BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan strategi yang
bertujuan ganda. Yuwono, dkk (2005) menyatakan strategi tersebut adalah (1)
pemberian otonomi daerah merupakan strategi untuk merespon tuntutan
masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power, distribution of income, dan kemandirian sistem manajemen daerah; (2) otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam rangka memperkukuh perekonomian nasional untuk menghadapi era perdagangan bebas. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Salah satu dampak dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah harus mereformasi pengelolaan keuangan daerah. Lingkup pengelolaan keuangan daerah yang harus di reformasi meliputi manajemen penerimaan daerah dan pengeluaran daerah. Dengan itu, otonomi daerah diharapkan dapat (1) menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, (3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan (Mardiasmo, 2002).
1
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja modal merupakan
pengeluaran
yang
dilakukan
dalam
rangka
pembelian/pengadaan
atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12
(dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya. Belanja modal digunakan pemerintah untuk
melaksanakan kegiatannya yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap publik. Anggaran untuk belanja modal tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran ini digunakan untuk menambah aset tetap, berdasarkan akan kebutuhan suatu daerah dalam sarana dan prasarana untuk kelancaran kegiatan pemerintah sendiri maupun untuk fasilitas publik. Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan dalam bidang pelayanan terutama pelayanan terhadap publik.
Dengan meningkatnya pelayanan publik diharapkan tingkat
investasi akan semakin tinggi pada suatu daerah. Hal ini harus ditunjang oleh fasilitas pendukung yang di sediakan oleh pemerintah.
Konsekuensinya
pemerintah harus memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).
Saragih (dikutip oleh Darwanto, 2007) menyatakan
bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif,
2
misal untuk melakukan aktivitas pembangunan. Stine (dikutip oleh Darwanto, 2007) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk
program-program layanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya
mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik. Dana yang digunakan untuk membiayai pembangunan dalam bentuk
belanja modal adalah berasal dari pendapatan asli daerah dari suatu daerah itu sendiri.
Halim (2007) mengatakan bahwa kemandirian keuangan daerah
menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Pendapatan asli daerah merupakan faktor terpenting suatu daerah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi daerahnya. Pemerintah diharapkan dapat meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga meningatkan otonomi dan keleluasaan daerah (local discretion). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah adalah menghitung potensi PAD yang dimiliki suatu daerah dengan riil untuk meningkatkan penerimaan daerah. Menurut Mardiasmo (2002) saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upaya meningkatkan penerimaan daerah. Keterbatasan infrastruktur seperti sarana dan prasarana yang tidak mendukung untuk investasi menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya alokasi PAD terhadap anggaran belanja modal, apakah karena PAD yang rendah atau alokasi yang kurang tepat ?
3
Pemerintah Provinsi Jawa Barat secara administrasi terbagi menjadi 26
kabupaten/kota.
Dari 26 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat
terdapat 6 kabupaten/kota pemekaran, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kota
Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Keenam
kabupaten/kota pemekaran tersebut memiliki potensi sumber daya yang tersedia dapat diwujudkan dalam bentuk PAD. PAD di kabupaten/kota pemekaran yang tersebut terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Selain PAD, penerimaan
daerah lainnya yang diterima oleh kabupaten/kota pemekaran tersebut adalah dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Untuk DAU, penerimaannya setiap tahun mengalami kenaikan.
Sedangkan untuk DBH, tidak semua kabupaten/kota pemekaran mengalami kenaikan tiap tahunnya. Ketiga penerimaan daerah tersebut harus dapat di kelola dan dialokasikan oleh masing-masing kabupaten/kota
pemekaran untuk
pelaksanaan pembangunan daerah. Pembangunan daerah yang dimaksud adalah pembangunan insfrastruktur daerah untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan untuk fasilitas publik dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik yang telah berpartisipasi dalam peningkatan daerah tersebut. Berdasarkan pengumpulan data awal, diperoleh gambaran bahwa belanja modal kabupaten/kota pemekaran di Jawa Barat mengalami peningkatan setiap tahunnya. Begitu juga peningkatan PAD, DAU dan DBH bervariasi.
Gambaran PAD
kabupaten/kota di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut ini :
4
2008
2009
2010
296.046,88
231.694,93
142.380,79
87.321,28
104.787,91
75.037,37
76.503,52
64.964,96
60.822,12
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
104.517,39 50.367,67 39.955,36 30.466,72
189.492,86
Kabupaten Bandung Barat
Kota Bekasi
112.763,18 Kota Depok
37.358,71 28.011,89 23.636,37 Kota Banjar
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (Mei 2012)
Gambar 1.1 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten/Kota Pemekaran di Jawa Barat Tahun 2008-2010 (Rp. Jutaan) Namun, peningkatan pendapatan pemerintah kabupaten/kota pemekaran di Jawa Barat dari tahun ke tahun tidak diikuti dengan meningkatnya infrastruktur yang memadai, baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk pelayanan publik. Hal ini terlihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan sekolah yang rusak yang belum tersentuh bantuan dari pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk perbaikannya. Selain itu jalan-jalan provinsi masih banyak yang rusak, penerangan jalan dan marka jalan yang kondisinya sangat memprihatinkan, sehingga mengakibatkan terganggunya kegiatan ekonomi masyarakat. Padahal
5
apabila dilihat dari jumlah belanja modal yang dialokasikan di setiap kabupaten/kota pemekaran di Jawa Barat setiap tahunnya meningkat. Seharusnya
masing-masing pemerintah daerah kabupaten/kota pemekaran harus dapat
mengoptimalkan anggaran belanja tersebut untuk pembangunan daerahnya. Untuk itu peneliti ingin melihat dari penerimaan daerah yang mana yang mempunyai kontribusi besar terhadap belanja daerah, dalam hal ini belanja modal, pembangunan daerah di kabupataen/kota pemekaran di Provinsi Jawa Barat. untuk
Selain itu, banyak penelitian-penelitian yang dilakukan berkenaan engan faktor-faktor yang mempengaruhi belanja modal di daerah, namun hingga saat ini kebanyakan bukti-bukti memberikan hasil yang bervariasi dan tidak konsisten. Terkait dengan hal ini, Maimunah (2006) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera, dan salah satu dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa nilai DAU dan PAD mempengaruhi besarnya nilai belanja daerah (pengaruh positif). Darwanto (2007) juga melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja modal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel PAD dan DAU berpengaruh terhadap belanja modal namun variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Namun pada penelitian Nugroho Suratno Putro (2009) tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi
6
Jawa Tengah) mendapatkan hasil pengujian menunjukkan bahwa hanya DAU yang berpengaruh signifikan terhadap belanja modal sedangkan Pertumbuhan
Ekonomi dan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Begitu
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani Letti Silvia (2011) dengan
judul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah Sumatera Barat, hasil analisis membuktikan bahwa pada Pemerintah Daerah Sumatera Barat, PAD berpengaruh
terhadap Belanja Modal bila diregresi serentak dengan Dana Perimbangan, tetapi tidak pada uji regresi sederhana, Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Belanja Modal baik dari hasil uji regresi sederhana maupun berganda. Dilihat dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil yang berbeda-beda tentang pengaruh PAD dan Dana Perimbangan terhadap belanja modal, karena itulah untuk tugas akhir ini penulis mencoba meneliti dari sumber pendapatan pemerintah daerah yaitu, PAD dan Dana Perimbangan yang terdiri dari DAU dan DBH, pendapatan mana yang mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap belanja modal di Provinsi Jawa Barat. Judul yang diambil oleh penulis adalah: “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat.”
7
1.2.
Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan
dibuat adalah sebagai berikut :
1.
Apakah secara parsial PAD berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
2. Apakah secara parsial DAU berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
3.
Apakah secara parsial DBH berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
4.
Apakah secara simultan PAD, DAU dan DBH berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
1.3.
Pembatasan Masalah Penelitian Pada penelitian ini, penulis membatasi permasalahan hanya meneliti
pengaruh PAD, DAU dan DBH terhadap Belanja Modal saja. Penulis mengambil data dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan data yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat serta data sekunder lainnya yang dibutuhkan.
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah :
8
1.
Untuk mengetahui bagaimana kemampuan PAD , DAU, DBH dan Belanja
Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
Tahun Anggaran 2008-2010
2.
Untuk mengetahui apakah secara parsial PAD berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
3. Untuk mengetahui apakah secara parsial DAU berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
4.
Untuk mengetahui apakah secara parsial DBH berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat
5.
Untuk mengetahui apakah secara simultan PAD dan DAU berpengaruh terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Pemekaran di Provinsi Jawa Barat
1.5.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1.
Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah khususnya pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) , Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Belanja Modal yang lebih efektif dan efisien serta memaksimalkan potensi yang ada.
2.
Bagi Akademik
9
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tambahan referensi
untuk pengembangan lebih lanjut bagi rekan-rekan yang mengadakan
penelitian di masa mendatang.
3.
Bagi Penulis
Sebagai sumber referensi yang dapat digunakan dalam melaksanakan
pekerjaan di instansi terkait.
10