BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individuindividu dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku di dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan serta kepentingan-kepentingannya, maka ia akan mencari jalan keluar serta mencoba untuk menyimpang dari aturanaturan yang ada. Segala bentuk tingkah laku yang menyimpang yang mengganggu serta merugikan dalam kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh masyarakat sebagai sikap dan perilaku jahat. Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum. Melainkan juga perbuatan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. 1 Sejak Orde Baru masalah stabilitas nasional termasuk tentunya di bidang penegakan hukum telah menjadi komponen utama dalam pembangunan. Kejahatan yang terjadi tentu saja menimbulkan kerugian-kerugian baik kerugian yang bersifat ekonomi materil maupun yang bersifat immaterial yang menyangkut rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa kejahatan yang 1
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. 2006. Hal. 1
Universitas Sumatera Utara
sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana diantaranya adalah kejahatan korupsi dan kejahatan money laundering yang telah diatur didalam aturan hukum pidana yang bersifat khusus yaitu dalam UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat yang sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian, sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini. Yang menjadi masalah adalah meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Bahkan ada gejala dalam pengalaman yang memperlihatkan, semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan mendorong orang untuk melakukan korupsi. 2 Masalah korupsi sebenarnya bukanlah masalah baru di Indonesia, karena telah ada sejak era tahun 1950-an. Bahkan berbagai kalangan menilai bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Penanggulangan korupsi di era tersebut banyak menemui kegagalan. 3 Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak
2
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta. 2005. Hal.1 (buku 1) 3 Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, P.T Refika Aditama, Bandung. 2008. Hal. 1
Universitas Sumatera Utara
pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. 4 Namun di dalam KUHP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 – Pasal 232 KUHAP), sehingga asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia tidak di atur. Pada hakikatnya,, asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan menggunakan ketentuanketentuan yang ada dalam KUHP dinilai kurang memadai, karena itu diterapkan dalam keadaan darurat perang melalui Peraturan Penguasa Perang Pusat AD (P4AD) Prt/ PERPU/031/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian pada tahun 1960 dibuatlah UU No. 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Namun hal tersebut tetap menemui kegagalan disebabkan berbagai institusi yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,
4
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
perangkat hukum yang lemah, ditambah dengan aparat penegak hukum yang tidak sungguh-sungguh menyadari akibat serius dati tindakan korupsi. 5 Pada tahun 1971 dibentuk UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian pada tahun 1999 diundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menganut sistem pembuktian terbalik terbatas. ini dijamin dalam Pasal 37 yang memungkinkan diterapkannya pembuktian terbalik yang terbatas terhadap harta benda tertentu dan mengenai perampasan harta hasil korupsi. UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 31 Tahun 1999 pada asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif. 6 Dan kemudian di undangannya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni berupa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dan Berimbang. Yang mengatur pembuktian terbalik secara lebih jelas yaitu pada Pasal 12 B, 12 C, 37, 37A, 38 A, dan 38 B. Perkembangan teknologi semakin maju pesat, membawa pengaruh terhadap perkembangan diberbagai sektor baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, salah satu yang turut berkembang dengan pesat adalah masalah kriminalitas, namun perangkat hukum untuk mencegah dan memberantas kriminalitas itu sendiri belum memadai dan masih tertinggal jauh, sehingga berbagai jenis kejahatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun korporasi dengan mudah terjadi, dan menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah besar, kejahatan-kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah satu negara, namun meluas melintasi batas wilayah negara lain sehingga sering 5
Chaerudin, dkk, op.cit. hal. 1 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, P.T Alumni, Bandung. 2007. Hal. 198 (buku 1) 6
Universitas Sumatera Utara
disebut sebagai transnasional crime, dalam kejahatan transnasional harta kekayaan hasil dari kejahatan biasanya oleh pelaku disembunyikan, kemudian dikeluarkan lagi seolah-olah dari hasil legal.
7
Hal tersebut lebih dikenal dalam dunia
internasional dengan istilah pencucian uang atau money laundering. Perbuatan Pencucian Uang di samping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan Negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonoian nasional atau keuangan negara dalam meningkatnya berbagai kejahatan. 8 Hal yang mendorong pencucian uang di Indonesia adalah lemahnya penegakan hukum dan kurangnya profesionalitas aparat penegak hukum, pengaruh globalisasi dan kemajuan internet yang memungkinkan kejahatan terorganisir lintas batas. Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 negara lainnya diancam sanksi internasional. Pada 23 Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia, menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan pencucian uang. Beberapa tahun sebelum itu, tepatnya 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcitic Drugs and Psychotropic Substances 1998 ( Konvensi 1998 ). Konsekuensi ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk pelaksanaanya. Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002, namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara yang tidak kooperatif. Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and 7
Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Penerbit:Books Terrace & Library. Bandung. 2005. Hal. 1 8 Penjelasan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Universitas Sumatera Utara
Territories ( NCCT’s) sesuai dengan rekomendasi dari Financial Actions Task Force on Money Laundering. Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan membuat UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan Pusat Pelaporan dan Analis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil. Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s setelah dilakukan, formal monitoring selama satu tahun. 9 Istilah money laundering atau pencucian uang memang relatif mudah untuk diucapkan, akan tetapi sulit untuk dilakukan investigasi dan penuntutan. Untuk itu diterapkannya sistem pembuktian terbalik dalam UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang ada dalam Pasal 35 merupakan langkah yang efektif untuk menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang. Sulitnya pembuktian selalu dirasakan baik dalam penanganan korupsi maupun pencucian uang. Didalam kasus korupsi jaksa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa menyebabkan terdakwa harus di bebaskan. Walaupun rancangan perundang-undangan mengenai pembuktian masih terus digodok oleh pemerintah karena masih mengandung pro dan kontra, akan tetapi dengan terealisasinya penggunaan asas pembuktian terbalik telah dilakukan yaitu pada UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi yang menggunakan asas pembuktian terbalik (pada Pasal 12B, 12C, serta 37) dan didalam UU No.15 Tahun 2002 jo
9
Mulyanto, http://miftakhulhuda.wordpress.com/2010/06/17/pembuktian-terbalikpencucian-uan/, Senin, 17 Juni 2010
Universitas Sumatera Utara
UU No.25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang, tepatnya pada Pasal 35. Melihat uraian di atas, maka sangat penting untuk membahas tentang Pembuktian Terbalik dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
B. Permasalahan Adapun permasalahan dari Pembuktian Terbalik Dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi Dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang akan diuraikan oleh Penulis dalam karya ilmiah ini adalah: 1. Bagaimana pengaturan pembuktian terbalik
pada Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang? 2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pembuktian terbalik pada Undangundang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan Penulisan Tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui tentang asas pembuktian terbalik pada Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. 2. Untuk mengetahui tentang kelebihan dan kelemahan dalam asas pembuktian terbalik pada Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis a. Diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
pemikiran
bagi
perkembangan ilmu hukum pada umumnya. b. Menambah informasi yang lebih konkret bagi usaha pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam upaya memperkecil terjadinya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. 2. Secara Praktis Dapat memberikan masukan kepada lembaga-lembaga terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang agar dapat diperoleh solusi dalam kasuskasus korupsi dan money laundering yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan “Judul” yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dari doktrin-doktrin yang ada melalui referensi buku-buku, media elektronik dan bantuan dari berbagai pihak. Skripsi ini dibuat dalam rangka melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Pembuktian Terbalik Lilik Mulyadi mengutip pendapat dari Indriyanti Seno Adji yang mengatakan bahwa: Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal. Dalam Hukum Pidana (Formal), baik sistem kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja, dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal sebagai “Reversal of Burden Proof” (Omkering van Bewijslast). Itu pun tidak dilakukan secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Tersangka/ Terdakwa. 10 10
Lilik Mulyadi, buku 1, op.cit. hal. 104-105
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dikatakan pengertian “pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang”, yakni: “terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterinya atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.” Kata-kata “bersifat terbatas” didalam memori atas pasal 37 dikatakan, bahwa apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi” hal itu tidak berarti bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi, sebab Penuntut Umum, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Kata-kata “berimbang” dilukiskan sebagai penghasilan terdakwa ataupun sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai income terdakwa dan perolehan harta benda, sebagai output. Antara income sebagai input yang tidak seimbang dengan output atau dengan kata lain input lebih kecil dari output. Dengan demikian diasumsikan bahwa perolehan barang-barang sebagai output tersebut ( misalnya rumah-rumah, mobil-mobil, saham-saham, simpanan dolar dalam rekening bank, dan lain-lainnya) adalah hasil perolehan dari tidak pidana korupsi yang didakwakan. 11
11
. Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999).Penerbit: Mandar Maju, Bandung. 2001, hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, dalam pembuktian delik korupsi dianut dua teori pembuktian, yakni: 12 1. Teori bebas, yang diturut oleh terdakwa dan 2. Teori negatif menurut undang-undang, yang diturut oleh penuntut umum. Teori bebas sebagaimana tercermin dan tersirat dalam penjelasan umum, serta berujud dalam, hal-hal sebagai tercantum dalam pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999, sebagai berikut: 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. 3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. 4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber panambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaaannya. Sedangkan teori negatif menurut undang-undang tercermin tersirat dalam pasal 183 KUHAP, yaitu:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sistem pembuktian terbalik adalah sistem dimana beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses
12
Ibid, hal. 108
Universitas Sumatera Utara
pembuktian ini hanya berlaku pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan dengan dimungkinkannya dilakukan pemeriksaan tambahan atau khusus jika dalam pemeriksaan di persidangan ditemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum didakwakan. Bahkan jika putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan terhadap terpidana atau ahli warisnya. Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 (tiga) teori tentang beban pembuktian, yaitu: a. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum Penuntut umum tiada mempunyai hak tolak atas hak yang diberikan undang kepada terdakwa, namun tidak berarti penuntut umum tidak memiliki hak untuk menilai dari sudut pandang penuntut umum dalam requisitornya. Apabila terdakwa dapat membuktikan hak tersebut, bahwa ia tidak melakukan delik korupsi, tidak berarti bahwa ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebaba penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik terbatas, karena penuntut umum masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. 13 Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa. 13
Martiman Prodjohamidjojo, op.cit, hal. 111
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi logis beban pembuktian ada pada Penuntut Umum ini berkorelasi asas praduga tidak bersalah dan aktualisasi asas tidak mempersalahkan diri sendiri. Teori beban pembuktian ini dikenal di Indonesia, bahwa ketentuan pasal 66 KUHAP dengan tegas menyebutkan bahwa, “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorisasikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”. 14 b. Beban Pembuktian pada Terdakwa Terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan teori” Pembalikan Beban Pembuktian” (Omkering van het Bewijslast atau Shifting of Burden of Proof/ Onus of Proof”). 15 Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh terdakwa dalam menggunakan haknya, yaitu: 1. Untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan delik korupsi sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum. Syarat ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHP, yang menentukan bahwa Penuntut Umum wajib membuktikan dilakukan tindak
14 15
Lilik Mulyadi, buku 1, op.cit. hal. 102 Ibid
Universitas Sumatera Utara
pidana, bukan terdakwa. Terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. 16 2. Ia berkewajiban untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya sendiri, harta benda isterinya, atau suami (jika terdakwa adalah perempuan), harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga ada kaitannya dengan perkara yang bersangkutan. Ia berkewajiban memberi keterangan tentang asal usul perolehan hak atau asal usul pelepasan hak. Perolehan/ pelepasan hak itu mengenai kapan; bagaimana; dan siapa-siapa saja, yang terlibat dalam perolehan/ pelepasan hak itu serta mengapa dan sebab-sebab apa perolehan atau peralihan itu terjadi. 17 Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni maupun bersifat terbatas (limited burden of proof). Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana korupsi. 18 c. Beban Pembuktian Berimbang Konkretisasi asas ini baik Penuntut Umum maupun terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya Penuntut
Umum akan
membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan
sebaliknya terdakwa beserta penasehat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan 16
Martiman Prodjohamidjojo, op.cit, hal. 110 Ibid, hal. 111 18 Lilik Mulyadi, buku 1, op.cit, hal. 103 17
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana yang didakwakan. Asas beban pembuktian ini dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang” seperti dikenal di Amerika Serikat dan juga di Indonesia. 19 Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak ukur Penuntut Umum dan Terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategorisasi yaitu: 1. Sistem beban pembuktian “biasa” atau konvensional”, Penuntut Umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari Penuntut Umum sesuai ketentuan Pasal 66 KUHAP. 2.
Teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa terdakwa dan/ atau Penasihat Hukumnya membuktikan ketidakbersalahan
terdakwa.
Kemudian
teori
pembalikan
beban
pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan Penuntut saling membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa. 20 Pada hakikatnya, asas Pembalikan Beban Pembuktian dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana Korupsi ( UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU No.
19 20
Ibid Ibid. hal. 103-104
Universitas Sumatera Utara
15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003) dan Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999).
2. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Korupsi dalam Ensiklopedian Indonesia yaitu (dari bahasa latin: Corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) yang berarti gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harafiah dari korupsi dapat berupa: a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran. 21 b. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. 22 c. Korup (busuk, suka menerima uang/ sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri). Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang suap/sogok). Koruptor (orang yang korupsi). 23 Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah, penyelewengan 21
S. Wojowasito, W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, IndonesiaInggris, Hasta, Bandung 22 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Balai Pustaka 23 Muhammad Ali, Kamus Lengkap bahasa Indonesia. Penerbit: Amoni, Jakarta. 1999. Hal. 15
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara harafiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu: 24 1. Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain. 2. Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian ada tiga fenomena yang mencakup dalam istilah korupsi yakni: penyuapan, pemerasan dan nepotisme. Martiman Prodjohamidjojo, mengutip beberapa pendapat diantaranya adalah: 25 1. L. Bayley, mengartikan perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi. 2. M. Mc Mullan, mengatakan bahwa seorang pejabat pemerintahan dikatakan “korup” apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bias lakukan dalam tugas 24 25
Evi Hartanti, op.cit. hal. 9 Martiman Prodjohamidjojo, op.cit. hal. 9-10
Universitas Sumatera Utara
jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. 3. Carl J. friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apabila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undangundang; membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang
menyediakan
hadiah
dan
dengan
demikian
benar-benar
membahayakan kepentingan umum. Korupsi merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang termasuk dalam tindak pidana korupsi sebagai berikut: a. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 2); b. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunkan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (pasal 3); c. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenangnya
yang
melekat
pada
jabatan atau
Universitas Sumatera Utara
kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (pasal 13). Berdasarkan rumusan-rumusan diatas, maka korupsi merupakan suatu tindak pidana yaitu perbuatan melawan hukum yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan atau perekonomian negara.
3. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang Defenisi tentang money laundering yaitu penggunaan uang yang diperoleh dari aktivitas illegal dengan menutupi adentitas individu yang memperoleh uang tersebut dan mengubahnya menjadi aset yang terlihat seperti diperoleh dari sumber yang sah. 26 Secara sederhana, pencucian uang (money laundering) merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perjudian, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asalusul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat dipergunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari hasil tindak pidana tersebut atau kegiatan yang illegal. 26
Tb. Irman S, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, MQS Publishing & AYYCCS Group, Jakarta. 2006. Hal. 40
Universitas Sumatera Utara
Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang (money laundering) melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan procceds of crime, memisahkan procceds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada para pelakunya, serta melakukan relovestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau kedalam bisnis yang sah. 27 Secara komprehensif, pengertian money laundering diberikan oleh Pasal 3 dari konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu konvensi Wina tahun 1988, yang baru berlaku sejak 11 November 1990 adalah sebagai berikut: “Money laundering adalah setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dalam hal-hal sebagaimana disebutkan dibawah ini: 1. Konversi atau pengalihan barang, yang diketahui bahwa barang tersebut berasal dari suatu kegiatan criminal atau ikut berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut dengan tujuan untuk menyembunyikan sifat melawan hukum dari barang tersebut ataupun membantu seseorang yang terlibat sebagi
perantara
dalam
kegiatan
tersebut
untuk
menghilangkan
konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut. 2. Menyembunyikan
keadaan
yang
sebenarnya,
sumbernya,
lokasi,
pengalihan, pergerakan, hak-hak yang berkenaan dengan kepemilikan atau barang-barang dimana yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kegiatan criminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. 27
Rumusan Pasal 1 ayat 1 UU No.25 Tahun 2003, tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Universitas Sumatera Utara
3. Perolehan, penguasaan, atau pemanfaatan dari barang-barang dimana pada waktu menerimanya yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari tindakan criminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), yang dimaksud dengan pencucian uang adalah: Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Money
laundering
merupakan
suatu
praktik
menyamarkan
atau
menyembunyikan asal-usul pendapatan atau kekayaan, sehingga dapat digunakan tanpa diketahui bahwa pendapatan atau kekayaan tersebut pada mulanya berasal dari praktik yang illegal. Artinya dengan Money Laundering tersebut pendapatan atau kekayaan yang pada mulanya berasal dari praktik yang illegal dapat diubah menjadi pendapatan atau kekayaan yang seolah-olah berasal dari sumber yang legal. 28
28
Bismar Nasution, op.cit. hal. 18
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh melalui: 1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari: a. Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yakni Undang-udang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tindak pidana pencucian uang yakni Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, KUHP, KUHAP. 2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money laundering), artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini. 29 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan
data
adalah
metode
library
research
(penelitian
kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, bukubuku, majalah-majalah dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. 30 Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit: Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 1986, Hal. 52 30 Ibid, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Merupakan bab Pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujun dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
PENGATURAN
PEMBUKTIAN
TERBALIK
DALAM
UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Bab ini menjelaskan mengenai sistem atau teori pembuktian, kedudukan asas pembuktian serta pengaturan pembuktian terbalik mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. BAB III
KELEBIHAN TERBALIK
DAN DALAM
KELEMAHAN UNDANG-UDANG
PEMBUKTIAN NOMOR
31
TAHUN 1999 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Universitas Sumatera Utara
Bab ini menjelaskan mengenai kelebihan dan kelemahan pembuktian terbalik dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 Jo Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir dari penulisan skripsi ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara