BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah Bulan Ramadhan yang identik dengan bulan suci umat Islam telah membawa banyak hal terjadi khususnya pada bulan tersebut. Pada bulan suci tersebut, seluruh umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan sebuah ritual tahunan, yakni berpuasa. Di Indonesia sendiri, aktivitas ibadah di bulan Ramadhan tidak jarang diisi dengan berbagai aktivitas kebudayaan, sesuai adat dan budaya di suatu daerah tertentu. Baik berupa festival atau karnaval unik di berbagai daerah, maupun ritual penyucian diri menjelang datangnya bulan suci tersebut. Tak ketinggalan, ritual makan sahur, berbuka puasa, hingga shalat tarawih berjamaah juga ikut mewarnai bulan suci Ramadhan. Seluruh rangkaian ritual ini akhirnya akan ditutup dengan tradisi pulang kampung atau mudik ke kampung halaman. Kedatangan bulan Ramadhan juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi, khususnya di Indonesia. Hal ini sangat jelas terlihat pada saat akan berbuka puasa. Berbagai kios jajanan, sebagian besar merupakan pedagang musiman tampak bermunculan di pinggir jalan bak jamur di musim hujan. Jika ibadah puasa dilihat dari segi pengurangan kuantitas mengonsumsi makanan, dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari, namun ternyata makanan yang disantap oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikatakan lebih spesial daripada biasanya. Selain itu, jika memiliki kelebihan rezeki, para keluarga Indonesia akan
Universitas Sumatera Utara
beramai-ramai mendatangi pusat-pusat perbelanjaan pada saat menjelang lebaran untuk mem beli pakaian baru dan berbagai keperluan lebaran lainnya. Hal ini tentu mengindikasikan ada sebuah lonjakan konsumsi masyarakat Indonesia pada saat Bulan Ramadhan. Adapun terjadinya lonjakan konsumsi pada masyarakat Indonesia ini, telah dilihat oleh para produsen sebagai sebuah peluang untuk menawarkan berbagai produk bagi keperluan konsumsi masyarakat. Berbagai strategi digunakan untuk menarik minat para calon konsumen agar tertarik dan mau membeli produk yang khusus ditawarkan di saat bulan suci Ramadhan. Semua produsen ingin berlomba untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di bulan Ramadhan. Pusat-pusat perbelanjaan (mall) menawarkan potongan harga (diskon) yang gila-gilaan dan berbagai program on the spot yang ditujukan untuk menarik minat pengunjung. Berbagai produsen beriklan di berbagai media massa dengan cara dan strategi yang disesuaikan dengan bulan suci tersebut. Hal ini tidak lain adalah agar masyarakat sadar, tertarik, dan mau membeli produk yang mereka tawarkan. Media massa, khususnya media televisi juga seperti tak ingin kehilangan momentum dalam memeriahkan bulan suci Ramadhan. Berbagai program acara, baik hiburan maupun non-hiburan, dikemas dengan apik, menarik, dan tetap bertemakan Ramadhan. Khususnya program hiburan, berbagai acara pendamping sahur dan di saat menjelang berbuka merupakan andalan utama bagi berbagai stasiun televisi untuk mengejar rating dan meraup keuntungan. Program-program menarik tersebut akan mengundang para pengiklan agar bersedia untuk tetap beriklan selama sebulan penuh dalam rangka menarik minat pemirsa.
Universitas Sumatera Utara
Satu hal yang sangat menarik yang dapat diamati saat datangnya bula suci Ramadhan selain yang telah disebutkan di atas tadi yakni bermunculannya simbol-simbol “Islam” dalam setiap produk yang dipasarkan pada saat bulan Ramadhan. Mulai dari “busana muslim”, hingga materi-materi hiburan di media massa yang berlabel “religi”, seperti sinetron religi ataupun film yang bertema serupa. Dunia musik juga tidak ingin tinggal diam. Hasilnya adalah sebuah produk yang berlabel “album religi” atau “pop religi”. Cukup banyak perbincangan mengenai keabsahan status “Islam” dalam pop religi ini, mengingat adanya perbedaan pendapat antara ulama islam. Namun, hal itu tidaklah menjadi sebuah masalah yang besar mengingat sedikit banyaknya manfaat yang ditimbulkan dari pop religi tersebut. Selanjutnya, dibutuhkan sekelompok orang yang dapat mengajak kepada kebajikan, memerintahkan kepada yang makruf dan mencegah dari kemungkaran. Bukanlah hal yang mudah untuk dapat mempertahankan dan menyebarkan nilai–nilai Islam di tengah–tengah gaya hidup hedonis dan sekuler yang menjangkiti sebagian besar umat muslim. Oleh karena itu dibutuhkan metode–metode dakwah baru untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat agar lebih bisa diterima. Dahulu, dakwah Islam lebih banyak disampaikan lewat tabligh akbar, pengajian maupun melalui pondok–pondok pesantren. Syair–syair musik pun hanya terbatas pada nasyid. Namun seiring perkembangan zaman, dakwah Islam dapat disampaikan dengan film, internet dan syair–syair musik pop religi maupun R&B. Hal ini sangat membantu dalam perkembangan dakwah Islam sehingga dapat mengimbangi laju arus globalisasi dan musik tersebut dapat diterima luas di kalangan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kemunculan musik pop religi bagi sebagian masyarakat mungkin terkesan biasa saja, namun tidak demikian halnya jika dilihat dari konteks sistem ekonomi kapitalisme yang cukup dominan sekarang ini. Bagi masyarakat dalam sstem kapitalisme, sebuah karya seni dapat dilihat sebagai satu bentuk kebudayaan yang disebut sebagai budaya massa atau budaya pop. Dalam istilah kapitalisme, budaya pop dapat diartikan sebagai: “popular has been considered to be that culture which is prevalent amongst the ‘people’. Generally, these ideas about popular culture construct cultural producers as invariably motivated by commercial greed and a common ideological mission, an assumption which elides the varied motives and ideals of those involved in the culture industries, and their artistic independence. Moreover, rather than a conspirational science where producers plot how to conquer markets by persuading the masses to consume their products, making and marketing culture is an inexact science. For instance, record companies are unable to second guess the tastes of consumers, as is indicated by the numerous failed investments which are made in unsuccessful artists and musical products. The hit record remains an elusive prize.” (Edensor, 2002: 14) Jika diinterpretasikan, maka budaya pop dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang diproduksi secara massal untuk dinikmati atau dikonsumsi masyarakat luas dengan tujuan utama untuk mencari keuntungan. Keberadaan budaya pop (massa) terkait erat dengan perubahan atau modifikasi dalam segala bidang kehidupan sehingga mempunyai nilai tukar. Hal ini juga berlaku terhadap industry musik. Produsen akan menyebarkan sebuah produk untuk dikonsumsi konsumen (consumer) bukan pengguna (user). Hal ini terjadi karena konsumen akan lebih mengutamakan produk untuk konsumsi pribadi terhadap objek menurut pertandaan (signification) yaitu sebuah cara di
Universitas Sumatera Utara
mana satu citraan mental yang disebut penanda, dalam hal ini objek konsumsi, dikaitkan dengan satu makna tertentu yang disebut dengan petanda Musik pop religi sebagai sebuah produk budaya popular, diduga juga mengandung sebuah mitos yang dikomunikasikan kepada konsumen. Mitos tersebut melekat pada labelnya sebagai “musik Islami”. Mitos yang kemudian disampaikan melalui berbagai strategi pemasaran di antaranya lewat kemasan produk, dalam konteks ini adalah sampul album. Menarik untuk dikaji bagaimana proses komunikasi yang ditampilkan dalam sampul album musik pop religi tersebut agar label “Islami” dapat diterima oleh umat Islam di Indonesia sebagai target pasarnya. Oleh karena itu peneliti mencoba menganalisis sampul album pop religi band GIGI mengingat beberapa faktor di bawah ini berikut. Peneliti memilih sampul album pop religi GIGI dikarenakan band ini merupakan salah satu band papan atas yang diterima di pasar Indonesia. Band GIGI juga dapat kita katakan mampu mewakili selera musik dari segmen anak muda jika dibandingkan dengan penyanyi atau musisi lain seperti Bimbo atau Opick. Warna musik yang diusung GIGI, dengan gaya rock yang ringan dan catchy tak dapat dilepaskan dari semangat dan budaya anak-anak muda. Lagulagu pop religi lama yang diaransemen ulang oleh mereka dengan warna dan gaya yang baru, telah membuat mereka diterima di blantika musik Indonesia, khususnya dalam kategori musik pop religi. Hal ini sangat berbeda dengan band lainnya, seperti Ungu, yang tetap mempertahankan warna pop dalam lagu-lagu pop religi mereka. GIGI ternyata juga tidak hanya mampu mengaransemen ulang lagu-lagu lama menjadi lebih menarik, namun juga mampu menciptakan lagu
Universitas Sumatera Utara
religi
mereka
sendiri,
contohnya
pada
album
“Jalan
Kebenaran”
(hitsmusik.wordpress.com), yakni yang menjadi salah satu subyek penelitian dalam skripsi ini. Selain itu, alasan peneliti memilih album pop religi GIGI sebagai objek kajian dalam penelitian ini adalah karena peneliti melihat bahwa ternyata GIGI tidak hanya sukses dalam memasarkan album pop religi, namun juga sukses dalam album pop non-religi. Sangat menarik nantinya jika kita perhatikan bagaimana makna dalam tanda-tanda serta mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI. I. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah makna dan mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI?”
I. 3. Pembatasan Masalah Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat menjadi lebih jelas, terarah, dan spesifik, sehingga tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Penelitian ini bersifat kualitatif, 2. Fokus penelitian adalah untuk mencari makna atas tanda-tanda dan membongkar mitos Islam yang terdapat pada sampul album pop religi GIGI. 3. Penelitian akan dilakukan terhadap dua buah sampul album religi GIGI, yakni album Jalan Kebenaran dan album Pintu Sorga.
Universitas Sumatera Utara
I. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna di balik tanda-tanda pada sampul album pop religi GIGI, 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mitos Islam yang terkandung dalam sampul album pop religi GIGI, 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana makna dan mitos Islam yang terdapat dalam sampul album pop religi GIGI. 1.4.2 Manfaat Penelitian: 1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang ilmu komunikasi, khususnya kajian yang diteliti dengan analisis semiotika. 2. Secara praktis, hasil analisis ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih memahami perihal makna dalam tanda dan mitos dalam sebuah media informasi, khususnya pada karya-karya budaya popular, 3. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi sumbangsih kepada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan rujukan penelitian dan sumber bacaan.
Universitas Sumatera Utara
I. 5. Kerangka Teori Setiap penelitian soial membutuhkan teori karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995:37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelititan yang akan disoroti (Nawawi, 1995:40). Teori menurut Kerlinger diartikan sebagai suatu himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menyebarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena atau gejala tertentu (Rakhmat, 2004:6). Adapun teori-teori yang relevan dalam penelitian ini adalah: 1. 5. 1 Tanda Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010:27). Aristoteles (384-322 SM) telah meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang masih menjadi dasar. Ia mendefinisikan tanda sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti “komputer”); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial. Sebagaimana dalam konteks
Universitas Sumatera Utara
semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‘penanda’, (2) ‘petanda’, dan (3) ‘signifikasi’ (Danesi, 2010:34). Terdapat dua pendekatan penting yang berkenaan dengan tanda, yakni pendekatan yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004:32). Mengapa suatu objek diberi nama ‘komputer’ untuk mengidentifikasikan sebuah benda mirip televisi yang memiliki kemampuan mengolah data, hal ini dapat disebut sebagai sebuah sifat arbitraris. Danesi (2010:36) menyebutkan bahwa Saussure juga menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi dua–sinkronik dan diakronik. Sinkronik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure juga melihat tanda sebagai sebuah ‘gejala biner’, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‘bentuk’ dan ‘ekspresi’ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’. Dalam mencermati hubungan pertandaan ini, Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya.
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan yang kedua, yang dicetuskan oleh Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama. Dalam Danesi (2010:36), ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu). Hubungan antara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis. Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya , keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon.
Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004:35). 1. 5. 2 Semiotika Sebuah definisi unik dan penuh makna pernah diusulkan oleh seorang penulis dan pakar semiotika kontemporer, yakni Umberto Eco. Ia mendefinisikan semiotika sebagai sebuah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dpat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Meski terkesan bermain-main dan
Universitas Sumatera Utara
tidak serius, ini merupakan definisi yang cukup mendalam karena ternyata kita memiliki kemampuan untuk merepresentasikan dunia dengan cara apa pun yang kita inginkan melalui tanda-tanda, pun dengan cara-cara penuh dusta atau yang menyesatkan (Danesi, 2010:33). Dapat kita katakan, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun–sejauh terkait dengan pikiran manusia– seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena, jika tidak begitu, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas. Bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya, dapat dipandang sebagai sejenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur, 2004:13). Pendekatan semiotik mengaitkan tanda dengan kebudayaan, tetapi memberikan tempat yang sentral kepada tanda. Kalaupun yang diteliti itu teks, teks itu dilihat sebagai tanda. Kalau tanda itu mengalami proses pemaknaan, manusia
(dan
lingkungan
sosiohistoriokulturalnya)
tidak
secara
khusus
ditonjolkan dalam analisis semiotic (Hoed, 2004:67). Salah seorang ahli semiotika, Ferdinand Saussure yakin bahwa semiotika dapat digunakan untuk menganalisis sejumlah besar “sistem tanda”, dan bahwa tak ada alasan tidak bisa diterapkan pada bentuk media atau bentuk cultural apa pun. Semiotka adalah
Universitas Sumatera Utara
sebentuk hermeneutika–yaitu nama klasik untuk studi mengenai penafsiran sastra. Ia termasuk salah satu metode yang paling interpretatif dalam menganalisis teks, dan keberhasilan maupun kegagalannya sebagai sebuah metode bersandar pada seberapa baik peneliti mampu mengartikulasikan kasus yang mereka kaji (Stokes, 2010:76). Ada dua jenis kajian semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi (Eco, 2009:8). Yang pertama menekan kan pada pada kajian tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang kedua memberikan penekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada kajian yang kedua, tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya
pada
penerima
tanda
lebih
diperhatikan
daripada
proses
komunikasinya. Semiotika, atau semiologi dalam istilah yang diperkenalkan oleh Roland Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bawa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objekobjek tersebut hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004:15).
Universitas Sumatera Utara
Jika kita berbicara mengenai perihal teks, apakah itu surat cinta, makalah, iklan , cerpen, poster, komik, kartun, dan semua hal yang mungkin menjadi “tanda” bisa dilihat dalam aktivitas penanda: yakni suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dan interpretasi. Selain itu, semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Sobur, 2004:17). 1. 5. 3 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang gencar mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia juga intelektual dan kritikus sastra Perancis yang ternama. Roland Barthes adalah tokoh strukturalis terkemuka dan juga termasuk ke dalam salah satu tokoh pengembang utama konsep semiologi dari Saussure. Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menga-nalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap eseinya, Barthes membahas fenomena yang sering luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat. 1. 5. 4 Makna Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah
yang
membingungkan
(Sobur,
2004:255).
Orang-orang
sering
menggunakan istiah pesan dan makna secara bergantian. Akan tetapi, ini tidaklah benar jika dilihat dari sudut semantik. Dapat dikatakan, ‘pesan’ itu tidak sama dengan ‘makna’ –pesan bisa memiliki lebih dari satu makna, dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna. Secara semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi kiranya dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan pelbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010:22). 1. 5. 5. Semiotika Komunikasi Visual Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh pada bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah ‘sistem semiotika’ khusus, dengan perbendaharaan tanda (vocabulary) dan sintaks (syntagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Di dalam semotika komunikasi visual melekat fungsi ‘komunikasi’. Yaitu fungsi tanda dalam menyampaikan pesan (message) dari
Universitas Sumatera Utara
sebuah pengiriman pesan (sender) kepada para penerima (receiver) tanda berdasarkan kode-kode tertentu. Meskipun fungsi utamanya adalah fungsi komunikasi mempunyai fungsi signifakasi (signification) yaitu fungsi dalam menyampaikan sebuah konsep, isi atau makna (Tinarbuko, 2009:xi). Semiotika komunikasi visual bertujuan mengkaji tanda verbal (judul, subjudul, dan teks) dan tanda visual (ilustrasi. Logo. Tipografi, dan tata visual) desain komunikasi visual dengan pendekatan teori semiotika. Dengan analisis semiotika visual maka akan diperoleh makna yang terkandung di balik tanda verbal dan tanda visual karya desain komunikasi visual. Dengan pendekatan teori semiotika, maka karya desain komunikasi visual akan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode dan makna yang terkandung di dalamnya (Tinarbuko, 2009:9). Meskipun objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna,, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemen-elemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal. 1. 5. 6. Budaya Populer Kebudayaan pada dasarnya adalah hasil dari pemikiran manusia. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985:180). Sedangkan menurut Williams, budaya merupakan proses perkembangan intelektual, spiritual, dan estetika (Storey, 2001:1). Budaya adalah suatu ekologi yang kompleks dan dinamis dari orang, benda, pandangan tentang dunia, kegiatan dan latar belakang yang secara
Universitas Sumatera Utara
fundamental bertahan lama tetapi juga berubah dalam komunikasi dan interaksi sosial yang rutin. Komunikasi sebagai sebuah media bagi pelestarian budaya telah menjadi semacam alat untuk memastikan hal tersebut terjadi melalui sebuah pewarisan sosial. Namun, komunikasi juga menjadi media bagi pewarisan budaya tandingan (counter culture) yang diam-diam mengakar dan tumbuh sebagai alternatif dari budaya tinggi yang telah lebih dulu ada dalam masyarakat dan perlahan menggeser budaya tinggi. Budaya tinggi yang perlahan tergeser akan digantikan oleh sebuah budaya baru yang disebut budaya populer. Budaya populer dapat diartikan sebagai sebuah kebudayaan yang disukai secara meluas dan sangat diminati oleh orang banyak (Storey, 2001:6). Budaya populer bersifat dinamis, membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut budaya homogen. Budaya populer bertindak untuk melawan kemapanan, memberikan alternatif kepada masyarakat yang berubah, kemudian menjadi ‘pemersatu’ unsur-unsur masyarakat yang terpisahkan kelas dan status sosial ke dalam satu komunitas massa yang bersifat ‘maya’. Sebuah grup musik terkenal adalah salah satu bentuk budaya populer. Mereka memiliki penggemar yang tersebar di berbagai daerah dan bahkan negara, dan penggemar tersebut dapat dipersatukan pada saat band tersebut melakukan konser atau tur mancanegara. Maka pada saat itu mereka tergabung dalam sebuah komunitas yang bersifat ‘maya’ seperti yang tersebut di atas.
Universitas Sumatera Utara
I. 6. Kerangka Konsep Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995: 33). Konsep adalah penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 34). Adapun variabel yang diangkat dalam penelitian ini berupa tiga tingkatan hubungan semiotika (Sobur, 2004: 19 dan Morissan, 2009:27): 1. 6. 1 Sintaktik (Syntactic Level) Sintaktik berkaitan dengan studi mengenai tanda, baik berdiri sendiri maupun kombinasi dengan tanda lainnya dalam struktur tertentu. Level sintaktik juga berfokus pada analisis mengenai koherensi, bentuk-bentuk kalimat, preposisi dalam sebuah kombinasi kalimat, dan kata ganti, baik untuk orang maupun benda tertentu. Ranah sintaktik menjelaskan bahwa tanda tidak pernah sendirian mewakili dirinya, tanda selalu menjadi bagian dari sistem tanda yang lebih besar. Dengan demikian, tanda yang berbeda mengacu atau menunjukkan benda berbeda dan tanda digunakan bersama-sama melalui cara-cara yang diperbolehkan. 1. 6. 2 Semantik (Semantic Level) Analisis semantik berfokus pada studi mengenai hubungan antara tanda dan maknanya (makna dari tanda-tanda atau teks). Semantik merupakan salah satu level yang penting dalam analisis semiotika, mengingat semiotika merupakan
Universitas Sumatera Utara
suatu metode analisis yang bertujuan untuk mengetahui makna yang ditunjukkan oleh struktur teks. Semantik ingin melihat unit-unit kebahasaan dalam melihat makna, baik makna leksikal (makna sesuai kamus) ataupun makna gramatikal (sesuai tata bahasa). Semiotika menggunakan dua dunia, yaitu ‘dunia benda’ (world of things) dan dunia tanda (world of signs) dan menjelaskan hubungan keduanya. Buku kamus, misalnya, merupakan referensi semantik; kamus mengatakan kepada kita apa arti suatu kata atau apa yang diwakili atau direpresentasi oleh suatu kata. Prinsip dasar semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantarai atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu, dan setiap interpretasi atau makna dari suatu tanda akan berubah dari satu situasi ke situasi lainnya. 1. 6. 3 Pragmatik (Pragmatic Level) Pragmatik berkaitan dengan studi mengenai hubungan antara tanda (sign) dan pengguna dan pemberi makna terhadap tanda (the interpreter), khususnya pada penggunaan tanda dalam wacana berbeda dan pengaruhnya terhadap pengguna. Singkat kata, pragmatik melihat mengenai penerimaan dan pengaruh tanda dalam sebuah kumpulan sosial (masyarakat) tertentu.
Universitas Sumatera Utara