BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemilihan umum adalah suatu kegiatan yang sering diidentikkan sebagai suatu ajang pesta demokrasi. Dikatakan demikian karena dalam pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin suatu negara. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara. Apabila pemilihan umum yang dilaksanakan tersebut kemudian berjalan dengan lancar, tanpa ada menimbulkan konflik yang berpotensi pada perpecahan dan kemudian sukses menghasilkan pemimpin yang mendapatkan suara mayoritas dari masyarakat, maka negara tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang demokratis. Sebaliknya, apabila pemilihan umum yang dilaksanakan menemui kegagalan, menimbulkan konflik yang berujung kepada perpecahan, atau bahkan berujung kepada situasi yang chaos baik diantara calon yang berkompetisi maupun masyarakat secara umum, maka negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara yang tidak demokratis, karena pemilihan umum ternyata tidak dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Indonesia adalah salah satu dari ratusan negara di dunia yang menerapkan paham demokrasi sebagai acuan dalam menjalankan pemerintahannya. Indonesia sebagai sebuah negara yang demokratis mengenal pemilihan umum sebagai suatau wadah yang dperuntukkan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional. Pemilihan umum tidak lagi menjadi sesuatu yang asing bagi bangsa ini, karena Indonesia telah melaksanakan pemilihan umum mulai dari tahun 1955 sampai
Universitas Sumatera Utara
dengan pemilihan umum tahun 2004. Pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan sekali dalam lima tahun sejalan dengan masa jabatan presiden. Pemilihan umum yang paling terakhir dilaksanakan di Indonesia adalah pemilihan tahun 2004. Pemilihan umum ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Megawati. Apa yang kemudian menarik dari pemilihan umum tahun 2004 adalah sistem pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2004 telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Pemilihan umum Indonesia tahun 2004 merupakan Pemilu pertama di mana para peserta dapat memilih calon Presiden dan calon Wakil Presiden secara langsung. Pada pemilihan umum tahun 2004 ini juga untuk pertama kalinya dikenal Dewan Perwakilan Daerah, yang juga dipilih pada pemilihan umum tahun 2004 ini. Sistem pemilihan umum yang dipakai dalam pemilihan umum tahun 2004 ini adalah sebuah terobosan baru dalam mengatur mekanisme bagaimana proses pergantian kepemimpinan nasional dilaksanakan. Pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 tertuang dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Pasal 1, tentang pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden : Pemilihan umum ...adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Malaysia adalah salah satu negara berdaulat yang merupakan tetangga dekat negara Indonesia. Malaysia juga merupakan salah satu negara yang menerapkan dan menganut paham demokrasi, walupun Malaysia masih tetap menjaga keutuhan dan mengakui keberadaan kesultanan Malaysia sampai dengan
Universitas Sumatera Utara
sekarang. Kesultanan Malaysia merupakan simbol negara itu sendiri, sedangkan yang menjalankan pemerintahan adalah perdana menteri yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum. Hampir serupa dengan indonesia, ternyata pemilihan umum juga diterapkan didalam sistem politik Malaysia. Pemilihan umum di Malaysia juga bukan merupakan hal yang asing lagi bagi rakyat malaysia. Negara tersebut telah melaksanakan pemilihan umum sebanyak 11 kali. Pemilihan umum Malaysia yang ke 11 dilaksanakan pada maret tahun 2004 Apa kemudian yang menarik dari pemilihan umum Malaysia adalah bahwa pemilihan umum yang dilakukan oleh Malaysia pada tahun 2004 tersebut bukanlah pemilihan yang dilakukan untuk memilih secara langsung Ahmad Badawi untuk duduk sebagai Perdana Menteri Malaysia, karena sistem pemilihan umum yang diterapkan di Malaysia bukan memilih Perdana Menteri, melainkan memilih partai politik yang berkompetisi di dalam pemilihan umum tersebut, dan selanjutnya partai politik yang memenangkan pemilihan umum dengan mendapatkan suara mayoritas dari pemilih membentuk pemerintahan negara, termasuk Perdana Menteri. Terdapat beberapa perbedaan dan juga persamaan yang kemudian muncul ketika kita mencoba untuk melakukan pendekatan terhadap kedua Pemilihan Umum yang telah diuraikan di atas, baik Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 maupun Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004, baik secara prosesnya maupun implementasinya dan Sistem Politik dari kedua Negara. Atas ketertarikan penulis terhadap Pemilihan Umum yang terjadi di Indonesia pada tahun 2004 dan Pemilihan Umum Malaysia tahun 2004, maka penulis mencoba untuk mengangkat permasalahan ini kedalam suatu penelitian dengan judul : “Perbandingan
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan Umum Indonesia dengan Pemilihan Umum Malaysia : Studi Kasus Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 dengan Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004”. 1.2. Perumusan Masalah Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan terarah dan tepat sasaran, maka permasalahan harus dirumuskan dengan jelas. Berdasarkan judul penelitian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : “Bagaimanakah Perbandingan Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 dengan Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004”. 1.3. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini tidak terlalu melebar dan mengaburkan penelitian, maka penulis membuat pembatasan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Penelitian ini bersifat perbandingan yang membandingkan dua objek yaitu Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 dengan Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004, dan kemudian ditarik kesimpulan. 2. Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 yang dimaksud adalah Pemilihan Umum Anggota Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat) Pusat dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 3. Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004 yang dimaksud di sini adalah Pemilihan Umum Anggota Parlemen Nasional Malaysia. 4. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari – Juli 2008.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan elemen-elemen dan variabel-variabel di dalam Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004. 2. Menjelaskan elemen-elemen dan variabel-variabel di dalam Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004. 3. Menemukan
dan
menjelaskan
persamaan-persamaan/perbedaan-
perbedaan Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 dengan Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004 didalam menghasilkan Pemimpin Nasional maupun Dewan Perwakilan Rakyat / Parlemen Indonesia dan Malaysia 1.4.2. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berfikir secara akademis dan ilmiah dalam memandang pemilihan umum sebagai suatu elemen yang sangat penting dalam demokrasi dan sistem politik suatu negara. 2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang politik, dan khususnya mengenai masalah pemilihan umum. 3. Sebagai literatur yang baru bagi daftar bagi kepustakaan untuk yang tertarik dan konsentrasi dengan bidang dan permasalahan yang serupa. 1.5. Kerangka Teori Di dalam menyusun sebuah tulisan ilmiah, maka kerangka teori merupakan bagian yang sangat penting, karena di dalam kerangka teori akan dimuat teori-teori yang relevan dalam menjelaskan permasalahan yang sedang
Universitas Sumatera Utara
diteliti. Kerangka teori ini kemudian akan digunakan sebagai landasan berpikir atau titik tolak dalam penelitian. Oleh karena itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan diri dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti. (Nawawi,1995:39-40). Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana
untuk
meramalkan
dan
menjelaskan
fenomena
yang
diamati.(Boleong,2002:34-35). Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori yang akan digunakan dalam penelitian ini : 1.5.1. Perbandingan Pendekatan perbandingan dalam studi ilmu politik sudah setua ilmu politik itu sendiri. Selama berabad-abad telah banyak perbandingan sistem politik yang dilakukan oleh pada teoritisi dunia, termasuk membandingkan antara negara dan negara, monarki/oligarki dengan demokrasi, pemerintahan konstitusional dengan tirani dan sebagainya. (Mas’oed,1978:21). Definisi sederhana dari perbandingan adalah suatu kegiatan
untuk
mengadakan identifikasi persamaan/perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih. (Soekanto,1979:10). Walaupun sederhana, akan tetapi dalam implementasi sebuah analisis ataupun studi perbandingan, definisi ini tetap menjadi acuan dalam perbandingan dua gejala tertentu atau lebih. Lebih lanjut Lijphart mengemukakan bahwa metode komparatif (Comparative Method) atau perbandingan lebih ditekankan kepada suatu metode penemuan hubungan empiris antara berbagai
Universitas Sumatera Utara
variabel, dan metode ini bukan merupakan metode pengukuran. Karena metode komparatif bukan merupakan metode pengukuran, maka metode komparatif melibatkan analisis kualitatif, bukan kuantitatif. (Chillcote,2003:30). Dalam studi Perbandingan Politik terdapat tiga pendekatan yang dapat dilakukan, dan telah sering digunakan dalam telaah komparatif. Adapun ketiga pendekatan tersebut adalah : 1.
Pendekatan Tradisional (Traditional Approach).
Secara historis pendekatan ini menghubungkan fakta dan nilai dalam studi politik perbandingan. Selama awal abad ke-20, meski demilkian orientasinya bergeser pada studi institusi-institusi negara-negara individual. Secara intrinsik, pendekatan
tradisional
menjadi
nonkomparatif,
deskriptif,
sempit
dan
statis(Macridis, 1955). Pendekatan ini cenderung menggambarkan institusiinstitusi politik tanpa mencoba untuk memperbandingkannya, bukannya mengidentifikasi tipe-tipenya, misalnya institusi parlementer terhadap institusi presidensil(Chillcote, 2003:78). 2.
Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach).
Pendekatan ini meruipakan sebuah reaksi terhadap spekulasi teori yang memberikan uraian penjelasan, kesimpulan dan penilaian berdasarkan normanorma atau aturan-aturan dan standar-stnadar kekuasaan maupun etnosentrisme, formalisme, dan deskripsi barat yang menjadi karakterisrik pendekatan tradisional kontemporer(Chillcote, 2003:78). Sebuah laporan Asosiasi Ilmu Politik Amerika (American Poitical Science Association) tahun 1944 mengkritik bidang perbandingan Ilmu Politik sebagai bersifat sempit dalam melaklukan analisis deskriptif menyangkut institusi-institusi luar negeri dan memaksakan suatu
Universitas Sumatera Utara
campuran metoda dan disain untuk mencapai suatu ilmu rekayasa sosial “total”. Sebuah laporan lain dalam satu dekade berikutnya menyerukan suatu pendekatan empiris yang sistematis termasuk perluasan skema-skema yang bersifat klasifikasi, konseptualisasi pada beragam tingkat abstraksi, penyusunan hipotesis, dan pengujian hipotesis melalui data empiris(Macridis dan Cox, 1953). Laporanlaporan ini menjadi basis pendekatan behavioral dalam studi politik yang mendampingi kebanyakan riset bidang perbandingan politik yang berkembang pesat selama tahun 1950-an dan 1960-an. Tujuan dari penelitian dengan menggunakan pendekatan behavioral adalah untuk menjelaskan mengapa orang secara politik bertindak sebagaimana yang ia lakukan, dan mengapa, sebagai hasilnya, proses-proses dan sistem-sistem politik berfungsi sebagaimana yang berlaku(Eulau, 1963). Kecenderungan riset behavioral dalam politik telah menuju pada pembentukan model-model yang konsisten secara logika, dimana “kebenaran” diturunkan secara deduktif. Bayang-bayang kenyataan empiris menggerogoti teori murni model-model politik formal tertentu, dan kelompok behavioralis biasanya mencari beberapa campuran pengalaman dan teori, sambil berupaya memadukan studi politik dengan kecermatan disiplin ilmiah yang menjadi model dari metodemetode ilmu alam. (Chillcote,2003:80) Dalam upaya untuk membedakan antara penelaahan model-model behavioral dan tradisional, telah diidentifikasi adanya doktrin utama “kredo behavioral”. Doktrin-doktrin tersebut adalah: a)
Keteraturan atau
keragaman
perilaku
politik,
yang
dapat
diungkapkan dalam generalisasi atau teori.
Universitas Sumatera Utara
b)
Verifikasi atau pengujian validitas generalisasi atau teori tersebut.
c)
Teknik-teknik pencarian atau interpretasi data.
d)
Kuantifikasi dan pengukuran dalam rekaman data.
e)
Nilai-nilai yang membedakan antara dalil-dalil yang berhubungan dengan evaluasi etis yang berkaitan dengan penjelasan empiris
f)
Sistematisasi riset
g)
Ilmu murni atau pencarian pemahaman dan penjelasan perilaku sebelum menggunakan pengetahuan sebagai solusi permasalahan sosial.
h)
Integrasi riset politik dengan riset-riset ilmu sosial lannya. (Chillcote,2003:80)
3. Pendekatan Pasca Behavioral Pendekatan ini berorientasi ke masa depan menuju “relevansi” dan “tindakan”. Kredo pasca behavioral terdiri dari sejumlah doktrin, yaitu: a.
Substansi mendahului teknik, sehingga permasalahan sosial yang mendesak menjadi lebih penting daripada peralatan investigasi.
b.
Behavioralisme sendiri secara ideologi bersifat konservatif dan terbatas pada abstraksi, bukannya kenyataan saat-saat krisis.
c.
Ilmu tidak dapat bersifat netral ketika dilakukan evaluasi. Fakta tidak dapat dipisahkan dari nilai, dan alasan-alasan nilai harus dikaitkan dengan pengetahuan.
d.
Kaum intelektual harus mengemban tanggung jawab masyarakat mereka,
mempertahankan
nilai-nilai
kemanusiaan
dalam
peradaban, dan tidak semata-mata menjadi sekelompok teknisi
Universitas Sumatera Utara
yang terisolasi dan terlindungi dari isu-isu dan permasalahan yang mengkopi pekerjaan mereka. e.
Para intelektual harus menerapkan pengetahuan dan terlibat dalam pembentukan ulang masyarakat.
f.
Para intelektual harus memasuki kancah perjuangan mutakhir dan berpartisipasi dalam politisasi institusi-institusi profesi dan akademis. (Chillcote,2003:80)
Beberapa definisi tentang perbandingan seperti yang diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa perbandingan adalah kegiatan yang bersifat mengidentifikasi persamaan/perbedaan antara dua objek atau lebih. 1.5.1.1. Teknik Perbandingan Defenisi sederhana dari perbandingan adalah suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi persamaan atau perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih. Agar proses perbandingan dalam penelitian ini bersifat sistematis, maka penulis merujuk pada konsepsi dari Samuel Beer, Adam Ulam serta Roy Macridis yang merumuskan tahapan-tahapan telaah komparatif atau tahapantahapan perbandingan, tahapan-tahapan deskriptif, klasifikasi, penjelasan serta konfirmasinya meliputi, pertama, tahapan pengumpulan dan pemaparan deskripsi
fakta yang dilakukan berdasarkan skema atau tata cara
penggolongan (klasifikasi) tertentu. Tahapan kedua yaitu, berbagai kesamaan dan perbedaan dikenali dan dijelaskan . Tahapan ketiga yaitu, hipotesahipotesa sementara tentang saling keterkaitan dalam proses politiknya diformulasikan.
Tahapan
keempat
yaitu,
hipotesa-hipotesa
tersebut
diverifikasi (diuji dan diperiksa melalui observasi empiris atau pengamatan
Universitas Sumatera Utara
lapangan secara cermat). Sedangkan tahapan kelima ialah temuan-temuan yang didapat dipertanggung jawabkan harus ditetapkan (Chillcote, 2003:21) 1.5.2. Pemilihan Umum 1.5.2.1. Pengertian Pemilihan Umum Di dalam studi politik, pemilihan umum dapat dikatakan sebagai sebuah aktivitas politik dimana pemilihan umum merupakan lembaga sekaligus juga praktis
politik
yang
memungkinkan
terbentuknya
sebuah
pemerintahan
perwakilan. (Haris,1998:7). Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa di dalam negara demokrasi, maka pemilihan umum merupakan salah satu unsur yang sangat vital, karena salah satu parameter mengukur demokratis tidaknya suatu negara adalah dari bagaimana perjalanan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh negara tersebut. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan oleh rakyat. (Sorensen,2003:1). Implementasi dari pemerintahan oleh rakyat tersebut adalah dengan memilih wakil rakyat atau pemimpin nasional melalui mekanisme yang dinamakan dengan pemilihan umum. Jadi pemilihan umum adalah satu cara untuk memilih wakil rakyat (Mashudi,1993:2). Sebagai suatu bentuk implementasi dari demokrasi, pemilihan umum selanjutnya berfungsi sebagai wadah yang menyaring calon-calon wakil rakyat ataupun pemimpin negara yang memang benar-benar memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk dapat mengatasnamakan rakyat. Selain daripada sebagai suatu wadah yang menyaring wakil rakyat ataupun pemimpin nasional, pemilihan umum juga terkait dengan prinsip negara hukum (Reichstaat), karena melalui pemilihan umum rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang berhak menciptakan
Universitas Sumatera Utara
produk hukum dan melakukan pengawasan atau pelaksanaan kehendak-kehendak rakyat yang digariskan oleh wakil-wakil rakyat tersebut. Dengan adanya pemilihan umum, maka hak asasi rakyat dapat disalurkan, demikian juga halnya dengan hak untuk sama di depan hukum dan pemerintahan. (Mahfud,1999:221222). Pemilihan umum ternyata telah menjadi suatu jembatan dalam menentukan bagaimana pemerintahan dapat dibentuk secara demokratis. Rakyat menjadi penentu dalam memilih pemimpin maupun wakilnya yang kemudian akan mengarahkan perjalanan bangsa. Pemilihan umum menjadi seperti transmision of belt, sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat dapat berubah menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma dalam bentuk wewenangwewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat. Dalam sistem politik, pemilihan umum bermakna sebagai saran penghubung antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat. (Mashudi,1993:23). 1.5.2.2. Fungsi Pemilihan Umum. Sebagai sebuah aktivitas politik, pemilihan umum pastinya memiliki fungsi-fungsi yang saling berkaitan atau interdependensi. Adapun fungsi-fungsi dari pemilihan umum itu sendiri adalah : a. Sebagai sarana legitimasi politik Fungsi legitimasi ini terutama menjadi kebutuhan pemerintah dan sistem politik. Melalui pemilihan umum, keabsahan pemerintahan yang berkuasa dapat ditegakkan, begitu pula program dan kebijakan yang dihasilannya. Dengan begitu, pemerintah berdasarkan hukum yang disepakati bersama tak hanya
Universitas Sumatera Utara
memiliki otoritas untuk berkuasa, melainkan juga memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi siapapun yang melanggarnya. Menurut Ginsberg, fungsi legitimasi politik ini merupakan konsekuensi logis dari pemilihan umum. Paling tidak ada tiga alasan kenapa pemilihan umum dapat menjadi suatu legitimasi politik bagi pemerintahan yang berkuasa. Pertama, melalui pemilihan umum, pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilihan umum pemerintahan dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. Dan ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengadakan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya. Gramsci (1971) menunjukkan bahwa kesepakatan (Consent) yang diperoleh melalui hegemoni oleh penguasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana kontrol dan pelestarian legtimasi dari otoritasnya ketimbang pengguanaan kekerasan dan dominasi. b. Fungsi Perwakilan Politik. Fungsi
ini
terutama
menjadi
kebutuhan
rakyat,
baik
untuk
mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintahan dan program serta kebijakan yang dihasilkannya. Pemilihan umum dalam kaitan ini merupakan mekanisme demokratis bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakil yang dapat dipercaya yang akan duduk dalam pemerintahan. c. Pemilihan Umum Sebagai Mekanisme Bagi Pergantian atau Sirkulasi Elit Penguasa. Keterkaitan pemilihan umum dengan sirkulasi elit didasarkan pada asumsi bahwa elit berasal dari dan bertugas mewakili masyarakat luas atau rakyat.
Universitas Sumatera Utara
Secara teoritis, hubungan pemilihan umum dengan sirkulasi elit dapat dijelaskan dengan melihat proses mobilitas kaum elit atau non elit yang menggunakan jalur institusi politik, dan organisasi kemasyarakatan untuk menjadi anggota elit tingkat nasiol, yakni sebagai anggota kabinet dan jabatan yang setara. Dalam kaitan itu, pemilihan umum merupakan saran dan jalur langsung untuk mencapai posisi elit penguasa. Dengan begitu maka melalui pemilihan umum diharapkan bisa berlangsung pergantian atau sirkulasi elit penguasa secara kompetitif dan demokratis. d. Sebagai Sarana Pendidikan Politik Bagi Rakyat Pemilihan umum merupakan salah satu bentuk pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal, yang diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang demokrasi. (Haris,1998:7-10). 1.5.2.3. Elemen Sistem Pemilihan Umum Didalam ilmu politik dikenal berbagai macam sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum merupakan serangkaian peraturan dimana suara dari para pemilih diterjemahkan menjadi kursi. (http://www.geocities.com/benjuinotm/artikel/sistem_pemilu/index.html) Sistem pemilihan umum yang umumnya dikenal dalam ilmu politik adalah a. Single Member Costituency (suatu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik). Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang disebut dengan distrik) mempunyai satu wakil dalam dewan
Universitas Sumatera Utara
perwakilan rakyat. Untuk itu negara dibagi kedalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak akan menang, sedangkan suarasuara yang ditujukan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya.(Budiardjo,1992:177). Dikenal ada dua macam distrik dalam sistem pemilihan umum, yaitu : 1. Seluruh Negara menjadi satu distrik 2. Daerah Negara dibagi kedalam beberapa distrik. Didalam sistem satu distrik, daftar calon-calon dijadikan satu saja untuk seluruh daerah negara, dan sedikit kemungkinan suara yang terbuang percuma. Dalam sistem banyak distrik maka tiap-tiap satu distrik menetapkan calon-calonnya sendiri dan hanya dipilih oleh pemilih dari distrik itu saja. Dalam sistem ini bisa saja terjadi banyak suara yang terbuang percuma. (Kansil,1986:17-18). Sistem Distrik ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu : 1. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik tersebut dapat terjalin lebih erat. Kedudukan wakil tersebut akan lebih bebas terhadap partainya, karena pemilihan ini faktor personalitas dan
Universitas Sumatera Utara
kepribadian
seseorang
sangat
penting
(Budiardjo,1992:178). 2. Sistem ini lebih mendorong kepada integrasi partai-partai politik, karena kursi yang diperebutkan dalam distrik pemilihan hanya satu. Partai partai politik akan mencoba untuk mengesampingkan perbedaan. Disamping itu juga dalam hal kecenderungan untuk membentk partai-partai baru akan menurun atau dibendung, dan dapat dilakukan pentederhanaan
partai
politik
tanpa
paksaan.
(Budiardjo,1992:178). 3. Pelaksanaan sistem distrik ini sederhana dan mudah dilakukan. Disamping itu juga biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanaannya relatif murah. (Hermawan,2001:78). 4. Parlemen hasil pemilihan umum sistem distrik ini akan lebih efektif dan bertaggung jawab terhadap pemilihnya. Dan sistem distrik ini juga lebih mampu menciptakan pemerintahan
yang
efektif
dan
bertanggung
jawab.(Dhuroradin,2004:91) Sistem distrik di samping memiliki kelebihan-kelebihan, juga memiliki kelemahan-kelemahan. Adapaun kelemahan-kelemahan dari sistem ini adalah: 1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar kedalam beberapa distrik. (Budiardjo,1992: 177).
Universitas Sumatera Utara
2. Sistem ini kurang representatif, dalam arti bakal calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali ; kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil bagi golongan-golongan yang dirugikan.(Budiardjo,1992: 177). 3. Terjadinya fenomena over representation dan under representation yang adanya ketidakseimbangan antara jumlah suara yang diperoleh dan jumlah kursi yang diperoleh partai-partai politik pada tingkat nasional. Over representation adalah dimana partai politik tertentu dapat memperoleh kursi yang lebih banyak daripada partai lain yang sebenarnya suaranya lebih banyak, sehingga partai tersebut
dipandang
memperoleh
berkah
over
representation, sebaliknya partai politik yang suaranya lebih banyak, tapi jumlah kursinya pada tingkat nasional lebih
sedikit
disebut
menderita
under
representation.(Hermawan,2001:224-225). b. Multy Member Constituency (Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan proportional representation atau sistem perwakilan berimbang.
Universitas Sumatera Utara
Sistem ini dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan yang ada pada sistem distrik. Gagasan pokoknya adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1:400.000, yang berarti bahwa sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total anggota dewan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar perimbangan (1:400.000) tersebut.(Budiardjo,1992:178). Dalam sistem ini semua suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh suatu partai poltik atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. Sistem perwakilan berimbang ini juga sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, antara lain dengan sistem daftar (List System). Dalam sistem daftar setiap partai politik atau golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih salah satu daftar darinya, dan dengan demikian memilih satu partai politik dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan.(Budiardjo,1992:178). Dalam sistem perwakilan berimbang ini ada beberapa keunggulan dibandingkan dengan sistem lain, yaitu : 1. Tidak
ada
suara
yang
terbuang
percuma,
karena
perhitungan dilakukan atau digabungkan secara nasional,
Universitas Sumatera Utara
dan kelebihan suara dapat dipindahkan kepada calon lain. sistem ini umumnya sangat disenangi oleh partai-partai kecil, dan sebaliknya umumnya tidak menyukai sistem ini.(Mashudi,1993:29). 2. Parlemen yang terpilih akan bersifat nasional dan tidak bersifat kedaerahan.(Mashudi,1993:29). 3. Sistem ini dianggap representatif karena jumlah wakil partai politik yang terpilih dalam suatu pemilihan umum sesuai
dengan
imbangan
jumlah
suara
yang
diperolehnya.(Rahman,2002:29). 4. Mengakomodir semua golongan maupun partai-partai politik yang kecil untuk dapat memiliki wakil di parlemen. Kelebihan-kelebihan
yang
ada pada
sistem perwakilan
berimbang memang menjadi suatu tersendiri dari sitem ini, akan tetapi disamping kelebihan-kelebihan tersebut sistem ini juga memiliki kelemahan-kelemahan juga seperti: 1. Untuk melaksanakan pemilihan umum dengan sistem perwakilan berimbang mmbutuhkan biaya yang besar dan mahal.(Mashudi,1993:29). 2. Hubungan yang terjalin antara wakil dan yang diwakilinya (pemilih) kurang erat, karena dalam pemilihan umum para pemilih hanya memilih partai politiknya saja, sehingga terkadang para pemilih tidak mengetahui siapakah wakil yang
berasal
dari
daerahnya
yang
duduk
di
Universitas Sumatera Utara
parlemen.(Mashudi,1993:29).
Kemudian
wakil
yang
terpilih dalam pemilihan umum tersebut lebih memiliki keterikatan terhadap partai politik yang mengusungnya daripada
loyalitas
terhadap
daerah
yang
memilihnya.(Saragih,1988:180). 3. Banyaknya partai politik yang memiliki wakil di parlemen akan mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, karena pembentukan pemerintahan tersebut didasarkan pada koalisi dua partai atau lebih. Dan hal ini juga akan mempersulit
perumusan
dan
pengambilan
kebijakan
maupun keputusan di parlemen.(Saragih,1988:180). 4. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini menjurus kepada mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada di antara golongan maupun partai-partai politik. Karena itu sistem ini kurang mendorong partai-partai politik untuk bekerjasama apalagi berintegrasi.(Hermawan,2001:81). 5. Sistem ini kemudian memberikan kedudukan yang sangat kuat kepada pimpinan partai politik dalam peentuan caloncalonnya. (Hermawan,2001:81). 1.6. Defenisi Konsep Konsep adalah suatu istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok ataupun individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.(Singarimbun,1995:33).
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa konsep beserta definisinya yang digunakan didalam penelitian ini yang berfungsi untuk memberikan batasan yang tepat terkait dengan fenomena yang akan diteliti: Perbandingan Perbandingan adalah kegiatan pengidentifikasian persamaan/perbedaan antara dua objek atau lebih. Perbandingan yang dimaksudkan di sini adalah kegiatan pengidentifikasian persamaan/perbedaan antara pemilihan umum Indonesia tahun 2004 dengan Pemilihan Umum Malaysia tahun 2004. Pemilihan Umum Pemilihan umum adalah saran pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen, Presiden dan Wakil Presiden secara berkala berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemilihan Umum Indonesia Tahun 2004 Pemilihan umum Indonesia tahun 2004 merupakan pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilihan Umum Malaysia Tahun 2004 Pemilihan Umum Malaysia tahun 2004 adalah merupakan pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 2004 untuk memilih Anggota Parlemen melalui partai partai yang berkompetisi.
Universitas Sumatera Utara