KESETARAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK (Kajian Historis Gender dalam Dunia Politik) Muhammad Thoha STAIN Pamekasan, Mahasiswa Program Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya Email :
[email protected])
Abstract: Women positioned as al-Umm (leaders) can cause psychological jealousy for men. There is no difference in Islamic law between women and men. None is proved to distinguish the two. The differences should not be construed as the gap justifying discriminatory practices of women. But the difference is interpreted as the protection of the rights of each gender, with the division of tasks and responsibilities that are private and individual. Intellectual potential among women and men is alike, in the ranks of Islamic thinkers; there are lot of women in it, such as Fatima Mernissi, Nawal Sa'dy, Maryam Jamilah and others. There is no rational reason to restrict the rights of women in the social context, including the political field. Keywords: Women, Men and Politics.
Pendahuluan Pengertian dasar dari kata gender adalah jenis kelamin. Manusia dilahirkan dengan jenis kelamin laki-laki atau perempuan sebagai fitrah dari tuhan. Berangkat dari definisi awal ini, sebenarnya tidak ada satu makhluk tuhanpu yang berhak membedakan hak azazi manusia berdasarkan perbedaan gender, karena hal itu sama saja dengan menyoal perbuatan tuhan.
Muhammad Thoha Munculnya isu perbedaan gender dimulai dari dikotomi perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks,1 meskipun tidak selamanya gender identik dengannya. Semenjak dulu manusia telah mempunyai kemampuan mengklasifikasikan lingkungannya menurut simbol-simbol yang diciptakan dalam tradisi dan dalam sistem budayanya.2 Istilah Gender pada perkembangan selanjutnya hanya dipakai dalam studi perempuan,3 meskipun tidak jarang istilah gender tetap disamakan dengan pengertian seks, dan biologis.4Cara masyarakat mengatur insting seksualnya terbagi kedalam dua kelompok; kelompok pertama adalah melakukan penghormatan-penghormatan terhadap aturan-aturan seksual melaui larangan-larangan seksual selama sosialisasi, termasuk dalam kelompok ini adalah masyarakat Barat, kelompok kedua melakukan penghormatan terhadap aturan seksual melalui pencegahan eksternal, seperti aturan-aturan untuk tidak bertemu dengan lain jenis, dan dengan memakai cadar. Masyarakat timur (Islam) termasuk dalam kelompok ini.5 Sekilas tentang Feminisme Sejarah mencatat bahwa satu-satunya revolusi yang sukses tanpa pertumpahan darah adalah revolusi pemahaman tentang konsep feminisme. Perubahan-perubahan besar yang terjadi di masyarakat dewasa ini, tidak lepas dari peran kaum feminim (perempuan), meskipun pada saatnya semakin banyak kaum perempuan yang berbondong-bondong meninggalkan predikat feminis mereka. Gerakan
Valentine M. Moghadam, Modernizing Women : Gender and Social Change in The Midle East, (Boulder dan London : Lynne Rienner Publisher, 1993), 14 2 Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, (Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997), 89 3 Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan,89 4 K. Basin dan N. Said Khan, Some Quistions on Feminism an Its Relevance For South Asia, (New Delhi: Indraprastha Press, 1986), 23 5 Fatima mernissi, Beyond the Veil : Male Female Dynamics in Modern Muslim Society, (Bloomington and Indianapolis : Indiana University Press, 1987), 30 1
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 125
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik meninggalkan pridikat tersebut dimualai pada era 1970-an.6 Hal itu dikarenakan banyak kaum perempuan tidak tahu arti feminsme itu sendiri, ada juga yang berfikir bahwa feminisme tidak menghormati pilihan-pilihan yang mereka ambil, status feminis akan memperbesar tingkat kejahatan yang mendudukkan perempuan sebagai korban7. Pemikiran lain dari mereka adalah bahwa feminisme tidak ditujukan pada mereka, dan ada juga yang beralasan bahwa mereka tidak menyukai citra feminisme yang mereka lihat.8 Adanya penolakan sebagian kaum wanita terhadap feminisme tersebut dikarenakan banyaknya kesalahan dalam memahami makna feminisme itu sendiri. Sebagaian pemahaman yang salah mengartikan bahwa feminisme adalah tembok pembatas antara sifatsifat kewanitaan yang ditandai dengan lemah, lembut, tidak punya wawasan, dan identik dengan pemenuhan kebutuhan seks.9 Pemahan seperti ini sangat bertolak belakang dengan realita gerakan perempuan yang marak sejak tahun 1980-an.10
Gerakan feminsme di sini adalah gerakan kesadaran akan posisi perempuan yang rendah di masyarakat, dan keingin untuk merubah dan memperbaiki keadaan tersebut. Gerakan ini melahirkan tiga aliran yang berbeda dalam paham feminisme. Ketiga aliran tersebut adalah (1) feminisme radikal yang berpandangan bahwa struktur masyarakat dilandaskan pada hubungan hierarki dan seksualitas berdasarkan jenis kelamin, di mana laki-laki diposisikan menduduki strata sosial yang tinggi dan berhak mendaptkan jabatan kepemimpinan di masyarakat, sementara perempuan diposisikan sebagai pemenuhan kebutuhan seksualitas (2) feminisme liberal, yang berkeyakinan bahwa setiap laki-laki dan perempuan memilki hak mengembangkan kemampuan dan rasionalitasnya secara optimal, (3) Feminisme sosialis,yang berpendapat bahwa dominasi kaum laki-laki adalah berkaitkan dengan kapitalis, aliran ini bertentangan dengan dua aliran sebelumnya.lihat lebih jelasnya baca Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, 48-54 7 Naomi Wolf, Geger Gender, terj. Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Semista Press, 1999), 335 8 Naomi Wolf, Geger Gender,87 9 Naomi Wolf, Geger Gender,95 10 Jajak pendapat majalah Time/CNN yang dilakukan oleh Yankelovich pada tahun 1989 menunjukkan bahwa 33 persen memanggil diri sendiri “feminis” sedangkan 58 persen tidak. Sedikitnya kepercayaan perempuan terhadap istilah itu cukup mencerminkan harapan mereka akan kesetaraan. Buktinya adalah 77 % dari koresponden survei tersebut berpendapat bahwa gerakan perempuan telah mem6
126 |
Muhammad Thoha Feminisme sebenarnya adalah antonim dari maskulinisme. Fitrah penciptaan tuhan terhadap jenis kelamin perempuan (feminis) adalah untuk keseimbangan jenis kelamin laki-laki (maskulinis). Dua jenis kelamin tersebut harus sejalan dengan seimbang untuk melestarikan kehidupan ini.11 Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam Secara Umum Pada prinsipnya Islam tidak menyediakan ruang khusus bagi perempuan dalam tatanan kehidupan masyarakat yang di kenal dengan hijabisasi perempuan dalam ruang publik. Ruang publik yang dimaksud adalah semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Pada prinsipnya semua masyarakat boleh memasuki ruang itu, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam ruang tersebut demokrasi menjadi sesuatu yang sangat dihormati untuk mencapai konsensus tanpa adanya paksaan dan diskriminasi.12 Adanya penyediaan ruang publik yang mampu mengakomodir kesetaraan kaum perempuan dengan kaum laki-laki, telah mampu menghapuskan konsep ruang privat, yang selama ini di konotasikan sebagai dikotomi kaum perempuan.13 Habermas sebagai penggagas konsep ruang publik mengatakan bahwa konsep tersebut telah ada sejak masa Rasulullah. Pada saat itu nabi menjadikan mesjid sebagai sarana penyiaran ajaran Islam, di mana beliau tidak pernah membedakan antara kaum perempuan dan laki-laki dalam menerima ajaran-ajaran beliau. Sejarah membuktikan bahwa tidak sedikit kaum
bantu mereka untuk lebih mandiri,87 mengatakan bahwa gerakan ituhanya sebatas memperbaiki posisi perempuan, 88 11 Sachiko Murata, The Tao of Islam : Kitab Rujukan tentang Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam,terj.Rahmani Astuti dan Ms. Nasrullah, (Bandung:Mizan, 1997),258 12 Nong Darol Mahmada, “Hijabisasi Perempuan Dalam Ruang Publik” dalam www.islamlib.or.id. 13 Margot Badran, Feminists, Islam and Nation: Gender and The Making Of Modern Egypt, (New Jersey : Princeton University Press, 1995), 61
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 127
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik perempuan yang menjadi periwayat hadits sebagaimana kaum lakilaki.14 Jadi dengan demikian ruang publik itu adalah mesjid. Dalam pandangan Islam persamaan hak antara perempuan dan laki-laki sebenarnya mengikat pada semua sektor kehidupan. Perbedaan tentang hukum waris dalam Islam adalah semata-mata adanya perbedaan dari tanggung jawab yang harus mereka pikul. Dalam masalah hukum waris ini Boerenbeker mengatakan bahwa dalam hukum adat beberapa wilayah Indonesia menerpakan hukum waris sebagaimana yang tertera dalam hukum Islam. Hal ini karena kesadaran kaum perempuan bahwa tanggung jawab mereka tidak seberat apa yang di pikul kaum laki-laki.15 Dalam bidang pendidikan, kaum perempuan mendapatkan hak yang sama dengan kaum laki-laki. Tidak jarang dijumpai bahwa prestasi kaum perempuan melebihi prestasi kaum laki-laki.16 Kesamaan hak pendidikan ini, sama sekali tidak bertentangan dengan hukum atau undang-undang pendidikan di Negara manapun, termasuk di Negara Islam sendiri, meskipun dalam penyelenggaraanya ditemukan cara yang berbeda dengan apa yang diterapkan di Negaranegara sekuler dan Barat. Kebutuhan kaum perempuan terhadap pendidikan tidak membedakan suku, ras dan agama mereka. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok dan azazi yang dalam semua agama termasuk dalam Islam yang sangat dihormati dan dijunjung tinggi.17 Nong Darol Mahmada, “Hijabisasi Perempuan Dalam Ruang Publik” dalam www.islamlib.or.id. 15 E.A. Boerenbeker,”Wanita Dalam Hukum Waris Adat” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 232 16 Di negara-negara Arab khusunya Lebanon ditemukan akademisi Universitas Amerika Bairut (AUB) bahwa 2 dari 1 guru besar terdiri dari perempuan, dan 5 dari 9 dosen muda adalah perempuan. Lihat Jean Said Makdisi, “ Metologi Kemodernan : perempuan dan demokrasi di Lebanon” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 351 17 C. Lekkerkerker, “Pendidikan Putri, Ko-Edukasi Dan Sekolah Putri Untuk Penduduk Asli Indonesia”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 268 14
128 |
Muhammad Thoha Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak jarang ditemukan pahlawan kemerdekaan dari kaum wanita. Dengan tetap memegang norma-norma agama (Islam) para wanita tampil ke medan pertempuran untuk membantu kaum laki-laki dalam mengusir penjajah, bahkan tidak sedikit dari mereka yang tampil sebagai pimpinan perang di garis depan18, seperti Cut Nyadin, Cut Meutiah di Aceh, Nyi Ageng Serang, dan lain sebagainya. Keberadaan mereka membuktikan keyakinan mereka bahwa kaum perempuan mampu dan berhak untuk membela Negaranya serta tidak benar kalau mereka diposisikan sebagai kaum lemah yang selamanya bergantung pada kaum laki-laki. Kesadaran akan kesamaan hak antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki semakin bertambah. Di Indonesia gerakan perempuan pasca kemerdekaan mulai digalakkan sejak era 1955-an, yang ditandai dengan perkumpulan isteri Sedar di Bogor.19 Pada perkembangan dunia Islam modern, kaum perempuan juga muncul sebagai kekuatan Islam yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai humanisme Islam di tengah sorotan kaum oreintalis terhadap isu gender dalam Islam.20 mereka diantaranya adalah Fatima Mernissi21 dan Nawal Sa’dawi yang telah dengan geniusnya Szekely-Lulofs,” Cut Nyadin” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 361 19 Perkumpulan Isteri sedxar adalah cikal bakal persatuan darma wanita. Pada pertemuan pertama di kenal tiga tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan oraganisasi ini selanjutnya. Mereka adalah Nyonya Artinah Samsoedin,Nyonya Susanna Hamdani, dan Nyonya Pringgodigdo. Baca E. Du Perron, “ Tiga Orang Wanita Dan Seorang Penyair” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 417 20 Valentine M. Moghadam, Modernizing Women : Gender and Social Change in The Midle East, 139 21 Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Maroko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudari perempuan lainnya. Sebuah harem dijaga ketat oleh seorang penjaga pintu agar peremppuanperempuan tida keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya 18
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 129
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik mampu menyingkap tirai-tirai belenggu kaum perempuan di Maroko, Mesir dan Negara Arab lainnya.22 Pandangan kaum laki-laki Mesir (dan mungkin sebagian besar Negara Arab) sebelumnya adalah perempuan harus selalu tampak muda dan menggairahkan, karena mereka tidak ada lain kecuali hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki.23 Perjuangan Fatima Mernissi24 diikuti oleh oleh Maryam Jamilah yang telah membawa angin modernisasi di Pakistan.25 punya satu istri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun demikian ibunya tetap buta huruf, karena waktunya dihabiskan di dalam harem. Baca: Nong Darol Mahmada, “ Fatima Mernissi : Berontak Demi Kaum Perempuan” dalam www.islamlib.or.id. 22 Fatima Mernissi lahir tahun 1940 di Fez, Maroko. Ia tinggal dan dibesarkan dalam sebuah harem bersama ibu dan nenek-neneknya serta saudari perempuan lainnya. Sebuah harem dijaga ketat oleh seorang penjaga pintu agar peremppuanperempuan tida keluar. Harem itu juga dirawat dengan baik dan dilayani oleh pelayan perempuan. Neneknya, Yasmina merupakan salah satu isteri kakeknya yang berjumlah sembilan. Sementara hal itu tidak terjadi pada ibunya. Ayahnya hanya punya satu istri dan tidak berpoligami. Hal ini dikarenakan orang tua Mernissi seorang penganut nasionalis yang menolak poligami. Namun demikian ibunya tetap buta huruf, karena waktunya dihabiskan di dalam harem. Baca: Nong Darol Mahmada, “ Fatima Mernissi : Berontak Demi Kaum Perempuan” dalam www.islamlib.or.id. 23 Ghada Karm, “ Perempuan, Islam, dan Patriarkalalisme” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 105 24 Fatima Mernissi adalah cendikiawan perempuan Islam yang lahir di Maroko. Ia sangat insten dalam mengeluti pemikiran politik Islam, dan lebih dalam lagi ia adalah tokoh yang sangat nbersemangat mengkaji gender. ketertarikannya untuk meneliti persamaan hak perempuan dalam perspektif Islam yang sebenarnya, dia mulai ketika melihat realitas sosial politik di negaranya (Maroko sebagai negara Islam dengan asas demokrasi) yang sarat dengan diskriminasi gender, serta adanya anggapan yang mengkristal bahwa perempuan tidak memiliki hak untuk menjadi penentu kebijakan publik (politik). Mernissi terusik untuk mengadakan penelitian sumber hukum Islam yang selama ini dijadikan landasan diskriminasi perempuna dalam politik. ia mengamati hasil pemilihan umum di Maroko pada tahun 1977. Dalam pemilihan tersebut delapan wanita yang mencalonkan diri, tidak satu pun yang mendapatkan satu suara pun dari jumlah pemilih 6.500.000 jiwa, meskipun 3000.000 diantaranya adalah wanita. Demikian pula pada pemilihan umum berikutnya (tahun 1983) lihat : Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, ( Surabaya : Dunia Ilmu, 1997), vi 25 John L. Esposito dan John O. Voll, Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Harianto dkk. (Jakarta : Raja Grapindo Persada, 2002), 47
130 |
Muhammad Thoha Pada intinya perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan pada pertumbuhan pemikiran, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan keamanan, meskipun sering sekali sumbangan mereka terlupakan.26 Menengok Sejarah Pergerakan Politik Kaum Perempuan di Negara -Negara Islam Setelah kekhalifahan Turki diganti dengan sistem pemerintahan republik oleh Mustafa Kemal al-Taturk pada 29 Oktober 1923, maka tatanan kehidupan masyarakat Turki lambat laun juga bergeser dari pola hidup beragama secara fundamental menuju pemahaman keagamaan secara sekuler, meskipun tetap dalam bingkai Negara Islam. Dalam jajaran politikus Turki selanjutnya, kaum perempuan banyak mengisi kursi parlemen27 sebagaimana kaum laki-laki,28 bahkan gagasan rancangan undang-undang politik Turki sedikit banyak lahir dari politikus perempuan seperti Ziya Gokalp, Mehmeda Emin Yurdakul dan Halide Edip Adivar.29 Di Iran pergeseran posisi perempuan dimulai pada akhir abad XIX dan paruh awal abad XX. Dan puncaknya pada kejayaan rezim Reza Pahlevi, meskipun paham kesetaraan gender ini direduksi oleh penguasa selanjutnya setelah terjadi revolusi Iran 1979.30 Pada masa Reza Pahlevi, kaum perempuan mendapat kebebasan yang sama dengan kaum laki-laki untuk menuntut ilmu, berpolitik, berolahraga Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan,159 27 Donald Quataert, “ Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing 18001914”, dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven and London :mYale University Press, 1991), 163 28 Denis Kandiyoti, “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 22 29Denis Kandiyoti, “End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey” dalam Womwn, Islam And The State,34 30 Afsaneh Najmabadi, “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and Ideology In Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 48 26
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 131
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik dan berkreasi.31 Pada masa sekarang pun kebebasan itu kembali terasa setelah pemerintah Khatami mengamandemen undang-undang politik Negeri Mullah tersebut. Pada saat ini Iran menerapkan strategi bahwa perempuan harus tampil kalem, dan berhijab sebagai standart Islamisme di Iran. Akan tetapi dalam kenyataannya politisi-politisi perempuan Iran telah membuktikan kontribusinya sebagi politiskus ulung dunia.32 Di Pakistan kaum perempuan memenuhi setidaknya 75 persen pemilih, ketika terjadi pemilihan umum pertama yang akhirnya mengangkat Ali Jinnah sebagai perdanan menteri. Dominasi perempuan di Pakistan terus berlangsung dan pada puncaknya Benazir Bhutto33 tampil sebagai perdana menteri, dengan dikelilingi sejumlah politikus perempuan sebagai pembantunya.34 Pemerintah Bangladesh sangat memperhatikan kaum perempuan. Di Negara tersebut perempuan mendapatkan kursi di parlemen dengan kuota yang disesuaikan dengan prosentase komonitas perempuan itu sendiri35 Afsaneh Najmabadi, “ Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and Ideology In Contemporary Iran”, dalam Women, Islam And The State 54 32 Haleh Abshar,” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa), 295 33 Benazir Bhutto menjadi perdana mentri Pakistan setelah memnangkan pemilihan umum pada 16 Nopember 1988. Semua opasan prianya saat itu termasuk Nawaz Syarif menyerang dengan menghembuskan isu-isu gender yang berteriak denga hujatan bahwa sepanjang sejarah belum pernah sebuah negeri muslim diperintah oleh perempuan. Kenmenangannya Benazir Bhutto telah mengusik kegusaran lawan-lawan politik prianya. Hal itu diukarenakan peristiwa tersebut dianggap tidak lazim dalam perjalanan sejarah Islam sepanjang 15 abad, di mana kemudian perempuan diberi hak istimewa dalam politik dan urusan umat. Hal inilah yang embuat Fatima Mernissi mencoba meniliti akar masalah dan landasan diskrimiasi gender dalam politik. Lihat Fatima Mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan Enna Hadi, (Bandung : Mizan, 1994), 7 34 Ayesha Jalal, ´The Convenience Of Subservience : Women and State of Pakistan” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 77 35 Naila Kabeer, “ The Quest For National Identity: Women, Islam and State in Bangladesh” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 117 31
132 |
Muhammad Thoha Undang-undang perkawinan di India tahun 1987 telah merevisi Undang-undang sebelumnya. Pada undang-undang yang baru martabat kaum perempuan terangkat, dengan diberlakukannya syarat persetujuan mempelai perempuan dalam kelangsungan pernikahan, serta mahar menjadi tanggung jawab fihak laki-laki. Undangundang ini lahir setelah banyaknya kaum perempuan masuk dalam jajaran kabinet India.36 Status kaum perempuan dalam pemerintahan-pemerintahan Negara Timur Tengah yang lain,37 juga tidak jauh berbeda dengan di Negara-negara yang telah disebutkan di atas. Kaum perempuan mendapatkan hak yang sama di Iraq,38 Lebanon,39 Mesir,40dan Republik Yaman.41 Hal ini sedikit berbeda dengan nasip politik mereka (perempuan) di kerajaan Arab Saudi,42 Kuwait,43 Syiria dan Bahrain.44 Amrita Chhachhi, “ Forced Identities : The State, Communalism, Fundamentalism and Women in India” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 146 37 Di Mesir kesetaraan gender telah berkembang sejak masa dinasti mamluk (abad ke-8) lihat : Jonatan P. Berkey, “ Women and Islamic Education in The Mamluk Period”, dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven and London : Yale University Press, 1991), 144 38 Suad Joseph, “ Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion and State in Iraq and Lebanon” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 180 39 Suad Joseph, “ Elite Strategies For State Building, 188 40 Margot Badran, “ Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In Nineteenth and Twentieth Century Egypt,” dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 218 41 Maxine Molyneux, The Law, The State and Socialist Policies With Regard To Women; The Case of The People’s Democratic Republic Of Yemen” dalam Womwn, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti, (Philadelpphia: Temple University Press, 1991), 250 42 Melalui memorandum pemerintah Arab Saudi, perempuan di sana wajib berhijab dan tinggal di rumah serta tidak mendapatkan hak untuk menjabat urusan pemerintahan. Lihat Mai Yamani, “ Beberapa Pandangan Mengenai Perempuan di Saudi Srabia” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 411 43 RUU tentang politik perempuan ditolak oleh parlemen menjelang pemilihan pada tahun 1984. Dengan demikian perempuan tidak mendapatkan hak untuk menduduki jabatan politis di Kuwait. Lihat Munira Fakhro, “ Perempuan Teluk dan Hukum Islam” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 389 36
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 133
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik Dalam tulisannya tentang sejarah ratu-ratu Islam, Fatima Mernissi mencontohkan bahwa tidak sedikit para pemimpin Islam masa lalu terdiri dari kaum perempuan. Mereka seperti ; Radhiyyah di Delhi (634/1236), Syajarat Al-Dur di Mesir (648/1250),45 Sultanah Radiyyah Bint Syams Al-Din Iltutmisy (dari Dinasti Mamluk), dan masih banyak lagi contoh yang dipaparkan Mernissi.46 Sejarah pergerakan politik Indonesia, tidak luput dari peran wanita. Sebagai contoh adalah peran R.A. Kartini dalam semagat membangkitkan kesadaran kaum perempuan dalam membangun dirinya agar punya andil dalam mengisi pembangunan bangsa Indonesia. Gerakan R.A. Kartini memang lebih tampak sebagai gerakan sadar pendidikan. Akan tetapi implementasi gerakannya akan menyadarkan kaum perempuan pada saatnya, untuk menyadari hak politik yang sama degan kaum laki-laki. Emansipasi wanita adalah lambang gerakan R.A. Kartini, meskipun ia tidak melepaskan konsep feminisme, namun gerakannya telah meninggalkan pengaruh yang besar pada kesadaran politik kaum wanita Indonesia setelah ke”pulangan”nya.47 Chabot, seorang peneliti tentang perkembangan perempuan Indonesia, mengatakan bahwa pengaruh pemikiran Kartini terhadap perempuan Indonesia sangat besar. Bukti dari pengaruh tersebut adalah pada dewasa ini perempuan Indonesia sudah tidak lagi melihat adanya perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan, politik, ekonomi dan strata sosial, meskipun wanita Indonesia, menurut Chabot masih menjaga jarak terhadap laki-laki daJudi E. Tucker,” Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and Nineteenth Century Nablus” dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender, Nikki R. Keddie. Ed. (New Haven and London :mYale University Press, 1991), 250 45 Fatima mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan, terj.Rahmani Astuti dan Enna Hadi,141 46Fatima mernissi, Ratu-ratu Islam yang Terlupakan,142. Baca selengkapnya buku ini hal.84,177, 218, dan 251 47 Abendanon, “Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 99 44
134 |
Muhammad Thoha lam hal budaya pergaulan.48 Tampaknya perkecualian terakhir yang dilontarkan Chabot49 saat ini sudah tidak berlaku lagi. Perempuan Indonesia saat ini telah mengambil posisi yang sama dengan kaum laki-laki dalam kesempatan, meperoleh kedudukan politik, pekerjaan, pemimpin dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi tentang perempuan Indonesia, Veth mengatakan, bahwa sebelum Kartini lahir, di beberapa kawasan Nusantara telah tersebar sederetan pemimpin kaum yang terdiri dari wanitawanita sejati, meskipun dalam laporan penelitiannya Veth tidak mencantumkan agama resmi mereka. Akan tetapi ditinjau dari nama dan tahun serta gelar yang disandang oleh pemimpin-peminpim wanita tersebut, dapat dipastikan bahwa tidak jarang diantara mereka adalah muslimah seperti Ratu Anayat Syah yang memerintah kerajaan Samudera Pasai selama 11 tahun ( 1677-1688), demikian pula Ratu (sultan) Kamalat Syah yang juga memerintah selama 11 tahun (16881699), meskipun akhirnya diturunkan dan di ganti Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim (laki-laki)50 Penelitian Veth diperkuat oleh penelitian Boerenbeker yang mengatakan bahwa antara abad XVI –XX sejarah kepulauan Nusantara, mencatat bahwa banyak perempuan mendapatkan posisi pemimpin. Diantaranya adalah Cut Po Neo yang memerintah Pidei pada tahun 1897 dan Cut Asiah pada tahun 1910 memerintah Peukoe51. Bukti sejarah ini tidak hanya terdapat di Aceh, akan tetapi sebagian besar wilayah nusantara pernah memilki pemimpin wanita. Di Am-
H.T. Chabot, ” Wanita Muda Dalam Situasi Komplik”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 351. 49 Penelitian Chabot dilakukan antara tahun 1954-1955 50 P.J. Veth, Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantara”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 302 51 E.A. Boerenbeker, “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia, ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994), 306 48
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 135
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik bon dan Ulias pemeimpin wanita mendapat gelar “latu Mahina” dan di Nias di sebut dengan “ Siulu”.52 Permasalahan yang ada adalah sebagaian besar kaum perempuan belum menyadari haknya sendiri, dah bahkan tidak jarang mereka justru menghindari haknya tersebut. Mereka (perempuan) cenderung mengalah dan sengaja memposisikan diri “dibelakang” kaum laki-laki, meskipun sebenarnya mereka punya kemampuan yang sama53 Dalam konteks yang lebih luas posisi perempuan di dunia ketiga telah mewarnai perubahan tatanan sosial politik, budaya, ekonomi dan sebagainya.54 Dalam hal ini dapat dicontohkan gerakan perempuan di India tahun 1980-an yang menyoroti kuota perempuan di parlemen.55Demikian pula gerakan lainnya di beberapa belahan dunia, seperti gerakan pemberdayaan perempuan di Mesir.56Islam tidak pernah memberikan diskrimasi gender, kecuali adanya perlindungan terhadap hak-hak perempuan.57 Dalil-dalil Al-Qur’an tentang Kesetaraan Gender dalam Bidang Politik Al-Qur’an yang diturunkan sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia, pada dasarnya tidak pernah mendiskriminasikan satu etnis, ras, kelamin, bangsa dan bahasa umat manusia. Kalau diamati lebih jauh, banyak sekali teks Al-Qur’an yang mengandung makna khitab (perintah) tanpa membedakan antara kaum perempuan dan laki-laki. A. Boerenbeker, “ Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia”, dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia…306 53 Hasil penelitian Naomi membuktikan bahwa dari 1000 responden perempuan di seluruh dunia, hanya 31 persesn yang menuyadari kesetaraan (kesamaan) hak politik mereka. Selebihnya merasa tidak siap untuk bersaing dengan kaum laki-laki. Baca Naomi Wolf, Geger Gender, terj. Omi Intan Naomi, 365 54 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, (Chicago : The University Chicago Press, 1982), 109 55 Ratna Saptari danBrigitte Holzner, Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan,416 56 Margot Badran, Feminists, Islam and Nation: Gender and The Making Of Modern Egypt, 75 57 Unni Wikan, Behind The Veil In Arabia: Women in Oman, 168 52
136 |
Muhammad Thoha Demikian pula nash yang secara lahiriyah tampak dengan kalimat untuk laki-laki (mudzakkar), namun makna yang terkandung adalah mengikat untuk semua (laki-laki dan[perempuan). Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang menandakan kesamaan kedudkan laki-laki dan perempuan adalah ; 1. S. Al-Hujurat ayat 13 : Artinya :” Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa”. 2. S. Al-Nisa’ ayat 1. : Artinya : “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari “nafs” yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak” 3. S. Al-Isra’ ayat 70 : Artinya : “ sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam , Kami angkut mereka di daratan dan lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rizki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan” 4. S. Ali Imran ayat 195: Artinya : Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal, laki-laki maupun perempuan.” 5. S. Al-Tawbah ayat 71: Artinya : ‘ Dan Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ (pemimpin) bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah mahaperkasa dan mahabijaksana.
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 137
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik 6. Dan masih banyak sekali nash Al-Qur’an dan hadits yang secara langsung atau tidak mengisaratkan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak sebagaimana yang di duga dan dipraktekkan sementara masyarakat. Pada intimya ajaran Islam memberikan perhatian yang sangat besar pada kaum perempuan. Dengan menukil pendapat Muhammad AlGhazali, Quraish Shihab mengatakan bahwa kalau kita mengembalikkan pandangan pada sekitar seribu tahun yang lalu tentang perempuan, niscaya kita akan menemukan derajat perempuan menempati derajat yang sangat terhormat dengan posisi istimewa ditengahtengah kehidupan sosial masyarakat.58 Argumentasi Kesamaan Hak Politik antara Perempuan dan Lakilaki Berdasarkan ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas, Quraish sihab mengatakan bahwa tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama.59 Allah telah menganugrahkan kepada perempuan-sebagaimana telah menganugrahkan kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab,60 dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.61 Karena itu hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Laki-laki menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan perempuan juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.62 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 2000),269 Valentine M. Moghadam, Modernizing Women : Gender and Social Change in The Midle East, 15 60 Rosemarei Tong, Feminist Thought : A Comprehensive Intrudaction, (Boulder dan Francisco : Westview Press, 1989),203 61 Rosemarei Tong, Feminist Thought : A Comprehensive Intrudaction, 45 62 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an cer. XI, (Bandung : Mizan, 2000), 299 58 59
138 |
Muhammad Thoha Dengan mengutip penafsiran Mawdudi, Shihab kembali menegaskan bahwa larangan keluar rumah yang disyariatkan Islam bagi muslimah adalah dalam konteks untuk menjaga fitnah dan ancaman keselamatan kehormatannya. Jadi selama perempuan bisa menjaga dirinya dari bahaya yang mengancam (kalau ada) serta bisa menjaga kehormatannya, maka tidak ada halangan bagi mereka untuk keluar rumah, baik untuk bekerja63, beribadah dan sebagainya yang tentu saja termasuk didalamnya meniti karir politiknya. Sayyid Qutub mengatakan bahwa Perempuan pada saat awal Islam pun bekerja. Masalahnya bukan pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, akan tetapi maslahnya adalah adanya kebutuhan untuk belerja, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya,64 atau memang pekerjaan itu hanya pantas bagi kaum perempuan. Dalam memaknai kata wa qarna65 (tenang dan mantap) Qutub memastikan bahwa rumah tangga adalah tugas utama perempuan sebagai tempat menetap. Tetapi bukan berrti tidak boleh bekerja di luar rumah66 Perbedaan penafsiran antara ulama kalasik dengan ulama’ kontempor terkait dengan kesamaan hak politik perempuan dan lakilaki adalah berpangkal pada ayat Al-Qur’an tentang laki-laki adalah pemimpin wanita,67 akal perempuan kurang cerdas dibandingkan dengan akal lelaki (demikian pula agamanya), serta hadits yang mengatakan bahwa suatu kaum tidak akan sejahtera bila dipimpin wanita.68 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an cer. XI, 304 Valentine M. Moghadam, Modernizing Women : Gender and Social Change in The Midle East, ,35 65 QS. Al-Ahzab ayat 33. 66 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 305 67 QS. Al-Nisa’ (4) ayat 34. 68 Nas hadith tersebut adalah; Dari Abi Bakrah, dia berkata: Ketika Rasulullah SAW mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat puteri Kisra sebagaai penguasa mereka, beliau bersabda; “ tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”. (HR. Bukhari, Al- Nasa’I, dan Ahmad melalui Abu Bakrah). Dalam penelitian Mernissi hadith ini ditemukan pada kitab Huda alSari (muqaddiamh Fath al-Bari, yang lebih dikenal dengan kitab fath al- Bari sebagai syarah dari kitab hadith Imam Bukharai) halaman 46 jilid 13 pada cetaka al63 64
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 139
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik Menanggapi hal ini Quraish mengatakan bahwa, pertama ayat tentang laki-laki sebagai pemimpin dan seterusnya adalah dalam konteks rumah tangga, hal ini dapat dibuktikan dengan konsedern (munasabah) ayat tersebut pada ayat-ayat berikutnya yang berisi pemberian nafkah sebagai tugas suami (laki-laki). Dengan demikian ayat tersebut tidak serta merta bisa ditarik pada konteks umum (di luar rumah tangga), kedua hadits tentang akal perempuan kurang cerdas adalah hadits dhaif yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.hadits ini diidentikkan dengan pemahaman Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 569 dengan menitik beratkan pada kata Al-Shufaha.’70 Penafsiran kalimat tersebut tidak serta merta menuduh kaum perempuan sebagai Al-Shufaha, lebih jelas Mernissi sependapat dengan alTabari yang mengatakan; “Menurut kami, cara yang tepat untuk menafsirkan ayat tersebut adalah bahwa Allah telah menggunakan kata Al-Shufaha dalam pengertian umumnya. Allah tidak mengisaratkan adanya perbedaan jenis kelamin di dalam ayat tersebut, akan tetapi adalah batasan akal antara normal dan tidak normal, yang ini bisa saja menyangkut pria dan wanita.71 ketiga hadits tentang kaum yang tidak akan sejahtera dibawah pimpinan wanita, perlu di catat hadit tersebut bukan untuk umum (seluruh umat Islam). Akan tetapi hadits tersebut terkait dalam kasus masyarakat Persia pada saat sebelum mereka masuk Islam.72 Sebagai mana dimaklumi dalam sejarah bahMathba’ah al-Bahiyah al-Mishriyah (1280), dan pada halaman 166 jilid 16 dalam cetakan Maktab Mustafa al-babi al-halabi (163) dengan judul yang sama. Lihat ; Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, ix. 69 Artinya : “ Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (terjemahan versi Dep. Ag.) 70 menurut versi Dep. Ag. Al-syufaha’ diterjemahkan sebagai orang yang belum sempurna akalnya seperti anak yatim yang belum balig akalnya atau orang dewasa yang tidak bisa mengatur harta bendanya. QS. 4:5. 71 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, 169 72 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 313-314
140 |
Muhammad Thoha wa dua kerajaan besar yang membayangi pertumbuhan Islam adalah Romawi dan Persia. Kedua kerajaan besar tersebut senantiasa terlibat dalam peperangan dalam memperebutkan gengsi dan popularitas. Nabi selalu memantau perkembangan kedua kerajaan tersebut. Dan ketika terdengar berita bahwa raja Kisra penguasa Persia meningal dan digantikan oleh putrinya, nabi bersabda bahwa kaum tidak akan beruntung dibawah kekuasaan wanita. Yang dimaksud kaum disini adalah bangsa Persia yang dipimpin perempuan yang akan kesulitan mengahadapi kehebatan bangsa Romawi di bawah pimpinan kaisar Heraklius. Dengan demikian sebagaimana Quraish, Mernissi memahami hadits tersebut secara khusus, dan tidak bisa digenarilasai untuk semua masyarakat muslim.73 Argumen selanjutnya adalah bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Bakrah dua puluh tahun setelah wafatnya nabi, ketika terjadi pertikaian di Bashrah antara Ali dan A’ishah, dimana dikhwatirkan pada saat itu ‘Aisyah akan turun langsung menuju Bashrah untuk memimpin pasukan. Adanya kekhwatiran akan keselamatan A’isyah, maka dimungkinkan Abu Bakrah mengingat kembali apa yang pernah terjadi pada bangsa Persi dua puluh tahun.74 Jadi hadits tersebut lebih bermuatan psikologis subyekti dari pada data obyektif. Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat, tidak terlepas dari nilai-nilai subyektifitas para sahabat sendiri. Seringkali rumusan-rumusan hukum fiqh yang disumberkan pada hadits riwayat Abu Hurairah bertentangan dengan apa yang diriwayatkan A’isyah75. Akan tetapi sudah menjadi monopoli para ulam’ Fiqh un-
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, 55 74 Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, 57 75 Dalam sejarah para sahabat nabi, ditemukan bahwa antara Abu Hurairah dan A’isyah seringkali terlibat perselisihan dalam memutuskan maslah-maslah fiqih. Abu hurairah sangat misogynistic (membenci perempuan) dikarenakan ia berasal dari Yaman (tempat istana Shaba’ yang diperintah oleh ratu Bulqis) dimana perempuan mendapat kehormatan setinggi-tingginya di sana. Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, 90-91 73
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 141
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik tuk mendahulukan hadits riwayat Abu Hurairah (laki-laki) ketimbang riwayat A’isyah (perempuan). Islam disebarkan oleh nabi dengan menggunakan sentuhan kaum wanita. Sebagai mana dimaklumi bahwa penasehat pribadi nabi adalah istrinya sendiri, Khatdijah yang mampu memberikan pertimbangan-pertimbangan politis, strategi dan lainnya pada nabi. Ketika Khdijah wafat, nabi begitu merasa kehilangan sehingga tahun itu disebutnya dengan tahun duka cita (Am Al-Huzn). Begitu juga peran A’isyah dalam kegiatan sehari-hari nabi.76 Dengan memperhatikan beberapa argumen tersebut (tentunya masih banyak argumen lainnya), maka tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Sebaliknya banyak sekali di temukan ayat atau hadits yang dapat dijadikan dasar pemahaman tentang hak-hak kesamaan perempuan dalam bidang politik. Adanya pemahaman yang salah selama ini, mengharuskan umat Islam untuk mengadakan revivalisasi dan perumusan kembali batasan-batasan hak kaum perempuan (kalau memang di pandang ada).77 Keadilan gender saat ini diwujudkan melaluio gerakan feminisme. Feminisme dalam Islam tidak dapat dilepaskan dari tradisi patriarki dalam Islam.78 Oleh karena itu, usaha memahami Al-Qur’an dan hadits secara tepat perlu dilakukan untuk memahami esensi ajaran Islam sesungguhnya.79Dalam pandangan Murata, pembedaan hak politik berdasarkan gender akan mengurangi nilai kesakralan, dan
Fatima Mernissi, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. Masyhur Abadi, 135 77 Maha Azzam, “ Jender, Politik dan Agama di Timur Tengah” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto, (jakarta : Nuansa, 2000), 328 78 Rosemarei Tong, Feminist Thought : A Comprehensive Intrudaction, 15 79 Nurul Agustin dan Leis marcoes, “ Gender” dalam dalam Enskolpedi tematis Dunia Islam, Vol VI. Ed. Taufiq Abdullah, et.al. (Jakarta : Ichtiar Baru Van Haouve, 2002), 175 76
142 |
Muhammad Thoha ke-barzakh-an (kesucian) Islam sendiri. Adam diciptakan dalam perpaduan maskulinitas dan feminisme.80 Penutup Islam lahir sebagai Rahmatan li Al- Alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta). Islam membawa tuntunan kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan seluruh aspek kehidupan lainnya, dengan tidak mengkhususkan ajarannya pada perbedaan gender. Tidak ditemukan satu nash pun dalam hukum Islam yang otentik tentang perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang ada tidak diartikan sebagai jurang yang menbenarkan praktek-praktek diskriminasi kaum perempuan. Akan tetapi perbedaan yang ada dimaknai sebagai perlindungan atas hak dari masing-masing jenis kelamin dengan pembagian tugas dan tanggung jawab yang sifatnya privat dan individual. Sebaliknya perbedaan tersebut tidak dibenarkan dalam konteks ssosial dan umum. Sejarah telah mencatat bahwa tidak sedikit kaum perempuan mampu memainkan peran politik di atas pentas perpolitikan dunia. Realita tersebut tidak saja terjadi di Negara-negara sekuler, melainkan hal tersebut terjadi juga di Negara-negara muslim baik yang militan (fundamental), maupun yang demokratios dan nasionalis. Dengan potensi intelektual yang sama, tak jarang ditemukan perempuan yang mampu memberikan andil politik yang lebih ketimbang kaum laki-laki. Dalam jajaran pemikir-pemikir Islam banyak sekali ditemukan perempuan di dalamnya, seperti Fatima Mernissi, Nawal Sa’dy, Maryam Jamilah dan lain sebagainya. Tidak ada alasan rasional secuilpun untuk membatasi hakhak perempuan dalam kontek sosial, termasuk didalamnya adalah bidang politik. Dengan menelaah tokoh-tokoh politik perempuan Islam, baik masa klasik, maupun pada zaman kontemporer ini, sema-
80
Sachiko Murata, The Tao of Islam : Kitab Rujukan tentang Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam,terj.Rahmani Astuti dan Ms. Nasrullah, 262
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 143
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik kin jelaslah bahwa pembatasan hak tersebut hanyalah apologi yang tidak berdasar. Daftar Pustaka Abendanon, , 1994. Cita-cita dan Gagasan R.A. Kartini, mdalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Abshar, Haleh,2000.” Islam dan Feminisme : Suatu Analisi Strategi Politik” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra, ed. Mai yamani Terj. Purwanto Jakarta : Nuansa Agustin, Nurul, dan Leis marcoes, 2002. Gender, dalam dalam Enskolpedi Tematis Dunia Islam, Vol VI. ed. Taufiq Abdullah, et.al. Jakarta : Ichtiar Baru Van Haouve al-Faruqi, Isma’il Raji,1995. Al-Tawhid : Its Implications For Thuoght and Life, Cet. III. Riyad : International Islamic Publishing House Ansari, Abdou Filali, 2000. Can Modern Rationality Shape A New Religiosity? : Mohammed Abed Jabry and The Paradox Of Islam and Modernity” dalam Islam and Modernity: Muslim Intelectuals Respond. ed. John Cooper. et.al. London dan New York : IB Tauris Publisher Azzam, Maha, 2000. Jender, Politik dan Agama di Timur Tengah dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra. ed. Mai yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa Badran, Margot,1995. Feminists, Islam and Nation: Gender and The Making Of Modern Egypt. New Jersey : Princeton University Press _________,1991. Competing Agenda: Feminists, Islam and The State In Nineteenth and Twentieth Century Egypt dalam Women, Islam And The State, ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, Basin, K. dan N. Said Khan, 1986. Some Quistions on Feminism an Its Relevance For South Asia. New Delhi: Indraprastha Press Berkey,Jonatan P. 1991. Women and Islamic Education in The Mamluk Period dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender. ed. Nikki R. Keddie. New Haven and London :Yale University Press
144 |
Muhammad Thoha Boerenbeker, E.A, 1994.Wanita Dalam Hukum Waris Adat” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press _________. , 1994, Wanita Sebagai Kepala Persekutuan Hukum Indonesia dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Chabot, H.T, 1994.Wanita Muda Dalam Situasi Komplik” dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Chhachhi, Amrita, 1991.Forced Identities : The State, Communalism, Fundamentalism and Women in India” dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press, Esposito, John L. dan John O. Voll, 2002.Tokoh-tokoh Gerakan Islam Kontemporer. terj. Sugeng Harianto dkk. Jakarta : Raja Grapindo Persada Fakhro, Munira, 2000. Perempuan Teluk dan Hukum Islam dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra. ed. Mai yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa Fauzi, Ihsan Ali, 2002. Hak Azazi Manusi dalam Enskolpedi tematis Dunia Islam. Vol VI. ed. Taufiq Abdullah. et. al. Jakarta : Ichtiar Baru Van Haouve, Gailey, C.W. , 1987. Evolutionary Perspektives On Gender Hierarchy dalam Analyzing Gender. ed. B. Hess dan M. Ferree. Beverly Hills: Sage Jalal, Ayesha. 1991.The Convenience Of Subservience : Women and State of Pakistan” dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press Joseph, Suad. 1991. Elite Strategies For State Building : Women, Familiy, Religion and State in Iraq and Lebanon dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press Kabeer, Naila,1991. The Quest For National Identity: Women, Islam and State in Bangladesh dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 145
Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan dalam Bidang Politik Kandiyoti, Denis, 1991. End Of Empire: Islam Nationalisme and Women In Turkey dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press Karm, Ghada, 2000.Perempuan, Islam, dan Patriarkalalisme dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra. ed. Mai Yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa Lekkerkerker, C. , 1994. Pendidikan Putri, Ko-Edukasi Dan Sekolah Putri Untuk Penduduk Asli Indonesia dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Lulofs, Szekely. 1994. Cut Nyadin dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Mahmada, Nong Darol. “Fatima Mernissi : Berontak Demi Kaum Perempuan” dalam www.islamlib.or.id. _________. “Hijabisasi Perempuan Dalam Ruang Publik” dalam www.islamlib.or.id. Makdisi, Jean Said, 2000. Metologi Kemodernan : perempuan dan demokrasi di Lebanon” dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra. ed. Mai Yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa Marsod, Afaf Lutfi al-Sayyid, 2000. Perempuan Wira Usaha dalam Feminisme dan Islam : Perspektif Hukum dan Sastra. ed. Mai yamani Terj. Purwanto. Jakarta : Nuansa Mernissi, Fatima,1994.Ratu-ratu Islam yang Terlupakan. terj.Rahmani Astuti dan Enna Hadi. Bandung : Mizan _________ , 1987. Beyond the Veil : Male Female Dynamics in Modern Muslim Society. Bloomington and Indianapolis : Indiana University Press _________,1997. Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik. terj. Masyhur Abadi. Surabaya : Dunia Ilmu Moghadam, Valentine M , 1993. Modernizing Women : Gender and Social Change in The Midle East. Boulder dan London : Lynne Rienner Publisher Molyneux, Maxine. , 1991. The Law, The State and Socialist Policies With Regard To Women; The Case of The People’s Democratic Republic Of Yemen” dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press
146 |
Muhammad Thoha Murata, Sachiko. 1997.The Tao of Islam : Kitab Rujukan tentang Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan Ms. Nasrullah. Bandung:Mizan Najmabadi, Afsaneh ,1991. Hazards Of Modernity and Morality : Women, State and Ideology In Contemporary Iran dalam Women, Islam And The State. ed. Denis Kandiyoti. Philadelpphia: Temple University Press Perron, E. Du. 1994. Tiga Orang Wanita Dan Seorang Penyair dalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press, Quataert, Donald,1991. Ottoman Women, Households, and Textile Manufacturing 1800-1914” dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender. ed. Nikki R. Keddie. New Haven and London :Yale University Press Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997.Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Shihab, Alwi 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan Shihab, M. Quraish. 2000.Membumikan” Al-Qur’an. Bandung : Mizan ________, 2000.Wawasan Al-Qur’an cet. XI. Bandung : Mizan Syari’ati, Ali , 1988. Membangun Masa Depan Islam : Pesan untuk Para I ntelektual Muslim. terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan Tong, Rosemarei,1989. Feminist Thought : A Comprehensive Intrudaction. Boulder dan Francisco : Westview Press Tucker, Judi E,1991.Ties That Bound : Women and Family in Eighteenth and Nineteenth Century Nablus” dalam Women In Midle Eastern History Shifting Boundaries in Sex and Gender. ed. Nikki R. Keddie. New Haven and London :Yale University Press Veth, P.J. , 1994. Pemerintah Oleh Wanita Di Kepulauan Nusantaradalam Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia. ed. Maria Ulfah Subardio dan T.O. Ihromi. Yogyakarta: Gajahmada University Press Watt, William Montgomery. 1988. Islamic Fundamentalism And Modernity. London dan New York: Routledge
Volume 4. No. 01. Maret 2012 | 147