalam masyarakat. Di jalanan mereka berinteraksi dengan nilai dan norma yang jauh berbeda dengan apa yang ada di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Salah satu fenomena jalanan yang menarik adalah fenomena hadirnya anak-anak punk di wilayah Kabupaten Tangerang, yang biasa mengamen sambil nongkrong.Keberadaan
mereka dianggap cukup meresahkan warga dan
memperburuk citra sebuah daerah. Seperti yang ditunjukkan Murray (1994) yang dikutip Erickningrat dalam blognya http://erickningrat.wordpress.com, “…adalah mitos kaum marjinal, yang dari sudut pandang orang luar menggambarkan orangorang ini sebagai massa marjinal yang melimpah ruah jumlahnya dengan budaya kemiskinan dan sebagai lingkungan liar, kejam dan kotor, sumber pelacuran, kejahatan dan ketidakamanan. Anak-anak punk yang selalu berdandan nyentrik ala punk dengan gaya pakaian yang kumal, celana jeans ketat dengan rantai besar melingkar dipinggang, badan bertato, memakai anting, sepatu boots, rambut dicat warna-warni dan anti kemapanan menambah suasana jadi lebih menakutkan.Gaya mereka mungkin membuat warga di sekitar menjadi ketakutan, karena penampilan fisiknya yang
6
terlihat sangar.Bagi pengguna jalan mungkin kehadiran anak punk jalanan sangat mengganggu ketertiban di jalan raya terutama saat di lampu merah. Dan bagi Satpol PP atau petugas kepolisian kehadiran anak punk jalanan mungkin mengganggu kamtibmas dan mengganggu keindahan kota, sehingga dengan alasan tersebut pemerintah daerah dan pemerintah kota Tangerang lebih tegas dan melarang anak punk jalanan dengan tidak diperbolehkan adanya anak punk jalanan berada di jalan, maka sering diadakan operasi untuk penertiban anak punk jalanan oleh pihak Satuan Polisi Pamong Praja. Anak punk merupakan kelompok atau bagian dari sub kebudayaan yang berlawanan dengan kebudayaan yang lebih besar. Sub kebudayaan tersebut lebih merupakan budaya tandingan Yinger (1992) dalam Siahaan (2009). Salah satu contoh subkebudayaan adalah sub kebudayaan punk yang memiliki anggota dengan karakteristik berupa gaya rambut jabrik dan diwarnai dengan berbagai warna yang mencolok, berpakaian hitam, dan serba belel, memiliki banyak tindikan di bagian tubuh, dan anti kemapanan Siahaan (2009). Lebih lanjut Cohen (1995) dalam Siahaan (2009) mengatakan bahwa subkebudayaan muncul pada masyarakat yang sangat majemuk dan kompleks yang di dalamnya terdapat banyak orang yang mempunyai masalah yang sama terhadap kebudayaan dominan. Kepala Bidang Operasi danPenindakan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Tangerang, Desi Herawati (Detik Forum, 9 April 2012) mengatakan: “…anak-anak punk yang berada di wilayah Kabupaten Tangerang biasanya hidup berkelompok di titik-titik kepadatan masyarakat seperti di jalan Protokol, pasar Cikupa, di bawah Fly Over Balaraja dan gerbang pintu masuk Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang. Lebih lanjut desi mengatakan bahwa Rata-rata setiap
7
kelompok berjumlah 15 sampai 20 orang yang Rata-rata mereka berusia 15 sampai 18 tahun yang sedianya menuntut ilmu disekolah malah membuat ulah. Mereka mengamen dan kerap meminta dengan cara memaksa”. Persoalan anak punk ini juga dialami di Kota Tangerang Selatan. Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tangerang Selatan, Purnama Wijaya (Detik Forum 9 April 2012) mengatakan: “…selama belum ada tempat penampungan akan menjadi masalah bagi daerah yang memiliki banyak penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)” Lebih lanjut Purnama mengatakan bahwa: “…tidak mudah dalam mengatasi PMKS ini. Karena itu kami sedang membangun rumah rehabilitasi dan rumah singgah buat mereka, Menurutnya dalam menangani masalah anak jalanan tidak cukup dengan pendekatan persuasif, tetapi keberadaan rumah singgah merupakan hal yang sangat mendesak untuk disediakan sebagai tempat pembinaan” Fenomena punk jalanan sangat lekat dengan hal-hal yang negatif seperti kriminal, narkoba dan juga seks bebas. Seperti yang dikisahkan Mike, “…Mereka mencari uang dengan mengamen tapi hasil jerih payahnya itu hanya untuk membeli obat-obatan (drugs) dan minuman beralkohol, Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan tablet dextro (tablet obat batuk yang disalahgunakan untuk mabuk)”(www.koran-marjinal.blogspot.com) Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian. Lari dari kesumpekan rumah. Lari dari tekanan hidup. Lari dari tanggungjawab. Lari dari kenyataan! Di kepala mereka, dengan berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa bebas dari segala bentuk tekanan hidup, bebas nenggak minuman atau menelan puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri sebebas-bebasnya walau masyarakat di sekitarnya terganggu.
8
Di samping ketiga isu yang sangat lekat pada anak-anak jalanan, khususnya anak punk yaitu kriminal,narkoba dan seks bebas, yang selalu dipandang negatif oleh kebanyakan orang, masih banyak hal-hal positif yang bisa ditemui pada komunitas anak-anak punk jalanan dan bisa menjadi contoh yang baik bagi anak-anak muda yang hidup di jalanan. Salah satu contoh adalah komunitas punk yang masih berpegang pada kearipan lokal adalah komunitas Punk Muslim, Komunitas Anak Jalanan Berideologi Islam, sebuah komunitas punk yang bermarkas di Jalan Swadaya, Pulogadung, Jakarta Timur. Komunitas punk muslim saat ini telah memiliki 50 anggota atau yang mereka sebut sebagai penghuni punk muslim. Lutfi salah satu penghuni punk muslim menjelaskan "…Punk Muslim itu seperti komunitas punk lainnya. Kita tetap membawa counter-culture yang sama, yaitu mendobrak kebiasaan lama, anti maintream. Mungkin bedanya di sini adalah kita mengangkat ideologi Islam. Sederhananya seperti itu"(news.detik.com 2012) Sementara Mike mengungkapkan: “…Terus terang gua ngasih acungan jempol buat teman-teman yang hidup di jalan. Mereka punya kebanggaan, berpenampilan nge-punk mereka tetap bertahan walau orang-orang sekitar yang melihat menilainya macam-macam. Bagi gua itu sebuah bentuk perlawanan juga. Melawan pikiran-pikiran orang yang sudah dimapankan yang menganggap negatif karena melihat penampilan orang lain yang beda, menyimpang, diluar kelaziman. Tapi yang lebih penting adalah nilainilai punk dalam prakteknya berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana mereka bisa survive, menjalin kebersamaan, saling peduli satu sama lain dan tetap mengunggulkan rasa dan kebebasan…”(www.koranmarjinal.blogspot.com)
Tidak banyak orang tahu jika setiap anak jalanan atau punk jalanan mempunyai mimpi dan ambisi lebih besar dari pada kita yang hidup boleh dikatakan berkecukupan walau kadang terasa kurang. Mimpi mereka adalah
9
seperti banyak orang lainnya yang ingin hidup tenang, layak, dan berkecukupan, tetapi mereka hanya bisa bersyukur dengan apa yang ada. Sebagian orang menganggap kehidupan mereka kelam, karena gaya hidup yang aneh dan tak punya norma, padahal mereka itu sebenarnya orang yang lebih menghormati jika di hormati. Suram hal yang kedua di benak setiap orang tentang kehidupan mereka, tetapi dibalik itu semua mereka mempunyai mimpi dan harapan yang cukup besar untuk hidup layak dan membaur dengan masyarakat lain di kehidupan sosial. Seperti apa yang dituturkan oleh Al, dengan berpakaian punk seperti teman-temanya diapun tidak pernah tinggal menetap di satu tempat saja. Dia selalu berpindah dari satu tempat ketempat lain, dari kota satu ke kota lain berharap bisa mendapatkan penghasilan lebih dari mengamen. Selain itu dia berpindah-pindah tempat untuk mencari teman-teman baru dan juga pengalaman baru selayaknya seperti anak-anak muda lainya. Dengan begitu dia merasa senang karena mendapat teman dan pengalaman baru. Dia mengatakan bahwa disatu tempat dengan tempat lain memiliki cara yang berbeda-beda dalam menyambut orang baru. Dari beberapa tempat yang pernah dia singgahi di antaran Jakarta, Bandung, Lampung, Magelang, dia mendapatkan pengalaman yang berbeda. Ketika Al masuk ke wilayah Lampung misalnya, dia mengatakan bahwa teman-teman punk di lampung menyambutnya dengan baik, dengan penuh persaudaraan karena merasa senasib, karena kebanyakan dari anak-anak punk di Lampung juga adalah pendatang seperti dia. Berbeda dengan ketika dia masuk daerah Jawa Tengah, disana penyambutan teman-teman punk tidak sebaik seperti
10
yang di Lampung. Karena dia harus laporan dulu kepada anggota punk yang dituakan.Bahkan dia bukan sekedar melapor tetapi juga harus melewati tradisi yang ada di Jawa Tengah, yaitu setiap anggota baru yang masuk dia harus membelikan minuman untuk anggota-anggota punk yang senior sebagai tanda perkenalan. Lain lagi di Bandung, walaupun teman-teman punk di sana welcome untuk menerima setiap anggota yang baru datang, tetapi dia merasa tidak betah tinggal bersama teman-teman di Bandung, karena banyak teman-teman punk yang seusianya „ngelem‟ atau memakai lem sebagai mengganti pil dixtro untuk mabuk. Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa anak-anak punk jalanan sebagian besar masih berusia remaja. Usia remaja adalah masa perjalanan dari kanak-kanak kemasa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia sepuluhan. Masa awal (sekitar usia 11 atau 12 samapai14 tahun), transisi keluar dari masa kanakkanak menawarkan peluang untuk tumbuh – bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Remaja atau adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget dalam Hurlock (1980) yang mengatakan, Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transportasi
11
yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Menurut Erikson (1968) Tugas utama dari masa remaja adalah memecahkan krisis dari identitas versus kebingungan identitas - identity versus identity confusion (atau identitas versus kebingungan peran – identity versus role confusion) untuk menjadi orang dewasa yang unik dengan pemahaman diri sendiri yang koheren dan memilki peran yang bernilai dalam masyarakat. Remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodivikasi dan menyintensis identifikasi lebih awal kedalam struktur psikologi baru yang lebih besar. Untuk membentuk identitas seorang remaja harus memastikan dan mengorganisir kemampuan, kebutuhan, ketertarikan, dan hasrat mereka sehingga dapat diekspresikan dalam konteks sosial. Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. Menurut masyarakat Indonesia, batasan usia remaja adalah 11-24 tahun dan belum menikah dengan berbagai pertimbangan, (1) Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (criteria fisik) (2) di masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (criteria sosial) (3) Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya
12
identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual, dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (4) batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua. (Sarwono, 2005).Dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu remaja awal usia 11-13 tahun, dan remaja akhir yaitu awal usia 20-an tahun.Usia remaja berada pada rentang usia 12-20 tahun dimana dalam pencarian identitas dirinya untuk lebih mengenal siapa dirinya dan bagaimana konsep diri yang timbul dalam kehidupan sosialnya. Konsep diri sendiri bisa diartikan sebagai sekumpulan keyakinan dan perasaan seseorang mengenai dirinya, bisa berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, penampilan fisik. Orang kemudian memiliki perasaan terhadap keyakinan mengenai dirinya tersebut, apakah ia merasa positif atau negatif, bangga atau tidak bangga, dan senang atau tidak senang dengan dirinya.Konsep diri sendiri terbentuk melalui penilaian diri dan persepsi yang diberikan orang lain terhadapnya. Hal itu sejalan dengan apa yang diungkapkan Cooley (dalam Sunarto 1993) melalui analogi cermin, mengatakan bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilanya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakan sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu. Konsep diri bukanlah sesuatu yang dimiliki individu sejak lahir dengan secara instan. Tetapi konsep diri terbentuk melalui
13
proses panjang yaitu proses belajar sepanjang hidup manusia. Seperti yang dikatakan oleh Calhoun & Acocella (1995) konsep diri yang dimiliki manusia tidak terbentuk secara instan melainkan dengan proses belajar sepanjang kehidupanya. Ketika individu lahir, individu tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya, tidak memiliki harapan-harapan yang ingin dicapainya serta tidak memiliki penilaian terhadap diri sendiri. Namun seiring dengan berjalannya waktu individu mulai bisa membedakan antara dirinya,orang lain,dan benda-benda disekitarnya dan pada akhirnya individu mulai bisa mengetahui siapa dirinya, apa yang diinginkan,serta dapat melakukan penilaian terhadap dirinya sendiri. Menurut Stuart & Sundeen dalam Keliat (1992), terdapat lima komponenkomponen konsep diri yang tak terpisahakan, yaitu gambaran diri, harga diri, ideal diri, identitas diri, dan peran diri. Beberapa alasan mengapa penulis memilih konsep diri, subyek remaja laki-laki dan bukan perempuan, Anak punk jalanan berprofesi sebagai pengamen dan bukan pengemis atau pedagang adalah: 1) Membangun konsep diri positif sangat perlu di lakukan oleh setiap orang. Karena hal itu sangat berpengaruh pada keberhasilan dan kesuksesan hidup yang mereka jalani. Banyak orang gagal bukan karena tidak memiliki kemampuan dan potensi, tetapi bisa diakibatkan karena kesalahan konsep diri yaitu bagaimana remaja memahami dan membangun konsep diri yang positif. 2) Masa remaja adalah masa pencarian jati diri, dimana Menurut Erikson (1968) Tugas utama dari masa remaja adalah memecahkan krisis dari identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion) dimana pada masa ini remaja mudah terpengaruh atau dipengaruhi oleh
14
orang lain didalam mengambil keputusan dan bertindak. 3) Anak Punk jalanan adalah sekumpulan anak remaja yang berbeda dari remaja-remaja lain pada umumnya, karena remaja punk memiliki ciri-ciri yang khas dengan pakaian serba hitam, jaket rompi, rambut mohawk dengan di cat warna-warni, sepatu boot, memakai anting, rantai besar, bertato yang menurutnya adalah jiwa seni sehingga memberikan kesan unik sebagai identitas diri. 4) Pengamen adalah seseorang yang bukan hanya sekedar bekerja mencari makan, tetapi memiliki kemampuan serta kreativitas bermusik yang tinggi, sehingga selain bermain musik dan menyanyikan lagu-lagu orang pengamen biasanya membuat lagu serta mengaransemen musik sendiri untuk menyuarakan perjuangan para pengamen itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Gambaran Konsep Diri Remaja Akhir Laki-Laki Punk Jalanan yang berprofesi sebagai Pengamen”.
1.2.Pokok Permasalahan dan Ruang Lingkup Masalah Agar maksud dan tujuan dari penelitian ini jelas dan dapat dimengerti oleh pihak lain, maka peneliti memberi ruang lingkup atas pokok permasalahan yang akan dibahas. Dalam penelitian skripsi ini penulis hanya melakukan pembahasan mengenai gambaran konsep diri remaja laki-laki punk jalanan yang berprofesi sebagai pengamen, bagaimana proses pembentukan konsep diri, serta faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan konsep diripada remaja laki-laki punk jalanan yang berprofesi sebagai pengamen ini.
15
1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumusan beberapa masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana gambaran konsep diri remaja laki-laki punk jalananyang berprofesi sebagai pengamen? 2) Bagaimana proses pembentukan konsep diri pada remaja laki-laki punk jalanan yang berprofesi sebagai pengamen? 3) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri pada remaja laki-laki punk jalanan yang berprofesi sebagai pengamen?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendapatkan gambaran dan proses terbentuknya konsep diri pada remaja laki-laki punk jalanan yang berprofesi sebagai pengamen. 2) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada remaja laki-laki punk dijalanan.
1.5.Manfaat Penelitian 1) Manfaat teoritis atau keilmuan Membangun konsep diri positif sangat perlu di lakukan oleh setiap orang. Karena hal itu sangat berpengaruh pada keberhasilan dan kesuksesan hidup yang akan dijalani. Banyak orang gagal bukan karena tidak memiliki kemampuan dan potensi, tetapi bisa diakibatkan karena
16
kesalahan konsep diri yaitu bagaimana remaja memahami dan membangun konsep diri yang positif. 2) Masa remaja adalah masa pencarian jati diri, dimana Menurut Erikson (1968) Tugas utama dari masa remaja adalah memecahkan krisis dari identitas versus kebingungan peran (identity versus role confusion) dimana pada masa ini remaja mudah terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang lain didalam mengambil keputusan dan bertindak.Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan khususnya yang berkaitan dengan ilmu psikologi perkembangan, serta dapat diaplikasikan kedalam berbagai teori yang telah dipelajari, sehingga selain berguna bagi pengembangan, pemahaman dan pengalaman peneliti, diharapkan pula penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian lain untuk melanjutkan penelitian yang berkaitan dengan konsep diri anakpunk jalanan. 2) Kegunaan praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang konsep diri pada remaja laki-laki punk jalanan yang menjadi pengamen, dengan harapan mereka mampu memandang diri dan masa depan dengan lebih positif, dan juga bagi para praktisi dan pemerhati anak dan remaja untuk semakin peduli tentang dampak dari kehidupan jalanan bagi anak dan remaja, dan bisa memberikan pelatihan dan pembinaan bagi anak-anak jalanan, khususnya anak-anakpunk.