BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki hak memperoleh suaka atau perlindungan dari negara lain jika mengalami ketakutan akan penyiksaan yang terjadi di negara asalnya, misalnya, karena konflik atau perang maupun karena pemerintah yang tidak toleran. Hak yang dikenal dengan The Right to Asylum ini diakui PBB dan telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Banyak pencari suaka berasal dari wilayah-wilayah konflik dan relatif miskin di Timur Tengah, Asia Selatan, dan kini Myanmar yang mencari perlindungan di negara lain seperti Australia. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Australia merupakan Negara Pihak UN Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi 1951) yang berarti menjadi negara pemberi suaka dan status pengungsi. Kedua, status Australia sebagai negara maju menjadi pertimbangan pencari suaka untuk mengajukan klaim disana. Namun, securitization of migration semakin menyulitkan para pencari suaka yang ingin mencapai negara tujuan mereka. Sebagai konsekuensinya mereka menggunakan jasa jaringan penyelundup manusia karena pengetahuan mereka, misalnya, tentang rute-rute menuju negara-negara tertentu (Mountz 2010: 5). Indonesia tidak meratifikasi konvensi tersebut tetapi memiliki peran signifikan dalam konteks penyelundupan pencari suaka ke Australia. Posisi
1
geografis Indonesia yang berada diantara kawasan asal pencari suaka dan Australia
menjadikannya
sebagai
negara
transit.
Posisi
tersebut
juga
menjadikannya sebagai tempat beroperasi sindikat penyelundup pencari suaka baik yang belum atau telah diproses UNHCR tetapi telah bertahun-tahun menunggu hasilnya untuk diselundupkan ke Australia. Australia kewalahan dalam mengatasi persoalan pencari suaka yang diselundupkan
melalui
kapal
(Pemerintah
dan
media
massa
Australia
menyebutnya sebagai boat people) dan membuat perjanjian dengan Indonesia pada tahun 2000. Australia menyediakan bantuan finansial dan teknis untuk menghentikan kapal-kapal yang menuju teritorinya dan membawanya ke rumah detensi di Indonesia. Namun, rupanya cara ini tidak juga mampu mengatasi penyelundupan pencari suaka ke Australia. Antara tanggal 26 dan 28 Februari 2002 Pemerintah Australia dan Indonesia menggelar konferensi regional tingkat menteri di Bali dengan agenda membicarakan peningkatan skala dan kompleksitas irregular migration di kawasan Asia Pasifik yang kemudian dikenal dengan “Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons, and Related Transnational Crime”1. Pertemuan awal ini dipimpin Menteri Luar Negeri Australia dan Indonesia serta dihadiri delegasi dari 38 negara, Dirjen IOM, dan perwakilan dari UNHCR. Berikutnya ada 15 negara serta serangkaian organisasi-organisasi internasional dan regional yang berpartisipasi sebagai pengamat.
1
Ini berarti Bali Process tidak hanya fokus pada satu isu, yaitu, penyelundupan manusia. Namun, isu penyelundupan manusia telah menjadi definisi utama Bali Process sejak awal terbentuk hingga saat ini
2
Hal ini menunjukkan adanya kesadaran negara bahwa persoalan penyelundupan pencari suaka tidak bisa ditangani secara unilateral maupun bilateral. Mereka menyadari bahwa solusi atas permasalahan ini ada di level regional melalui RCP karena keterbatasan kebijakan-kebijakan pada level nasional dan fakta bahwa pergerakan manusia berkaitan dengan kejahatan transnasional termasuk penyelundupan pencari suaka sehingga membutuhkan kerjasama multilateral untuk menanganinya. Tetapi, setelah lebih dari sepuluh tahun sejak pertemuan tingkat menteri pertama pada 2002 hingga pertemuan terakhir, pertemuan kelima pada April 2013, tidak ada tanda-tanda keberhasilan Bali Process dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka ke Australia. Justru yang terjadi adalah adanya peningkatan di beberapa tahun terakhir ini. UNODC mengutip data dari Departemen Imigrasi dan Kewarganegaraan Australia (DIAC) bahwa sejak periode 2001 sampai 2013 telah terjadi peningkatan jumlah orang yang mencari suaka (protection visa) ke Australia dalam pola irregular migration melalui perjalanan laut. Tidak
hanya
dari
sisi
peningkatan
tersebut,
tetapi
aspek-aspek
perlindungan yang disepakati dalam Regional Cooperation Framework (RCF) dan Jakarta Declaration juga tidak mampu dilaksanakan. Dari rentang waktu tersebut telah banyak pencari suaka yang menempuh perjalanan penuh resiko untuk mencapai Australia. Misalnya, pada 27 September 2013 sebuah kapal yang membawa pencari suaka menuju Australia tenggelam di perairan selatan Indonesia dan mengakibatkan sedikitnya 21 orang meninggal (Reuters 2013).
3
3 Desember 2013 tiga orang meninggal ketika sebuah kapal yang mengangkut 32 pencari suaka, termasuk dari Rohingya, tenggelam di sekitar Jawa Barat (The New Zealand Herald 2013). Sebelumnya, pada Juli 2013 sebuah kapal yang berisi 189 pencari suaka juga tenggelam setelah berangkat dari Cianjur, Jawa Barat (Huffington Post 2013). Fakta-fakta yang ada ini menunjukkan bahwa bahkan setelah sepuluh tahun sejak pertama kali dibentuk Bali Process gagal dalam menyelesaikan misinya untuk mengurangi penyelundupan pencari suaka ke Australia serta menyediakan perlindungan bagi mereka yang diselundupkan melalui laut.
I.2. Rumusan Masalah Mengapa
Bali
Process
gagal
dalam
menyelesaikan
permasalahan
penyelundupan pencari suaka melalui laut ke Australia?
I.3. Jangkauan Penelitian Dari tahun 2002 ketika Bali Process pertama kali dibentuk hingga Februari 2014 yang ditandai dengan dikembalikannya pencari suaka oleh Australia ke perairan Indonesia pada 25 Februari 2014.
I.4. Tujuan Penelitian 1. Meneliti persoalan penyelundupan pencari suaka yang menggunakan kapal melalui Indonesia menuju Australia
4
2. Meneliti struktur, tujuan, dan kebijakan dalam kerangka Bali Process sejak pertama kali dibentuk 3. Meneliti keseriusan Co-Chairs dan anggota lainnya dalam membentuk rejim
Bali
Process
melalui
pernyataan-pernyataan
resmi
dan
kebijakan/keputusan di lapangan 4. Meneliti tantangan yang muncul dalam Bali Process dalam menangani penyelundupan pencari suaka ke Australia
I.5. Tinjauan Pustaka UNHCR mendefinisikan pencari suaka sebagai orang yang menganggap dirinya pengungsi, tetapi klaim tersebut belum dievaluasi oleh sistem pemberi suaka nasional (UNHCR n.d.a). Aspinall dan Watters (2010: v) menyebutkan bahwa istilah pencari suaka diberikan kepada mereka yang mendaftar untuk mendapat suaka dan sedang menunggu keputusan dari pendaftaran tersebut serta mereka yang pendaftarannya telah ditolak. Sedangkan istilah pengungsi berarti: "[T]hose who have a well-founded fear of persecution for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.” (The Refugee Convention 1951 Bagian A Pasal 2)
Maka, perbedaan antara definisi pencari suaka dan pengungsi sudah jelas, yaitu, pemberian status pengungsi harus berdasarkan ukuran obyektif sehingga terbukti bahwa pencari suaka berhak memperoleh status tersebut dari pihak maupun Negara lain. Pencari suaka seringkali jatuh pada situasi dimana mereka dianggap
5
imigran ilegal.
Pengertian ini secara konseptual masih menjadi perdebatan
terutama bila digunakan untuk mengidentifikasi pencari suaka. Menurut Koser (2005: 4) penggunaan istilah ilegal banyak menuai kritik. Pertama, ia dikonotasikan dengan kriminalitas. Sebagian besar pencari suaka dan pengungsi yang bergerak dalam pola irregular (pergerakan yang terjadi di luar norma aturan dari Negara pengirim, transit, maupun penerima seperti masuk dan tinggal tanpa ijin atau dokumen yang dibutuhkan di bawah regulasi imigrasi) bukanlah kriminal.2 UN Special Rapporteur on the Rights of Non-Citizens (2006: 28) menyebutkan bahwa: “States should ensure that individuals caught in an illegal situation, such as asylum-seekers who are in a country unlawfully and whose claims are not considered valid by the authorities, are not treated as criminals”.
Kedua, memberi label ilegal pada seseorang bisa dianggap menolak aspek kemanusiaannya. Sangat mudah dilupakan bahwa pencari suaka juga adalah manusia yang memiliki hak-hak fundamental apapun status mereka (CDMG 2004: 29). Ketiga, Koser juga menyadari kekhawatiran utama dari UNHCR ketika memberi label ilegal pada pencari suaka adalah kemungkinan bahwa ini akan membahayakan klaim suaka yang mereka cari. Namun, negara melalui para pembuat kebijakan mengembangkan terminologi mixed flows untuk mengidentifikasi migran yang difasilitasi oleh penyelundup manusia, yang tidak seluruhnya diakui sebagai pencari suaka. Beberapa dari mereka disebut sebagai economic migrants; mereka bermigrasi terutama karena alasan-alasan ekonomi, sedangkan beberapa lainnya, yang 2
Ini berkaitan dengan alasan-alasan kemanusiaan ketika para pencari suaka berada dalam situasi berbahaya di negara asalnya dan kehilangan atau tidak sempat membawa dokumen-dokumen yang dibutuhkan
6
diberikan akses terhadap fasilitas penentuan status pengungsi disebut sebagai pengungsi seperti yang disebutkan dalam Konvensi 1951 (Mountz 2010: 4).Banyak perdebatan meliputi keberadaan pencari suaka dan bagaimana seharusnya negara meresponnya. Price (2009: 2) mengajukan premis bahwa „[S]tates should open their borders to all who seek to enter‟. Hal ini terutama bila menyangkut situasi yang membahayakan keamanan individu lain. Tetapi, premis ini mendapat tantangan. Misalnya, kehadiran immigration restrictions. Mengapa negara harus membuka perbatasan atau menurunkan standar dan kontrol imigrasi jika menutup perbatasan akan meningkatkan kepentingan nasionalnya? Respon ini berhubungan dengan tujuan negara adalah untuk menjaga kepentingan dan keamanan nasionalnya dalam pengertian yang lebih realis. Lebih detail lagi bahwa negara menganggap kewajiban untuk membantu orang lain terbatas pada mereka yang sudah menjadi anggota masyarakat di dalam teritorinya atau warga negaranya di negara lain. Dalam konteks ini identitas nasional bersifat sangat signifikan (2009). Menurut Price, respon tersebut bisa dijawab dengan memasukkan unsur-unsur tanggungjawab dan perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Pertama, batas negara merupakan pemisah antara the haves dan the havenots dengan konsekuensi mereka yang lahir di dalam suatu batas negara harus menerima kondisinya. Keadilan diperlukan bahwa kesempatan hidup seseorang seharusnya tidak bergantung pada arbitrary facts semacam itu sehingga kebebasan untuk bergerak melintasi batas-batas negara harus dianggap sebagai hak dasar setiap individu. Kedua, negara lain dan komunitas internasional,
7
termasuk organisasi-organisasi non-pemerintah, memiliki tanggungjawab moral untuk membantu siapapun yang ingin menghindari penyiksaan serius. Tanggungjawab moral tersebut setidaknya bisa diartikan dalam bentuk bantuan dengan resiko minimal. Ketiga, negara-negara itu bertanggungjawab atas aliran pencari suaka yang mencari perlindungan karena mereka menawarkan dukungan diplomatik dan politik kepada rezim berkuasa yang menyiksa rakyatnya atau memaksakan SAP (Structural Adjustment Programs) yang terbukti tidak bisa memberikan stabilitas domestik bagi ekonomi berkembang atau miskin melalui IMF maupun Bank Dunia. Bisa pula dikatakan bahwa ketika sebuah negara secara langsung bertanggungjawab dalam membuat kondisi negara lain tidak layak ditinggali, misalnya melalui invasi atau dukungan terhadapnya, maka negara tersebut semakin memiliki tanggungjawab lebih besar terhadap pencari suaka yang berasal dari negara itu (2009: 3-4). Bagi Negara Pihak yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, mereka dianggap bersedia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut termasuk memberikan status pengungsi kepada para pencari suaka yang telah melalui proses evaluasi. Tetapi, bukan berarti Non-Negara Pihak bisa lepas tangan terhadap permasalahan pencari suaka ini. Prinsip non-refoulement, diterjemahkan sebagai prinsip yang melarang pengembalian (dengan cara apapun) orang-orang ke negara asal mereka dimana mereka menghadapi penyiksaan, telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional dan mengikat bagi seluruh negara. Sebagai akibatnya adalah tidak ada pemerintah yang diperbolehkan untuk
8
mengusir orang-orang tersebut (UNHCR n.d.b). Dalam kaitannya dengan kontrol perbatasan dan imigrasi ada dua diskurus utama yang terjadi sehubungan dengan hak pencari suaka untuk bermigrasi. Pertama, sejak tahun 1990an terjadi peningkatan penyelundupan manusia di Amerika Utara, Australia, dan Eropa yang kemudian memulai securitization of migration bersamaan dengan criminalization of smuggling (Huysmans 2006). Apa yang dimaksud dengan securitization of migration ini adalah bahwa migrasi dikaitkan dengan isu keamanan negara dan pemerintah melakukan segala upaya yang berorientasi kontrol dan pengetatan perbatasan serta standar imigrasi. Kedua, negara semakin intensif dalam pengetatan perbatasan baik di dalam maupun di luar teritorinya. Ini mempersulit pencari suaka untuk menjangkau negara penerima pengungsi (UNHCR 2000c). Banyak orang yang mencari suaka atau status pengungsi menjadi korban pengamanan perbatasan dan tidak pernah mencapai teritori berdaulat untuk memperoleh klaim (Mountz 2010: xvii). Akibatnya, mereka memilih menggunakan jasa penyelundup manusia untuk mencapai negara tujuan (Koser 2000: 91-111; Kyle dan Kowslowski 2001; Nadig 2002: 1-25). Konsekuensinya adalah penyelundupan migran, termasuk pencari suaka, adalah tindakan kriminal dan layak mendapat hukuman seberatberatnya. Kedua mainstream ini sebenarnya memiliki benang merah yang sama, yakni, negara semakin terbebani dengan kehadiran pencari suaka sehingga kebijakan imigrasi dan kontrol perbatasan diperketat. Menurut Mountz (2010: xiv-xv) negara penerima pengungsi menciptakan the long tunnel thesis, yaitu, sebuah kondisi dimana pencari suaka yang mendaftarkan klaim harus melalui
9
proses panjang dan memakan waktu bertahun-tahun untuk memperoleh kepastian status. Bahkan, negara memodifikasi geografinya dengan pengetatan perbatasan di luar teritorinya maupun dengan mengarahkan para pencari suaka ke negara lain. Ini berpengaruh terhadap keputusan pencari suaka untuk menggunakan jasa penyelundup manusia. Situasi ini melahirkan dilema antara aspek kemanusiaan dan kedaulatan negara. Adapun anggapan oleh negara bahwa sejak akhir tahun 1980an „[T]here has been significant abuse of the asylum system by those who are economic migrants but claim to be persecuted‟ (Anie dan Nicholas et al 2005: 17). Negara menyebutnya sebagai migration/asylum nexus yang merujuk pada hubungan antara pencari suaka dan meningkatnya jumlah orang yang menggunakan jalur suaka meski tujuan mereka tidak sesuai dengan kriteria yang disebutkan dalam Konvensi Pengungsi 1951 (Colleen dan Channac 2006: 373). Para akademisi yang fokus pada isu pencari suaka dan pengungsi meyakini persepsi tersebut sebagai bukti culture of mistrust yang mendalam terhadap pencari suaka (Finch 2005). Pemberitaan di media massa mengenai terorisme juga memberi efek bahwa pencari suaka yang menggunakan jasa penyelundup manusia merupakan ancaman terhadap keamanan negara dan menerima mereka dalam teritori negara adalah keputusan yang salah. Hasilnya adalah diskursus seputar pencari suaka bukan fokus pada elemen kemanusiaan seperti hak asasi mereka untuk memperoleh perlindungan, melainkan mengenai kedaulatan dan keamanan negara melalui kontrol perbatasan dan imigrasi, serta kriminalisasi penyelundupan manusia.
10
Securitization of migration juga melahirkan kesadaran bahwa persoalan penyelundupan pencari suaka tidak bisa ditangani secara unilateral karena sifatnya yang lintas batas negara dan melibatkan orang-orang dengan berbagai kewarganegaraan. Maka negara beralih pada mekanisme RCP dengan mengikutsertakan berbagai negara untuk
menyamakan persepsi
bahwa
penyelundupan pencari suaka adalah masalah bersama dan harus segera ditangani. Banyak inisiatif mengenai kebijakan imigrasi pada tingkat global maupun regional kemudian mendukung mekanisme berbagi informasi, konsultasi, dan koordinasi di semua level pembuatan kebijakan baik secara domestik maupun antar negara (2006: 372). Meningkatnya jumlah pencari suaka yang diselundupkan tidak hanya membuat negara khawatir, tetapi juga UNHCR sebagai agensi PBB yang memiliki mandat terhadap perlindungan pengungsi sehingga perlu ada sharing responsibility. Jadi, secara umum RCP dipengaruhi oleh dua faktor (2006). Faktor pertama karena hubungan internasional secara umum dan perubahan pola mobilitas manusia di dalamnya. Faktor kedua bersifat internal yang dialami masing-masing negara serta institusi seperti UNHCR dan IOM. Pada perkembangannya, penyelundupan pencari suaka juga melibatkan UNODC sebagai lembaga PBB yang memiliki mandat dalam penyelundupan manusia. RCP, dalam konteks hubungan internasional, berpotensi untuk membawa sebanyak mungkin stakeholders untuk berada dalam persepsi yang sama mengenai penyelundupan pencari suaka, yakni, ini adalah masalah bersama yang membuat masing-masing pihak menjadi korban sementara jaringan penyelundup
11
manusia
memperoleh
keuntungan.
Ia
berpotensi
untuk
tidak
hanya
mempersepsikan penyelundupan pencari suaka sebagai ancaman atas keamanan dan kedaulatan negara, tetapi juga bahwa aktivitas tersebut mengancam pencari suaka itu sendiri dan aspek-aspek kemanusiaannya. Pada umumnya masingmasing RCP memiliki tahap perkembangannya sendiri dan sangat bergantung pada konteks regionalnya. Baru sedikit penelitian mengenai RCP tetapi ada beberapa karakter yang membuatnya berbeda dari institusi regional maupun internasional (Klekowski von Koppenfels 2001: 9). Pertama, RCP merupakan arena multilateral dan secara esensial berisi negara yang bersifat informal. Ia adalah sebuah proses, bukan institusi, yang berarti bahwa bekerja untuk tujuan akhir adalah sebuah aspek penting, meski ada beberapa proses yang kemudian menjadi institusi. Aspek informal tidak hanya terbatas pada struktur dari proses tersebut, melainkan juga pada kerahasiaan dari negosiasi dan diskusi yang terjadi di dalamnya. Misalnya, partisipasi antar pemerintah yang terbatas dan eksklusif adalah cara untuk melindungi kerahasiaan tersebut. Karakter kedua adalah keterbukaan dan keputusan yang tidak mengikat karena konsultatif dengan pemerintah-pemerintah berpatisipasi dalam proses secara sukarela dan mendukung rekomendasi-rekomendasi yang bersifat tidak mengikat. Dengan tidak adanya komitmen formal, pendekatan yang dilakukan pemerintah-pemerintah yang berpartisipasi di dalamnya relatif bebas sebab tidak ada paksaan untuk menerima keputusan politik yang sama dan mengikat. Klekowski von Koppefels (2001) menyebutkan bahwa inilah yang dimaksud
12
dengan keterbukaan, lahir dari sifat RCP yang rahasia. Karena ia juga bukan institusi yang dimaksudkan untuk menciptakan standar, persetujuan atau peraturan legal yang mengikat, ia juga tidak memiliki tanggungjawab untuk menilai dan mengevaluasi apakah pemerintah yang bersangkutan menghormati komitmen dari RCP atau tidak. Ketiga, merupakan aspek efisiensi. RCP berfungsi dengan struktur administratif yang relatif kecil dan sekretariatnya biasanya menempel pada sebuah organisasi internasional. Ini adalah aspek penting bagi RCP untuk menjamin efisiensi. Pertukaran informasi antar negara yang berpartisipasi menjadi efisien dan tepat waktu karena tidak ada filter atau penghubung administratif yang menghalangi. Douglas dan Schloenhardt (2012: 5-6) membagi tiga alasan terbentuknya Bali Process ini. Pertama, pertemuan awal pada Februari 2002
menandakan
sebuah
pengakuan
formal
tentang
memburuknya
permasalahan irregular migration, terutama penyelundupan pencari suaka dengan kapal, di wilayah Asia Pasifik. Pernyataan resmi dari para Menteri yang hadir adalah: “Illegal movements were growing in scale and complexity, including in the Asia Pacific region, creating significant political, economic, social and security challenges.” (Australia dan Indonesia sebagai Co-Chairs 2002)
Kompleksitas tersebut juga dikaitkan dengan potensi terorisme melalui penyelundupan
manusia.
Kedua,
pertemuan
tersebut
mengekspresikan
perlawanan kolektif terhadap penyelundupan pencari suaka. Ketiga, adanya komitmen sukarela atas nama seluruh negara untuk bekerjasama sebagai sebuah
13
wilayah untuk melawan penyelundupan pencari suaka dalam kerangka kewajiban internasional dan penghargaan terhadap kondisi nasional masing-masing negara. Douglas dan Schloenhardt juga mengakui bahwa terlalu sedikit literatur yang membahas RCP serta belum ada evaluasi mengenai Bali Process. Bali Process juga tidak memiliki kehadiran fisik (sekretariat) serta tidak memiliki agenda atau jadwal jelas sehingga sulit untuk diidentifikasi kemajuan maupun pencapaiannya. Evaluasi kelebihan dan kekurangannya hanya terbatas pada koordinasi forum, bukti dan hasil, agenda kebijakan, serta akuntabilitas (2012: 10). Keduanya juga menemukan fakta bahwa dana Australia untuk penanganan penyelundupan pencari suaka paling besar diberikan kepada Bali Process dibandingkan kepada ONODC, IOM, dan organisasi regional serta internasional lain yang fokus pada persoalan serupa (2012: 11). Ini menandakan bahwa Australia sebagai Co-Chairs dan anggota Steering Group menganggap penting peran Bali Process. Dengan keanggotaan lebih dari 43 negara, menurut Hansen (2010: 34), Bali Process adalah notable exception dari aturan umum RCPs untuk memiliki sedikit anggota agar efektif. Steering Group yang terdiri dari Australia, Indonesia, Selandia Baru, Thailand, UNHCR, dan IOM, dimaksudkan sebagai pemimpin yang mewakili anggota-anggota lainnya supaya Bali Process lebih efektif. Namun, Bali Process dianggap kurang dalam information sharing padahal ini adalah salah satu aspek penting Bali Process. Kurangnya pembagian informasi teknis maupun intelijen mengenai irregular migration adalah hambatan utama untuk mengatasi penyelundupan pencari suaka. Adapun
14
Regional Immigration Liaison Officer Network (RILON) yang dikembangkan Bali Process Working Group sejak 2009 namun hanya menargetkan irregular migration jalur udara (2012: 12) tanpa menyertakan jalur maritim. Mengukur hasil dan pencapaiannya dalam skala absolut merupakan hal yang mustahil karena Bali Process adalah forum diskusi informal dan tidak mengikat. Ini juga serupa dengan tujuan RCP lain yang fokus pada migrasi, salah satunya, untuk membangun jaringan antar negara yang berpartisipasi agar mudah menjalin kepercayaan dan berbagi pemahaman mengenai prioritas-prioritas irregular
migration.
Dengan
kata
lain
persamaan
persepsi
mengenai
penyelundupan pencari suaka secara gradual diterjemahkan ke dalam sebuah proses peleburan dan harmonisasi praktek dan kebijakan (Channac dan Thouez 2006: 385-386). Tetapi, terlihat bahwa Bali Process dilingkupi oleh kerahasiaan dan kekhawatiran mengenai kedaulatan negara meskipun Bali Process juga menandai negara-negara kawasan Asia Pasifik semakin terbuka dalam mendiskusikan penyelundupan pencari suaka dibanding sebelum keberadaan Bali Process (2012: 13). Koser (2008: 18) mencatat bahwa Bali Process telah mengembangkan guidelines mengenai topik-topik berkaitan dengan kerjasama penegakan hukum antar lembaga di wilayah Asia Pasifik selama 2002-2011. Sayangnya, guidelines tersebut tidak tercatat dan diterbitkan dalam satu dokumen. Meski demikian, Douglas dan Schloenhardt menganggapnya sebagai salah satu pencapaian Bali Process selain pengembangan dan diseminasi kampanye informasi anti penyelundupan pencari suaka di Bangladesh, Sri Lanka, Indonesia, dan Pakistan.
15
Douglas dan Schloenhardt juga menggarisbawahi bahwa pembentukan Regional Cooperation Framework (RCF) pada Konferensi Bali Process IV tahun 2011 adalah pencapaian penting.3 Tujuan RCF itu sebagai payung bagi negara peserta untuk mengejar tujuan-tujuan yang sama melalui perencanaan praktis di level bilateral maupun subregional (2012: 15). Jika sebelumnya diskusi hanya berpusat pada masalah keamanan negara, RCF mulai memasukkan unsur kemanusiaan, misalnya, di salah satu poin: “Where appropriate and possible, asylum seekers should have access to consistent assessment processes, whether through a set of harmonised arrangements or through the possible establishment of regional assessment arrangements, which might include a centre or centres, taking into account any existing sub-regional arrangements” (The Bali Process n.d.)
Kritik juga menyebutkan ketika Bali Process memasukkan unsur kemanusiaan dan memperhatikan akar penyebab irregular migration, tidak berarti ada pergeseran pandangan yang fundamental dari Bali Process (2012: 18). Kritik lain adalah Bali Process hanya dimotori terutama oleh kepentingan donor utama, yaitu, Australia, dan juga anggota lain dalam Steering Group. Meskipun dari luar ia terlihat sebagai forum konsultatif dimana negara anggota memiliki hak berpendapat yang sama, tetapi jelas bahwa Australia memiliki kekuatan utama dalam forum yang terefleksikan di hampir seluruh laporan. Contoh nyata adalah dalam negosiasi RCF ketika Australia meminta adanya regional refugee processing centre karena kepentingan domestik Australia.
3
Poin-poin dalam RCF tercantum dalam lampiran
16
Begitu juga ketika Australia secara unilateral pada 2010 menyebutkan akan membangun offshore detention di Timor Timur yang ditolak pemerintah di Dili dan Australia meminta dukungan Bali Process untuk rencana ini pada 2011 (2012: 19). Ini berhubungan dengan akuntabilitas Bali Process sebagai sebuah RCP ketika satu negara berpengaruh lebih kuat dan mendominasi lainnya. Begitupun ketika semua persoalan harus dibawa melalui Steering Group, ini menimbulkan kekhawatiran tentang transparansinya karena berbagai proses dijalankan dalam lingkungan tertutup (Human Rights Law Centre and AntiSlavery Australia 2011: 24). Kurangnya antusias Negara untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka mengenai penyebab dasar, kondisi-kondisi, serta karakteristik dari migrasi internasional juga menjadi catatan. Douglas dan Schloenhardt (2012: 23-24) memprediksi bahwa Bali Process tidak akan berevolusi menciptakan kerangka kerja lebih komprehensif dan mengikat dalam lingkungan yang lebih terkoordinasi dan berkelanjutan. Ia akan bergerak menuju informal socialisation networks atau informal plurilateralism yang berarti: “[A]n opaque process in which a shared interest among a limited number of governments brings these together for consultation, the moulding of ideas about a shared contentious issue that is constructed as a problem” (Oelgemoller 2011: 113-114).
I.6. Kerangka Pemikiran Menurut Krasner (1983: 2) rejim adalah: "[S]ets of implicit or explicit principles, norms, rules, and decisionmaking procedures around which actors' expectations converge in a given area of international relations".
17
Prinsip (principles) diterjemahkan sebagai keyakinan akan sebuah fakta, sebab akibat, dan moralitas dalam tindakan. Norma (norms) adalah standar dalam bertingkah laku bisa ditentukan melalui hak dan kewajiban. Aturan (rules) merupakan metode spesifik yang menjadi guidance untuk bertindak. Sementara prosedur pembuatan keputusan (decison-making procedures) adalah praktekpraktek yang digunakan dalam membuat dan mengimplementasikan keputusan kolektif (1983: 2). Perbedaan fundamental harus dibuat antara prinsip dan norma di satu sisi, aturan dan prosedur di sisi lain. Prinsip dan norma membentuk karakter dasar rejim. Aturan dan prosedur pembuatan keputusan bisa konsisten dengan prinsip dan norma yang ada. Krasner menggarisbawahi bahwa „[C]hanges in rules and decision-making procedures are changes within regimes, provided that principles and norms are unaltered‟ (1983: 3). Berbeda dengan perubahan yang terjadi terhadap prinsip dan norma dimana „[C]hanges in principles and norms are changes of the regime itself‟. Ketika prinsip dan norma yang ada ditinggalkan, kemungkinannya adalah sebuah perubahan menuju rejim baru atau justru hancurnya rejim dari area isu yang sebelumnya ditetapkan (1983: 4). Sebuah rejim yang terdiri dari beberapa aktor (negara, IGO, maupun NGO) hadir ketika interaksi antar pihak berdasarkan dependent decision making. Ketika masing-masing aktor bebas menentukan pilihan tanpa menimbulkan konflik maka mereka telah mencapai equilibrium dan semua pihak puas dengan itu, rejim tidak perlukan. Namun, jika sistem internasional bersifat anarkis dan memungkinkan negara untuk bebas membuat keputusan, maka rejim bukan lahir
18
karena pilihan-pilihan negara terbatas, melainkan karena mereka menghindari independent decision making. Rejim internasional terbentuk ketika tindakantindakan negara berdasarkan pembuatan kebijakan yang saling berhubungan (Stein 2011: 301). Tujuan terbentuknya rejim adalah untuk memfasilitasi adanya persetujuan. Jervis berpendapat konsep rejim „[I]mplies not only norms and expectations that facilitate cooperation, but a form of cooperation that is more than following of short-run self-interest‟ (1983). Namun, Krasner (1983: 3) menyadari kemungkinan negara untuk mengejar kepentingan jangka pendek ketika rejim telah terbentuk dan ini akan mengganggu efektifas rejim tersebut. Negara memilih rejim karena perilaku berbasis kepentingan individualistis dan independen dapat membuahkan hasil yang tidak diinginkan atau tidak optimal. Stein menerjemahkan situasi-situasi seperti itu dengan dilemmas of common interests dan dilemmas of common aversions (2011: 304). Common interest adalah situasi ketika masing-masing pihak berada pada kondisi equilibrium, menginginkan tujuan dan hasil yang sama, namun tidak bisa meraihnya secara unilateral. Agar mampu mencapai optimalitas tujuan semua aktor diharuskan menghindari penggunaan strategi dominan. Sebagai tambahan, mereka tidak boleh serakah dalam berusaha memperoleh tujuan yang diinginkan (2011: 306). Akademisi Ilmu Hubungan Internasional berpendapat bahwa sifat alamiah negara dan interaksinya dengan negara lain adalah prisoners' dilema. Masing-masing pihak memiliki strategi dominan untuk meninggalkan common action dan ini
19
berakibat fatal bagi semuanya. Meski berada dalam situasi yang dikondisikan seperti mutual cooperation, tetapi hasil tersebut bukan equilibrium karena setiap aktor bisa ingkar dari kerjasama (2011: 307). Untuk itulah komitmen agar selalu bekerjasama antara satu sama lain menjadi penting dalam rejim yang efektif. Sebaliknya, common aversion merupakan kondisi saat para aktor memiliki kepentingan yang sama untuk menghindari suatu hasil tertentu. Kondisi ini lahir saat mereka menyetujui bahwa setidaknya ada satu hasil yang ingin mereka hindari. Kerjasama dibutuhkan jika para aktor berharap bisa menghindari hasil tersebut. Maka, dilema ini bisa menggiring pembentukan rejim dengan menyediakan insentif bagi negara untuk meninggalkan independent decisionmaking. Common aversion relatif mudah untuk dilakukan karena para pihak tidak terpecah dalam hal kepentingan; mereka tidak peduli pada hasil yang lain. Prosedur apapun yang mampu mempersatukan ekspektasi membuat kerjasama lebih memungkinkan. Contohnya adalah menyetir di jalur kiri menjadi sebuah mekanisme koordinasi sederhana yang memudahkan pergerakan kendaraan dari arah berlawanan tanpa harus saling bertabrakan (2011: 309). Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masing-masing aktor punya hasil berbeda yang ingin dihindari. Alternatif yang bisa dipakai adalah seluruh aktor mengadopsi aturan kontekstual dimana konteksnya menetapkan apakah aktor A mendapat keinginannya: di suatu saat iya, di saat lain tidak. Ini adalah fairness doctrine yang menjamin seluruh aktor meraih apa yang paling mereka inginkan tapi hanya dalam waktu tertentu (2011: 311). Dalam sebuah kerjasama yang pertama kali diperlukan adalah agenda-setting dan issue definition dimana
20
keduanya menjadi prinsip dasar yang mendefinisikan rejim. Agenda-setting dimaknai sebagai pengembangan common ground antar negara bahwa mereka siap untuk mendiskusikan sebuah isu tertentu. Issue definition berarti menyamakan pemahaman mengenai isu tersebut yang berarti harus ada kesamaan konsep yang digunakan. Dalam tahap ini rasa saling percaya sangat esensial bagi keberlangsungan kerjasama. Setelah penentuan agenda-setting dan menuju proses negosiasi sebuah persetujuan, maka masingmasing pihak menyiapkan pernyataan mengenai apa yang mereka inginkan, khawatirkan, serta masukan untuk meraih hasil persetujuan. Interaksi yang terus berulang merupakan kunci dalam proses ini. Masing-masing pihak harus bertemu dan berbagi informasi serta pendapat, mungkin juga melakukan perjanjian dengan satu sama lain secara bilateral. Interaksi yang intensif mampu meningkatkan kepercayaan terhadap masing-masing aktor (Hansen 2010: 15-20). Dalam pembentukan norma, concensus building dan position convergence terhadap isu tersebut menjadi krusial. Norma bisa merupakan sesuatu yang tertulis maupun tidak tertulis tetapi seluruh pihak harus menyetujui norma yang diberlakukan. Rejim mampu efektif jika seluruh pihak mencapai konsensus dengan komunikasi dan koordinasi menjadi standar alami dalam memutuskan keputusan kolektif. Ini didukung dengan bersinerginya posisi semua aktor terhadap isu yang telah diagendakan (2010: 15). Rejim juga memiliki aturan yang harus berasal dari kesepakatan bersama. Aturan bisa menjadi sesuatu yang sangat teknis untuk mengatur bagaimana masing-masing aktor bertindak di dalam rejim.
21
Begitu pun dengan prosedur pembuatan kebijakan untuk hasil kolektif yang harus diformulasikan bersama. Keduanya bisa dirumuskan setelah prinsip dan norma dalam rejim tersebut telah dengan jelas ditentukan arahnya. Maka, pada dasarnya selain keharusan untuk meninggalkan independent decision-making dan kesamaan kepentingan, rasa saling percaya dan komunikasi adalah dua aspek paling fundamental dalam pembentukan dan keberlangsungan rejim. Bali Process merupakan rejim dengan tema besar tentang irregular migration dan kejahatan yang menyertainya, yakni, permasalahan penyelundupan manusia, perdagangan manusia, dan kejahatan transnasional lain. Berkaitan dengan penyelundupan pencari suaka, pembentukan Bali Process dilatarbelakangi oleh kesamaan pendapat masing-masing negara anggota bahwa mereka tidak mampu menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka secara unilateral. Australia adalah negara pertama yang memunculkan ide dan konsep ini karena posisinya sebagai negara penandatangan UN Refugee Convention 1951 menjadikannya tujuan pencari suaka, termasuk yang diselundupkan (2012: 5). Para anggota menyepakati prinsip Bali Process yang terangkum dalam RCF, diantaranya: "Irregular movement facilitated by people smuggling syndicates should be eliminated and States should promote and support opportunities for orderly migration."
serta; "Where appropriate and possible, asylum seekers should have access to consistent assessment processes, whether through a set of harmonised arrangements or through the possible establishment of regional assessment arrangements, which might include a centre or centres, taking
22
into account any existing sub-regional arrangements." (The Bali Process n.d.)
Kesamaan posisi bahwa penyelundupan pencari suaka merupakan sebuah kejahatan dan negara menjadi korbannya, serta kesamaan tujuan untuk menyelesaikannya melalui kerjasama (common interest) merupakan definisi utama rejim ini. Norma yang berlaku bagi para anggota, meski sifatnya sebagai RCP, adalah mereka harus mengembangkan perencanaan praktis di bawah kerangka Bali Process. Sebagai contoh, anggota Bali Process sepakat bahwa pertukaran informasi, capacity building, burden sharing, penyelesaian akar permasalahan, pengumpulan sumber-sumber teknis, serta koordinasi untuk proyek-proyek logistik, administratif, dan operasional yang difasilitasi oleh RSO dan berkantor di Bangkok (Regional Support Office 2011). Aspek
kemanusiaan
bahwa
pencari
suaka,
apapun
jalan
yang
ditempuhnya, berhak untuk memperoleh akses terhadap pemrosesan status juga menjadi norma Bali Process. Poin pertama yang menjadi norma Bali Process adalah bahwa dalam menjalankan kesepakatan praktis, harus memperhatikan harkat martabat korban penyelundupan (RSO Information Sheet Overview 2013). Sementara sifatnya yang berupa RCP, Bali Process tidak bisa melahirkan aturan teknis dan praktis yang mengikat berkaitan dengan bagaimana anggota harus bertindak. Norma yang berlaku adalah keanggotaannya berbasis kesukarelaan dan menghargai kedaulatan masing-masing negara sehingga ia tidak memiliki aturan teknis dan praktis yang mengikat. Prinsip-prinsip yang terangkum dalam RCF disepakati di dalam kerangka Bali Process bisa diterjemahkan negara ke praktek domestik maupun hubungan
23
internasional secara berbeda. Sedangkan prosedur pembuatan kebijakan dalam rejim ini harus melalui Steering Group. Setiap kontribusi dan proposal dari anggota harus diserahkan kepada Steering Group. Operasionalisasi harian dari Bali Process diawasi oleh manajer RSO dari pemerintah Australia dan Indonesia yang akan melapor pada Steering Group, Ad-Hoc Group, dan seluruh anggota Bali Process saat Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference. Seluruh aktivitas RSO dievaluasi setelah 18 bulan sampai 24 bulan beroperasi (RSO 2011). Seperti yang ditegaskan sebelumnya bahwa dependent decision-making, common interest, rasa saling percaya, dan interaksi yang intensif adalah kunci keberhasilan rejim. Aspek-aspek ini seringkali hilang dalam Bali Process. Tidak adanya pertemuan tingkat tinggi Regional Ministerial Conference maupun Senior Officials Meeting sejak tahun 2004 hingga 2008 ditambah dengan jadwal yang tidak pasti membuat kurangnya rasa saling percaya. Bali Process tidak memperoleh prioritas dari pembuat keputusan ketika baru berusia dua tahun dimana selama itu tidak banyak terjadi interaksi antar anggota. Ketika jumlah penyelundupan pencari suaka ke Australia meningkat, negara itu berinisiatif menghidupkan kembali Bali Process. Ketiadaan Senior Officials Meeting dan Regional Ministerial Conference yang panjang membuat antusiasme negara lain juga berkurang. Dampaknya adalah Steering Group menjadi aktor paling berkepentingan sekaligus motor penggerak di masa antusiasme itu surut. Dalam Steering Group sendiri terjadi perbedaan pendapat yang mencolok dan justru berakibat buruk pada efektifitas Bali Process.
24
Pemerintah Australia, misalnya, sejak pemerintahan John Howard banyak bertumpu pada Indonesia dan Negara kecil seperti Nauru dan Papua Nugini melalui Pacific Solution. Perjanjian bilateral dengan Indonesia mengenai pencari suaka dianggap mampu mengurangi penyelundupan pencari suaka karena Indonesia menghentikan perahu-perahu mereka sebelum mencapai Australia. Ketika hubungan bilateral keduanya goncang seperti yang baru-baru ini terjadi, ini mempengaruhi pola komunikasi Co-Chairs sebab ada level of distrust antara keduanya yang tinggi. Meski norma Bali Process adalah keanggotaan sukarela dan menghargai kedaulatan negara, tetapi tindakan unilateral Negara penggerak seperti Australia berdampak sistemik terhadap rejim ini. Norma koordinasi dan kerjasama yang semestinya menjadi pendorong rejim ditinggalkan Australia ketika Perdana Menteri Tony Abbott meresmikan kebijakan Operation Sovereign Borders. Kebijakan ini, meski menjadi kedaulatan Australia, sebenarnya mencederai prinsip dan norma Bali Process. Pertama, kebijakan itu sangat unilateral tanpa berkoordinasi dengan Indonesia sebagai negara yang juga terkena dampaknya. Tidak adanya konsultasi, minimal dengan Co-Chairs dan Steering Group, mengancam keberlangsungan rejim ini. Setidaknya Indonesia, UNHCR, dan IOM mengecam keras Operation Sovereign Borders dan meminta penyelesaian penyelundupan pencari suaka melalui Bali Process. Kedua, Operation Sovereign Borders memuat push-back policy yang berlawanan dengan prinsip dan norma bahwa pencari suaka yang diselundupkan sekalipun berhak memperoleh akses terhadap fasilitas pemrosesan
25
status. Push-back policy pada prakteknya adalah mengembalikan kapal pencari suaka ke perairan sebelumnya, yakni, Indonesia. Krasner menuliskan bahwa: "If the principles, norms, rules, and decision-making procedures of a regime become less coherent, or if actual practice is increasingly inconsistent with principles, norms, rules and procedures, then a regime has weakened" (1983: 5).
Dengan ini sebenarnya Australia membelot dari tanggungjawabnya sebagai bagian Konvensi Pengungsi 1951 dan komitmen terhadap aspek kemanusiaan. Tindakantindakan unilateral anggota yang bertolak belakang dengan prinsip dan norma dari Bali Process berkontribusi besar kepada kegagalan rejim ini untuk menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka.
I.7. Hipotesis Kegagalan Bali Process dalam menyelesaikan persoalan penyelundupan pencari suaka disebabkan oleh perubahan prinsip dan norma Bali Process dimana perubahan itu dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, ketiadaan pertemuan Regional Ministerial Conference dan Senior Officials Meeting sejak 2004 hingga 2008. Kedua, relasi politik Australia dan Indonesia sejak isu penyadapan oleh Australia. Ketiga, unilateralisme Australia dalam mengatasi penyelundupan pencari suaka melalui Operation Sovereign Borders. Faktor pertama melemahkan rejim Bali Process secara keseluruhan. Kedua faktor terakhir saling berkaitan dan paling berdampak secara spesifik pada keharmonisan Co-Chairs dan Steering
26
Group sebagai penggerak Bali Process yang kemudian berkorelasi terhadap efektifitas Bali Process dalam menyelesaikan penyelundupan pencari suaka.
I.8. Metodologi Penelitian I.8.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat eksplanatif untuk menjelaskan mengapa Bali Process gagal dalam
menyelesaikan
persoalan
penyelundupan
pencari
suaka
ke
Australia. Penelitian eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua atau lebih gejala atau variabel. I.8.2 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kualitatif dengan penekanan pada wawancara dan studi literatur maupun dokumen (Silalahi 2006: 28). Wawancara utamanya dilakukan selama proses Studi Independen yang memakan waktu kira-kira satu bulan, sejak 24 Februari hingga 24 Maret 2014, di Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri. Kegiatan wawancara dilaksanakan dengan perwakilan BPPK dan Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri. Sedangkan studi literatur dilaksanakan sepanjang proses penulisan thesis. Dari proses Studi Independen juga berhasil dikumpulkan beberapa dokumen penting berkaitan dengan Bali Process. I.8.3. Teknik Pengolahan Data Data-data yang telah dikumpulkan baik dari wawancara, dokumen, media, dan literatur lain yang berkaitan dianalisa melalui teknik kualitatif dengan
27
menyusunnya secara sistematis. Adapun tahapan-tahapan dalam pengolahan data secara kualitatif. Pertama, tahap reduksi dimana tahap ini peneliti mengumpulkan berbagai data yang bisa menjawab rumusan masalah. Kedua, tahap penyajian data dengan mengorganisir data-data yang telah direduksi dan kemudian disusun dalam pola hubungan. Tahap terakhir adalah penarikan kesimpulan penelitian berdasarkan temuan-temuan penelitian, verifikasi data, untuk membuktikan hipotesis penelitian (2006: 28).
I.8.4. Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi menjadi empat bab dengan rincian sebagai berikut: Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, jangkauan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka untuk mengetahui penelitian-penelitian mengenai topik terkait yang ada sebelumnya dan memudahkan penempatan penelitian ini dalam konteks diskursus seputar topik yang berhubungan, kerangka pemikiran dengan konsep-konsep untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menggiring ke formulasi hipotesis, hipotesis, serta metodologi penelitian. Bab II membahas mengapa terjadi ketiadaan pertemuan tingkat tinggi, Regional Ministerial Conference dan Senior Official Meetings, dalam Bali Process selama tahun 2004 hingga 2008 dan pengaruhnya terhadap kerjasama Bali Process Bab III berisi penjelasan mengenai unilateralisme Australia yang ditunjukkan dalam Operation Sovereign Borders, hubungan bilateral Indonesia
28
dan Australia setelah Operation Sovereign Borders dan isu penyadapan, serta tanggapan Indonesia yang berefek pada Bali Process Bab IV adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan penelitian.
29