1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Allah menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Secara kodratnya laki-laki dan perempuan memiliki kekhasannya masing-masing yang membedakan antara keduanya. Pengertian jenis kelamin secara biologis merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis dibawa sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan, bersifat permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan wanita). Perbedaan jenis kelamin dapat dilihat secara jelas secara biologis, maka dikatakan bahwa seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis, janggut, dan memproduksi sperma. Sementara seseorang disebut berjenis kelamin wanita jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat untuk menyusui (payudara) dan sebagian wanita mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Gender merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan adanya perbedaan tingkah laku antara jenis kelamin, yang oleh masyarakat dibentuk sedemikian rupa (Esterlita, 2001: 2). Pandangan teori mengenai konsep gender terbentuk bukan dari sifat alamiah yang dibawa oleh manusia sejak lahir, namun pembentukan karakter pada laki-laki dan wanita akibat
pengetahuan yang dimiliki, budaya dan struktur sosial yang melekat dalam masyarakat dan merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara kodrat, manusia dibagi menjadi dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki, yang memiliki sifat yang khas disetiap masingmasing kelamin. Disamping dua jenis kelamin tersebut, masih ada jenis yang mana antara kelamin dan keadaan jiwanya terdapat ketidaksesuaian. Masyarakat tidak lagi dipermasalahkan bagaimana bertindak layaknya wanita sebagaimana mestinya, maupun laki-laki sebagaimana mestinya. Banyak ditemukan di masyarakat dalam berbagai kalangan, wanita yang berperan, berdandan dan memiliki kegemaran layaknya laki-laki pada umumnya dan sebaliknya seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan dalam bersikap feminin, ini termasuk manusia dalam pengembangan identitas gendernya bermasalah. Hidup sebagai seorang transseksual, dengan membuat diri tampak berbeda dengan yang lain tentu bukanlah hal yang mudah. Terutama jika lingkungan sekitar bersikap skeptis dan tidak menerima segala perbedaan yang ada. Begitu pula dengan yang dirasakan oleh para transseksual. Menjadi
2
golongan minoritas memang memiliki resiko tersendiri, salah satunya adalah dikucilkan dari masyarakat.
Berbicara mengenai transseksual, transseksual adalah seseorang yang percaya bahwa dirinya secara psikologis mirip dengan lawan jenis dan merasa terjebak dalam jenis kelamin biologisnya dan cenderung melakukan pembedahan anatomi pada beberapa bagian tubuh seperti jenis kelamin yang mereka inginkan, dengan jalan melakukan operasi alat kelamin. Umumnya pelaku transseksual menjalani operasi alat kelamin untuk mengubah gender sebagai sikap mempertahankan diri dari lingkungan sekitarnya. Pelaku transseksual, mayoritas juga akan mengubah perilaku, identitas seperti yang harapan dan keinginan pelaku kendati melawan kodrat yang di bawa sejak lahir.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam satu tulisan seorang tokoh memaparkan tentang hubungan fenomena transseksual dengan tindakan penyesuaian kelamin, yaitu : “…dimana seseorang secara fisik sehat dan sempurna sebagai pria atau wanita, akan tetapi ia secara psikis mempunyai kecenderungan yang amat kuat ingin mengekspresikan diri serta menampilkan diri sebagai lawan jenisnya, sehingga ia menginginkan pengantian kelamin atas dirinya” (Purwawidyana, 1989 : 4). Sejalan dengan pendapat di atas, Djohansjah Marzoeki juga menyatakan pandangannya mengenai transseksual bahwa keinginan penderita untuk menjalani operasi kelamin lebih didominasi untuk kesuaian kondisi 3
fisik dan jiwa, sehingga dapat menempatkan diri dan diterima masyarakat sebagai orang yang “utuh” (Marzoeki, 1990 : 93). Operasi kelamin pada seorang transseksual sebagaimana yang disebutkan diatas, merupakan salah satu bentuk tindakan medis yang mempunyai implikasi yang sangat kompleks dalam bidang teknologi. Teknologi dituntut untuk mampu memenuhi keinginan seorang transseksual untuk menyesuaikan alat kelamin secara fisik dangan jiwa seorang transseksual. Keinginan
seorang
transseksual
terjawab
dengan
munculnya
perkembangan teknologi globalisasi sangat pesat. Manusia berusaha menggunakan teknologi secara semaksimal mungkin. Manusia menggunakan teknologi karena manusia berakal dan mempunyai keinginan dan hasrat yang besar. Dengan akalnya ia ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebih aman dan sebagainya. Seperti halnya dalam fenomena transseksual akan mencari bantuan atas kondisi dirinya dalam teknologi, dimana ia akan mendapatkan terapi hormonal dan operasi kelamin. Operasi kelamin bukanlah langkah loncatan yang tiba-tiba dalam dunia teknologi, akan tetapi lebih merupakan sebuah proses yang lama, menyakitkan, dan sebuah hasil akhir dari sebuah proses panjang. Kompleksitas permasalahan operasi penyesuaian kelamin dalam fenomena transseksual, dilihat dari segi teknis pelaksanaannya termasuk dalam teknologi transplantasi. Oleh karena itu untuk penanganannya
4
memerlukan peraturan hukum yang ketat dengan pertimbangan nilai-nilai sosial budaya dan agama, dan juga diimbangi dengan pendidikan moral dalam hidup bermasyarakat. Pembicaraan tentang fenomena transseksual sedang meredup dan jarang dibicarakan, namun sebuah fenomena ini benar-benar ada dalam realitas. Fenomena ini dalam pembicaraan medis-psikologis dikenal sebagai suatu ganguan yang sangat berat. Salah satunya karena beratnya kondisi dan konflik yang dialami sering kali melibatkan pilihan hidup-mati bagi yang mengalaminya (Yash, 2003: 1). Fenomena transseksual ini bukanlah sematamata karena gangguan kejiwaan akan tetapi juga karena kondisi biologis orang yang mengalaminya. Masyarakat masih sulit menemukan para pelaku transseksual, mereka adalah sosok yang berbeda dan cenderung menutup diri karena hanya bisa ditemui di tempat-tempat tertentu. Hanya sebagian orang saja dari mereka yang percaya diri memproklamirkan diri dan bereksistensi sebagai seorang transseksual, namun pada kenyataannya masyarakat masih belum bisa menerima keberadaan mereka di lingkungan sekitarnya. Ada standarisasi sosial yang mengakibatkan mereka terdiskriminasi dari pergaulan sosial. Padahal mereka juga membutuhkan berkomunikasi dan memiliki hubungan sosial dengan masyarakat lainnya. Penulis
memilih
filsafat
manusia
sebagai
pendekatan
untuk
menganalisis persoalan transseksual, karena filsafat manusia membahas
5
segala sesuatu mengenai manusia sampai pada hakikatnya. Terdapat beberapa hal yang dibahas dalam filsafat manusia yang paling dominan sangat terkait dengan transseksual seperti pembahasan mengenai kehidupan, jiwa dan badan, otonomi, jati diri, kebebasan, eksistensi, dan kehendak. Hal yang dibahas dalam filsafat manusia ini merupakan satu kesatuan yang menyeluruh yang sangat terkait dalam menjadikan manusia menghayati dirinya dan berusaha menemukan titik terang dalam persoalan yang dihadapi, terutama dalam masalah transseksual yang menurut penulis begitu kompleks. Penulis memilih membahas transseksual karena seorang transseksual adalah seseorang yang mengalami sebuah persoalan yang amat berat yang membutuhkan bantuan dari orang-orang terdekatnya yang biasanya terjadi justru sebaliknya, mereka terlepas dari lingkungan terdekat karena keadaan dan keberadaannya ditolak, dalam kondisi dimana mereka sebenarnya tidak memiliki pilihan atas apa yang dihadapi. Ini terjadi karena minimnya informasi yang tersedia mengenai fenomena ini, yang kemudian membuat seseorang tidak dapat semata-mata menyalahkan masyarakat yang menolak transseksual. Hanya karena keterbatasan pengetahuan masyarakat atas kondisi ini yang membuat mereka justru mengecam dan mencibir atas apa yang dialami dan langkah yang diambil oleh seorang transseksual. Transseksual memang jarang ditemui di Indonesia ini, karena memang beberapa kasus seorang transseksual menolak untuk menunjukkan dirinya bahwa ia adalah seorang transseksual, namun ada beberapa kasus transseksual
6
di luar Indonesia yang muncul dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals. Menurut seorang psikiater transseksual yaitu James Cantor, dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals mengatakan bahwa transseksual bukanlah ganguan jiwa yang harus diberikan obat penenang dan melupakan perasaannya, namun seorang transseksual berupaya mencari kebahagiaan dengan hidup sebagai lawan jenis. Banyak pertentangan yang muncul ketika ia sudah berubah jenis kelamin seperti tidak diterima dalam keluarga, dikucilkan, dan reaksi yang umum terjadi adalah ketidakpuasan masyarakat, karena masyarakatnya masih ‘anti homo’ dan anti transseksual. Kompleksitas masalah yang dialami manusia dalam fenomena transseksual
dalam
film
dokumenter
Incredible
Medical
Mysteries:
Transsexuals ini membuat penulis ingin mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang filsafat manusia. Selama ini, transseksual langsung dikaji dalam pembahasan dari sudut pandang medis dan sudut pandang psikologi. Banyak hal dalam fenomena transseksual yang perlu dicermati akan ke”manusia”an itu sendiri terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke dalam pembahasan medis-psikologis. Pemecahan suatu permasalahan perlahan-lahan akan menemukan titik terang ketika permasalahan itu dikupas sampai ke akar permasalahannya. Terkadang dalam menghadapi permasalahan, manusia cenderung tidak menyadari bahwa yang bermasalah adalah manusia. Suatu
7
permasalahan akan mudah dihadapi apabila manusia mampu menghayati dirinya dan hakikat manusia dalam alam semesta ini. Filsafat manusia membahas segala hal tentang manusia sampai kepada hakikatnya. Terdapat beberapa hal yang dibahas dalam filsafat manusia yang paling dominan sangat terkait dangan fenomena transseksual seperti pembahasan mengenai kebebasan, eksistensi, jiwa dan raga, otonomi, suara hati dan tujuan hidup manusia. Hal-hal yang dibahas dalam filsafat manusia ini merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh yang sangat terkait dalam menjadikan manusia menghayati dirinya dan berusaha menemukan titik terang dalam persoalan yang dihadapi, terutama dalam masalah transseksual. Mengacu pada latar belakang di atas, penulis hendak mengkaji film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals dari sisi filsafat manusia: kebebasan, eksistensi dan tujuan hidup manusia.
1. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji sebagai berikut : a. Bagaimana konsep manusia tentang kebebasan, eksistensi, jiwa dan raga, dan tujuan hidup manusia dalam filsafat manusia? b. Apa transseksual itu? c. Bagaimana perspektif filsafat manusia memandang transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals? 8
2. Keaslian Penelitian Fokus kajian dalam penelitian ini adalah tentang transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals ditinjau dari pendekatan filsafat manusia. Penilitian ini akan memaparkan bagaimana filsafat manusia memandang fenomena transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals. Sejauh penelusuran dan pengamatan penulis mengenai karya-karya ilmiah, skripsi yang membahas mengenai transseksual di lingkungan fakultas filsafat atau di luar fakultas. Penelitian yang membahas dan mengulas mengenai transseksual sudah ada, namun Penulis tidak menemukan penelitian yang mengkaji film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals dari segi filsafat manusia, namun penulis menemukan beberapa karya, yaitu :
a.
Aflyanthana Saputra. 2010. Simbol perilaku transseksual dalam film “Boys Don’t Cry” (analisis deskriftif dalam film dengan simbol komunikasi verbal dan non verbal ). UNS-FISIP Jurusan Komunikasi. Skripsi ini membahas tentang simbol-simbol transseksual.
b.
Dyah Indah Rosari. 2008. Dinamika Transseksual Ditinjau dari Interaksi Keluarga, Skripsi, Surabaya: FISIP UNAIR. Skripsi ini lebih membahas tentang interaksi yang terjadi dalam keluarga yang mempengaruhi perkembangan seorang transseksual.
9
c. Erlyn Fertyana. 2007. Perkembangan Identitas Peran Gender Remaja dengan Kecenderungan Transseksual, Skripsi, Surabaya:PSIKOLOGI UNAIR. Skripsi ini lebih membahas mengenai perkembangan identitas yang dialami para remaja. d. Immanuel Sony Kurniawan. 2006. Sosialisasi Orientasi Seksual dari Orang Tua terhadap Waria pada Masa Kanak-kanak, Skripsi, Surabaya: FISIP UNAIR. Skripsi ini lebih membahas tentang sosialisasi orang tua terhadap waria. e. Krista Marsha Esterlita. 2007. Dilema Pengungkapan Identitas Wanita Transseksual, Kajian Fenomenologi Wanita Transseksual Di Surabaya. Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga. Surabaya. Jurnal ini membahas tentang
pengungkapan
identitas wanita dalam
masa
transseksual dari sudut pandang fenomenologi di Surabaya. f. Mashuri. 2008. Etiologi Dan Kondisi Psikologis Transseksual. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Malang. Skripsi ini membahas tentang kondisi psikologi seorang transseksual. g. Ro’fah Setyowati, dkk. 2005. Perubahan status kelamin terhadap penderita transgender / transseksual (Perspektif hukum dan sosial pra pasca tindakan penyesuaian kelamin di RS Dr. Kariadi Semarang dan RS Dr. Soetomo Surabaya). Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian ini membahas mengenai dampak perubahan alat kelamin pada seorang transseksual dalam perspektif hukum dan sosial.
10
h. Yohanes Vincent. 2007. Self
disclosure transseksual di Surabaya
terhadap lingkungan sekitarnya. Universitas Kristen Petra. Skripsi ini membahas Self disclosure seorang transseksual tergantung dari orang atau kelompok itu memandang dan menerimanya, konsep diri, dan pengembangan penerimaan masyarakat terhadap kaum transseksual.
Penelitian ini mengkaji fenomena transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals dalam perspektif filsafat manusia. Penelitian ini lebih membahas tentang transseksual kaitannya dengan eksistensi, kebebasan, jiwa dan raga dan tujuan hidup manusia. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang lebih menfokuskan fenomena transseksual dalam kajian medis-psikologis.
3.
Manfaat Penelitian 1.
Bagi Perkembangan Ilmu dan Filsafat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan paradigma baru yang lebih komprehensif berkaitan dengan masalah transseksual, serta mampu menyumbangkan pemikiran terhadap ilmu filsafat terutama mengenai jati diri dan eksistensi dalam filsafat Manusia
2.
Bagi bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat khususnya Indonesia dalam menghadapi persoalan yang menimbulkan
11
dilema dalam memilih hidup sebagai transseksual dan memberikan masukan bagi seseorang dalam hal pengambilan keputusan tindakan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat mengubah penilaian negatif masyarakat menjadi penilaian yang lebih bersifat netral dalam menyikapi masalah transseksual. Begitu pun bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan untuk membuat peraturan yang solutif, bijaksana, dan peduli pada seorang transseksual. 3.
Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperluas wacana pengetahuan tentang transseksual dan pemahaman yang lebih jauh tentang filsafat manusia terutama kaitannya dengan kebebasan dan eksistensi.
B. Tujuan Penelitian 1.
Memaparkan konsep filsafat manusia tentang kebebasan, eksistensi, jiwa-badan, dan tujuan hidup manusia.
2.
Mendeskripsikan
dan
menjelaskan
secara
komprehensif tentang transseksual. 3.
Menganalisis dan merefleksikan transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals dari perpektif filsafat manusia.
12
C. Tinjauan Pustaka Film
merupakan
suatu
perangkat
yang
memiliki
pertentangan-
pertentangan besar dan cakupan luas yang saling berkaitan, antara lain : pembuatan film dan subjek, film dan pengamat, tujuan konservatif dan sasaran pembebasan, psikologi dan politik, gambar dan suara, dialog dan musik, dan susunan lakon, kepekaan sastra dan kepekaan sistematika, lambang dan arti, kebudayaan dan masyarakat, bentuk fungsi, desain dan kegunaan, seks dan kekerasan, citra dan peristiwa, realism ekspresionisme, bahasa dan fenomenologi. Film juga merupakan suatu kelengkapan kode dan sub-kode yang menghasilkan pertanyaan-pertanyaan asasi hubungan antara kehidupan dan seni, realitas dan bahasa (Monacco, 1985: 47-48). Film adalah suatu bentuk karya seni yang menjadi fenomena dalam kehidupan modern, setelah ditemukan media untuk mengapresiasikan. Menurut Sumarno (1998) film adalah seni muthakir dari abad 20 yang dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran, dan memberikan dorongan terhadap penonton lebih jauh. Film sebagai imitasi kehidupan, mempunyai tujuan untuk ditonton atau disaksikan orang. Sebuah film ditonton oleh seseorang, orang kemudian mengasosiasikan isi film dengan kenyataan sehari-hari. Kenyataan di dalam sebuah film tetaplah kenyataan yang semu. Persoalan pembuatan film yakni bagaimana membuat kenyataan semu itu punya makna dan dipahami penonton
13
untuk direfleksikan dalam kenyataan maupun kehidupan sehari-hari. (Irwansyah, 2009: 49). Film dokumenter adalah dokumentasi dalam bentuk film mengenai suatu peristiwa bersejarah atau suatu aspek seni budaya yang mempunyai makna khusus agar dapat menjadi alat penerangan dan alat pendidikan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Rekaman kejadian atau peristiwa dalam bentuk audio visual yang tercipta tanpa ada unsur rekayasa. Film dokumenter dapat dibuat oleh perorangan, kelompok/organisasi, atau institusi pemerintah dan swasta dengan berdasarkan maksud dan tujuan yang diinginkan. Beberapa proses yang harus dilakukan dalam pembuatan film dokumenter adalah pra produksi, produksi dan pasca produksi. Hal terpenting dalam proses produksi adalah riset, karena dokumenter membutuhkan data yang valid untuk dituangkan dalam bentuk audio visual (VMS Multimedia). Incredible Medical Mysteries: Transsexuals merupakan salah satu film dokumenter. Film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals dibuat oleh Stephen Hunter pada tahun 2003. Film ini membahas tentang fenomena transseksual. Transseksual adalah kondisi dimana seseorang secara psikologis merasa memiliki jender dan identitas seksual yang berbeda dengan kondisi biologis seksual tubuh mereka sebagaimana mereka dilahirkan. Tekanan batin dan fisik yang terus-menerus dipaksa untuk berperilaku sesuai ‘sex’ mereka telah menjadikan seorang transseksual tidak tahan lagi dengan keadaan yang sangat tidak mendukung keinginannya. Dengan adanya sebuah operasi yang sudah
14
sangat canggih, para transseksual yang telah mengganti ‘sex’nya kemudian disebut oleh masyarakat dengan sebutan transseksual. Transseksual bukan hanya sekedar seks, tapi lebih pada ‘siapa mereka?’ dan ‘apakah mereka?’. Transseksual adalah masalah identitas gender, kesadaran mental yang dimiliki seseorang tentang jenis kelaminnya, tentang apakah dirinya laki-laki atau perempuan (Yash 2003: 18). Dalam tinjauan pustaka ini juga akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang antara lain. Pertama, penelitian tentang transseksual yang dilakukan oleh Krista Marsha Esterlita tahun 2007, dengan judul
“Dilema
Pengungkapan
Identitas
Wanita
Transseksual,
Kajian
Fenomenologi Wanita Transseksual Di Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana wanita transseksual mengkonstruksi identitas jenis kelamin secara fisik dan dilema apa yang dirasakan ketika kenyataan jenis kelamin tidak sesuai dengan harapan dan keinginan yang dimiliki. Peneliti menganggap penting karena, fenomena transseksual menjadi santer untuk dibicarakan, yang banyak mengundang pro dan kontra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dalam mengkonstruksi jenis kelamin primer maupun sekundernya seorang wanita transseksual mengalami perbedaan yang cukup tajam, yakni keinginan yang besar untuk menjadi anggota lawan jenis kelamin namun, kenyataan fisik yang tidak diharapkan, sehingga menyebabkan dilema dalam mengungkapkan identitas jenis kelaminnya. Sehingga menyebabkan
15
dilema, kebingungan dan keraguan atas jenis kelamin wanita transseksual miliki dan perasaan ini akan selalu tumbuh dalam kehidupan wanita transseksual.
Kedua, Penelitian tentang transseksual yang dilakukan oleh Ro’fah Setyowati dan teman-teman pada tahun 2005 dengan judul penelitian Perubahan status kelamin terhadap penderita transgender (Transseksual) (Perspektif hukum dan sosial pra pasca tindakan penyesuaian kelamin di RS Dr. Kariadi Semarang dan RS Dr. Soetomo Surabaya). Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui presepsi penderita dan masyarakat tentang fenomena transseksual, serta mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh khususnya dari nilai agama dan sosial dan untuk mengetahui kebijakan pemerintah dan hukum terkait dengan tindakan operasi kelamin bagi penderita kasus-kasus transseksual yang diteliti. Hasil yang ditemukan dari penelitian ini adalah bahwa transseksual atau transgender tidak selalu diikuti oleh kecenderungan untuk operasi perubahan kelamin. Keinginan melakukan operasi kelamin tersebut dipengaruhi oleh pemahaman dan keyakinan penderita terhadap agama yang dianut. Pemikiran tersebut nampak pada pandangan mereka terhadap eksistensi diri, baik dihadapan masyarakat maupun dihadapan Tuhan. Berkenaan dengan kebijakan, pemerintah hanya mengatur secara umum pembatasan pelaksanaan operasi kelamin tersebut. Sedangkan untuk detail dan kekhususannya diserahkan pada pihak pelaksana (transseksual), atau rumah sakit yang bersangkutan.
16
Ketiga, Penelitian tentang transseksual yang dilakukan oleh Yohanes Vincent pada tahun 2007, dengan judul penelitian Self disclosure Transseksual di Surabaya terhadap lingkungan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana self-disclosure yang dilakukan seorang transseksual di Surabaya terhadap lingkungan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan dengan metode life history dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah self-disclosure seorang transseksual bergantung dari orang atau kelompok itu memandang dan menerimanya, konsep diri dan perkembangan penerimaan masyarakat terhadap kaum transgender atau transseksual.
Keempat, Penelitian tentang transseksual yang dilakukan oleh Erlyn Fertyana pada tahun 2007, yang berjudul Perkembangan Identitas Peran Gender Remaja dengan Kecenderungan Transseksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan
emosional
dan
fisik
pada
remaja
yang
berkecenderungan mengalami transseksual. Hasil dari penelitian ini adalah ditemukannya peran-peran gender dan lingkungan pada perkembangan di masa remaja dalam kecenderungannya menjadi seorang transseksual.
Kelima, Penelitian tentang transseksual yang dilakukan oleh Immanuel Sony Kurniawan pada tahun 2006, yang berjudul Sosialisasi Orientasi Seksual dari Orang Tua terhadap Waria pada Masa Kanak-kanak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sosialisasi yang diterima oleh waria dari orang tua mereka pada saat waria belum mandiri, jarak peranan yang dihadapi oleh waria dan reaksi
17
yang muncul saat waria mulai menunjukkan jati dirinya. Penelitian ini mengambil lokasi di Surabaya, dengan subyek penelitian yaitu para waria. Hasil dari penelitian ini didapatkan Pertama, bahwa dari semua waria yang menjadi subyek penelitian, tidak ada satupun yang memiliki figur maskulin untuk menjadi contoh perkembangan identitas seksualnya, dan anak-anak ini terus mendapati figur feminine yang membuat mereka merasa nyaman, dengan kata lain telah terjadi ketidakseimbangan dalam hal hubungan dengan figur-figur berpengaruh tersebut. Kedua, kesibukan, pandangan yang keliru mengenai anak, telah membuat seorang anak kehilangan masa-masa sebagaimana mestinya seorang anak harus mendapatkan kasih sayang yang berimbang baik dari ayah maupun ibu, bukan hanya isu materi saja yang seharusnya diperhatikan. Ketiga. memang pada awalnya orangtua memiliki harapan, akan tetapi harapan-harapan tersebut tidak pernah dikomunikasikan dengan balk, sehingga harapan-harapan normatif tersebut tetap menjadi harapan yang tanpa realisasi. Keernpat, setelah orangtua mengetahui anaknya menjadi waria muncul beragam respon, baik marah, biasa saja, atau malah cuek. Reaksi seperti ini menunjukkan bagaimana pandangan merekamengenai anak mereka, karena reaksi tersebut muncul melalui sebuah pengetahuan mengenai situasi dan apa yang sedang dihadapi. Reaksi yang muncul dari waria sendiri merupakan sebuah pengetahuan mengenai ayah maupun ibu mereka yang membuat mereka menjadi kurang perhatian penuh.
Secara garis besar penelitian tentang transseksual banyak dibahas dalam bidang agama, etika, medis, dan psikologi. Pemikiran-pemikiran dari penelitian18
penelitian sebelumnya memang memberikan kontribusi bagi penelitian mengenai fenomena transseksual. Akan tetapi, penelitian sebelumnya dan dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals belum mengkaji secara khusus dari sudut pandang yang paling mendasar yaitu filsafat manusia yang mengkaji segala sesuatu tentang manusia sampai pada hakikatnya. Mengetahui dan menghayati ke”manusia”an itu sendiri sampai pada hakikatnya sangat penting untuk diteliti terlebih dahulu sebelum melangkah ke pembahasan dengan sudut pandang selanjutnya. Apabila manusia sudah memahami dan menghayati dirinya sampai kepada hakikatnya niscaya permasalahan hidup dapat diatasi dengan bijaksana. Dengan demikian, penelitian mengenai fenomena transseksual ditinjau dari sudut pandang filsafat manusia belum pernah dilakukan dan diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah ada.
D. Landasan Teori Transseksualitas menurut diagnosis medis konvensional, transseksual adalah salah satu bentuk Gender Dysphoria (kebinggungan gender) (Yash 2003: 17). Gender Disphoria adalah sebuah term general bagi mereka yang mengalami kebinggungan dan ketidaknyamanan tentang gender kelahiran mereka. Latar
belakang
fenomena
baru
seperti
transseksual
ini
sangat
membutuhkan kejelasan dan kepastian mengenai keberadaannya, mengenai apa, bagaimana, mengapa, atau pada siapa fenomena ini bisa terjadi dalam masyarakat.
19
Fenomena transseksual ini benar-benar ada, dan membutuhkan tempat untuk hidup, seperti layaknya fenomena-fenomena lain yang sudah ada. Fenomena transseksual dapat mengancam rusaknya tatanan budaya dan etika masyarakat, tetapi memang benar-benar sebuah kondisi pribadi seseorang yang unik, sebuah keadaan yang memang harus diterima, hingga mereka yang mengalami tidak dipandang sebagai sosok yang aneh. Akhirnya masyarakat menghargai fenomena tersebut, dan menghargai pribadi yang mengalaminya, demi terwujudnya keseimbangan jiwa-raga yang layak mereka miliki dengan segala resikonya, untuk hidup lebih baik dan lebih bahagia. Bagi filsafat manusia, semua gejala atau fenomena manusiawi merupakan objek materiil. Filsafat manusia tidak berhenti pada fenomena itu, melainkan bermaksud menerobos mereka sampai pada dasarnya (Bakker, 2000:12-13). Di bawah dan di dalam gejala yang muncul dalam sebuah fenomena itu dicari akarakar yang memungkinkan keanekaan dan adanya perubahan itu. Objek formal bagi filsafat manusia ialah struktur-struktur hakiki manusia yang sedalamdalamnya yang berlaku selalu dan dimana-mana untuk sembarang orang. Objek filsafat manusia terdiri dari manusia seutuhnya menurut sudutnya. Maka objek itu bukan manusia umum saja sebab lalu diabaikan corak paling khusus di dalam manusia yaitu keunikannya dan kesendiriannya. Setiap manusia adalah seorang ‘aku’ yang sangat konkret sebagai ‘aku’ (Bakker, 2000: 12-13). Siapa manusia itu dan bagaimana kedudukannya dalam realitas? Demikian pemikiran yang melingkupi para filsuf. Pertanyaan itu merupakan pertanyaan
20
abadi karena pada dasarnya terkandung dalam hati setiap insan sepanjang masa. Manusia tidak dapat mengerti siapakah manusia itu kecuali sebagai serba terhubung dengan segala sesuatu. Manusia tak bisa berbicara mengenai manusia itu sendiri, kecuali dengan mengakui kesatuannya dengan segala segala sesuatu. Manusia dalam kesadarannya melihat dirinya sendiri sebagai terhubung dengan alam semesta. Hanya ‘ke luar’ dari dirinya sendiri, manusia memasuki dirinya sendiri. Manusia adalah sesuatu dengan mengasingkan dirinya sendiri, dari dirinya sendiri, menemukan dirinya sendiri, dalam dirinya sendiri (Salam, 1985: 19-20). Manusia bukan hanya ada, melainkan ia mengerti bahwa ia ada. Manusia sadar akan dirinya sendiri, dan ia memiliki dirinya sendiri. Manusia adalah merdeka, ia dapat menciptakan kebudayaan, cita-cita yang luhur, ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sadar bergerak dan berbuat ini dan itu. Dia mengerti, mengalami, dan merasa ‘akulah yang berbuat demikian’. Memang dalam tiap-tiap perbuatannya manusia mengalami diri sendiri. Jadi, inilah pengalaman yang menjadi dasar pokok bagi segala perenungan: aku ini ada dan aku ini aku (Salam, 1985 : 26). Eksistensialisme termasuk ranah pembicaraan filsafat manusia, karena filsafat manusia menyelidiki semua gejala atau fenomena manusia sampai pada dasarnya untuk mengetahui struktur-struktur hakiki manusia. Eksistensialisme sendiri menyelidiki manusia dan cara beradanya. Menurut kamus filsafat karangan Lorenz Bagus (2002: 183-184), eksistensi berasal dari bahasa latin
21
existere (muncul, ada, timbul, memiliki keberadaan aktual), ex (keluar), dan sister (tampil, muncul). Dari asal mula istilahnya, eksistensi dapat membentuk beberapa pengertian dasar yaitu apa yang ada, apa yang memiliki aktualisasi (ada), segala sesuatu (apa saja) yang dialami yang menekankan bahwa sesuatu itu ada, dan eksistensi (esse) adalah kesempurnaan yang membuat sesuatu menjadi suatu eksisten.
Eksistensialisme
memusatkan perhatian pada situasi
manusia.
Eksistensialisme merupakan pandangan yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah objek dari berfikir abstrak dan pengalaman kognitif, tapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam batin individu. Eksistensialisme lebih menekankan pada penderitaan, rasa gelisah manusia, dan menekankan eksistensi manusia dan kualitas menonjol pada setiap pribadi. Manusia sebagai suatu proses, bergerak aktif dan dinamis, karena menurut eksistensialisme, hanya manusialah yang sanggup melampaui keterbatasan biologis dan lingkungannya, serta berusaha untuk tidak terkungkung oleh segala keterbatasan yang dimilikinya. Manusia bebas memilih tindakan yang akan diambilnya. Manusia diyakini sebagai makhluk yang bebas dan kebebasan itu adalah modal dasar untuk hidup sebagai individu yang otentik dan bertanggung jawab. Eksistensialisme menunjuk manusia sebagai individu konkret, bukan manusia pada umumnya. Manusia adalah merdeka, bebas dalam memilih tindakan yang akan diambilnya. Manusia dalam setiap tindakan, juga dihadapkan banyak pilihanpilihan yang sulit, namun manusia harus memilih yang utama yaitu keputusan
22
yang dipilih harus sesuai dengan baik dan buruk hasil yang didapatkannya. Kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, setelah ia memilih barulah keputusan menjadi bermakna. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak melakukan eksistensi sebagaimana yang dimaksudkan dalam filsafat manusia. Manusia dalam memilih dan memutuskan tindakan manusia itu merdeka dan bebas. Artinya, ia harus mempu mempertanggungjawabkan dirinya. Justru karena kesediaan bertanggung jawab ini, kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula (Hassan, 1991:25-26). Walaupun manusia adalah makhluk yang bebas untuk memilih kehidupan yang manusia sukai, tetapi realitas yang berkembang di tengah masyarakat, jika ada orang yang berperilaku lain dari suatu masyarakat tersebut, orang tersebut dianggap “aneh”, dan menjadi bahan pembicaraan masyarakat. Menurut John Stuart Mill, seharusnya masyarakat melindungi masing-masing anggotanya dan masyarakat sangat berkewajiban untuk melindungi dan memberi kebebasan untuk mengembangkan potensi masing-masing anggotanya. Masyarakat tidak boleh menindas anggotanya dalam bentuk apapun (Hadi, 1996: 36). Bentuk penindasan di sini dimaknai tidak hanya penindasan secara fisik, tetapi penindasan bersifat moral yaitu dengan cara mengucilkan individu dari lingkungan sosialnya. Sartre bahwa manusia adalah bebas, namun bebas bukan berarti ”lepas sama sekali” dari kewajiban dan beban. Menurut Sartre, kebebasan adalah sesuatu yang erat kaitannya dengan tanggung jawab, dan t idak bisa dipisahkan. 23
Sartre sebenarnya ingin mengatakan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh manusia itu juga mengandaikan adanya suatu tanggung jawab, kebebasan menuntut adanya suatu tanggung jawab. Tanggung jawab melekat pada kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Kebebasan manusia tampak dalam kecemasan. Kecemasan menyatakan kebebasan, seperti rasa muak menyatakan yang ada (Bertens, 2001: 97).
E. Metode Penelitian 1. Bahan dan Materi Penelitian Jenis Penilitian ini adalah penelitian kepustakaan. bahan dan materi penelitian diperoleh melalui penelusuran kepustakaan berbagai sumber yang terdiri dari buku, artikel, dan berita tentang transseksual. Bahan kepustakaan tersebut dikumpulkan dari berbagai sumber yang relevan sehingga kajiannya selalu terarah sesuai tema. Penelitian ini dapat dikategorikan dalam dua kategori, yakni bahan yang bersumber dari data primer dan bahan yang bersumber dari data sekunder. a. Bahan data primer
24
Film Dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals. Karya Stephen Hunter tahun 2003, dan diproduksi Global Telivision Network Inc and Minds Eye International, Canada.
b.
Bahan Sekunder Bahan sekunder merupakan bahan yang diperoleh dari tulisan dan sumber lain yang digunakan penulis sebagai bahan pelengkap dan tambahan. Bahan didapat dari buku, majalah, surat kabar maupun artikel internet yang berhubungan dengan tema penelitian, yang kaitannya
dengan
objek
material
penelitian,
maupun
yang
berhubungan dengan objek formal.
2. Jalan Penelitian Penulis mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual dalam penelitian ini, kemudian penulis akan menganalisisnya mengunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Adapun langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut : a.
Tahap
persiapan
diawali
dengan
mengumpulkan data yang berhubungan dengan kajian penelitian, data
25
yang telah berhasil dikumpulkan kemudian dipisahkan berdasarkan kesesuaian dengan objek materi dan formal. b.
Tahap
Pembahasan
mencakup
penguraian
masalah sesuai objek formal dan material kemudian dideskripsikan dan dianalisis. c.
Tahap
akhir
merupakan
penulisan
yang
dilakukan secara sistematis dan koreksi penelitian.
3. Analisis Hasil Hasil penelitian ini dianalisis mengunakan metode hermeneutika filosofis dengan menggunakan unsur-unsur metodis merujuk pada buku metode penilitian filsafat (Bakker dan Zubair, 1993: 107-113), antara lain: a. Deskripsi: konsep transseksual dan dimensi manusia sebagai pisau analisisnya dijabarkan dan diuraikan secara sistematis b. Koheresi intern: mencari keterkaitan logis antara transseksual dengan dimensi-dimensi dalam filsafat manusia sebagai pisau analisisnya c. Holistika: memahami data secara menyeluruh sehingga diperoleh pemahaman dan analisis yang tepat. d. Refleksi: merefleksikan secara kritis tentang transseksual ditinjau dari filsafat manusia sesuai keyakinan peneliti berdasarkan dari data yang sudah digambarkan secara lengkap dan kemudian menyampaikan pandangan yang khas untuk mendapatkan pemahaman baru. 26
F. Hasil Yang Dicapai Penelitian ini mendapat hasil sebagai berikut : A.
Pemahaman yang lebih luas mengenai filsafat manusia: kebebasan, eksistensi, jiwa dan raga, suara hati dan tujuan hidup manusia
B.
Pemahaman deskripsi tentang transseksual
C.
Pandangan reflektif dan kritis dari transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals yang ditinjau dari filsafat manusia.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian yang berjudul “Tinjauan Filsafat Manusia
dalam
Film
Dokumenter
Incredible
Medical
Mysteries:
Tanssexuals” ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka sebagai dasar dari landasan teori, metode yang dipakai dalam penelitian, hasil yang ingin dicapai dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
27
BAB II berisi uraian yang menjelaskan tentang problem-problem dalam filsafat manusia yang paling dominan terkait dengan fenomena transseksual seperti kebebasan, eksistensi, jiwa - badan, suara hati dan tujuan hidup manusia. BAB III membahas pengertian transseksual, menguraikan karakteristik dan faktor penyebab terjadinya transseksual, dan sinopsis film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals. BAB IV merupakan refleksi kritis filsafat manusia terhadap transseksual
dalam
film
dokumenter
Incredible
Medical
Mysteries:
Transsexuals, dan menguraikan transseksual dalam film dokumenter Incredible Medical Mysteries: Transsexuals sebagai kebebasan dan tanggung jawab, transseksual sebagai pilihan eksistensial, dan makna jiwa dan tubuh bagi seorang transseksual, aspek positif serta negatif fenomena transseksual. Bab V
merupakan penutup,
rangkaian penulisan penelitian yang
berisikan kesimpulan dan saran.
28