BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk sosial tidak akan pernah lepas dari peristiwa komunikasi. Dalam berkomunikasi, bahasa mempermudah manusia untuk menyampaikan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, realitas, dan sebagainya. Manusia dalam peristiwa komunikasi dapat bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca). Secara garis besar, komunikasi verbal dibedakan menjadi dua macam, yaitu komunikasi lisan dan komunikasi tulis. Dengan begitu, wacana atau tuturan pun dibagi menjadi dua macam: wacana lisan dan wacana tulis. Kridalaksana (dalam Tarigan, 2009:24) berpendapat bahwa dalam konteks tata bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut wacana mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea atau paragraf, penggalan wacana (pasal, subbab, bab, atau episode), dan wacana utuh. Hal ini berarti juga bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal terkecil dalam wacana dan dengan demikian kalimat juga merupakan basis pokok pembentukan wacana. Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana bukan merupakan susunan kalimat yang tersusun secara acak, melainkan merupakan susunan
1
2
kalimat yang tersusun mengikuti aturan gramatikal yang ada baik berupa lisan maupun berupa tulisan. Alwi, Dkk (2003:419) mengatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain dan membentuk satu kesatuan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wacana tulis merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan tingkat keterbacaan. Informasi yang disampaikan melalui wacana tulis tentu mempunyai perbedaan dengan informasi yang disampaikan secara lisan. Perbedaan itu ditandai oleh adanya keterkaitan antarproposisi. Keterkaitan dalam wacana tulis dinyatakan secara eksplisit yang merupakan rangkaian antarkalimat secara gramatikal. Adapun untuk bahasa lisan, keterkaitan itu dinyatakan secara implisit, dimana kejelasan informasi akan didukung oleh konteks. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa lisan atau ujaran lebih ditekankan pada konteks dan situasi untuk lebih menjelaskan topik pembicaraan pada saat terjadinya peristiwa komunikasi. Lain halnya pada bahasa tulis, keterkaitan kalimat sebagai unsur pembangun wacana harus dirangkaikan secara runtut sehingga menjadi wacana yang mempunyai kepaduan, baik dari bentuk ataupun maknanya. Kelompok kata belum tentu disebut wacana bila rentetan itu tidak memberikan informasi yang lengkap sesuai dengan unsur-unsur pembangun wacana. Melihat fenomena yang ada, dalam wacana tulis hubungan antarkalimat harus selalu diperhatikan untuk memelihara keterkaitan dan
3
keruntutan antarkalimat. Di dalam ilmu bahasa keterkaitan dan kerapian bentuk disebut kohesi dan keherensi. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan). Sebagai satuan gramamatikal tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanan lainnya. Chaer (2012:267) berpendapat bahwa persyaratan gramatikal dalam wacana dapat terpenuhi kalau wacana tersebut sudah memiliki keserasian hubungan antara unsur-unsur didalamnya. Keserasian hubungan antara unsurunsur dalam wacana disebut kohesif. Bila wacana itu kohesif, akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang benar. Wacana merupakan sebuah struktur kebahasaan yang luas melebihi batasanbatasan kalimat, sehingga dalam penyusunannya hendaknya selalu menggunakan bentuk tulis yang efektif. Salah satunya dengan penggunaan kohesi internal yang tepat. Kohesi merupakan salah satu unsur pembangun wacana yang menjadikan wacana menjadi padu, jelas, dan benar secara gramatikal. Konsep suatu ikatan dalam kebahasaan merupakan unsur pembangun yang membentuk sebuah wacana, sehingga menjadi kesatuan rangkaian kalimat yang bermakna. Dengan hubungan yang kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat diinterpretasikan sesuai dengan ketergantungan antar unsur-unsur (Halliday dan Hasan dalam Mulyana, 2005:26). Dengan demikian, kalimat yang terdapat dalam wacana saling berkaitan.
4
Sebuah teks memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk teks yang penting. Brown dan Yule (dalam Arifin, 2012:13) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks. Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa. Hubungan kohesif ditandai dengan penggunaan alat kohesi formal yang berupa bentuk linguistik. Piranti yang digunakan sebagai sarana penghubung itu sering disebut alat kohesi. Menurut Halliday dan Hasan (dalam Arifin, 2012:19) bahwa unsur kohesi terdiri dari dua macam, yaitu unsur gramatikal dan unsur leksikal. Hubungan gramatikal itu dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk bahasa yang digunakan. Konsep kohesi gramatikal mengacu pada hubungan antarunsur dalam wacana yang direalisasikan melalui tata bahasa. Kohesi gramatikal tersebut muncul jika terdapat unsur lain yang dapat ditautkan dengannya. Hubungan gramatikal itu dibedakan menjadi referensi, subtitusi, elipsis, dan konjungsi. Rentel (dalam Arifin, 2012:19) menyebutkan piranti konjungsi dengan istilah organik. Setiap alat kohesi gramatikal tersebut memiliki sifat relasinya masing-masing, baik berupa pertalian bentuk, pertalian referensi, atau persangkutan makna. Setiap kategori terbagi menjadi beberapa subkategori. Salah satu hubungan bentuk dalam sebuah wacana dapat dilakukan dengan menggunakan penanda referensi. Hubungan referensi menandai hubungan kohesif wacana melalui pengacuan. Alwi (2003:43) menyebutkan bahwa pengacuan atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud yang meliputi benda
5
atau hal yang terdapat di dunia yang diacu oleh satuan bahasa itu. Dalam wacana tulis terdapat berbagai unsur seperti pelaku perbuatan, penderita perbuatan, pelengkap perbuatan, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, dan tempat perbuatan (Alwi, 2003:440). Unsur itu acap kali harus diulang-ulang untuk mengacu kembali atau untuk memperjelas makna. Oleh karena itu, pemilihan kata serta penempatannya harus tepat sehingga wacana tadi tidak hanya kohesif, tetapi juga koheren. Dengan kata lain, referensinya atau pengacuanya harus jelas. Djajasudarma (2010:39) mengatakan bahwa referensi di dalam bahasa yang menyangkut nama diri digunakan sebagai topik baru (untuk memperkenalkan) atau untuk menegaskan bahwa topik masih sama. Topik yang sudah jelas biasanya dihilangkan atau diganti. Pada kalimat yang panjang, biasanya muncul beberapa predikat dengan subjek yang sama dan subjek menjadi topik juga. Subjek hanya disebutkan satu kali pada permulaan kalimat, lalu diganti dengan acuan (referensi) yang sama. Perhatikan contoh berikut, (1) Safira kembali ke Indonesia. Dia membeli rumah baru di daerah Kebayoran, dan mulai mengatur hidupnya kembali di tempat baru itu. Pada contoh (1) kata ‘Safira’ merupakan topik yang diletakkan di depan paragraf. Pada kalimat berikutnya topik yang masih sama diulang kembali menggunakan penanda referensi persona ‘dia‟ dan „–nya’, serta penanda referensi demonstrativa ‘itu’. Dengan adanya penanda referensi, kalimat tersebut menjadi lebih padu. Namun, apabila penanda tersebut dihilangkan informasi mengenai topik tersebut menjadi kurang penting sebagai unsur kesatuan suplementer (pelengkap). Bila penanda referensi ini digunakan dalam kalimat
6
tersebut makna akan dijadikan kesatuan terdahulu. Dalam hal ini, pronomina dapat digunakan sebagai referensi dalam bahasa Indonesia. Surat kabar akan dijadikan subjek dalam penelitian ini. Surat kabar mempunyai variasi penggunaan penanda referensi, hal ini yang melatar belakangi peneliti untuk menjadikan pembahasan dalam penelitiannya. Dalam analisis wacana, referensi sebagai tindak tanduk dari si penulis. Dengan kata lain, referensi dari sebuah kalimat sebenarnya ditentukan oleh si penulis. Pembaca atau pendengar hanya dapat menerka apa yang dimaksud (direferensikan) oleh si penulis. Fungsinya sebagai alat pengacu antarkalimat yang satu dengan yang lain, antarparagraf yang satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan. Penanda kebahasaan itu biasa disebut kohesi referensi. Surat kabar harian Kompas merupakan suatu media massa yang selalu memberikan informasi kepada pembaca setiap hari, di dalamnya terdapat rubrikrubrik yang menarik di dalamnya adalah pendidikan dan kebudayaan. Pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu nama rubrik yang di dalamnya terdapat informasi mengenai pendidikan dan kebudayaan, memuat berita-berita terbaru tentang pendidikan dan kebudayaan, sehingga masyarakat bisa mengerti hal-hal yang berhubungan pendidikan dan kebudayaan. Rubrik pendidikan dan kebudayaan ini berisikan beberapa tulisan yang membahas seputar pendidikan dan kebudayaan, biasanya seseorang ketika membaca surat kabar, hal pertama yang dilakukan adalah membaca untuk memperoleh informasi atau mengambil makna dari sajian surat kabar tersebut. Akan tetapi, tanpa disadari juga dengan adanya penanda kohesi gramatikal referensi yang mendukung sebuah berita, akan
7
membentuk berita menjadi utuh, karena penanda kohesi gramatikal referensi membantu satu kalimat dengan kalimat yang lain menjadi padan, tidak rancu. Jika dalam sebuah wacana terdapat koherensi dan kohesi, akan membuat wacana tersebut menjadi sempurna, secara makna maupun strukturnya. Pemakaian penanda kohesi gramatikal referensi dalam sebuah wacana sangatlah penting, tanpa adanya suatu kohesi dalam sebuah wacana akan membuat pembaca tidak memahami tentang informasi yang disampaikan. Bayangkan saja dalam suatu wacana tidak ada sama sekali unsur penanda kohesi kohesi gramatikal referensi, maka yang terjadi adalah wacana tersebut akan rancu, tidak efektif untuk dibaca, dan secara pasti pesan yang disampaikan melalui wacana tersebut tidak akan sampai kepada pembaca. Penanda kohesi gramatikal referensi berfungsi sebagai alat pengacu antarkalimat yang satu dengan yang lain, antarparagraf yang satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan. Dalam rubrik pendidikan dan kebudayaan ini terdapat banyak sekali penanda kohesi gramatikal referensi, sebagai pembentuk kesatuan wacana. Maka dari itu, analisis penanda kohesi gramatikal referensi ini menggunakan objek Surat Kabar Harian Kompas dengan rubrik pendidikan dan kebudayaan. Penelitian yang mengambil objek wacana dalam surat kabar, bukanlah yang pertama dilakukan. Banyak sekali variasi penelitian yang pernah dilakukan. Salah satunya yakni penelitian Thoharotus (2014) berjudul Analisis Penanda Kohesi Gramatikal Wacana Tulis Rubrik “Ronce Ngalam” pada Koran malang post edisi 28 Januari 2014 – 06 Februari 2014. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Thoharotus, analisis penanda kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana-
8
wacana dalam rubrik “Ronce Ngalam” meliputi substitusi, referensi, konjungsi, elipsis. Dengan kata lain, penelitian tersebut memfokuskan analisisnya pada penanda kohesi gramatikal secara keseluruhan, berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini lebih memfokuskan analisisnya pada penanda kohesi gramatikal secara spesifik, yakni penanda kohesi gramatikal referensi. Penelitian yang dilakukan hanya menganalisis satu pokok permasalahan yakni penanda kohesi gramatikal referensi dalam wacana yang terdapat dalam surat kabar khususnya rubrik pendidikan dan kebudayaan. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti memberi judul penelitian ini “Penanda Kohesi Gramatikal Referensi dalam Rubrik Pendidikan dan kebudayaan di Harian Kompas Edisi 1-7 Juni 2014”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dikemukakan bahwa pokok masalah dari penelitian ini adalah penanda kohesi gramatikal referensi sebagai pengacu wacana tulis dalam surat kabar. Dari pokok masalah itu dapat identifikasi beberapa rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana wujud penanda kohesi gramatikal referensi dalam rubrik pendidikan dan kebudayaan di harian Kompas? 2. Apa fungsi penanda kohesi gramatikal referensi dalam rubrik pendidikan dan kebudayaan di harian Kompas? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
9
1. Mendeskripsikan wujud penanda kohesi gramatikal referensi dalam rubrik pendidikan dan kebudayaan di harian Kompas. 2. Mendeskripsikan fungsi penanda kohesi gramatikal referensi dalam rubrik pendidikan dan kebudayaan di harian Kompas. 1.4 Manfaat Penilitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini mencakup dua hal, yaitu secara teoretis dan secara praktis. 1. Manfaat teoretis a. Hasil penelitian ini digunakan sebagai kontribusi pengembangan ilmu bahasa, terutama di bidang ilmu wacana. b. Hasil penelitian ini akan menambah sumber informasi tetntang wujud dan fungsi penanda kohesi gramatikal referensi
baik dalam tataran
antarkalimat maupun antarparagraf. 2. Manfaat praktis a. Membantu memberi sumbangan pada pembinaan dan pengembangan bahasa. b. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi para pembaca atau pemakai bahasa untuk dapat menerapkan penanda kohesi gramatikal referensi secara tepat. 1.5 Definisi Operasional Untuk memperoleh kesamaan persepsi mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, ada baiknya apabila dijelaskan istilah-istilah
10
tertentu yang mungkin dapat menimbulkan penafsiran berbeda. Beberapa istilah yang dimaksud akan diuraikan berikut ini. 1) Referensi adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara atau penulis untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan dalam konteks linguistik (Lyon dalam Arifin, 2012:21). 2) Wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 2009:26). 3) Wujud adalah benda yang nyata (bukan roh dsb). (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 4) Fungsi adalah peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas; mis.nomina yang berfungsi sebagai subjek atau objek (Kridalaksana, 2011:67) 5) Kohesi adalah kepaduan bentuk secara struktural membentuk ikatan sintaktial (Mulyana, 2005:26). 6) Koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana (Cook dalam Arifin, 2012:14). 7) Kohesi gramatikal adalah hubungan gramatikal diklasifikasikan berdasarkan bentuk bahasa yang digunakan (Halliday dan Hasan dalam Arifin, 2012:19).