BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di era reformasi saat ini, terdapat kecenderungan penurunan perhatian masyarakat terhadap permasalahan keluarga berencana. Masyarakat menganggap bahwa program keluarga berencana saat ini bukanlah menjadi aspek penting dalam pembangunan. Adanya perubahan paradigma baru KB Nasional (KBN) yang telah diubah visinya dari mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) menjadi visi untuk mewujudkan “Keluarga Berkualitas Tahun 2015”,
memerlukan
pemahaman yang mendalam dan kemandirian dari pasangan usia subur dalam merencanakan keluarga yang berkualitas. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki anak yang ideal, berwawasan ke depan, pertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Saifuddin, et al, 2010). Selaras dengan program KB di Indonesia, dalam target Millenium Development Goals (MDGs) di Indonesia, terdapat upaya peningkatan kesehatan ibu yaitu diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu (MMR/Maternal Mortality Rate) dari 390/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, sehingga diperlukan kerja keras untuk mencapai target tersebut (Kemenkes RI, 2015). Upaya menurunkan angka kematian ibu didukung pula dengan
1
2
meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi dan menurunkan jumlah pasangan usia subur (PUS) yang seharusnya menggunakan alat kontrasepsi, namun tidak menggunakan alat kontrasepsi (unmet need) yang dilakukan melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, usia reproduksi perempuan pada umumnya adalah 15-49 tahun, karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita atau PUS seharusnya lebih diprioritaskan untuk menggunakan alat atau metode kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya. Berdasarkan data BKKBN (2014), target peserta KB baru di propinsi Jawa Tengah adalah sebesar 899.163 peserta dan total peserta KB baru tersebut tercapai 934.305 (103,90%) dengan rincian pengguna metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) yaitu pengguna alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan implan 221.824 (23,74%) dan pengguna non MKJP 712.481 (76,26%) (Kemenkes RI, 2013). Tingginya angka pencapaian peserta baru ini, di lain sisi juga diikuti dengan banyaknya kasus drop out peserta KB baik baru maupun aktif yang mencerminkan permasalahan KB saat ini. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, bahwa alasan yang melatarbelakangi peserta KB drop out diantaranya adalah ingin punya anak lagi 36,6%, masalah terganggu kembalinya fertilitas 20,1%, masalah karena
mengalami
efek
samping
sebesar
17,2%
dan
masalah
ketidaknyamanan akibat penggunaan kontrasepsi 12,2% (Kemenkes RI,
3
2013). Kejadian efek samping, kegagalan dan komplikasi pada saat peserta menggunakan salah satu metode alat kontrasepsi dapat menjadi penyebab turunnya keinginan masyarakat untuk ikut serta dalam program KB. Tingginya angka kejadian drop out peserta KB tersebut disebabkan karena peserta mengalami kekhawatiran akibat efek samping yang dialami peserta dari penggunaan kontrasepsi, yang seharusnya dapat dicegah apabila peserta memahami profil alat kontrasepsi yang dipakai dengan baik. Kabupaten Klaten merupakan salah satu Kabupaten di propinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk 1.194.237 jiwa dan jumlah PUS yang memakai kontrasepsi sebesar 75,90% dari total PUS 203.448 jiwa. Jumlah peserta KB baru di Kabupaten Klaten yaitu 104,09% dari target 22.633 jiwa, yang sebagian besar menggunakan alat kontrasepsi suntik 50,72%, dan implan 20,64%. Permasalahan yang ditemui di Kabupaten Klaten diantaranya angka unmeet need yang masih tinggi yaitu sebesar 18,13%, angka drop out peserta KB aktif sebesar 29.264 peserta, dan terjadi penurunan jumlah peserta aktif sebanyak 5.705 peserta. (KP3AKB Klaten, 2016). Program keluarga berencana merupakan kebutuhan penting bagi masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat yang dapat dimulai dengan peningkatan pemahaman mengenai perencanaan keluarga, KB dan kesehatan reproduksi. Kekhawatiran peserta dalam menghadapi efek samping penggunaan kontrasepsi seharusnya dapat diminimalisir, salah satunya dengan pemberian konseling secara komprehensif pada
4
peserta KB. Konseling dalam pelayanan keluarga berencana seharusnya dilakukan pada saat awal penggunaan, kunjungan ulang pada saat peserta membutuhkan metode ulang dan setiap ada keluhan. Pemberian konseling yang baik kepada calon peserta baru dapat memberikan peningkatan pengetahuan calon peserta tentang bagaimana merencanakan keluarga, pengetahuan tentang pola reproduksi sehat, serta profil alat kontrasepsi yang akan digunakan. Pelayanan KB merupakan salah satu upaya kesehatan preventif dan promotif perorangan, dimana dapat diimplementasikan dengan pendekatan life cycle dan continuity of care. Pelayanan KB pada peserta baru dapat dilaksanakan mulai dari pemberian konseling pada waktu pranikah, ketika hamil dalam kunjungan antenatal care (ANC) dan kelas ibu hamil, serta pada kunjungan nifas yang harus dilaksanakan dengan kontinyu dan menyeluruh (Kemenkes, 2013). Dalam mendukung keberhasilan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang dilakukan oleh bidan sebagai pemberi pelayanan maka diperlukan kemampuan untuk menciptakan hubungan antar pribadi yang baik antara bidan dengan peserta. Dengan adanya hubungan yang baik maka kualitas pelayanan akan lebih baik karena peserta berpartisipasi aktif dalam pelayanan kesehatan yang akan diterimanya yang akhirnya akan menimbulkan kecenderungan untuk menjadi pemakai kontrasepsi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemberi pelayanan untuk meningkatkan keaktifan calon peserta dan peserta KB adalah dengan melakukan konseling menggunakan alat bantu pengambil keputusan
5
(ABPK) atau dikenal dengan Decision Making Tolls (DMT) (Diniarti, 2010) ABPK merupakan suatu alat bantu dalam konseling yang tidak hanya berisi informasi mutakhir seputar kontrasepsi/ metode KB namun juga standar proses dan langkah konseling KB yang berlandaskan ada hak peserta dalam menggunakan suatu metode kontrasepsi (Kemenkes RI, 2011). Bentuk ABPK ber-KB berupa lembar balik yang menarik sehingga membuat ibu lebih partisipasif untuk bertanya dan bisa memahami apa yang menjadi kebutuhannya. ABPK merupakan panduan standar pelayanan konseling KB yang tidak hanya berisi informasi mutakhir seputar kontrasepsi atau KB, namun juga berisi standar proses dan langkah konseling KB yang berlandaskan pada hak dan inform choice/pilihan peserta KB. ABPK juga mempunyai fungsi ganda, antara lain: membantu pengambilan keputusan metode KB, membantu pemecahan masalah dalam penggunaan KB, alat bantu kerja bagi pemberi pelayanan (tenaga kesehatan), menyediakan referensi atau info teknis, dan sebagai alat bantu visual untuk pelatihan pemberi pelayanan (tenaga kesehatan) yang baru bertugas (BKKBN, 2011). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, jumlah bidan di Kabupaten Klaten adalah 480 orang dan yang telah mendapatkan pelatihan kontrasepsi ter update (CTU) sekitar 400 orang dan yang telah mengikuti pelatihan ABPK
67 orang bidan. Tujuan dilaksanakan
pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kompetensi bidan dalam
6
melakukan konseling KB dan memberikan pelayanan KB di masyarakat. Namun, meskipun sarana atau leaflet ABPK tersedia di seluruh Puskesmas dan tenaga yang berkompeten tersedia, pelaksanaan pelayanan KB saat ini seringkali masih kurang optimal. Hasil observasi peneliti, dari 4 pelayanan KB yang dilakukan di Puskesmas dan 4 pelayanan yang dilakukan di bidan praktek mandiri (BPM) di wilayah Kabupaten Klaten, hanya 2 bidan yang melakukan konseling dengan menggunakan lembar balik ABPK pada calon peserta baru, dan tidak ada yang melakukan konseling pada peserta yang melakukan kunjungan ulang untuk mendapatkan metode ulangan. Hal ini bisa menjadi penyebab kejadian drop out peserta KB karena kurangnya
pemahaman
peserta terhadap
profil
kontrasepsi
yang
digunakan. Program konseling dengan menggunakan ABPK merupakan salah satu kebijakan yang memerlukan suatu evaluasi mengenai bagaimana pelaksanaan program tersebut di masyarakat. Sebaik apapun kebijakan publik yang telah dibuat hanya akan menjadi sia-sia jika tidak ada upaya untuk mengimplementasikannya karena tidak akan membawa dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan krusial dalam proses kebijakan publik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Edwards III yang dikutip oleh Akib (2008) bahwa tanpa adanya implementasi yang efektif maka keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan Implementasi kebijakan adalah aktivitas yang terlihat setelah dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan
7
yang meliputi upaya mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat. Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana kinerja program penggunaan ABPK dalam konseling pelayanan KB di Kabupaten Klaten.
B. Rumusan Masalah Bagaimana
kinerja
pelaksanaan
program
konseling
KB
dengan
menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten?
C. Tujuan Penelitian 1. Umum Menganalisis
kinerja
pelaksanaan
prorgam
konseling
dengan
menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten ditinjau dari teknik pelaksanaan konseling, ukuran dasar dan tujuan program, sumberdaya program, komunikasi antar organisasi, karakteristik, dan disposisi implementor. 2. Khusus a.
Menjelaskan faktor ukuran dasar dan tujuan program pada pelaksanaan konseling dengan menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten.
8
b.
Menjelaskan faktor sumber daya pada pelaksanaan konseling dengan
menggunakan
ABPK
dalam
pelayanan
keluarga
berencana di Kabupaten Klaten. c.
Menjelaskan
faktor
karakteristik
badan
pelaksana
pada
pelaksanaan konseling dengan menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten. d.
Menjelaskan
faktor
komunikasi
antar
organisasi
pada
pelaksanaan konseling dengan menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten. e.
Menjelaskan faktor disposisi implementor pada pelaksanaan konseling dengan 1menggunakan ABPK dalam pelayanan keluarga berencana di Kabupaten Klaten.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya serta memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang promosi kesehatan. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan atau sumber data peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam ruang lingkup yang sama.
9
2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan pertimbangan bagi puskesmas untuk memperluas pemanfaatan ABPK dalam konseling pelayanan KB sebagai sarana edukasi dan publikasi dalam bidang pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. b. Sebagai bahan pertimbangan bagi penentu kebijakan (Dinas Kesehatan Kabupaten dan kantor Pemberdayaan Perempuan, dan Keluarga
Berencana/PP
dan
KB)
dalam
pengembangan
pembangunan sarana dan prasarana penunjang pelayanan KB pada setiap tempat pelayanan kesehatan di Kabupaten Klaten.
E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul Evaluasi Pelaksanaan Konseling dengan Menggunakan Alat Bantu Pengambil Keputusan Ber-KB di Kabupaten Klaten, belum pernah dilakukan sebelumnya, namun terdapat penelitian yang mendekati penelitian ini, diantaranya adalah : 1. Kostania,
Gita
(2013),
dengan
judul
Pengaruh
Konseling
Menggunakan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) Ber-KB Terhadap Penggunaan Intra Uterin Devices (IUD) (Studi Pre Eksperimen di Desa Platarejo Kecamatan Giriwoyo Kabupaten Wonogiri Tahun 2013). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini yaitu konseling dengan menggunakan ABPK dan penggunaan IUD, dengan metode penelitian kuantitatif, pre eksperimen studi intact
10
group, dengan metode pengambilan sampel purposive sampling dan tehnik analisa chi square. Hasil yang didapat yaitu terdapat pengaruh penggunaan ABPK ber KB dalam konseling terhadap penggunaan kontrasepsi IUD (X2=8,571). 2. Penelitian
yang
dilakukann
oleh
Rokhmah
(2014),
Evaluasi
Penggunaan Alat Bantu Pengambilan Keputusan (ABPK) dalam Pelayanan Keluarga Berencana oleh Bidan Puskesmas di Kota Cirebon. Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan hasil penelitian bahwa penggunaan ABPK oleh Bidan puskesmas dalam pelayanan KB belum berjalan dengan baik. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rahimah tahun 2013 mengenai Efektifitas Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan Metode Ceramah dan Media Leaflet terhadap Pengambilan Keputusan PUS dalam Memilih Alat Kontrasepsi di Wilayah Kerja Puskesmas Langsa Lama. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh efektifitas Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dengan metode ceramah dan media leaflet terhadap pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi. Jenis penelitian kuasi-eksperimental, dengan rancangan perlakuan ulang dengan menggunakan 3 kelompok, yaitu kelompok yang diberi intervensi metode ceramah, kelompok media leaflet dan kelompok kontrol. Alat pengumpulan data adalah kuesioner dan uji yang digunakan adalah uji Wilcoxon dengan tingkat signifikasi (α) sebesar 0,05. Uji Wilcoxon menunjukkan bahwa
11
pengambilan keputusan responden sebelum diberikan intervensi dengan metode ceramah adalah 41,66% dengan kategori cukup dan sesudahnya mengalami peningkatan menjadi 56,18% dengan kategori cukup dan p value = 0,001. Pengambilan keputusan responden sebelum diberikan intervensi dengan media leaflet adalah 35,47% dengan kategori ragu-ragu dan sesudahnya mengalami peningkatan menjadi 67,38 % dengan kategori baik dan p value = 0,001. Hal ini berarti bahwa secara statistik dapat diketahui bahwa ada pengaruh pemberian Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) terhadap pengambilan keputusan PUS dalam memilih alat kontrasepsi dengan metode ceramah dan leaflet dimana nilai p<0,05 (p=0,001). Pada kelompok kontrol pengambilan keputusan pada saat pretest adalah 58,46 % dengan kategori cukup menjadi 65,38% pada saat postest dengan kategori baik. Hasil uji menunjukkan tidak ada pengaruh pengambilan keputusan dalam memilih alat kontrasepsi dimana nilai p>0,05 (p=0,068). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada variabel
yang
diteliti
yaitu
pelaksanaan
konseling
dengan
menggunakan alat bantu pengambilan keputusan di Kabupaten Klaten, dengan desain penelitian kualitatif, pengambilan sampel purposive sampling, dengan menganalisa lima variabel dalam implementasi kebijakan menurut van Meter dan van Horn (1975), yaitu ukuran dasar
12
kebijakan, sumber daya dalam kebijakan, karakteristik badan pelaksana, sikap para pelaksana dan komunikasi antar organisasi.