1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan suatu sektor integral yang penting dalam suatu kehidupan di masyarakat. Semakin tinggi jumlah penduduk, tentunya kebutuhan akan pangan, sandang dan papan akan semakin meningkat. Salah satu cara untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah dengan menerapkan sistem pertanian konvensional yang lebih menekankan pada hasil panen yang tinggi, sehingga mengabaikan keseimbangan ekosistem. Daniel (2011) mengemukakan bahwa dampak negatif sistem pertanian konvensional dalam ekosistem pertanian antara lain: (a) meningkatnya degradasi lahan (fisik, kimia dan biologis); (b) meningkatnya residu pestisida dan gangguan serta resistensi hama penyakit dan gulma; (c) berkurangnya keanekaragaman hayati; serta (d) gangguan kesehatan petani dan masyarakat lainnya sebagai akibat dari pengunaan pestisida dan bahanbahan pencemaran lingkungan. Berbagai masalah yang timbul akibat adanya ekploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya pertanian memunculkan suatu gagasan pertanian berwawasan lingkungan tanpa mengabaikan fungsi sosial maupun ekonomi masyarakat (Sitohang, 2009). Salah satu cara untuk konservasi sumber daya alam adalah dengan menerapkan zero waste management. Pada dasarnya zero waste mengacu pada konsep sistem ekologi sehingga dapat memungkinkan tingkat efisiensi yang lebih tinggi karena limbah yang dihasilkan dalam setiap mata rantai
1
2
kegiatan produksi dapat dikurangi, sehingga nilai produktifitas dari setiap kegiatan itu akan lebih tinggi (Nurlambang dan Kristiastomo, 2001). Penggunaan urin ternak merupakan salah satu penerapan zero waste management. Urin ternak yang biasanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Urin ternak sapi merupakan limbah peternakan yang sangat potensial digunakan sebagai biourin di Bali (Sudana, dkk., 2012). Antara (2011) menyebutkan bahwa dalam lima tahun terakhir populasi sapi Bali meningkat rata-rata 3,41% pertahun, sehingga ketersediaan limbah urin sapi berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Kandungan unsur hara yang ada dalam urin ternak dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi. Phrimantoro (2003) menyatakan bahwa kandungan unsur hara pada urin sapi mengalami peningkatan setelah mengalami proses fermentasi. Urin sapi Bali yang difermentasi dengan Azotobacter terjadi peningkatan unsur hara diantaranya kandungan unsur N meningkat dari 0,23% menjadi 0,71% dan kandungan kaliumnya meningkat dari 202 ppm menjadi 598 ppm (Sinartani, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sudana, dkk. (2012), biourin yang telah ditambahkan dengan Azotobacter chroococcum juga menghasilkan zat pengatur tumbuh yang tinggi, yaitu auksin 6,70 ppm, sitokinin 12,70 ppm dan giberelin 8,40 ppm. Pemanfaatan biourin belum dilakukan secara optimal oleh petani terutama kaitannya dalam melindungi tanaman
dari serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Biourin disamping mengandung unsur hara yang tinggi, juga mengandung zat pengatur tumbuh dan mengandung senyawa penolak untuk
3
beberapa jenis serangga hama (Phrimantoro, 1995). Pemakaian agen pengendali hayati sebenarnya bukanlah merupakan hal yang baru karena telah lama digunakan di Bali. Pada lontar-lontar Subak milik leluhur, dijelaskan cara pengendalian hama dan penyakit tanaman dalam upacara Nangluk Merana. Upacara ini menggunakan sarana berupa hancuran tanaman sebagai pestisida nabati. Namun, hal ini dilupakan oleh para petani anggota subak di Bali (Oka, 1998 ). Cara ini perlu diperkenalkan kembali agar petani menjadi mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida anorganik, serta mengurangi kerusakan lingkungan. Pestisida mengandung agen pengendali hayati merupakan produk alami dan umumnya bersifat spesifik serta mudah diterima kembali oleh alam dan mudah terurai, sehingga produk terbebas dari residu kimia sehingga aman dikonsumsi manusia (BPTP Kalimantan Tengah, 2011). Penggunaan pestisida hayati dan pestisida nabati seringkali mengalami kendala pada aplikasinya karena sifat dari bahan aktifnya yang sangat spesifik dan memerlukan beberapa kali aplikasi untuk dapat mengendalikan hama. Hal ini tentunya akan membuat biaya produksi, terutama dalam hal tenaga kerja menjadi tinggi. Phrimantoro (1995) menyatakan bahwa biourin selain memiliki kandungan unsur hara dan zat pegatur tumbuh yang tinggi, biourin juga mengandung zat penolak untuk beberapa jenis serangga hama. Campuran biourin dengan agen pengendali hayati memungkinkan aplikasi biourin sebagai pupuk organik dan biopestisida sebagai salah satu solusi untuk efisiensi biaya. Sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang banyak digemari untuk diusahakan oleh petani karena tanaman ini
4
dapat dipanen hanya dalam waktu kurang dari 30 hari. Berdasarkan hasil observasi pendahuluan yang dilakukan di lapangan pada tahun 2010 di wilayah Denpasar dan Pancasari ditemukan bahwa tanaman sawi hijau sangat peka terhadap ganguan hama dan penyakit. Umur panen yang relatif pendek pada tanaman sawi hijau menyebabkan tanaman sangat peka terhadap respon pemberian pupuk serta ganguan hama dan penyakit tumbuhan. Oleh karena itu, petani menggunakan pupuk dan pestisida yang sangat intensif. Petani sering kali menggunakan pestisida kimia dengan interval yang relatif pendek, misalnya setiap 2 hari sekali. Bahkan, dalam satu kali aplikasi petani mencampur 2 jenis pestisida atau lebih untuk menanggulangi hama yang menyerang. Tentunya residu yang ditinggalkan pada tanaman sangat berbahaya bagi konsumen dan lingkungan sekitarnya. Penggunaan biourin sebagai biopestisida dan pupuk organik dalam usaha budidaya tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) sangat perlu untuk dilakukan mengingat belum banyaknya literatur yang menunjukkan efektivitas biourin untuk mengendalikan hama dan penyakit serta meningkatkan produktivitas tanaman khususnya sawi hijau. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengungkapkan fenomena yang penulis tuangkan dalam judul tesis ”Aplikasi Campuran Biourin yang dengan Agen Pengendali Hayati untuk Meningkatkan Produktivitas pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.)”.
5
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sawi hijau? 2. Bagaimanakah efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati dalam meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati dalam mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sawi hijau. 2. Untuk mengetahui efektivitas biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati dalam meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau.
6
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah khasanah dalam bidang ilmu bioteknologi pertanian dalam hal pengendalian hama dan penyakit serta peningkatan produktivitas tanaman. 2. Secara praktis penelitian ini dapat menambah pengetahuan ilmiah tentang efektivitas biourin sebagai pupuk organik cair yang ditambahkan dengan campuran agen pengendali hayati yang diaplikasikan dengan cara disemprot untuk meningkatkan produktivitas serta mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sawi hijau.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sawi Hijau Sawi hijau merupakan sayuran yang banyak ditanam maupun dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, khususnnya daerah perkotaan. Hal tersebut disebabkan karena umur panen sawi hijau yang relatif pendek, sekitar 35 hari dan rasanya yang enak. Sawi hijau memiliki kandungan vitamin K, A, C dan E yang tinggi (Rukmana, 1994). Tanaman sawi hijau memiliki morfologi dengan jenis perakaran tunggang dengan kedalaman akar 30-50 cm. tanaman sawi memiliki batang yang pendek dan beruas-ruas dan daun yang berbentuk lonjong bersayap serta tangkai yang panjang. Bunganya majemuk berwarna kuning dengan empat kelopak, empat benang sari dengan dua putik. Buah berbentuk polong yang berisikan 2-8 butir biji yang berbentuk bulat hitam. Sawi hijau merupakan tanaman yang dapat ditanam sepanjang musim di daerah subtropika dan tropika dengan kisaran suhu optimum 25oC – 36oC pada jenis tanah lempung berpasir atau lempung berliat dengan derajat keasaman tanah pada pH 5,5 – 6,5 (Opena dan Tay, 1994). Klasifikasi sawi hijau menurut Plantamor (2012) adalah: Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi
: Magnoliophyta
7
8
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo
: Capparales
Famili
: Brassicaceae
Genus
: Brassica
Spesies
: Brassica rapa var. parachinensis L. Tanaman sawi hijau memiliki umur panen yang relatif singkat karena
dipanen sebelum fase generatif karena bagian yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah bagian daunnya. Selain itu, tanaman sawi hijau juga sangat reaktif terhadap pupuk dan pestisida. Oleh karena itu, tanaman sawi hijau rentan mengalami kegagalan panen akibat dari faktor lingkungan, hama, penyakit maupun budidaya yang dilakukan. Hama yang sering menyerang tanaman sawi hijau diantaranya adalah ulat tritip
(Plutella xylostella), ulat tanah
(Agrotis sp.), ulat grayak
(Spodoptera litura dan Spodoptera exigua), ulat krop (Crocidolomia binotalis Zell), siput (Agriolimas sp.), belalang (Locusta, sp.) dan penggorok daun (Liriomyza sp.) (Sakinah, 2013; Saputra, 2001). Sedangkan, salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman sawi hijau di dataran tinggi yaitu penyakit akar gada. Penyakit akar gada disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae yang bersifat persisten dalam tanah (Djatnika, 1984). Patogen ini biasanya menyerang dan merusak perakaran sehingga pertumbuhan tanaman terhambat. Secara visual, akar tanaman yang terserang penyakit akar gada akan membengkak. Pada pagi hari tanaman akan terlihat segar, namun pada siang hari tanaman akan menjadi layu jika dibandingkan dengan tanaman normal (Hadiwiyono dkk., 2011). Hal
9
tersebut disebabkan karena pada pagi hari tanaman memperoleh air dari embun, sehingga tanaman akan terlihat segar. Namun, setelah siang hari terjadi penguapan di sekitar daun dan daun akan menjadi layu karena akar tidak mampu mensuplai keperluan air akibat terjadi gangguan pada sistem perakaran. 2.2 Biourin Sapi Biourin merupakan pupuk organik cair yang berasal dari urin ternak yang telah difermentasi. Teknologi fermentasi dimanfaatkan dalam pengolahan urine sapi menjadi biourin. Proses ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan menjadi molekul yang lebih sederhana hingga mudah diserap tanaman. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sutari (2010) terjadi peningkatan kandungan hara makro, hara mikro dan pH pada urin sapi yang telah difermentasi menjadi biourin. Penelitian yang telah dilakukan oleh Phrimantoro (1995), menyatakan bahwa urin sapi mengandung zat pengatur tumbuh diantaranya adalah Indole Acetic Acid (IAA). IAA merupakan senyawa yang berasal dari golongan auksin. IAA yang terkandung dalam urin sapi memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman jagung. Aroma urin ternak yang cukup khas juga dikatakan dapat mencegah datangnya berbagai hama tanaman sehingga urin sapi juga dapat berfungsi sebagai pengendali hama. Azotobacter Chroococcum merupakan bakteri yang bermanfaat dalam pengolahan pupuk organik. Azotobacter chroococcum memiliki kelebihan karena mampu mengubah nitrogen atmosfer (N2) menjadi amonia dan memiliki kemampuan metabolisme yang tinggi (Damir, dkk., 2011). Menurut Penelitian
10
yang dilakukan Sudana, dkk. (2012) terjadi peningkatan kandungan hara dan zat pengatur tumbuh (ZPT) pada biourin yang difermentasi dengan Azotobacter Chroococcum. Kandungan ZPT dari golongan sitokinin meningkat 47,67% dan giberelin 61,54% dibandingkan dengan
urin tanpa fermentasi. Peningkatan
persentase kecambah 15,62% dan vigor index benih sebesar 59,87% pada benih sawi hijau yang direndam biourin dengan stater
Azotobacter Chroococcum
dibandingkan dengan benih yang hanya direndam dengan air. 2.3 Agen Pengendali Hayati Agen pengendali hayati merupakan suatu produk yang berasal dari bahan alami seperti serangga, tumbuhan dan bakteri. Agen pengendali hayati yang digunakan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pestisida yang efektif bila digunakan sebagai komponen dari program pemberantasan hama serta penyakit pada tanaman (United States Environment Protection Agency, 2012). Agen pengendali hayati jarang membasmi organisme sasaran, tetapi mengurangi gejala yang timbul sampai level yang dapat diterima sehingga keseimbangan antara patogen dan organisme sasaran seimbang. Musuh alami untuk menekan populasi organisme sasaran. Agen pengendali hayati pada umumnya diharapkan tidak mengganggu organisme yang bukan sasaran atau memicu perkembangan resistensi (Tampubolon, 2004). Syakir (2011) menjelaskan bahwa pestisida nabati merupakan pestisida yang dihasilkan dari bagian tumbuhan. Kandungan senyawa yang terdapat dalam pestisida nabati memiliki beberapa fungsi, antara lain:
11
a. Repelan, yaitu menolak kehadiran serangga contohnya dengan bau yang menyengat b. Antifidan, mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot. c. Merusak perkembangan telur, larva dan pupa d. Menghambat reproduksi serangga betina e. Racun syaraf f. Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga g. Atraktan, pemikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga h. Mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri. Pestisida hayati merupakan pestisida yang bahan aktifnya berupa mikroba bakteri, jamur atau virus yang dapat membunuh serangga hama atau patogen penyebab penyakit tanaman. Mikroba yang umumnya digunakan merupakan musuh alami ataupun bersifat antagonis dari patogen penyebab hama ataupun penyakit. Menurut United States Environment Protection Agency (2012) bahan aktif yang umum dipakai dan telah di komersialkan antara lain adalah Bacillus thuringiensis, Trichoderma sp. dan Beauviria sp. 2.3.1
Base Genep Base genep merupakan salah satu jenis bumbu Bali yang digunakan untuk
membuat masakan tradisional khas Bali. Base genep merupakan suatu formula yang terdiri dari berbagai macam jenis rempah-rempah yang secara umum ada di Bali dan telah ada secara turun-temurun. Base genep terdiri dari bawang merah (Allium ascalonicum), bawang putih (Allium sativum), cabai (Capsicum
12
frutescens), lengkuas (Alpinia galanga), kencur
(Kaempferia galanga), jahe
(Zingiber officinale), kunyit (Curcuma domestica ), sereh (Aleurites moluccana), lada (Piper nigrum), cengkeh (Syzygium aromaticum), jeringau (Acorus calamus) dan kayumanis (Cinnamomum burwanii). Keseluruhan bahan bumbu bali tersebut memiliki kemampuan sebagai bahan pestisida nabati yang kompleks. Kandungan dan manfaat ekstrak tanaman yang terdapat dalam bumbu bali, yaitu : a. Bawang merah (Allium ascalonicum) memiliki kandungan bahan aktif minyak atsiri, sikloaliin, metilaliin, dihidroaliin, lavonglikosida, saponin, peptida, fitohormon dan kuersetin. Bahan aktif tersebut dapat bersifat sebagai insektisida dan penolak (repellent) (Astuti, dkk. 2013). b. Bawang putih (Allium sativum) memiliki kandungan tanin < 1%, minyak atsiri, dialilsulfida, aliin, alisin, enzim alinase, vitamin A, B, C. Bawang putih dapat berfungsi sebagai baktersida, insektisida dan fungisida. pemberian ekstrak bawang putih dapat mengendalikan
serangan ulat
grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai (Bedjo 2011). c. Cabai (Capsicum frutescens) mengandung capsaicin yang bermanfaat sebagai pestisida, antibiotik Helicobacter pylori, antifungal Phytophthora capsici Leo (Mursyanti dan Purwijantiningsih, 2013). d. Lengkuas (Alpinia galanga) meiliki kandungan minyak atsiri, senyawa flvonoid, fenol, dan terpenoi. Kandungan tersebut memiliki manfaat sebagai antibakteri, antiradang dan antitumor (Parwata dan Dewi, 2008). e. Kencur (Kaempferia galanga) mengandung saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri yang berfungsi sebagai antifungi (Gholib, 2009).
13
f. Jahe
(Zingiber officinale) memiliki senyawa bioaktif, seperti senyawa
phenolic (shogaol dan gingerol) dan minyak atsiri, seperti bisapolen, zingiberen, zingiberol, curcurmen, 6-dehydrogingerdion, galanolakton, asam
gingesulfonat,
zingeron,
geraniol,
neral,
monoakyldigalaktosylglykerol, gingerglycolipid (Supryanto dan Cahyoni, 2012). Senyawa zingeron membuat tubuh serangga menjadi panas dan berakhir dengan kematian (Kesumaningati, 2009). g. Kunyit (Curcuma domestica) mengandung 6 % minyak atsiri yang terdiri dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen, curcuminoid sebanyak 5%. Selain itu, kunyit memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamur, virus dan bakteri baik gram positif maupun gram negatif (Wasilah, dkk. 2007). h. Sereh (Aleurites moluccana) mengandung minyak atsiri, yaitu berupa senyawa sitronela yang dapat membunuh serangga kemudian saponin, tanin, kuinon, steroid yang berpotensi sebagai repellen (Nadlirah, 2013). i. Lada (Piper nigrum) memiliki kandungan minyak atsiri, saponin dan flavonoida, yang berfungsi pengusir dan pembunuh hama (Asmaliyah, dkk., 2010). j. Cengkeh (Syzygium aromaticum) mengandung saponin, flavonoid, tanin, minyak atsiri, eugenol yang berfungsi sebagai pengusir hama (Asmaliyah, dkk. 2010).
14
k. Jeringau
(Acorus
calamus)
memiliki
kandungan
saponin,
flavonoida,minyak atsiri yang dapat menghambat penetasan telur
dan
mempercepat kematian imago (Asmaliyah, dkk., 2010). l. Kayumanis (Cinnamomum burwanii) mangandung minyak atsiri dan tanin yang berfungsi membunuh hama (Asmaliyah, dkk., 2010). 2.3.2
Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Mimba (Azadirachta indica A. Juss) merupakan tanaman berbentuk pohon
batang tegak berkayu yang tingginya antara 10–25 m. Mimba memiliki daun majemuk dengan letak berhadapan, dengan panjang 5–7 cm dan lebar 3–4 cm (Subiyakto, 2009). Ekstrak daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) mengandung azadirachtin, meliantriol, salanin, nimbin, nimbidin, dan paraisin. Efek samping yang dihasilkan pada serangga, yaitu terganggunya proses pergantian kulit, ataupun proses metamorfase. Kegagalan dalam proses metamorfase seringkali mengakibatkan kematian pada serangga (Kardiman, 2006). 2.3.3
Sirsak (Annona muricata L.) Sirsak (Annona muricata L.) merupakan tanaman buah-buahan yang
buahnya sering dikonsumsi, sedangkan daunnya memiliki kandungan senyawa acetogenin. Kandungan senyawa acetogenin yang dimiliki sirsak antara lain acimicin, bulatacin dan squamocin. Senyawa acetogenin pada konsentrasi tinggi memiliki keistimewan sebagai anti feedant, sedangkan pada konsentrasi rendah, bersifat racun perut pada serangga (Tenrirawe, 2011).
15
2.3.4
Tembakau (Nicotiana tabacum) Tembakau (Nicotiana tabacum) dikenal sebagai tanaman yang memiliki
nilai ekonomis tinggi. Selain digunakan dalam industri rokok, daun tembakau juga dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif yang dimiliki tembakau adalah nikotin dan turunannya, antara lain alkaloid nikotin, nikotin sulfat dan senyawa nikotin lainnya. Senyawa ini bekerja sebagai racun kontak, racun perut dan fumigant pada serangga (BBP2TP Ambon, 2011). 2.3.5
Bacillus thuringiensis Bacillus thuringiensis merupakan bakteri gram positif yang berbentuk
batang. B. thuringiensis dapat digunakan sebagai pestisida karena menghasilkan kristal protein (δ-endotoksin) yang bersifat membunuh serangga. Bt-protoksin yang larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd) dan bersifat toksin. Toksin yang dihasilkan akan berinteraksi dengan sel-sel epithelium pada midgut serangga. Sehingga, menyebabkan terbentuknya pori-pori pada sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan
osmotik
sel.
Terganggunya
keseimbangan
osmotik
akan
menyebabkan sel membengkak dan pecah yang akhirnya menyebabkan kematian serangga (Bahagiawati, 2002). 2.3.6
Trichoderma viride Trichoderma spp. merupakan salah satu jamur antagonis yang saat ini
banyak dikembangkan untuk pengendali hayati karena mempunyai sifat mudah ditemukan di berbagai lokasi, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat
16
dan tidak bersifat patogenik terhadap tanaman (Chemistry, 2010). Trichoderma spp. merupakan jamur yang habitatnya dalam tanah. Trichoderma sp. termasuk dalam genus Hypocrea (Nugroho, 2013). Menurut Ismail dan Terinwawe (2011), pada mulanya miselia Trichoderma viride berwarna putih dan kemudian berangsur-angsur akan berubah warna menjadi hijau. Warna hijau tersebut disebabkan oleh adanya konidia. semakin banyak konidia yang dimiliki maka warna miselia akan semakin hijau. Mekanisme kerja Trichoderma viride diantaranya adalah dengan cara : a. mikroparasit, dengan cara menembus dinding sel miselium jamur lain dan masuk kedalam untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga jamur akan mati. b. menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang dapat
menghancurkan
sel
jamur
melalui
pengrusakan
terhadap
permeabilitas membran sel dan enzim chitinase serta laminarinase yang dapat menyebabkan lisis dinding sel. c. mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan. d. mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Menurut Ismail dan Tenrirawe (2010), beberapa jamur fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma spp. antara lain Rhizoctonia solani, Fusarium spp, Lentinus lepidus, Phytium spp, Botrytis cinerea, Gloeosporium gloeosporoides, Rigidoporus lignosus dan Sclerotium roflsii.
17
2.3.7
Beauveria sp. Beauveria sp. merupakan salah satu agen
pengendali populasi hama
biologis karena dapat menjadi parasit pada tubuh serangga hama. Serangga ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Homiptera merupakan inang dari jamur Beauveria sp. (Ahmad dkk., 2008). Beauveria sp. dapat menginfeksi inangnya melalui kulit kutikula mulut ataupun ruas-ruas yang terdapat dalam tubuh serangga. Spora yang telah masuk kemudian berkecambah dan berkembang ke seluruh bagian serangga dengan cara mengambil nutrisi inangnya. Setelah inang mati, maka miselia akan mulai keluar dari tubuhnya dan inang akan terbungkus oleh miselia (Khairani, 2007).
18
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Secara umum salah satu masalah yang dihadapi para petani di negara yang beriklim tropis dan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia adalah permasalahan hama dan penyakit tanaman serta ketersediaan pupuk bagi tanaman. Permasalahan tersebut timbul akibat adanya sistem pertanian konvensional yang menggunakan input pestisida kimia serta pupuk anorganik secara berlebihan (Daniel, 2011). Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menerapkan sistem pertanian yang ramah lingkungan seperti zero waste management (Nurlambang dan Kriastomo, 2001). Prinsip dari penerapan zero wate management adalah pendekatan seluruh sistem untuk mengelola sumber daya yang terfokus dengan cara mengurangi, menggunakan kembali, dan mengolah kembali (Illinois University, 2013). Urin sapi merupakan limbah ternak yang jarang dimanfaatkan. Urin ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair dan pestisida organik melalui proses fermentasi yang hasilnya disebut biourin. Berdasarkan penelitian Phrimantoro (2003) didapatkan bahwa kandungan unsur hara pada urin sapi mengalami peningkatan sebesar 0,5%-2% setelah mengalami proses fermentasi. Biourin disamping mengandung unsur hara yang tinggi, juga mengandung zat pengatur tumbuh dan mengandung senyawa penolak untuk beberapa jenis serangga hama (Phrimantoro, 1995).
18
19
Pestisida merupakan semua racun yang digunakan untuk membunuh organisme hidup yang mengganggu. Agen pengendali hayati yang digunakan sebagai pestisida organik dapat berasal dari hasil hancuran bagian tanaman ataupun mikroorganisme antagonis
yang berfungsi sebagain pengendali
Organisme Pengganggu Tanaman. Hancuran tanaman yang digunakan memiliki senyawa metabolit sekunder yang bersifat racun. Hancuran tanaman yang umum digunakan oleh petani diantaranya adalah hancuran base genep, hancuran daun mimba (Azadirachta indica A. Juss), hancuran daun sirsak (Annona muricata L) dan daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum). Formulasi miroorganisme antagonis mengandung mikroba tertentu seperti jamur, bakteri, protozoa ataupun nematoda yang bersifat antagonis atau antibiosis terhadap patogen penyebab penyakit ataupun bersifat racun terhadap hama (Nadiah dan Nugroho, 2012). Mikroorganisme antagonis yang telah banyak dikomersilkan umum sebagai pestisida hayati diantaranya adalah Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan Beauveria sp. (Bio Pesticides, 2000). Penggunaan pestisida hayati dan pestisida nabati seringkali mengalami kendala pada aplikasinya karena sifat dari bahan aktifnya yang sangat spesifik dan memerlukan beberapa kali aplikasi untuk dapat mengendalikan hama. Phrimantoro (1995) menyatakan bahwa boiurin juga mengandung zat penolak untuk beberapa jenis serangga hama. Mencampur biourin dengan agen pengendali hayati memungkinkan penggunaan aplikasi biourin sebagai pupuk organik dan biopestisida untuk mengefisienkan biaya produksi baik dalam hal aplikasi maupun biaya.
20
Efisiensi biaya produksi juga sangat diharapkan oleh petani sayuran khususnya sawi hijau. Sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) merupakan tanaman sayuran yang banyak digemari untuk diusahakan oleh petani karena tanaman ini dapat dipanen hanya dalam waktu kurang dari 30 hari. Umur panen yang relatif pendek pada tanaman sawi hijau menyebabkan tanaman sangat peka terhadap respon pemberian pupuk serta ganguan hama dan penyakit tumbuhan. Oleh karena itu, petani cenderung penggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan. Untuk mengurangi residu pestisida pada tanaman sawi hijau, tentu diperlukan adanya suatu teknologi tepat guna dalam penanganan masalah hama, penyakit serta ketersediaan pupuk. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan campuran biourin dengan agen pengendali hayati. Pengujian aplikasi campuran biourin dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi hijau perlu untuk dilakukan mengingat belum banyaknya literatur yang menunjukkan efektivitas biourin dalam meningkatkan produktivitas tanaman serta mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
21
3.2 Konsep Penelitian Secara skematis kerangka konsep penelitian disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar. 3.1 kerangka konsep 3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Aplikasi biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati efektif dapat mengendalikan hama dan penyakit pada tanaman sawi hijau . 2. Aplikasi biourin yang ditambahkan dengan agen pengendali hayati efektif dapat meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau.
22
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman sayur mayur di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng dengan ketinggian tempat 1142 m di atas permukaan laut. Waktu pelaksanaan penelitian ini dimulai dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2013. Sampel yang diperoleh kemudian dianalisis. Pengujian kandungan klorofil dan pengukuran variabel setelah
panen
dilakukan
di
Laboratorium
Biopestisida
Program
Studi
Bioteknologi Pertanian, Pascasarjana Universitas Udayana. 4.2 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Penelitian lapangan dilakukan
untuk
menguji
efektivitas
biourin
untuk
biopestisida
dan
kemampuannya dalam meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan tanaman sawi terhadap serangan hama serta penyakit. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan memakai 3 ulangan dengan 10 perlakuan. Perlakuan yang diuji cobakan antara lain biourin yang ditambahkan hancuran base genep, hancuran daun mimba, hancuran daun sirsak, daun tembakau rajangan, Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride, Beauveria sp., biourin tanpa campuran agen pengendali hayati, pestisida kimia dan dilengkapi dengan kontrol (hanya disiram dengan air).
22
23
4.3 Alat Penelitian Jenis peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain untuk penelitian di lapangan menggunakan alat pertanian secara umum, lumpang, alu, jerigen plastik ukuran 20 liter, sprayer, gelas plastik, gelas ukur, mistar, kamera, gelas plastik, kain kasa timbangan, oven dan klorofilmeter. 4.4 Bahan Penelitian Jenis bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Bibit sawi hijau b. Urin sapi c. Azotobacter chroococcum, d. Air kelapa, e. Hancuran base genep yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, cabai, lengkuas, kencur, jahe, kunyit, sereh, lada, dringgo, cengkeh, jeringau dan kayumanis. f. Hancuran daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) g. Hancuran daun sirsak (Annona muricata L.) h. Daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum) i. Bacillus thuringiensis j. Trichoderma viride k. Beauveria sp. l. Deltametrin 25g/l dan Dimehipo 400 g/l (pestisida kimia yang biasa digunakan oleh petani setempat)
24
4.5 Pelaksanaan Penelitian 4.5.1 Pembuatan Biourin 1. Pembuatan biourin Sebanyak 80 liter urin sapi ditampung dan diaerasi selama 8 jam, kemudian diinokulasi dengan 4 liter A. chroococcum dan difermentasi selama 2 minggu. Selama fermentasi, setiap hari larutan biourin diaduk secara manual. 2. Pembuatan Pestisida Nabati dengan Media Biourin Sebanyak 40 liter biourin hasil fermentasi dengan
A. chroococcum,
dimasukan dalam 4 jerigen ukuran 20 liter, kemudian kedalam jerigen tersebut juga dimasukan 1 liter pestisida nabati perlakuan yang diperoleh dari 2 kg bahan perlakuan, yaitu hancuran base genep, hancuran daun mimba, hancuran daun sirsak dan daun tembakau rajangan , kemudian difermentasi selama 1 minggu. Setelah fermentasi, larutan pestisida nabati diaplikasikan dan digunakan dengan dosis aplikasi sebanyak 10% larutan. 3. Pembuatan pestisida hayati dengan media biourin Sebanyak 30 liter
biourin hasil fermentasi dengan A. chroococcum,
dibagi menjadi 3 bagian. Masing-masing larutan dimasukan dalam jerigen ukuran 20 liter, kemudian kedalam jerigen dimasukan 1 liter mikroba musuh alam yaitu Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan Beauveria sp. dengan konsentrasi 105 CFU. Kemudian, dimasukan 5 liter air kelapa dan difermentasi selama 1 minggu. Setelah
difermentasi, larutan biopestisida diaplikasikan langsung
ketanaman dengan dosis 10% larutan.
25
4.5.2 Persiapan lahan Bibit sawi hijau disemaikan pada media yang telah dicampur dengan pupuk kandang. Persemaian dilakukan pada tempat teduh dan dijaga kelembabannya selama 14 hari atau bibit telah memiliki 3-4 helai daun. Sebelum dilakukan penanaman, tanah diolah terlebih dahulu dan dibuat petak-petak perlakuan berukuran 1m x 2 m dengan jarak antar petak 50 cm. Setelah itu diberikan pupuk dasar berupa pupuk organik (kompos) dan kemudian dilakukan penutupan dengan mulsa hitam perak. Denah petak percobaan disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Denah petak percobaan di lapangan
26
4.5.3 Penanaman Bibit yang telah berumur 14 hari kemudian dipindahkan ke petak percobaan dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Bibit yang ditanaman adalah bibit yang seragam, tegak, segar dan kuat. 4.5.4 Pemupukan Pemupukan pertama dilakukan 7 hari setelah penanaman dan dilakukan 2 kali seminggu hingga menjelang panen. Pemberian perlakuan campuran biourin ditambah agen hayati dilakukan dengan pengenceran 10% larutan, sedangkan petak yang diberi perlakuan control dan pestisida tidak di lakukan pemupukan. Penyemprotan biourin dilakukan dengan menyemprot seluruh bagian tanaman, termasuk bagian belakang daun. 4.5.5 Pemeliharaan tanaman Penyiraman dilakukan apabila diperlukan, terutama jika tanaman terlihat layu. Penyemprotan pestisida dilakukan setiap minggu hanya pada petak I (petak yang diberi perlakuan pestisida). Serangan hama dan penyakit pada sawi hijau dilakukan secara alami. 4.5.6 Uji Perlakuan Uji perlakuan biourin ditambah dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
27
menggunakan 10 perlakuan dan 3 (tiga) kali ulangan, sehingga diperoleh 30 unit petak percobaan. Adapun masing-masing perlakuan adalah: A = Biourin yang ditambah hancuran base genep B = Biourin yang ditambah hancuran daun mimba (Azadirachta indica A. Juss) C = Biourin yang ditambah hancuran daun sirsak (Annona muricata L.) D = Biourin yang ditambah daun tembakau rajangan (Nicotiana tabacum) E = Biourin yang ditambah Bacillus thuringiensis F = Biourin yang ditambah Trichoderma viride G = Biourin yang ditambah Beauveria sp. H = Biourin I = Pestisida kimia J = Kontrol 4.5.7 Pengamatan Pengamatan yang dilakukan setiap minggu meliputi; 1. Jumlah daun. Jumlah daun yang dihitung meliputi daun yang sudah terbentuk sempurna dan masih berwarna hijau. 2. Tinggi tanaman. Tinggi tanaman dihitung dari permukaan tanah hingga daun tertinggi. 3. Observasi hama dan penyakit tanaman yang menyerang. Observasi dilakukan dengan mencatat gejala-gejala yang tibul serta perubahan yang terjadi pada tanaman.
28
Pengamatan saat panen dilakukan meliputi: 1. Berat segar akar. Berat segar akar diperoleh setelah panen ditimbang dengan menggunakan timbangan. Akar dicuci bersih sebelum ditimbang. 2. Berat segar diatas tanah. Berat segar diatas tanah diperoleh setelah panen ditimbang dengan menggunakan timbangan. Bagian diatas tanah dicuci bersih sebelum ditimbang. 3. Berat kering akar. Berat kering akar diperoleh dengan memasukkan akar ke dalam oven dengan suhu 80o C sampai berat konstan. 4. Berat kering diatas tanah Berat kering diatas tanah diperoleh dengan memasukkan akar ke dalam oven dengan suhu 80o C sampai berat konstan. 5. Jumlah klorofil. Kandungan
klorofil
diukur
dengan
menggunakan
klorofilmeter.
Pengukuran dilakukan pada daun ketiga dari pucuk sebanyak 3 kali, kemudian diambil rata-ratanya. 6. Luas daun. Luas daun diperoleh dengan mengamati panjang daun terpanjang dan lebar daun terlebar, kemudian dikalikan dengan konstanta.
29
7. Mengamati dan menghitung kelimpahan Liriomyza sp. Kelimpahan imago Liriomyza sp. diamati dengan cara memotong daun dan meletakkannya dalam gelas plastik yang bagian atasnya telah di tutup dengan kain kasa. Imago yang keluar dari daun kemudian diamati dan dihitung. 8. Mengamati dan menghitung persentase penyakit tanaman dan kerusakan daun pertanaman yang menyerang tanaman dengan rumus (Sudarma, 2011) :
Keterangan : P = persentase penyakit atau kerusakan daun pertanaman n = jumlah tanaman yang terserang penyakit atau jumlah daun yang rusak N = jumlah tanaman yang diamati atau jumlah daun yang diamati pertanaman 9. Mengamati dan menghitung intensitas kerusakan daun tanaman terhadap hama dengan rumus (Natawigena, 1989):
keterangan : P = Intensitas kerusakan; n = Jumlah daun dari tiap kategori serangan; v = Nilai skala dari tiap kategori serangan; Z = Nilai skala dari kategori serangan tertinggi
30
N = Jumlah daun yang diamati Tabel 4.1 Kriteria Penilaian Intensitas Kerusakan Skala
Persentase kerusakan
Katagori
0
0
Normal
1
1 < x ≤ 25
Ringan
2
25 < x ≤ 50
Sedang
3
50 < x ≤ 75
Berat
4
x > 75
Sangat berat
4.5.8 Panen Panen dilakuka pada umur 30 hari setelah tanam. Panen dilakukan dengan cara mencabut seluruh bagian tanaman hingga ke akar. 4.5.9 Penyajian dan Analisis Data Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analisis varian (sidik ragam) sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Duncan taraf
5%. Data persentase akar gada
ditransformasi dengan rumus (Hanafiah, 2010) kemudian dianalisis. x’ = √x+0,5 keterangan : x’ = nilai transformasi x = nilai awal
31
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Signifikansi Pengaruh Aplikasi Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) Berdasarkan analisis statistik diperoleh signifikansi pengaruh aplikasi campuran biourin dengan agen pengendali hayati terhadap produktivitas, hama serta penyakit akar gada pada tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) yang disajikan pada Tabel 5.1. Grafik tinggi tanaman dan jumlah daun pertanaman disajikan pada Gambar 5.1 dan 5.2. Sedangkan, hasil pengamatan dan notasi disajikan dalam Tabel 5.2, Tabel 5.3 dan Tabel 5.4. Tabel 5.1 dapat diketahui bahwa campuran biourin dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) berpengaruh nyata (P ˂ 0,05) terhadap variabel tinggi tanaman, luas daun, jumlah klorofil, berat segar diatas tanah, berat segar
akar, berat kering diatas tanah, berat kering akar,
persentase akar gada, jumlah daun rusak, intensitas kerusakan daun dan kelimpahan Liriomyza sp.. Namun demikian, pada variabel jumlah daun menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P ≥ 0,05).
31
32
Tabel 5.1 Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Persentase Penyakit Akar Gada pada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) No.
Variable pengamatan
Signifikansi
1
Jumlah daun
ns
2
Tinggi tanaman
*
3
Luas daun
**
4
Jumlah klorofil
**
5
Berat segar diatas tanah
*
6
Berat segar akar
*
7
Berat kering diatas tanah
**
8
Berat kering akar
**
9
Persentase penyakit akar gada
**
11
Jumlah daun rusak akibat serangan belalang
**
12
Intensitas kerusakan daun akibat hama belalang
**
13
Kelimpahan imago Liriomyza sp.
*
Keterangan : ns : berpengaruh tidak nyata (P ≥ 0,05) * : berpengaruh nyata (P ˂ 0,05) **: berpengaruh sangat nyata (P ˂ 0,01) 5.2 Pengaruh Aplikasi Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati pada Tanaman Sawi Hijau Pada Gambar 5.1dan 5.2 dapat diketahui terjadi peningkatan pertumbuhan pada tanaman sawi hijau. Hasil analisi statistik pada hari ke-21 atau pada minggu ke-3 (Tabel 5.2) menunjukkan perlakuan biourin berpengaruh nyata (P ˂ 0,05) terhadap tinggi tanaman, namun pada jumlah daun menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P ≥ 0,05). Hal tersebut disebabkan karena sifat genetik tanaman dan kondisi lingkungan pada saat itu sesuai untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman seragam (Kuswanto, 2012).
33
A (Biourin + hancuran base genep) B (Biourin + hancuran daun mimba) C (Biourin + hancuran daun sirsak) D (Biourin+ hancuran daun tembakau) E (Biourin + Bacillus thuringiensis) F (Biourin + Trichoderma viride)
40.00
Tinggi tanaman (cm)
35.00 30.00 25.00 20.00
G (Biourin + Beauveria sp.) 15.00
H (Biourin)
10.00
I (Pestisida kimia)
J (Kontrol) 5.00
0
7
14
21 Waktu (hari setelah perlakuan)
Gambar 5.1 Grafik tinggi tanaman perminggu pada sawi hijau yang diberi perlakuan biourin ditambah agen pengendali hayati 10.00 A (Biourin + hancuran base genep)
Jumlah daun (helai)
9.00
B (Biourin + hancuran daun mimba) C (Biourin + hancuran daun sirsak)
8.00
D (Biourin+ hancuran daun tembakau)
7.00
E (Biourin + Bacillus thuringiensis) F (Biourin + Trichoderma viride)
6.00
G (Biourin + Beauveria sp.)
5.00
H (Biourin) I (Pestisida kimia)
4.00 J (Kontrol)
3.00 0
7
14
21
Waktu (hari setelah perlakuan)
Gambar 5.2 Grafik jumlah daun tanaman perminggu pada tanaman sawi hijau yang diberi perlakuan biourin ditambah agen pengendali hayati Tabel 5.2 menunjukkan pengaruh campuran biourin dengan agen pengendali hayati terhadap variabel jumlah daun, tinggi tanaman, luas daun dan
34
klorofil pada tanaman sawi hijau pada hari ke-21 setelah perlakuan. Sedangkan, tabel 5.3 menunjukkan pengaruh campuran biourin dengan agen pengendali hayati terhadap variabel berat segar dan berat kering tanaman sawi hijau pada hari ke-21 setelah perlakuan. Berdasarkan Tabel 5.2 dan Tabel 5.3 dapat diketahui bahwa campuran biourin yang ditambah dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) di hari ke-21 berpengaruh nyata (P ˂ 0,05) terhadap variabel tinggi, luas daun, jumlah klorofil, berat segar diatas tanah, berat segar akar, berat kering diatas tanah dan berat kering akar. Perlakuan biourin berbeda nyata dengan kontrol disebabkan karena biourin yang difermentasi dengan menggunakan A. chroococcum selain memiliki kandungan hara yang lengkap, juga mengandung zat pengatur tumbuh tanaman yang tinggi, yaitu auksin, sitokinin dan giberelin (Sudana, dkk., 2012). Kandungan auksin, sitokinin dan giberelin memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan tanaman. Keseimbangan dari ketiga hormon ini dan interaksinya dapat mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Kandungan komponen
senyawa pendukung pertumbuhan
yang lengkap
menyebabkan tanaman memiliki kualitas yang baik. meningkatkan proses fisiologis tumbuhan seperti fotosintesis yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan (Wahid, dkk., 2013). Hal ini terlihat juga pada jumlah klorofil tertinggi pada hari ke-21 setelah perlakuan biourin, yaitu 43,30 SPAD unit. Campuran biourin yang ditambah dengan daun tembakau rajangan memiliki pertumbuhan, jumlah klorofil, berat segar dan berat kering tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut disebabkan karena tanaman
35
tembakau memiliki kandungan kalium yang tinggi. Kalium tersebut berperan dalam membentuk dan mengangkut karbohidrat, sebagai katalisator dalam pembentukan protein, mengatur kegiatan berbagai unsur mineral, menetralkan reaksi dalam sel terutama dari asam organik, menaikan pertumbuhan jaringan meristem, mengatur pergerakan stomata, memperkuat tegaknya batang sehingga tanaman tidak mudah roboh, mengaktifkan enzim baik langsung maupun tidak langsung, meningkatkan kualitas tanaman, membuat tanaman menjadi lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta membantu perkembangan akar tanaman (Yusuf, 2012; Syakir dan Gusmaini, 2012). Tabel 5.2 Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Jumlah Daun, Tinggi Tanaman, Luas Daun dan Jumlah Klorofil pada Tanaman Sawi Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan Variabel pengamatan Perlakuan
Jumlah daun (helai)
Tinggi tanaman (cm)
Luas daun cm2
Jumlah klorofil (SPAD unit)
A (Biourin ditambah hancuran base genep)
9,47 a
37,67 ab
230,36 aaa
36,23 bcc
9,33 a
39,18 aaa
213,67 abc
36,97 bc
9,53 a
38,07 abb
224,61 aaa
35,77 bcc
9,27 a
40,10 aaa
243,09 aaa
40,93 abb
9,53 a
36,03 abb
240,96 aaa
41,16 abb
9,73 a
34,5 abb
199,75 abc
39,67 abc
G (Biourin ditambah Beauveria sp.)
9,4 a
32,47 bbb
232,69 aaa
40,92 abb
H (Biourin)
9,07 a
32,37 bbb
227,91 abb
43,30 aaa
I
(Pestisida)
8,73 a
32,39 bbb
180,22 bcc
40,99 abb
J
(Kontrol) 9,47 a 36,07 abb 174,64 ccc 33,98 ccc Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf Uji DMRT 5%
(Biourin ditambah hancuran daun mimba) C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) (Biourin ditambah daun tembakau D rajangan) E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) B
F
(Biourin ditambah Trichoderma viride)
36
Tabel 5.3 Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Berat Segar dan Berat Kering Tanaman Sawi Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan Variabel pengamatan Berat segar diatas tanah (g)
Berat segar akar (g)
Berat kering diatas tanah (g)
Berat kering akar (g)
A (Biourin ditambah hancuran base genep)
215,44 abcc
11,89 abcc
23,42 aaa
4,18 abb
B (Biourin ditambah hancuran daun mimba)
198,90 abcd
9,26 bccc
14,81 cccc
1,87 ccc
C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) (Biourin ditambah daun tembakau D rajangan) E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis)
210,30 abcc
9,25 bccc
16,36 bcc
2,10 ccc
257,39 aaaa
12,06 abcc
20,85 abb
3,41 abc
166,34 bcdd
10,66 bccc
21,185 ab
2,55 bcc
F
253,81 abbb
13,19 abbb
22,79 a
4,06 abb
G (Biourin ditambah Beauveria sp.)
156,50 cddd
10,50 bccc
19,27 abc
3,41 abc
H (Biourin)
185,80 abcd
15,80 aaaa
20,02 abb
4,75 aaa
I
(Pestisida)
190,68 abcd
9,34 bccc
20,03 abb
2,59 bcc
J
(Kontrol) 122,99 dddd 8,21 c 10,77 ddd 2,72 bcc Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf Uji DMRT 5%
Perlakuan
(Biourin ditambah Trichoderma viride)
5.3 Pengaruh Campuran Biorin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Hama yang Menyerang Tanaman Sawi Hijau Hasil penelitian menunjukkan kehilangan hasil terhadap produktivitas tanaman sawi hijau diakibatkan oleh serangan hama dengan tipe mulut menggigitmengunyah yang dimiliki oleh belalang (Jumar, 2000). Gambar 5.3 menunjukkan nilai kerusakan yang terjadi terdapat pada kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun. Pada saat penanaman dilakukan bulan Juli hingga Agustus 2013 curah hujan yang terjadi mengalami peningkatan setelah beberapa bulan sebelumnya mengalami musim kemarau. Sudarsono dkk. (2011) juga menyatakan
37
bahwa serangan hama belalang mengalami peningkatan luas serangan pada musim penghujan setelah beberapa bulan mengalami curah hujan yang rendah.
Gambar 5.3 Kerusakan yang diakibatkan oleh hama belalang Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa campuran biourin dengan agen pengendali hayati pada tanaman sawi hijau di hari ke-21 berpengaruh nyata (P ˂ 0,05) terhadap variabel kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun. Jumlah daun rusak dan intensitas kerusakan daun terendah akibat hama belalang pada tanaman sawi hijau ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan Bacillus thuringiensis dengan nilai 1 helai daun rusak dan nilai intensitas kerusakan daun 27,23%. B. thuringiensis
dapat mengendalikan hama yang
merusak tanaman dengan cara merusak sistem pencernaan. Kristal protein (δendotoksin) jika larut dalam usus serangga yang mengalami aktifitas proteolisis. Bt-protoksin akan menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat racun. Racun akan menyebabkan terbentuknya pori-pori pada sel membran pencernaan serangga sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel, sehingga sel akan membengkak dan pecah, akhirnya menimbulkan kematian (Bahagiawati, 2002).
38
Nilai kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun terendah ke-2 akibat serangan belalang ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan hancuran base genep. Hancuran base genep juga mengandung berbagai macam kandungan senyawa yang bersifat pestisida sehingga dapat menolak hama untuk memakan dan apabila daun termakan maka akan mengakibatkan efek terbakar pada serangga karena base genep mengandung senyawa yang bersifat api seperti yang terdapat capsaicin pada cabai, saponin, flavonoid, tanin, minyak atsiri, eugenol pada cengkeh maupun zingeron pada jahe. Kandungan minyak bunga cengkeh (Eugenia aromatica) efektif mengendalikan hama trips (Thrips palmi) dan ulat bulu Gempinis dengan tingkat kematian (mortalitas) tertinggi sebesar 100%. Selain itu, kandungan zingeron pada jahe dan minyak atsiri pada pala juga dapat meningkatkan mortalitas pada ulat bulu (Atmaja dan Ismanto, 2010; Astuthi, dkk., 2012) . Nilai kerusakan daun dan intensitas kerusakan daun terendah ke-3 akibat serangan belalang ditunjukkan oleh perlakuan biourin ditambah dengan daun tembakau rajangan. Hal itu disebabkan karena tembakau merupakan tanaman yang paling toksik dibanding kandungan jenis tanaman lainnya dan memiliki nilai LD-50 (lethal dose 50%) antara 50 dan 60 ppm. Selain itu, racun dari senyawa nikotin yang dimiliki oleh tembakau dapat membunuh serangga dengan cara bekerja cepat dan bekerja secara kontak dan meracuni syaraf serangga (Wiryadiputra, 2006).
39
Tabel 5.4 Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Jumlah Daun Rusak, Intensitas Kerusakan Daun Akibat Serangan Hama Belalang serta Kelimpahan Liriomyza sp. Pada Sawi Hijau pada Hari Ke-21 Setelah Perlakuan Variabel pengamatan Jumlah daun rusak (helai)
Intensitas kerusakan daun (%)
Kelimpahan Liriomyza sp. (imago)
A (Biourin ditambah hancuran base genep)
2,56 bb
27,96 cc
23,33 ab
B (Biourin ditambah hancuran daun mimba) C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak) (Biourin ditambah daun tembakau D rajangan) E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis) F (Biourin ditambah Trichoderma viride) G (Biourin ditambah Beauveria sp.)
2,89 ab 3,33 ab
36,65 aa 35,97 ab
50,00 aa 27,00 ab
2,56 bb
28,97 bc
50,67 aa
1,00 cc 2,00 bc 2,33 bc
27,23 cc 34,99 ab 37,29 aa
50,00 aa 38,33 ab 30,00 ab
2,33 bc
37,00 aa
31,00 ab
Perlakuan
H (Biourin) I J
(Pestisida) 2,56 bb 29,44 bc 13,33 bb (Kontrol) 4,44 aa 42,97 aa 52,67 aa Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf Uji DMRT 5% Selain serangan belalang, adapula kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan Liriomyza sp.. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.4, kelimpahan Liriomyza sp. pada hari ke-21 menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P ˂ 0,05). Kelimpahan liriomyza sp. terendah ditunjukkan oleh perlakuan insektisida sebanyak 13,33 imago. Menurut Soenarko (2009) Jenis pestisida yang paling ampuh untuk mengendalikan serangan hama Liriomyza sp. adalah pestisida yang bersifat sistemik karena serangan yang paling merugikan adalah pada fase larva yang tinggal di bawah lapisan epidermis daun kemudian memakannya (Gambar 5.4). Setelah masa larva selesai, barulah larva akan keluar daun untuk menjadi
40
pupa. Pestisida yang digunakan pada perlakuan merupakan pestisida yang bersifat racun kontak dan sistemik dengan kandungan bahan aktif
Deltametrin
dan
Dimehipo sehingga kematian dapat terjadi pada fase imago maupun fase larva.
Gambar 5.4 Liriomyza sp. yang menyerang tanaman sawi hijau Faktor perkembangan serta pertumbuhan tanaman yang baik juga dapat menurunkan resiko kerusakan tanaman.
Hal ini didukung oleh data yang
disajikan dalam Tabel 5.2 dan Tabel 5.3. Daun yang memiliki serat yang lebih tinggi akan memiliki berat kering yang relatif lebih tinggi. Kandungan serat tanaman yang tinggi diakibatkan oleh optimalnya proses fotosintesis yang terjadi pada tanaman, sehingga tanaman akan mengalami kehilangan bobot berat segar yang lebih kecil akibat akumulasi fotosintat yang tinggi pada sel tanaman. Kualitas tanaman yang baik menyebabkan imago Liriomyza sp. relatif lebih sulit untuk menembus lapisan daun untuk meletakkan telur. Imago Liriomyza sp. mencucuk tidak hanya untuk meletakkan telurnya, namun adapula untuk makan (Soenarko, 2009).Serangan Liriomyza sp. umumnya terjadi pada empat (4) helai daun terbawah tanaman percobaan. Empat helai daun terbawah merupakan daun tua (daun awal) pada hari ke-0 setelah perlakuan (Gambar 5.2).
41
5.4 Pengaruh Campuran Biorin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Penyakit Akar Gada yang Menyerang Tanaman Sawi Hijau Berdasarkan hasil analisis statistik yang disajikan dalam Tabel 5.5 menunjukkan bahwa aplikasi biourin terbukti menekan terjadinya pembentukan penyakit akar gada dibandingkan dengan kontrol (0%). Penyakit akar gada memiliki ciri khusus yaitu akar yang membengkak akibat dari rusaknya susunan jaringan akar (Gambar 5.5), sehingga pengangkutan metabolisme dari akar menuju ke bagian organ tanaman lain seperti batang dan daun menjadi terganggu, begitupun sebaliknya. Pada serangan berat, tanaman akan menjadi kerdil, layu bahkan mati. Persentase serangan penyakit akar gada yang tinggi pada kontrol menyebabkan tanaman yang terserang memiliki berat kering, berat basah, jumlah klorofil dan luas daun yang lebih rendah dibanding dengan tanaman yang diberi perlakuan biourin. Aplikasi biourin pada daun, dapat langsung membuat unsur hara serta ZPT yang terkandung segera dimanfaatkan karena langsung mengenai bagian daun (stomata) tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Sehingga, tanaman tidak terganggu oleh adanya penyakit akar gada yang menyerang pada saat itu. Selain itu, tanaman sawi hijau berumur pendek yang mengakibatkan serangan patogen Plasmodiophora brassicae Wor. belum menginfeksi seluruh bagian akar. Sebagian besar bagian akar masih ada yang berfungsi dengan baik. Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam biourin yang berfungsi untuk menekan
pertumbuhan
patogen
Plasmodiophora
brassicae
Wor.
ada
kemungkinan tidak mengalami gangguan setelah ditambahkan dengan hancuran daun tembakau, Bacillus thuringiensis, Beauveria sp., dan Trichoderma viride karena memiliki nilai yang sama dengan perlakuan biourin tanpa tambahan agen
42
pengendali hayati dalam mengendalikan persentase penyakit akar gada pada tanaman sawi hijau. Pemberian pupuk yang seimbang dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit dengan cara meningkatkatkan kualitas tanaman. Penelitian yang dilakukan Morgan dkk. (2005) menjelaskan pemberian bahan organik akan memperbaiki rhizosfer yang dapat membantu meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan membantu toleransi tanaman terhadap senyawa toksik.
Gambar 5.5 Penyakit akar gada yang menyerang tanaman sawi hijau Pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik juga terdapat pada perlakuan biourin yang ditambah dengan Trichoderma viride. Penggunaan Trichoderma spp. sangat baik diberikan dalam fase tanaman masih muda atau pada fase perkembangan awal pertumbuhan tananaman sebagai pencegahan terserang patogen. Selain itu, Trichoderma spp. mampu menyerang jamur lain namun sekaligus berkembang baik pada daerah perakaran menjadikan keberadaan
43
jamur ini dapat berperan sebagai biokontrol dan biodekomposer sehingga dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman. Aplikasi campuran biourin selain dapat langsung diserap tanaman, sebagian lagi berpotensi mengalami leaching (pencucian) karena adanya hujan. Campuran biourin jatuh mengenai tanah dan akar. Agen pengendali hayati yang terdapat dalam biourin mampu melindungi akar. Pernyataan ini diperkuat oleh yang menyatakan cendawan yang tumbuh cepat mampu menggunguli dalam penguasaan ruang dan pada akhirnya dapat menekan pertumbuhan cendawan lawannya. Selain itu diduga karena selulase yang dimiliki oleh Trichoderma sp. akan merusak dinding sel selulosa cendawan patogen (Ismail dan Terinwawe, 2012) Tabel 5.5 Pengaruh Campuran Biourin dengan Agen Pengendali Hayati terhadap Persentase Penyakit Akar Gada Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) Variabel pengamatan Perlakuan
Persentase penyakit akar gada (%)
A (Biourin ditambah hancuran base genep)
0.008 bb
B (Biourin ditambah hancuran daun mimba)
0.008 bb
C (Biourin ditambah hancuran daun sirsak)
0.017 ab
D (Biourin ditambah hancuran daun tembakau)
0.000 cc
E (Biourin ditambah Bacillus thuringiensis)
0.000 cc
F (Biourin ditambah Trichoderma viride) G (Biourin ditambah Beauveria sp.)
0.000 cc 0.008 bb
H (Biourin)
0.000 cc
I (Pestisida) 0.008 bb J (Kontrol) 0.042 aa Keterangan : Huruf yang sama dalam kolom yang sama, berbeda tidak nyata pada taraf Uji DMRT 5% data telah ditransformasi dengan rumus x' = √ x + 0,5
44
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Berdasarkan hasil analisis yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka diperoleh simpulan sebagai berikut : 1. Aplikasi
campuran
biourin
yang
ditambahkan
dengan
Bacillus
thuringiensis, hancuran base genep dan daun tembakau rajangan mampu mengendalikan hama dengan belalang dan Liriomyza sp. pada tanaman sawi hijau. 2. Aplikasi biourin, ataupun biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau rajangan dan Trichoderma viride mampu mengendalikan penyakit akar gada pada tanaman sawi hijau. 3.
Aplikasi campuran biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau rajangan mampu meningkatkan produktivitas tanaman sawi hijau (Brassica rapa var. parachinensis L.) dibandingkan dengan kontrol.
6.2 Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka saran yang dapat dikemukakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai perubahan proses kimia yang terjadi antara biourin yang ditambahkan dengan daun tembakau rajangan, hancuran base genep, hancuran daun mimba, hancuran daun
44
45
sirsak, Bacillus thuringiensis, Trichoderma viride dan Beauveria sp. terutama mengenai kandungan zat pengatur tumbuh
(ZPT) ataupun
kandungan bahan aktif lain yang ada di dalamnya. 2. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai mikroorganisme yang ada pada biourin sebelum penambahan agen pengendali hayati dan setelah penambahan selama proses fermentasi untuk mengetahui adanya sifat incompatible pada biourin yang ditimbulkan. 3. Perlu dilakukan kajian mengenai kemungkinan campuran biourin dengan agen pengendali hayati sebagai PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobakteri) pada tahap pembibitan.
46
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, R. Z., D. Haryuningtyas, A. Wardhana. 2008. Lethal Time 50 Cendawan Beauveria bassiana dan Metarhizium Anisopliae terhadap Sarcoptes Scabiei. Balai Besar Penelitian Veteriner : Bogor Antara. 2011. BPS-Kementerian Pertanian Sensus Sapi Bali. Diakses 26 Februari 2013 (http:perperbali.antaranews.comperberitaper10730perbps-kementerian -pertanian-sensus-sapi-bali). Astuti, U.P., T. Wahyuni, B. Honorita. 2013. Petunjuk Teknis Pembuatan Pestisida Nabati. Bengkulu : Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Astuthi, M. M. M., K. Sumiartha, I W. Susila, G. N. A.S. Wirya, I P. Sudiarta. 2012. Efikasi Minyak Atsiri Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Merr. & Perry), Pala (Myristica fragrans Houtt), dan Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Terhadap Mortalitas Ulat Bulu Gempinis dari Famili Lymantriidae. Journal Agriculture Science and Biotechnology 1(1) : 12-23 Asmaliyah, E. E, Wati H., S. Utami, K. Mulyadi, Yudhistira, F. W. Sari. 2010. Pengenalan Tumbuhan Penghasil Pestisida Nabati dan Pemanfaatannya Secara Tradisional. Palembang : Kementerian Kehutanan. Atmaja, W. R., A. Ismanto. 2010. Pengujian Enam Jenis Insektisida Nabati Terhadap Trips (Thrips palmi) Pada Tanaman Kentang. Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Bahagiawati. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai Bioinsektisida. Buletin AgroBio 5(1):21-28 Bio Pesticides. 2000. Bacillus Thuringiensis var Kurstaki. Diakses 26 Februari 2013 (http:perperwww.indiamart.comperjunnalifesciencesperbio-pesticides. html) BPTP Kalimantan Tengah. 2011. Pestisida Nabati Pembuatan dan Manfaat. Kalimantan Tengah : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BBP2TP Ambon. 2011. Limbah Tembakau Sebagai Pestisida Nabati Pengendali Hama Helopeltis sp. Pada Tanaman Kakao. Ambon : Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Bedjo. 2011. Keefektifan Bahan Nabati untuk Mengendalikan Ulat Grayak pada Tanama Kedelai. Makalah Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI. PFI 46
47
Komda Sulawesi Selatan dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar 7 Juni. Chemistry Zone. 2010. Trichoderma viride: A natural biopesticide, biofungicide and water treatment agent. Diakses 21 Februari 2013 (http://chemistryzone.blogspot.com/2010/03/trichoderma-viride-naturalbiopesticide.html) Daniel, M. 2011. “Pertanian Konvensional dan Dampaknya”. Haluan. 28 Maret. Diakses 21 Februari 2013 (http:perperwww.harianhaluan. comperindex.php?option=com_content &view=article&id=2983:pertaniankonvensional-dan-dampaknya&catid=11:opini& Itemid=83) Damir, O. P. Mladen, S. Božidar, N. Srñan. 2011. Cultivation Of The Bacterium Azotobacter chroococcum For Preparation Of Biofertilizers. African Journal of Biotechnology 10(16) : 3104-3111. Djatnika, 1. 1984. Upaya Penanggulangan Plasmodiophora brassicae Wor. Pada Tanaman Kubis-kubisan. Seminar Hama dan Penyakit Sayuran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Gholib, D. 2009. Daya Hambat Ekstrak Kencur (Kaempferia galanga L.) Terhadap Trichophyton mentagrophytes dan Cryptococcus neoformans Jamur Penyebab Penyakit Kurap pada Kulit dan Penyakit Paru. Buletin Littro 20(1) : 59-67 Hanafiah, K. A. 2010. Rancangan Percobaan : Teori dan Aplikasi. Rajawali Pers, Jakarta Hadiwiyono, Sholahuddin, E. Sulastri. 2011. Efektifitas Caisin Sebagai Tanaman Perangkap Patogen untuk Pengendalian Penyakit Akar Gada pada Kubis. Jurnal HPT Tropika (11)1:22-27. Jumar. 2000. Entomologi Serangga. Cetakan Pertama. PT Rineka Cipta, Jakarta. Illinois University. 2013. Zero Waste. Diakses 26 agustus (http:perperwww.fs.illinois.eduperservicesperwaste-managementrecyclingperzero-waste)
2013
Ismail, N., A. Tenrirawe. 2010. Potensi Agens Hayati Trichoderma spp. sebagai Agens Pengendali Hayati. Seminar Regional Inovasi Teknologi Pertanian, mendukung Program Pembangunan Pertanian Propinsi Sulawesi Utara. Khairani, N. 2007. Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) dan Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zel.) di Gudang. (skripsi) Medan : Universitas Sumatra Utara.
48
Kardiman, A. 2006. Mimba (Azadirachta indica) Bisa Merubah Perilaku Hama. Bogor : Balai Penelitian Rempah dan Obat. Kusumaningati R.W. 2009 . Analisa Kandungan Fenol Total Jahe (Zingiber officinale rosc.) Secara in Vitro. Jakarta : Universitas Indonesia. Mursyanti, E. K. E., L. M. E. Purwijantiningsih. 2013. Induksi Kalus dan Penghasilan Capsaicin pada Variasi Kadar Nutrien MS dan Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya. Morgan, J.A.W., G.D. Bending, P.J. White. 2005. Biological costs and benefits to plant-microbe interactions in the rhizosphere. J. Exp. Bot. 56:1729-1739. Nadiah, A., B. A. Nugroho. 2012. Biopestisida Sebagai Alternatif Pengendalian OPT dan Prospeknya. POPT Pertama. Surabaya : BBP2TP. Nadlirah, U. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Sereh Wangi Sebagai Pestisida Nabati Terhadap Hewan Non Sasaran (Ikan Mujair). (skripsi) Semarang : IKIP PGRI Semarang Natawigena. 1954, Pestisida dan Kegunaanya. Bandung : Penerbit Cv Armico. Nugroho, T. T. 2013. Bioteknologi Fungi Biokontrol dan Pengembagannya untuk Aplikasi dalam Bidang Pertanian. Industri Ramah Lingkungan dan Kesehatan. Riau : Universitas Riau. Nurlambang, T dan T. Kristiastomo. 2001. Pendekatan Zero Waste Management Sebagai Solusi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Bahan Seminar Kemitraan Pemda Kodya Depok dengan Kalangan Industri dan Masyarakat dalam Mengelola Limbah Lingkungan untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, Kerjasama Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKM UI dan Pemda Depok. Oka, I.N. 1998. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Opena, R. T., D. C. S Tay. 1994. Brassica rapa L. Group Caisim. J. S. Simonsma dan K. Pileuk. Plant Recource of Sout-East Asia. Vegetable. PROSEA Foundation. Parwata, I M. O. A., P. F. S. Dewi. 2008. Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia 2 (2) : 100-104 Phrimantoro.1995. Pemanfaatan Urine Sapi Yang Difermentasi Sebagai Nutrisi Tanaman. Diakses 23 Februari 2013 (http:perperagribisnis.deptan.go.idper PustakaperPengantarper pdf)
49
Phrimantoro. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasi Sebagai Nutrisi Tanaman. Diakses 23 Februari 2013 (http:perper agribisnis.deptan.go.idperPustakaperPengantar perpdf.) Plantamor. 2012. Informasi Spesies Sawi Hijau Brassica rapa var. parachinensis L. Diakses 21 Februari 2013 (http://www.plantamor.com/index.php ?plant=225). Rukmana, R. 1994. Bertanam Petsai dan Sawi. Yogyakarta : Kanisius. Saputra, K., 2001. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Jakarta :Bumi Aksara Sitohang, B. 2009. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Pertanian Organik. Jawa Barat : Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat. Sakinah, F. 2013. Analisis Pengaruh Faktor Cuaca Untuk Prediksi Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pada Tanaman Bawang Merah. (skripsi) Bogor : Institut Pertanian Bogor. Soenarko, H. 2009. Ekologi Thrips, Liriomyza dan Kutu Kebul (B. tabaci). Diakses pada 26 Februari 2014 (http:perperherrysoenarko.blogspot.comper2009per03perekologi-thripsliriomyza-dan-kutu-kebul.html) Sudana, M., G.N.A.S. Wirya, P. Sudiarta. 2012. Pemanfaatan Biourin Sebagai Biopestisida Dan Pupuk Organik Pada Usaha Budidaya Tanaman Sawi Hijau (Brassica rapa var. parachinensis L) Organik. Laporan Penelitian Tahun I. Denpasar : Universitas Udayana. Sudarma, I M. 2011. Epidemologi Penyakit Tumbuhan : Monitoring, Peramalan dan Strategi Pengendalian. Denpasar : Universitas Udayana. Supriyanto, B. Cahyono. 2012. Perbandingan Kandungan Minyak Atsiri antara Jahe Segar dan Jahe Kering. Chemistry in Progress 5(2) : 81-85 Sudarsono, H., R. Hasibuan, I G. Swibawa. 2011. Hubungan antara Curah Hujan dan Serangan Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) di Provinsi Lampung. Jurnal Hama Penyakit Tanaman Tropika 11(1):95-101 Syakir, M. 2011. Status Penelitian Pestisida Nabati Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. Seminar Nasional Pestisida Nabati IV. Jakarta. Syakir, M., Gusmaini. 2012. Pengaruh Penggunaan Sumber Pupuk Kalium Terhadap Produksi dan Mutu Minyak Tanaman Nilam. Jurnal Littri 18(2) : 60-65
50
Subiyakto. 2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala, dan Strategi Pengembangannya. Perspektif 8 (2) :108 – 116. Sutari, S. 2010. Uji Kualitas Biourine Hasil Fermentasi dengan Mikroba yang Berasal dari Bahan Tanaman terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi Hijau (Brassica juncea L.), (tesis) Denpasar : Universitas Udayana. Tampubolon, M. P. 2004. Prospek Pengendalian Penyakit Parasitik Dengan Agen Hayati. WARTAZOA Vol. 14(4) : 173-177 Tenrirawe, A. 2011. Pengaruh Hancuran Daun Sirsak Annona muricata L. Terhadap Mortalitas Larva Helicoverpa armigera H. pada Jagung. Seminar Nasional Serealia (521-529) Utami, A. S. J., S. Aryawati, A.A. Kamandalu. 2012. Analisis Usaha Penggemukan Sapi Bali Dengan Introduksi Probiotik Di Desa Selanbawak. Kec.Marga .Kab.Tabanan. Bali. Seminar Nasional: Inovasi untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian. United States Environment Protection Agency. 2012. Biopesticides Fact Sheet.. Diakses 26 Februari 2013 (http://www.epa.gov/pestwise/htmlpublications /biopesticides_fact_sheet.html) Wahid, T. S., A. I. Latunraa, Baharuddinb, A. Masniawatia. 2013. Optimalisasi Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi Hijau Brassica juncea L. Secara Hidroponik dengan Pemberian Berbagai Bahan Organik Cair. Makasar : Universitas Hasanudin Wasilah, F., A. Syulasmi, Y. Hamdiyati. 2007. Pengaruh Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val) Terhadap Pertumbuhan Jamur Fusarium oxysporum Schlect Secara In Vitro. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Wiryadiputra, S. 2006. Keefektifan Pestisida Nabati Daun Ramayana (Cassia spectabilis) dan Tembakau (Nicotiana tabacum) Terhadap Hama Utama Tanaman Kopi dan Pengaruhnya Terhadap Arthropoda Lainnya. Pelita Perkebunan 22(1):25-39 Yusuf, T. 2012. Pengaruh Kalium dan Clhor Terhadap Hasil Tembakau. Diakses 15 Mei 2014 (http:perpertohariyusuf.blogspot.comper2012per08perpengaruhkalium-dan-clhor-terhadap.htm)