BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Merokok sangat berbahaya dan merusak kesehatan baik bagi perokok aktif maupun orang-orang yang berada disekitar perokok tersebut, karena rokok mengandung zat-zat sangat yang berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Selain itu, dalam sebatang rokok juga mengandung bahan-bahan kimia lain yang tak kalah beracunnya. Dampak kesehatan yang diakibatkan penggunaan tembakau atau kebiasaan merokok dapat kita lihat bahwa pada tahun 2001, angka kejadian akibat penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok yang dilaporkan di Indonesia adalah 22,6% atau 427,948 kematian. Insidensi kanker paru pada laki-laki di tahun 2001 menunjukkan 20 per 100.000 ribu penduduk, sementara pada wanita 6,8 per 100.000. Penyebab kematian nomor 1 di Indonesia pada tahun 1999 adalah penyakit sistem sirkulasi, termasuk di dalamnya adalah penyakit kardiovaskular, Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko kanker paru-paru dan penyakit kardiovaskular. Dampak perokok pasif dengan bukti yang sugestif menyebabkan tumor otak, limfoma dan leukemia. Data kematian pada perokok pasif cukup tinggi. Data yang didapatkan dari survei pada 23 negara di Eropa pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kematian yang berkaitan dengan perokok pasif sebesar 79.449, dengan rincian sebesar 32.342 kematian karena penyakit jantung iskemik, 28.591 karena stroke, serta kanker paru
Universitas Sumatera Utara
sebesar 13.241 dan PPOK sebesar 5.275.3 Data di Amerika menunjukkan sebanyak 38.000 perokok pasif meninggal setiap tahunnya akibat kanker paru dan penyakit jantung. 1 Indonesia merupakan salah satu dari lima negara dengan konsumsi rokok terbanyak. Data Tobacco Atlas 2012 menunjukkan bahwa Indonesia masih merupakan salah satu dari lima konsumsi terbanyak, meskipun sudah menduduki peringkat keempat sejajar dengan Jepang. Persentase di lima negara tersebut, yaitu Cina (38%), Rusia (7%), Amerika serikat (5%), Indonesia dan Jepang (4%). 2 Beberapa negara dan kota di dunia telah membuktikan bahwa UndangUndang Kawasan Tanpa Rokok (UU KTR) yang diikuti dengan penegakan hukum yang ketat, memiliki dukungan dan tingkat kepatuhan masyarakat yang cukup tinggi. Negara-negara yang memiliki dukungan dan tingkat kepatuhan tinggi, yaitu Irlandia (90%), Uruguay (80%), New York (75%), California (75%), dan New Zealand (70%). Hasil penelitian di California menunjukkan bahwa terjadi perubahan sikap yang positif dan signifikan terkait hukum bebas asap rokok dimana pada survei tahun 1998 (43,0%), meningkat pada survei tahun 2002 (82,1%) pemilik bar dan staf akan meminta untuk berhenti atau merokok di luar ketika ada pelanggan yang merokok di bar. Selain itu, penelitian yang dilakukan di Meksiko untuk menilai tentang sikap dan
1
Yayi Suryo Prabandari. dkk, Jurnal: Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Tembakau Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Kampus Bebas Rokok terhadap Perilaku dan Status Merokok di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta (Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2009), hal 220. 2 Intan Fatmasari. dkk, Jurnal: Perilaku Supir Angkutan Pasca penetapan PERDA Kawasan Tanpa Rokok di Kota Makassar (Makassar: Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Hasanuddin) hal 2.
Universitas Sumatera Utara
keyakinan terhadap hukum bebas asap rokok memberikan hasil adanya dukungan tinggi yang meningkat untuk 100% kebijakan bebas asap rokok, meskipun 25% bukan perokok dan 50% dari perokok setuju dengan hak perokok untuk merokok di tempat umum. 3 Namun hal tersebut tidak sejalan dengan fakta yang ada di Indonesia. Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), jumlah perokok di Indonesia dari tahun ke tahun tidak beranjak turun, justru naik. Pada tahun 2001 menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) prevalensi perokok pria di atas 15 tahun adalah 58.3%, sementara pada tahun 2004 menurut SKRT prevalensi perokok pria di atas 15 tahun adalah 63.2%. Angka tersebut meningkat seiring dengan naiknya jumlah konsumsi rokok dari 198 milyar batang di tahun 2003 menjadi 220 milyar batang di tahun 2005. Rata-rata perokok menghabiskan 10-11 batang per hari di tahun 2004. Naiknya jumlah rokok yang dikonsumsi oleh para perokok mencerminkan hasil produksi rokok yang terus naik dari 141.000 ton di tahun 2001 menjadi 177.895 ton pada tahun 2004. 4 Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 diketahui bahwa prevalensi penduduk umur lebih dari atau sama dengan 10 tahun yang merokok sebesar 29,2% dimana 81,2 % diantaranya merokok setiap hari dan 85,4% merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga yang lain. Pada tahun 2010 prevalensi
3 4
World Health Organization (WHO). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic; 2008. Yayi Suryo Prabandari. dkk, ibid., hal 218.
Universitas Sumatera Utara
perokok meningkat menjadi 34,7% dimana 81,3% diantaranya merokok setiap hari. dan berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, proporsi penduduk umur >15 tahun yang merokok dan mengunyah tembakau cenderung meningkat dalam Riskesdas 2010 (34,7%) dan Riskesdas 2013 (36,3%).
5
Sehingga untuk menanggulangi meningkatnya prevalensi perokok dan masalah yang ditimbulkan oleh paparan asap rokok, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) mengharapkan para kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota mengembangkan kebijakan kawasan tanpa rokok di daerah masing-masing (Kemenkes RI, 2007 dan 2010) yang di dasari oleh UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan PP Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Maka sebagai bentuk implementasi dari himbauan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tersebut, daerah-daerah di Indonesia membentuk Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Dimana dalam implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok tersebut ada daerah atau kawasan yang telah dapat dikatakan efektif dan efisien dalam mengimplementasikan Perda tersebut, namun ada juga daerah yang belum mampu menjalankannya secara efektif dan efisien. Seperti penerapan kebijakan kampus bebas rokok di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. Dimana dari hasil penelitian bahwa dengan adanya pelaksanaan 5
Ni Luh Putu Devhy, Tesis: Pengaruh Faktor Pengelola terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Hotel Berbintang di Kabupaten Bandung, (Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2014), hal 1-2.
Universitas Sumatera Utara
kebijakan kampus bebas rokok mempunyai dampak positif pada pengurangan kebiasaan merokok dan mempromosikan perilaku berhenti merokok pada mahasiswa FK UGM. Mayoritas mahasiswa dan mahasiswi FK UGM sangat mendukung kebijakan kampus bebas rokok. Hal tersebut dapat kita lihat pada tabel berikut: 6 Tabel I. 1 Status Merokok Mahasiswa FK UGM Tahun 2003 dan 2007 Laki-laki %
Perempuan %
2003(n=311)
2007 (n=189)
2003(n=423)
2007 (n=274)
Tidak merokok
50,20
69,30
90,10
92,30
Perokok
36
21,20
9,20
7,30
Mantan perokok
2,90
1,10
Perokok
10,90
8,50
0,70
0,40
eksperimen
Berdasarkan Tabel I. 1 diatas menunjukkan bahwa pola perilaku merokok mahasiswa FK UGM setelah pemberlakukan kampus bebas rokok. Meskipun sebagian besar mahasiswa FK UGM tidak pernah merokok, namun sekitar 12% mahasiswa laki-lakinya dan 6% mahasiswi menghentikan kebiasaan merokoknya semenjak menjadi mahasiswa FK UGM. Setelah kampus bebas rokok diberlakukan, sebanyak 6% mahasiswa laki-laki dan 3.7% mahasiswi berhenti merokok, meskipun masih ada yang tetap mempertahankan perilaku merokoknya. Penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok dapat juga kita lihat di kabupaten Bandung yakni tentang 6
Yayi Suryo Prabandari. dkk, ibid.,
Universitas Sumatera Utara
kepatuhan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Hotel Berbintang. Dimana pada hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa kepatuhan hotel berbintang terhadap Perda KTR masih rendah (15,4%). Faktor yang meningkatkan kepatuhan adalah pengetahuan yang baik, sikap yang baik, dukungan yang nyata terhadap Perda KTR dan adanya himbauan organisasi. Perilaku merokok pengelola berpengaruh secara bermakna menghambat kepatuhan. 7 Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Perda tentang KTR di kabupaten Bandung masih rendah. Kita juga dapat melihat efektivitas penerapan kebijakan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam upaya menurunkan perokok aktif di Sumatera Barat. Hal tersebut dapat kita lihat dalam tabel berikut: Tabel I. 2 Distribusi Responden Berdasarkan Efektifitas KTR KTR Efektif
Frekuensi
Persentase
Ya
51
51
Tidak
49
49
Jumlah
100
100
Pada Tabel I. 2 di atas dapat dilihat 51% menyatakan bahwa KTR cukup efektif menurunkan perokok aktif. Dimana efektifitas KTR dalam penurunan perokok aktif pada tiga kota belum menunjukkan angka yang signifikan, namun ada kecenderungan penurunan perokok. Berdasarkan data kuantitatif dapat dilihat bahwa di tiga kabupaten perokok masih mencapai 59%. Di Padang Panjang, peraturan ini sudah berjalan karena adanya komitmen dari Walikota dan DPR. 7
Di Kota
Ni Luh Putu Devhy, ibid.,
Universitas Sumatera Utara
Payakumbuh juga adanya komitmen dari Walikota dan dukungan dari Dinas Kesehatan berdasarkan Perda KTR No. 15/2011. Dan di kota Padang baru perusahaan swasta yang telah menerapkan KTR seperti BANK, sedangkan di kantor pemerintahan, sekolah dan tempat umum belum sepenuhnya dilaksanakan KTR. 8 Selain itu, kita juga dapat melihat penerapan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di kota Surabaya. dimana dalam pelaksanaan pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam upaya Pembinaan meliputi 2 tahap, yaitu bimbingan dan penyuluhan. Bimbingan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surabaya terhadap sarana – sarana kesehatan sudah berjalan dengan baik dalam pelaksanaanya sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Namun, penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya masih belum sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok karena masih terdapat hambatan – hambatan eksternal dalam pelaksanaannya. 9 Maka berdasarkan beberapa uraian dan implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di beberapa daerah 8
Nizwardi Azkha, Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan PERDA Kota tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif di Sumatera Barat Tahun 2013 , (Padang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, 2013). 9 Agil Prianggara, Pelaksanaan Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok (Studi Di Dinas Kesehatan Kota Surabaya), (Surabaya: Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2013).
Universitas Sumatera Utara
di Indonesia, penulis ingin mengetahui bagaimana proses implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok di kota Medan yang diundangkan sejak tanggal 20 Januari 2014 lalu. Dimana pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan 10 yang menjadi tugas dan kewajiban dari Dinas Kesehatan Kota Medan untuk benar-benar merealisasikannya. Selain itu, penulis tertarik meneliti tentang proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok ini karena dari beberapa penelitian di Medan belum ada yang meneliti dari perspektif kebijakan publik. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang implementasi kebijakan publik dengan judul “Proses Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok”.
I. 2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok?
10
Peraturan Walikota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Pasal 1
Universitas Sumatera Utara
I. 3 Tujuan Penelitian Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji lebih mendalam mengenai proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
I. 4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah: 1. Manfaat secara ilmiah Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperolah dari Ilmu Administrasi Negara. 2. Manfaat secara akademis Hasil penelitian ini diharapkan mampu untuk memperkaya khasanah kepustakaan sehingga dapat menjadi sumbangan ilmiah, menambah bahan kajian akademik, referensi dan tambahan informasi bagi para pembaca mengenai evaluasi terhadap implementasi kebijakan. 3. Manfaat secara praktis
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka implementasi Kawasan Tanpa Rokok.
I. 5 Kerangka Teori Untuk memudahkan penulis dalam rangka menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan teori-teori sebagai pedoman kerangka berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang dipilih. Kerangka teori merupakan landasan berpikir untuk melakukan penelitian dan teori yang dipergunakan untuk menjelaskan fenomena sosial yang menjadi objek penelitian. Landasan teori perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba. 11
I. 5. 1 Kebijakan Publik I. 5. 1. 1 Pengertian Kebijakan Publik Secara etimologis, istilah kebijakan publik atau policy berasal dari bahasa Yunani “polis” berarti negara kota yang kemudian masuk ke dalam bahasa Latin menjadi “politia” yang berarti negara. Akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris
11
Sugiyono. Metode Penelitian Administrasi Negara. (Bandung: Alfabet, 2007), hal. 55
Universitas Sumatera Utara
“policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah atau administrasi pemerintahan. 12 Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. 13 Untuk keperluan analisis ada beberapa batasan kebijakan publik yang dapat digunakan, salah satunya menurut Robert Eyestone, ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. 14 Batasan lain diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. 15 Konsep kebijakan publik dari Thomas R. Dye ini mengandung makna bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh pemerintah, bukan swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. 16 Harrold Laswell dan Abraham Kaplan memandang kebijakan publik tersebut hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam
12
William N Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000), hal 22-25. 13 Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002), hal. 14 14 Ibid., hal 15 15 ,AG Subarsono. Analisis Kebijakan Publik:Konsep, Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal 2 16 Ibid., hal 2
Universitas Sumatera Utara
masyarakat. 17 Ini berarti kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Batasan lain juga disebutkan oleh James Anderson. Ia mengatakan bahwa kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni: Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan kukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabatpejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. 18
17 18
AG Subarsono. Ibid., hal 3 Budi Winarno, ibid., hal 16-18
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa uraian diatas dan sejalan dengan pendapat dari Charles O. Jones, bahwa kebijakan publik terdiri dari komponen-komponen: 1. Goals atau tujuan yang diinginkan 2. Plans atau proposal, yaitu pengertian yang spesifik untuk mencapai tujuan 3. Programs, yaitu upaya yang berwenang untuk mencapai tujuan 4. Decision atau keputusan, yaitu tindakan-tindakan untuk menentukan tujuan, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program 5. Efek, yaitu akibat-akibat dari program (baik disengaja atau tidak, primer atau sekunder). 19 Meskipun
terdapat
berbagai
defenisi
kebijakan
publik
yang
telah
dikemukakan diatas, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan dan berorientasi pada tujuan dan kepentingan masyarakat.
I. 5. 1. 2 Tahapan Kebijakan Publik Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses dan variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-
19
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi. (Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI, 2003), hal 2-3
Universitas Sumatera Utara
proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahapan. Seperti tahapantahapan kebijakan publik yang dikemukakan oleh William N Dunn berikut ini: 20 1. Tahap penyusunan agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Bagan I.1: Tahapan Kebijakan Publik 20
William N Dunn. Analisa Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal 24-25
Universitas Sumatera Utara
Proses kebijakan publik menurut William N Dunn ini juga dapat kita lihat pada bagan berikut: 21 Perumusan Masalah
Forecasting
Rekomendasi kebijakan
Monitoring Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
Penyusunan Agenda
Formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Penilaian Kebijakan
Bagan I.2: Proses Kebijakan Publik Menurut William N Dunn 2. Tahap formulasi kebijakan Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai
21
AG. Subarsono, ibid., hal 9
Universitas Sumatera Utara
alternatif kebijakan. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagi kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik. Tahapan kebijakan publik juga dapat kita lihat dari pandangan Ripley (1985) berikut ini: 22 Penyusunan Agenda
Formulasi dan Legitimasi Kebijakan
Hasil
Diikuti
Agenda Pemerintah
Kebijakan
Hasil Diperlukan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak Kebijakan
Hasil
Tindakan Kebijakan
Mengarah ke Diperlukan
Kinerja & Dampak Kebijakan
Kebijakan Baru
Bagan I.3: Tahapan Kebijakan Publik Menurut Ripley 22
AG. Subarsono,. ibid., hal 11
Universitas Sumatera Utara
3. Tahap adopsi kebijakan Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. 4. Tahap implementasi kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. 5. Tahap penilaian kebijakan Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang dinginkan.
Universitas Sumatera Utara
I. 5. 2 Implementasi Kebijakan Publik I. 5. 2. 1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik Menurut James P. Lester dan Joseph Stewart, implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang sangat luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. 23 Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran (output) maupun sebagai hasil. 24 Batasan lain mengenai implementasi kebijakan juga disebutkan oleh Van Meter dan Van Horn. Mereka membatasi bahwa implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Dari
beberapa
defenisi
implementasi
kebijakan
publik
yang
telah
dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan publik adalah pelaksanaan kebijakan oleh mesin-mesin administrasi negara dalam mengatasi masalah.
23 24
Budi Winarno, ibid., hal. 101 Ibid., hal. 102
Universitas Sumatera Utara
I. 5. 2. 2 Model-model Implementasi Kebijakan Publik Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat di dalamnya, maka kita akan melihat beberapa teori implementasi kebijakan sebagai berikut: A. Teori George C. Edwards III (1980) Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (a) komunikasi, (b) sumberdaya, (c) disposisi dan (d) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. 25 a. Komunikasi Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelomok sasaran. b. Sumberdaya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi
25
AG. Subarsono, ibid., hal. 90-92
Universitas Sumatera Utara
tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya di kertas menjadi dokumen saja. Komunikasi
Sumberdaya Implementasi Disposisi
Struktur Birokrasi Bagan I.4: Faktor Penentu implementasi menurut Edwards III c. Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan juga menjadi tidak efektif. d. Struktur birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
Universitas Sumatera Utara
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
B. Teori Donald S. Van Meter dan Van Horn (1975) Menurut Meter dan Horn ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kinerja implementasi, yakni: (a) standar dan sasaran kebijakan, (b) sumberdaya, (c) komunikasi, (d) karakteristik agen pelaksana, (e) disposisi implementor, dan (f) kondisi sosial, ekonomi dan politik.26 a. Standar dan sasaran kebijakan Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. b. Sumberdaya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-human resources). c. Hubungan antar Organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
26
AG. Subarsono, ibid., hal. 99-101
Universitas Sumatera Utara
Komunikasi antar organisasi & kegiatan pelaksanaan Ukuran dan tujuan kebijakan Disposisi pelaksana
Karakteristik badan pelaksana
Kinerja implementasi
Sumberdaya Lingkungan ekonomi, sosial dan politik
Bagan I.5: Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn d. Karakteristik agen pelaksana Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. e. Kondisi sosial, politik dan ekonomi Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi
kebijakan,
sejauh
mana
kelompok-kelompok
kepentingan memberi dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan. f. Disposisi implementor
Universitas Sumatera Utara
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (1) respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (2) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
C. Teori Merilee S, Grindle (1980) Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). 27 Variabel isi kebijakan mencakup: (a) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (b) jenis manfaat yang diterima oleh target groups (c) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, (d) apakah letak sebuah program sudah tepat, (e) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci dan (f) apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sedangkan variabel lingkungan mencakup: (a) seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan, (b) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa dan (c) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
27
AG. Subarsono, ibid., hal. 93
Universitas Sumatera Utara
D. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (a) karakteristik dari masalah (tractability of the problems), (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation). 28
I. 5. 3 Peraturan Daerah I. 5. 3. 1 Pengertian Peraturan Daerah Pengertian Perda kabupaten / kota adalah Peraturan Perundang - undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota. 29 Peraturan Daerah Kabupaten / Kota, yang berlaku di kabupaten / kota tersebut. dibentuk oleh DPRD Kabupaten / Kota dengan persetujuan bersama Bupati / Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota tidak subkordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi. Materi muatan Peraturan Daerah Kabupaten / Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
28 29
AG. Subarsono, ibid., hal. 94
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan Pasal 1 angka 8
Universitas Sumatera Utara
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang - undangan yang lebih tinggi. 30
I. 5. 4 Hasil-hasil Riset tentang Implementasi Kawasan Tanpa Rokok Selain kerangka teori, kita juga dapat melihat hasil-hasil riset yang menunjukkan implementasi tentang Kawasan Tanpa Rokok di beberapa daerah berikut ini: A. Implementasi Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di Terminal Joyoboyo Surabaya (Jurnal oleh Iswanti (
[email protected]) 2013) Berdasarkan hasil observasi, wawancara maupun dokumentasi yang sudah dilaksanakan terdapat kesesuaian dengan pelaksanaan Perda No.5/2008 di terminal Joyoboyo Kota Surabaya bahwa dapat dilihat sudah adanya tanda/ petunjuk / peringatan larangan merokok dan ruangan khusus merokok meskipun kenyataanya adanya tanda/ petunjuk / peringatan larangan merokok dan ruangan khusus merokok tersebut masih minim. Hal tersebut terjadi karena adanya beberapa kendala dalam pelaksanaannya. Kendala-kendala terhadap pemberlakuan Perda No.5/2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di terminal Joyoboyo Kota Surabaya apabila dikaji dengan menggunakan pendapat Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum antara lain yaitu: pertama, hukum atau aturan dalam Perda No.5/2008 ini sudah benar, sanksinya pun sudah jelas. Namun, sanksi bagi pelanggar Perda No.5/2008 selama ini belum terlaksana dengan baik. Hal itu dapat kita lihat banyaknya pelanggar dari Perda No.5/2008 namun tidak diberikan sanksi sesuai dalam Perda No.5/2008. Kedua, penegak hukum yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNS Daerah) yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Pengawasan terhadap penerapan Perda No.5/2008 tentang pada Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan 30
http://tehangatsekali.blogspot.com/2011/11/tata-perundangan-menurut-uu-no12-tahun.html, diakses 25 Oktober 2014
Universitas Sumatera Utara
Terbatas Merokok di terminal Joyoboyo Kota Surabaya tidak dilakukan sebagaimana mestinya yang tercantum dalam Perda No.5/2008. Ketiga, sarana atau fasilitas yang ada di terminal Joyoboyo Kota Surabaya ini sebenarnya sudah ada tetapi masih minim dan kurang terawat. Hal yang mengejutkan sarana ruangan khusus merokok yang ada di terminal Joyoboyo Kota Surabaya beralih fungsi sebagai tempat parkir sepeda motor dan tempat istirahat atau tempat tidur. Keempat kesadaran hukum masyarakat, sarana atau fasilitas di terminal Joyoboyo Kota Surabaya sudah ada serta pihak UPTD terminal Joyoboyo Kota Surabaya telah berupaya memperingatkan perokok yang sembarangan merokok di area terminal Joyoboyo Kota Surabaya melalui media, siaran-siaran atau warningwarning. Namun, kesadaran hukum masyarakat di terminal Joyoboyo Kota Surabaya masih rendah. Kelima, budaya hukum (legal cultur) banyaknya perokok yang ada di terminal Joyoboyo Kota Surabaya dan tidak adanya sanksi tegas bagi pelanggar Perda No.5/2008 hal ini membuat para perokok secara bebas merokok di area terminal Joyoboyo Kota Surabaya. Pemahaman terhadap Perda No.5/2008 ini dibutuhkan oleh masyarakat yang ada di terminal Joyoboyo Kota Surabaya agar mematuhi Perda No.5/2008. Maka dari penelitian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi peraturan daerah kota Surabaya nomor 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di Terminal Joyoboyo Surabaya yang dikeluarkan Pemerintah Kota Surabaya belum berjalan efektif. Hal itu bisa kita lihat mengenai banyaknya perokok yang sembarangan merokok di area terminal Joyoboyo Kota Surabaya. Kendala-kendala dalam memberlakukan Perda No.5/2008 di terminal Joyoboyo Kota Surabaya yaitu: (a) Sarana dan fasilitas terhadap pemberlakukan Perda No.5/2008 di terminal Joyoboyo Kota Surabaya masih minim. (b) Tidak ada pengawasan dan peringatan masih kurang. (c) Kesadaran masyarakat atau pengguna jasa terminal Joyoboyo Kota Surabaya masih rendah. (e) Para penegak hukum tidak pernah memberikan sanksi pelanggar Perda No.5/2008 di terminal Joyoboyo Kota Surabaya.
Universitas Sumatera Utara
B. Pelaksanaan Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok (Studi Di Dinas Kesehatan Kota Surabaya) (Skripsi oleh Agil Prianggara, Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya 2013) 1. Substansi Hukum Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya adalah dengan cara memberikan Pembinaan dan Pengawasan yang telah diatur dalam pasal 7. Pembinaan dan Pengawasan kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya meliputi 3 tahap, yaitu: a. Bimbingan Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam melakukan bimbingan dengan menyampaikan implementasi peraturan daerah yang telah dibuat oleh pemerintah secara langsung kepada sarana-sarana kesehatan dan memberikan teguran tertulis dan sanksi administrasi jika tidak melaksanakan peraturan yang telah dibuat. Dengan mengadakan pertemuan dengan pimpinan sarana kesehatan dan turun langsung ketempat sarana-sarana kesehatan dengan memberikan stiker larangan merokok, hal ini terbukti dengan dilaksanakannya oleh sarana-sarana kesehatan dengan melakukan pemasangan stiker larangan merokok di area sarana kesehatan. b. Penyuluhan Pada tahap penyuluhan Dinas Kesehatan melakukan pertemuan yang dilakukan bersama pimpinan sarana kesehatan dengan memberikan penyuluhan masalah kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok. Dan memberikan arahan tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Dinas Kesehatan Kota Surabaya memberikan tanggung jawab kepada setiap pimpinan sarana kesehatan untuk menjalankan peraturan mengenai kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok. Hal ini terbukti dengan belum terlaksana sepenuhnya mengenai penyuluhan yang dilakukan Kepala Kantor atau pimpinan sarana kesehatan kepada setiap bawahannya. c. Pemantauan Dalam tahap ini Dinas Kesehatan turun langsung ke sarana kesehatan dengan melakukan pengawasan sacara langsung terhadap pihak atau indivudu yang melakukan pelanggaran mengenai kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok. Dinas Kesehatan memberikan teguran tertulis kepada pihak atau yang melakukan pelanggaran. 2. Struktur Hukum Dinas Kesehatan Kota Surabaya turun langsung ke sarana-sarana kesehatan dengan memberikan arahan mengenai Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Tebatas Merokok. Pelaksanaan tersebut Dinas Kesehatan bergabung dengan IAKMI (Ikatan Ahli
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan Masyarakat Indonesia), LPA Jatim (Lembaga Perlindungan Anak), dan Stiekes Yarsi Kota Surabaya. dalam memberikan arahan kepada setiap sarana-sarana kesehatan, Dinas Kesehatan masih mengalami berbagai kendala. Peraturan tersebut kurang berjalan dengan baik, karena masih ada sarana-sarana kesehatan yang belum menerapkan dan mensosialisasikan Peraturan Daerah Kota Surbaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Berkurangnya Tim Pemantau yang dibentuk oleh Kepala Daerah dari SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam menjalankan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 tahun 2008. 3. Budaya Hukum Sarana–sarana kesehatan di Kota Surabaya masih belum sepenuhnya menerapkan dan mensosialisasikan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok yang diberikan oleh Dinas kesehatan kota Surabaya. Seperti penerapan pemasangan tanda larangan merokok yang seharusnya dipasang di pintu masuk setiap sarana kesehatan sebagai pentujuk bahwa area tersebut tidak diperbolehkannya ada kegiatan merokok. Dan belum sepenuhnya sarana-sarana kesehatan memahami isi dari Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Maka dari penelitian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa bimbingan yang dilakukan Dinas Kesehatan Kota Surabaya terhadap sarana – sarana kesehatan sudah berjalan dengan baik dalam pelaksanaanya sesuai dengan Perda Kota Surabaya tersebut. Penyuluhan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Surabaya masih belum sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok karena masih terdapat hambatan – hambatan eksternal dalam pelaksanaannya. C. Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Tembakau Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Kampus Bebas Rokok terhadap Perilaku dan Status Merokok di Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta. (Jurnal oleh Yayi Suryo Prabandari, Nawi Ng, Retna Siwi Padmawati Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UGM, Yogyakarta 2009) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan kawasan tanpa rokok di FK UGM dapat memberikan dampak yang positif berupa turunnya proporsi mahasiswa yang merokok, meskipun penurunan tersebut kemungkinan tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
merupakan dampak langsung dari penerapan kampus bebas rokok tetapi gabungan antara penerapan kampus bebas rokok dan pemberlakuan larangan merokok bagi mahasiswa sebagai bagian dari perilaku profesional. Tabel I. 3 Status Merokok Mahasiswa FK UGM Tahun 2003 dan 2007 Laki-laki % 2003 (n=311) 2007 (n=189) Tidak merokok Perokok eksperimen Mantan perokok Perokok
50,20 36
69,30 21,20
Perempuan % 2003 (n=423) 2007 (n=274) 90,10 92,30 9,20 7,30
2,90 10,90
1,10 8,50
0,70
0,40
Tabel I. 4 Perilaku Merokok Mahasiswa FK UGM Semenjak Diberlakukan Kampus Bebas Rokok
Tidak pernah merokok Tidak merokok sejak menjadi mahasiswa FK UGM Berhenti merokok setelah diberlakukan kampus bebas rokok Mengurangi jumlah rokok setelah diberlakukan kampus bebas rokok Kebiasaan merokok tidak berubah (tetap merokok)
Laki-laki % 66,2 11,9
Perempuan % 85,8 6,3
6,0
3,7
6,6
2,1
9,3
2,1
Maka berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa mahasiswa FK UGM mendukung penerapan kampus bebas rokok yang terbukti sebagai salah satu metode yang efektif untuk pengendalian rokok. Penerapan kampus bebas rokok berdampak terhadap pengurangan jumlah mahasiswa perokok dan dapat menurunkan jumlah perokok teratur dan eksperimen, baik pada mahasiswa laki-laki maupun perempuan. D. Pengaruh Faktor Pengelola terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Hotel Berbintang di Kabupaten
Universitas Sumatera Utara
Bandung (Tesis oleh Ni Luh Putu Devhy, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana 2014) Pengaruh Sikap Pengelola Terhadap Kepatuhan Gambaran sikap pengelola hotel terhadap Perda KTR berdasarkan masingmasing poin penilaian dan pengaruhnya terhadap kepatuhan dapat dilihat pada Tabel I. 5 Tabel I. 5 Pengaruh Sikap Pengelola Terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Perda KTR Pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung Tahun 2014 Variabel
Kategori
Sikap
Baik Kurang
Kepatuhan Patuh, f(%) Tidak, f(%) 13 (19,7) 53 (80,3) 3 (7,9) 35 (92,1)
PR 2,5 1
95%CI
Nilai p
0,8 – 8,2
0,159
Tabel I. 5 menunjukkan hasil analisis pengaruh sikap pengelola tentang Perda KTR terhadap kepatuhan. Terlihat ada perbedaan kepatuhan berdasarkan kategori sikap pengelola. Pada pengelola dengan sikap yang baik memiliki kepatuhan sebesar 19,7% sedangkan pada pengelola dengan sikap kurang hanya 7,9%. Perbedaan ini menghasilkan prevalens ratio (PR) sebesar 2,5 yang menunjukkan bahwa peluang patuh pada pengelola hotel yang memiliki sikap baik 2,5 kali dibandingkan pengelola yang memiliki sikap kurang. Walaupun demikian secara statistik pengaruh tersebut tidak bermakna dengan 95%CI dari PR: 0,8 – 8,2 dan nilai p = 0,159. Tabel I. 6 Pengaruh Dukungan Pengelola Terhadap Kepatuhan Pelaksanaan Perda KTR Pada Hotel Berbintang di Kabupaten Badung Tahun 2014 Variabel Dukungan
Kategori Baik
Kepatuhan Patuh, f(%) Tidak, f(%) 14 (22,6) 48(77,4)
Kurang
2 (4,8)
PR 4,7 40 (95,2)
95%CI
Nilai p
1,1 – 19,8 1
0,014
Tabel I. 6 menunjukkan hasil analisis pengaruh dukungan pengelola pada pelaksanaan Perda KTR terhadap kepatuhan. Terlihat ada perbedaan kepatuhan berdasarkan kategori dukungan pengelola. Pada pengelola dengan dukungan yang baik memiliki kepatuhan sebesar 22,6% sedangkan pada pengelola dengan sikap kurang hanya 4,8%. Perbedaan ini menghasilkan prevalens ratio (PR) sebesar 4,7 yang menunjukkan bahwa peluang patuh pada pengelola hotel yang memiliki dukungan baik 4,7 kali dibandingkan pengelola yang memiliki dukungan kurang. Berdasarkan hasil uji statistik, pengaruh dukungan terhadap kepatuhan dinyatakan bermakna dengan 95%CI dari PR: 1,1 – 19,8 dan nilai p = 0,014.
Universitas Sumatera Utara
Maka berdasarkan hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa kepatuhan hotel berbintang terhadap Perda KTR masih rendah (15,4%). Faktor yang meningkatkan kepatuhan adalah pengetahuan yang baik, sikap yang baik, dukungan yang nyata terhadap Perda KTR dan adanya himbauan organisasi. Perilaku merokok pengelola berpengaruh secara bermakna menghambat kepatuhan. E. Perilaku Supir Angkutan Pasca penetapan PERDA Kawasan Tanpa Rokok di Kota Makassar (Jurnal oleh Intan Fatmasari, Indar, Darmansyah, Bagian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Hasanuddin) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya responden sudah mengetahui mengenai kawasan tanpa rokok dan angkutan umum sebagai salah satu kawasan tanpa rokok. Sedangkan, sebagian besar responden telah mengetahui bahwa tempat-tempat umum, fasilitas umum, dan fasilitas kesehatan juga merupakan kawasan tanpa rokok. Tetapi, hanya sebagian kecil yang mengetahui tujuan dari adanya peraturan kawasan tanpa rokok. Hal ini menunjukkan bahwa responden telah memiliki informasi yang memadai tentang kawasan tanpa rokok dan dinilai memiliki pengetahuan yang baik, meskipun hanya sebagian kecil yang mengetahui tentang tujuan dari adanya kawasan tanpa rokok. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden bersikap positif dengan adanya kebijakan tentang KTR, tetapi tidak setuju dengan adanya sanksi karena mereka menganggap hal itu akan memberatkan, ditambah lagi ketika penumpang sepi dan setiap hari mereka harus menyetor sejumlah uang kepada pemilik angkutan. Sehingga, untuk penerapan KTR di angkutan umum akan sulit untuk terealisasi. Peran pemerintah terhadap regulasi dapat dibedakan menjadi tiga, salah satunya adalah peran sebagai regulator dimana pemerintah melakukan pengawasan agar regulasi yang diterapkan dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.19 Tetapi, hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 186 orang (71,5%) yang masih merokok di angkutan umum. Selain itu, masih saja responden yang mengaku merokok pada saat mengemudi sebanyak 188 orang (72,3%), tetapi tidak merokok pada saat dihadapan penumpang ketika sedang bekerja sebanyak 167 orang (64,2%). Sedangkan, responden yang mengaku menaati kebijakan kawasan tanpa rokok sebanyak 174 orang (66,9%) dan sebagian besar responden akan menerima rokok ketika ada yang menawarkannya sebanyak 186 orang (71,5%). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku merokok responden masih kurang dan pengawasan terhadap adanya regulasi ini masih sangat rendah. Sebagian besar supir angkutan umum memiliki kemampuan ekonomi rendah, sehingga dapat mempengaruhi perilaku merokoknya. Selain itu, pekerjaan dan
Universitas Sumatera Utara
pengaruh orang lain yang merokok juga menjadi pemicu orang untuk merokok. Penelitian ini sejalan dengan Wahidien menyatakan bahwa pengaruh orang lain atau teman yang punya kebiasaan merokok mempunyai pengaruh yang besar dalam inisiasi merokok. Maka dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada umumnya supir angkutan dan penumpang sudah mengetahui tentang kawasan tanpa rokok. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan responden untuk tidak merokok di angkutan umum. Salah satunya dikarenakan pengetahuan tentang kebijakan kawasan tanpa rokok masih rendah. Sikap responden terhadap penerapan kawasan tanpa rokok pada umumnya setuju dengan adanya peraturan tersebut. Tetapi, sebagian besar tidak setuju dengan adanya sanksi yang tegas jika ada yang merokok di angkutan umum. Tindakan responden terhadap penerapan kawasan tanpa rokok pada umumnya masih kurang. Hal ini disebabkan masih tingginya prevalensi yang merokok di angkutan umum dan merokok di hadapan penumpang lain. F. Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan PERDA Kota tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dalam Upaya Menurunkan Perokok Aktif di Sumatera Barat Tahun 2013 (Jurnal oleh Nizwardi Azkha, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas, Padang 2013) Efektifitas Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dalam Penurunan Perokok Aktif Tabel I. 7 Distribusi Responden Berdasarkan Efektifitas KTR KTR Efektif Ya Tidak Jumlah
Frekuensi 51 49 100
Persentase 51 49 100
Pada Tabel I. 7 di atas dapat dilihat 51% menyatakan bahwa KTR cukup efektif menurunkan perokok aktif. Penerapan Kawasan Tanpa Rokok
Universitas Sumatera Utara
Di Kota Padang Panjang penerapan KTR ini sudah dapat melarang adanya iklan rokok di sepanjang kota, bahkan juga sudah menunjuk institusi kesehatan dan pendidikan sebagai pelopor dari KTR, walaupun warga masih ada yang merokok, tapi penerapan KTR ini sudah dapat menurunkan perokok aktif. Kota Payakumbuh masih terbatas pada institusi kesehatan dan rumah sakit dengan melakukan inspeksi mendadak oleh tim yang telah ditunjuk Kepala Daerah. Lain halnya di Kota Padang, sejak keluarnya Peraturan Walikota (Perwako) KTR No.14/2011 namun belum nampak penerapannya terutama pelarangan pemasangan iklan belum terlaksana begitu juga lokasi KTR baru terlaksana pada kantor BUMN, seperti bank dan plaza. Iklan-iklan rokok masih tetap mendominasi iklan di sepanjang jalan, dan di perkantoran maupun institusi pendidikan masih ada yang merokok, padahal itu merupakan tempat umum dengan mengedarkan surat edaran yang dikeluarkan oleh walikota. Maka dari penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa efektifitas KTR dalam penurunan perokok aktif pada tiga kota belum menunjukkan angka yang signifikan, namun ada kecenderungan penurunan perokok. Di Padang Panjang, peraturan ini sudah berjalan karena adanya komitmen dari Walikota dan DPR. Di Kota Payakumbuh juga adanya komitmen dari Walikota dan dukungan dari Dinas Kesehatan berdasarkan Perda KTR No. 15/2011. Kota Padang baru perusahaan swasta yang telah menerapkan KTR seperti BANK, sedangkan di kantor pemerintahan, sekolah dan tempat umum belum sepenuhnya dilaksanakan KTR.
I. 5. 5 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok I. 5. 5. 1 Latar Belakang & Dasar Hukum Pemberlakuan KTR Dalam rangka menciptakan tujuan pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
Universitas Sumatera Utara
tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Telah secara tegas dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Bab II Pasal 3. Sehingga kesehatan itu sangatlah penting bagi seluruh masyarakat Indonesia. Maka dengan disemangati oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 ini, pemerintah juga telah menerbitkan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Dimana PP ini melakukan penyelenggaraan pengamanan penggunaan bahan
yang
mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan diarahkan agar tidak
mengganggu
dan
membahayakan
kesehatan
perseorangan,
keluarga,
masyarakat, dan lingkungan. Adapun yang menjadi dasar hukum pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok adalah sebagai berikut: 1. UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. a. Pasal 10 yaitu setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam upaya memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial. b. Pasal 11 setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. c. Pasal 113 ayat 1 dan 2. Ayat 1 tentang pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan. Ayat 2 yaitu zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang
Universitas Sumatera Utara
mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. 2. PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. 3. Instruksi Menteri Kesehatan RI No. 459/MENKES/INS/VI/1999 tentang kawasan bebas rokok pada sarana kesehatan. 4. Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 4/U/1997 tentang lingkungan sekolah bebas rokok. 5. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri RI No. 188/MENKES/PB/I/2011 tentang pedoman pelaksanaan kawasan tanpa rokok. a. Pasal 3 ayat 1 menyatakan bahwa kawasan tanpa rokok meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan. Ayat 2 menyatakan bahwa pimpinan atau penanggung jawab tempat-tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menetapkan dan menerapkan KTR. b. Pasal 4 menyatakan bahwa KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum dilarang menyediakan tempat khusus untuk merokok dan merupakan KTR yang bebas dari asap rokok hingga batas terluar.
Universitas Sumatera Utara
c. Pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tempat kerja dan tempat umum dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok. 6. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. 7. Peraturan Walikota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
I. 5. 5. 2 Defenisi dan Ruang Lingkup KTR Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang
untuk
kegiatan
merokok
atau
kegiatan
memproduksi,
menjual,
mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. 31 Adapun Ruang lingkup dari KTR ini meliputi: 32 a. hak dan kewajiban; b. KTR, antara lain: fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum. c. pengendalian iklan produk rokok di media luar ruang; d. sponsor untuk produk rokok; e. tanggung jawab sosial perusahaan untuk produk rokok; 31
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok, Bab I, Pasal 1 ayat 9. hal. 4 32 Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014. Ibid., Bab II, Pasal 4. hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
f. kewajiban dan larangan; g. mekanisme peneguran; h. peran serta masyarakat; i. pembinaan dan pengawasan; j. penyidikan; k. sanksi administratif; dan l. ketentuan pidana.
I. 5. 5. 3 Pembinaan dan Pengawasan KTR
1. Pembinaan
Pembinaan KTR dilaksanakan oleh SKPD, yang dijelaskan dalam pasal-pasal berikut: 33
1. Pasal 33: ayat 1, Pembinaan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR. Ayat 2, SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan melakukan pembinaan terhadap KTR fasilitas pelayanan kesehatan;
33
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014. Ibid., hal. 21-22
Universitas Sumatera Utara
b. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pendidikan melakukan pembinaan KTR tempat proses belajar mengajar dan tempat anak bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak; c. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang sosial melakukan pembinaan terhadap KTR tempat ibadah; d. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang perhubungan melakukan pembinaan terhadap KTR angkutan umum; e. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang olahraga melakukan pembinaan terhadap KTR fasilitas olahraga; f. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketenagakerjaan melakukan pembinaan KTR tempat kerja; g. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pariwisata dan bidang perhubungan melakukan pembinaan KTR tempat umum; h. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketertiban umum melakukan pembinaan seluruh KTR; dan i. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pertamanan melakukan pembinaan KTR di kawasan pertamanan atau tempat lain yang menjadi tanggung jawabnya. Ayat 3, Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah.
2. Pasal 34, Pembinaan pelaksanaan KTR dilaksanakan oleh SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) sesuai bidang tugasnya dan/atau wewenangnya di bawah koordinasi Dinas Kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasal 35, Pembinaan pelaksanaan KTR, berupa: a. penyadaran, bimbingan, dan/atau penyuluhan; b. pemberdayaan masyarakat; dan c. menyiapkan petunjuk teknis. 4. Pasal 36, Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dapat dilakukan oleh:
a. masing-masing SKPD dengan melaksanakan berbagai kegiatan pembinaan dalam rangka pembinaan pelaksanaa KTR; dan b. bekerja sama dengan masyarakat, badan atau lembaga dan/atau organisasi kemasyarakatan.
2. Pengawasan
Dalam melakukan pengawasan, SKPD dapat melibatkan masyarakat, badan atau lembaga dan/atau organisasi kemasyarakatan dalam melakukan pengawasan pelaksanaan KTR seperti yang dijelaskan oleh pasal-pasal berikut: 34
1. Pasal 37, SKPD dapat melibatkan masyarakat, badan atau lembaga dan/atau organisasi kemasyarakatan melakukan pengawasan pelaksanaan KTR. 2. Pasal 38, ayat 1, Pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR. Ayat 2, SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan melakukan pengawasan terhadap KTR fasilitas pelayanan kesehatan; 34
Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014. ibid., hal. 22-23
Universitas Sumatera Utara
b. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pendidikan melakukan pengawasan terhadap KTR tempat proses belajar mengajar dan tempat anak bermain dan/atau berkumpulnya anak-anak; c. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang sosial melakukan pengawasan terhadap KTR tempat ibadah; d. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang perhubungan melakukan pengawasan terhadap KTR angkutan umum; e. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang olahraga melakukan pengawasan terhadap KTR fasilitas olahraga; f. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketenagakerjaan melakukan pengawasan KTR di tempat kerja; g. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pariwisata dan bidang perhubungan melakukan pengawasan KTR di tempat umum; h. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketertiban umum melakukan pengawasan seluruh KTR; dan i. SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pertamanan melakukan pengawasan KTR di kawasan pertamanan atau tempat lain yang menjadi tanggung jawabnya. Ayat 3, Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan oleh masing-masing instansi sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah paling lambat 6 (enam) bulan.
Universitas Sumatera Utara
3. Pasal 39, ayat 1, Pengelola, pemimpin dan/atau penanggung jawab KTR wajib melakukan inspeksi dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggung jawabnya. Ayat 2, Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR harus melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada SKPD terkait paling lambat 6 (enam) bulan sekali.
I. 6 Defenisi Konsep Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial. 35 Selain itu, tujuan adanya konsep adalah untuk mendapatkan batasan yang jelas dari setiap konsep yang diteliti. Maka untuk mendapatkan batasan yang jelas, defenisi konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kebijakan Publik menurut James Anderson merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. 36 Kebijakan publik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. 2. Implementasi kebijakan publik menurut William N Dunn merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan tahapan kebijakan. Suatu program kebijakan
35 36
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survei. (Jakarta: LP3ES, 1995), hal. 33 Budi Winarno. ibid., hal 16-18
Universitas Sumatera Utara
hanya
akan
menjadi
catatan-catatan
elit,
jika
program
tersebut
tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia. 37 Maka implementasi kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Adapun variabel yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam penelitian ini diambil dari model implementasi kebijakan George C. Edwards III dan Donald S. Van Meter dan Van Horn, yakni: 1. Komunikasi 2. Sumber Daya 3. Disposisi 4. Struktur Birokrasi 5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik 3. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau.
37
William N. Dunn, Analisa Kebijakan Publik. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hal. 24-25
Universitas Sumatera Utara
I. 7 Operasionalisasi Konsep Adapun operasionalisasi konsep yang digunakan peneliti dalam rangka mempermudah dalam mengumpulkan data yang akan dibutuhkan peneliti lewat penyusunan daftar wawancara, yaitu: 1. Komunikasi a. Intensitas sosialisasi antar bagian dalam organisasi Dinas Kesehatan kota Medan terhadap pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di kota Medan. b. Intensitas sosialisasi kepada SKPD kota Medan dan masyarakat kota Medan tentang kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di kota Medan. c. Penyampaian informasi tentang Kawasan Tanpa Rokok. 2. Sumber Daya a. Ketersediaan sumber daya manusia/aparatur. b. Ketersediaan dana (financial) dalam penerapan Kawasan Tanpa Rokok. c. Ketersediaan fasilitas (sarana dan prasarana). d. Kemampuan dan kinerja sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan. 3. Disposisi a. Persepsi implementor terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di kota Medan. b. Respon implementor terhadap pelaksanaan kebijakan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. c. Tindakan implementor kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di kota Medan. 4. Struktur Birokrasi
Universitas Sumatera Utara
a. Pembentukan struktur organisasi yang berkaitan dengan pengelompokan kerja masing-masing pelaksana. b. Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pelaksanaan Peraturan Daerah kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok. 5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik a. Karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. b. Kondisi ekonomi masyarakat dengan perilaku merokok. c. Apakah elit politik mendukung implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok. d. Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberi dukungan bagi implementasi Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok.
1. 8 Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep dan sistematika penulisan.
BAB II
: METODE PENELITIAN
Universitas Sumatera Utara
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. BAB III
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan gambaran umum mengenai objek atau lokasi penelitian, sejarah singkat dan visi serta misi organisasi yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV
: PENYAJIAN DATA Bab ini berisikan data-data yang diperoleh dari lapangan dan berupa dokumen
BAB V
yang berkaitan dengan penelitian yang akan dianalisis.
: ANALISIS DATA Bab ini memuat analisa data yang diperoleh dari hasil penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diteliti.
BAB VI
: PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran dari
penulis
untuk
memberikan
masukan
bagi
pihak
yang
bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara