BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Di tengah munculnya berbagai permasalahan sosial anak di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan pelanggaran hak-hak anak1, pada bulan Februari 2011 terbit salah satu tabloid dwi-bulanan yang bernama KORAN ANAK (KA). Tidak hanya namanya saja yang berhubungan dengan anak, tabloid ini juga memposisikan diri sebagai media yang peduli terhadap anak, khususnya anak-anak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Lahirnya KA diinisiasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Galang Anak Semesta (Gagas). Gagas merupakan salah satu LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak dan berlokasi di NTB. Azhar Zaini selaku penggagas tabloid tersebut menjelaskan bahwa lahirnya KA sebagai media informasi kepada pemerintah dan masyarakat NTB.
Kehadirannya
sebagai
media
yang
memberitakan
tentang
permasalahan sosial anak, salah satunya berhubungan dengan pendidikan bagi anak. Pada pemberitaan KA edisi ke II, Mei 2011 menginformasikan bahwa angka mengulang sekolah dan drop out (DO) di NTB terbilang tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya di Indonesia (Koran Anak,
1
Hak Hidup, bagaimana anak-anak dimunculkan sebagai seseorang yang memiliki hak untuk hidup yang layak tanpa ada gangguan dari manapun. Hak untuk Tumbuh Kembang, Hak tumbuh kembang dapat diartikan sebagai hak anak-anak untuk dapat bermain, mendapatkan pelajaran bersama rekan-rekannya. Selanjutnya Hak Perlindungan diartikan sebagai hak anak-anak mendapat perlindungan oleh negara dan sekitar. Begitu juga dengan Hak Partisipasi, bagaimana anak-anak memiliki hak untuk ikut berpartisipasi di keluarga, masyarakat atau sekolah.
1
2011:4). Salah satu permasalahan ini dijelaskan oleh KA karena kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan bagi anak. Oleh karena itu, selain menjadi media informasi, KA juga diharapkan dapat menumbuhkembangkan kepedulian orang dewasa terhadap hak-hak anak, khususnya yang berhubungan dengan pendidikan. Di Indonesia, tabloid atau media yang secara spesifik membahas tentang anak masih terbilang sedikit. Merujuk pada beberapa media di Indonesia, diantaranya memposisikan diri sebagai media perlindungan anak, antara lain adalah media online seperti Kidia (Kritis! Media untuk Anak) dan majalah Berani (Berita Anak Indonesia) hadir sebagai media yang mengkritisi tayangan-tayangan anak di televisi serta sebagai panduan dalam pemilihan tayangan yang dianggap baik bagi anak Indonesia. Sementara itu, KA memposisikan diri sebagai media perlindungan bagi anak yang di dalamnya membahas permasalahan sosial, khususnya anakanak di NTB. Inilah yang membedakan tabloid tersebut (KA) dengan media lainnya yang juga menginformasikan tentang anak. Sejak pertama kali muncul di tengah masyarakat NTB, KA mengangkat tema-tema khusus dalam setiap edisinya. Tema tersebut dipilih dari perayaan nasional, kegiatan keagamaan, dan hari besar internasional. Misalnya, saat perayaan hari pendidikan nasional, hari anak, hari ibu, hari pahlawan, dan perayaan lainnya. Contohnya pada edisi ke II, Mei tahun 2011, KA secara khusus membahas tentang Hari Pendidikan Nasional.
2
Melihat stuktur dan proses produksinya, tabloid tersebut diedarkan dua bulan sekali dan dibagikan secara gratis kepada instansi-instansi pemerintah seperti Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Pemerintah Daerah, serta organisasi-organisasi yang bergerak di bidang perlindungan anak. Pemilihan tema dan penyebaran tabloid ini didasari oleh tujuan Gagas dalam mengkampanyekan hak-hak anak kepada masyarakat dan pemerintah, serta untuk mendapatkan suntikan dana dari donatur sebagai bentuk dukungan pada eksistensi Gagas selama ini. Melihat antusiasme pembaca kepada tabloid KA, pembaca kini telah ikut berpartisipasi untuk memberikan donasi kepada KA, dimana sebelumnya KA mendapatkan suntikan dana dari LSM internasional, yaitu Terre des Hommes (TdH) yang juga bergerak di bidang perlindungan anak. Selain donatur yang perlu dicermati, penulis juga melihat wartawan yang bekerja di balik KA. Untuk menambah kesan bahwa media tersebut merupakan informasi dari sudut pandang anak, KA telah merekrut anakanak sebagai wartawan dari berbagai sekolah dan organisasi anak di NTB. Berdasarkan pengamatan penulis dan penjelasan Zaini di dalam KA, anak-anak merupakan seseorang yang masih berumur 0 tahun atau sejak masih berada dalam kandungan hingga 18 tahun dan belum menikah. Pemilihan umur seseorang yang masih dikategorikan sebagai anak-anak merujuk pada regulasi yang diatur oleh pemerintah Indonesia dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dari regulasi
inilah
KA
menghadirkan
sosok
anak
saat
membahas
3
permasalahan pendidikan bagi anak di NTB, dimana anak-anak dihadirkan sebagai salah satu wartawannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa posisi anak dalam proses produksi KA masih dipandang sebagai pelengkap saja. Konstruksi tentang anak tidak mudah dipisahkan dari kultur sosial yang dibentuk oleh orang dewasa. Laporan International Labor Office (ILO) (2007) Geneva menjelaskan bahwa di setiap pekerjaan, baik di dalam maupun di luar ruang, perempuan dan anak seringkali diidentifikasi sebagai pihak yang masih di bawah perlindungan seorang laki-laki. Inilah yang masih sering dimunculkan dalam setiap pekerjaan. Bahkan di masyarakat sosial, anakanak menjadi golongan ketiga setelah laki-laki dewasa dan wanita dewasa. Dari penjelasan tersebut, penulis beranggapan bahwa anak di dalam konstruksi artikel KA sama dengan yang dijelaskan oleh International Labor Office. Walaupun tabloid tersebut mengatasnamakan media yang peduli terhadap anak, tetapi ada kecurigaan kehadiran KA tidak dapat memisahkan diri dari konstruksi sosial masyarakat serta struktur produksinya yang masih banyak dikelola oleh orang dewasa. Menambahkan penjelasan tersebut, anak-anak dibentuk dari cara pandang orang dewasa, sehingga mempengaruhi wacana tentang anak yang dihadirkan di masyarakat. Seperti penjelasan Magdalena Sitorus (2006:114) yang memaparkan bahwa peraturan pemerintah dalam bentuk konvensi, undang-undang atau penyelesaian kasus tentang anak-anak pun selalu mendapat diskriminasi oleh negara. Penyebabnya adalah negara
4
cenderung mewakili cara pandang orang dewasa dalam membahas persoalan anak. Terlebih di dalam sistem pendidikan, relasi antara guru dan murid di sekolah menjadi lokasi paling baik dalam penyebaran cara pandang orang dewasa kepada anak-anak. Paulo Freire (2007) menjelaskan bahwa sistem pendidikan di dalam maupun di luar sekolah menjadi ruang dimana ideologi penguasa disampaikan. Selain dianggap menjadi tempat menimbah ilmu, pendidikan di dalam maupun di luar sekolah dijadikan sebagai tempat mendiskusikan masalah-masalah politik dan kekuasaan secara mendasar. Lokasi pendidikan adalah tempat terjalinnya makna, selain itu kehadirannya untuk mempertegas keyakinan secara lebih mendalam tentang apa sesungguhnya menjadi manusia impian. Dengan kata lain, anak-anak dipandang sebagai manusia masa depan dengan harapan-harapan yang ditanamkan sejak dini pada diri mereka. Berdasarkan penjelasan di atas, dalam penelitian ini penulis mencurigai bahwa anak-anak masih ditampilkan pasif dan hanya dibicarakan saja pada setiap wacana pendidikan dalam pemberitaan KA. Oleh karena itu, perlu dilakukan sebuah analisis untuk mengetahui bagaimana pendidikan bagi anak diwacanakan oleh KA. Selain itu, penulis perlu untuk menganalisis bagaimana subyek anak ditampilkan serta berelasi dengan subyek lainnya di luar anak dalam artikel KA.
5
1.2.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana wacana pendidikan bagi anak yang dimunculkan dalam artikel KA? 2. Bagaimana relasi antar subyek (subyek anak dan subyek di luar anak) yang ditampilkan dalam KA?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini untuk menjawab segala keseluruhan pertanyaan di rumusan masalah, yaitu: - Untuk
menganalisis
wacana
pendidikan
bagi
anak
yang
dimunculkan dalam pemberitaan KA. - Untuk menganalisis relasi antar subyek yang ditampilkan dalam KA. 1.4.
Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini, penulis berharap dapat memberikan kontribusi akademik bagi pembaca yang tertarik pada Kajian Budaya dan Media. Secara keseluruhan penulis berharap dapat menyajikan beberapa informasi serta konsep secara teoritis bagaimana wacana pendidikan bagi anak dimunculkan dalam media, khususnya dalam sebuah media yang memposisikan diri peduli terhadap anak.
1.5.
Kajian Pustaka Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan konstruksi anak di media saat ini sudah banyak dilakukan, antara lain berfokus pada anakanak dalam keluarga, masyarakat, serta negara. Peneliti-peneliti tersebut
6
diantaranya: Philip Kitley, Margaret Conway dan Mikel L. Wyckoff, serta Hendriyani. Penelitian pertama yang menjadi literatur dalam tulisan ini berjudul “Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca” oleh Philip Kitley (2001). Kitley memilih tayangan media Indonesia “Si Unyil” sebagai objek material
dalam
penelitiannya.
Unyil
di
dalam
penelitiannya
direpresentasikan sebagai anak-anak yang memiliki jiwa petualang dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Di satu sisi, Unyil diposisikan sebagai pihak yang mandiri, namun di sisi lain Unyil digambarkan sebagai sosok anak yang patuh terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat. Di dalam penelitiannya, Kitley melihat bahwa media memposisikan anak sebagai pihak yang pasif dan tidak dapat menentukan dirinya sendiri. Namun di balik itu, dalam penelitiannya ia tidak memberikan analisis mengapa akhirnya media tersebut memandang anak-anak sebagai pihak yang pasif dalam tayangan Unyil. Kitley hanya menganalisis bagaimana anak-anak dibicarakan di dalam wacana pemerintah dan masyarakat saja, tanpa melihat bagaimana kultur sosial di masyarakat turut mempengaruhi wacana tentang anak. Dalam
tulisannya,
Kitley
juga
membahas
bagaimana
Unyil
ditampilkan di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Kitley pada tayangan Unyil di TVRI tahun 1981 menunjukkan bahwa pemerintah orde baru menggunakan sekolah untuk menyebarkan pandangan politik dan ideologi Pancasila. Walaupun telah membahas secara detail tentang
7
subyek pemerintah, masyarakat, guru, dan anak dalam penelitiannya, Kitley dalam tulisannya belum menjelaskan serta mengkritisi bagaimana relasi antar subyek yang dimunculkan dalam tayangan Unyil. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh M. Margaret Conway dan Mikel L. Wyckoff (1981). Mereka menganalisis anak-anak saat melihat dirinya di dalam media. Dalam penelitiannya yang berjudul “The News Media in Childrens’s Political Socialization”, Conway dan Wyckoff (1981: 164-178) membagi penelitiannya menjadi dua bagian. Pertama, mereka menganalisis media yang tersebar di Area Metropolitan, Middle Atlantic. Media tersebut memberikan pemahaman politik terhadap anak serta menggambarkan anak-anak di dalam koran dan majalah. Selanjutnya, mereka melakukan diskusi dan penyebaran kuisioner kepada tujuh sekolah di daerah tersebut. Dalam tulisannya, media menggambarkan anak-anak sebagai pihak yang patuh terhadap aturan yang dibuat oleh negara. Media mencoba mensosialisasikan politik kepada anak-anak, tanpa memberikan ruang untuk melakukan klarifikasi atau mengajukan pertanyaan terhadap konten media tersebut. Conway dan Wyckoff masih menganggap bahwa media memiliki otoritas besar dalam pembentukan identitas anak, walaupun sebenarnya anak-anak juga memiliki otoritas untuk tidak mengonsumsi media tersebut. Selain itu, dalam penelitiannya mereka menjelaskan bahwa keluarga, rekan sebaya, dan sekolah berperan penting dalam pembentukan diri anak. Khususnya di sekolah, anak-anak akan mempelajari tentang
8
motivasi, praktik, dan mendapatkan sebuah prestasi dari apa yang mereka lakukan. Contohnya pada saat anak-anak mengikuti aturan yang telah dibuat oleh sekolah dan mengikuti segala aturan sesuai dengan penilaian guru. Anak-anak dibentuk menjadi seseorang yang patuh dan harus didisiplinkan agar taat terhadap aturan. Walaupun Conway dan Wyckoff juga melakukan diskusi kepada anak-anak, tetapi mereka masih mereproduksi wacana tentang anak berdasarkan media yang mereka analisis. Dalam penelitiannya, tidak dijelaskan secara mendalam bagaimana dan mengapa anak-anak juga turut menerima pandangan tentang dirinya seperti yang dimunculkan di dalam media. Penelitian selanjutnya berjudul “Children and Media in Indonesia: Industries, Messages and audiences” oleh Hendriyani (2013). Dalam penelitiannya, Hendriyani menganalisis berbagai konten dari televisi sejak pertama kali muncul di Indonesia hingga mulai berkembang berbagai stasiun televisi swasta. Dia juga membahas tentang industri pertelevisian dan pesan-pesan yang disampaikan kepada anak sebagai audien. Dalam tulisannya, Hendriyani menganalisis bagaimana regulasi media di Indonesia dipengaruhi oleh pemerintahan yang berkuasa. Pada masa orde baru, media-media sangat tertutup dan selalu berada dalam aturan kenegaraan yang tidak bebas. Namun aturan tersebut berubah saat runtuhnya masa orde baru. Kebebasan dalam pemberitaan pun muncul, termasuk juga pemberitaan tentang anak-anak. Salah satu penjelasan yang menarik, bahwa tayangan televisi khususnya tentang anak bukanlah
9
sebuah representasi dari anak- anak dalam kehidupan nyata secara keseluruhan. Terlihat pada era tahun 1990-an tayangan anak semakin meningkat. Fenomena tersebut diakibatkan tayangan anak cukup menguntungkan bagi industri media. Dalam penelitiannya, Hendriyani tidak menampilkan bagaimana subyek anak dimunculkan dalam media, serta tidak menjelaskan bagaimana relasi yang terjalin antara pemerintah, media dan anak. Dia hanya membahas tentang media yang membawa ideologi pemerintah untuk disampaikan kepada anak-anak. contohnya dalam analisisnya terhadap tayangan TVRI. Hendriyani mencoba mengkritisi bagaimana media turut menyebarkan cara pandang pemerintah kepada masyarakat. Media seringkali menayangkan tayangan anak yang bersifat nasionalis, serta menumbuhkan semangat cinta tanah air yang dikemas dalam tayangan di televisi. Dalam penelitian ini, penulis juga perlu untuk mengetahui beberapa tulisan yang membahas tentang pendidikan di sekolah serta regulasiregulasi yang mengatur anak-anak dalam media. Salah satunya pada tulisan Parker dan Raihani (2011: 712-732) yang berjudul “Democratizing Indonesia through Education? Community Participation in Islamic Schooling. Penelitian ini menganalisis bagaimana negara yang diwakili oleh pemerintah masuk dalam pembentukan aturan di sekolah serta pembentukan pengetahuan tentang demokrasi yang diberikan kepada anakanak melalui pendidikan.
10
Parker dan Raihani dalam penelitian ini memilih sekolah-sekolah seperti Madrasah dan Pesantren swasta yang berada di Indonesia sebagai objek materialnya. Mereka kemudian melakukan diskusi dan pengamatan langsung terhadap beberapa siswa Madrasah dan Pesantren swasta untuk mendapatkan data. Madrasah atau Pesantren yang sebagian besar adalah milik swasta, kadangkala memiliki cara tersendiri di dalam menjalankan aturan-aturan sekolah. Namun, penelitian ini menjelaskan bahwa ternyata aturan tersebut tidak terlepas begitu saja dari aturan-aturan negara dan kultur di sekitar. Dalam penelitiannya, Parker dan Raihani menjelaskan bagaimana pengetahuan demokrasi berkembang di sekitar kita, khususnya untuk anak-anak. Regulasi di luar pemerintah berupa kultur di sekitar lebih besar kontribusinya dalam pembentukan aturan-aturan sekolah serta pembelajaran tentang demokrasi. Walaupun dalam penelitiannya Parker dan Raihani telah menganalisis kultur di sekitar turut mempengaruhi aturan di sekolah. Namun tulisan ini belum menganalisis secara mendalam bagaimana aturan-aturan tersebut akhirnya muncul dan mengatur perilaku anak. Misalnya, dinamika-dinamika pembentukan aturan yang dibuat guru, murid atau warga sekolah lainnya. Selain itu, bagaimana anak-anak melihat dan menghadapi aturan tersebut juga belum dimunculkan dalam penelitian Parker dan Raihani ini. Penelitian selanjutnya adalah yang dilakukan oleh Patrick Mirandah yang berjudul “Advertising to Children in Malaysia” (2006:74-76). Dalam penelitian ini Mirandah melihat bagaimana pemerintah mengatur regulasi
11
tentang anak-anak di dalam media. Dia mengamati beberapa iklan tentang anak, kultur di masyarakat, serta aturan-aturan yang berkembang di masyarakat. Kultur dan aturan tersebut akhirnya membentuk cara pandang tentang anak, kemudian direproduksi oleh media dalam tayangan iklan. Mirandah (2006) menjelaskan bahwa setiap iklan media yang berhubungan dengan anak di Malaysia selalu diperhatikan oleh pembuat iklan. Walaupun regulasi tidak diatur secara khusus oleh pemerintah, namun pihak pembuat iklan telah memiliki pemahaman tersendiri bagaimana anak harus dikontruksikan dalam sebuah media. Dalam tulisannya, Mirandah menjelaskan bahwa aturan tentang pembuatan iklan terhadap anak-anak merujuk pada faktor kultur sosial yang memandang anak-anak selalu berada di bawah pengawasan orang dewasa. Namun, yang terlewatkan dalam analisis ini adalah pemerintah di luar regulasi pembuatan iklan akan selalu mengawasi setiap penayangannya di media. Mirandah (2006) mengamati iklan anak-anak yang menampilkan kebutuhan sehari-hari bagi anak, seperti alat bermain, pakaian, dan kebutuhan anak lainnya. Iklan tersebut menampilkan orang tua sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam menjelaskan keunggulan produk serta kebutuhan yang harus dimiliki oleh anak. Dalam tulisannya, Mirandah melihat anak-anak di posisi tidak mandiri dan selalu berada dalam pengawasan orang tua. Dalam analisisnya, dia tidak melihat bahwa aturanaturan tentang perlindungan anak di Malaysia mempengaruhi pembuatan iklan. walaupun di balik itu pemerintah secara tidak langsung mengatur
12
regulasi tentang periklanan dan tentunya akan berimplikasi pada iklaniklan bagi anak-anak yang ditayangkan di masyarakat. Penelitian terakhir adalah yang dilakukan oleh Liesbeth Hop yang berjudul “Advertising to Children in Netherland”. Hop (2005:35-37) menjelaskan bagaimana regulasi pemerintah di Belanda mengatur anakanak dalam setiap iklan. Berbeda dengan di Malaysia, iklan-iklan yang berkembang di Belanda harus melewati regulasi yang diatur oleh pemerintah. Pemerintah di Belanda melalui Sekretaris Negara mengharuskan iklan-iklan untuk anak harus memiliki unsur media pembelajaran. Dalam penelitiannya, Hop belum melihat bahwa wacana tentang anak dalam iklan di Belanda selalu di posisi termarginalkan. Selain itu, dia juga belum menganalisis bahwa aturan-aturan yang dibentuk oleh pemerintah turut mendiskriminasikan anak-anak. Hop juga belum melihat relasi-relasi di luar pemerintah dan pembuat iklan. Cara pandang pemerintah pun tentunya dipengaruhi oleh relasi-relasi antara masyarakat atau orang tua yang mewakili cara pandang orang dewasa dalam melihat anak-anak. Dengan mengacu pada beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Saat ini belum pernah ada penelitian yang membahas mengenai pendidikan bagi anak di media, khususnya di NTB. Terlebih pembuat media tersebut memposisikan diri sebagai LSM perlindungan anak. Oleh karena itu, penelitian ini memaparkan bagaimana wacana pendidikan bagi anak serta relasi antara subyek anak dengan subjek di luar
13
anak yang di tampilkan dalam sebuah media yang turut dipengaruhi oleh kultur sosial di NTB. 1.6.
Landasan Teori 1.6.1. Produksi Wacana dan Pembentukan Subyek Wacana merupakan konsep, gagasan atau ide yang utuh dalam satuan bahasa. Wacana juga dipandang sebagai satuan bahasa yang lengkap dalam hierarki gramatikal (Winarto, 2004:104). Meskipun demikian, lebih dari sekedar satuan bahasa yang lengkap, wacana dapat membentuk berbagai pandangan terhadap fenomena sosial di masyarakat. Menambahkan penjelasan tersebut, menurut Foucault (1998) wacana dapat menjadi alat kepentingan kekuasaan, hegemoni serta pengetahuan. Maka, wacana bukan hanya berhubungan dengan teks linguistik saja, melainkan juga berhubungan dengan konteks sosial, dan kultur di sekitar masyarakat. Bahkan wacana berhubungan dengan sejarah dalam sebuah periode tertentu. Foucault menambahkan bahwa pembahasan tentang wacana selalu berhubungan dengan relasi antara kuasa dan pengetahuan. Wacana memproduksi gagasan, konsep atau efek dalam sebuah ide, opini serta pandangan hidup yang dibentuk dalam konteks tertentu, sehingga dalam proses pembentukannya mempengaruhi cara berfikir dan bertindak. Maka dalam proses pembentukan dan beredarnya wacana terjadi pertarungan ide dan gagasan serta saling mempengaruhi cara berfikir. Akhirnya melahirkan wacana dominan dan mengeksklusi wacana lainnya.
14
Menambahkan penjelasan tentang munculnya wacana dominan dan terpinggirkan, John Hartley (2002: 301) menjelaskan bahwa wacana mengacu pada proses interaktif dan juga hasil akhir dari komunikasi dan pemikiran. Selain itu wacana juga memiliki kemampuan untuk menjadi suatu gabungan wacana-wacana yang tujuannya membentuk dan melestarikan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Sedangkan kekuasaan yang dimaksud oleh Foucault dalam pembahasan ini adalah kekuasaan yang terbentuk oleh pengetahuan, tidak melekat pada subyek dan muncul dari ketidaksetaraan atau ketidakseimbangan yang pada akhirnya mengatur sekitar agar membenarkan sesuatu yang dibentuk oleh pihak dominan (Foucault dan Deleuze, 1977: 205-217).
Berbeda dengan pandangan
Marx, Foucault menentang sebuah kekuasaan datang dari sebuah relasi antara pemilik modal dengan buruh atau berpusat pada kekuasaan negara, melainkan tersebar dan tidak terpusat pada satu titik sumber otoritas. Untuk memberikan contoh penjelasan di atas, mengutip pernyataan Butera (2009: 82) dalam pembahasan tentang kelompok dominan dan kelompok termarginalkan dalam struktur masyarakat sosial. Kelompokkelompok dalam masyarakat sosial membedakan dirinya terhadap kelompok lainnya dengan pengetahuan sehingga membentuk kekuasaan dan menjadikan mereka kelompok yang menguasai wacana dominan. Terbentuknya wacana yang dominan memunculkan berbagai konsekuensi, antara lain: wacana dominan akan mendorong suatu fenomena sosial harus dipahami dan bagaimana membacanya, sehingga mereka hanya akan
15
memberikan pilihan-pilihan terbatas dalam menilai atau memahami fenomena tersebut. Selain itu, dalam memandang fenomena sosial di sekitar hanya akan melihat “benar” dan “salah”. Padahal “kebenaran” adalah konstruksi pihak dominan yang akhirnya akan mengesampingkan wacana yang lain hingga menjadi wacana yang terpinggirkan. Salah satu contohnya tentang munculnya fenomena “kegilaan”. “Kegilaan” dipandang sebagai konstruksi dari lingkungan sosial dan bukan secara natural dimiliki oleh seseorang. Chris Barker (2011:152) melihat analisis yang dilakukan oleh Foucault pada saat mengeksplorasi kondisikondisi historis di kehidupan sekitar manusia. Berbagai pernyataan diatur dan dirancang sedemikian rupa untuk membentuk dan menjelaskan suatu bidang pengetahuan atau objek tertentu sehingga muncul dan terbentuk “regim kebenaran”. Kelompok-kelompok yang memiliki wacana yang sama dengan regim tersebut maka akan masuk ke wacana dominan yang dianggap “normal”, sedangkan wacana yang lainnya akan terpinggirkan dan dianggap “tidak normal”. Untuk memperjelas pembahasan tentang wacana sebagai alat kepentingan pengetahuan dan kekuasaan, peneliti melihat tulisan Foucault dalam pembahasannya mengenai sejarah seksualitas (Foucault, 1976: 1735). Sejarah seksualitas yang dituliskan oleh Foucault bukanlah membahas tentang sejarah representasi tentang seksualitas, melainkan bagaimana aturan terhadap perilaku seksualitas beredar di tengah masyarakat serta kebenaran yang dikonstruksi.
16
Dalam penelitiannya, Foucault menganggap kekuasaan sebagai regim wacana yang mampu menggapai serta menembus bahkan mengontrol individu hingga ke kenikmatan yang paling intim, dengan cara penolakan atau pelarangan. Fenomena ini tidak sama sekali ingin menyembunyikan kebenaran tentang seks, melainkan mengatur “ingin tahu” yang menjadi objek dan bagian dari kekuasaan. Perasaan “ingin tahu” menjadi salah satu ungkapan atau hasrat sebagai praktik yang mengorganisir hubungan sosial. Keterkaitan antara pengetahuan dan kekuasaan berada saat wacana memiliki kemampuan untuk mengklaim dirinya sebagai sesuatu yang benar. Salah satu contohnya pada regim Gereja Katholik dengan pengakuan dosanya, Kedokteran dengan Psikiatri dan Dalih Pathologi, Pemerintah dengan angka pertumbuhan masyarakat, serta Institusi Pendidikan atau Sekolah dihadapkan dengan seksuailitas anak dan remaja. Maka sejak itu pembahasan tentang seks mulai dianggap tabu untuk diperbincangkan. Orang-orang menganggap seks sebagai rahasia penting karena masyarakat membutuhkan produksi kebenaran, dan seks masuk ke dalam regim tatanan pengetahuan (Ibid, 52-73). Dari wacana seksualitas bisa ditarik kesimpulan adanya kenikmatan untuk mengetahui, menemukan, tertarik, melihat, dan mulai mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan seks. Wacana mengatur bukan hanya apa yang bisa dikatakan pada kondisi kultural dan sosial tertentu saja. Namun lebih dari itu, siapa, kapan, dan dimana dapat berbicara juga mulai diatur dalam wacana
17
seksualitas. Dalam penjelasan Foucault yang berhubungan dengan “Prison Talk” (Foucault, 1980:37), menjelaskan bahwa kekuasaan tidaklah bekerja melalui penindasan, namun melalui aturan-aturan yang dibuat oleh sistem sehingga penghukuman membentuk publik disiplin, serta publik tidak lagi dikontrol melalui penghukuman secara fisik, melainkan melalui wacana yang dibuat. Kekuasaan ingin membentuk individu-individu yang disiplin agar menjadi tenaga produktif. Maka pendisiplinan pada tubuh menjadi bagian dari strategi kekuasaan dan kebenaran, sehingga pewacanaan seksualitas secara
sistematis
menandai perubahan hubungan kekuasaan dan
kebenaran. Dari fenomena tersebut akhirnya muncul hubungan antara kekuasaan dengan seksualitas seperti sensor dalam berbagai media, larangan bagi anak-anak untuk mengetahui seks (hubungan biologis antara laki-laki dewasa dan wanita dewasa), dan larangan-larangan lainnya. Dari pendisiplinan-pendisiplinan inilah akhirnya memunculkan subyek. Dalam praktik kekuasaan ada subyek yang berperan dalam wacana yang berkembang di sekitar masyarakat. Dalam pembahasan mengenai
“Symbolic
Order”
Jacques
Lacan
juga
menyebutkan
pembahasan tentang subyek, Lacan menjelaskan bahwa subyek muncul karena ada hubungan antar tanda dan peran yang diatur dalam masyarakat (Lacan, 1990:102). “Symbolic Order” tersebut merupakan struktur
18
hubungan yang sudah ada sebelum kita. Dalam pembahasannya Lacan membagi menjadi Fase Pra-Oedipal, Fase Cermin, dan Fase Oedipal2. Berbeda dengan Lacan, Foucault menjelaskan bahwa subyek merupakan sebuah hasil dari kuasa lewat proses individualisasi. Kedisiplinan menghasilkan subyek dengan kategorisasi dan menamainya dalam satu urutan hierarkis melalui rasionalitas efisiensi, produktvitas, dan normalisasi (dalam Barker, 2011: 31, 84). Foucault menjelaskan bahwa subyek akan hadir jika dia dan tubuhnya mengikuti proses pendisiplinan. Selain itu, subyek merupakan produk dari standardisasi yang dilakukan dalam pendisiplinan tersebut. Foucault (1998: 261-267) menunjukkan bahwa subyek menjadi pusat pengetahuan. Pada awalnya muncul saat lahirnya manusia sebagai objek pengetahuan bagi ilmu-ilmu manusia, selanjutnya manusia dianggap sebagai subyek yang berbicara, subyek yang menghasilkan, subyek yang hidup. Setiap subyek ini dibagi kemudian dipelajari oleh ilmu-ilmu tertentu. Subyek yang bekerja dan menghasilkan dipelajari oleh ilmu ekonomi, subyek yang berbicara dalam ilmu filologi dan linguistik, subyek yang hidup diteliti oleh ilmu biologi, dan beberapa pelajaran-pelajaran tentang subyek lainnya. Banyaknya ilmu yang mempelajari subyek manusia berarti menandai munculnya keberagaman wacana tentang manusia. Pembahasan tentang
2
Fase pra-oedipal ketika bayi merasa bahwa dirinya dan ibunya merupakan satu, Fase cermin ketika dirinya seperti refleksi dari cemin, dimana pandangan tentang ibunya adalah sebagai dirinya dan terakhir yakni ketika dirinya dan ibunya dipisahkan, dan sang bayi menyadari kehadiran ayah yang harus lebih dipatuhi.
19
subyek yang disiplin dalam wacana seksualitas, akan berimplikasi terhadap pembahasan tentang pendisiplinan yang diterapkan di berbagai lembaga-lembaga di masyarakat melalui kekuasaan dan pengetahuan (Foucault, 1978: 135-159). Contohnya pada subyek perempuan yang dikaitkan dengan tubuh sosial untuk menjamin kesuburan keluarga dan anak, sehingga tubuh perempuan terikat pada tanggung jawab biologi dan moral. Berbagai aktivitas tentang sosialisasi seks kepada masyarakat melalui medis untuk memberikan pendisiplinan pada masyarakat agar menjaga kesuburan pasangan, termasuk kontrol kelahiran atau KB. Selain itu, berbagai pendisiplinan tersebut menjadi sarana keberlangsungan antar subyek di masyarakat seperti orang tua dalam keluarga, masyarakat, guru di sekolah, pemuka, agama dalam dogma antar agamanya, tenaga medis dalam lembaga kesehatan, bahkan pemerintah dalam negara. Salah satu pendisiplinan dalam wacana seksualitas seperti subyek anak jika ingin berhasil dalam hidupnya maka mereka harus dijauhkan dari aktivitas seksualitas agar tidak merusak fisik dan moralnya. Di dalam umat beragama, agama menjadi penjaga moralitas umat. Mereka mengatur individu
melalui
penyeragaman
perilaku,
bahasa,
hingga
aturan
bermasyarakat. Cara ini akan mempermudah untuk mengatur pemeluk agama
tersebut
dengan ketakutan-ketakutan
akan dosa
sehingga
membentuk subyek yang patuh. Selain itu, negara yang diwakili oleh subyek pemerintah berkepentingan untuk mengatur aktivitas seksualitas bagi masyarakat. Tingginya jumlah penduduk mengharuskan negara harus
20
aktif untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan dengan tingginya angka kelahiran, maka negara juga harus siap meningkatkan jumlah sekolah dan kualitas pendidikan. Pendidikan juga menjadi salah satu tempat paling mudah untuk membentuk kedisiplinan sehingga menghasilkan subyek yang patuh. Sekolah sebagai lembaga pendidikan selain sebagai tempat untuk mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, juga sebagai tempat membentuk
kepribadian
anak,
sehingga
sekolah
berhak
untuk
mendampingi dan menjauhkan anak-anak dari segala yang berkaitan dengan aktivitas yang melanggar moral. 1.6.2. Pendidikan bagi Anak dalam Kaca Mata Pembuat Regulasi Munculnya pembahasan tentang aturan-aturan serta hak yang diberikan kepada anak, seperti kebebasan untuk berpendidikan di sekolah dimulai sejak dipisahkan antara buruh anak dan buruh dewasa dalam setiap pekerjaan industri. Sejak tahun 1919, International Labor Office telah mengatur batas minimum untuk pekerja anak di industri dengan umur 15 tahun dan tidak mengganggu fisik, moral, mental serta mengganggu waktu mereka untuk menempuh pendidikan (Arat, 2002: 177-204). Bentuk perhatian kepada anak-anak seperti memberikan ruang untuk berpendidikan adalah salah satu cara untuk mempersiapkan mereka menjadi “pekerja” yang lebih “siap” dalam rentang waktu tertentu ketika mereka telah beranjak dewasa. Bentuk kepedulian terhadap anak tidak terlepas dari aturan-aturan yang dibentuk oleh orang dewasa. Masa kanak-kanak mulai banyak 21
diperbincangkan setelah abad ke-17. Pembahasan tentang anak-anak (baca: hanya anak laki-laki) pun dimulai ketika membicarakan seputar anak-anak bangsawan. Ketika itu pembahasan pertama hanya berfokus pada perilaku dan aktivitas anak-anak bangsawan dalam keluarga. Anakanak berperilaku dan bersosialisasi dengan sekitarnya melalui pakaian yang mereka gunakan. Dari pakaian tersebut terlihat kelas-kelas sosial atau identitas mereka (Aries, 1962: 12). Selain perilaku anak-anak dalam keluarga, pembahasan tentang anak-anak bangsawan pada awalnya juga menjelaskan tentang interaksi anak-anak dalam sekolah. Munculnya aktivitas sekolah dianggap sebagai bentuk perubahan dari masa tradisional ke masa modern. Selain itu, sekolah juga dianggap sebagai salah satu tempat “karantina” bagi anak-anak. Sekolah dijadikan tempat untuk menumbuhkembangkan anak-anak sejak kecil, remaja, dan persiapan untuk menjalani hidup ketika mereka telah beranjak menjadi dewasa (Clarke, 2003: 5). Saya Sasaki Shiraishi (2001: 198) melihat sekolah sebagai tempat dominasi antara guru dan negara kepada anak-anak sebagai murid. Sekolah dapat menyiapkan anak-anak menuju masyarakat dewasa. Selain itu, sekolah memiliki tata tertib yang dapat mendisiplinkan anak-anak sebagai masyarakat masa depan, serta untuk mengatur dan membina anakanak sehingga dapat menjadi seperti yang diinginkan oleh negara. Lebih dari itu, pembahasan tentang pendidikan juga menyentuh hingga perubahan perilaku masyarakat ketika hadirnya pendidikan di sekitar
22
mereka. Seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1950. Saat itu terjadi “revolusi pendidikan” di Indonesia, pendidikan gaya barat mulai masuk ke Indonesia. Tidak hanya di kota, bahkan masuk hingga ke pelosok desa. Akhirnya membuat masyarakat menerima aturan-aturan baru. Para petani dan pekerja di desa dengan sistem mereka sebelumnya berubah seketika. Anak-anak sekolah kemudian diseragamkan, tidak hanya dari pakaian dan pelajarannya saja, melainkan aturan-aturan hingga perilaku yang mulai diatur oleh negara. Menambahkan penjelasan di atas, sekolah juga dijadikan sebagai lokasi pembentukan diri bagi anak-anak. Mereka akan diatur dan dilatih hingga masuk dalam pemikiran wacana dominan atau wacana yang dimiliki oleh negara (Hyland, 2009: 123). Paulo Freire (2008: 53-54) juga menjelaskan bagaimana pendidikan menjadi sebuah tempat pengokohan hierarki antara guru dengan murid dengan sistem-sistem yang dibuat oleh negara. Freire menyebutkan dalam tulisannya sebagai pendidikan “Gaya Bank”. Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap diri mereka berpengetahuan (guru) kepada mereka yang dianggap belum memiliki pengetahuan (murid). Dalam tulisannya Freire (2008) menyebutkan bahwa, Guru mengajar, murid diajar; guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa; guru berfikir, murid patuh mendengarkan; guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui dan seterusnya yang membuat hierarki orang dewasa atau representasi guru tetap menjadi
23
lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak . Struktur hierarki ini mulai ditanamkan kepada anak-anak ketika pertama kali masuk sekolah. Ruang kelas telah menunjukkan hierarki antara guru dan anak. Bagaimana guru memegang kuasa untuk memberikan pelajaran dan memberikan pertanyaan. Selain itu, bentuk dominasi terlihat melalui teks-teks buku bacaan serta perilaku guru kepada anak-anak sepanjang waktu sekolah (Shiraishi, 2001: 214). Dari penjelasan tersebut, maka inilah kemudian yang direproduksi oleh anakanak dan menganggap segalanya adalah jati diri mereka, atau dalam tulisan Freire disebut sebagai sikap fatalisme. Fatalisme sendiri seringkali disebut sebagai sikap patuh dari hasil situasi kesejarahan dan kemasyarakatan, bukan suatu watak esensial dari perilaku masyarakat atau citraan tentang diri mereka yang telah terinternalisasi (Freire, 2008: 39). Tidak serta merta meyetujui pandangan Freire bahwa pendidikan merupakan bentuk dominasi yang tidak memberikan kebebasan kepada anak-anak. Donna LeCourt (2004: 26) menjelaskan bahwa pendidikan dijadikan lokasi bagi anak-anak untuk mengenal dirinya dan melakukan praktik emansipasi yang akhirnya sebagai
pintu
masuk
mengesampingkan
dalam
bahwa
wacana
pendidikan
dominan.
LeCourt
dijadikan
lokasi
tidak tempat
pembentukan diri dan pendisiplinan bagi anak. Namun, anak-anak dalam konteks ini adalah pelajar telah dipersiapkan oleh negara untuk masuk ke
24
dalam wacana dominan. Dengan kata lain, LeCourt menyebutkan bahwa ada praktik emansipasi yang dilakukan oleh pendidikan bagi anak-anak agar
mengikuti wacana
dominan
yang
dipandang
“lebih
baik”
dibandingkan masuk dalam wacana termarginalkan dalam masyarakat. Di dalam tulisannya, Freire juga menyebutkan bahwa di dalam praktik pendidikan ada bentuk-bentuk emansipasi sosial dan individu bergerak di dalamnya. Namun, emansipasi dikelola oleh tangan-tangan kuasa seperti negara sebagai yang mengatur sistem dan dikelola oleh guru dalam konteks pendidikan di sekolah. Freire berpendapat bahwa emansipasi yang diberikan adalah emansipasi semu yang dianggap sebagai bentuk penindasan bagi pelajar. Bagaimana dominasi dipraktikkasn secara subjektif melalui proses internalisasi dan “pengendapan diri” dalam bentuk kebutuhan pribadi (Freire 2007: 16). Bentuk-bentuk emansipasi yang dilakukan melalui pendidikan tidak terlepas dari bentuk dominasi yang dilakukan oleh negara melalui guru dengan jalur pendidikan bagi anak. Anak-anak dibentuk sejak dini di dalam ruang kelas, kemudian ditampilkan apa yang harus dan tidak mereka lakukan dalam cara pandang orang dewasa. Fenomena ini kemudian masuk hingga ke lini terkecil seperti masyarakat, keluarga, hingga media turut untuk mengonstruksi anak-anak dalam setiap pemberitaan atau acara-acara dalam programnya. 1.6.3. Anak-anak dalam Media Anak-anak tumbuh dalam ruang lingkup kultural yang telah termediasi dan dikontruksi oleh orang dewasa. Anak-anak bahkan jarang 25
dimasukkan dalam kategori “menentukan” untuk sekitar bahkan bagi dirinya sendiri. Konstruksi tersebut bahkan masuk ke lini terkecil, yaitu mengatur kebahagiaan anak-anak yang ditentukan oleh pilihan-pilihan yang diberikan oleh orang dewasa (Cipriani, 2009: 2). Anak-anak dipandang dan dinilai belum memiliki kemampuan untuk memilih, sehingga tidak jarang terjadi dominasi terhadap anak-anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Dari konstruksi dan cara pandang yang diciptakan oleh orang dewasa itulah akhirnya tidak sedikit membentuk aturan-aturan terhadap anak serta tampilan anak yang diatur dan dimunculkan di berbagai tempat, salah satunya melalui media. Khalayak media khususnya anak-anak dianggap seakan-akan tidak memiliki kuasa dalam tayangan-tayangan media (Muto, 2005: 37-43). Menambahkan penjelasan di atas, media khususnya yang memberitakan, menginformasikan, bahkan menampilkan anak-anak dalam programnya seringkali menjadikan anak-anak sebagai pembanding dalam kelas tertentu. Selain itu anak juga dapat menjadi bentuk representasi identitas dalam kelompok di masyarakat. Contohnya pada saat media memberitakan perayaan natal. Pemberitaan yang seringkali dimunculkan adalah sebuah konstruksi bagaimana anak-anak menginginkan sebuah permainan. Kebutuhan akan dirinya dikontruksikan dan ditampilkan sebagai anakanak
manja.
Sedangkan
untuk
keluarga-keluarga
miskin
dalam
pemberitaan media memunculkan tentang seorang ibu dan anak yang berjuang untuk hidup dengan segala kesedihan, bahkan anak-anak
26
seringkali ditampilkan sebagai seseorang yang bertanggung jawab pada masa depan untuk dapat merubah hidup lebih baik (Kendall, 2011: 24-47). Konstruksi media terhadap anak tidak terlepas dari dominasi-dominasi struktur yang ada di dalamnya. Dengan segala kuasanya media memiliki kemampuan untuk menentukan agenda berita yang akan mereka tampilkan atau dengan kata lain media memiliki kehendak untuk menseting tayangan yang ditampilkan kepada khalayak (Lang dan Lang, 1959). Selain itu, media massa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Contohnya saat media massa membangun citra publik tentang figur-figur poltik. Media tidak akan memberikan sebuah solusi kepada khalayak terhadap sebuah pemberitaan atau isu yang di tampilkan kepada khalayak, melainkan hanya memberikan informasi-informasi yang mereka rangkum dan mencoba untuk menseting pembahasan yang tengah dibahas di sekitar khalayak. Menambah pendapat Lang dan Lang, Stuart Hall (1981) menjelaskan bahwa media membentuk dan menarik perhatian tentang dunia yang berada dalam proses seting media. Pembuat berita membuat sebuah seting tentang apa yang diberitakan, yang penting untuk dibicarakan dan mana yang di luar paradigma media. Pernyataan-pernyataan di atas tidak menganggap bahwa khalayak sebagai pihak yang pasif saat menerima informasi maupun pemberitaan dari media, namun penjelasan tersebut lebih menekankan bahwa media mencoba mendorong atau menampilkan apa yang saat ini sedang diperbincangkan di sekitar khalayak dengan agenda-agenda yang telah mereka atur sedemikian rupa.
27
Tidak hanya menseting agenda yang akan disampaikan kepada khalayak saja, media juga melakukan manipulasi dan hegemoni, atau dalam penjelasan Chris Barker disebut sebagai model manipulatif dan model hegemonik (Barker, 2011). Dalam model manipulatif, media dilihat sebagai suatu refleksi masyarakat yang didominasi kelas dan ideologi. Seting media terhadap tayangannya terjadi akibat kepemilikan media berada di dalam kuasa kelompok “mapan” atau manipulasi atas pemerintah dan tekanan informasi seperti kelompok-kelompok tertentu. Selain model manipulatif, Barker juga menjelaskan model hegemonik, media melakukan proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi serangkaian makna dan praktik otoritatif. Dalam penjelasan model hegemonik ini, Barker menggunakan konsep hegemoni Gramsci atau disebut sebagai hegemoni kultural. Hegemoni sebagai sesuatu yang diraih dan bukan diterima. Hegemoni terus menerus dinegosiasikan ulang, sehingga membuat kebudayaan sebagai lahan konflik dan perebutan makna. Salah satu contohnya saat wartawan mereproduksi asumsi rasis bahwa kejahatan jalanan dilakukan oleh anak-anak muda kulit hitam atau tampilan anakanak sebagai seseorang yang manja di media seperti yang dijelaskan Kendall di atas. Di balik media ada tangan-tangan kuasa pihak dominan atau pemilik modal yang dikendalikan oleh orang-orang dewasa. Mereka menampilkan tayangan-tayangan anak dengan cara pandang mereka atau dalam penjelasan Maya Goetz (2008:3) disebut sebagai “media membunuh
28
imajinasi anak-anak”. Imajinasi anak tentang dirinya dan sekitar sudah mulai diperkenalkan dan diciptakan sejak mereka mulai mengonsumsi media. Salah satunya saat mereka menyaksikan film-film fantasi atau film yang sengaja diseting sebagai film-film dengan kategori anak. Sejak itulah anak-anak mulai menganggap dirinya berada dalam bagian representasi yang ditayangkan oleh media. Anak-anak dalam media kemudian diatur dan ditampilkan sesuai dengan cara pandang orang dewasa. Tayangan media seringkali memposisikan anak sebagai pihak yang tidak mandiri dan selalu berada dalam pengawasan orang dewasa, sehingga media beranggapan memiliki peran penting untuk menentukan bagaimana anakanak juga ditampilkan di masyarakat sosial (Calvert dan Wilson, 2008). Selain itu, masyarakat yang mengonsumsi media akhirnya mencoba mengambil jalan pintas dengan melihat diri mereka di media atau media menganggap bahwa apa yang mereka tampilkan kepada khalayak merupakan representasi dari masyarakat yang sama dengan masyarakat sosial (Arnett, 2007). Inilah yang mendorong bagaimana akhirnya anak ditampilkan di dalam media dan bagaimana media mulai menciptakan anak-anak sebagai suatu representasi pada masyarakat sosial. 1.7.
Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis pemberitaan KA edisi Hari Pendidikan Nasional menggunakan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) milik Norman Fairclough (2004).
CDA
29
ingin melihat bahwa wacana yang disebarkan kepada khalayak tidak muncul dengan sendirinya. Dalam analisisnya, Fairclough mencoba menghubungkan teks mikro atau analisis tekstual yang melihat bahasa dalam ruang tertutup dengan menghubungkan pada konteks produksi pesan dan kultur masyarakat dalam analisis makro. Fairclough memilih unsur mikro dalam analisis CDA-nya karena melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan dan bentuk tindakan. Bahasa terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konsteks sosial tertentu. Pemakaian bahasa dalam teks membawa nilai ideologi. Teks merupakan bentuk tindakan dan hubungan dialektik dengan struktur sosial. Dalam dimensi teks ini Fairclough menganalisis linguistik dengan melihat kosakata antar kalimat yang saling menghubungkan, dan melihat representasi tertentu yang ditampilkan dalam sebuah teks. Setelah menganalisis dimensi teks, dalam analisisnya Fairclough melihat teks dihasilkan lewat proses produksi teks dan konsumsi. Teks dalam berita juga melalui proses diskursus yang beredar. Proses ini dapat dilihat dari pola kerja, bagan kerja dan rutinitas dalam menghasilkan berita. Dalam praktiknya, teks terkait dengan pembuat teks tersebut. Terakhir adalah pada analisis makro atau pada aspek yang lebih luas yaitu dengan melihat konteks sosial produksi wacana tersebut. Konteks pemberitaan tersebut disampaikan kepada konsumen, dengan melihat konteks di luar teks, data intertekstual dari teks yang diamati atau lebih
30
luasnya adalah konteks praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.
1.7.2. Data Penelitian Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini merupakan beritaberita yang berhubungan dengan pendidikan bagi anak di dalam Tabloid KA. Secara spesifik yaitu pemberitaan pada edisi khusus Hari Pendidikan Nasional pada bulan Mei tahun 2011 yang bertema “Pendidikan itu Punya Siapa?”. Pemilihan edisi ini karena sesuai dengan tujuan penulis untuk menganalisis wacana yang muncul dalam teks-teks berita berhubungan dengan pendidikan bagi anak. Sedangkan di beberapa edisi KA yang lainnya tidak spesifik dalam memberitakan seputar pendidikan bagi anak. Setelah mendapatkan objek material yang akan dianalisis, penulis kemudian memilih beberapa berita berdasarkan dua kategori. Kategori tersebut yakni pemberitaan yang berhubungan dengan pendidikan di sekolah dan kategori pemberitaan yang berhubungan dengan pendidikan di luar sekolah seperti kursus kesenian dan lembaga keagamaan. Kedua kategori tersebut juga berdasarkan berita utama yang dimunculkan oleh KA pada edisi hari pendidikan nasional. Kategori pertama, pendidikan di sekolah terdiri dari 3 berita yaitu “Pendidikan itu Punya Siapa?”, “2 Mei dan Sejarahnya…Siapa yang Tahu?”, dan pemberitaan yang berjudul “Sekolah Ramah Anak: Tata Tertib Sekolah Disusun Siswa”. Selanjutnya berita yang berhubungan dengan pendidikan di luar sekolah terdiri dari 3 berita yaitu “Saya Mau
31
Bermain Biola”, “Mengaji Maghrib Sudah Langka”, dan pemberitaan “Semangat Ngaji yang Luntur dalam Keluarga”. Namun, dalam analisis ini penulis tidak hanya melihat teks narasi saja, melainkan juga melihat teks gambar dalam setiap korpus. Dengan demikian, jumlah pemberitaan yang dipilih dan menjadi korpus dalam penelitian ini adalah 6 artikel berita KA dalam edisi khusus Hari Pendidikan Nasional dan melihat teks-teks berupa gambar di setiap artikel.
1.7.3. Analisis Data Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa tahap. Antara lain: Pertama, menentukan objek material pemberitaan yang akan dianalisis dan memilih korpus dalam penelitian ini. Setelah memilih korpus penelitian, penulis selanjutnya melakukan analisis terhadap pemberitaan tersebut dengan pendekatan analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis ) model Fairclough. Selanjutnya penulis akan melakukan beberapa langkah, yaitu: Pada tahap teks atau deskripsi, penulis akan melihat teks-teks dimunculkan dalam tulisan tersebut, serta ilustrasi yang digambarkan dalam berita. Penulis akan melihat bagaimana anak-anak diposisikan dalam sebuah berita. Wartawan memposisikan diri sebagai sesama anak, mewakili kelompok, atau kelas sosial tertentu. Selain itu, penulis akan melihat bagaimana subyek anak ditampilkan dalam sebuah teks dengan disandingkan dengan subyek lainnya. Selanjutnya, penulis akan menghubungkan antara teks dengan konteks wacana anak-anak yang dilihat dari pembuat pesan,
32
konteks sosial di sekitar, dengan melihat konteks di Indonesia dan secara khusus di NTB.
1.7.4. Sistematika Penulisan Penulisan dalam penelitian ini akan menghasilkan beberapa BAB, antara lain: BAB I : Memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan metode penelitian. BAB II : Pada bab ini menjabarkan mengenai anak-anak dalam struktur pendidikan di Indonesia dari masa ke masa. Selain itu penulis menyajikan gambaran umum tentang Koran Anak dengan melihat kuasa di dalam media tersebut. BAB III : pada bab ini akan terkait dengan pembahasan tentang wacana pendidikan bagi anak di KA. BAB IV : pada bab ini menjelaskan tentang kehadiran subyek dan relasi antar subyek dalam wacana pendidikan bagi anak di KA. BAB V : Pada bab yang terakhir ini akan menjawab secara keseluruhan dalam rumusan masalah yang dirangkum dalam kesimpulan dan saran.
33