BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada bulan Januari 2011 atau hanya 3 (tiga) bulan setelah terpilihnya Tri Rismaharini sebagai wali kota Surabaya, konjungtur politik Surabaya berubah karena usulan impeachment (pemakzulan jabatan) wali kota dari DPRD Kota Surabaya. Pokok soal yang menjadi raison d'être pelengseran wali kota adalah produk hukum kebijakan komunikasi dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 56 Tahun 2010 mengenai kenaikan pajak reklame dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 mengenai kenaikan pajak reklame di kawasan terbatas. Peristiwa ini dicatat sebagai upaya impeachment pertama dan serius yang lahir dari konfrontasi kebijakan komunikasi di Indonesia dan bertahan dalam rentang waktu yang sangat lama.1 Kebijakan komunikasi yang diimplementasikan melalui dua perwali itu secara langsung bukan hanya mendisiplinkan tata-letak dan merapikan administrasi media luar ruang, melainkan juga mengatur penetapan harga baru. Implikasi dari kebijakan ini, 167 titik dari 16.012 titik reklame akan segera terkena kenaikan pajak reklame hingga Rp 120 juta per titik. Reklame tersebut berukuran di atas 50 meter persegi yang kebanyakan di jalur-jalur utama kota.
1
Periksa M. Saleh, Impeachment Kepala Daerah (Studi Kasus Usulan Pemberhentian Walikota Surabaya Ir. Tri Rismaharini), Jurnal Narotama, vol XI, 2012.
1
Sementara 1.256 titik reklame dengan ukuran antara 8 meter persegi hingga 50 meter persegi naik antara Rp 3 juta hingga Rp10 juta per titik.2 Jika titik tolak hitung diambil dari besaran PAD, sebelum pajak reklame dinaikkan, PAD Kota Surabaya dari sektor reklame mencapai angka Rp 8 miliar per tahun. Setelah dua Perwali ini diketuk, proyeksi PAD naik mencapai Rp 13 miliar per tahun, prosentase kenaikan yang luar biasa drastis di atas 50%. Jika dikomparasi antara Surabaya dan DKI Jakarta, maka akan didapat data yang mengejutkan. Terhadap ukuran reklame 8 meter X 16 meter (128m2) dengan jalur strategis, Jalan Asia Afrika (Senayan City Mall) Jakarta dikenai tarif Rp 112.435.200; sementara Jalan Kertajaya Surabaya Rp 496.800.000. Untuk reklame dua sisi dengan ukuran 5 m x 10 m, untuk Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) dengan jalur strategis, di Jl. MT Hariono (Jakrta Pusat) bertarif Rp. 80.000.000, sementara di Jl. Mayjen Sungkono Surabaya Rp 574.567.300. Untuk kategori billboard, ukuran 6 m x 12 m (144 m2) (Billboard) di Jl. Kyai Tapa Jakarta Rp 126.144.000, sementara di Jl. Kertajaya Surabaya Rp 294.000.000. Untuk billboard dengan ukuran 5 m x 20 m (100 m2) (Billboard) di Jl. Gunung Sahari Jakarta Rp 97.400.000; sementara di Jl. Kertajaya Surabaya Rp 471.360.000.3 Ringkasan ini hanya ingin menunjukkan bagaimana tingkat kesenjangan antara tarif reklame dari dua kota metropolitan terbesar di Indonesia. . Sampai disini, konteks dinamika kebijakan telah sedikit banyak memberikan uraian mengapa impeachment dapat muncul. Menjalankan upaya 2
Data didapat dari perhitungan manual peneliti berdasarkan Perwali Nomor 56 Tahun 2010 dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010 3 Perbandingan berdasar data PPPI Jatim, 2010.
2
impeachment melalui konfrontasi kebijakan komunikasi, menjadi persoalan yang bukan hanya unik, melainkan orisinal dalam konteks nasional. Analisis atas konfigurasi aktor dan diskursus pembentukan kebijakan reklame, otomatis tak dapat dihindari.4 Beberapa data menunjukkan keterkaitan antara elite politik lokal Surabaya dengan perusahaan iklan. Perusahaan itu termasuk yang harus menanggung kenaikan pajak tinggi dengan peraturan baru tersebut. Konfigurasi yang demikian, membuat peneliti tertarik untuk melihat penyusunan regulasi dalam produk kebijakan media.5 Dalam naskah akademik dua peraturan walikota itu, kenaikan pajak reklame diatur dengan dua tujuan utama: (i) memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), (ii) mengurangi jumlah reklame di Surabaya, terutama yang berukuran besar, karena berisiko bagi pengguna jalan di Surabaya saat terjadi angin kencang. Akan tetapi, tidak pernah dijelaskan ukuran dan alasan dari kenaikan pajak yang mampu mencapai lebih dari 100% untuk reklame, ukuran dan perbandingan biaya dengan daerah lain, bagaimana verifikasi konstruksi media luar ruang, dan seterusnya. Dari sini, maka analisis teks-konteks atas peraturan menjadi penting untuk dikerjakan. Selain hal di atas, peneliti mengemukakan tiga alasan dan urgensi dari penelitian ini. Pertama, studi kasus atas kebijakan komunikasi media luar ruang dan kritik kebijakan atasnya, masih cukup jarang untuk diambil sebagai sebuah tema, atau jika pun ada, seringkali dikerjakan secara parsial, bukan dalam skema 4
Periksa Kompas, “Ada Kepentingan Di Balik Interpelasi”, 13 Desember 2010. Menariknya, Wisnu Wardana, ketua DPRD Kota Surabaya yang mendukung usulan pemakzulan, serta anggota DPRD penggagas pertama impeachment Simon Lekatompessy, adalah dua figur yang pernah menjadi direktur salah satu perusahaan reklame 5 Ibid.
3
komprehensif, mulai regulasi, tata-letak, hingga substansi. Peraturan tentang reklame selalu dimulai dengan UU yang bercorak sangat ekonomistis, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang lalu juga dituangkan dalam Perda dan Perwali/Perbup. Adapun hal-ihwal tata letak dan segala peraturan yang melandasinya, dijelaskan melalui SK atau Perwali-Perwabup. Dibandingkan dengan media lainnya, media luar ruang adalah satu-satunya media dengan peraturan yang masih kosong. Jika media Penyiaran dan media cetak memiliki UU Pers dan UU Penyiaran, serta jika media baru (internet) memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka media luar ruang belum memiliki UU semacam itu, sehingga tak dapat dipenuhi prasyarat lex specialis yang mampu memberikan detail di tingkat implementasi. Kedua, tuntutan atas kerja komprehensif ini adalah karena peneliti berkonsentrasi pada kebijakan media, yang secara teoretik senantiasa melibatkan trikotomi negara-pasar-publik, sehingga analisis atas ketiganya adalah hal yang tidak terelakkan. Beberapa referensi penelitian menunjukkan kecenderungan analisis substansi,6 analisis arsitektural7, serta analisis ekonomi8--sesuatu yang bersifat terlampau parsial untuk tema kebijakan komunikasi. Ketiga, Surabaya menjadi kota paling riuh untuk perkara kebijakan media luar ruang, yang dipicu oleh terbitnya peraturan walikota mengenai penetapan 6
Very Arwanto, Analisis Isi Iklan Rokok pada Media Luar Ruang di Yogyakarta, Skripsi UPN Veteran Yogyakarta, 2011. 7 Lenandi Soetrisno Lasmono, Perancangan Sistem Papan Reklame Tahan Angin, Skripsi Universitas Petra Surabaya, 2010. 8 Budiono, Analisis Efektifitas Atas Pemungutan Pajak Reklame Sebagai Upaya Peningkatan PAD, Skripsi Universitas Muhammadiyah Malang, 2003; Helvianti, Kontribusi Penerimaan Pajak Reklame Terhadap PAD Di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, tesis Universitas Sumatera Utara, 2009; Dini Nurmayasari, Analisis Penerimaan Pajak Reklame Kota Semarang, tesis Universitas Diponegoro, 2010; Faizah Wachdin, Pengaruh Pajak Reklame & Pajak Hiburan Terhadap PAD Kota Surabaya, skripsi UPN Veteran Surabaya, 2010;
4
harga baru reklame. Pengaturan media luar ruang dalam bentuk reklame di Surabaya, melibatkan konfigurasi yang cukup lengkap antara relasi negara-pasarmasyarakat sipil. Disamping negara sebagai aktor yang memproduksi kebijakan publik, pasar juga memegang peranan penting karena tekanannya yang demikian kuat atas tuntutan tarif, serta masyarakat sipil atau publik yang membawa kepentingan tuntutan atas tata kota dan ruang publik—dua hal yang memiliki relasi cukup erat dengan penataan media luar ruang. Kompleksitas muncul lantaran banyak ditemui aktor dengan status ganda (misalnya, ketua DPRD yang merangkap pengusaha reklame)9 dan memberikan warna yang kabur atas diskursus ini, andai tidak didalami lebih lanjut. Lengkap dan rumitnya diskursus yang dibangun antara tiga aktor tersebut, membutuhkan penelusuran yang mendalam dan detil terhadap bagaimana penyusunan kebijakan ini dirancang, guna memperlihatkan bagaimana kebijakan komunikasi tersebut ditujukan. Disamping lengkapnya konfigurasi aktor, Surabaya juga dipilih karena kebijakan tersebut telah menjadi wacana yang berkembang sedemikian rupa, hingga mampu menggiring badan legislatif untuk mengusulkan pemakzulan (impeachment) atas walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Sementara itu, kebijakan media luar ruang dipilih karena kebijakan ini relatif dikesampingkan dalam wacana-wacana publik, serta jarang didalami sebagai salah satu bentuk kebijakan komunikasi, disamping konteks komunikasi media penyiaran (elektronik), media cetak, maupun media baru (internet).10
9
Kompas, “Ada Kepentingan Di Balik Interpelasi”, 13 Desember 2010 Lihat Ulasan Cabe. (2006). Green Space Strategies: A Good Practice Guide . London: Commission for Architecture and The Built Environment.; Cabe. (2010). Urban Green Nation: Building The Evidence Base. London: Commission for Architecture and The Built Environment. 10
5
1.2. Rumusan Masalah Berdasar latar belakang yang telah didedah pada bagian awal, proposal penelitian ini ingin menyasar pada pertanyaan utama: 1. Bagaimana proses kebijakan komunikasi dalam Peraturan Wali Kota (Perwali) Surabaya Nomor 56 Tahun 2010 dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010? 2. Bagaimana dinamika proses kebijakan Perwali Surabaya Nomor 56 Tahun 2010 dan Perwali Nomor 57 Tahun 2010?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan untuk : 1. Mengelaborasi kebijakan komunikasi media luar ruang dalam penyusunan produk hukum reklame (Perwali No. 56 tahun 2010 dan Perwali No 57 tahun 2010) di kota Surabaya 2. Mendedah konfigurasi aktor-aktor yang muncul dari dua Perwali tersebut terhadap praktek dan diskursus kebijakan komunikasi media luar ruang di kota Surabaya.
6
1.4.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan tinjauan atas kebijakan komunikasi media luar ruang di Surabaya. Hal ini mengingat tidak banyak penelitian yang mengambil isu di seputar kebijakan media luar ruang sebagai objek, terutama kaitan antara diskursus ekonomi politik dengan produk kebijakan komunikasi di aras lokal. Selain itu, oleh karena metode dan pendekatan dalam penelitian ini yang bersifat kritikal (tidak lagi positivis/tradisional), maka diharapkan riset ini dapat mendorong perkembangan kebijakan komunikasi secara kritis. 2. Penelusuran atas konfigurasi aktor-aktor yang muncul dalam kebijakan media luar ruang di Surabaya, diharapkan mampu menjadi panduan atau peta atas sebaran kepentingan antar kelompok dalam penyusunan regulasi media luar ruang. 3. Memberikan masukan dan analisis atas desain peraturan di tingkat daerah (Perwali) terhadap kebijakan media luar ruang. Tinjauan atas penyusunan kebijakan media luar ruang dalam Perwali 56 & 57 Surabaya diharapkan mampu memberikan referensi atas desain serupa di kemudian hari.
7
1.5. 1.5.1.
Kerangka Pemikiran Kebijakan Media Luar Ruang
Kerangka pikir atas kebijakan media luar ruang bukan hanya membutuhkan landas tumpu teoretik yang memadai atas kebijakan dan hubungannya dengan ekonomi politik itu sendiri, melainkan juga dibutuhkan elaborasi atas bagaimana media luar ruang memainkan peran dalam ruang publik, serta bagaimana kebijakan atasnya dimungkinkan ada. Dalam perspektif yang agak lentur dan berorientasi pada lokasi, sebuah ruang publik yang baik harus memperhatikan empat faktor utama yakni: (i) Akses dan linkage; (ii) tujuan dan aktivitas, (iii) kenyamanan dan tampilan, dan (iv) keramahan.11 Dinyatakan juga jika ada tiga kualitas yang menentukan relativitas „ke-publik-an‟ suatu ruang yakni kepemilikan fungsi, akses dan kegunaan. Selama memiliki kepemilikan fungsi yang netral, dapat diakses oleh publik dan digunakan secara bersama-sama oleh individu atau kelompok yang berbeda, maka dapat dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik dan perancangan kota berkaitan dengan tanggapan inderawi manusia terhadap lingkungan fisik kota dan alam komunikatif: penampilan visual, kualitas estetika, dan karakter spasial. Konsep perancangan kota haruslah
11
Pengertian ruang publik (public spaces) tidak secara filsafati dirujuk dari karya-karya seminal Jurgen Habermas mengenai ruang publik (public spheres) atau ruang publik politis Hannah Arendt, melainkan karena kepentingan praktis dalam melihat demikian condongnya penelitianpenelitian terdahulu menempatkan media luar ruang dalam hubungannya dengan ruang, tata ruang, atau yang secara formal disebut sebagai kebijakan tata ruang (lihat pada bagian latar belakang masalah). Terhadap hal ini, periksa Carmona, Tisdell, Heath, & Oc, (2010). Public Spaces Urban Spaces: The Dimensions Of Urban Design (2nd Ed.). Oxford: Elsevier.
8
mengenali
dan
menunjang
elemen-elemen
visual
utama
kota
dengan
meningkatkan kualitas estetika.12 Ruang publik dideskripsikan sebagai suatu sistem kompleks berkaitan dengan segala bagian bangunan dan lingkungan alam yang dapat diakses dengan gratis oleh publik yang meliputi: jalan, square, lapangan, ruang terbuka hijau, atau ruang privat yang memiliki keterbukaan dan kemudahan aksesibilitas untuk publik. Sementara itu, secara lebih spesifik Merker mengutarakan tentang empat kualitas yang harus dimiliki ruang publik, akses fisik, akses sosial, akses kepada aktifitas dan diskusi atau interkomunikasi dan akses kepada informasi. Keempat kualitas inilah yang tampaknya mendefinisikan kekuatan demokrasi dari sebuah ruang publik dan hubungannya dengan media luar ruang13. Seperti pendapat Merker, dalam kondisi kontemporer, persoalan media luar ruang dalam desain public spaces sering kali mengalami ketersembunyian agenda yang mendahulukan kepentingan ekonomi dari kebutuhan sosial.14 Agenda kebutuhan dan hak publik atas komposisi ideal antara media luar ruang dan dunia sosial yang ditinggali, tentu saja tidak dapat dengan mudah menemukan irisannya dengan prinsip ekonomi yang selalu mengkonversikan segala sesuatu dengan nilai jual dan margin laba. Disinilah urgensi dalam melihat undangundang sebagai titik tolak dibutuhkan. Regulasi diasumsikan menjamin dan mengatur hak publik, mengantisipasi risiko yang ada, dan meningkatkan
12
Mellvile C. Branch, 1996. Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 13 Blaine Merker, “Taking Place - Rebar‟s Absurd Tactics In Generous Urbanism” dalam J. Hou, Insurgent Public Space - Guerilla Urbanism And The Remaking Of Contemporary Cities (Oxon, Routledge: 2010) Hlm. 45-58 14 Ibid.
9
pengelolaan yang seimbang antara kepentingan negara, pasar dan publik dalam konteks media luar ruang. Kualitas demokrasi, tipikal rezim, kapasitas SDM dan produk kebijakan negara yang bervariasi, pada akhirnya harus ditelisik dengan cara yang agak berbeda. Pencarian kebijakan ideal dapat dilakukan, tapi tidak terlalu bisa dipandang penting sebelum model ideal dan sintesa kebijakan ideal tersebut ditemukan referensinya.15 Penelusuran praksis atas hal ini peneliti dapat dari beragam negara, dengan sedikit usaha komparasi. Penelusuran pertama peneliti dapat dari telaah Aragonès & Sánchez, yang mengelaborasi bahwa di Porto Alegre, kemenangan pemilu Partai Buruh dalam pemilihan umum wali kota telah memberikan titik pijak yang sangat penting bagi kebijakan media luar ruang ketika transparansi sudah mulai diperkenalkan dan diperkuat16. Pada masa kemenangan tersebut, partai mengusung metode penentuan anggaran publik secara partisipatif yang mulai diterapkan sejak 1989. Sejak itu, metode ini meluas dan diadaptasi ke lebih dari 190 kota dan beberapa negara. Ini merupakan koreksi atas pendekatan sebelumnya yang memutuskan sesuatu di belakang pintu oleh segelintir orang, tanpa pengetahuan warga masyarakat. Implikasinya, peraturan proteksi atas ruang publik dari media-media liar membuahkan hasil yang memuaskan. Politik yang melibatkan partisipasi berhasil menghasilkan masyarakat sipil yang kuat yang mampu menciptakan
15
J. S Kayden, 2000. Privately Owned Public Space: The New York City Experience. New York: John Wiley And Sons, Inc. 16 Aragonès, Enriqueta., Sánchez., Santiago, (2004). A Model Of Participatory Democracy: Understanding The Case Of Porto Alegre September PAC Project, European Commission
10
situasi saling kontrol, termasuk dalam kebijakan ekstrim membebaskan seluruh ruang kota dari iklan media luar ruang17. Agak mirip dengan Porto Alegre adalah apa yang terjadi pada Sao Paulo. Gilberto Kassab, wali kota Sao Paulo, berani membayangkan kota yang ia pimpin yang bebas iklan luar ruang. Ia membuat peraturan radikal pada tahun 2006 bernama Lei Cidade Limpa (peraturan kota bersih) yang melarang keberadaan segala iklan luar ruang — termasuk pembagian pamflet di jalan.18 Bagi Gilberto, peperangan melawan polusi adalah keniscayaan, dan ia ingin memulai dari yang paling mencolok, yaitu polusi visual. Dewan perwakilan kota menyetujui ide Gilberto. Pada awal tahun 2007, aturan itu betul-betul dijalankan. Dalam lima tahun, 15.000 reklame dan 1.600 papan toko diturunkan. Sao Paulo menjadi kota yang berbeda sama sekali. Rumah-rumah yang tadinya tertutupi reklame kini menampakkan wajah aslinya. Tak heran 70 persen warga kota sepakat bila aturan ini dilanjutkan.19 Detil peraturan bernomor PL 379/06 ini awalnya diprediksi akan menyebabkan kerugian (potential loss) hingga 133 juta US Dollar, disamping akan mengancam pengangguran 20.000 pegawai media luar ruang disana.20 Dengan sanksi perdata hingga 4.500 US Dollar per hari, kebijakan ini berjalan efektif.
17
Terence Wood & Warwick E. Murray, “Participatory Democracy In Brazil And Local Geographies: Porto Alegre And Belo Horizonte Compared”, European Review of Latin American and Caribbean Studies 83, October 2007, 19-41 18 The Economist, “Visual pollution”, Oct 11 2007 19 Robin Hartanto, Mimpi Jakarta Tanpa Papan Reklame, diakses dari http://id.berita.yahoo.com/blogs/newsroom-blog/mimpi-jakarta-tanpa-papan-reklame072355767.html. Terakhir diakses pada 22/05/13. 20 Patrick Burgoyne, “Sao Paulo: The City that Said No to Advertising”, Businesweek, June 18 2007.
11
Hong Kong memberikan tafsir lain yang menarik. Salah satu usaha pemerintah Hong Kong dalam memulai optimalisasi ruang publik adalah dengan menerapkan public-private partnership. Pemerintah Hong Kong memberikan insentif bonus luas lantai tambahan vertikal bagi pihak privat yang menyediakan ruang publik di lahan propertinya. Bonus luas lantai tambahan ini bisa mencapai 5 kali lipat dari ruang publik yang diberikan oleh pihak properti yang bersangkutan. Ruang yang kemudian banyak dikenal sebagai Privately Owned Public Space (POPS) atau Privately Owned Public Open Space (POPOS) banyak terlihat di area urban Hong Kong. Istilah “Privately Owned Public Space” sendiri diperkenalkan di New York pada tahun 1960, istilah ini mengandung dua makna yang secara hakikat bertentangan21:
“Privately Owned” refers to the legal status of the land and/or building on or in which the public space is located. Owners would continue to control overall access and use of their private property and the public as a whole could not secure rights of access and use without the owner’s express permission. Thus, it is a “Public Space” rather than a public property in this case since it is not owned by the city. “Public Space” means a physical place located on private property to which the owner has granted legally binding rights of access and use to members of the public. Ownership continues to reside with the private owner, public space may be thought of as an easement held by the public on the owner’s property.
Lebih lanjut lagi, Kayden menyampaikan bahwa penemuan regulasi ini telah meningkatkan kesadaran warga dalam ruang publik, membatasi intervensi pasar, dan memperluas lalu-lintas diskursus publik. Hal ini bertujuan untuk menciptakan ruang publik yang terintegrasi dengan pembangunan demi
21
Kayden, op., cit., hlm 30
12
menyediakan pengalaman penjalan kaki yang lebih baik. Moda perencanaan ini mendukung kerjasama antara sektor publik dan privat. Dengan demikian, persoalan tata-kelola media luar ruang, terselesaikan dengan sendirinya. Pengaturan dan manajemen ruang publik yang baik telah membuat proteksi untuk dirinya sendiri, terutama dari persoalan-persoalan kesemrawutan. Pemerintah United Kingdom memberikan perspektif lainnya dengan menempatkan komisi independen dengan kewenangan spesifik guna melindungi ruang publik. Di UK, Commission for Architecture and the Built Environment atau lebih dikenal dengan CABE hadir sebagai komisi independen yang memberikan solusi kepada pemerintah dan penilaian terhadap perancangan desain arsitektur untuk melindungi ruang publik. Tujuh puluh persen dari pemerintah lokal di UK berjalan seirama dengan solusi desain dari CABE. Dengan kata lain, langkah afirmasi perlindungan ruang publik dan tata kelola media luar ruang sudah terangkum pada masing-masing regional yang mengimplementasikan rekomendasi CABE. Pemerintah London juga rajin merangsang secara intensif penyelenggaran ruang hijau melalui beberapa program seperti Great Spaces Design22. Melalui program ini, London’s boroughs (bisa dianalogikan seperti kota administratif jika di Indonesia) dirangsang untuk meningkatkan kualitas ruang hijau di distrik masing-masing bekerjasama dengan agen pemerintah Design for London dan London Development Agency. Aspek estetik menjadi poin kunci, sehingga segala macam gangguan lainnya (media liar), akan ditindak. 22
A. Madanipour, “Marginal Public Spaces In European Cities” dalam A. Madanipour, Whose Public Space? International Case Studies In Urban Design And Development.(Oxon: Routledge: 2010) hlm. 31-50.
13
Jika disederhanakan, maka pendekatan tiga wilayah dalam kebijakan media luar ruang dapat disarikan dalam matriks berikut: Porto Alegre- SaoPaulo Hong Kong
UK
Pendekatan Kebijakan Media Luar Ruang -Koreksi politik status quo dengan orientasi Partisipasi demokrasi ekonomi publik -Pusat perubahan berada pada dimensi Transparansi pergantian faksi dalam rezim Keuangan POPS-POPOS -Kerjasama antara sektor publik dan privat -Meningkatkan kesadaran warga dalam ruang publik, membatasi intervensi pasar, dan memperluas lalu-lintas diskursus publik Komisi/badan/ -Penciptaan agensi/badan/komisi khusus yang berwenang mengatur media luar ruang agensi khusus -Program dan insentif ruang hijau
Sub-Metode -Partisipasi anggaran untuk ruang publik -Insentif Bonus
-Desentralisasi kewenangan komisi ke tingkat distrik.
Politik partisipatoris yang dipraktikkan di Porto Alegre-Sao Paulo, politik kreatif dari Hong Kong, maupun politik proteksionis dari London, UK, telah menerangkan jalan yang amat jelas: bahwa tidak satu pun dari terobosan di tiga negara tersebut dipraktikkan di Indonesia. Oleh karenanya, referensi teoretik dan pengalaman praktik tiga wilayah tadi menarik untuk disimpan dan dikelola sebagai landas-tumpu analisis dalam membaca persoalan tata-kelola kebijakan media luar ruang di Indonesia.
1.5.2. Iklan Media Luar Ruang & Citra Visual Iklan-iklan di ruang kota dapat bercerita banyak tentang kota itu sendiri, terlepas dari persoalan estetis kota. Minimal melalui iklan-iklan yang berhamburan di ruang kota itu kita dapat memahami sabun apa yang warga kota gunakan, televisi merek apa yang mereka tonton, apa yang mereka lakukan di kala 14
senggang, mode macam apa yang mereka gemari, tokoh siapa yang mereka anggap inspiratif, bahkan hingga ideologi macam apa yang paling laku di kalangan masyarakat. Iklan-iklan di ruang kota dapat menjelaskan apakah warganya hidup dengan layak atau hidup dalam ilusi rekaan kapitalisme global— singkatnya, dapat menjelaskan manusia macam apakah warga yang mendiaminya. Hadirnya iklan di ruang kota, sadar atau tidak, menjelaskan fenomena konvergensi media baru, yakni ruang kota sebagai media itu sendiri. Bagi warga, kota tak ubahnya sebuah pasteboard yang dapat ditempelkan visual apa pun, dengan cara apa pun, sehingga wajar bila kota tampak makin carut-marut. Untuk itulah, pemerintah perlu menciptakan ruang media bersama yang demokratis untuk semua pihak. Ruang media ini—berfungsi sama seperti pasteboard—dapat menjadi tempat informasi bagi berbagai kegiatan kolektif warga, acara sosialbudaya, hingga iklan usaha kecil warga. Dengan demikian, penataan iklan di ruang kota seharusnya dimaknai lebih dari sekadar diskursus soal ekonomi atau PAD kota. Pada saat yang sama, para penentu kebijakan juga perlu disadarkan bahwa iklan di ruang kota mencerminkan warganya, aspek estetis dan citra visualnya. Pada saat yang sama pula, iklan mengonstruksi warganya persis seperti narasi dominan konsumerisme yang mendorong manusia untuk terus-menerus membeli. Untuk itu, pemanfaatan ruang publik menjadi sebuah strategi yang penting. Iklan seperti apakah yang akan ditempatkan di ruang publik yang mana, seharusnya menjadi diskursus penting dalam setiap penentuan kebijakan tentang penempatan iklan dan aksesibilitasnya oleh publik. 15
Kedua aspek, baik kota sebagai manifestasi konkret dari gagasan visual maupun fenomena iklan di ruang kota yang mewarnai pengalaman ini merupakan turunan dari gagasan estetika Barat tentang visualitas sehari-hari manusia urban. Kota Surabaya sendiri tidak dapat dilepaskan dari konteks ini. Citra visual yang ditampilkan oleh media luar ruang adalah citra dari kota. Elemen visual ini membuat rancang-bangun kebijakan media luar ruang tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan citra visual, estetika semiotis dari sebuah substansi atau konten media luar ruang itu. Citra visual dan estetika komunikasi berlawanan dengan praktik spasial dilakukan oleh kelompok penguasa (atau kelompok dominan lain), yang akan menjadi spasialisasi dominan.23 Padahal seharusnya praktik spasial warga kota merupakan artikulasi sosio-kultural kolektif warga kota. Praktik ini dapat merepresentasikan adanya dominasi ideologi tertentu yang berkuasa dalam sebuah ruang kota. Oleh karena itu penting untuk mengedepankan pentingnya peranan publik dalam praktik spasial kota, yang dapat dicapai melalui penguasaan terhadap ruang-ruang publik di kota. Spasialisasi dominan yang dilakukan oleh penguasa kota cenderung homogen. Penyediaan ruang publik dan berbagai infrastruktur fisik kota dapat mengondisikan warganya untuk berpikir dan bertindak seragam dengan alasan kenyamanan bersama. Penertiban pedagang kaki lima di pinggir jalan misalnya, menjadi contoh bagaimana penguasa kota (pemerintah kota) menggunakan haknya untuk menentukan mana yang boleh dan
23
Henri Lefebvre, “Revolt Through Dominant Respatialization,” dalam Rob Shields, Lefebvre, Love and Struggle: Spatial Dialectics (London and New York: Routledge, 2001).
16
tidak boleh dilakukan di sebuah situs kota dalam konteks perdagangan (transaksi jual-beli) sederhana. Namun persoalannya, praktik spasialisasi dominan tersebut beriringan dengan praktik serupa yang dilakukan oleh kelompok penguasa modal. Dengan logika yang sama, kelompok penguasa modal ini meminggirkan lapangan bola, alun-alun informal, pasar tradisional, taman bermain informal, tanah kosong yang penuh dengan pepohonan, bangunan-bangunan tua yang bersejarah, dan lainlainnya.
1.5.3. Regulasi Media Luar Ruang di Indonesia Sebagaimana telah diulasi sebagian dalam latar belakang masalah penelitian ini, peraturan mengenai media luar ruang di Indonesia tidak memiliki spesifikasi dan komprehensifitas yang cukup. Bila dilihat dari kontribusinya bagi pajak daerah, pajak reklame merupakan komponen ekonomi yang demikian pentingnya bagi pendapatan daerah yang berpotensi dan ditujukan langsung kepada usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Pemasukan dari pajak reklame didapat dari nilai sewa reklame yang dipasang dengan tarif sewa reklame berdasarkan dari lokasi pemasangan reklame, lamanya pemasangan reklame, dan jenis ukuran reklame.24 Pihak-pihak yang menggunakan jasa reklame dari bidang pendidikan, industri, perhotelan, hiburan, bank-bank dan lembaga keuangan, transportasi, komunikasi dan pihak pemerintah. Pajak Reklame adalah pungutan yang dikenakan terhadap 24
Marihot P Siahaan, Pajak Dan Retribusi Daerah, (Raja Grafindo Persada Jakarta: 2005) Hlm. .35.
17
penyelenggaraan reklame.25 Pajak Reklame dikenakan dengan alasan bahwa reklame dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar dari suatu tempat umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah. Selain konsentrasi peraturan yang lebih tersedot ke ranah ekonomi dalam bentuk pajak/retribusi, regulasi media luar ruang di Indonesia juga sangat bergantung dengan peraturan lainnya. Ketiadaan regulasi yang spesifik dan komprehensif menciptakan kesulitan-kesulitan interpretatif dalam membaca fenomena media luar ruang di luar apa yang telah diatur dalam Perda/Perwali mengenai reklame. Maka, ketergantungan pada peraturan lain menjadi tak terhindari, oleh karena memang independensi regulasi reklame dan media luar ruang tidak clear sejak awal. Terhadap bagaimana tata letak reklame, peraturan yang mengatur hal ini bukan secara spesifik memasukkan variabel reklame sebagai tema regulasi, melainkan melalui peraturan lain semisal Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.34/2006 tentang jalan serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.20/PRT/M/2010, tentang pedoman pemanfaatan dan penggunaan bagianbagian jalan. Zonasi pemasangan dan tata letaknya selalu berhubungan dengan peraturan lain yang secara tematik beririsan, tetapi tidak secara khusus mengatur tentang reklame sebagai media luar ruang. Misalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali melakukan inisiasi dan desakan kepada Dinas Kebersihan
25
Ibid.
18
dan Pertamanan (DKP) Kota Denpasar untuk membuat konsep zonasi dan tata cara penyelenggaraan reklame.26 Perhitungan atas zonasi itu juga secara ekonomi memiliki logika yang sama sebagaimana zonasi atas hal lain, semisal SPBU dan bangunan komersial lainnya. Peristiwa ini secara teoretik menguatkan kekosongan peraturan dan kerancuan implementasi peraturan media luar ruang, yang menyangkut bukan hanya banyak hal melainkan banyak divisi. Konsekuensi teknisnya, dinas yang secara tematik tidak memiliki hubungan dengan media, dapat berurusan dan terlibat intens dalam pengaturan media luar ruang, sebagaimana ditunjukkan dari kasus DKP Denpasar. Jika diringkas dari peraturan menteri, peraturan pemerintah, perda, dan undang-undang mengenai media luar ruang, kebijakan media luar ruang memberikan irisan demikian banyak dari peran dinas-dinas yang bersangkutan. Instansi tersebut antara lain: i). Dinas Tata Kota; ii). Dinas pengawasan dan pembangunan kota; iii). Dinas Pertamanan; iv). Dinas Pekerjaan Umum; v). Dinas Kebersihan; vi). Dinas Pendapatan Daerah; dan vii). Biro Ketertiban Umum Dinas Pendapatan juga menjadi salah satu bagian dari konfigurasi kebijakan media luar ruang. Dinas Pendapatan, dalam konteks kebijakan media luar ruang, menjadi pelaksana pemerintahan yang mempunyai pengaruh sangat penting dalam menggali sumber pendapatan—yang berupa pajak daerah kota/kabupaten—yang didalamnya terdapat dua faktor yaitu pungutan yang mempunyai penerimaan cukup besar yaitu pajak reklame dan pajak hiburan.
26
Bisnis Indonesia, 1 April 2010.
19
Dimana selama ini pajak reklame dan pajak hiburan memberikan kontribusi yang tinggi terhadap Pendapatan Asli Daerah. Berdasarkan PP 65/2001, pajak reklame dikenakan atas nilai sewa reklame sehingga besar kecilnya nilai sewa reklame tergantung seberapa banyak orang pribadi atau badan yang memasang reklame. Minat untuk memasang reklame antara lain ditentukan oleh seberapa besar kepentingan orang/badan untuk berkepentingan dengan pemasangan produk barang atau jasa. Pihak yang paling berkepentingan dengan pemasangan reklame adalah produsen barang dan jasa yang merupakan objek pajak. Dengan demikian dasar pengenaan pajaknya dapat didekati dengan seberapa banyak produsen barang dan jasa yang ada, walaupun tidak semua produsen memasang reklame.27 Logika ekonomi regulasi media luar ruang di Indonesia berubungan langsung dengan bahasa target pasar yang ditarik dari kalkulasi jumlah penduduk. Jumlah penduduk berpengaruh terhadap jumlah Penerimaan Pajak Reklame.28 Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja dianggap sebagai salah satu faktor yang positif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Penduduk dianggap sebagai pemacu pembangunan. Banyaknya jumlah penduduk akan memacu kegiatan produksi, konsumsi dari penduduk inilah yang akan menimbulkan permintaan agregat. Pada gilirannya, peningkatan konsumsi agregat memungkinkan usahausaha produktif berkembang, begitu pula perekonomian secara keseluruhan. Besar kecilnya penerimaan pajak sangat ditentukan oleh PDRB, jumlah penduduk dan
27
Sutrisno P.H, “Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Kab. Semarang”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 2 No. 1 Tahun 2000. 28 Syuhada Sofian, Prospek Dan Alternatif “Action Plan” Pemajakan Reklame Dalam Mendongkrak Pendapatan Asli Daerah, (Gema Stikubank, Semarang: 1997) Hlm. 19
20
kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, jadi PDRB dan jumlah penduduk berpengaruh terhadap penerimaan masing-masing jenis pajak daerah tersebut.29 Regulasi kebijakan media luar ruang di Indonesia juga mengintegrasikan wilayah tata ruang dan media. Media luar ruang yang mengambil lokasi dalam ruang publik, dianggap perlu diatur sebagaimana negara mengatur tata ruang. Oleh sebab itu, di banyak wilayah di Indonesia, reklame sudah menjadi unsur atau bagian dari pengaturan dalam tingkat Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Sementara itu, wilayah peruntukannya (kawasan/zoning) dikukuhkan dalam tingkat Rencana Tata Ruang Kota (RTRK). Tentang zoning atau zonasi dengan sengaja dimasukkan dalam RTRK oleh karena pengaturannya yang bersifat sangat umum. Sekurangnya lima fungsi zonasi, dimana media luar ruang dianggap dapat dimasukkan di dalamnya: (i) mengatur kepadatan penduduk dan intensitas kegiatan, mengatur keseimbangan, keserasian peruntukan tanah dan menentukan tindak atas suatu satuan ruang; (ii) melindungi kesehatan, keamanan dan kesejahteraan masyarakat; (iii) mencegah kesemrawutan, menyediakan pelayanan umum yang memadai, dan menningkatkan kualitas lingkungan hidup; (iv) meminimumkan dampak pembangunan yang merugikan; (v) memudahkan pengambilan keputusan secara tidak memihak dan berhasil guna serta mendorong partisipasi masyarakat.30
29
Periksa Buku Klasik Musgrave, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Edisi V, (Erlangga, Jakarta: 1993) Hlm. 72. 30 Tonny Judiantono, Pengendalian dan Pelaksanaan Rencana Ruang, Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik UNISBA 2008. Tidak diterbitkan
21
Lokasi dan besaran per reklamean juga harus dengan peruntukan dan fungsi wilayah kota yang ditetapkan dalam RTRK. Lebih mendetail masalah per reklamean ini merupakan bagian yang dipertimbangkan dalam Pola Rancang dan Rekayasa Kota (Urban design Pattern dan Urban Structure) yang biasanya tertuang dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).31 Substansi peraturan yang telah ditetapkan di Indonesia mengenai pengelolaan media reklame hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan prosedur maupun biaya retribusi dan pajak reklame bagi pemasukan pendapatan asli daerah. Pedoman yang sifatnya teknis untuk penataan media reklame tidak diatur dengan jelas. Instansi terkait seperti Dinas Tata Kota (DTK) yang memberikan rekomendasi titik-titik lokasi pemasangan, ukuran,bentuk serta cara pemasangan, ukuran, bentuk serta cara pemasangan media reklame tidak memiliki pedoman yang jelas yang dapat dijadikan dasar dikeluarkannya rekomendasi, demikian pula dengan Dinas Pekerjaan Umum yang memberi rekomendasi atas kontruksi dan keselamatan pemasangan media reklame di daerah milik jalan serta Dinas Pengawasan Bangunan yang memberi rekomendasi konstruksi media reklame dan bangunan yang diletakkan di luar daerah daerah milik jalan. Tidak adanya aturan yang jelas sebagai dasar untukmenata media reklame serta adanya terget pendapatan asli daerah yang harus dipenuhi menjadikan pemerintah daerah tidak leluasa mengatur penataan media reklame dipasang oleh pemohon atau biro iklan sendiri. 31
Massuka Pratama, Kajian Penanganan dan Penataan Reklame, Bandung: 2004, Tidak Diterbitkan.
22
1.5.4. Reklame, Privatisasi Media & Ruang Publik Komunikasi Secara normatif, peraturan tentang reklame selalu dimulai dengan UU yang bercorak sangat ekonomistis, yakni
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009, yang lalu juga dituangkan dalam Perda dan Perwali/Perbup. Adapun halihwal tata letak dan segala peraturan yang melandasinya, dijelaskan melalui SK atau Perwali-Perwabup. Dibandingkan dengan media lainnya, media luar ruang adalah satu-satunya media dengan peraturan yang masih kosong. Jika media Penyiaran dan media cetak memiliki UU Pers dan UU Penyiaran, serta jika media baru (internet) memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka media luar ruang belum memiliki UU semacam itu, sehingga tidak dapat ditarik lebih jauh lex specialis yang mampu memberikan detail di tingkat implementasi.32 Analisis atas peraturan pajak reklame dinilai penting, karena dari sinilah pusat
konsentrasi
ekonomi-politik
dikembangkan,
bagaimana
perluasan-
perluasannya, serta teritori lain yang memungkinkannya menjadi lahan privatisasi dari ruang publik media. Dari trikotomi negara-pasar-publik, perkara ekonomi dari pajak reklame adalah wilayah yang amat menentukan tarikan ketiga entitas tersebut, yang dalam wujud ekstrim, misalnya pada kasus Surabaya, menjadi sangat tidak terkendali dan menyebabkan hilangnya keseimbangan diantaranya. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak daerah adalah kontribusi wajib pajak kepada daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau
32
Adapun upaya untuk memaksakan desain lex specialis dengan menyandarkan diri pada UU No 28 Tahun 2009 segera gagal minimal karena dua alasan: i) UU itu tidak mengatur reklame dan hanya mengatur dimensi ekonomi reklame; dan ii) UU itu tidak secara spesifik atau khusus mengatur media luar ruang sehingga dibutuhkan UU lain.
23
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu pajak daerah yang dapat memberikan pendapatan kepada daerahnya adalah Pajak Reklame. Pajak itu adalah bagian dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), yakni penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Dalam bahasa undang-undang, Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk memeperkenalkan, menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa, atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakuakan oleh pemerintah. Dasar pengenaan reklame adalah nilai sewa reklame. Nilai sewa reklame dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame. Cara dan hasil perhitungan sewa reklame ditetapkan dengan peraturan daerah. Sedangkan tarif pajak reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25%. Besaran pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara tarif pajak reklame dikalikan dengan dasar pengenaan pajak reklame. Pajak reklame yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan. 24
Pada implementasi peraturan ini, sering terjadi penyimpangan yang cukup serius, terutama dalam hubungannya dengan bagaimana dan seberapa strategis letak atau posisi
dari media tersebut.
Artinya, diluar jangka
waktu
penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame, ada pula kriteria lainnya mengenai posisi strategis (perempatan lampu merah pusat kota, dan sebagainya), yang dipakai, kendati pun tidak berdasarkan pada peraturan yang sudah ada. Hal diatas adalah sangat wajar, mengingat tendensi ekonomi yang memang sejak awal didesain amat kuat, disamping pula karena tuntutan situasi politik otonomi daerah. Logika privatisasi juga muncul dalam tahap ini. Dominasi perusahaanperusahaan tertentu (yang beberapa kepentingannya sudah diurai dalam latar belakang penelitian ini), telah mendominasi pula public space. Soal ini menjadi ancaman serius atas netralitas ruang publik dari kepentingan ekonomi-politik, kapitalisasi, dan sebagainya. Tren menuju privatisasi telah mengubah forum kehidupan ruang publik. Kota telah menjadi serangkaian kantong-kantong pribadi secara ekonomi dan melakukan segregasi sosial. Istilah-istilah seperti publik dan privat sarat dengan asosiasi ambigu dan konotasi moral yang sulit dihindari. Untuk tujuan kita, public space adalah ikatan kerumunan terkait sebagai lawan obligasi privat space antara keluarga dan relasi perkawanan. Dengan demikian, ruang publik adalah forum di mana kehidupan publik berlangsung. Keseimbangan antara ranah publik dan swasta telah bergeser jauh, dan telah menciptakan muasal privatisasi yang serius atas kehidupan publik. Penekanan pada ranah publik memuncak pada abad ke-18 dengan munculnya kaum borjuis di London dan Paris. 25
Tiap ruang dalam kota diberi nilainya secara ekonomis, dan diberlakukan kategorisasi sedemikian rupa sehingga hanya kelompok tertentulah yang mampu menguasainya. Oligarki kekuasaan atas ruang kota, telah menjelma menjadi privatisasi atas ruang, dan pada gilirannya, privatisasi atas media luar ruang. Kota menjadi begitu ekonomis dan memberlakukan standar diskriminatif ekonomi. Taktik dalam melakukan strategi ekonomi atas ruang adalah menggunakan dana publik untuk perusahaan pribadi (misalnya agen periklanan media luar ruang), menjual harta benda publik dan pelayanan kepada kelompok swasta oleh pemerintah lokal, menggunakan peraturan zonasi eksklusif dan sebagainya. Keputusan seperti yang disebutkan sebelumnya membentuk ruang publik dan dikendalikan oleh kebijakan publik yang mendorong privatisasi. Logika lainnya adalah pemikiran yang diambil dari dalil otonomi daerah bahwa untuk merealisasikan program pembangunan di masing-masing daerah, dibutuhkan kesiapan dana yang cukup besar untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pembangunan daerahnya yang sebagian besar harus dengan kekuatan daerahnya sendiri, disamping bantuan dari pemerintah pusat. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi pembiayaan pembangunan, pemerintah kota atau kabupaten
berusaha
untuk
meningkatan
pendapatan
daerah
dengan
mengoptimalkan jenis-jenis pendapatan yang dikendalikan oleh Pemerintah Daerah melalui perbaikan administrasi dan pelayanan pajak dan retribusi daerah, memonitoring dan mengevaluasi pelaksanaan Perda tentang pajak dan retribusi daerah, serta, yang terpenting, mengupayakan dan meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. 26
Dengan area bermain yang cukup luas, serta otoritas yang juga legitimate, state hadir dengan membawa kepentingan ekonomi yang sangat kuat atas pajak reklame tersebut. PAD, dari kacamata teoretik ekonomi politik yang sudah di ulas di awal, adalah bagian dari skenario ekonomi dalam kaitan kebijakan komunikasi media luar ruang. Dari sini, maka rangkaian asumsi ekonomi politik atas kebijakan luar ruang dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, rencana dan target capaian PAD dari reklame yang terus meningkat dari tahun ke tahun, memperkuat dugaan bahwa negara sangat berkepentingan secara ekonomi, sehingga eksploitasi ekonomi terhadap reklame mutlak harus dikemukakan sebagai salah satu kecurigaan. Apalagi, jika dilihat lebih jauh tentang betapa penjagaan dan kontrol atas reklame sangat lemah—yang mana tidak bermakna apa-apa kecuali hanya memperkuat kecurigaan. Kedua, desain peraturan yang menitikberatkan pada besaran pajak; sementara
pertimbangan
atas
ruang
publik
terbuka
dikesampingkan,
memperlihatkan dominasi ekonomi-privatisasi atas ruang publik. Dengan hanya memfokuskan diri pada aspek ekonomi teknis mengenai besaran pajak, maka pada saat yang sama, perhitungan tentang relasi ruang publik dan reklame juga akan dinafikan. Ketiga, aspek ekuilibrium lingkungan juga banyak dikesampingkan dalam peraturan penempatan reklame. Pandangan komprehensif atas bagaimana media luar ruang berhubungan dengan lingkungan sekitar, tidak banyak disinggung dalam peraturan-peraturan di daerah. Visi yang cukup jelas atas hal ini tidak sedikitpun didapati, sehingga ruwetnya tata-letak reklame memang sejak awal 27
terjadi karena dipakai logika disintegrasi dan pemisahan reklame tersebut dari lingkungannya. Keempat, tidak ada penjelasan yang cukup rigid mengenai kelayakan konstruksi dan verifikasi atas konstruksi reklame. Hal ini sangat penting, jika dalam banyak peristiwa dapat dilihat kecelakaan atau runtuhnya papan reklame, tiang, dan material reklame sebagai akibat lemahnya konstruksi. Kerugian publik dan risiko yang lebih besar adalah hal-hal yang tidak diperhitungkan negara. Di peraturan-peraturan, selalu disinggung tentang kelayakan konstruksi, tetapi tidak disinggung tentang bagaimana mekanisme verifikasi konstruksi itu, serta sanksi semacam apa yang dapat diberikan seandainya terjadi kecelakaan. Demikian sedikitnya fokus regulasi atas media luar ruang, secara otomatis menunjukkan lemahnya kontrol dan sanksi negara atas tata-letak reklame. Situasi yang terjadi dalam banyak kasus ini, bukan saja menandai bagaimana mode kerja negara yang lemah, tetapi juga karena kosongnya peraturan mengenai reklame, yang kurang spesifik dan detail serta mengikat. Kekosongan peraturan itu masih ditambah lagi dengan lemahnya bobot pidana dalam peraturan-peraturan tata letak reklame yang kini berlaku. Dengan melihat pelbagai ragam peraturan di tingkat daerah, dapat dilihat bahwa sanksi utama dari pelanggaran tata letak reklame selalu denda, sementara aspek hukuman pidana acapkali dikesampingkan. Pertimbangan dan aksentuasi bobot pidana penting menjadi tak terhindarkan oleh karena wilayah publik yang digunakan oleh media luar ruang, adalah hak prinsipil publik. Melanggar konsensus ruang tersebut sekaligus
28
membahayakan publik (dari kualitas konstruksi media luar ruang yang tidak dikontrol, misalnya) adalah kekeliruan yang patut dihukum secara pidana. Maka, untuk memberikan aksen pidana, perlu dilakukan revisi dan/atau pembentukan produk regulasi yang baru. Dari teori tangga hukum, persoalan terhadap suatu peraturan dengan sifat lokal (Perwali-Perbup) lebih sering berujung pada judicial review ke MK (Mahmakah Konstitusi),33 atau atas masukan dari Gubernur untuk merevisi Perwali/Perbup tersebut.
1.5.5. Spasialisasi & Media Luar Ruang Pada konteks komunikasi dan media, menurut Mosco, pengertian ekonomi politik dapat dibagi ke dalam pengertian sempit dan luas.34 Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersamasama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas ekonomi politik berarti kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Lebih jauh, setidaknya ada tiga konsep penting yang ditawarkan Mosco untuk mengaplikasian pendekatan ekonomi politik pada kajian komunikasi: komodifikasi (commodification); spasialisasi (spatialization); dan strukturasi (structuration). Bagian ini hanya akan mengulas spasialisasi—term yang berkaitan langsung dengan bagaimana media luar ruang dikelola.
33
Periksa Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Jakarta.: 2008 hlm. 72. 34 Periksa V. Mosco, The Political Economy Of Communication: Rethinking And Renewal, (London, Sage Publications:1998).
29
Spasialisasi berhubungan dengan transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media. Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi dan/atau monopoli, baik dalam format konsorsium media besar atau format lain. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media. Perluasan ukuran korporasi membutuhkan jaminan ruang gerak yang leluasa dan akses yang lancar. Maka, kecurigaan atas bagaimana kepentingan perluasan peran dan ukuran ini dikompromikan lewat kebijakan komunikasi, menarik disimak. Spasialisasi merupakan proses mengatasi kendala ruang dalam kehidupan sosial. Pendekatan ekonomi politik telah menempatkan spasialisasi bersama komodifikasi dalam tempat yan sama. Ekonom politik klasik, seperti Adam Smith dan David Ricardo, merasa perlu untuk mencurahkan perhatian besar pada masalah bagaimana menghargai ruang. Selanjutnya, perkembangan studi atas ruang dalam terminologi ekonomi politik datang dari teori nilai kerja yang dihubungkan dengan masalah bagaimana untuk mendefinisikan dan mengukur waktu kerja. Marx lebih dekat ke spasialisasi
30
ketika ia mencatat bahwa kapitalisme "melenyapkan ruang dengan waktu."35 Dengan ini ia meletakkan dasar pemahaman bahwa bisnis sarana transportasi dan komunikasi mampu mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan barang, orang, dan pesan melalui ruang, sehingga menghemat biaya distribusi dan manajemen perusahaan secara keseluruhan. Hari ini, ekonom politik akan mengatakan bahwa dunia bisnis dibantu oleh perkembangan komunikasi dan teknologi informasi, telah mengubah ruang.36 Orang, produk, dan pesan harus berada di suatu tempat dan itu adalah lokasi ini yang sedang mengalami transformasi. Disini, media luar ruang menemui signifikansinya. Spasialisasi dibangun berdasarkan ide-ide yang ditawarkan oleh sosiolog dan ahli geografi untuk mengatasi perubahan struktural yang dibawa oleh pergeseran penggunaan ruang dan waktu. Giddens mengacu pada sentralitas distanciation ruang-waktu dalam mengkaji penurunan ketergantungan kita pada waktu dan ruang.37 Giddens menyimpulkan bahwa proses ini memperluas ketersediaan ruang dan waktu sebagai sumber daya ekonomi yang bisa diolah. Manajemen media luar ruang, menempati perhitungan matematis ekonomi dalam menentukan ruangnya, tekniknya, dan lokasinya. Massey melihat demikian
35
Lihat Karl Marx, Karl Marx on Society and Social Change, University of Chicago Press, 1973, hlm. 101. 36 Manuel Castells, The Internet Galaxy, Reflections on the Internet, Business and Society. Oxford, Oxford University Press, 2001, hlm. 76. 37 Anthony Giddens, The Consequences of Modernity, Stanford University Press, 1990, hlm. 81.
31
pentingnya komunikasi dalam ruang sebagai pengaruh dari "kekuatangeometri."38 Komunikasi adalah pusat spasialisasi karena komunikasi dan seluruh teknologi informasi mengandalkan fleksibilitas ruang demi kontrol atas seluruh industri dalam media, komunikasi, dan sektor informasi itu sendiri. Ekonomi politik
komunikasi
secara
tradisional
memerlukan
spasialisasi
sebagai
perpanjangan kelembagaan kekuasaan korporasi dalam industri komunikasi. Agar lebih memudahkan, periksa matriks berikut:
Matriks Konseptual Penelitian Konsep Penyusunan Kebijakan
Makna Proses elaborasi norma dan panduan yang dilakukan melalui serangkaian prosedur dan protokol penyusunan kebijakan yang baku.
Kebijakan Reklame
Muatan norma dan panduan negara atas reklame yang dituangkan melalui regulasi.
Tata Ruang Penataan Reklame spasial/ruang kota dan reklame dalam desain kebijakan media luar ruang.
Indikator Indikator utama adalah sesuai tidaknya penyusunan kebijakan Perwali 56 dan 57 dengan pedoman penyusunan peraturan (UU 10 th 2004, UU 32 th 2004, dan Permendagri 16 th 2006). Indikator utama terletak pada seberapa lengkap kebijakan Perwali mengatur aspek ekonomi; tata-letak, konten-materi, dan kualitas konstruksi/medium. Indikator utamanya, kesesuaian dengan RDTRK-RTRK.
Peraturan/Regulasi UU 10 Th 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan; UU No 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Permendagri No 16 Th 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009; Perwali 56 & 57 Surabaya
Dalam konteks umum: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.34/2006 & No.20/PRT/M/2010,
38
Doreen Massey, Social Structures and the Geography of Production, 1992, Polity press, hlm. 133. Bandingkan juga, dengan tulisan Massey yang lain, “Politics and Space/Time”, dalam New Left Review I/196, November-December 1992.
32
Pajak Reklame
PAD
Ruang Publik/Public Spaces
Privatisasi
Materi peraturan media luar ruang yang menyertakan besaran angka yang telah ditetapkan untuk dibayar oleh wajib pajak reklame. Hasil akumulasi dari arus masuk pendapatan dari suatu daerah. Portofolio pendapatan daerah secara rutin ditingkatkan dari tahun ke tahun. Ruang bebas dalam suatu wilayah yang diperuntukkan bagi sebesar-besarnya aktifitas publik.
Penguasaan dominan atas suatu barang publik. Bentuk teknis dari privatisasi dapat berupa monopoli maupun oligarkis.
Indikator utamanya adalah seberapa sesuai besaran pajak dengan matematika anggaran (dapat dilihat lewat PP 65 th 2001).
Dalam konteks khusus: Perwali 56 & 57 Surabaya. RDTRK-RTRK PP nomor 65 tahun 2001 mengenai standar dan nilai sewa reklame.
Indikator utama: i) UU no 28 tahun 2009; laporan keuangan PP no 65 tahun 2001 Pemerintah Kota; ii) target PAD; iii) Realisasi PAD; iv) proyeksi PAD.
Indikator: apakah peraturan/regulasi menjamin kualitas konstruksi media luar ruang, bagaimana penempatannya dari aspek etis-estetis, bagaimana muatan/kontennya dan manfaatnya bagi publik. Indikator: i) besar kepemilikan biro reklame kota Surabaya; ii) sebaran naik dan turunnya nilai/omzet reklame.
Perwali 56 Surabaya
&
57
UU Persaingan Usaha; Perwali 56 & 57 Surabaya
33
1.6.
Metodologi Penelitian
1.6.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang diambil dalam riset ini adalah studi kasus. Metode ini dipilih bukan hanya karena sifat khas dan spesifik dari locus dan setting penelitian kota Surabaya, melainkan juga kebutuhan atas pemahaman yang utuh dari kasus dan konteksnya dalam kota. Dalam dimensi kualitatif, metode ini juga membantu peneliti dalam hal eksplorasi kompleksitas yang terjadi dalam kasus di Surabaya. Desain studi kasus dalam penelitian ini mengambil bentuk desain instrinsik, karena sifat partikular dan khusus yang ada dalam kasus penelitian ini, tidak memungkinkannya untuk ditarik generalisasi pada kasus lain. Sementara tipe studi kasus yang dipilih adalah tipe deskriptif, dengan tujuan utama menghadirkan analisis komplit atas jawaban penelitian dan konteks yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian kebijakan komunikasi yang peneliti pilih adalah analisis atas proses kebijakan. Tipe ini dipilih karena kasus kebijakan media luar ruang di Surabaya yang teramat kompleks pada level proses perumusan kebijakan tersebut.
34
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipakai meliputi : 1. Studi Dokumen/Literatur: digunakan untuk menganalisis beberapa dokumen dan manuskrip perundang-undangan Perwali 56 dan 57, serta naskah akademik atas peraturan-peraturan yang bersangkutan. Beberapa dokumen ini dianalisis untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran pemerintah dan DPRD selaku struktur di dalam dinamika kebijakan komunikasi yang mengatur media luar ruang di Surabaya. Analisis atas dokumen media massa berkaitan dengan Perwali juga penting guna memberikan variasi data dan pendalaman konteks. 2. Indepth interview: wawancara mendalam dilakukan dengan key person yang dijadikan narasumber yang memahami substansi persoalan yang dibahas dalam tesis penelitian ini. Terutama deskripsi mengenai mekanisme produksi kebijakan dan posisi pemerintah terhadap isu-isu media luar ruang. Narasumber penelitian yang diwawancarai antara lain anggota DPRD (dipilih berdasar kriteria: pengusung interpelasi dan impeachment; berasal dari Komisi khusus yang berkaitan dengan area pengaturan Perwali), Walikota (subjek yang bertanggung jawab penuh atas Perwali), Staf Ahli Walikota (yang terlibat dalam memberi pertimbangan akademis atas terbitnya Perwali), Korporasi (perusahaan reklame/media luar ruang di Surabaya) dan Akademisi (penimbang dan pembahas naskah Perwali). 35
3. Observasi: Observasi dilakukan dengan mengamati langsung implementasi dan dampak yang dihasilkan dari kebijakan komunikasi media luar ruang di Surabaya. Juga dilakukan pengamatan terhadap praktik dan operasi teknis dari kebijakan tersebut dalam konteks Surabaya. Lihat matriks berikut: Metode Pengumpulan Data Studi/review Dokumen
Indepth Interview
Observasi
1.6.3.
Sumber - Perwali 56 dan 57; - Naskah akademik atas Perwali 56 dan 57; - Dokumen korporasi media luar ruang - Pemberitaan media massa - Anggota DPRD - Walikota Surabaya - Staf ahli walikota Surabaya - Pihak Perusahaan Reklame - Akademisi - Praktik-implementasi kebijakan Perwali
Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Pasca pengumpulan data selesai dikerjakan, maka ada dua tahap pengolahan data. Pertama, reduksi data. Data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi dokumen/literatur, dipilih dan diharapkan dapat memberikan data siap pakai. Reduksi dilakukan untuk menilai relevansi data yang telah dikumpulkan, dan membuang beberapa data residu dan redundan yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian. 36
Kondisi ini adalah syarat bagi tahap kedua, yakni kategorisasi data. Datadata yang berhasil dikumpulkan dijabarkan dalam bentuk kategori-kategori agar mempermudah proses verifikasi. Pada tahap ini diperoleh sketsa kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis. Kategorisasi data ditentukan berdasar variabelvariabel yang menjadi pokok pertanyaan penelitian. Misalnya, kategorisasi mengenai konfigurasi aktor; kepentingan ekonomi korporasi media luar ruang; dan sebagainya.
1.6.4. Analisis Data Analisis data dikerjakan melalui penepatan pola dan hubungan antar kategori dalam tahap pengolahan data. Wilayah ini biasanya disebut sebagai interpretasi data. Pada tahap ini data yang telah selesai dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing. Setelah pengelompokan ini selesai, kumpulan data dianalisis melalui pisau teoretik yang telah ada dalam bab pertama ini, dikonseptualisasikan, dan difokuskan guna mencari jawaban penelitian. Berikutnya, peneliti akan melakukan display data, dimana setelah serangkaian proses tersebut peneliti kemudian menuangkan data dalam bentuk tulisan. Bagian ini menyajikan presentasi naratif maupun visual.
37