BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pemikiran yang berkembang mengenai Pisowanan Ageng selama masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai tradisi kultural semata tidak bisa dibenarkan seutuhnya. Pisowanan Ageng memang memiliki makna secara idealitas1, akan tetapi apabila fenomena sosial Pisowanan Ageng yang berjalan selama pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X kita telaah lebih mendalam, pagelaran tersebut merupakan sebuah fenomena sosial yang penuh dengan muatan politik. Pandangan ini dapat direfleksikan melalui empat kali pelaksanaan Pisowanan Ageng selama pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X.2 Pisowanan Ageng I terselenggara pada bulan Mei 1998 menjelang jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang merupakan puncak akumulasi dari proses perjuangan panjang gerakan reformasi di Indonesia. Pada saat itu berbagai elemen yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Orde Baru membangun kekuatan bersama dan bersatu-padu
1
Pisowanan Ageng secara harfiah berasal dari kata 'sowan' yang artinya ketemu, sehingga Pisowanan Ageng memiliki arti kata "Pertemuan Agung". Secara spiritual, pisowanan itu merupakan perwujudan dari manunggaling kawulo gusti atau bersatunya rakyat dan sultan atau raja dengan Tuhan, Tuhan dengan umat-Nya. Di situlah makna hakiki sebuah perlambangan atau simbolisasi dari keberadaan Kraton sebagai pengayom rakyat kecil, yaitu adanya pertemuan antara Sultan Hamengku Buwono sebagai sultan di kasultanan Yogyakarta dengan rakyat Yogyakarta. Lihat Suryo Sakti Hadiwijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan Konflik Elit Dan Isu Perpecahan, Pinus Pers, Yogyakarta, 2009, hal. 26 2
Ibid., hal. 27.
1
2
menumbangkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.3 Dalam kesempatan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengajak masyarakat DIY dan seluruh rakyat Indonesia bersama-sama mendukung gerakan reformasi dan memperkuat kepemimpinan nasional.4 Ide ini sejalan dengan derasnya tuntutan masyarakat Indonesia agar Presiden Soeharto dan para kroninya turun dari panggung politik. Pisowanan Ageng II terjadi beberapa saat sepeninggal Sri Paduka Paku Alam VIII selaku Pejabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan September 1998. Kekosongan jabatan gubernur sepeninggal Sri Paduka Paku Alam VIII memunculkan perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Atas desakan rakyat melalui Pisowanan Ageng, Sultan HB X dan KGPAA IX untuk ditetapkan sebagai Gubernur/ Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tanpa melalui mekanisme pemilihan.5 Sembilan
tahun
pasca
Pisowanan
Ageng
1998,
kembali
terselenggara yang diistilahkan dengan Pisowanan Ageng III pada tanggal 18 April 2007. Pisowanan Ageng kali ini terselenggara di saat-saat menjelang pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini statement politik disampaikan Sri Sultan Hamengku
3
Heru Wahyu Kismoyo, Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Dharmakaryadhika Publiser Pers, Yogyakarta, 2008, hal. 41. 4
Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, Dan Teladan Perjuangan, Paradigma Indonesia Pers, Yogyakarta 2009 hal. 540. 5
Suryo Sakti Hadiwijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta, Tarik Ulur Kepentingan Konflik Elit Dan Isu Perpecahan, Pinus Pers, Yogyakarta, 2009, hal. 196.
3
Buwono X yang menegaskan sikap untuk tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Statement keistimewaan
Sultan
Yogyakarta
tersebut yang
mengejutkan kemudian
para
pendukung
memunculkan
reaksi.
Sebagaimana diberitakan dalam Kedaulatan Rakyat pada tanggal 25 April 2007 yang menyatakan bahwa Kasultanan harus mampu menjadi representasi budaya yang memperkuat DIY sebagai kawasan geo-kultural, sebab keistimewaan DIY pada dasarnya bertumpu pada kekuatan budaya Kraton serta kepemimpinannya. Maka dalam rangka mempertahankan nilai-nilai keistimewaan DIY khususnya kepemimpinan Sultan maka digelar Pisowanan Ageng kedua dengan agenda masyrakat mendesak Sri Sultan Hamengku Buwono X agar tetap mau menjadi Gubernur DIY.6 Statement
politik Sultan tentang
kepemimpinan nasional menimbulkan berbagai macam pertanyaan warga serta memunculkan reaksi pro dan kontra. Dalam situasi gejolak politik tersebut serta hubungan pusat lokal yang kurang harmonis, dalam tarik-ulur proses perumusan Undang-undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta yang sampai saat ini statusnya masih menggantung. Dengan kondisi tersebut dalam jangka waktu kurang lebih satu tahun dari Pisowanan Ageng III terselenggara kembali Pisowanan Ageng IV pada tanggal 28 Oktober 2008 yang digelar di Pagelaran Kraton Yogyakarta. 6
Kedaulatan Rakyat, Pisowanan Ageng II, Akan di gelar Mei, Dwi Tunggal Ciri Keistimewaan DIY. Yogyakarta, 2007, hal. 24.
4
Pisowanan Ageng pada kesempatan kali ini bertepatan dengan moment politik pemilihan presiden 2009. Dalam kesempatan ini Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan statement kesiapan untuk dicalonkan sebagai Presiden pada pemilu 2009. Sebuah statement yang sangat berpengaruh terhadap dinamika politik Kraton Yogyakarta. Berangkat dari pembacaan realitas empirik di atas bahwa Pisowanan Ageng yang terlaksana selama pemerintahan Hamengku Buwono X merupakan peristiwa yang bukan berdiri sendiri dan tiba-tiba saja terjadi, tetapi memiliki rangkaian-rangkaian dengan peristiwa sebelumnya. Bisa dilihat keterkaitan pelaksanaan Pisowanan Ageng III dan IV memiliki korelasi moment politik menjelang pemilihan gubernur 2007 dan pemilihan presiden 2009. Statement politik Sultan dengan tidak bersedianya menjadi Gubernur DIY dan kemudian bersedia dicalonkan sebagai Presiden disampaikan pada acara Pisowanan Ageng. Dari sini dapat disampaikan bahwa Pisowanan Ageng 2008 merupakan kecerdasan berpolitik sultan Hamengku Buwono X dengan peran gandanya (Gubernur DIY dan Raja Keraton Yogyakarta), mampu mengemas sebuah proses pagelaran budaya dengan materi yang penuh muatan kepentingan politik lokal dan nasional. Sultan sebagai lambang identitas Kraton7 dengan berbagai kapasitas yang dimilikinya tentunya memiliki modal dalam membangun dan mensejahterakan rakyatnya. Berbagai modal yang dimilikinya jika 7
Siti Chamamah Soeratno, Khasanah Budaya Kraton Yogyakarta (Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia Pers, 2001), hal.
5
diklasifikasikan ada empat modal yakni modal simbolik, modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi. Keempat modal tersebut perlu dimaksimalkan modalitasnya dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, serta untuk membangun pola relasi dan komunikasi dengan berbagai elemen masyarakat dalam berbagai bidang. Modalitas
Sultan
tersebut
mampu
menarik
berbagai
unsur
masyarakat agar bisa mendekat pada Sultan dengan berbagai kepentingankepentingan, termasuk diantaranya melalui Pisowanan Ageng. Dengan demikian perlu kejelian dalam melihat sebuah momentum Pisowanan Ageng 2008 yang dijadikan sebuah instrumen politik yang dikemas dengan term budaya. Fenomena tersebut memunculkan sebuah refleksi bagaimana Sultan Hamengku Buwono X mengeksplorasi segala modalitas untuk penyelenggaraan Pisowanan Ageng sebagai wujud upaya menjaga eksistensi Kraton Yogyakarta dalam kancah politik lokal dan nasional?
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran yang terurai dalam latar belakang di atas dapat dirangkum dalam sebuah rumusan masalah, yaitu bagaimana instrumentasi modalitas Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Pisowanan Ageng 2008?
6
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1.
Mengetahui proses instrumentasi modalitas Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Pisowanan Ageng 2008.
1.3.2.
Mengetahui faktor yang melatarbelakangi munculnya Pisowanan Ageng 2008.
1.3.3.
Mengetahui unsur apa saja yang menjadi modalitas Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Pisowanan Ageng 2008.
1.3.4.
Menguraikan peranan masing-masing aktor dalam keterlibatannya secara langsung dalam Pisowanan Ageng 2008.
1.4. Manfaat Penelitian Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari penelitian ini, baik dalam segi akademis maupun praktis. Beberapa manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1.4.1.
Manfaat
akademis
yaitu
guna
menambah
khazanah
ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu budaya dan politik, terkhusus adalah pengetahuan budaya dan politik yang berkembang dalam Kraton Yogyakarta. 1.4.2.
Manfaat secara praktis dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang kompeten dan berkait dalam
melestarikan
dan
menjaga
kebudayaan
masyarakat,
7
khususnya budaya lokal yang berkembang di Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.5. Kajian Penelitian Terdahulu Tema mengenai Kraton memang sangat menarik untuk dibahas secara komprehensif. Ada beberapa penelitian yang mengkaji tentang Kraton. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Agus Guntoro dengan judul "Kosmologi Arsitektur Kraton kasultanan Yogyakarta." Penelitian ini menjelaskan kosmologi arsitektur Kraton Yogyakarta menggunakan model kosmos yang merepresentasikan ajaran Islam. Simbol dan ruangnya melukiskan struktur Muslim Cosmos, hubungan antara Sufism dan syariah, alur menuju manusia sempurna, alun-alun utara, masjid agung pagelaran, Siti Hinggil Utara merupakan tempat Sultan hadir saat Pisowanan Ageng, grebeg, maulud, syawal, dan besar (3 kali dalam setahun).8 Penelitian ini lebih menekankan pada makna filosofis arsitektural. Sedangkan Reva Pramawati Hastuti Putri menulis dengan judul penelitian "Analisa Prioritas Kebijakan terhadap Perkembangan dan Keberlangsungan Aset Pariwisata Kraton Yogyakarta".
Kajian ini
menekankan pada aset wisata, standarisasi obyek wisata dalam prioritas pengambilan kebijakan terhadap perkembangan dan keberlangsungan aset pariwisata di daerah penelitian Kraton yang meliputi taman sari, museum
8
Agus Guntoro, Kosmologi Arsitektur Kraton Kasultanan Yogyakarta. Tesis Universitas Gajah Mada, 2007.
8
kreta, pagelaran siti hinggil dan Kraton.9 Masih dalam kajian Kraton sebagai obyek wisata, Yuda Pracastino Heston mengambil penelitian dengan judul "Preferensi Wisatawan terhadap Pariwisata arsitektur Kraton Yogya". Penelitian ini menekankan para wisatawan ditinjau dari sisi preferensi dan perilaku terhadap kekayaan budaya arsitektur dan tata Kraton serta pihak terkait pariwisata. Penelitian lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Imam Wahyudi yaitu mengenai “Thawaf dan Mubeng Beteng: Suatu Kajian Relasional Aspek Religi dan Budaya”. Studi ini diawali dengan menjelaskan sejarah Kraton, ka'bah dan sejarah mubeng beteng dan thawaf. Hubungan antara mubeng beteng dan thawaf dikaji sebagai hasil dari perspektif historis dan filosofis sebagai pendekatannya. Penelitian Inayah Rohmaniah yang berjudul “Living Islam di Masjid-Masjid Kraton di Yogyakarta (Studi relasi tradisi keagamaan Kraton dan Muhammadiyah)” menjelaskan bahwa tradisi Muhamadiyah memiliki dasar sistem keyakinan yang secara subtansial dan fundamental berbeda dengan keyakinan Kraton. Tradisi keagamaan Kraton diasosiakan pada tipologi agami jawi yang sinkretis, sedangkan tradisi keagamaan Muhammadiyah diasosiasikan pada tipologi varian Islam pembaru yang puritan.10
9
Reva Pramawati Hastuti Putri, Analisa Prioritas Kebijakan terhadap Perkembangan dan keberlangsungan Aaet Pariwisata Kraton Yogyakarta, Tesis Universitas Gajah Mada, 2008. 10
Inayah Rohmaniyah, Living Islam di Masjid-masjid Kraton di Yogyakarta, Penelitan di Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2007.
9
Penelitian Nugroho Trisnu Brata mengenai gerakan massa yakni Pisowanan
Ageng
‘Remaking
Tradisi
untuk
Mendobrak
Stagnasi
Reformasi’ yang memaknai gerakan massa reformasi pada tahun 1998 di Yogyakarta sebagai moment Pisowanan Ageng. Serta sebuah buku yang membahas mengenai kronologi Pisowanan Ageng 1998 yang ditulis Nurinwa Ki S Hendrowinoto yang menguraikan pemikiran-pemikiran Pisowanan Ageng 1998 dalam dimensi pers dan budaya.11 Berdasarkan studi literatur yang telah peneliti lakukan, pembahasan mengenai Kraton Yogyakarta telah banyak dikaji dalam berbagai perspektif. Akan
tetapi peneliti belum menemukan kajian yang sama dari obyek
formalnya. Hanya terdapat persamaan dari segi materialnya dan belum menemukan pembahasan Kraton Yogyakarta dengan mengangkat tema Pisowanan Ageng 28 Oktober 2008. Oleh karenanya, peneliti yakin bahwa penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalannya.
11
Nurinwa Ki S Hendrowinoto dkk, Sri Sultan Hamengku Buwono X , Pisowanan Ageng Sebuah Percakapan, Yogya Forum, Yogyakarta, 2003.
10
1.6. Kerangka Konseptual Beberapa teori sosial menyebutkan bahwa banyak pakar ilmu sosial yang mengkaji mengenai teori modalitas sebagai pisau analisa dalam melihat sebuah dinamika fenomena sosial. Salah satunya adalah cara ilustratif yang digunakan Pierre Bourdieu dalam mengkonseptualisasikan modalitas. Bourdieu membagi modal dalam empat kategori yaitu modal simbolik, modal sosial, modal budaya, dan modal ekonomi12. Modalitas yang dikemukakan Bourdieu sangatlah tepat untuk menelaah lebih dalam figur Sultan sebagai sosok yang memiliki modal simbolik, modal budaya, modal sosial, dan modal ekonomi. Selain menelaah tentang figur Sultan, penelitian ini juga ingin mengkaji sejauh mana opersionalitas modalitas tersebut dalam membawa Kraton Yogyakarta ke depan, baik sebagai institusi budaya maupun wilayah administrassi yang tunduk pada lembaga birokasi nasional. 1.6.1. Modal Simbolik Menurut Pierre Bourdieu, definisi modal simbolik adalah legitimasi otoritas dalam bentuk gengsi, kehormatan dan reputasi yang merupakan kepentingan sentral dalam setiap bidang politik untuk melegitimasi otoritas yang terimplikasi di atas semua kekuasaan.13
12
Ricard Jenkins, Membaca pikiran Pierre Bourdieui, Kreasi Wacana Pers, 2004, hal.
13
John Harris, Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru, Penerbit Demos, Jakarta, 2004,
125. hal. 25.
11
Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mempercayai, mengakui, melestarikan, atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis
simbol
tidak
hanya
terletak
pada
kemampuannya
merepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga direpresentasikan lewat simbol. Dengan modal simbolik yang dimiliki Sultan sebagai identitas simbol Kraton maka dengan sendirinya akan mampu menarik berbagai unsur masyarakat dalam kepatuhan pada simbol yang diwariskan leluhur. Sebagaimana yang diutarakan Bourdieu, sebuah simbol bukan saja dipahami sebagai instrumen komunikasi dan integrasi sosial melainkan juga berperan sebagai instrumen dominasi dimana kelas dominan mengambil alih penggunaan tata simbol menurut selera kepentingan mereka.14 Sistem simbol menandai praktek dominasi dalam masyarakat pasca industri, bukan lagi kekuatan atau tindakan represif yang diutamakan, tapi kemampuan simbol membelokkan makna atas nama kepentingan kelas dominan. Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Artinya suatu energi yang hanya ada
14
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa symbol, Juxtapose Pers, Yogyakarta, 2007, hal. 17.
12
dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan mereproduksi. 1.6.2. Modal Sosial Modal sosial menurut Bourdieu adalah jumlah sumber daya, baik dalam bentuk faktual maupun maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan yang tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstusionalisasikan.15 Bourdieu menyatakan bahwa istilah modal sosial adalah satusatunya cara untuk menjabarkan prinsip-prinsip aset sosial. Termasuk modal sosial adalah hubungan-hubungan dan jaringanjaringan (sosial, politik, budaya) hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukankedudukan sosial.16 Menurut Bourdieu modal sosial merepresentasikan agregat sumber daya aktual atau potensial yang dikaitkan dengan kepemilikan jaringan yang bertahan lama. Bourdieu mengakui bahwa nilai ikatan yang dijalin seseorang individu (atau volume modal sosial yang dimiliki agen tertentu) tergantung pada jumlah koneksi yang dapat mereka mobolisasi dan volume modal (budaya, sosial, ekonomi).
15 16
Ibid.
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, Yogyakarta 2003, hal. 12.
dalam Basis edisi 11-12,
13
Sultan sebagai raja dan gubernur sudah dengan otomatis memiliki
apa yang disebut dengan modal sosial. Sultan dengan
modal sosial yang dimiliki diharapkan dapat mengoptimalkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antara raja dan rakyat tanpa ada pandang bulu. Salah satu fungsi dari modal sosial adalah membangun hubungan dan relasi dengan berbagai jaringan sosial maupun budaya, dalam konteks modal sosial yang dimiliki Sultan ini dapat mengakumulasi proses munculnya Pisowanan Ageng 2008. 1.6.3. Modal Budaya Modal budaya didefinisikan sebagai selera yang bernilai budaya dan pola-pola konsumsi pengetahuan yang sudah diperoleh. Adapun yang termasuk modal budaya ialah ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial.17 Bourdieu
menegaskan
bahwa
kelompok
mampu
mengunakan simbol-simbol budaya sebagai tanda pembeda, yang menandai dan membangun posisi mereka dalam stuktur sosial. Ia memperkuat pandangannya dengan menggunakan metafora modal budaya untuk menunjuk pada cara kelompok memanfaatkan fakta 17
Haryatmoko, Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa,Yogyakarta ,Basis edisi 11-12 , 2003, hal. 12.
14
bahwa beberapa jenis selera budaya menikmati lebih banyak status daripada jenis selera budaya yang lain.18 Kraton sebagai pemroduksi budaya dan Sultan sebagai pelaksana budaya merupakan sebuah tanggung jawab besar karena setiap tutur dan laku didasarkan pada budaya yang ada. Sultan juga diberi amanah menjaga, memelihara, serta mengabdi pada budaya leluhur.19 Dalam konteks Pisowanan Ageng 2008 merupakan representasi
instrumentasi
politik
Sultan
yang
mencoba
diekspresikan dalam bingkai budaya. 1.6.4. Modal Ekonomi Modal ekonomi merupakan kekayaan material dalam bentuk properti, uang dan lain sebagainya.20 Modal ekonomi sangat memungkinkan dalam memberi kriteria diferensiasi, membentuk struktur masyarakat, serta memiliki peran inti dalam kehidupan sosial. Adapun yang termasuk modal ekonomi adalah penguasaan aset oleh para borjuasi (kelas pemilik modal)21 berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat dalam sutau sistem. Bourdieu menggunakan konsep modal dengan beberapa ciri.
18
John Field alih bahasa Nurhadi Modal Sosial, Kreasi Wacana Pers, Yogyakarta 2010,
hal. 21. 19
Wawancara dengan Jadul Maula pada tanggal 1 Agustus 2010 di Pondok Kali Opak, pernyataan serupa mengenai Sultan dan pengabdian pada budaya disampaikan oleh Prof. Joko Suryo di kediamannya ketika peneliti sedang wawancara dengan beliau. 20
John Haris, Ibid.
21
Haryatmoko, Ibid.
15
Kepemilikan modal ekonomi Kraton berupa tanah, harta serta properti lainya serta sumber dana yang tidak mengikat merupakan sumber inti dalam berbagai proses kegiatan, terkhusus dalam pelaksanaan Pisowanan Ageng 2008.
1.7. Kerangka Pemikiran Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang bertepatan pada tahun 1998 menjelang jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto, Sultan mengambil peranan melalui Pisowanan Ageng sebagai sikap mendukung reformasi untuk memperkuat kepemimpinan nasional. Pisowanan Ageng 1 pada tanggal 20 Mei tahun 199822 memiliki keberpihakan kepada rakyat guna menyelesaikan krisis sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Ide ini sejalan dengan derasnya tuntutan masyarakat Indonesia agar presiden Soeharto dan para kroninya turun dari panggung politik yang dibeberapa tempat memicu berbagai kerusuhan dan kekerasan tak terkendali. Pisowanan Ageng II pada tanggal 18 April 2007. Pisowanan Ageng kali ini terselenggara di saat-saat menjelang pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada kesempatan kali ini statement politik disampaikan Sultan Hamengku Buwono X yang menegaskan sikap untuk
22
Djoko Dwiyanto, Kraton Yogyakarta, Sejarah, Nasionalisme, dan Teladan Perjuangan, Paradigma Indonesia Pers, Yogyakarta, Cetakan I 2009, hal. 534.
16
tidak bersedia dicalonkan kembali sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta23. Pisowanan Ageng II terjadi beberapa saat sepeninggal Sri Paduka Paku Alam VIII selaku Pejabat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan September 1998. Kekosongan jabatan gubernur sepeninggal Sri Paduka Paku Alam VIII memunculkan perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Atas desakan rakyat melalui Pisowanan Ageng, Sultan HB X kemudian ditetapkan sebagai Gubernur/ Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam situasi gejolak politik tersebut serta hubungan pusat lokal yang kurang harmonis, dibarengi dengan proses tarik-ulur perumusan Undang-undang Keistimewaan (UUK) Yogyakarta yang sangat politis dan memakan waktu lama. terselenggara kembali Pisowanan Ageng III pada tanggal 28 Oktober 2008 yang digelar di Pagelaran Kraton Yogyakarta. Pisowanan Ageng pada kesempatan kali ini bertepatan dengan momen politik pemilihan presiden 2009. Dalam kesempatan ini Sultan Hamengku Buwono X menyatakan statemen kesiapan untuk dicalonkan sebagai Presiden pada pemilu 2009. Sebuah Statemen yang sangat berpengaruh terhadap dinamika politik Kraton Yogyakarta.
23
Suryo Sakti HadiWijoyo, Menggugat Keistimewaan Jogjakarta - Tarik Ulur Kepentingan Konlflik, dan Isu Perpecahan, Pinus Pers Yogyakarta, Cetakan I: 2009, hal. 26.
17
Sikap dan laku yang ditempuh Sri Sultan Hamengku Buwono X tersebut, apakah merupakan bentuk penyelamatan seperti halnya sikap yang diambil pada saat Kraton dipimpin Sultan Hamengku Buwono IX ketika sikap cerdas yang di ambil oleh Hamengku Buwono IX pada masa berdirinya Republik Indonesia, bahwa Yogyakarta menjadi kekuatan penyelamat ketika Indonesia dalam situasi krisis untuk mempertahankan situasi Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 194524, sebagai sebuah perbandingan dalam bersikap. Sebuah piranti yang sama dengan tujuan yang beda dapat dilihat dalam perbedaan pelaksanaan Pisowanan Ageng 1998, 2007, 2008, yang berjalan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X yang merepresentasikan fenomena politik sekaligus sebagai upaya bentuk survavilitas Kraton dalam menentukan orientasi arah politik Kraton dalam menentukan sikap politik baik dalam kancah nasional maupun lokal. Atas dasar fenomena tersebut sebuah komunikasi politik diperlukan guna tranformasi sosial.
24
Cornelis Lay, Keistimewaan Yogyakarta, Naskah Akademik dan Rancangan Keistimewaan Yogyakarta, JIP UGM, Yogyakarta, 2008, hal 28.
18
Alur Pikir Konseptual Sultan HB X
Modal Budaya
Modal Simbolik
Modal Sosial
Modal Ekonomi
Pisowanan Ageng
Dinamika Pisowanan AjhAgeng Jaringan sosial
1.8. Definisi Konseptual Definisi konseptual merupakan kerangka pemikiran yang berguna untuk membuat analisis lebih sistematis dan mengarahkan penelitian lebih fokus agar lebih mudah dipahami. Adapun definisi konseptual tersebut, oleh peneliti dibagi menjadi beberapa bagian sebagaimana yang hendak diuraikan dibawah ini: 1.8.1. Pisowanan Ageng 2008 merupakan proses dan instrumentasi politik Sultan. 1.8.2. Modal simbolik artinya bahwa Sultan memiliki kekuatan legitimasi otoritas dan wewenang tertinggi sebagai pemimpin kekuasaan.
19
Modal simbolik diasumsikan memiliki peran yang cukup efektif untuk menghadirkan massa pada Pisowanan Ageng 2008. 1.8.3. Modal sosial merupakan pengelolaan jumlah sumber daya, aktual atau maya yang terkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan yang tahan lama berupa hubungan timbal balik
perkenalan
dan
pengakuan
yang
sedikit
banyak
terinstusionalisasikan. Modal sosial merupakan perangkat Kraton dalam mengoptimalkan dengan unsur elemen masyarakat yang terlibat dalam Pisowanan Ageng 2008. Adapun yang termasuk mdal sosial adalah jaringan sosial dan jaringan budaya yaitu individu atau sekelompok
yang memiliki keterlibatan secara langsung baik
pemikiran maupun tindakan dalam Pisowanan Ageng 2008, mereka merupakan bagian integral dalam momen Pisowanan Ageng 2008 yang memiliki maksud dan tujuan tertentu. Baik yang mendukung maupun yang tidak sepakat dengan Pisowanan Ageng 2008, mereka meliputi intelektual, tokoh agama, politisi, birokrat, budayawan, pengusaha, kelompok-kelompok organisasi. 1.8.4. Modal budaya adalah bahwa Sultan merupakan ikon kebudayaan dan memiliki tanggung jawab penuh dalam menjaga dan melestarikannya dalam berbagai bentuk budaya dan tradisi. 1.8.5. Modal ekonomi merupakan kekayaan maupun properti yang dimiliki Sultan sebagai penggerak agenda-agenda Kraton, sumber ekonomi tidak terbatas dari dalam Kraton saja tetapi segala sesuatu yang
20
memiliki nilai ekonomi yang memiliki keterlibatan dengan Kraton, khususnya dalam pelaksanaan Pisowanan Ageng 2008.
1.9. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan petunjuk bagaimana suatu variabel diukur dengan membaca variabel definisi operasional dalam penelitian. Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka definisi konsep yang ada dioperasionalisasikan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan
dan
menjelaskan
gejala-gejala
yang
dapat
diuji
kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1.9.1. Modal Simbolik 1.9.1.1.
Sultan sebagai pemilik otoritas dan legitimasi yang tinggi.
1.9.1.2. Sultan memiliki daya sakralitas dan spiritualitas yang tinggi. 1.9.1.3. Sultan sebagai representasi kekuasaan. 1.9.1.4. Sultan sebagai simbol Kerajaan. 1.9.2. Modal Budaya 1.9.2.1. Sultan sebagai ikon kebudayaan melalui tradisi-tradisi Kraton. 1.9.2.2. Sultan sebagai pemangku adat dan tradisi tertinggi. 1.9.2.3. Sultan sebagai pemelihara, pelestari, dan pejaga budaya. 1.9.3. Modal Sosial
21
1.9.3.1. Relasi Sultan dengan para intelektual 1.9.3.2. Relasi Sultan dengan budayawan 1.9.3.3. Relasi Sultan dengan agamawan 1.9.3.4. Relasi Sultan dengan politisi 1.9.3.5. Relasi Sultan dengan pengusaha 1.9.3.6. Bentuk keterlibatan jaringan sosial dan budaya 1.9.4. Modal Ekonomi 1.9.4.1. Sumber dana Pisowanan Ageng 1.9.4.2. Besarnya dana
1.10. Metode Penelitian 1.10.1. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode field research (penelitian lapangan). Field research secara langsung bersentuhan dengan fenomena sosial yang diteliti.25. Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus. Studi kasus merupakan suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak dapat dengan tegas dan dimana multi sumber dimanfaatkan.26
25
Earl Babbie, The practice of Social Reseach, Wadsworth Publising Company, California, 1983, hal. 245-247. 26
Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif - Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 20.
22
1.10.2. Lokasi Penelitaian Lokasi penelitian ini adalah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Lokasi dimana Kraton Yogyakarta berada serta tempat terselenggaranya momentum Pisowanan Ageng 2008. 1.10.3. Jenis Dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan subyek atau informan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari arsip dan dokumentasi yang relevan dengan permasalahan penelitan. 1.10.4. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data dalam penelitian digunakan beberapa tehnik, yaitu sebagai berikut: 1.
Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data primer yang sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan analisis data. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan yang memahami fakta yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.27 Untuk
memfokuskan
pencarian
data
sesuai
dengan
permasalahan, wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara dengan pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan. 27
hal. 192.
Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survey, LP3S, Jakarta, 1995,
23
2.
Dokumentasi Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen.28 Dalam hal penelitian ini terkait dengan data-data sekunder berupa dokumen asli, notulensi rapat, literatur-literatur yang relevan dan arsip-arsip lain yang terkait dengan masalah penelitian. Dengan mengunakan teknik ini, peneliti akan memperoleh data dengan melihat dokumen-dokumen yang berupa laporanlaporan, literatur-literatur serta berita-berita di website dan media masa lokal termasuk opini-opini dan berita surat kabar yang sesuai dengan kebutuhan penelitian ini.
1.10.5. Analisa Data Analisa
data
merupakan
proses
pengaturan
secara
sistematis, transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan lapangan lainnya yang digunakan untuk meningkatkan pemahaman atau menjelaskan sesuatu sehingga mudah dimengerti. Data yang banyak didapat di lapangan juga harus direduksi dengan membuat abstraksi sebagai membuat rangkuman yang inti. Tujuan dari analisa data dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami. Dalam analisa kualitatif ini akan digunakan model
28
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Jakarta, 2004, hal. 125-126.
24
interpretatif29. Langkah langkah yang di tempuh dalam analisa data sebagai berikut:30 1.
Pengumpulan data, baik data hasil wawancara, observasi dokumentasi.
2.
Meringkas data yaitu memilih hal-hal pokok dari data yang telah terkumpul yang sesuai dengan fokus penelitian, hal ini berlangsung secara simultan atau terus-menerus selama penelitian.
3.
Menyajikan data yakni menyajikan data dalam bentuk diskriptif atau uraian.
4.
Penarikan kesimpulan dan verifikasi. Hasil kesimpulan dan verifikasi ini akan diarahkan pada pemaparan saran dan rekomendasi. Analisa
dilakukan
berdasrkan
pandangan-pandangan
informan (emik) yang sudah divalidasi menggunakan trianggulasi. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari informan (emik) dan interpretasi peneliti (etik) terhadap data lapangan yang sudah direduksi dan disederhanakan.
29
Norman K. Denzin dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Sosial, Penerbit Tiara, Yogyakarta, 2001, hal. 35. 30
Husaini Usman dan Purnomo S Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Bumi Aksara, Jakarta, 2003, hal. 86-87.
25
1.10.6. Penyajian Data Penyajian data merupakan proses penyusunanan kembali data yang telah diperoleh dengan kecenderungan kognitifnya adalah menyederhanakan informasi kompleks ke dalam satuan bentuk (gestalt) yang disederhanakan secara selektif atau konfigurasi yang mudah untuk dipahami sehingga dapat diperoleh tingkat validitas serta obyektifitas hasil penelitianya. 1.10.7. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan merupakan proses penyusunan kesimpulan dan pembuatan keputusan dari hasil analisis yang sebelumnya Kecenderungan
disesuaikan hasil
dengan
yang
muncul
pertanyaan diidentifikasi
penelitian. kembali,
diperjelas pola konfigurasi-konfigurasi yang timbul agar penarikan kesimpulan akhir dapat dipertanggungjawabkan. 1.10.8. Pemilihan Informan Penelitian Informan adalah orang yang dipilih dan dapat menerangkan serta memberikan informasi sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Pilihan informan dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik tertentu yang tujuannya adalah menjaring informasi sebanyak-banyaknya.31 Pemilihan informan dalam penelitian menggunakan teknik purposive sampling.
31
90.
Lexy Meleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, hal.
26
Tabel 1 Tabel Informan No.
Nama
Jabatan/ Posisi
1
GPH Joyokusumo
Bagian Pangeran Kraton Yogyakarta
2
GPH Prabukusumo
Ketua Partai Demokrat DIY
3
GBPH Yudaningrat
Kepala Dinas Kebudayaan DIY
4
Romo H. Tirun
Bagian Kaprajan Kraton Yogyakarta
5
Romo Harsadiningrat
Bagian Ndalem Kraton Yogyakarta
6
Heru Wahyu Kismoyo
Penjaga Gawang Kraton Yogyakarta
7
Prof. Joko Suryo
Cendekiawan
8
Prof. Dr. Susetyawan
Guru Besar UGM
9
K.H. Abdul Muhaimin
Anggota Kebudayaan DIY
10
Suwaldji
Ketua Paguyuban Kejawen Yogyakarta
11
Meth Kusuma Hadi
Ketua Merti Nusantara
12
Untoro Hariyadi
Sekjen Merti Nusantara
13
Bondan Nusantara
Wasekjen Merti Nusantara