Bab I Pendahuluan
Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Untuk mencapai tercapainya ketahanan pangan dengan peningkatan produksi, pemerintah memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini bertujuan untuk menguji pengaruh kredit program pemerintah terhadap peningkatan produktivitas maupun hasil produksi usaha tani tanaman pangan padi.
1.1 Latar Belakang Selama 16 tahun pertama masa pemerintahan presiden Soeharto, sektor pertanian telah menjadi basis utama strategi pembangunan dan berperan cukup penting
dalam
perekonomian
Indonesia.
Investasi
besar-besaran
dalam
infrastruktur, sarana dan prasarana dasar seperti jalan, jembatan, bendungan, saluran irigasi, dan lain-lain seakan menjadi menu dasar dalam strategi pembangunan pada waktu itu (Arifin 2005: 11). Hampir semua sub sektor dalam sektor pertanian menunjukkan produksi dan produktivitas yang meningkat. Hal ini ditandai dengan berhasilnya program swasembada beras pada tahun 1984 di mana produksi beras meningkat 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya (Mubyarto 1989: 228). Namun sayangnya setelah itu sektor pertanian mulai mengalami kemundurannya. Seiring dengan berjalannya
1
waktu kontribusi sektor pertanian terhadap struktur perekonomian menunjukkan penurunan. Hal ini dikarenakan fokus pembangunan ekonomi tidak lagi dititikberatkan pada sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan terjadinya transformasi struktur perekonomian. Di negara-negara berkembang biasanya transformasi ekonomi berupa pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pembangunan pertanian kadangkala diabaikan ketika sedang menjalankan proses industrialisasi. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa sektor industri memiliki eksternalitas tinggi dan teknologi yang lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian. Sedangkan pertanian identik dengan ciri negara tradisional. Padahal sebenarnya pembangunan pertanian juga tidak kalah penting dibandingkan dengan proses industrialisasi (Amir 2004: 1). Ada beberapa faktor yang dapat dikatakan bahwa sektor pertanian juga tidak kalah penting dalam proses pembangunan antara lain: 1. Sektor pertanian menghasilkan produk-produk yang diperlukan sebagai input sektor lain, terutama sektor industri, seperti industri tekstil, makanan dan minuman. 2. Sebagai negara agraris maka sektor pertanian menjadi sektor perekonomian yang kuat dalam tahap awal proses pembangunan. Populasi di sektor pertanian (pedesaan) membentuk suatu proporsi yang sangat besar. Hal ini menjadi pasar yang sangat besar bagi produkproduk dalam negeri baik untuk barang produksi maupun barang konsumsi, terutama produk pangan.
2
3. Transformasi struktural dari sektor pertanian ke sektor industri menjadikan sektor pertanian sebagai penyedia faktor produksi (tenaga kerja) yang besar bagi sektor industri. 4. Sektor pertanian merupakan sumber daya alam yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan bangsa lain. Proses pembangunan yang ideal mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang memiliki keunggulan kompetitif terhadap bangsa lain, baik untuk kepentingan ekspor maupun subtitusi impor (Tambunan 2001, dikutip Amir 2004: 3). Tentunya juga tidak kalah penting adalah sektor pertanian memiliki peran yang cukup besar dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusinya terhadap pendapatan nasional. Di samping itu, sektor pertanian juga telah terbukti tangguh dalam menyokong perekonomian di kala krisis. Di antara sembilan sektor lapangan usaha ternyata sektor pertanian masih dapat memberikan kontribusi sekitar 13-15 persen terhadap PDB pada kurun waktu 2006-2011. Dapat dilihat pada tabel berikut ini bahwa sektor pertanian masih menjadi tiga besar penyumbang pembentukan PDB setelah sektor Industri pengolahan dan perdagangan, hotel, dan restoran. Ketiga sektor tersebut mempunyai peran lebih dari separuh dari total perekonomian.
3
Tabel 1.1 Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2006-2011, (%) Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Produk Domestik Bruto Sumber: BPS, 2011 * angka sementara ** angka sangat sementara
2006
2007
2008
2009
2010*
2011**
13,0
13,7
14,5
15,3
15,3
15,5
11,0 27,5 0,9 7,5
11,2 27,1 0,9 7,7
10,9 27,9 0,8 8,5
10,5 26,4 0,8 9,9
11,2 24,8 0,8 10,3
11,8 24,2 0,8 10,1
15,0
14,9
14,0
13,4
13,7
13,7
6,9
6,7
6,3
6,3
6,5
6,5
8,1 10,1 100.0
7,7 10,1 100.0
7,4 10.1 100.0
7,2 10,2 100.0
7,2 10,2 100.0
7,3 10,2 100.0
Penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB sebenarnya sangat erat sekali kaitannya dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian. Dengan kata lain permasalahan ini juga tidak dapat dilepaskan dari permasalahan yang dihadapi oleh petani. Masalah–masalah yang sering dihadapi oleh petani antara lain terkait waktu usaha tani, biaya usaha tani, tekanan penduduk yang berdampak pada keterbatasan lahan, dan sistem usaha tani yang masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga (Daniel 2002: 2948).
4
Berhasil tidaknya usaha tani tidak hanya ditentukan oleh faktor alam saja tetapi juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Output dari usaha tani sangat ditentukan dari berbagai kombinasi faktor produksi atau input yang digunakan. Faktor produksi usaha tani seperti lahan, modal, dan tenaga kerja yang terbatas akan berdampak pada rendahnya produksi dan produktivitas usaha tani. Luas Penguasaan lahan pertanian merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses produksi khususnya usaha tani. Dalam usaha tani jika kepemilikan atau penguasaan lahannya sempit maka sudah pasti kurang efisien dibandingkan lahan yang lebih luas. Disamping faktor alam dan faktor produksi, faktor pendukung merupakan bagian dalam proses produksi yang memegang peranan tidak kalah penting. Hal itu seperti kebijakan terkait harga, penyuluhan pertanian, dan modal sosial yang semuanya bertujuan untuk menuju usaha tani yang efisien dan produktif (Daniel 2002: 56) Dari berbagai macam kendala yang dihadapi oleh petani, masalah keterbatasan modal menjadi permasalahan utama dan paling sering terjadi. Bagi petani modal merupakan salah satu faktor produksi yang cukup berpengaruh terhadap produksi usaha tani. Keterbatasan modal ini dikarenakan sebagian besar usaha tani merupakan petani gurem yang hanya mengandalkan modal pribadi dengan jumlah sangat terbatas. Selain itu, aksessibilitas petani terhadap sumbersumber permodalan formal juga masih terbatas. Membahas masalah permodalan biasanya tidak bisa lepas dari pembahasan kredit. Kredit dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni (1) kredit program pemerintah, (2) kredit dari lembaga formal, dan (3) kredit dari lembaga informal. Faktanya
5
kredit lembaga informal justru lebih dekat dan dikenal oleh petani padahal kredit ini memberikan bunga yang jauh lebih tinggi daripada sumber pembiayaan formal (Nurmanaf 2007: 103). Bukti perlunya petani mendapatkan akses kredit dengan bunga rendah adalah seringnya petani lari kepada pelepas uang maupun terlibat dalam sistem ijon. Padahal praktik-praktik semacam ini membebankan bunga yang relatif tinggi kepada para petani. Kondisi ini didukung oleh hasil penelitian Sudjanadi (1969) yang dikutip Mubyarto (1989: 114) diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pemberian kredit usaha tani dengan bunga yang ringan perlu untuk memungkinkan petani melakukan inovasi-inovasi dalam usaha taninya. Kedua, kredit harus bersifat dinamis, yaitu mendorong petani untuk menggunakan secara produktif. Ketiga, selain sebagai bantuan modal kredit merupakan perangsang untuk menerima petunjuk-petunjuk dan bersedia berpartisipasi dalam program peningkatan produksi. Keempat, kredit kepada petani tidak hanya terbatas pada kredit produksi usaha tani tetapi harus mencakup kredit untuk kebutuhan rumah tangga (kredit konsumsi). Berdasarkan penggunaannya, kredit yang dibutuhkan petani dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni: (1) kredit jangka pendek, kredit ini digunakan untuk biaya tenaga kerja, pembelian input produksi, dan konsumsi rumah tangga, (2) kredit jangka panjang untuk biaya pembelian lahan dan perlengkapan mesin pertanian (Jacobstein 1913: 598-605; Pope 1914: 701; dan Price 1913: 186-189). Sedangkan hasil penelitian Tim Smeru (2004) yang mengevaluasi program kredit Sulawesi Agricultural Area Development Project (SAADP) menyimpulkan
6
bahwa kredit mikro tersebut bermanfaat. Bagi petani kredit digunakan untuk mengembangkan usaha yang telah ada seperti untuk pengolahan lahan, membeli input produksi (pupuk, obat-obatan, dan benih), memperluas lahan usaha tani, serta menambah atau mengganti jenis tanaman yang diusahakannya. Selain itu penelitian di negara sedang berkembang menunjukkan bahwa kredit merupakan suatu jalan untuk memenuhi kebutuhan input sarana produksi pertanian dalam meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian (Baker 1974: 102 dan Nosiru 2010: 292-295). Serta meningkatkan efisiensi produksi melalui penggunaan teknologi baru (Alene 2008: 244; Fayaz et al. 2006: 18; dan Helfand 2003: 611). Akses layanan pembiayaan formal pertanian merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, ketahanan pangan, dan penurunan angka kemiskinan terutama di pedesaan. Namun, akses pembiayaan formal bagi petani yang terbuka lebar dan berkelanjutan nampaknya masih menjadi suatu rintangan dalam pembangunan terutama di negara-negara sedang berkembang. Beberapa rintangan yang menyebabkan
akses petani menjadi rendah untuk
mendapatkan layanan pembiayaan formal antara lain: 1. Tingginya biaya transaksi. Kondisi ini disebabkan oleh masih kurang berkembangnya infrastruktur di pedesaan, teknologi informasi dan komunikasi yang masih terbatas, dan lokasi yang berada di daerah terpencil. 2. Risiko lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pendapatan petani sangat tergantung pada hasil pertanian yang bersifat musiman
7
dan sangat tergantung dengan kondisi alam, sehingga memiliki risiko kegagalan yang sangat tinggi. Kondisi inilah yang menyebabkan
lembaga
keuangan
tidak
tertarik
untuk
menyalurkan kredit kepada petani di samping tidak tersediannya jaminan seperti surat tanah. 3. Faktor sosial. Kebanyakan di negara sedang berkembang terutama di pedesaan masih banyak dijumpai masyarakat yang berpendidikan rendah dan buta huruf. Kondisi sosial seperti inilah yang kemudian menjadi hambatan bagi petani untuk mendapatkan akses kredit dari lembaga keuangan (Tenaw dan Islam 2009: 6). Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi, yang sekarang ini dinikmati oleh pemerintah kabupaten/kota, akan membuka jalan bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembaruan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Pembaharuan ini diharapkan berdampak positif terhadap penyelenggaraan pembangunan pertanian setempat (Suhaeti et al. 2009: 2). Kebijakan skim kredit program pertanian di Indonesia bisa dikatakan cukup bervariasi, mulai yang didanai dari pusat melalui kantor-kantor kementrian hingga di daerah yang dikelola oleh dinas setempat. Begitu pula dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman dengan program pengguliran dana penguatan modal. Kredit program ini ditujukan kepada petani melalui kelompok-kelompok tani yang tersebar di Kabupaten Sleman dan telah dilaksanakan beberapa tahun terakhir ini.
8
Sumber pembiayaan utama kebijakan ini berasal dari APBD yang dikelola oleh dinas terkait, yaitu Dinas Pertanian Kabupaten Sleman. Kredit program maupun bantuan modal ke petani dianggap sebagai instrumen kebijakan yang strategis memiliki keunggulan diantaranya (1) bunga yang relatif rendah dan terjangkau, (2) bentuk pinjaman yang sebagian berbentuk natura sehingga petani tidak tergantung dengan pedagang saprotan, (3) pengajuan kredit secara berkelompok yang lebih efisien dan murah, (4) sarana pendidikan bagi petani untuk mengenal mekanisme pengajuan pembiayaan usaha tani serta bertanggung jawab dan profesional dalam pengelolaan dana masyarakat (Ashari 2009: 33). Kredit program lebih ditujukan bagi kelompok-kelompok tani dan bukan petani secara individual. Hal ini bertujuan untuk mengurangi risiko kredit macet. Selain itu tentunya dengan berkelompok petani memiliki nilai tawar yang lebih tinggi. Petani jika berusahatani secara individu akan terus berada di pihak yang lemah karena petani secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan penguatan kelembagaan lewat kelompok tani karena dengan berkelompok maka petani tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan pertanian dan perdesaan perlu dikembangkan dan ditata agar dapat meningkatkan jangkauan petani terhadap pengelolaan aset produktif, sumber pembiayaan, dan penerapan teknologi yang sekaligus mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Lemahnya
9
kelembagaan pertanian, seperti perkreditan, sarana input, pemasaran, dan penyuluhan telah menyebabkan belum dapat menciptakan suasana kondusif untuk pengembangan pertanian pedesaan (Supadi 2009: 2). Selain itu, lemahnya kelembagaan ini berakibat pada sistem pertanian tidak efisien, dan keuntungan yang diterima petani relatif rendah. Dari beberapa penjelasan tersebut, studi ini ingin membahas lebih lanjut faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi petani dan dampak penyaluran kredit petani terhadap produktivitas usaha tani padi yang ada di Kabupaten Sleman.
1.2 Rumusan Masalah Dari beberapa permasalahan terkait faktor produksi yang dihadapi oleh petani ternyata modal merupakan salah satu faktor produksi dalam pertanian yang sangat penting. Setidaknya selama melakukan kegiatan usahanya petani memerlukan berbagai biaya yang harus dikeluarkan hingga masa panen tiba. Jika petani didukung dengan permodalan yang kuat maka proses produksi dalam kegiatan usaha tani dapat berlangsung dengan lebih lancar. Kenyataan di lapangan petani mengalami berbagai masalah permodalan mulai dari modal yang kecil hingga akses permodalan petani yang sangat terbatas terutama dalam lembaga pembiayaan formal. Dukungan pemerintah menjadi sangat diperlukan manakala sektor swasta tidak mampu mengatasi masalah permodalan di sektor pertanian. Seperti halnya Pemerintah Kabupaten Sleman yang mengambil kebijakan pengguliran dana penguatan modal yang ditujukan kepada petani melalui kelompok-kelompok tani
10
di bawah dinas pertanian. Untuk mengetahui keberhasilan program ini maka diperlukan adanya penelitian untuk menganalisis apakah terdapat perbedaan produktivitas antara petani penerima dana penguatan modal (kredit) dengan petani yang tidak menerima dana penguatan modal (non-Kredit) dari Dinas Pertanian Kabupaten Sleman 2012?
1.3 Batasan Masalah Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini memiliki beberapa batasan antara lain: 1. Petani yang menjadi obyek penelitian ini adalah petani tanaman pangan (padi) di Kabupaten Sleman. Selain itu, petani juga harus masuk dalam daftar profil kelompok tani tanaman pangan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman tahun 2012. 2. Kredit modal yang dimaksud dalam penelitian ini berupa kredit program yang didanai oleh APBD Kabupaten Sleman. Pemerintah Kabupaten Sleman menyalurkannya melalui Dinas Pertanian Kabupaten Sleman dalam bentuk dana penguatan modal kepada kelompok tani tanaman pangan (padi).
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
11
1. Menganalisis pengaruh faktor-faktor produksi pertanian terhadap tingkat produksi petani kredit dan non-Kredit dana penguatan modal Kabupaten Sleman tahun 2012. 2. Menganalisis perbedaan produktivitas antara petani kredit dan nonKredit dana penguatan modal Kabupaten Sleman tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tiap-tiap pemilik kepentingan sebagai berikut: 1. Bagi petani, penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam merancang strategi terutama yang berkaitan dengan permodalan. Sehingga diharapkan kegiatan usaha tani menjadi lebih efektif dan efisien. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini bisa menjadi sebuah masukan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil terutama yang menyangkut masalah permodalan petani. 3. Bagi pihak swasta dan perbankan, mengingat permodalan merupakan salah satu faktor produksi yang cukup penting bagi petani maka penelitian ini bisa menjadi informasi tambahan sebagai landasan dalam menyalurkan kredit maupun investasi di sektor pertanian.
1.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini antara lain:
12
1. Luas lahan, tenaga kerja, pupuk, bibit, obat-obatan, dan pengalaman usaha tani berpengaruh terhadap tingkat output padi petani. 2. Tidak ada perbedaan produktivitas antara petani kredit dan non-Kredit dana penguatan modal Kabupaten Sleman tahun 2012.
1.7 Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, hipotesis penelitian, tujuan dan manfaat penelitian Bab II membahas mengenai landasan teori, dan tinjauan pustaka. Bab ini akan mengulas lebih jauh mengenai fungsi produksi, faktor-faktor produksi, metodologi dalam menganalisis data serta hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini. Bab III membahas mengenai gambaran umum objek penelitian. Bab IV membahas mengenai hasil analisis dan interpretasi dari pengolahan data. Bab V memuat kesimpulan dari penelitian ini serta saran-saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.
13