BAB I PENDAHULUAN
1.1 Judul “Sampek Gepeng Melok Bantheng” (Studi tentang Perilaku Pemilih Partai PDI Perjuangan di Kabupaten Malang) 1.2 Latar Belakang Negara Indonesia meruapakan salah satu Negara yang baru saja membangun demokrasi setelah keluar dari otoritarianisme orde baru pada tahun 1998. Meski demikian, hingga kini banyak kalangan berpendapat bahwa Indonesia masih dalam tahap “demokratisasi”. Artinya, demokrasi yang sedang dilaksanakan belum benar-benar berdiri secara mantap. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki, bukan hanya dari segi sistem politik melainkan juga budaya, hukum, dan perangkat-perangkat lainnya. Secara sederhana, Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal tersebut berarti bahwa seluruh rakyat tanpa terkecuali memiliki kedudukan dan hak yang setara dalam serangkaian proses politik. Secara umum terdapat dua bentuk demokrasi yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung yakni setiap rakyat memberikan suara atau pendapat dalam menentukan keputusan. Di era modern, sistem ini menjadi kurang efektif mengingat populasi Negara semakin besar dan rakyat modern cenderung tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari semua permasalahan politik Negara. Demokrasi perwakilan yakni seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.
12
Semenjak jatuhnya pemerintahan orde baru, Indonesia melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang demokratis pada tahun 1999 untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik dan suara terbanyak diperoleh oleh partai PDI Perjuangan. Selanjutnya, pemilu pada tahun 2004 untuk pertama kalinya rakyat memilih presiden dan wakilnya secara langsung. Selain itu, rakyat juga memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilu pada tahun ini diikuti oleh 24 partai politik dan dimenenagkan oleh partai Golkar. Sedangkan pemilu pada tahun 2009 diikuti oleh 38 partai politik dan 6 partai politik lokal di Aceh. Pada pemilu ini dimenangkan oleh partai Demokrat (PD). Pada pemilu terakhir yang dilakukan pada pertengahan tahun 2014 diikuti oleh 12 partai politik dan 2 partai lokal di Aceh. Suara terbanyak pada pemilu tersebut yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Situasi pemilu pada tahun 1999 hingga 2014 diatas sangat berbeda dengan situasi pemilu pada masa orde baru (1977,1982,1987,1992,1997). Pada masa orde baru hanya diikuti oleh dua partai politik dan satu Golongan Karya sesuai dengan peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975. Masyarakat menjadi terbatas dalam memilih calon yang bertandang. Selain itu banyaknya intervensi dari salah satu peserta pemilu membuat pilihan rakyat menjadi seragam. Sedangkan, pemilu pada masa reformasi pilihan rakyat mulai heterogen. Banyak terbentuk partai – partai politik dan persaingan antar kandidat menjadi semakin ketat.
13
Jika dicermati lebih dalam, fenonema pemenangan suatu partai secara nasional pasca runtuhnya Orde Baru tidak selalu dibarengi pemenangan pada setiap daerah. Terbukti pada salah satu daerah dimana setiap pemilu berlangung selalu dimenangkan oleh partai berlogo banteng yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Padahal hasil pemilu secara nasional tidak selalu dimenangkan oleh partai tersebut. Adapun daerah yang dimaksud yakni wilayah kabupaten Malang, provinsi Jawa Timur. Semenjak diadakannya pemilu legislatif tahun 1999 hingga tahun 2014, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) selalu memenangkan ajang kompetisi tersebut khususnya di wilayah kabupaten Malang. Berikut hasil rekap pemilu legislatif di kabupaten Malang sejak tahun 1999 – 2014 :
14
HASIL PEMILU LEGISLATIF KABUPATEN MALANG TAHUN 2014 HANURA PBB PKPI 4% PDI Perjuangan 0% 1% PPP NASDEM PAN 3% 5% PKB DEMOKRAT 6%
GOLKAR PKS GERINDRA 11%
PKS 4%
PDI Perjuangan 25% NASDEM 8%
GERINDRA DEMOKRAT PAN PPP
GOLKAR 17%
PKB 16%
HANURA PBB PKPI
Sumber : KPU Kab. Malang Data tersebut menunjukan bahwa hasil pemilu legislatif dari tahun 1999 hingga 2014 di kabupaten Malang selalu dimenangkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Kemenangan yang diperoleh pastinya bukan didapat secara kebetuluan. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa partai tersebut selalu menang pada setiap gelaran pemilu. Faktor tersebut bisa berasal dari strategi yang digunakan oleh partai maupun dari masyarakat sendiri selaku pemilih. Pada gelaran Pemilu 2014 sendiri, Kepala Daerah Kabupaten Malang yang berasal dari Partai Golkar berusaha menggeser dominasi kemenangan yang selalu didapatkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Kepala daerah beserta jajaran struktural dari tingkat atas hingga tingkat desa dikerahkan untuk pemenangan Golkar. Akan tetapi, hasil kemenangan tetap diraih oleh PDI Perjuangan dengan perolehan suara 25% dan disusul Golkar dengan 17% suara.
15
Kemenangan yang diperoleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dari awal diselenggarakan pemilu hingga tahun terakhir pemilu digelar menunjukan bahwa partai tersebut memiliki kekuatan cukup tinggi di daerah kabupaten Malang. Terlebih pada masyarakat kabupaten Malang terdapat istilah “sampek gepeng melok bantheng” (sampai akhir hayat tetap ikut banteng). Istilah tersebut mengindikasikan terkait loyalitas masyarakat terhadap tersebut dibanding dengan partai yang lain. Prinsip tersebut sudah lama berkembang dan masih berlaku hingga sekarang. Kultur yang dibangun partai banteng ini seakan sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat kabupaten Malang. Partai yang yang identik dengan partainya wong cilik serta tidak membawa simbol-simbol agama atau ras memiliki nilai tersendiri di mata masyarakat. Adanya pemikiran “sampek gepeng melok bantheng” (sampai akhir hayat tetap ikut banteng) kemudian mematahkan aspekaspek lain terkait penilaian terhadap partai tersebut. Dalam penelitian ini ingin mengungkap lebih jauh terkait aspek-aspek yang mempengaruhi masyarakat kabupaten Malang tetap loyal dalam memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sejak pasca orde baru hingga era reformasi sekarang. Seperti yang kita ketahui bahwa era reformasi jauh lebih terbuka dan bebas dalam mengakses segala informasi yang berkembang. Masyarakat lebih leluasa dalam menilai kinerja partai dalam program dan kinerja yang telah dilakukan. Namun demikian, kebebasan dan kemudahan yang ada tidak mempengaruhi sikap perilaku pemilih di kabupaten Malang.
16
Selain dikenal dengan istilah yang berlaku “sampek gepeng melok bantheng”, peneliti ingin mengungkap lebih bahwa loyalitas pemilih tidak terbatas pada istilah yang berkembang. Selain meneliti secara langsung pada masyarakat yang bersangkutan, peneliti juga akan mencari data terkait strategi apa saja yang dilakukan oleh partai yang bersangkutan untuk memenangkan gelaran pemilu yang berlangsung. 1.3 Rumusan Masalah Mengapa Partai PDI Perjuangan selalu memenangkan kontestasi Pemilu di Kabupaten Malang pasca orde baru (1999-2014)? 1.4 Tujuan Penelitian a. Mengetahui penyebab kemenangan beruntun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) di Kabupaten Malang pasca Orde Baru (1999-2014) b. Menemukan sebuah formula untuk mempertahankan suara partai politik di suatu daerah basis. c. Mengidentifikasi perilaku pemilih di Kabupaten Malang. 1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan penelitian akademis terutama yang membahas terkait studi perilaku pemilih.
17
b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait alasan bertahannya perilaku pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) di Kabupaten Malang. 1.6 Kerangka Teori 1.6.1
Pemilihan Umum Isu tentang perwakilan telah memunculkan kontroversi politik yang
mendalam dan terus-menerus. Sampai saat ini, belum ada teori tunggal yang disepakati tentang perwakilan. Akan tetapi, terdapat sejumlah teori yang saling bersaing, masing-masing dilandaskan pada asumsi-asumsi ideologis dan politis tertentu. Terdapat empat model perwakilan yang telah dikembangkan yakni : Perwakilan, Delegasi, Mandat, dan Kemiripan. Empat model perwakilan diatas, pada intinya perwakilan secara intrinsik terkait dengan pemilihan-pemilihan dan voting. Pemilihan sering dianggap sebagai jantung dari demokrasi. Menurut Joseph Schumpeter, demokrasi sebagai sebuah cara atau mekanisme untuk mengisi jabatan publik melalui sebuah perlombaan untuk memperoleh dukungan rakyat. Demokrasi berarti bahwa rakyat memiliki kesempatan untuk menerima atau menolak orang-orang yang mencalonkan diri untuk memimpin mereka.1 Pemilihan memiliki beragam fungsi. Di satu sisi, mereka memiliki fungsi bottom up, seperti rekrutmen politik, perwakilan, pembentukan pemerintahan, dan memberi pengaruh pada kebijakan. Di sisi lain, para teoretikus radikal 1
Andrew Heywood. 2014. Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 357
18
menekankan
fungsi-fungsi
top
down,
seperti
pembangunan
legitimasi,
pembentukan opini publik, dan penguatan elite. Berikut penjelasan lebih lanjut : a. Rekrutmen para politisi Di Negara demokrasi, pemilihan merupakan sumber utama rekrutmen politik, juga merupakan proses dimana partai-partai mencalonkan para kandidat. Para politisi yang dipilih cenderung yang memiliki bakat dan ketrampilan dalam melaksanakan tugas-tugas konstituensi. b. Pembentukan pemerintahan Pemilihan yang secara langsung membentuk pemerintahan hanya terdapat di negara-negara seperti AS, Perancis, dan Venezuela, dimana eksekutif politik dipilih secara langsung. c. Menyediakan perwakilan Pemilihan merupakan sarana dimana tuntutan-tuntutan disalurkan dari rakyat kepada pemerintahan. Akan tetapi, para pemilih tidak memiliki sarana yang efektif untuk menjamin bahwa mandat dari mereka dilaksanakan. d. Mempengaruhi kebijakan Pemilihan jelas menghalangi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan yang radikal dan tidak populer. Akan tetapi, hanya dalam kasus-kasus luar biasa, ketika isu
tunggal
mendominasi
kampanye
politik,
disitulah
dapat
dikatakan
mempengaruhi kebijakan secara langsung. e. Mendidik para pemilih Proses kampanye menyediakan bagi para pemilih banyak ragam informasi tentang partai, calon kandidat, kebijakan-kebijakan, sistem politik, dan sebagainya. Akan
19
tetapi, proses pendidikan tersebut akan terwujud jika terjadi suatu debat atau diskusi pada masyarakat. f. Membangun legitimasi Pemilihan dapat dipakai sebagai proses pembenaran bagi sebuah sistem kekuasaan. g. Memperkuat para elite Pemilihan juga dapat digunakan sebagai sarana para elite untuk memanipulasi dan mengendalikan masyarakat. 1.6.2
Partai Politik Penelitian tentang perilaku pemilih dalam sebuah partai politik, maka
perlu meninjau juga terkait tugas dan fungsi pokok dari partai politik itu sendiri. 1.6.2.1 Pengertian Partai Politik Dalam kehidupan politik modern yang kompleks serta menuntut diterapkannya demokrasi perwakilan, keberadaan partai politik merupakan suatu keharusan2. Adanya partai politik akan lebih mudah mengkoordinir dan menstabilkan proses politik di dalam sistem politik. Selain itu, partai politik juga berfungsi untuk memobilisasi masyarakat, mewakili kepentingan tertentu, serta menyediakan sarana edukasi kepemimpinan politik secara absah dan damai. Terdapat berbagai macam definisi partai politik. Salah satunya menurut Sigit Pamungkas, partai politik adalah sebuah organisasi untuk memperjuangan nilai atau ideologi tertentu melalui penguasaan struktur kekuasaan dan kekuasaan
2
Ware, Alan. Political Parties and Parties System.dalam Ichlasul Amal. 1998. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta : Tiara Wacana, hlm. XI
20
itu diperoleh melalui keikutsertaanya di dalam pemilihan umum 3. Dari definisi tersebut terlihat bahwa partai politik merupakan sebuah organisasi yang memiliki prinsip-prinsip tertentu seperti adanya kepemimpinan dan keanggotaan, devisionalisasi dan spesifikasi, melakukan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan adanya aturan main yang mengatur perilaku anggota dan organisasi. Selain adanya mekanisme tersebut, partai politik juga memiliki nilai atau ideologi tertentu sebagai corak atau ciri khas yang membedakan dirinya dengan partai lain. Adanya ideologi yang dianut juga berfungsi untuk memandu perilaku partai
dalam
menjalankan
fungsi-fungsinya
dan
mempermudah
dalam
menganalisis sebuah realitas. Semua tujuan yang ingin dicapai partai politik tersebut bisa diwujudkan melalui penguasaan struktur kekuasaan, sedangkan kekuasaan struktur tersebut bisa diperoleh melalui pemenangan pemilu. Secara umum, perhatian utama partai politik adalah pada saat pemilu. Pada momen tersebut, mereka dengan sepenuh waktu berkomitmen pada aktivitas politik dan memobilisasi massa dalam jumlah yang sangat besar.4 1.6.2.2 Fungsi Partai Politik Dari berbagai studi tentang partai politik, fungsi partai tidak selalu konstan dan cenderung mengalami transformasi. Menurut Key (1964:163-164) ada tiga kerangka bagian tentang partai politik yakni partai di pemilih (party in electorate),
3
Sigit Pamungkas. 2011. Partai Politik, Teori dan Praktek di Indonesia. Yogyakarta: Institute of Democracy and Wefarism. hlm 5 4 Ibid, hlm 6
21
partai sebagai organisasi (party organization), dan partai pada institusi pemerintah (party in the government)5. Tabel 1 Tiga Bagan Partai Politik Organisasi Partai
Partai di Pemerintahan
(komite partai, pegawai, pekerja)
(para pejabat pemerintahan)
Partai di Elektorat (identifier dan pemilih partai) Sumber : Bibby (1992:2); Beck dan Sorauf (1992:11)
Bagan pertama, partai di elektorat (parties in the electorate) memiliki 4 (empat) fungsi yakni : 1. Menyederhanakan pilihan bagi pemilih. Rata-rata pemilih mengalami kesulitan dalam memahami semua persoalan dan mengkonfrontasi berbagai isu-isu dalam pemilu. Partai politik membantu untuk membuat politik “user friendly” bagi para pemilih yakni dengan menunjukan partai mana yang bisa mewakili kepentingannya. 2. Sebagai pendidikan politik warga Negara. Pada konteks ini partai politik adalah mendidik, menginformasikan, dan membujuk masyarakat untuk berperilaku tertentu.
5
Sigit Pamungkas. Op.cit hlm 15
22
3. Membangkitkan simbol identifikasi dan loyalitas. Keterikatan partisan terhadap partai politik dapat melestarikan dan menstabilkan pemerintahan demokratis, menciptakan kesinambungan pilihan pemilih dan hasil pemilu. 4. Memobilisasi rakyat untuk berpartisipasi. Partai politik memainkan peran penting dalam mendapatkan orang untuk memilih dan berpartisipasi dalam proses pemilihan. Partai politik memobilisasi warganegara untuk terlibat dalam kampanye, serta berpartisipasi
dalam aspek-aspek lain pada proses
demokratisasi. Bagan kedua, partai sebagai organisasi (parties as organization) juga memiliki 4 (empat) fungsi yakni : 1. Rekrutmen kepemimpinan politik dan mencari pejabat pemerintahan. Pada fungsi ini, partai politik aktif mencari, meneliti, dan mendesain kandidaat yang akan bersaing dalam pemilu. Desain rekrutmen menjadi aspek penting yang harus dipikirkan untuk menjalankan fungsi ini. 2. Pelatihan elit politik. Partai politik dalam hal ini melakukan pelatihan dan pembekalan terhadap elit yang prospektif untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Fungsi ini menjadi bagian vital kesuksesan kerja dari sistem demokrasi. 3. Pengartikulasian kepentingan politik. Partai politik menyuarakan kepentingan pendukungnya melalui pilihan posisi dalam berbagai isu politik dan dengan mengekspresikan pandangan pendukungnya dalam proses pemerintahan. 4. Agregasi kepentingan politik. Fungsi agregasi kepentingan menunjuk pada aktivitas partai untuk menggabungkan dan menyeleksi tuntutan kepentingan
23
dari berbagai kelompok sosial ke dalamalternatif-alternatif kebijakan atau program pemerintahan. Bagan ketiga, partai di pemerintahan (parties in government) memiliki 7 (tujuh) fungsi yakni : 1. Menciptakan mayoritas pemerintahan. Apabila dalam pemerintahan tidak ada mayoritas absolut maka koalisi partai adalah sebuah keniscayaan. Kunci penting terbentuknya koalisi adalah distribusi sumberdaya partai dan posisi kebijakan partai. 2. Pengorganisasian pemerintahan. Partai memonitor legislator dan menegakkan disiplin partai, mengkontrol pemilihan kepemimpinan parlemen dan alat kelengkapannya, serta
mendistribusikan sumberdaya parlemen kepada
legislator. 3. Implementasi tujuan kebijakan. Pelaksanaan fungsi ini dibentuk dari transformasi manifesto partai dan janji kampanye. 4. Mengorganisasikan ketidaksepakatan dan oposisi. Harapannya, partai oposisi dapat menarik simpati pemilih sehingga dipemilihan berikutnya kekuasaan dapat diambil alih. 5. Menjamin
tanggungjawab
tindakan
pemerintah.
Partai
penguasa
bertanggungjawab terhadap berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah. 6. Kontrol terhadap administrasi pemerintahan. Peran ini diwujudkan dalam keterlibatan partai dalam menyeleksi sejumlah individu yang akan menempati jabatan politik tertentu yang sudah disepakati.
24
7. Memperkuat stabilitas pemerintahan. Kesatuan partai politik perlu dipelihara agar dapat memperkuat stabilitas pemerintahan. 1.6.2.3 Genealogi Kepartaian di Indonesia Sebagai basis politik, pembilahan sosial yang ada di Indonesia bertransformasi kedalam sistem kepartaian. Dengan kata lain, kepartaian di Indonesia mempresentasikan pembilahan sosial yang ada dalam masyarakat. Sedangkan sebagai zona dukungan partai, partai politik di Indonesia melakukan mobilisasi isu-isu kampanye yang merepresentasikan kepentingan kolektif dari pembilahan sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semua pembilahan sosial yang ada di Indonesia kemudian bertransformasi kedalam kepartaian dan sebaliknya. Berdasarkan pembilahan sosial, terdapat enam jenis partai : Partai Nasionalis, Partai Progamatik, Partai berbasis Agama, Partai berbasis Kelas, Partai Pseudo Agama, dan Partai kedaerahan.6 Pada partai Nasionalis, sosok Soekarno telah ditempatkan sebagai peletak dasar gagasan nasionalisme Indonesia. Oleh karena itu, hampir semua partai nasionalis membuat tanda atau istilah yang ada kaitannya dengan apa yang pernah diletakkan Soekarno. Gagasan Soekarno tampaknya menjadi magnet bagi politisi dan rakyat untuk berhimpun didalamnya. Berbeda dengan partai berbasis agama yang meletakkan dasar agama dalam argument bernegara, partai nasionalis berusaha mensekulerkan Negara. Adapun contoh partai nasionalis yakni PNI dan PDI Perjuangan.
6
Sigit Pamungkas. Op.cit hlm 113
25
Partai progamatik menitikberatkan pada solusi atas masalah tanpa harus mempersoalkan jenis ideologi yang dianut.
Partai ini berusaha keluar dari
kerumitan ideologi partai dalam beberapa hal kontraproduktif. Adapun contoh partai progamatik yakni Golkar, Demokrat, Hanura, dan Gerindra. Partai berbasis agama senantiasa muncul dalam kancah perpolitikan di indoesia karena mereka menganggap bahwa partai sekuler dipandang tidak mampu menjadi articulator yang baik bagi kepentingan kaum agamawan. Adapun contoh partai tersebut yakni Masyumi, NU, PPP, dan PKS. Sedangkan partai Pseudo Agama merupakan partai dengan basis sosial dari kelompok keagamaan tertentu tetapi ekspresi politiknya bersifat inklusif. Adapun contoh partai pseudo agama yakni PAN dan PKB. Partai berbasis kelas di Indonesia tidak cukup berkembang. Masa keemasan partai berbasis kelas adalah pada pemilu 1955 dimana PKI saat itu berhasil menduduki empat besar dalam konstelasi politik Indonesia. Terakhir, partai berbasis kedaerahan di Indonesia juga tidak mendapat dukungan secara siginifikan, sehingga mereka kurang berkembang. 1.6.3
Pendekatan Perilaku Pemilih Dalam melakukan penelitian terkait perilaku pemilih, penting memahami
terkait macam-macam pendekatan dalam memahami fenomena tersebut. Selama ini, penjelasan terkait perilaku pemilih atau voting behavior didasarkan oleh dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan pendekatan psikologi. Pendekatan sosiologis biasa disebut dengan mahzab Colombia dan pendekatan psikologi biasa disebut sebagai mahzab Michigan. Mahzab pertama lebih menekankan peranan
26
faktor-faktor sosiologis dalam membentuk perilaku politik seseorang, sementara mahzab kedua lebih mendasarkan faktor psikologis seseorang dalam menentukan perilaku politiknya. 7 Namun, selain dikenal dua pendekatan diatas ada pendekatan lain yakni pendekatan rasional. Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan terkait variasi pendeketan dalam memahami perilaku pemilih : 1.6.3.1 Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis berasal dari Eropa yang kemudian dikembangkan oleh ilmuwan sosial Amerika yang mempunyai latar belakang pendidikan Eropa. Pendekatan ini menjelaskan bahwa faktor karateristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh cukup penting dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Menurut David Denver, pendekatan ini menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial dapat diukur dengan melihat jenis pekerjaan, pendidikan, agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Sedangkan pengelompkan sosial dapat dilihat dari pengelompokan formal seperti organisasi keagamaan, organisasi profesi, kelompok okupasi, dan sebagainya yang diikuti, serta pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, atau kelompok kecil lainnya. Kelompok-kelompok tersebut dipandang memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang.
7
Muhammad Asfar. 2006. Pemilu dan Perilaku Memilih 1995-2004. Pusat Studi Demokrasi dan HAM : Surabaya. Hlm. 137
27
Gerald Pomper memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior ke dalam dua variable, yaitu variable predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Predisposisi pemilih dengan keluarga mempunyai hubungan siginifikan dengan perilaku pemilih seseorang. Preferensi politik keluarga akan berpengaruh pada preferensi politik anak. Predisposisi sosial-ekonomi ini bisa berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakeristik demografis, dan semacamnya. 8 Ikatan-ikatan sosiologis semacam ini sampai sekarang secara teoritis masih cukup signifikan untuk melihat perilaku pemilih. Selain penelitian yang dilakukan oleh Gerald Pomper, penelitian terkait aspek sosiologis dari perilaku pemilih juga dilakukan oleh Lipset. Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya hubungan antara agama dengan perilaku pemilih. Di Amerikan Serikat misalnya, penganut agama Katholik dan Yahudi, kulit hitam, dan Hispanic merupakan pendukung setia Partai Demokrat. Sementara kaum Protestan Anglo Saxon memberikan dukungan pada partai Demokrat. 9 Aspek geografis juga mempunyai hubungan dengan perilaku pemilih. Penelitian yang dilakukan oleh Petterson dan Rose di Norwegia menunjukan bahwa ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang. Para kandidat umumnya lebih diterima dan dipilih oleh para pemilih yang berasal dari daerah
8 9
Muhammad Asfar. op. cit hlm 138 Muhammad Asfar. loc.cit
28
yang sama. Patterson dan Rose menyebut perilaku memilih ini sebagai localism atau perilaku memilih friends and neighbors.10 Pada pendekatan sosiologis, sedikit sekali dibahas terkait proses sosialiasi. Meskipun pengaruh dari sosialisasi bukan tidak relevan pada pendekatan ini, Penjelasan berbasis sosial cukup masuk akal sejauh kepentingan kelompok dapat membantu membentuk kesetiaan partai. Sistem partai dipandang merefleksikan sistem kelas, dimana kelas-kelas menengah menyediaan basis pemilih bagi partaipartai sayap kanan dan kelas-kelas pekerja menyediakan basis pemilih bagi partaipartai sayap kiri. 1.6.3.2 Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis berkembang di Amerika Serikat melalui Survey Research Centre di Universitas Michigan. Pedekatan ini muncul akibat reaksi atas ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap sukar diukur secara pasti dan mengesampingkan adanya proses sosialisasi. Menurut pendekatan ini, sosialisasi merupakan faktor penentu perilaku pemilih bukan karakteristik sosiologis. 11 Sosialisasi politik adalah proses dimana individu-individu memperoleh keyakinan dan nilai-nilai politik dan dengan mana mereka ini ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keluarga dan sekolah biasanya dipandang sebagai agen-agen primer sosialisasi politik, sementara tempat kerja, kelompok sebaya, dan media dipandang sebagai agen-agen sekunder sosialisasi politik. Ketertarikan dalam sosialisasi politik mencapai puncaknya selama apa yang 10 11
Muhammad Asfar. op. cit hlm 140 Muhammad Asfar.op.cit hlm 141
29
disebut revolusi perilaku, ketika rangsangan luar dipandang menjelaskan (dan mungkin menentukan) sikap atau perilaku-perilaku politik. 12 Pada pendekatan psikologis lebih mengutaman faktor sosialiasasi dari agen-agen primer (keluarga dan sekolah) yang mampu mempengaruhi perilaku pemilih. Agen sekunder dipandang tidak teralu berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan memilih. Sehingga, dasar mereka menentukan pilihan lebih kepada kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi yang mereka terima. Model ini memberikan penekanan yang besar pada sosialisasi politik awal dengan melihat keluarga sebagai sarana utama dimana loyalitas politik terbentuk. Pendekatan psikologis juga biasa disebut dengan pendekatan identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yanga ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Konkeretnya, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.13 Para pemilih dipandang sebagai masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah partai, dalam pengertian sebagai para pendukung jangkapanjang yang menganggap partai tersebut sebagai „partai mereka‟. Voting karenanya merupakan manifestasi partisanship, bukan sebuah hasil dari perhitungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kebijakan, personalitas, kampanye, dan pemberitaan media.
12 13
Andrew Heywood. 2014. Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm 312 Ramlan Surbakti. 2007. Memahami ilmu politik. Jakarta : PT. Gramedia. Hlm 146
30
1.6.3.3 Pendekatan Rasional Pendekatan rasional melihat adanya faktor yang berbeda dari pendekatan sosiologis maupun psikologis. Kedua pendekatan sebelumnya lebih menempatkan pemilih sebagai objek yang tidak mempunyai kehendak bebas dalam menentukan pilihannya. Mereka memiliki pilihan berdasarkan pengaruh faktor eksternal seperti lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, dan sebagainya. Pemilih seakan-akan sudah ditentukan ruang geraknya dalam sebuah lapisan sosialnya. 14 Pendekatan ini lahir didasari karena adanya fenomena dalam suatu kelompok yang secara psikologis dan sosial memiliki karakteristik yang sama, namun memberikan suara berbeda pada setiap pemilu. Ini berarti, ada variable lain yang mempengaruhi perilaku pemilih seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif dan terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Dengan demikian, perilaku pemilih tidak harus permanen berbadasarkan karakteristik sosiologis dan identifikasi partai, tetapi bisa berubah-ubah sesuai dengan waktu dan peristiwa yang menyangkut persoalan-persoalan mendasar. Dalam hal ini, isu-isu politik menjadi pertimbangan penting bagi para pemilih. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Artinya, para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan rasional mereka. Pada pemilih rasional lebih mempertimbangkan kinerja atau kebijakan dalam suatu partai dalam menangani dan memberikan solusi dari suatu masalah.
14
Muhammad Asfar. op.cit hlm 144
31
Mereka tidak terlalu memperdulikan faktor ideologi suatu partai politik atau kontestan. Faktor lain seperti paham, latar belakang, asal-usul, nilai tradisional, budaya, agama, dan psikografis memang dipertimbangkan melainkan tidak terlalu signifikan. Hal lain yang dipertimbangkan yakni apa yang bisa dan yang telah dilakukan oleh sebuah partai atau seorang kontestan dibandingkan faham dan nilai partai dan kontestan. Oleh karena itu, jika sebuah partai politik dan calon kandidat ingin menarik perhatian pemilih dalam kategori ini, maka mereka harus mengedepankan
solusi
logis
akan
permasalahan
ekonomi,
pendidikan,
kesejahteraan, sosial-buadaya, hubungan luar negeri, pemerataan pendapatan, disintegrasi sosial, dan lain-lain. Pemilih jenis ini tidak segan-segan beralih dari suatu partai atau calon kadindat satu ke partai atau calon kandidat lain yang dianggap lebih mampu memberikan solusi.15 Berkembangnya pemilih jenis ini karena dorongan dari semangat pluralisme dan individualisme post-modernisme. Kelemahan dari pilihan rasional yakni mereka mengaburkan para pemilih individual dari konteks sosial dan kebudayaannya. Dengan kata lain, hingga batas tertentu, kemampuan untuk mengevaluasi isu-isu dan mengkalkulasi kepentingan diri dibangun oleh ikatanikatan partai dan loyalitas-loyalitas kelompok. 1.6.4
Teori sosisal Cliffort Geertz Cliffort Geertz merupakan seseorang yang melakukan penelitian di daerah
Mojokunto, Jawa Timur. Dalam penelitian tersebut, Cliffort Geeertz memberikan 15
Andrew Heywood.op.cit. hlm 384
32
gambaran yang mendalam terhadap karakteristik masyarakat Jawa di masa lampau. Perpaduan antara kebudayaan Jawa dengan agama yang kental menghasilkan tiga varian struktur sosial yang berbeda. Struktur sosial tersebut yakni Kaum Abangan, Santri, dan Priyayi. 1.6.4.3 Kaum Abangan Varian pertama yakni Kaum Abangan yang selalu di identikan dengan kelompok masyarakat yang masih memegang teguh budaya jawa. Dalam konteks keagamaan mereka menganut agama Islam yang mengalami percampuran dengan budaya Jawa/Hindu-Budha. Mereka sering disebut juga dengan kaum Kejawen. Varian ini biasanya kaum kecil (wong cilik) yang rata-rata hidup dibawah garis kemiskinan. Mereka biasanya bekerja sebagai petani atau buruh di pedesaan. Kaum abangan juga identik dengan tingginya kepercayaan terhadap halhal mistis serta ritual-ritual kebudayaan yang masih sangat kental. Bagi kaum abangan, slametan merupakan hal yang sangat penting demi keselamatan dan ketenangan dalam hidup. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan paling umum di dunia, pesta komunal.16 Secara spiritual, slametan bermakna sebagai wujud rasa syukur kepada sangat pencipta. Sedangkan, secara sosial slametan bisa diartikan sebagai bentuk rasa saling berbagai kepada sesama atas apa yang sudah mereka miliki. Slametan dilakukan untuk prosesi kelahiran, perkawinan, kematian, pindah rumah, panen, mimpi buruk, ganti nama, membuka pabrik, sakit, khitanan, permulaan suatu rapat
16
Geertz, Cliffortd. 2014. Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi) dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu
33
politik, dan bersih desa. Tekanan untuk masing-masing sedikit berbeda. Ada bagian yang dilakukan secara meriah, sedangkan bagian lain agak dikendorkan. Meskipun slametan pada masing-masing prosesi berbeda-beda, namun ada pola umum yang dilakukan pada slametan. Pertama, slametan umumnya dilakukan pada malam hari setelah matahari terbenam. Selalu ada hidangan khas yang berbeda-beda, sekaligus pembacaan doa Islam dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi (isi pidato berbeda-beda menurut peristiwanya). Slametan terkesan cukup ringkas dan tidak dramatis, namun sesuatu yang penting sedang berlangsung di dalamnya. Seorang abangan juga memiliki toleransi dalam kepercayaan agama. Kalau orang mengadakan slametan di bulan puasa, ia bukanlah orang kafir. Kalau orang mengira baki untuk keperluan “bersih desa”, ia tidak melakukan tindakan subversif. Kalau orang tidak percaya pada mahluk halus atau mengira bahwa Tuhan tinggal di matahari, maka itu adalah urusannya sendiri. Pada intinya, kaum abangan memisahkan antara kepercayaan keagamaan dan dunia sosial. Semua tergantung pada masing-masing individu kepercayaan mana yang akan dianut. Pada saat pemilihan umum, varian ini cenderung memilih Partai bebasis Nasionalis. Mereka cenderung menghindari partai yang berbasis agama maupun partai golongan. Partai berbasis Nasionalis dianggap bisa mempresentasikan diri mereka. Hal tersebut karena kaum abangan memiliki keyakinan akan adanya kemajukan dalam masyarakat, sehingga cenderung tidak memihak kepada partai yang condong pada satu golongan saja.
34
1.6.4.4 Santri Varian kedua yakni Santri, kelompok ini menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama Islam untuk menjalankan kehidupan. Kelompok ini biasanya diidentikan dengan para saudagar atau pedagang pasar. Sembahyang merupakan peribadatan pokok yang secara sadar dianggap sebagai tanda istimewa dari seorang yang benar-benar santri. Selain Sembahyang, ritual keagamaan lain yang harus dilaksanakan yakni mengaji, menggunakan kerudung bagi kaum wanita, dan sebagainya. Pada saat Pemilihan Umum, kelompok ini jelas memilih partai yang berbasis agama Islam sebagai sarana menyalurkan aspirasi politik mereka. Dalam konteks ini kaum santri cukup lekat dengan lingkungan pondok pesantren. Kaum santri setidaknya pernah merasakan menimba ilmu didalam sebuah pondok pesantren. Selain itu, kelompok masyarakat ini juga erat kaitannya dengan ormas Nahdlatul Ulama (NU). Di saat Orde Lama kelompok ini identik dengan partai Masyumi dan partai NU. Setelah bubarnya partai Masyumi dan partai NU, muncul Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyebut sebagai rumah politik bagi kaum muslim di era Orde Baru. Pasca Orde Baru runtuh selain PPP adapula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang berisikan kaum NU. Hal tersebut membuat kaum santri cukup dekat dengan kedua partai tersebut. 1.6.4.5 Priyayi Varian ketiga yakni Priyayi. Priyayi adalah orang yang mengerjakan pekerjaan “halus” yakni mereka yang bekerja di kantor atau instansi pemerintahan.
Golongan ini juga dikenal dengan golongan ningrat atau
35
bangsawan. Umumnya mereka tinggal di kota-kota dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Golongan priyayi lebih menghargai prestasi dibanding hal-hal mistik atau keagamaan. Golongan priyayi sangat identik dengan adanya simbol-simbol yang dimilikinya. Simbol tersebut misalnya, perbedaan penggunaan pakaian antara kaum buruh dengan kaum priyayi. Kaum buruh cenderung memakai pakaian yang kurang bagus, sebaliknya kaum priyayi memiliki pakaian yang bagus. Pada saat menonton pertunjukan seni juga dapat dilihat formasi tempat duduk diantara para penonton dimana golongan priyayi selalu duduk paling depan panggung, sedangkan kelompok lain berada di belakangnya. Dalam etika berbahasa juga bisa dilihat antara golongan priyayi dengan non priyayi. Ada beberapa tingkatkan kata mulai dari yang paling kasar hingga halus, seperti penggunakan kata jenengan, sampeyan, kowe. Dalam kehidupan priyayi, ada elemen borjuis kecil yang sumbernya sulit diduga. Di kalangan priyayi dapat ditemukan perempuan yang menyulam, menghias rumah dengan berbagai pernak-pernik yang bagus, sekaligus bergabung dalam sebuah organisasi perempuan. Selain itu, para priyayi juga menyukai kebisaan membaca buku, novel, dan majalah-majalah. Pada golongan ini, cukup banyak orang yang dipanggil Mr. (mister) atau Dr. (Doktor) karena dianggap sebagai seseorang yang pintar dan memiliki kemampuan cukup tinggi. 1.6.5
Metode Penelitian
1.6.5.1 Pendekatan Penelitian
36
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitik. Menurut Moleong, “penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.” (2004:6) Definisi menurut Moleong tersebut relevan dengan fokus penelitian terkait studi tentang perilaku pemilih PDI Perjuangan di kabupaten Malang. Faktor apa saja yang menyebabkan mayoritas pemilih kabupaten Malang selalu memilih partai berlogo banteng tersebut. Akibatnya, sejak pemilu dilakukan pasca orba hingga pada pemilu 2014, kemangan pemilu selalu didapatkan oleh PDI Perjuangan. Pada penelitian ini tidak terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data semata, tetapi meliputi juga analisa dan interpretasi tentang arti data itu secara akurat dengan membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan, mengukur dimensi suatu gejala, mengadakan klasifikasi gejala, menetapkan standar, menetapkan hubungan antara gejala-gejala yang ditemukan dan lainnnya. Kerja penelitian deskriptif bukan saja memberi gambaran tentang fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, membuat prediksi serta mendapatkan makna dari fenomena yang dikaji (Salim, 2001:93). Data lapangan yang didapatkan nantinya tidak hanya dikumpulkan, disusun, serta di analisis perbagian, melainkan juga menghubungkan antar konsep serta memprediksi dari fenomena yang dikaji. Dalam hal ini, data seperti strategi
37
apa saja yang dimiliki masing-masing aktor dalam usaha angkringan akan dihubungkan dengan teori yang mengkerangkai penelitian ini yakni teori Geertz dan konsep perilaku pemilih. Selanjutnya akan diambil prediksi serta makna dari fenomena tersebut. 1.6.5.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini yakni di Kabupaten Malang, provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi tersebut karena sesuai dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini. Selain itu, memudahkan peneliti untuk menjangkau wilayah tersebut. 1.6.5.3 Teknik Pengambilan Sample ( Unit Analisis dan Informan) Teknik pengambilan sample dalam penelitian kualitatif dimaksudkan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber. Untuk itu teknik yang diambil yakni pusposive sample (sample bertujuan). Adapun informannya yakni : 1. Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Malang. 2. Kader-kader PDI Perjuangan tingkat grassroot. 3. Sesepuh atau tokoh PDI Perjuangan. 4. Local strongman yang memiliki kedekatan dengan PDI Perjuangan. 5. Masyarakat umum. 1.6.5.4 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan yakni observasi/ pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. a. Observasi
38
Pengamatan (observasi) dilakukan dengan cara mengamati gejala yang diteliti. Dalam hal ini panca indera manusia (penglihatan dan pendengaran) diperlukan untuk menangkap gejala yang diamati. Apa yang ditangkap tadi, dicatat dan selanjutnya catatan tersebut dianalisis. b. Wawancara Wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti.
Dalam
interaksi tersebut peneliti berusaha mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui kegiatan tanya jawab. c. Dokumentasi Dokumentasi bertujuan untuk merekam atau mengambil foto-foto kegiatan obyek penelitian sebagai tambahan data yang diperlukan. 1.6.5.5 Jenis Data Data penelitian dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber pertama melalui sebuah prosedur. Data sekunder diperoleh dari sumber tidak langsung yang biasanya berupa datadata dokumentasi dan arsip-arsip resmi yang dapat mendukung data di dalam penelitian. Data penelitian dapat dibedakan menjadi : 1. Data Primer Data primer diperoleh dari wawancara, meliputi wawancara dengan interview guide dan wawancara mendalam (indeph interview) langsung kepada informan serta dokumentasi dengan foto yang diambil langsung oleh peneliti. Informan yang dapat diwawancara untuk mendapatkan data yang sesuai fokus 39
penelitian adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kab. Malang, Kader PDI Perjuangan tingkat grassroot, sesepuh atau tokoh PDI Perjuangan, local strongman yang memiliki kedekatan dengan PDI Perjuangan, dan masyarakat umum. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data dari sumber tidak langsung yang dapat diperoleh melalui sumber data tertulis maupun kepustakaan yang terkait dengan tema penelitian. Data sekunder ini berasal dari buku, laporan hasil penelitian, skripsi, jurnal, artikel internet, majalah, dan artikel media massa. 1.6.5.6 Teknik Analisis Data Menurut Miles dan Huberman (1992), analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yakni : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Slamet, 2008:140). 1) Reduksi data Suatu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, meneliti halhal yang penting dan mengatur data yang kemudian diambil kesimpulan. 2) Penyajian data Menyajikan data yang terkumpul dalam bentuk laporan deskriptif. 3) Menarik kesimpulan. Memberikan kesimpulan atas seluruh data yang diperoleh. 1.6.5.7 Uji keabsahan data
40
Penelitian kualitatif sangat rentan terhadap subjektifitas dari diri peneliti, sehingga diperlukan teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik tersebut yakni dengan Trianggulasi. Menurut Denzin (dalam Moleong, 2004: 330) terdapat empat macam trianggulasi : 1.
Trianggulasi sumber data
Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat ya ng berbeda. Hal tersebut dapat dicapai melalui : a)
Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi. c) 2.
Membandingkan pendapat seseorang dengan pendapat orang lain. Trianggulasi metode
Trianggulasi metode dilakukan dengan membandingkan informasi atau data dengan cara berbeda. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan informan yang berbeda. Melalui berbagai pendapat yang diberikan oleh informan diharapkan data yang ada akan mendekati kebenaran. 3. Trianggulasi antar peneliti Trianggulasi ini dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam menggumpulkan dan analisa data. Teknik ini bertujuan untuk memperkaya pengetahuan mengenai informasi yang digali dalam penelitian. Dalam hal ini, peneliti selalu mengkomunikasikan hasil penelitian dengan dosen pembimbing
41
yang lebih menguasai terkait penelitian. Selain itu, peneliti juga meminta pendapat kepada peneliti-peneliti lain untuk kelengkapan data penelitian. 4. Trianggulasi Teori Hasil akhir penelitian kualitatif berupa rumusan informasi yang dibandingan dengan teori yang relevan. Selain itu, trianggulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman pengetahuan teoritik secara mendalam atas hasil analisis data yang diperoleh.
42