BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Memasuki era reformasi pilihan terhadap sistem desentralisasi semakin dipertegas dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Hal tersebut sekaligus menandakan sistem pemerintahan daerah di Indonesia memasuki
babak
baru
yakni
pergeseran
dari
corak
penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang sentralistik mengarah ke sistem pemerintahan daerah yang desentralistik. Secara konseptual pilihan terhadap paradigma desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia bukanlah sekedar mengikuti kecenderungan sebagian besar pemerintahan di dunia yang telah melakukan perubahan paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Bukan pula karena didasari oleh asumsi bahwa desentralisasi adalah lawan sentralisasi sehingga desentralisasi merupakan obat mujarab untuk mengobati akibat buruk sentralisasi. Namun disadari bahwa desentralisasi secara konseptual memiliki banyak sisi positif, Smith (1985:18) meyakini desentralisasi dapat membawa manfaat antara lain: (1) secara ekonomis dianggap mampu meningkatkan efisiensi, karena desentralisasi dapat mengurangi biaya, meningkatkan output, dan human resources dapat dimanfaatkan secara lebih efektif; (2) secara politis, desentralisasi dapat memperkuat demokrasi dan akuntabilitas, meningkatkan kecakapan warga dalam berpolitik, dan memperkuat integrasi nasional. Sementara itu terdapat dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan desentralisasi, yaitu tujuan politik dan tujuan administratif. Menurut
1
2
Suwandi (2007:5), tujuan politik memposisikan pemerintah daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat ditingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk terwujudnya civil society. Sedangkan tujuan administratif akan memposisikan pemerintah daerah sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien dan ekonomis (3Es). Memenuhi kedua tujuan tersebut adalah keharusan bagi pemerintah daerah dalam rangka menjaga akuntabilitas atas legitimasi yang diberikan warga kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakat. Di era otonomi daerah, menurut Wahab (2002:43) daerah otonom (provinsi, kabupaten/kota) memiliki kewenangan yang semakin luas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Suatu daerah otonom harus berani dan berkemampuan untuk tampil beda (the capacity to create difference) dengan daerah lain. Otonomi daerah menyediakan ruang ”manuver politik” bagi daerah dalam mengekspresikan kebijakan otonominya. Dalam prespektif administrasi publik, ruang yang sangat luas untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola pemerintahan daerah disebut diskresi (discretion). Kondisi ideal dari sistem pemerintahan daerah Indonesia, baik yang telah ditegaskan dalam UU No. 32 Tahun 2004 maupun penjelaskan ideal secara teori dan konseptual tentang kebijakan desentralisasi, muaranya tentu saja adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada tingkat lokal. Namun demikian setelah lebih satu dekade otonomi daerah rupanya secara empirikal masih bertolak belakang dengan tujuan utamanya. Hal ini disimpulkan oleh koran Kompas (28/4/2008) memberikan fakta secara nasional bahwa capaian yang diperoleh dalam meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal selama hampir satu dekade desentralisasi dan otonomi daerah tidaklah begitu menggembirakan.
3
Dalam rilis koran Kompas tersebut menunjukkan bahwa kenyataannya kualitas pelayanan dasar tidak kunjung membaik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, meskipun dana APBD meningkat secara tajam dibanding semasa Orde Baru. Jastifikasi atas hal tersebut, bisa dilihat pada hasil evaluasi yang dilangsir oleh Bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas, yang dilakukan dengan melibatkan 1130 orang responden di 33 ibukota provinsi se Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa (1) masih ada 52% responden
menyatakan
otonomi
daerah
belum
mampu
memperbaiki
kesejahteraan masyarakt; (2) sebanyak 60% responden mengatakan bahwa keamanan di era otonomi daerah menjadi lebih baik; (3) masalah kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah paling mendesak untuk diatasi pemerintah daerah; dan (4) sebanyak 73% responden menyatakan janji-janji kepala daerah ketika kampanye pilkada tidak dapat dipenuhi. Kenyataan yang diuraikan di atas tidaklah sederhana, karena rupanya tidak hanya menyangkut sumber daya manusia atau aparaturnya, tetapi juga menyangkut dimensi struktur (structure) bahkan terkait pula dengan dimensi budaya (culture) birokrasi pemerintahan. Kompleksitas persoalan yang dihadapi administrasi publik tersebut, dan beragam dimensi yang dibutuhkan, serta multilevel governance menyebabkan dituntutnya cara-cara baru penyelesaian masalah publik yang berbeda antar tempat dan waktu. Cara baru tersebut diyakini hanya dapat dicapai dengan adanya inovasi dalam administrasi publik (Muluk, 2010:41). Hal demikian menunjukkan inovasi sangat dibutuhkan untuk membangun kepemerintahan yang kokoh. Dalam
konteks
penelitian
ini,
memahami
arti
penting
inovasi
pemerintahan daerah dapat dilihat dari beberapa perspektif, yakni perspektif teoritik, normatik, dan empirik. Dalam perspektif teoritik atau konseptual, lebih
4
awal ditegaskan bahwa penggunaan istilah inovasi (innovation) berbeda dengan istilah reformasi (reform). Meskipun secara maknawi istilah inovasi dan reformasi mengandung arti yang sama yakni perubahan menuju ke arah yang lebih baik, dan Caiden (1991:155) menyatakan bahwa ”reform is an innovation”, reformasi adalah suatu inovasi. Namun, dalam perkembangannya inovasi memiliki makna yang berbeda dengan reformasi. Inovasi selalu memiliki makna kebaruan (novelty). Sifat kebaruan ini mengandung dua aspek yaitu terciptanya nilai (value) yang baru dan kedua terdapat pengetahuan (knowledge) yang baru. Suatu produk, proses, atau metode organisasi dikatakan inovatif bila menimbulkan nilai yang baru. Kehadiran produk, proses atau metode tersebut memunculkan sesuatu yang lebih berharga, atau lebih valuable bagi pihak-pihak lain. Sering kali nilai itu adalah bersifat ekonomik, seperti dalam kasus inovasi di organisasi bisnis. Tetapi dalam kasus inovasi pemerintahan daerah, menurut Orange, et al., (2007) nilai sosial menjadi pusat perhatian. Arti penting pengembangan inovasi bagi organisasi sektor publik, seperti inovasi pemerintahan daerah dalam kajian ini menjadi perhatian serius dari Mulgan dan Albury (2003:2). Hal tersebut dapat disimak dalam pernyataannya seperti berikut: “Innovation should be a core activity of the public sector: it helps public services to improve performance and increase public value; respond to the expectations of citizens and adapt to the needs of users; increase service efficiency and minimise costs.” Makna dari apa yang dinyatakan oleh Mulgan dan Albury di atas, bahwa inovasi seharusnya menjadi inti dari seluruh aktivitas di sektor publik. Inovasi dapat membantu meningkatkan kinerja pelayanan dan nilai-nilai publik. Inovasi berarti meningkatkan daya tanggap terhadap harapan warga dan kebutuhan para
5
pengguna layanan. Juga inovasi dapat menumbuhkan efisiensi dan mengurangi biaya. Mulgan dan Albury (2003) juga menyebutkan beberapa alasan mengapa sektor publik harus melakukan inovasi. Beberapa alasan tersebut meliputi: (1) inovasi dilakukan untuk merespon secara lebih efektif perubahan dalam kebutuhan dan ekspektasi publik yang terus meningkat; (2) untuk memasukkan unsur biaya dan untuk meningkatkan efisiensi; (3) untuk memperbaiki penyelenggaraan pelayanan publik, termasuk dibagian-bagian di masa lalu hanya mengalami sedikit kemajuan; (4) untuk mengkapitalisasikan penggunaan ICT secara penuh, karena hal ini telah terbukti meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan. Farazmand (2004:20) pun mengakui pentingnya inovasi sektor publik dan diungkap dalam salah satu bukunya berjudul: Sound Governance: Policy and Administrative Innovations, tentang arti penting suatu inovasi sebagai berikut: “Innovation is key to sound governance, and innovation in policy and administration is central to sound governance as well. Without innovations, governance falls into decay and ineffectiveness, loses capacity to govern, and become a target of critism and failure. Sound governance demands continuous innovations in policy and governance processes, structures and values system. Policy innovations in governance are essential to the adaptation and adjustment to the rapidly changing environment of the world under globalization.” Berdasarkan pandangan Farazmand, dapat dipahami bahwa inovasi merupakan faktor kunci untuk sound governance. Faktor inovasi, baik inovasi aspek kebijakan maupun inovasi aspek administrasi adalah pusat dari sound governance. Tanpa inovasi, pemerintahan akan terjebak dalam kerusakan dan ketidakefektifan, pemerintah akan kehilangan kemampuan untuk memerintah dan selalu menjadi sasaran dari krisis dan kegagalan. Oleh karena itu, sound governance membutuhkan inovasi yang berlangsung secara terus menerus
6
dalam kebijakan dan proses, struktur dan sistem nilai pemerintahan. Inovasi kebijakan (policy innovations) adalah dasar beradaptasi dan menyesuaikan dengan perubahan lingkungan yang cepat akibat globalisasi. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa konsep inovasi benar-benar baru dikenal di era berkembangnya paradigma NPM, tetapi menurut Vigoda-Gadot, et al (2005) bahwa pada dasarnya konsep inovasi sudah ada di era pemikiran classic public administration. Walaupun pemahaman inovasi di era pemikiran administrasi klasik tersebut, inovasi masih dipahami dalam pengertian yang terbatas. Inovasi hanya dimaknai sebatas mekanisme internal organisasi. Inovasi sangat didominasi oleh top menajer sehingga inovasi lebih bersifat top down dan hanya bertujuan mempertahankan kekuasan. Borins (2001b:14) mengemukakan bahwa pengembangan inovasi disektor organisasi dan manajemen publik secara global didorong oleh beberapa kondisi. Beberapa kondisi yang dimaksud terangkum dalam lima kelompok antara lain; (1) tuntutan political system meliputi hak melalui amanat pemilihan (election), legislasi, dan tekanan dari para politisi; (2) munculnya new leadership yakni pemimpin yang membawa ide-ide dan konsep-konep baru, bisa berasal dari eksternal atau internal organisasi tersebut; (3) adanya crisis yang didefinisikan sebagai kegagalan mengantisipasi masalah publik yang terjadi saat ini dan yang mungkin terjadi di masa yang datang; (4) internal problems yakni kegagalan merespon perubahan lingkungan, ketidakmampuan menuangkan permintaan publik kedalam suatu program, kendala sumberdaya, dan kegagalan dalam mengkoordinasi berbagai kebijakan; dan (5) munculnya new opportunities, seperti terciptanya berbagai jenis teknologi baru yang mempengaruhi pola hidup masyarakat.
7
Secara empirikal, pelembagaan inovasi di sektor organisasi publik saat ini dapat ditemukan dalam beberapa literatur. Pada tahun 2009, USAID melaporkan adanya beberapa program inovasi manajemen pelayanan publik dilakukan oleh beberapa pemerintahan di tingkat lokal. Program inovasi tersebut merupakan program-program yang diasistensi oleh Local Government Support Program (LGSP), meliputi: (1) One-stop-Service di Kabupaten Pinrang (Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Tebingtinggi (Sumatera Utara); (2) Citizen Charter di Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah); (3) Electronic Citizen Information Service di Kabupaten Aceh Barat (Aceh); (4) Customer Information Management System di Kota Madiun (Jawa Barat); dan (5) Electronic Government Procurement di Provinsi Jawa Barat. Kelima jenis inovasi yang diasistensi oleh USAID tersebut dinilai sukses dan berpredikat good practices, karena memenuhi beberapa hal antara lain: (1) bentuk program sudah sukses dilakukan di negara lain (having been previously applied in other countries); dan diadaptasi secara meluas pada pemerintahan lokal di Indonesia (been adapted to the circumstances of local governance in Indonesia); (2) program tersebut sudah melibatkan multi-stakeholder, procustomer and pro-poor orientation; (3) inovasi focus on low cost management solutions to overcome service bottlenecks, and (4) mitra konsultasi dengan client local government agencies. Demikian halnya pada tahun 2006, INDOPOV-The World Bank juga telah melakukan penelitian terhadap Inovasi Pelayanan Pro-Miskin: Sembilan Studi Kasus di Indonesia. Kesembilan kasus tersebut meliputi: (1) Pembatasan Jumlah Siswa Perkelas dan Penguatan Insentif bagi Praktisi Pendidikan di Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat; (2) Kupon Pelayanan Bidan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah; (3) Pembangunan Komunitas Belajar bagi Anak di
8
Kabupaten Polman, Sulawesi Barat; (4) Meningkatkan Transparansi Anggaran di Kota Bandung, Jawa Barat; (5) Program Air Bersih dan Kesehatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur; (6) Reformasi Jaminan Kesehatan di Kabupaten Jembrana, Bali; (7) Program Community Block Grant di Kota Blitar, Jawa Timur; (8) Proses Perencanaan Partisipatif di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan; (9) Reformasi Pegawai Negeri di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap sembilan kasus tersebut bertujuan mengkaji inovasi di bidang penyediaan pelayanan publik tingkat
kabupaten/kota menyusul
diterapkannya
kebijakan
desentralisasi.
Meskipun separuh dari kasus-kasus tersebut digagas oleh pihak luar (The World Bank) dan separuhnya lagi digagas oleh pihak lokal (local stakeholders), namun dampaknya terbukti positif terutama bagi kelompok warga yang menjadi sasaran. Temuan penting dari penelitian Bank Dunia ini adalah inovasi di era kebijakan desentralisasi menunjukkan bahwa desentralisasi dan kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci dalam penyediaan pelayanan publik yang inovatif. Sebagian besar dari inovasi yang dipelajari pada studi kasus, tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan perundangan nasional dan kebijakan yang mengalihkan kewenangan ke tingkat daerah. Beralihnya kewenangan terutama di bidang keuangan dan administrasi, telah memungkinkan pemimpin daerah untuk mendanai reformasi internal tanpa bantuan donor. Kewenangan kabupaten yang lebih besar juga kemudian mendorong para politisi di tingkat daerah, masyarakat umum, dan lembaga donor, untuk menjadi lebih tertarik kepada isu good governance. Namun, ternyata dampak positif inovasi-inovasi tersebut terancam ketika hukum dan peraturan daerah yang menyokong inovasi tersebut, lemah atau kurang menunjang.
9
Di beberapa daerah otonom lain pun, praktek inovasi penyelenggaraan birokrasi pemerintahan banyak dikembangkan. Daerah otonom yang sukses seringkali menjadi rujukan bagi beberapa daerah otonom lainnya, sebagai best practices penerapan inovasi pemerintahan seperti Provinsi Gorontalo (Fadel, 2007), Kabupaten Sragen (Majalah e-Indonesia, 2007) dan Kabupaten Jembrana (Prasojo, dkk, 2004). Bagi pemerintah daerah pada umumnya, fenomena Provinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Jembrana adalah pelajaran yang sangat bernilai, karena pada daerah-daerah tersebut, kapasitas pemerintah daerah dalam melakukan inovasi di daerahnya tampak berkorelasi positif dengan dukungan masyarakat terhadap pemerintah daerah masing-masing. Adapun bentuk dukungan masyarakat yang paling nyata adalah terpilihnya kembali pemangku jabatan Gubernur, Bupati atau Walikota untuk periode kedua dalam kepemimpinannya, dan hal ini merupakan refleksi dari kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dalam rubrik Kompasiana, tanggal 12 Juni 2011, juga dipublikasikan kisah sukses sejumlah Kepala Daerah dalam menahkodai penyelenggaran pemerintahan di daerahnya masing-masing. Hal ini menarik, karena eksistensi kepemimpinan daerah tidak melulu soal besarnya dukungan politik dan legitimasi semata. Lebih dari itu, beberapa daerah di tanah air sukses menapaki otonomi daerah, karena memiliki Kepala Daerah yang visioner. Ini menunjukkan bahwa kreativitas dan daya inovasi para pemimpin daerah sangat menentukan. Sehingga daya kreasi dan inovasi didukung kemampuan mengelola segenap potensi daerah secara optimal menjadi indikator kemajuan daerah dalam menggapai sukses meraih kesejahteraan rakyat.
10
Merujuk pada beberapa fakta empirik yang dilansir di atas, tampak bahwa pengembangan inovasi pemerintahan daerah di banyak tempat sudah menunjukkan bukti keberhasilan yang secara umum berdampak terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Meskipun demikian pengembangan inovasi pemerintahan
daerah,
tetap
memiliki
beberapa
permasalahan
dalam
pengembangannya. Beberapa permasalahan tersebut terangkum dari berbagai pandangan pakar dan peneliti terdahulu yang diuraikan pada bagian berikut. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan inovasi pemerintahan daerah, antara lain disampaikan oleh Fadel Muhammad (2007) dalam buku yang berjudul: Reinventing Local Government: Pengalaman dari Daerah. Menurut Fadel (2007:396) bahwa permasalahan pengembangan inovasi pemerintahan
daerah
dapat
dilihat
dalam
perspektif
reinventing
local
government. Dalam perspektif tersebut, permasalahan pengembangan inovasi pemerintahan daerah terajut dalam delapan agenda yang perlu mendapat perhatian serius yang meliputi: pertama, persoalan leadership. Kepemimpinan harus menjadi pendorong perubahan. Pemimpin yang memiliki visi jelas akan mendorong pengikutnya untuk mewujudkan visi tersebut melalui daya kreatif dan daya inovasi yang dimilikinya. Pemimpin yang punya visi tentu tidaklah cukup tetapi dibutuhkan pula kemauan politik, karena kepemimpinan disektor publik bernuansa politik. Tampa kemauan politik yang kuat dari pimpinan pemerintahan daerah hampir mustahil suatu inovasi akan berhasil. Masalah krusial tentang kepemimpinan dalam pengembangan inovasi ini juga diungkap oleh ahli dan peneliti lain, seperti Prasojo (2006), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), Capuno (2010), dan Akomolafe (2011). Kedua, berkaitan dengan budaya organisasi. Sebagian besar organisasi publik saat ini masih berorientasi pada budaya kelompok dan budaya hierarki,
11
orienntasi budaya ini cenderung mernghambat inovasi. Persoalan krusial tentang budaya inovasi pemerintahan daerah ini juga disampaikan oleh pakar dan peneliti seperti Mulgan dan Albury (2003), Prasojo (2006), Ajibola (2008), Said (2009), Kim (2009), Evans (2010), dan Capuno (2010). Ketiga, berkaitan dengan persoalan insentif dan reward. Para pegawai harus diberikan ruang untuk melakukan eksperimen dan mencari solusi baru untuk memenuhi tuntutan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Eksperimen yang berhasil harus diberi insentif dan reward sehingga mereka termotivasi untuk terus melakukan inovasi.. Keempat, permasalahan yang berkaitan dengan kapasitas inovasi, baik kapasitas individu maupun kapasitas sistem. Kapasitas pada tingkatan individual dan organisasional adalah penting dan menjadi kunci bagaimana organisasi dan orang di dalamnya itu mengelola input kreatif dalam proses inovasi. Selaiin Fadel (2007), beberapa pakar dan peneliti lain seperti Farazmand (2004), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), Capuno (2010), dan Supriyono (2011) juga menyatakan bahwa kapasitas inovasi menjadi problem yang serius dalam pengembangan inovasi. Kelima, persoalan inovasi yang berkaitan dengan perspektif konsumen atau orang yang dilayani. Masalah yang sering muncul pada aspek ini adalah tidak adanya informasi yang lengkap tentang apa kebutuhan users yang dipunyai oleh providers sehingga sulit untuk mendorong inovasi pelayanan publik. Keenam, permasalahan yang terkait dengan kolaborasi yang masih terbatas di sektor publik. Padahal kolaborasi dapat menjadi pendorong inovasi seperti halnya di sektor swasta yang sudah biasa melakukannya. Problem kolaborasi dalam mendukung inovasi juga dianggap krusial oleh Farazmand (2004), Muluk (2008), Said (2009), Evans (2010), dan Hennala (2011). Ketujuh, persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah berikutnya berhubungan
12
dengan kurang keberanian untuk bereksperimen. Padahal ruang bereksperimen suatu ide atau kebijakan dapat memberikan petunjuk bahwa hasilnya akan baik atau buruk. Kedelapan, persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang terakhir adalah belum disadari akan pentingnya investasi inovasi. Padahal investasi inovasi ini dilakukan untuk mencari terobosan-terobosan bagaimana mengidentifikasi
masalah,
melihat
wawasan
pelanggan,
pengembangan
kapasitas, dan eksperimentasi lokal. Sementara itu, secara praktikal beberapa persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dalam pandangan Said (2009:7) meliputi: pertama, permasalahan utama pengembangan inovasi
pemerintah daerah dalam
prakteknya seringkali sulit memulai dari mana, oleh siapa, dan kapan inovasi dikembangkan. Inovasi birokrasi biasanya sulit dilakukan kalau tidak ada pemimpin yang progresif, berjiwa pengabdian dalam pemerintahan dan bermental inovatif. Oleh sebab itu begitu pimpinan tingkatan atas suatu birokrasi tidak memiliki jiwa inovatif, maka suatu inovasi sulit terwujud. Pimpinan tingkatan menengah tidak jarang memang memiliki inisiatif tetapi sering juga kalah dengan resistensi pimpinan yang lebih tinggi. Kedua, permasalahan yang terkait dengan rendahnya dukungan politik, dana, dan teknis. Sebagaimana banyak kritik yang datang dari masyarakat kepada birokrasi, apabila pihak eksekutif telah proaktif menjalankan perubahan dan inovasi birokrasi, tak jarang inovasi itu mandeg karena lemahnya dukungan politik dari fraksi-fraksi di DPRD. Institusi DPRD seringkali hanya mau segala sesuatunya berhasil, namun tak jarang bahwa keberhasilan itu perlu dukungan politik misalnya perlunya pengaturan dalam bentuk peraturan daerah tentang program
inovasi
pada
unit-unit
tertentu,
penganggaran, yang disetuji oleh DPRD.
yang
juga
didukung
dengan
13
Ketiga, permasalahan yang berhubungan dengan kurangnya kerjasama di antara satu pimpinan dengan pimpinan lainnya, pimpinan dengan mayarakat (stakeholders) dan waga lainnya. Seringkali karena conflict of interest, sehingga rendahnya daya serap terhadap perkembangan mutakhir dan kebutuhan masyarakat, menjadikan pimpinan di berbagai tingkatan pemerintahan hanya bersikap menjalankan sesuatu seperti biasanya dan apa adanya. Antar kompartemen dalam birokrasi sendiri terjadi saling salip, saling silap, saling saing yang kadang tidak sehat dan menjadikan organisasi birokrasi sulit untuk berinovasi secara efektif. Keempat, permasalahan inovasi pemerintahan daerah lainnya yakni kurangnya orientasi kepada keutamaan pelayanan prima. Padahal sudah banyak negara dan pemerintahan mengubah orientasi sistem pelayanan, arah komunikasi dan best practices dalam pelayanan publik. Kalau kita mengamati dengan seksama dan mengikuti gerak langkah dan apalagi kalau mau menjadi bagian dari birokrasi yang birokratis, maka seumpama kita ini manajer perusahaan multi nasional atau organisasi manajemen perbankan yang berpengalaman, kalau kita diminta jadi camat atau lurah setahun saja maka profesionalitas yang kita miliki boleh jadi menjadi birokratisme. Begitupula sebaliknya seorang birokrat jika saja diminta magang di perusahaan yang sehat, maka jiwa entreprenuer dan jiwa inovasi pasti akan tumbuh dan berkembang. Kelima, permasalahan kondisi sistem administrasi dan kepegawaian yang masih dilanda kejumudan berat yang tidak mendukung inovasi. Perlu reorintasi dengan cara antara lain merekrut pegawai-pegawai muda yang memiliki kemampuan teknis dan di rekrut secara adil yang disertai dengan usaha-usaha pembentukan karakter inovatif, karena sesungguhnya ketika tugas-tugas
14
melayani masyarakat bisa accomplished dipenuhi dengan baik, maka pada saat yang sama martabat sebagai birokrat akan meningkat pula. Pengembangan inovasi pemerintahan daerah berhadapan pula dengan persoalan legalitas yang masih berlangsung saat ini. Persoalan legalitas yang dimaksud adalah persoalan perlindungan hukum terhadap inovasi yang dilakukan oleh aparatur daerah. Secara nasional, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewenangan pejabat publik mengambil diskresi dalam pengembangan kebijakan dan program inovatif. Ruang yang tersedia untuk mengambil diskresi bagi aparatur daerah belum diatur dengan jelas sementara tuntutan dan tekanan untuk mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah publik di daerah menuntut aparatur daerah untuk segera bertindak agar masalah dapat diselesaikan dengan baik. Kondisi seperti ini tentu membuat aparatur di daerah mengalami kesulitan untuk menanggapi dinamika politik dan ekonomi yang sangat tinggi sekarang ini. Mereka sering mengalami kegalauan ketika dihadapkan pada tekanan untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk merespon kebutuhan publik, namun pada sisi lain mereka sadar bahwa perlindungan hukum bagi inovasi di Indonesia belum diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Di banyak negara yang memiliki sistim administrasi publik yang maju, ada banyak peraturan perundang-undangan yang memberi ruang yang memadai bagi aparatur negara termasuk yang di daerah untuk mengembangkan inovasi. Misalnya kebijakan sunset rules, rule waive, dan reinvention laboratory dibuat untuk memberi ruang bagi aparatur pemerintah untuk mengambil diskresi dalam rangka melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik.
Seorang
aparatur
negara
yang
melakukan
inovasi
dalam
15
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan memperoleh perlindungan hukum tertentu, sejauh tindakannya dilakukan untuk memenuhi kepentingan publik, tidak didasarkan pada kepentingan sendiri, keluarga, dan kelompok. Rendahnya kepastian dalam penegakan hukum sering membuat para penyelenggara pemerintahan di daerah mengalami keresahan dan ketakutan untuk mengambil inisiatif dan diskresi dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Banyak penyelenggara pemerintahan yang mengambil ”sikap pasif” dan kurang ”responsif” terhadap pemenuhan kepentingan publik yang berkaitan dengan jabatannya. Mereka sering menjadi takut dan ragu dalam mengambil diskresi. Kondisi seperti ini jika dibiarkan akan dapat menurunkan kreativitas, semangat inovasi (spirit of innovation), dan keberanian mengambil terobosanterobosan demi kepentingan publik. Keterpaduan pengembangan inovasi daerah secara nasional juga masih menjadi masalah tersendiri. Seperti disinyalir oleh Taufik (2007:9) yang berpendapat bahwa persoalan kebijakan pengembangan inovasi (policy innovation) yang dihadapi secara nasional adalah berkaitan dengan terbatasnya pemahaman pembuatan kebijakan (policy making) dari para pemangku kepentingan tentang sistem inovasi. Belum ada keterpaduan pengembangan sistem inovasi dalam pembangunan. Kebijakan inovasi yang esensinya membutuhkan koherensi kebijakan sektoral, kebijakan nasional-daerah, dan governance sistem inovasi tidak akan dapat efektif jika kebijakan berbagai sektor pembangunan dan pelayanan masih bersifat parsial, terfragmentasi, tidak konsisten dan bahkan bertentangan satu sama lainnya. Persoalan lain yang ditemukan oleh peneliti terdahulu, antara lain dari Orange, et al (2007) yang mensinyalir bahwa inovasi pemerintahan daerah
16
seringkali melupakan adanya faktor nilai-nilai sosial (social values) yang perlu diperhatikan. Nilai-nilai sosial dimaksud meliputi dimensi orang, dimensi proses, dan dimensi teknologi dalam pengembangan inovasi. Ketiga nilai sosial tersebut haruslah menjadi koheren, sebab jika tidak demikian, inovasi akan menemui hambatan dalam pengembangannya. Persoalan nilai dalam pengembangan inovasi dikemukakan pula oleh Pekkarinen, et al (2011), yang menyatakan bahwa pengembangan inovasi di organisasi sektor publik akan berhadapan dengan terjadinya benturan antara nilai lama dan nilai baru. Benturan nilai ini tentu saja akan menimbulkan konflik bagi masing-masing penganutnya. Memperhatikan berbagai persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang meliputi banyak dimensi, tampak bahwa pengembangan inovasi pemerintahan
daerah
masih
dilanda
persoalan
yang
cukup
kompleks.
Kompleksitas persoalan pengembangan inovasi pemerintahan daerah yang bersumber dari beberapa pandangan di atas, dapat diklasifikasi dalam beberapa aspek yakni: (1) lemahnya political will dan komitmen kepemimpinan yang mendorong tumbuhnya inovasi termasuk ketergantungan yang terlalu tinggi terhadap figur pemimpin tertentu; (2) budaya yang resisten terhadap inovasi (cultur of innovation) yang tercipta dalam setiap organisasi publik; (3) proses inovasi yang tidak berjalan efektif, termasuk strategi pelibatan stakeholders lain yang belum terlaksana dan benturan nilai-nilai dalam pengembangan inovasi; (4) lemahnya kapasitas kelembagaan birokrasi pemerintahan untuk berinovasi; (5) belum adanya legalitas yang menjadi payung hukum terhadap praktek inovasi; dan (6) masalah keberlanjutan program inovasi seringkali tidak terjadi; serta (7) belum terpadunya kebijakan pengembangan inovasi pemerintahan daerah dan nasional.
17
Dalam konteks ini, inovasi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menjadi obyek penelitian adalah terbatas pada inovasi yang berhubungan dengan urusan pendidikan. Jadi penelitian ini tidak akan meneliti seluruh urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom, tetapi hanya menyangkut kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan pada daerah otonom kabupaten. Di mana kewenangan tersebut di atur pada pasal 14 ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah, karena pelayanan pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat dan menjadi variabel utama dalam mengukur Human Development Index (HDI) suatu negara atau daerah (Suwandi, 2010:55). Sehingga keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola urusan pendidikan juga menjadi variabel penting untuk mewujudkan hakekat dari kebijakan desentralisasi yaitu kesejahteraan rakyat di daerah. Secara khusus, penelitian-penelitian yang berhubungan dengan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, terutama yang dilakukan pada tingkatan pemerintahan daerah tampaknya masih jarang dilakukan. Jika pun ada penelitian tentang inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, seringkali disandingkan dengan inovasi urusan pemerintahan lainnya. Oleh karena itu, permasalahan yang ditemukan dalam inovasi urusan pendidikan bisa jadi serupa dengan permasalahan dalam penyelenggaraan inovasi pemerintahan daerah pada umumnya. Misalnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Prasojo (2006) di Jembrana, dimana penelitian tentang inovasi di sektor pendidikan dan kesehatan
18
disandingkan, sehingga ditemukan kendala dan hambatan pengembangan inovasi yang sama pula. Meskipun demikian, dalam tingkatan negara, terdapat beberapa peneliti yang pernah melakukan kajian tentang inovasi kebijakan di bidang pendidikan. Penelitian-penelitian tersebut lebih berkaitan dengan manajemen, proses pembelajaran, dan kurikulum pendidikan di tingkat sekolah. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Ajibola (2008) di Nigeria yang fokus pada inovasi kebijakan pengembangan kurikulum pendidikan dasar. Permasalahan yang ditemukan dari penelitian ini adalah kapasitas kurikulum tidak lagi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat sebagai akibat perubahan lingkungan yang dinamis. Selain penelitian ini, terdapat pula penelitian yang fokus pada manajemen inovasi dalam sistem pendidikan di Nigeria. Penelitian yang dilakukan oleh Akomolafe (2011) ini mengungkap bahwa permasalahan yang banyak dihadapi sekolah-sekolah di Nigeria saat ini adalah masalah rendahnya budaya kreatif murid sekolah sebagai akibat dari manajemen sekolah, kepemimpinan, dan lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi kebijakan secara langsung dari pemerintah setempat. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan, perlu diterangkan bahwa Kabupaten Gowa adalah salah satu daerah otonom yang telah melakukan berbagai kebijakan dan program inovasi dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. Di Kabupaten Gowa telah ada beberapa terobosan yang dilakukan sepanjang tahun 2005 hingga sekarang (Tribun Timur, 13/3/ 2010). Beberapa kebijakan dan program yang bersifat inovasi dalam pelayanan bidang pendidikan tersebut meliputi: (a) membentuk Satuan Polisi Pamong Praja Pendidikan di semua jenjang pendidikan (SD, SMP dan SMA); (b) menerbitkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar sebagai tindaklanjut dari
19
Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2008 tentang Pendidikan Gratis Provinsi Sulawesi Selatan; (c) mengembangkan Sekolah Pendidikan Anak Saleh (SPAS) menjadi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): (d) mengadopsi metode pembelajaran Finlandia dan Jepang; dan (e) mengembangkan program Punggawa D’Emba Education Program (PDEB). Kebijakan dan program inovasi di bidang pendidikan yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Gowa, sebenarnya telah dirintis sejak tahun 2006. Oleh karena dinilai berhasil dalam membangunan dan memberikan pelayanan pendidikan melalui kebijakan dan program inovasi tersebut, maka beberapa tahun terakhir Kabupaten Gowa telah mendapat beberapa penghargaan dari pemerintah. Penghargaan tersebut antara lain: (1) Satya Lencana Pendidikan Tahun 2007; (2) Aksara Anugrah Pratama Tahun 2005; (3) Aksara Anugrah Madya Tahun 2006; dan (4) Aksara Anugrah Utama Tahun 2007. Selain beberapa penghargaan tersebut, pada tahun 2010 Fajar Institute Pro Otonomi (FIPO) Sulsel memberi Otonomi Award kepada pemerintah Kabupaten Gowa karena dinilai sukses dalam program inovasi di bidang pendidikan. Memperhatikan kenyataan mengenai kebijakan dan inovasi program yang telah dijalankan di Kabupaten Gowa tersebut di atas, menunjukkan bahwa daerah ini telah menjalankan kewenangannya dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa dibalik keberhasilan dan berbagai penghargaan yang diterimanya, persoalan pelayanan pendidikan sudah tidak ada lagi. Fakta menunjukkan hal yang kontradiksi, yaitu bahwa ternyata tingkat buta aksara di Sulawesi Selatan ternyata masih cukup tinggi (Fajar, 10/9/2011). Dari data yang dirilis Kemendiknas pada tanggal 9 September 2011, tercatat total angka buta aksara di daerah Sulawesi Selatan mencapai 520.247 orang.
20
Peringkat tertinggi angka buta aksara di luar pulau Jawa. Salah satu daerah menyumbang angka buta aksara terbesar adalah Kabupaten Gowa, yakni sebesar 36.196 orang, selain daerah lainnya seperti Kabupaten Bone (74.841), Jeneponto (41.591) dan Bulukumba (38.355). Data di atas bermakna bahwa ditengah gencarnya promosi inovasi penyelenggaran inovasi urusan pendidikan, masalah klasik yakni tingginya angka buta aksara (ABA) masyarakat Kabupaten Gowa masih saja terjadi, karena berada pada peringkat keempat dari 23 kaabupaten/kota. Padahal salah satu alasan rasional diawal pencanangan kebijakan dan program pendidikan yang inovatif oleh pemerintah daerah adalah karena salah satu masalah utama adalah masih tingginya angka buta aksara masyarakat. Berdasarkan atas berbagai pandangan para ahli yang menegaskan arti penting inovasi pemerintahan daerah, hasil penelitian para peneliti terdahulu yang menunjukkan beragam permasalahan dalam praktek pengembangan inovasi pemerintahan daerah, dan adanya fakta inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa menjadi daya tarik bagi saya untuk melakukan kajian mendalam dengan topik: Inovasi Pemerintahan Daerah (Studi Inovasi Penyelenggaraan Urusan Pendidikan di Kabupaten Gowa).
1.2. Ruang Lingkup Penelitian Desentralisasi pada hakekatnya mengandung dua elemen pokok yang bertalian, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang (urusan) tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Kedua elemen pokok desentralisasi tersebut kemudian melahirkan local government. Dalam konteks ini, local government dapat dimaknai dalam pengertian organ, fungsi dan daerah otonom.
21
Dalam pengertian organ, local government berarti pemerintah daerah, yakni DPRD (council) dan kepala daerah (mayor), di mana rekrutmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan (elected officials). Dalam pengertian fungsi, local govenment
bermakna pemerintahan daerah yang
diselenggarakan oleh
pemerintah daerah. Sedangkan makna dalam pengertian daerah otonom yakni bahwa pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif masyarakat yang berada dalam wilayah tertentu (Hoessein, 2000:10 & Muluk, 2007:9). Oleh karena itu, konteks penelitian inovasi pemerintahan daerah ini dipusatkan pada penyelenggaraan kewenangan mengatur (policy formulation function) dan mengurus (policy implementation function) urusan pendidikan yang telah dilimpahkan kepada daerah otonom. Kewenangan tersebut di atur pada pasal 14 ayat (1) point (f), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan pasal 7 ayat (2) point (a), PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara
Pemerintah,
Pemerintahan
Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Lokus penelitian inovasi pemerintahan daerah ini ditentukan pada daerah otonom Kabupaten Gowa. Obyek penelitian berada pada penyelenggaran kewenangan fungsi mengatur (policy formulation function) oleh DPRD dan Kepala Daerah dan kewenangan fungsi mengurus (policy implementation function) dilaksanakan oleh Kepala Daerah dan Perangkat Daerah (birokrasi daerah otonom). Dalam pelaksanan fungsi mengurus mengenai urusan pendidikan ini, perangkat daerah yang terkait adalah Dinas Pendidikan dan UPT penyelenggaran urusan pendidikan lingkup Kabupaten Gowa. Penelitian ini merupakan ranah studi inovasi dalam organisasi. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana kajian inovasi dalam organisasi
22
pemerintahan daerah dapat mengacu pada pandangan James Q. Wilson (1989) tentang birokrasi pemerintahan. Menurut Wilson (1989:27-27) bahwa birokrasi pemerintahan dalam perspektif organisasi dapat dianalisis dalam tiga tingkatan yaitu: (1) tingkatan operasional (operators level); (2) tingkatan manajerial (managers level); dan (3) tingkatan eksekutif (executives level). Untuk mendukung perspektif birokrasi pemerintahan menurut Wilson dalam studi inovasi pemerintahan daerah dalam urusan pendidikan di Kabupaten Gowa, digunakan pula pendekatan institutional arrangements dari Bromley (1989:32) yang juga membagi tiga tingkatan dalam proses kebijakan yaitu policy level, organizational level, maupun terutama pada operational level dengan pattern of interactions-nya. Pada teori Bromley tersebut, dijelaskan bahwa pada tingkat kebijakan, pernyataan-pernyataan umum tentang wujud nyata dari harapkan diformulasikan. Pada tingkat organisasional, implementasi dari harapan tersebut dicapai dengan pembentukan organisasi-organisasi dan aturan-aturan dan undang-undang yang menentukan bagaimana organisasi-organisasi tersebut bekerja, serta apa yang akan dilakukan organisasi-organisasi tersebut dalam bentuk program. Aturanaturan dan undang-undang yang menghubungkan tingkat kebijakan dan tingkat organisasional ini disebut pengaturan institusional (institutional arrangements). Selanjutnya pada tingkat operasional, unit-unit bekerja terkait langsung dengan masyarakat. Pilihan-pilihan yang ada di tingkat operasional ini ditentukan oleh pengaturan institusional di tingkat kebijakan dan di tingkat organisasional. Perilaku-perilaku di tingkat operasional (pola-pola interaksi) memberi hasil (outcome) yang akan dinilai oleh masyarakat sebagai hal yang baik atau sebaliknya (assessment). Apa yang dirasakan dan dinilai baik atau buruk oleh
23
masyarakat akan memberikan respon melalui jalur politik dan berusaha mempengaruhi kebijakan dengan input-input dari mereka. Berdasarkan pada perspektif birokrasi pemerintahan yang dikembangkan oleh Wilson dan perspektif level proses kebijakan oleh Bromley, maka inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan baik pada tingkatan kebijakan, tingkatan manajerial, mauapun inovasi pada tingkatan operasional semuanya berada dalam ruang lingkup pelaksanaan kewenangan mengatur (policy formulation) dan mengurus (policy implementation) urusan pendidikan di Kabupaten Gowa.Di samping studi inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan ini dilihat dari perspektif birokrasi pemerintahan, juga akan didalami dari perspektif tipologitipologi dan derajat inovasi yang sedang dikembangkan. Termasuk juga sejauhmana kapasitas inovasi yang dimiliki oleh pemerintahan Kabupaten Gowa dalam mendorong terwujudnya inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan yang efektif.
1.3. Rumusan Masalah Penelitian Mengacu pada alur pemikiran latar belakang dan ruang lingkup penelitian yang diuraikan, maka dirumuskan beberapa masalah penelitian yang bertujuan untuk mempertajam kajian dalam penelitian ini. Beberapa rumusan masalah penelitian tersebut meliputi: 1. Bagaimanakah inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendukung dan menghambat inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan? 3. Bagaimanakah model inovasi pemerintahan daerah yang efektif dalam penyelenggaraan urusan pendidikan di Kabupaten Gowa?
24
1.4. Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah penelitian, maka kajian pada penelitian ini diarahkan untuk menjawab tiga tujuan penelitian yaitu: 1. Mendeskripsikan,
menganalisis,
dan menginterpretasi
inovasi-inovasi
pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. 2. Mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi faktor-faktor yang mendukung dan menghambat inovasi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pendidikan. 3. Mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasi model inovasi pemerintahan daerah yang
efektif
dalam penyelenggaraan urusan
pendidikan di Kabupaten Gowa.
1.5. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Pada awalnya kajian inovasi hanya populer di kalangan organisasi sektor bisnis. Namun seiring merebaknya paradigma new public management yang banyak mengadopsi nilai-nilai sektor bisnis, maka konsep inovasi ini pun menjadi salah satu alternatif (new solutions) dan strategi baru dalam menghadapi kompleksitas persoalan masyarakat. Kehadiran inovasi dalam organisasi sektor publik dianggap mampu mengatasi segala keterbatasan yang terdapat pada organisasi sektor publik terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penyediaan public services dan public goods bagi masyarakat, baik pada level nasional maupun level lokal. Kajian tentang inovasi pada penelitian ini tentu saja memilik beberapa perbedaan dengan kajian-kajian inovasi yang sudah dilakukan oleh pihak lain. Beberapa perbedaan tersebut, antara lain: pertama, kajian inovasi pada penelitian ini dilakukan pada organisasi sektor publik, berbeda dengan kajian
25
inovasi lainnya yang kebanyakan dilakukan pada organisasi sektor bisnis. Kedua, lokus kajian inovasi ini berada pada daerah otonom kabupaten yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus urusan pendidikan. Sehingga dengan demikian obyek kajian ini adalah inovasi dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan di Kabupaten Gowa. Ketiga, kajian ini berusaha untuk melihat inovasi dalam birokrasi pemerintahan daerah secara terintegrasi mulai dari inovasi pada tingkatan kebijakan (eksekutif), tingkatan manajerial (organisasional), dan inovasi pada tingkatan operasional. Berbeda dengan kajian yang sudah dilaksanakan oleh pihak lain, umumnya masih bersifat parsial berkenaan dengan aspek tertentu saja. Misalnya kajian mengenai kepemimpinan yang inovatif, inovasi pada aspek pelayanan, budaya inovasi, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara akademik maupun secara pragmatis. Secara akademik, kajian ini dimaksudkan untuk meninjau penerapan konsep inovasi pada organisasi sektor publik, khususnya inovasi pada daerah otonom kabupaten dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Untuk itu, kajian dimaksudkan untuk mengelaborasi penerapan konsep inovasi ke dalam birokrasi pemerintahan. Di mana birokrasi pemerintahan menurut James Q. Wilson (1989) meliputi tingkatan eksekutif, tingkatan manajer, dan tingkatan operasional. Selain itu, kajian inovasi ini juga diarahkan untuk menggali jenis-jenis inovasi yang dikembangkan dan kecenderungan derajat inovasi yang sudah berlangsung, serta mengkaji kemampuan inovasi (capacity innovation) yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Dengan menggunakan metode analisis kualitatif, harapan utama dari hasil kajian ini adalah memberi pengayaan dalam pengembangan
26
ilmu administrasi publik, khususnya menyangkut isu-isu mutakhir inovasi pemerintahan daerah. Manfaat pragmatis, secara umum hasil-hasil kajian ini dapat memberi kontribusi pemikiran dan bahan pertimbangan bagi daerah otonom Kabupaten Gowa dalam mengatur dan mengurus urusan pendidikan yang menjadi wewenangnya. Secara khusus hasil-hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan bagi DPRD, pemerintah daerah, dan stakeholders yang terkait dalam pengembangan inovasi penyelenggaraan urusan pendidikan, baik pada tingkatan kebijakan, tingkatan manajerial (organisasi), maupun pada tingkatan operasional birokrasi pemerintahan Kabupaten Gowa. Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah dapat menjadi referensi tambahan atau rujukan bagi peneliti-peneliti lain, terutama bagi peneliti yang berminat meneliti topik tentang inovasi pada sektor publik terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.